Anda di halaman 1dari 36

12

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Dukungan Keluarga
a. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh
kebersamaan dan kedekatan emosional serta yang mengidentifikasi
dirinya sebagai bagian keluarga (Friedman, 2014).
Menurut Duvall 1986 keluarga adalah sekumpulan orang
yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran, yang
bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan budaya yang
umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, dan
sosial dari setiap anggota (Murwani, 2014).
b. Tipe Keluarga
Suatu keluarga yang memanfaatkan layanan kesehatan
merupakan keluarga yang datang dari berbagai gaya hidup,
sehingga sangat penting suatu tipe keluarga untuk diketahui. Tipe-
tipe keluarga menurut Friedman (2014) adalah :
1) Keluarga Inti
Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari seorang ayah
yang mencari nafkah, seorang ibu yang mengurusi rumah
tangga dan anak yang merupakan keluarga.
2) Keluarga Adopsi
Keluarga adopsi merupakan sebuah cara lain untuk
membentuk keluarga dengan menyerahkan secara sah tanggung
jawab sebagai orang tua seterusnya dari orang tua kandung ke
orang tua adopsi dan saling menguntungkan baik bagi orang tua
mapun anak. Keluarga adopsi mampu memberi asuhan dan
kasih sayangnya kepada anak adopsinya. Keluarga adopsi
memilih berbagai alasan misalnya agama, moral, keluarga, atau
13

pribadi, namun sering kali orang tua adalah pasangan yang


tidak dapat memiliki anak kandungnya sendiri.
3) Keluarga Asuh
Keluarga asuh adalah keluarga yang memberikan suatu
layanan kesehatan untuk mengasuh anaknya ketika keluarga
kandung merasa tidak mampu atau sibuk. Anak-anak yang
diasuh oleh keluarga asuh umumnya memiliki hubungan
kekerabatan, seperti nenek atau kakek.
4) Keluarga Tanpa Anak
Keluarga tanpa anak adalah keluarga yang tidak memiliki
anak dikarenakan penundaan kehamilan dan pola persalinan.
5) Extended Family
Extended family adalah keluarga dengan pasangan yang
berbagi pengaturan rumah tangga dan pengeluaran keuangan
dengan orang tua, kakak atau adik, dan keluarga dekat lainnya.
Selain itu, di dalamnya tinggal seorang anak dengan minimal
salah satu orang tua dan seseorang di luar anggota keluarga inti,
baik memiliki hubungan kekerabatan maupun tidak.
6) Keluarga Orang Tua Tunggal
Keluarga orang tua tunggal adalah keluarga dengan ibu atau
ayah sebagai kepala rumah yang disebabkan bercerai,
ditelantarkan, atau berpisah.
7) Keluarga Dewasa Lajang yang Tinggal Sendiri
Keluarga dewasa lajang yang tinggal sendiri adalah bagian
dari beberapa bentuk jaringan yaitu keluarga yang longgar,
kerabat, dan teman-temannya. Ada pula individu yang benar-
benar seorang penyendiri sehingga tidak memiliki sistem
pendukung dan kadang-kadang tidak tertarik untuk membentuk
suatu sistem pendukung tersebut.
8) Keluarga Orang Tua Tiri
Keluarga orang tua tiri adalah keluarga yang terbentuk
karena menikah lagi dan dapat disertai dengan atau tanpa anak.
14

Tipe keluarga ini adalah keluarga yang pada awalnya


mengalami proses penyatuan yang kompleks dan penuh dengan
stres. Penyesuaian yang perlu dilakukan dan sering kali
individu yang berbeda atau subkelompok keluarga yang baru
terbentuk ini beradaptasi dengan kecepatan yang tidak sama.
Seluruh anggota keluarga harus menyesuaikan diri dengan
situasi keluarga yang baru, anak-anak sering sekali memiliki
masalah koping yang lebih besar karena usia dan tugas
perkembangannya, serta karena keanggotaan gandanya.
9) Keluarga Binuklir
Keluarga binuklir adalah keluarga yang terbentuk setelah
perceraian yaitu anak merupakan anggota dari sebuah sistem
keluarga yang terdiri atas dua rumah tangga inti, maternal, dan
paternal dengan keragaman dalam hal tingkat kerjasama dan
waktu yang dihabiskan dalam setiap rumah tangga. Keluarga
memiliki hak dan kewajiban yang sama atas anak di bawah usia
tanpa memandang dengan siapa anak tinggal.
c. Fungsi Keluarga
Untuk memenuhi keberlangsungan suatu kehidupan, keluarga
perlu memenuhi fungsi keluarga. Menurut Friedman (2014)
keluarga memiliki fungsi sebagai berikut :
1) Fungsi Afektif
Fungsi afektif merupakan persepsi keluarga terhadap
penghargaan akan, pengasuhan, kebutuhan psikologis
anggotanya. Keluarga saling mendengarkan masalah,
memberikan simpati, memberikan ketenangan, afeksi, dan
memberikan bantuan dalam menyelesaikan masalah.
2) Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi merupakan proses yang melibatkan
banyak pengalaman belajar yang diberikan oleh keluarga,
melalui pengalaman selama hidup yang signifikan,
mendapatkan karakteristik suatu pola budaya.
15

3) Fungsi Perawatan Kesehatan


Fungsi perawatan kesehatan adalah fungsi untuk
mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar
memiliki produktifitas yang tinggi. Keluarga memberikan
kebutuhan fisik, sandang, papan, keamanan, kenyamanan
lingkungan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
perkembangan dan istirahat termasuk penyembuhan dari sakit,
dan memberikan perawatan kesehatan.
4) Fungsi Reproduksi
Fungsi reproduksi adalah keluarga mempertahankan
kontinuitas antar generasi keluarga untuk kelangsungan hidup
masyarakat.
5) Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi adalah keluarga menyediakan sumber daya
yang cukup seperti finansial, ruang, materi, serta alokasinya
yang sesuai melalui proses pengambilan keputusan.
d. Tugas keluarga
Keluarga dalam menerapkan fungsinya memiliki tugas keluarga
dalam bidang kesehatan. Tugas-tugas keluarga dalam bidang
kesehatan menurut Friedman dalam Murwani (2014) adalah:
1) Mengenal Masalah Kesehatan Keluarga
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh
diabaikan, jika kesehatan terganggu maka segala sesuatu tidak
akan berarti. Anggota keluarga memiliki kewajiban untuk
mengetahui penyakit yang diderita oleh keluarganya.
2) Memutuskan Tindakan Kesehatan yang Tepat
Tugas ini merupakan upaya keluarga untuk ke pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan keadaan anggota keluarga,
dengan mempertimbangkan salah satu anggota keluarga yang
berhak memberikan keputusan untuk menentukan tindakan
keluarga.
16

3) Merawat Keluarga yang Mengalami Gangguan Kesehatan


Dalam tugas ini keluarga telah mengambil tindakan yang
tepat dan benar, tetapi keluarga memiliki keterbatasan yang
telah diketahui oleh anggota keluarganya sendiri. Perawatan
dapat dilakukan di suatu pelayanan kesehatan atau di rumah
apabila keluarga telah memiliki kemampuan tindakan untuk
pertolongan pertama.
4) Memodifikasi Lingkungan Keluarga untuk Menjamin
Kesehatan Keluarga
5) Memanfaatkan Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Sekitarnya
Bagi Keluarga
e. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah suatu bentuk bantuan yang
diberikan salah satu anggota keluarga untuk memberikan
kenyamanan fisik dan psikologis pada saat seseorang atau anggota
keluarganya mengalami sakit (Friedman, 2014). Dukungan
keluarga yang dapat diberikan adalah :
1) Dukungan Emosional
Dukungan emosional adalah dukungan yang diberikan
keluarga berupa perhatian atau empati. Dukungan emosional
ini dipengaruhi oleh orang lain yang merupakan ekspresi dari
dukungan yang mampu menguatkannya. Komunikasi dan
interaksi antar anggota keluarga diperlukan untuk memahami
situasi anggota keluarga (Friedman, 2014).
2) Dukungan Penghargaan atau Penilaian
Hensarling (2009) menjelaskan bahwa dukungan
penghargaan atau penilaian adalah dukungan yang diberikan
keluarga dalam bentuk apresiasi positif terhadap anggota
keluarga sehingga anggota keluarga merasa dihargai.
Dukungan penghargaan ini sebagai bentuk penerimaan dan
penghargaan terhadap keberadaan seseorang dalam segala
kekurangan serta kelebihan yang dimiliki (Yusra, 2011).
17

