Anda di halaman 1dari 3

Soal Freeport, Kembalilah pada Pancasila dan Trisakti!!!

Pada pertengahan Januari lalu, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP)
No. 1 tahun 2017 mengenai perubahan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2010 tentang pelaksaaan
kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Beberapa poin penting dalam PP tersebut ialah
terkait kewajiban divestasi saham 51%, pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di
dalam negeri, dan perubahan kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

Pemerintah beralasan bahwa dengan adanya divestasi dan pembangunan smelter tersebut dipastikan
akan berdampak secara keekonomian terutama bagi penerimaan negara. Bahkan, dengan saham
mayoritas Pemerintah Indonesia berharap mendapatkan kendali atas kegiatan usaha pertambangan
mineral dan batubara di Indonesia.

Kebijakan tersebut akhirnya mendapat penolakan dari perusahaan tambang asal Amerika Serikat,
Freeport-McMoran Inc, yang sudah beroperasi di Indonesia selama 50 tahun. Freeport beralasan
bahwa di dalam kontrak karya yang ditandatangani pada tahun 1991 mereka hanya berkewajiban
untuk melakukan divestasi saham 30%. Freeport juga tidak bersedia untuk menerima perubahan KK
menjadi IUPK dan membangun smelter karena tidak ada kepastian jangka panjang investasi dan
fiskal perusahaan tersebut.

Bahkan, perwakilan Freeport di Indonesia, PT. Freeport Indonesia (PTFI) mengancam untuk
menggugat Pemerintah Indonesia ke pengadilan arbitrase internasional. PTFI menilai bahwa
pemerintah telah melanggar kontrak dengan menerbitkan PP 1/2017 dan memberikan waktu kepada
pemerintah Indonesia untuk mencapai kesepakatan selama 120 hari (4 bulan).

Freeport juga sebelumnya mengancam pemerintah Indonesia dengan wacana akan memulangkan
(PHK) puluhan ribu karyawan yang sebagian besar merupakan warga negara Indonesia (WNI). Tidak
hanya itu, perusahaan tersebut berulangkali menyampaikan bahwa jika Freeport keluar dari Papua,
maka akan terjadi gejolak sosial di daerah tersebut, yakni konflik antar suku.

Begitu sewenang-wenangnya perusahaan tersebut kepada bangsa Indonesia. Memang, sebelumnya


Freeport berulangkali juga telah menunjukkan ketidaktundukkannya terhadap konstitusi di Indonesia
dan dengan sengaja melanggarnya.

Pelanggaran tersebut diantaranya: tidak segera membangun smelter di dalam negeri sebagaimana
amanat UU minerba; pembagian keuntungan yang tidak adil; kecelakaan yang menewaskan ratusan
pekerja; tidak dihormatinya hak ulayat warga setempat; dan perusakan lingkungan. Parahnya,
pelanggaran dan perilaku sewenang-wenang tersebut sudah berlangsung selama 50 tahun
belakangan.

Freeport dan Praktik Kolonialisme di Indonesia

Keberadaan Freeport dan kontrak karyanya di Indonesia sejatinya tidak terlepas dari dosa besar orde
baru dalam proyek neokolonialisme di Indonesia. Keberhasilan orde baru dalam melakukan
penggulingan terhadap Presiden Soekarno mendapatkan dorongan penuh dari imperialism AS dan
sekutunya. Sebagai imbalannya, pemerintahan orde baru harus merarifikasi peraturan-peraturan
yang disodorkan oleh AS dan lembaga-lembaga dunia yang menjadi kaki tangannya.

Peraturan pertama yang dikeluarkan oleh orde baru pada saat itu ialah UU Penanaman modal asing
(PMA) tahun 1967. UU tersebut merupakan hasil desakan yang dilakukan oleh pejabat AS dan para
investor. Peraturan tersebut adalah bentuk akomodasi masuknya modal asing pertama kali di
Indonesia, kembalinya kolonialisme baru di Indonesia. Setelah UU tersebut disahkan, orde baru
selanjutnya menandatangani kontrak karya dengan PT. Freeport Sulphur untuk mengeruk gunung
tembaga bernama Ertsberg di Papua.

