Anda di halaman 1dari 5

Kerusakan/Gangguan Sel Penyusun Kulit dan Adneksa serta Estetika yang Dipengaruhi

1. Jerawat

Jerawat (acne vulgaris) merupakan suatu penyakit peradangan kronik dari unit
pilosebaseus yang ditandai dengan adanya komedo, papula, pustula, nodul, kista, dan skar
(Saragih, dkk., 2016). Jerawat sering terjadi pada kulit wajah, leher, dada dan punggung.
Meskipun jerawat tidak berdampak fatal, tetapi cukup merisaukan karena dapat menurunkan
kepercayaan diri, terutama mereka yang peduli akan penampilan (Tjekyan, 2008).
Penyebab terjadinya jerawat antara lain faktor genetik, endokrin, psikis, musim, stres,
makanan, keaktifan kelenjar sebasea, infeksi bakteri, kosmetika, dan bahan kimia lain. Jerawat
dapat disebabkan oleh aktivitas kelenjar minyak yang berlebihan dan diperburuk oleh infeksi
bakteri (Suryana, dkk., 2017).
Mekanisme timbulnya jerawat yakni diawali peningkatan produksi minyak oleh kelenjar
sebaseus. Sebum yang dihasilkankeluar melalui saluran pilosebaseus dan mencapai permukaan
kulit. Selama melewati saluran pilosebaseus, sebum memasok asam linoleate ke keratinosit dari
folikel rambut. Asam lemak bebas akan terbentuk oleh rangsangan faktor pencetus jerawat
sehingga asam lemak bebas memicu produksi sitokin inflamasi seperti IL-8, IL-6, IL-1β dan
TNF-α yang menyebabkan peradangan dan peningkatan aktivitas keratinosit. Sebagai akibatnya,
terjadi hiperkeratosis yang menumpuk, menyumbat dan asam linoleat yang dibawa sebum
berubah menjadi komedo lalu komedo ini dapat semakin berkembang dan membentuk jerawat
(Prasad, 2016;Tuchayi et al, 2015). Adanya bakteri flora normal kulit seperti P.acnes,
Propionibacterium granulosum, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus dapat
memperparah jerawat oleh sebab kombinasi akumulasi keratin, sebum dan bakteri P.acnes pada
bagian pilosebaseus merangsang mediator proinflamasi, akumulasi sel T-helper dan neutrofil
pada dermis kulit, dan menyebabkan peradangan, terbentuknya papula, pustula dan lesi (Tahir,
2010).
2. Kulit kering
Xerosis cutis adalah istilah medis untuk kulit kering. Nama ini berasal dari kata Yunani
"Xero" yang berarti kering.2 Hal ini ditandai secara klinis dengan kulit yang kasar, bersisik, dan
kulit sering terasa gatal. Kulit kering disebabkan oleh kurangnya kelembapan pada stratum
korneum akibat penurunan kadar air. Kerusakan pada stratum korneum menyebabkan kadar air
dibawah 10%.
Pada prinsipnya ada tiga mekanisme terjadinya kulit kering.
a. Kadar air menurun pada stratum korneum
Pada keadaan normal, air mengalir secara difusi dari dermis menuju ke epidermis
melalui dua cara yaitu melalui stratum korneum dan ruang interseluler. Kulit secara terus-
menerus akan kehilangan cairan secara difusi kemudian akan menguap melalui stratum
korneum dan ruang interseluler, keadaan ini dikenal dengan transepidermal water loss
(TEWL).
Stratum korneum merupakan barier hidrasi yang sangat penting dalam
mempertahankan kelembapan kulit. Bila daya pengikat air pada stratum korneum
menurun maka stratum korneum akan mengandung sedikit air sehingga menyebabkan
timbulnya skuama dan kulit kering.
b. Menurunnya faktor pelembap alami (Natural Moisturizing Factor)
Kulit mempunyai kemampuan untuk menyimpan kelembapan air sendiri yang disebut
dengan pelembap alami atau Natural Moisturizing Factor (NMF). Stratum korneum
terdiri dari 58% keratin, 30% NMF dan 11% lipid. NMF terdiri dari asam amino bebas,
urea, elektrolit garam dan fraksi gula. NMF memiliki peran yang penting dalam mengatur
kelembapan kulit. Jika NMF menurun akan mengurangi elastisitas serta kelembapan kulit
sehingga kulit menjadi kering.
c. Gangguan keratinisasi
Gangguan keratinisasi menyebabkan perubahan struktur dan kohesi korneosit.
Penurunan kadar air dalam stratum korneum pada kulit kering akan menyebabkan
gangguan deskuamasi abnormal pada korneosit.