3) Dukungan Instrumental
Dukungan instrumental adalah dukungan yang praktis dan
konkrit. Dukungan instrumental ini sebagai fungsi kesehatan
keluarga dan fungsi ekonomi keluarga terhadap anggota
keluarga yang mengalami sakit. Keluarga memberikan
dukungan instrumental berupa suatu benda yang nyata
terhadap ketergantungan keluarga seperti memberikan uang
untuk pengobatan anggota keluarga yang sakit (Friedman,
2014). Menurut Bomar (2004) bahwa keluarga juga
memberikan dukungan instumental ini secara penuh dalam
bentuk memberikan tenaga, dana, maupun menyediakan
waktu untuk melayani dan mendengarkan anggota keluarga
yang sakit dalam menyampaikan perasaannya (Yusra, 2011).
4) Dukungan Informasi
Keluarga dalam dukungan informasi ini adalah keluarga
sebagai kolektor dan penyebar informasi (Friedman, 2014).
Bomar (2004) menjelaskan bahwa dukungan informasi
merupakan dukungan yang diberikan keluarga dalam bentuk
memberikan saran dan informasi-informasi penting yang
dibutuhkan keluarga yang mengalami sakit dalam upaya
meningkatkan status kesehatannya (Yusra, 2011).
f. Faktor yang Memengaruhi Dukungan Keluarga
Menurut Purnama (2008) dalam Chusmeywati (2016) faktor-
faktor yang memengaruhi dukungan keluarga adalah :
1) Faktor Internal
a) Tahap Perkembangan
Dukungan dapat ditemukan oleh faktor usia yaitu
pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap
rentan usia (bayi-lansia) memiliki pemahaman dan respon
terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda.
18

b) Pendidikan atau Tingkat Pengetahuan


Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan
terbentuk oleh intelektual yang terdiri dari pengetahuan,
latar belakang pendidikan, dan pengalaman masa lalu.
Kemampuan kognitif akan membentuk cara berpikir
seseorang termasuk kemampuan untuk memahami faktor-
faktor yang berhubungan dengan penyakit dan
menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk
menjaga kesehatan dirinya.
c) Faktor Emosi
Faktor emosi juga memengaruhi keyakinan terhadap
adanya dukungan dan cara melaksanakannya. Seseorang
yang mengalami respon stres dalam setiap perubahan
hidupnya cenderung berespon terhadap rasa sakit, seperti
dengan cara menghawatirkan bahwa penyakit tersebut
dapat mengancam kehidupannya. Seseorang yang secara
umum terlihat sangat tenang mempunyai respon emosional
yang kecil selama dirinya sakit. Seorang individu yang
tidak dapat melakukan koping secara emosional terhadap
ancaman penyakit akan menyangkal adanya gejala penyakit
pada dirinya dan tidak mau menjalani pengobatan.
d) Spiritual
Spiritual ini terlihat dari bagaimana seseorang
menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan
yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman,
dan kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.
2) Faktor Eksternal
a) Praktik di Keluarga
Cara keluarga memberikan dukungan biasanya
memengaruhi anggota keluarga yang sakit dalam
melaksanankan kesehatannya, seperti anggota keluarga
19

yang sakit akan melakukan pencegahan jika keluarganya


melakukan hal yang sama.
b) Faktor Sosioekonomi
Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan
risiko terjadinya penyakit dan memengaruhi cara seseorang
mendefinisikan dan beraski terhadap penyakitnya. Variabel
psikososial mencakup stabilitas perkawinan, gaya hidup,
dan lingkungan kerja. Seseorang biasanya akan mencari
dukungan dan persetujuan dari kelompok sosialnya, hal ini
akan memengaruhi keyakinan kesehatan dan cara
pelaksanaanya.
Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya
akan lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang
dirasakan. Sehingga, dirinya akan segera mencari
pertolongan ketika merasa ada gangguan pada
kesehatannya.
c) Latar Belakang Budaya
Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan,
nilai dan kebiasaan individu dalam memberikan dukungan
termasuk cara pelaksanaan kesehatan pribadi.
2. Konsep Diri
Teori adaptasi Roy menjelaskan individu adalah mahluk
biopsikososial sebagai kesatuan yang utuh. Setiap individu selalu
menggunakan koping yang bersifat positif maupun negatif. Individu juga
selalu berada dalam rentang sehat – sakit, yang berhubungan erat dengan
keefektifan koping yang dilakukan untuk memelihara kemampuan adaptasi
(Murwani, 2014).
Roy menjelaskan lebih lanjut bahwa mekanisme koping individu
akan berdampak pada salah satunya adalah konsep diri yang akan terlihat
dari respon individu terhadap perubahan status kesehatannya. Respon ini
dapat terjadi dapat pula tidak, hal ini bergantung dari setiap individu dalam
20

menghadapi masalah atau menerapkan mekansime koping (Murwani,


2014).
Penerimaan diri terhadap perubahan yang terjadi juga merupakan
salah satu dari adaptasi konsep diri, apabila kemampuan seseorang dalam
manajemen diri berjalan dengan baik maka segala sesuatu yang dihadapi
pun akan berjalan dengan baik sesuai dengan rencana yang telah dibuat.
Apabila seseorang yang terkena penyakit diabetes melitus ini berusaha
menganggap penyakit diabetes melitus sebagai suatu tantangan dan
berpandangan positif terhadap hal ini maka tidak akan terjadi perubahan
psikologis (Cabral, 2016).
Respon-respon psikologis dari penderita diabetes melitus ini
diantaranya :
a. Penolakan
Reaksi pertama penderita diabetes melitus akan menolak fakta dengan
tidak percaya dan shock bahwa dirinya mengalami sakit diabetes
melitus (Joeliantina, 2016).
b. Cemas
Penderita diabetes terutama saat awal terdiagnosa, akan mengalami
kecemasan sebagai kebingungan yang kemudian dicirikan dengan
perasaan tidak yakin, putus asa, perasaan tertekan, bimbang, dan
gugup (Novitasari, 2012)
c. Stres
Selama menderita penyakit kronis, penderita diabetes berisiko
terhadap harga diri rendah karena mereka merasa kehilangan kontrol.
Semakin tinggi stres yang dialami oleh penderita diabetes melitus
maka penderita diabetes melitus mempersepsikan hal yang negatif
tentang dirinya (Umar, 2017).
21