Dalam praktik kolonialismenya di Indonesia, Freeport hanya menjadikan Indonesia sebagai penyedia
bahan baku mineral, tenaga kerja murah, dan tempat penanaman modal asing. Maka dari itu,
ekonomi Indonesia tidak pernah bergeser dari ekstraktivisme, yakni mengekspolitasi kekayaan
sumber daya mineral dengan orientasi ekspor dalam bentuk bahan mentah. Hal itulah yang
menyebabkan ekonomi Indonesia tidak berkembang maju, produktif, dan mandiri.

Bahkan praktik bisnis yang dijalankan oleh Freeport sangat merugikan bagi Indonesia. Keuntungan
yang diberikan Freeport sangatlah kecil bagi Indonesia. Perusahaan tersebut hanya berkontribusi Rp
1 triliun, bahkan jauh sekali dari penerimaan devisa negara dari tenaga kerja Indonesia (TKI) diluar
negeri, terdapat pembagian keuntungan yang tidak adil disini. Selain itu, PTFI juga mengabaikan
kelestarian lingkungan sekitar. Dataran rendah sungai Ajkwa menjadi pembuangan limbah tailing
PTFI sebanyak 300.000 ton per hari. Bahkan, hingga tahun lalu limbah Freeport sudah mencapai
miliyaran ton.

Kembali pada Jalan Pancasila dan Trisakti

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyatakan bahwa pemerintah siap
untuk menghadapi PTFI di pengadilan arbritase internasional dalam tanggapannya terkait ancaman
Freeport. Bahkan Jonan menganggap langkah itu lebih baik daripada selalu menggunakan isu
pemecatan untuk menekan pemerintah Indonesia.

Sebagai langkah awal, keputusan tersebut sudah cukup baik. Dengan begitu, Pemerintah Indonesia
telah meproklamirkan diri menjadi bangsa yang berdaulat, tidak bisa lagi diancam dan ditekan oleh
modal asing. Karena sebenarnya bukti-bukti pelanggaran dan segudang catatan hitam yang dilakukan
oleh Freeport dapat dijadikan landasan oleh pemerintah Indonesia untuk melawan upaya hukum
yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.

Selanjutnya, dengan momentum berakhirnya kontrak Freeport pada tahun 2021 nanti, pemerintah
Indonesia tidak perlu lagi melakukan pembahasan kontrak baru. Dengan berakhirnya kontrak
Freeport, Indonesia dapat memeroleh kepemilikan 100% atas kekayaan tambang tersebut. Dari
situlah momen kedaulatan sepenuhnya bangsa Indonesia dalam pengelolaan tambangnya.
Pemerintah Indonesia juga berkesempatan untuk menghitung kembali aset yang dimiliki dan
melakukan penataan ulang untuk pengelolaan yang berbasis kemandirian dan kesejahteraan. Jika
pun harus melibatkan perusahaan swasta (dengan prioritas perusahaan dalam negeri), skema
pengelolaan yang harus dijadikan prinsip adalah kedaulatan, keadilan, dan keberlanjutan.

Dengan langkah tersebut, pemerintahan telah melaksakan amanat pasal 33 UUD 1945. Negara telah
memulihkan kontrolnya terhadap kekayaan alam yang dimiliki: bumi, air dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya. Negara juga dapat memastikan, bahwa penguasaan, pengelolaan, dan
pemanfataan kekayaan alam tersebut harus mendatangkan kemakmuran sebesar-besarnya bagi
rakyat.

Ke depan, dalam pengelolaan kekayaan tambang, prinsip yang digunakan harus mengabdi pada
demokrasi ekonomi, sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal 33 UUD 1945. Negara mengelola secara
mandiri kekayaan alamnya dengan melibatkan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten),
melibatkan BUMN maupun BUMD, dan pemerintah juga diwajibkan mendorong usaha bersama
rakyat, misalnya koperasi, dalam pengelolaan kekayaan tambang bangsa ini.

Pemerintah juga dapat mendorong pembangunan industri olahan dari bahan mentah menjadi barang
setengah jadi dan barang jadi. Ini bisa dimulai dengan mentransfer sebagian keuntungan dari sektor
ekstraktif ke pembangunan industri olahan berbasis sumber daya alam tambang. Maka dari itu,
pemerintah harus mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang berbasis pengetahuan dan
teknologi mutahir.

Dengan begitu juga komitmen Jokowi-JK untuk meneguhkan kembali jalan ideologis bangsa dapat
terpenuhi, yakni komitmen untuk kembali pada cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, UUD
1945, dan TRISAKTI.

Anda mungkin juga menyukai