3. Panu
Pytriaris versikolor atau lebih dikenal dengan panu adalah infeksi jamur superfisial yang
disebabkan oleh Malassezia furfur. Jamur ini menyerang stratum korneum dari epidermis kulit,
biasanya diderita oleh seseorang yang sudah mulai banyak beraktifitas dan mengluarkan keringat
(Hayati, 2014).
Faktor-faktor penyebab panu, antara lain:
a. Faktor Agent

Malassezia furfur (dahulu dikenal sebagai Pityrosporum orbiculare,


Pityrosporum ovale) merupakan jamur lipofilik yang normalnya hidup di keratin kulit
dan folikel rambut manusia saat masa pubertas dan di luar masa itu. Alasan mengapa
organisme ini menyebabkan panu, pada beberapa orang sementara tetap sebagai flora
normal pada beberapa orang lainnya, belumlah diketahui. Sebagai organisme yang
lipofilik, Malassezia furfur memerlukan lemak (lipid) untuk pertumbuhan in vitro dan in
vivo. Lebih lanjut, tahap miselium dapat dirangsang in vitro dengan penambahan
kolesterol dan ester kolesterol pada medium yang tepat. Karena organisme ini lebih cepat
berkoloni/mendiami kulit manusia saat pubertas dimana lemak kulit meningkat lebih
banyak dibandingkan pada masa remaja (adolescent) dan panu bermanifestasi di area
yang “kaya minyak” atau sebum-rich areas (misalnya: di dada, punggung), variasi lemak
di permukaan kulit individu dipercaya berperan utama dalam patogenesis penyakit.

a. Faktor Host

Bagaimanapun juga, penderita panu dan subjek kontrol tidak memperlihatkan


perbedaan kuantitatif atau kualitatif pada lemak di permukaan kulit.Lemak di permukaan
kulit penting untuk kelangsungan hidup M furfur pada kulit manusia normal, namun M
furfur mungkin sedikit berperan pada perkembangan (pathogenesis) panu.Bukti-bukti
yang ada menunjukkan bahwa dibandingkan lemak, asam amino lebih berperan di dalam
kondisi sakit (diseased state) atau dengan kata lain sedang terkena panu. Secara in vitro,
asam amino asparagin menstimulasi pertumbuhan organisme, sedangkan asam amino
lainnya, glisin, menginduksi (menyebabkan) pembentukan hifa. Pada dua riset yang
terpisah, tampak bahwa secara in vivo, kadar asam amino meningkat pada kulit pasien
yang tidak terkena panu. Faktor kausatif lainnya yang juga signifikan adalah sistem
kekebalan tubuh/imun penderita. Meskipun sensitization melawan antigen M furfur biasa
terlihat pada populasi umum (sebagaimana dibuktikan oleh studi/riset transformasi
limfosit), fungsi limfosit pada stimulasi organisme terbukti lemah (impaired) pada
penderita yang terserang panu. Hasil (outcome) ini sama dengan situasi sensitization
dengan Candida albicans. Singkatnya, kekebalan tubuh yang diperantarai oleh sel (cell-
mediated immunity) berperan pada penyebab (timbulnya) penyakit.