a. Pengertian Konsep Diri


Konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh,
menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual (Sunaryo,
2013).
Konsep diri adalah semua nilai-nilai, keyakinan, dan ide-ide yang
berkontribusi terhadap pengetahuan diri dan memengaruhi hubungan
seseorang dengan orang lain, termasuk persepsi seseorang tentang
karakteristik dan kemampuan pribadi serta tujuan dan cita-cita
seseorang (Stuart dan Sundeen, 2016).
Konsep diri adalah konseptualitas individu terhadap dirinya
sendiri. Ini merupakan perasaan subjektif individu dan kombinasi yang
kompleks dari pemikiran yang disadari atau tidak disadari, sikap, dan
persepsi (Potter dan Perry, 2010).
b. Komponen Konsep Diri
1) Citra Tubuh
Citra tubuh adalah semua dari sikap sadar dan bawah sadar
seseorang terhadap tubuh sendiri. Hal ini termasuk persepsi
sekarang dan masa lalu serta perasaan tentang ukuran, fungsi,
bentuk atau penampilan, dan potensi. Citra tubuh terus berubah
saat persepsi dan pengalaman baru terjadi dalam kehidupan.
Ekstensi tubuh menjadi sangat penting dalam mengembangkan
citra tubuh seseorang (Stuart dan Sundeen, 2016).
Citra tubuh, penampilan, dan konsep diri yang positif
berkaitan satu sama lain. Seseorang merasa lebih aman dan bebas
dari ansietas apabila ia menerima dan menyukai tubuhnya sendiri.
Seseorang yang menerima tubuhnya lebih mungkin memiliki harga
diri yang tinggi daripada orang yang tidak suka tubuhnya (Stuart
dan Sundeen, 2016).
Citra tubuh merupakan gambaran mental dari tubuh
seseorang dan tidak selalu sesuai dengan struktur atau penampilan
tubuh seseorang yang sebenarnya. Citra tubuh meliputi perilaku
yang berkaitan dengan tubuh, termasuk penampilan, struktur atau
22

fungsi fisik. Rasa terhadap citra tubuh termasuk semua yang


berkaitan dengan seksualitas, feminitas dan maskulinitas,
berpenampilan muda, kesehatan dan kekuatan. Individu sering
membesar-besarkan ganggguan pada citra tubuh ketika adanya
suatu perubahan dalam citra tubuh. Cara pandang orang lain
terhadap tubuh seseorang dan umpan balik yang ditawarkan juga
berpengaruh (Potter dan Perry, 2010).
2) Ideal Diri
Ideal diri adalah persepsi seseorang tentang bagaimana
berperilaku berdasarkan standar pribadi tertentu. Standar ini
menggambarkan tipe seseorang yang diinginkan atau aspirasi,
tujuan, atau nilai-nilai yang ingin dicapai. Ideal diri menimbulkan
harapan diri berdasarkan norma-norma masyarakat, yang
dicobanya untuk menyesuaikan diri (Stuart dan Sundeen, 2016).
Ideal diri penting dalam menjaga kesehatan dan
keseimbangan jiwa. Ideal diri tidak harus terlalu tinggi dan
menuntut atau tidak jelas dan samar, namun harus cukup tinggi dan
cukup jelas untuk memberikan dukungan terus menerus terhadap
harga diri seseorang (Stuart dan Sundeen, 2016).
3) Harga Diri
Harga diri adalah perasaan individu secara keseluruhan
tentang harga diri atau pernyataan emosional dari konsep diri.
Harga diri bersifat positif saat seseorang merasa mampu, berguna,
dan kompeten (Perry dan Potter, 2010).
Harga diri adalah penilaian harga diri pribadi seseorang,
berdasarkan seberapa baik perilakunya cocok dengan ideal diri.
Seberapa sering seseorang mencapai tujuan secara langsung
memengaruhi perasaan kompeten (harga diri tinggi) atau rendah
diri (harga diri rendah). Harga diri tinggi adalah perasaan
penerimaan diri, tanpa syarat, meskipun salah, kalah dan gagal,
sebagai pembawaan yang berharga dan penting. Harga diri
23

melibatkan penerimaan tanggung jawab penuh untuk kehidupan


sendiri (Stuart dan Sundeen, 2016).
Masalah harga diri rendah muncul saat seseorang memiliki
masalah kesehatan yang terlepas dari jenis atau tingkat
keparahannya. Harga diri yang tinggi telah dikaitkan dengan
ansietas yang rendah, fungsi kelompok yang efektif, dan
penerimaan serta toleransi dari orang lain. Harga diri tinggi
dihasilkan dari peran yang memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan
ideal diri seseorang. Setelah harga diri dicapai, orang bebas untuk
berkonsentrasi pada pencapaian potensial (Stuart dan Sundeen,
2016).
4) Penampilan Peran
Peran adalah sekumpulan pola perilaku yang diharapkan
secara sosial berhubungan dengan fungsi seseorang dalam
kelompok sosial yang berbeda. Perilaku peran berkaitan erat
dengan konsep diri dan identitas, dan gangguan peran yang sering
melibatkan konflik antara fungsi independen dan dependen (Stuart
dan Sundeen, 2016).
Penampilan peran merupakan cara individu melakukan
peran yang berarti. Peran yang dimaksud mencakup peran sebagai
orang tua, pengawas, dan teman dekat. Peran yang diikuti individu
dalam berbagai situasi mencakup sosialisasi terhadap harapan atau
standar perilaku (Perry dan Potter, 2010).
5) Identitas Diri
Identitas diri merupakan suatu perasaan internal akan
individualitas, menyeluruh dan konsistensi seseorang pada waktu
dan situasi yang berbeda (Perry dan Potter, 2010).
Identitas diri adalah kesadaran diri yang didasarkan pada
observasi dan penilaian diri. Hal ini tidak terkait dengan satu
prestasi, aktivitas, karakteristik, atau peran (Stuart dan Sundeen,
2016).
24

Orang dengan rasa identitas yang kuat merasa menyatu dan


tidak menyebar. Ketika seseorang bertindak sesuai dengan konsep
diri, rasa identitas diri diperkuat. Ketika seseorang bertindak
dengan cara yang bertentangan dengan konsep diri menghasilkan
ansietas dan ketakutan. Orang dengan rasa identitas positif melihat
dirinya sebagai individu yang unik dan berharga (Stuart dan
Sundeen, 2016).
Identitas seseorang dinyatakan dalam hubungan dengan
orang lain. Bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain
merupakan pusat karakteristik dari kepribadian. Pusat karakteristik
kepribadian menyajikan paradoks dalam diri setiap orang bahwa
dirinya merupakan bagian dari kemanusiaan namun setiap orang
juga terpisah dari semua orang lain (Stuart dan Sundeen, 2016).
Mencapai identitas pribadi merupakan prasyarat untuk
membangun hubungan yang intim dengan orang lain. Seseorang
dapat terlibat dalam satu hubungan yang benar-benar matang dan
sukses dengan orang lain yang berarti, hanya setelah identitas yang
stabil telah terbukti dirasakan (Stuart dan Sundeen, 2016).
c. Faktor yang Memengaruhi Konsep Diri
Menurut Kozier (2007) faktor-faktor yang memengaruhi konsep
diri adalah :
1) Perkembangan
Sebagai individu yang berkembang, kondisi dapat
mengubah konsep diri. Seperti seorang bayi yang membutuhkan
lingkungan yang mendukung dan penuh kasih sayang, seorang
anak membutuhkan kebebasan untuk menjelajah dan belajar,
konsep diri lansia yang didapatkan berdasarkan pengalaman
kehidupannya.
2) Keluarga dan Budaya
Nilai yang dianut oleh anak dipengaruhi oleh keluarga dan
budaya. Teman sebaya memengaruhi anak sehingga memengaruhi
rasa dirinya. Ketika anak berkonfrontasi dengan membedakan
25

harapan keluarga, budaya, dan teman sebaya, rasa diri pada anak
sering terlihat membingungkan.
3) Stresor
Stresor dapat memperkuat konsep diri saat individu berhasil
menghadapi masalah. Di samping itu, stresor yang berlebihan juga
dapat menyebabkan respon yang maladaptif termasuk
penyalahgunaan zat, menarik diri, dan ansietas. Kemampuan
individu untuk menangani stresor sangat bergantung pada sumber
daya personal.
4) Sumber Daya
Individu memiliki sumber daya internal dan eksternal.
Sumber daya internal seperti percaya diri dan nilai diri, sedangkan
sumber daya eksternal seperti dukungan, pendanaan, dan
organisasi. Secara umum, semakin besar jumlah sumber daya yang
dimiliki dan digunakan individu, pengaruhnya pada konsep diri
semakin positif.
5) Riwayat Keberhasilan dan Kegagalan
Seseorang yang pernah mengalami kegagalan menganggap
diri mereka sebagai orang yang gagal, sementara seseorang yang
mengalami keberhasilan akan memiliki konsep diri yang lebih
positif. Seseorang dengan konsep diri postif cenderung
menemukan kepuasan hati dalam keberhasilannya sedangkan
seseorang yang memiliki konsep diri negatif dapat memengaruhi
pandangan situasi kehidupan yang negatif.
6) Penyakit
Penyakit dan trauma dapat memberikan efek pada konsep
diri. Orang merespon stres seperti pada penyakit dan perubahan
fungsi yang berhubungan dengan berbagai macam menuju
penuaan. Penerimaan, penyangkalan, penarikan diri, dan depresi
merupakan reaksi yang umum. Terkadang sulit untuk menentukan
arah hubungan antara konsep diri dan kesehatan. Dengan demikian,
konsep diri dan perilaku kesehatan merupakan hal yang berkaitan.
26

7) Significant Other
Konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan
orang lain, belajar diri sendiri melalui pandangan diri dengan
interpretasi diri. Misalnya anak sangat dipengaruhi oleh orang yang
dekat, remaja dipengaruhi oleh orang yang dekat dengan dirinya,
pengaruh orang dekat ayau orang penting sepanjang siklus hidup,
pengaruh budaya dan sosialisasi. Significant Other ini berarti
orang-orang yang memiliki arti penting pada diri individu (Stuart
dan Sundeen, 2016).
Sedangkan yang dimaksud orang lain menurut Calhoun dan
Acocella (1990, dalam Manik, 2007) adalah :
a) Orang tua
Orang tua sebagai keluarga adalah kontak sosial yang paling
awal yang dialami oleh seseorang dan yang paling kuat.
Informasi yang diberikan oleh orang lain dan berlangsung
hingga dewasa
b) Kawan sebaya
Kawan sebaya menempati posisi kedua setelah orangtua dalam
memengaruhi konsep diri. Peran yang diukur dalam kelompok
sebaya sangat berpengaruh terhadap pandangan individu
mengenai jati dirinya
c) Masyarakat
Masyarakat sangat mementingkan fakta-fakta yang ada pada
anak, seperti siapa bapaknya, ras, dan lain-lain sehingga hal ini
berpengaruh terhadap konsep diri individu.
27

d. Rentang Respon Konsep Diri


Menurut Stuart dan Sundeen (2016) bahwa respon konsep diri
sepanjang rentang sehat-sakit berkisar dari status aktualisasi diri yang
paling adaptif sampai disosiasi serta depersonalisasi yang lebih
maladaptif.

Gambar 2.1 Rentang Respons Konsep Diri


Sumber : Stuart dan Sundeen (2016)
1. Aktualisasi Diri
Kenyataan diri tentang penerimaan konsep diri positif
dengan latar belakang pengalaman yang nyata dan sukses yang
diterima (Stuart dan Sundeen, 2016).
2. Konsep Diri Positif
Konsep diri positif dihasilkan dari pengalaman positif
yang mengarah ke kompetensi yang dirasakan dan diteima oleh
orang lain yang berbeda dari diri sendiri sedangkan konsep diri
negatif berhubungan dengan penyesuaian pribadi dan sosial
yang buruk. (Stuart dan Sundeen, 2016).
3. Harga Diri Rendah
Harga diri rendah adalah keadaan yang melibatkan
evaluasi diri yang negatif dan berhuungan dengan perasaan
yang lemah, tak berdaya, putus asa, ketakutan, rentan, dan tidak
berharga (Stuart dan Sundeen, 2016).
28

4. Difusi Identitas
Difusi identitas adalah kegagalan untuk
mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-kanak
menjadi kesatuan identitas dewasa (Stuart dan Sundeen, 2016).
5. Disosiasi dan Depersonalisasi
Individu dapat mengalami disosiasi, yaitu keadaan
dekompensasi jiwa yang akut di mana pikiran, emosi, sensasi,
atau kenangan tertentu terkotak karena terlalu berlebihan
mengintegrasikan pikiran sadar. Bentuk disosiasi berat terjadi
pemutusan dalam fungsi integrasi kesadaran yang biasa,
memori, identitas atau persepsi. Depersonalisasi adalah
pengalaman subjektif dari sebagian atau keseluruhan gangguan
ego dan disintegrasi serta disorganisasi konsep diri seseorang.
(Stuart dan Sundeen, 2016).
e. Kualitas Kepribadian yang Sehat
Kepribadian seseorang yang sehat memiliki karakteristik dan
mampu memahami diri dan dunia secara akurat sehingga menciptakan
rasa keharmonisan dan kedamaian batin (Stuart dan Sundeen, 2016) :
1. Citra Tubuh Positif dan Tepat
Sebuah kesadaran tubuh yang sehat didasarkan pada
observasi diri dan kepedulian yang sesuai untuk kesehjateraan fisik
seseorang.
2. Ideal Diri Realistik
Seseorang dengan ideal diri yang ralistik memiliki tujuan
hidup yang dapat dicapai, berharga dan layak diperjuangkan.
3. Konsep Diri Positif
Konsep diri positif menunjukkan bahwa orang mengharapkan
menjadi sukses dalam hidup. Konsep diri positif mencakup
penerimaan aspek negatif dari diri sebagai bagian dari kepribadian
seseorang. Orang seperti itu menghadapi hidup secara terbuka dan
realistis.
29

4. Harga Diri Tinggi


Seseorang dengan harga diri tinggi merasa layak dihormati
dan bermartabat, percaya pada mereka sendiri, dan pendekatan
kehidupan dengan asertif dan semangat. Seseorang dengan
berkepribadian yang sehat merasa sangat mirip dengan orang yang
menjadi idola mereka.
5. Penampilan Peran yang Memuaskan
Seseorang yang sehat dapat berhubungan dengan orang lain
secara intim, menerima kepuasan dari peran sosial dan pribadi,
mempercayai orang lain, dan terlibat ke dalam hubungan timbal
balik dan saling tergantung.
6. Rasa Identitas Jelas
Seseorang dengan rasa identitas yang jelas mengalami
kesatuan kepribadian dan menganggap dirinya sebagai orang yang
unik. Perasaan akan identitas diri memberikan arah dan tujuan
hidup.
f. Pengaruh Keluarga pada Perkembangan Konsep Diri
Keluarga berperan dalam menciptakan dan memelihara konsep
diri setiap anggotanya. Anak-anak membangun perasaan dasar tentang
siapa mereka dari asuhan keluarga. Seseorang anak juga membangun
norma-norma yang diperbolehkan untuk berpikir, merasakan, dan
berperilaku dari anggotanya. Dukungan dan monitor orang tua yang
tinggi akan menciptakan harga diri yang tinggi dan perilaku risiko yang
rendah (Potter dan Perry, 2010).
g. Jenis-Jenis Konsep Diri
Konsep diri menurut Calhoun & Acocella (1990) dalam
Simamora (2017) perkembangannya konsep diri terbagi dua, yaitu
konsep diri positif dan konsep diri negatif.
1. Konsep Diri Positif
Konsep diri positif menunjukkan adanya penerimaan diri dimana
individu dengan konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik
sekali. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi.
30

Individu yang memiliki konsep diri positif dapat memahami dan


menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang
dirinya sendiri sehingga evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi
positif dan dapat menerima dirinya apa adanya. Individu yang
memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yang
sesuai dengan realita, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan
besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan di
depannya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses
penemuan.
2. Konsep Diri Negatif
Calhoun & Acocella (1990) membagi konsep diri negatif menjadi
dua tipe, yaitu:
a) Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak
teratur, tidak memiliki perasaan, kestabilan dan keutuhan diri.
Individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan
dan kelemahannya atau yang dihargai dalam kehidupannya.
b) Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal
ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat
keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan
adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam
pikirannya merupakan cara hidup yang tepat.