4. Melasma

Melasma adalah gangguan kulit yang umum diperoleh yang ditandai dengan bercak
hiperpigmentasi lokal pada kulit yang terpapar sinar matahari. Secara histologi, daerah yang
terkena menunjukkan peningkatan produksi dan transfer melanosom ke keratinosit
(Cestari;Benvenuto, 2005). Penyebaran melasma melibatkan wajah dengan bagian tersering di
dahi, pipi, dan bibir (Fauci et al, 2008). Sedangkan pada bagian leher dan lengan lebih jarang.
Gangguan kulit ini ditandai dengan warna cokelat, dapat pula makula atau patch biru-abu-abu
(Taylor, 2007).
Faktor kausatif yang dianggap berperan pada patogenesis melasma adalah (Soepardiman,
2010) :
a. Sinar ultra violet
Melanin menyerap radiasi ultra violet di seluruh spektrum yang luas tetapi sangat efektif
dalam menyerap sinar ultra violet dengan panjang gelombang 280-320 nm
(Rees;Flanagan, 1999). World Health Organization (2013) dalam situsnya menjelaskan
bahwa panjang gelombang UV-C 100-280 nm, UV-B 280-315 nm, UV-A 315-400 nm.
UV-B merupakan penyebab kerusakan biokemikal yang paling potensial (Park et al,
2008).
Spektrum sinar matahari merusak gugus sulfhidril di epidermis yang merupakan
penghambat enzim tirosinase dengan cara mengikat ion Cu dari enzim tersebut. Sinar
ultra violet menyebabkan enzim tirosinase tidak dihambat lagi sehingga memacu proses
melanogenesis (Soepardiman, 2010). Secara histologi, terjadi peningkatan melanosit
epidermal, melanosit dendrit dan perpindahan melanosom ke keratinosit, dan terjadi
melanisasi yang meningkat dari melanosom individu (Park et al, 2008).
UV-A akan menyebabkan pigmentasi yang gelap berbatas pada lapisan basal. UV-B
menyebabkan pigmentasi yang gelap berbatas pada lapisan epidermis, sedangkan
pigmentasi akibat UV-C ringan sekali (Park et al, 2008).

b. Hormon
Hormon estrogen, progesteron, dan MSH (Melanin Stimulating Hormone) berperan pada
terjadinya melasma (Soepardiman, 2010). Ranson et al (1988) menjelaskan bahwa
penelitian telah menunjukkan estrogen meningkatkan aktivitas tirosinase dan jumlah
melanosit in vitro. Sel-sel kulit memiliki reseptor untuk estrogen dan progesteron, dengan
ekspresi yang lebih tinggi di daerah wajah dibandingkan dengan daerah lain. Distribusi
reseptor ini dapat menjelaskan lokasi preferensial melasma seperti telah diketahui (Im et
al, 2002 & Jee et al, 1994).

c. Obat
Hiperpigmentasi yang disebabkan oleh agen toksik, atau obat-obatan dianggap 10-20%
dari semua kasus hiperpigmentasi yang diperoleh (Yani, 2008). Misalnya difenil
hidantoin, mesantoin, klorpromasin, sitostatik, dan minosiklin dapat menyebabkan
timbulnya melasma. Obat ini ditimbun di lapisan dermis bagian atas dan secara kumulatif
dapat merangsang melanogenesis (Soepardiman, 2010).

d. Genetik
Dilaporkan adanya kasus keluarga sekitar 20-70% (Soepardiman, 2010). Faktor genetik
melibatkan migrasi melanoblas dan perkembangan serta diferensiasinya di kulit.
Morfologi melanosit, struktur matriks melanosom, aktivitas tirosinase dan tipe dari
melanin yang disintesis, semua dibawah kontrol genetik (Prananingrum, 2012).Insiden
melasma terbanyak terjadi pada individu dengan tipe kulit Fitzpatrick IV-V (Sachdeva,
2005 & Dogra;Gupta, 2006).

e. Ras
Melasma banyak dijumpai pada golongan Hispanik dan golongan kulit berwarna gelap
(Soepardiman, 2010).