C. Diabetes Melitus
1. Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronis yang kompleks dan
membutuhkan perawatan medis secara berkelanjutan dengan strategi
pengurangan risiko multifaktorial di luar kontrol glikemik, serta perlu
suatu edukasi manajemen diri dan dukungan secara terus menerus untuk
untuk mencegah suatu komplikasi akut dan mengurangi risiko komplikasi
jangka panjang (American Diabetes Assosiation [ADA], 2017).
31

Diabetes melitus adalah penyakit kronis progresif yang ditandai


dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein, mengarah ke hiperglikemia (Black dan
Hawks, 2014).
2. Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut ADA (2017) diabetes melitus dapat diklasifikasikan ke
dalam kategori umum yaitu :
a. Diabetes Tipe 1
Diabetes tipe 1 yaitu adanya kerusakan pada sel beta autoimun
yang biasanya dapat menyebabkan kekurangan insulin sehingga
penderita diabetes tipe 1 sangat bergantung pada insulin.
b. Diabetes Tipe 2
Diabetes tipe 2 (diabetes dependen noninsulin) terjadi
dikarenakan hilangnya sekresi insulin sel-b secara progresif sehingga
sering terjadi resistensi insulin perifer. DM tipe 2 ini berkontribusi 90-
95% dari semua diabetes. Penderita diabetes melitus tipe 2 tidak
bergantung pada insulin. Penderita diabetes tipe 2 berhubungan dengan
kelebihan berat badan atau obesitas karena kelebihan berat badan dapat
menyebabkan peningkatan resistensi insulin. Diabetes tipe 2 sering
terjadi tidak terdiagnosis diawal karena hiperglikemia berkembang
secara bertahap dan pada tahap awal, seringkali penderita merasa
gejala klasik diabetes sehingga penderita. Penderita diabetes tipe 2
mungkin kadar insulin yang muncul adalah normal atau tinggi, kadar
glukosa darah tinggi akan menghasilkan insulin yang lebih tinggi dan
memiliki nilai fungsi sel beta sudah pada kategori normal. sehingga,
sekresi insulin pada penderita diabetes tipe 2 tidak dapat mencukupi
untuk mengimbangi resistensi insulin.
c. Gestational Diabetes Melitus (GDM)
GDM terdeteksi pada kedua atau ketiga trimester kehamilan
yang sebelum kehamilan bisa tidak memiliki atau memiliki riwayat
diabetes tipe 1 atau diabetes tipe 2. Pada kunjungan prenatal awal
wanita hamil, menggunakan kriteria diagnostik standar. Wanita
32

didiagnosis menderita diabetes di trimester pertama harus


diklasifikasikan sebagai diabetes pregestasional (diabetes tipe 2 atau
diabetes tipe 1).
d. Jenis Diabetes Tertentu Karena Penyebab Lain
DM tipe ini disebabkan oleh suatu penyakit sindrom diabetes
monogenik seperti diabetes neonatal dan diabetes onset pada kaum
muda, penyakit pankreas eksokrin (seperti cystic fibrosis), dan obat-
obatan misalnya diabetes yang disebabkan bahan kimia (seperti
penggunaan glukokortikoid, dalam pengobatan), HIV atau AIDS, dan
setelah transplantasi organ.
3. Manifestasi Klinis
Menurut Black dan Hawks (2014) manifestasi klinis atau tanda
dan gejala dari diabetes melitus adalah :
a. Poliuria
Poliuria adalah peningkatan frekuensi buang air kecil karena air tidak
diserap kembali oleh tubulus ginjal sekunder untuk aktivitas osmotik
glukosa, mengarah kepada kehilangan air, glukosa, dan elektrolit.
b. Polidipsi
Polidipsi adalah peningkatan rasa haus dan minum, karena dehidrasi
sekunder terhadap poliuria yang menyebabkan haus.
c. Polipagi
Polipagi adalah peningkatan makan karena kelaparan sekunder
terhadap katabolisme jaringan menyebabkan rasa lapar.
d. Pandangan Kabur Berulang
Pandangan kabur berulang ini karena sekunder terhadap paparan
kronis retina dan lensa mata terhadap cairan hiperosmolar.
e. Ketonuria
Ketonuria ini karena glukosa tidak dapat digunakan untuk energi oleh
sel tergantung insulin, asam lemak digunakan untuk energi, asam
lemak dipecah menjadi keton dalam darah dan dieksresikan oleh
ginjal. Pada DM tipe 2, insulin cukup untuk menekan berlebihan
33

penggunaan asam lemak namun tidak cukup untuk penggunaan


glukosa.
f. Lemah, Letih dan Pusing
Hal ini terjadi karena penurunan isi plasma mengarah kepada postural
hipertensi, kehilangan kalium dan katabolisme protein berkontribusi
terhadap kelemahan.
4. Patofisiologi Diabetes Melitus
a. Diabetes Melitus Tipe 1
DM tipe 1 tidak berkembang pada semua orang yang
mempunyai predisposisi genetik. Pada mereka yang memiliki indikasi
risiko penanda gen (DR3 dan DR4 HLA), DM terjadi kurang dari 1%.
Lingkungan yang telah lama dicurigai sebagai pemicu DM tipe 1.
Autoimun aktif langsung menyerang sel beta pankreas dan produknya.
ICA dan antibodi insulin secara progresif menurunkan keefektifan
kadar sirkulasi insulin. (Black dan Hawks, 2014)
Hal ini secara pelan-pelan terus menyerang sel beta dan
molekul insulin endogen sehingga menimbulkan onset mendadak DM.
Hiperglikemia dapat timbul akibat dari penyakit akut atau stres, di
mana meningkatkan kebutuhan insulin melebihi cadangan dari
kerusakan massa sel beta, ketika penyakit akut atau stres terobati, klien
dapat kembali pada status terkompensasi dengan durasi yang berbeda-
beda di mana pankreas kembali mengatur produksi sejumlah insulin
secara adekuat. Status kompensasi ini, disebut sebagai periode
honeymoon secara khas bertahan untuk 3-12 bulan. Proses berakhir
ketika massa sel beta yang kurang tidak dapat memproduksi cukup
insulin untuk meneruskan kehidupan. Klien jadi bergantung pada
pemberian insulin eksogen (diproduksi di luar tubuh) untuk bertahan
hidup (Black dan Hawks, 2014)
Sel-sel yang memerlukan insulin sebagai pembawa glukosa
hanya dapat mengambil kira-kira 25% dari glukosa yang sel-sel
perlukan untuk bahan bakar. Jaringan saraf, eritrosit, serta sel-sel
saluran pencernaan, hati, dan tubulus ginjal tidak memerlukan insulin
34

transport glukosa. Namun demikian, jaringan lemak, sepanjang otot


jantung dan tulang memerlukan insulin untuk transpor glukosa. Tanpa
jumlah insulin yang adekuat, banyak dari glukosa yang dimakan tidak
dapat digunakan. (Black dan Hawks, 2014)
Dengan jumlah insulin yang tidak adekuat, kadar glukosa
darah meningkat. Peningkatan ini berlanjut karena hati tidak dapat
menyimpan glukosa sebagai glikogen tanpa kadar insulin yang cukup.
Di dalam upaya mengembalikan keseimbangan dan mengembalikan
kadar glukosa darah menjadi normal, ginjal mengeluarkan glukosa
berlebihan. Glukosa muncul dalam urine (glukosuria). Glukosa
dikeluarkan dalam urine bertindak sebagai diuresis osmotik dan
menyebabkan pengeluaran jumlah air meningkat, mengakibatkan
defisit volume cairan (Black dan Hawks, 2014)
Kekurangan insulin mengarah kepada pemborosan protein.
Pada orang sehat, protein akan dipecah dan dibangun ulang. Pada
orang DM tipe 1, tanpa insulin untuk menstimulasika sintesis protein,
keseimbangan berubah, mengarah pada peningkatan katabolisme
(pembongkaran). Asam amino diubah menjadi glukosa di dalam hati,
sehingga meningkatkan kaar glukosa. Jika kondisi ini tidak diobati,
klien dengan DM tipe I tampak kurus. Proses patofisiologis DM
berlanjut, mengarah ke komplikasi akut dan kronis (Black dan Hawks,
2014)
Pada DM tipe 1 akan mengalami peningkatan mobilisasi
lemak. Tubuh mengubah simpanan lemak untuk produksi energi ketika
glukosa tidak tersedia. Metabolisme lemak menyebabkan pemecahan
produk yang disebut keton. Keton terakumulasi dalam darah dan
dikeluarkan melalui ginjal dan paru-paru. Kadar keton dapat diukur di
dalam darah dan urin, kadar tinggi mengindikasikan tidak
terkontrolnya DM (Black dan Hawks, 2014)
Keton menggangu keseimbangan asam basa tubuh dengan
menghasilkan ion hindrogen. Selain itu, ketika keton diekskresikan,
natrium juga keluar, mengakibatkan kehabisan natrium serta asidosis.
35

Pengeluaran keton juga meningkatkan tekanan osmotik, mengarah


pada peningkatan kehilangan cairan. Juga, ketika lemak merupakan
sumber primer energi, kadar lemak tubuh dapat meningkat menjadi
lima kali normal, mengarah pada peningkatan aterosklerosis (Black
dan Hawks, 2014)
b. Diabetes Melitus Tipe 2
Patogenesis DM tipe 2 berbeda signifikan dari DM tipe 1.
Respon terbatas pada sel beta terhadap hiperglikemia tampak menjadi
faktor mayor dalam perkembangannya. Sel beta terpapar secara kronis
terhadap kadar glukosa darah tinggi menjadi secara progresif kurang
efiseien ketika merespon peningkatan glukosa lebih lanjut. Fenomena
ini dinamai desensitasi, dapat kembali dengan menormalkan kadar
glukosa. Rasio proinsulin (prekusor insulin) terhadap insulin tersekresi
juga meningkat (Black dan Hawks, 2014)
Proses patofisiologi kedua dalam DM tipe 2 adalah resistensi
terhadap aktivitas insulin biologis, baik di hati maupun jaringan
perifer. Keadaan ini disebut resistensi insulin. Orang dengan DM tipe 2
memiliki penurunan sensitivitas insulin terhadap kadar glukosa darah
tinggi. Hal ini bersamaan dengan ketidakmampuan otot dan jaringan
lemak untuk meningkatkan pengambilan glukosa. Mekanisme
penyebab resistensi insulin perifer tidak jelas, namun ini tampak terjadi
setelah insulin berikatan dengan terhadap reseptor pada permukaan sel.
(Black dan Hawks, 2014).
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Pada toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat.
Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadi diabetes tipe 2 (Black dan Hawks, 2014)
36

Diabetes tipe 2 paling sering terjadi pada penderita diabetes


yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat dari toleransi
glukosa yang berlangsung lambat dan progresif, maka awal mula
diabetes tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami
oleh pasien, gejala tersebut bersifat ringan dan dapat mencakup
kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama
sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur jika kadar
glukosanya sangat tinggi (Burner dan Sudarth, 2010)
c. Gestational Diabetes Melitus (GDM)
Terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes sebelum
kehamilannya. Hipeglikemia terjadi selama kehamilan akibat sekersi
hormon-hormon plasenta. Semua wanita hamil harus menjalakan
skrining pada usia kehamilan 24 hingga 27 minggu untuk mendeteksi
kemungkinan diabetes. Sesudah melahirkan bayi, kadar glukosa darah
pada wanita yang menderita diabetes gestasional akan kembali normal.
Walaupun begitu, banyak wanita yang mengalami diabetes gestasional
ternyata di kemudian hari menderita diabetes tipe 2. Oleh karena itu,
semua wanita yang menderita diabetes gestasional harus mendapatkan
konseling guna mempertahankan berat badan idealnya dan melakukan
latihan secara teratur sebagai upaya untuk menghindari terjadinya
diabetes tipe 2. (Burner dan Sudarth, 2010).
5. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Menurut Persatuan Endokrinologi Indonesia (PERKENI, 2015)
menjelaskan bahwa dalam penatalaksanaan diabetes melitus terdapat
penatalaksanaan umum dan khusus yaitu :
a. Langkah Penatalaksanaan Umum
1) Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:
a) Riwayat Penyakit
1.Gejala yang dialami oleh pasien
2.Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa
darah
37

3.Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung


koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk
penyakit DM dan endokrin lain)
4.Riwayat penyakit dan pengobatan
5.Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status
ekonomi.
b) Pemeriksaan Fisik
1.Pengukuran tinggi dan berat badan.
2.Pengukuran tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar
tiroid, paru dan jantung
3.Pemeriksaan kaki secara komprehensif
c) Evaluasi Laboratorium
1.HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada
pasien yang mencapai sasaran terapi dan yang memiliki
kendali glikemik stabil. dan 4 kali dalam 1 tahun pada
pasien dengan perubahan terapi atau yang tidak mencapai
sasaran terapi.
2.Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.
d) Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita
yang baru terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan :
1. Profil lipid dan kreatinin serum
2. Urinalisis dan albumin urin kuantitatif
3. Elektrokardiogram
4. Foto sinar-X dada
5. Funduskopi dilatasi dan pemeriksaan mata secara
komprehensif oleh dokter spesialis mata atau optometris.
6. Pemeriksaan kaki secara komprehensif setiap tahun untuk
mengenali faktor risiko prediksi ulkus dan amputasi:
inspeksi, denyut pembuluh darah kaki, tes monofilame 10
g, dan Ankle Brachial Index (ABI)
38

b. Langkah-langkah penatalaksanaan khusus


Penatalaksanaan DM dimulai dengan pola hidup sehat, dan bila
perlu dilakukan intervensi farmakologis dengan obat antihiperglikemia
secara oral dan/atau suntikan.
1) Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu
dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan
bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik.
2) Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai
pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.
3) Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur
(3-5 hari seminggu selama sekitar 30-45 menit , dengan total 150
menit perminggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari
berturut-turut. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan
jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70%
denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan
cara = 220-usia pasien.
4) Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan
makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis
terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan a) Obat Antihiperglikemia
Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral
dibagi menjadi 5 golongan:
1. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea
dan Glinid
39

2. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan


Tiazolidindion (TZD)
3. Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase
Alfa

4. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)


5. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
b) Obat Antihiperglikemia Suntik
1.Insulin
2.Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
c) Terapi Kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik
secara terpisah ataupun fixed dose combination dalam bentuk
tablet tunggal, harus menggunakan dua macam obat dengan
mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu dapat
terjadi sasaran kadar glukosa darah yang belum tercapai,
sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia
oral dari kelompok yang berbeda atau kombinasi obat
antihiperglikemia oral dengan insulin.
6. Komplikasi Diabetes Melitus
Menurut Black dan Hawks (2014) diabetes melitus dapat
menyebabkan komplikasi akut dan kronis, yaitu :
a. Komplikasi akut
1) Hiperglikemia dan ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia akibat saat glukosa tidak dapat diangkut ke
dalam sel karena kurangnya insulin. Tanpa tersedianya KH untuk
bahan bakar sel, hati mengubah simpanan glikogennya kembali ke
glukosa (glikogenolisis) dan meningkatkan biosintesis glukosa
(glukogeonesis). Namun, respon ini memperlambat situasi dengan
meningkatknya kadar glukosa darah bahkan lebih tinggi.
Pada DM tipe 1, kebutuhan untuk bahan bakar sel
bertambah lebih ktitis, tubuh mulai mengambil simpanan lemak
dan protein untuk energi. Sejumlah besar asam lemak dikerahkan
40

dari sel jaringan adiposa dan diangkut ke hati. Kemudian, hati


mempercepat laju produksi benda keton untuk katabolisme
jaringan tubuh lain, terutama jaringan otot. Seiring
meningkatkannya metabolisme lemak, hati mungkin menghasilkan
terlalu banyak benda keton. Benda keton terakumulasi dalam darah
(ketosis) dan dikeluarkan dalam urine (ketonuria).
Asidosis metabolik berkembang dari pengaruh asam (pH
rendah) akibat keton asetoasetat dan hidroksibutirat-beta. Kondisi
ini disebut ketoasidosis diabetik. Asidosis berat mungkin
menyebabkan klien diabetes kehilangan kesadaran, disebut koma
diabetik. Ketoasidoisis diabetik selalu ditanyakan sebuah
kegawatdaruratan medis dan memerlukan perhatian medis segera.
Ketoasidosis diabetik adalah gangguan metabolik paling serius
pada DM tipe 1 dan sering menyebabkan rawat inap RS.
2) Sindrom Hiperglikemia Hiperosmolar Nonketosis
Sindrom Hiperglikemia Hiperosmolar Nonketosis (HHNS)
adalah varian ketoasidosi diabetik yang ditandai dengan
hiperglikemia eksterem (600-2000mg/dl), dehidrasi nyata,
ketonuria ringan atau tidak terdeteksi, dan tidak ada asidosis.
HHNS umumnya banyak terjadi pada klien lansia dengan DM tipe
II.
Kematian HHNS lebih tinggi dibandingkan dengan
ketoasidosis diabetik (10-40%), secara primer karena tipikal klien
lansia dan umumnya memiliki masalah medis yang signifikan.
HHNS kadang terjadi pada orang tidak terdiagnosis DM an paa
klien iketahui DM setelah periode panjang hiperglikemia tidak
terkontrol. Faktor yang mempercepat HHNS mungkin sama seperti
ketoasidosis diabetik. Selalu hampir ada faktor-faktor yang
mempercepat yang dapat diidentifikasi. Perbedaan utama antara
HHNS dan ketoasidosis diabetik adalah sedikitnya ketonuria paa
HHNS. Oleh karena beberapa kemampuan sisa untuk
menyekkresikan insulin tetap pada DM tipe II, mobilisasi lemak
41

untuk energi tidak terjadi. Di dalam tiak adanya insulin adekuat,


darah menjadi terbebani oleh glukosa. Milekul glukosa terlalu
besar untuk lolos masuk ke dalam sel, sehingga osmosis air terjadi
dari ruang intersisial dan sel untuk mencairkan glukosa dalam
darah. Diuresis osmotik terjadi. Akhirnya, sel menjadi dehidrasi.
Asupan cairan dapat menyeimbangkan cairan dan glukosa
yang keluar melalui urine. ketidakseimbangan secara bertahap
menjadi lebih berat jika asupan dan keluaran klien tidak sesuai.
Sampai akhirnya, penderita tidak lagi mampu merespon haus.
Sehingga pada HHNS akan memiliki ciri-ciri klinis yaitu
hiperglikemia berat (600-2000 mg/dl), tanpa atau hanya ketosis
ringan, ehidrasi nyata (10-15% kehilangan cairan tubuh),
hiperosmololitas (peningkatan konsentrasi) plasma dan
peningkatan kada nitrogen urea darah.
3) Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan sebagai reaksi insulin yang pada
umumnya terjadi pada DM tipe I dan juga dijumpai di dalam klien
dengan DM tipe 2 yang diobati dengan insulin atau oral. Kadar
glukosa darah yang tepat pada klien mempunyai gejala
hipoglikemia bervariasi, tapi gejala itu tidak terjadi sampai kadar
glukosa darah <50-60 mg/dl.
Hipglikemia dapat juga terjadi sekunder terhadap pemberian
agen hipoglikemia oral. Kebanyakan kasus tercatat pada klien yang
menerima klorpropamida berisiko hipoglikemia yang kerjanya 24-
72 jam. Klien berisiko hipoglikemia yang minum obat
hipoglikemik oral adalah berusia 60 tahun, asupan nutrisi jelek,
memakai alkohol, memiliki disfungsi ginjal dan hati, dan rejimen
banyak obat. Reaksi hipoglikemia dapat memperberat dan lama.
42

b. Komplikasi Kronis
1) Penyakit Makrovaskular
a) Penyakit arteri koroner
DM 2-4 kali lebih mungkin dibandingkan klien non
DM untuk meninggal karena penyakit arteri koroner, dan faktor
risiko relatif untuk penyakit jantung pembuluh pada perempuan
dengan DM tipe 2 adalah 3-4 kali lebih besar.
Pasien tidak memperlihatkan tanda-awal penurunan aliran arah
koroner dan dapat mengalami infark miokard asimtomatik
(silent) di mana keluhan sakit aa atau gejala khas lainnya tidak
dialaminya. Infark miokard asimtomatik ini hanya dijumpai
melalui pemeriksaan elektrodiogram. Kurang gejala iskemik ini
disebabkan oleh neuropati otonom. Setelah infark miokard,
penderita DM juga mengalami insiden lebih tinggi gagal
jantung, syok, dan disritmia. Hal ini diyakini bahwa terapi
insulin pada DM tipe 2 secara nyata meningkatkan insiden
penyakit aterosklerosis, karena terapi tersebut sering mengarah
pada penambahan BB dari peningkatan tekanan darah.
b) Penyakit serebrovaskuler
Penyakit serebrovaskuler, terutama infark
aterotromboembolik dimanifestasikan dengan serangan iskemik
transien dan cerebrovaskuler attact (stroke) yang terkait
terhadap perkembangan nefropati diabetik dan akibat
proteinuria, hiperteni, dan perlengkapan trombosit.
c) Hipertensi
Hipertensi adalah faktor risiko mayor untuk stroke dan
nefropati. Hipertensi yang tidak aekuat diobati akan
memperbesar laju perkembangan nefropati.
d) Penyakit pembuluh perifer
Bruit carotis (bunyi abnormal atau murmur), klaudikasio
intermiten, tidak ada denyut kaki, dan gangren iskemik
meningkat. Lebih dari separuh amputasi tungkai bawah
43