f. Kosmetika
Pemakaian kosmetika yang mengandung parfum, zat pewarna, atau bahan-bahan tertentu
dapat menyebabkan fotosensitivitas yang dapat mengakibatkan timbulnya
hiperpigmentasi pada wajah, jika terpajan sinar matahari (Soepardiman, 2010).
5. Ketombe
Ketombe (Pityriasis capitis) adalah sejenis kelainan kulit atau peradangan kulit kepala
yang sangat ringan, namun sering menjadi masalah bagi penderita karena dapat mengurangi
penampilan/daya tarik dan membuat seseorang tidak percaya diri. Hal tersebut akibat kotornya
rambut yang merupakan mahkota bagi setiap orang dan kadang-kadang disertai rasa gatal yang
mengganggu.
Kulit kepala yang normal akan memperbarui diri setiap 28 hari sekali, sel kulit kepala
yang mati secara normal akan dikeluarkan/didorong ke permukaan kulit. Sel kulit kepala yang
mati selanjutnya akan lepas dengan sendirinya. Namun, dalam kondisi-kondisi tertentu pelepasan
ini tidak terjadi sehingga sel-sel mati menumpuk di permukaan kulit kepala dan terlihat sebagai
ketombe. Ketombe dapat terjadi karena penumpukan sel epidermis kulit kepala dalam jumlah
yang banyak. Ketombe ini berwarna putih, kering kecil, yang terdapat pada kulit bagian atas
(Kit, 2004).
Faktor utama timbulnya ketome yaitu kelenjar sebasea. Produksi sebum sebagai hasil
sekresi pada kelenjar sebasea akan meningkat mulai dari usia remaja sampai dewasa. Kemudian,
setelah dewasa, produksi sebum akan menurun. Pada kondisi normal (jumlah normal), sebum
berkaitan dengan perlindungan kulit epidermis dari sinar UV, transportasi antioksidan pada kulit,
dan beberapa fungsi lain. Akan tetapi, jika jumlah sebumpada kulit berlebihan, maka akan
menimbulkan dampak buruk seperti terjadinya penumpukan lemak di bawah kulit. Hal ini akan
berhubungan dengan pengembangbiakan M. globosa dan M. restricta yang akan mengonsumsi
asam lemak yang terkandung pada sebum tersebut. Dalam hal ini, asam lemak bebas memainkan
peran yang penting dalam penyebab awal terbentuknya ketombe (Dawson, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Dawson, T.L. 2007. Breakthrough Understanding of the Etiology and Treatment of Dandruff and
Seborrheic Dermatitis Thruogh Whole-Genome Analysis J. Investig. Dermatol. Symp.
Proc. Dec. Vol. 12, No. 2, 15-19
Hayati, I. 2014. Identifikasi Jamur Malassezia furfur pada Nelayan Penderita Penyakit Kulit di
RT 09 Kelurahan Malabro Kota Bengkulu, Jurnal Akademi Analisis Kesehatan Harapan
Bangsa Bengkulu
Kit, D. 2004. Seborrheic Dermatitis Dandruff Research J. Microbiol., Vol. 22, No. 3, 179-181.
Prasad S. 2016. Acne vulgaris. A review on pathophysiology and treatment. 9(4): 54-59
Suryana, S., Yen Yen Ade Nuraeni, dan Tina Rostinawati. 2017. Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Etanol dari Lima Tanaman terhadap Bakteri Staphylococcus epidermidis dengan Metode
Mikrodilusi. M7 – A6CLSI. IJPST. 4(1) : 1-9
Tjekyan, R. M. S. 2008. Kejadian dan Faktor Resiko Acne vulgaris. Media Medika Indonesia.
43(1) : 37-43
Tahir C.M. 2010. Pathogenesis of acne vulgaris:simplified. Journal of Pakistan Association of
Dermatologists. 20:93-97

Anda mungkin juga menyukai