nontraumatik berhubungan dengan perubahan diabetik seperti


neuropati sensoris dan motorik, penyakit pembuluh darah
perifer, peningkatan risiko dan laju infeksi, penyembuhan
buruk. Rangkaian kejadian ini yang mungkin mengarah kepada
amputasi.
e) Infeksi
Tiga faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan
infeksi adalah fungsi leukosit polimorfonuklear (PMN)
terganggu, neuropati diabetik, dan ketidak cukupan pembuluh
darah. Kontrol glikemik yang jelek memperbesar faktor-faktor
tersebut. Area terinfeksi secara pelan-pelan karena kerusakan
sistem pembuluh darah tidak mencukup membawa oksigen, sel
darah putih, zat gizi, dan antibodi ke tempat luka. Infeksi
meningkatkan kebutuhan insulin. Infeksi saluran kencing
adalah tipe infeksi paling sering memengaruhi penderita DM.
Satu faktor mungkin dihambat leukosit PMN saat glukosuria
ada. Glukosuria berhubungan dengan hiperglikemia.
Perkembangan kandung kemih neurogenik akibat pengosongan
tiak lengkap dan retensi urine, berkontribusi terhadap risiko
infeksi saluran kencing.Infeksi kaki diabetik secara langsung
terkait tiga faktor diatas dan hiperglikemia. Hampir 40%
penderita DM dengan infeksi kaki memerlukan amputasi, dan
5-10% akan meningal meskipun amputasi di daerah terkena.
2) Komplikasi Mikrovaskular
a) Renopati Diabetik
Renopati diabetik adalah penyebab utama kebutaan
diantara penderita DM. Penyebab pasti renopati tidak dipahami
dengan baik tapi kemungkinan multifaktor dan berhubungan
dengan glikosilasi protein, iskemik, dan mekanisme
hemodnamik. Stress dari penigkatan kekentalan daraj adalah
seuah mekanisme hemodinamik yang meningkatkan
44

permeabilitas dan penurunan elastisitas kapiler. Ada tiga tipe


renopati diabetik :
1. Nonproliferatif retinopati diabetik adalah fase awal
rettinopati. Hal ini dicirikan engan mikroaneurisma dan
hemoragi (titik awal dan noda) inttraretinal.
2. Praproliferatif retinopati diabetik melibatkan perkembangan
lanjut hemoragi dan penurunan ketajaman penglihatan. Hal
ini biasanya berkembang ke proliferatif retinopati diabetik
3. Proliferatif retinopati diabetik adalah akhir dan tipe paling
mengancam penglihatan. Pembuluh darah rusak dan lemah
yang telah proliferatsi, atau membentuk, alam merespons
iskemik mungkin ruptur, menyebabkan hemoragi retina dan
eksudat.
Manifestasi klinis retinopati secara tipikal tidak
berkembang sampai stadium lanjut. Ketika penderita DM
mempunyai masalah penglihatan akut, pandangan kabur
adalah masalh umum akibat dari kelainan, kadar glukosa
darah tinggi. Disamping itu, melihat cahaya kilat
mengindikasikan hemoragi atau pelepasan retina.
b) Nefropati
Sebuah konsekuensi mikroanginopati nefropati melibatkan
kerusakan terhadap dan akhirnya kehilangan kapiler yang
menyuplai glomerulus ginjal. Kerrusakan ini mengarah
gilirannya kepada perubahan dan gejala patologik kompleks
(glomerulosklerosis antar kapiler, neproshis, gross albuminuria,
dan hipertensi).
c) Neuropati
Serabut saraf tidak memiliki suplai arah sendiri, saraf
berganyung pada difusi zat gizi dan oksigen lintas membran.
Ketika akson dan dendrit tidak mendapatkan zat gizi, saraf
menstransmisikan impuls pelan-pelan. Selain itu, akumulasi
sorbitol di jaringan saraf, selanjtnya mengurangi saraf sensoris
45

dan motoris. Kedua masalah neurologis permanen mapun


sementara akan berkembang pada penderita DM selama
perjalanan penyakitnya. Neuropati ringan menyebabkan
ketidaknyamanan mior atau begitu berat yang kualitas hidup
terkena. Penyebab neuropati iabetik yang teridentifikasi
termasuk insufisiensi pembuluh darah, kenaikan kronis, kadar
glukosa darah, hipertensi, merokok. Penderita DM dengan
kadar glukosa darah tinggi sering mengalami nyeri saraf. Nyeri
saraf berbeda dengan tipe nyeri lain seperti nyeri otot. Nyeri
saraf sering dirasakan mati rasa, menusuk, kesemutan, atau
sensasi terbakar yang membuat penderita DM terjaga waktu
malam atau berhenti melakukan pekerjaan tugas harian. Hal ini
sering dirujuk sebagai neuropati perifer diabetik (NPD).
7. Keluarga dalam Perawatan Diabetes Melitus
Keluarga harus memiliki pemahaman dasar tentang diabetes
melitus dan penatalaksanaannya karena diabetes melitus merupakan
gangguan kronis, penderita diabetes melitus perlu adaptasi dan banyak
belajar dari perubahan yang terjadi. Penderita diabetes melitus
seharusnya didorong untuk mengantisipasi kerja harian, sekolah, atau
rumah (Black dan Hawks, 2014).
46

B. Kerangka Teori
Komplikasi diabetes
Penatalaksanaan Diabetes mellitus : Diabetes mellitus :
mellitus :
1. Edukasi 1. Tipe 1
1. Akut
2. Terapi nutrisi medis 2. Tipe 2
2. Kronis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologi

Beradaptasi dengan menerapkan mekansime koping


Keluarga harus memiliki dasar tentang diabetes
dan pelaksanaannya
Dapat beradaptasi Tidak
Dukungan Keluarga :
Fungsi Keluarga : 1. Dukungan emosional Keluarga memiliki peran Perubahan Psikologis
1. Afektif 2. Dukungan penghargaan untuk menciptakan dan
2. Sosialisasi 3. Dukungan instrumental memelihara konsep diri
3. Perawatan kesehatan 4. Dukungan informasi setiap anggota keluarga Reaksi psikologis Diabetes mellitus :
4. Reproduksi
5. Ekonomi 1. Penolakan
2. Cemas
3. Stress
Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga : 4. Perubahan Konsep Diri
a. Faktor Internal : perkembangan, pendidikan dan tingkat Konsep Diri :
pengetahuan Emosi, Spiritual 1. Citra diri
b. Faktor Eksternal : Praktik di Keluarga, Sosial ekonomi , 2. Harga diri
Faktor yang memengaruhi konsep
Latar Belakang Budaya 3. Ideal diri diri : Perkembangan, keluarga dan
4. Penampilan peran budaya, stresor, sumber daya,
5. Identitas diri riwayat keberhasilan, penyakit,
significant other
47

C. Kerangka Konsep Penelitian

Dukungan keluarga Konsep diri


Bentuk dukungan keluarga : Komponen Konsep Diri :
1. Emosional 1. Citra diri
2. Penghargaan atau 2. Ideal diri
penilaian 3. Harga diri
3. Instrumental 4. Penampilan peran
4. Informasi 5. Identitas diri

Faktor yang memengaruhi : Faktor yang memengaruhi :


1. Faktor internal 1. Perkembangan
a. Tahap perkembangan 2. Keluarga dan budaya
b. Pendidikan atau 3. Stressor
tingkat pengetahuan 4. Sumber daya
c. Faktor emosi 5. Riwayat keberhasilan dan
d. Spiritual kegagalan
2. Faktor eksternal : 6. Penyakit
a. Praktik di keluarga
b. Sosioekonomi
c. Latar belakang budaya

Diteliti

Tidak diteliti

Gambar 2.3
Kerangka Konsep Penelitian

D. Hipotesis
1. Ho : tidak ada hubungan antara dukungan keluarga dengan konsep diri
pada pasien diabetes melitus di Poli Penyakit Dalam RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta.
2. Ha : ada hubungan antara dukungan keluarga dengan konsep diri pada
pasien diabetes melitus di Poli Penyakit Dalam RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai