Anda di halaman 1dari 6

1

Makalah untuk Diskusi Panel


‘Penguatan Kewaspadaan Nasional dalam rangka
Mempertahankan Keutuhan NKRI’
PPRA LIV Tahun 2016 Lemhannas
Jakarta, 29 April 2016

KEWASPADAAN NASIONAL DAN STABILITAS POLKAM:


Mencermati Sektarianisme-Komunalisme Agama-Sosial dan
Politik

Azyumardi Azra, CBE*

Jika pemirsa mengamati berita atau running texts TV berita di tanahair, ia


bisa sering menemukan berbagai tindakan kekerasan sektarianisme di banyak
negara Timur Tengah dan Asia Selatan (Pakistan dan Afghanistan, khususnya).
Aksi kekerasan itu biasanya mengambil bentuk pemboman rumah ibadah, makam
tokoh agama dan tempat suci lain, pasar dan jalan raya. Aksi sektarianisme hampir
tidak pernah henti; dan bahkan cenderung meningkat setiap akhir pekan—Kamis
sore sampai Sabtu malam, hari libur di Timur Tengah.
Sektarianisme keagamaan-sosial (religio-tribalism) kian meruyak di Timur
Tengah sejak bermulanya transisi ke demokrasi. Seiring dengan kian menguatnya
‘Arab Spring’ yang mula-mula terjadi di Tunisia pada Desember 2010 dan
menyebar ke banyak negara Arab, sektarianisme keagamaan dan komunalisme
sosial-politik juga makin mewarnai pergumulan politik. Meski gelombang

1
2

demokrasi di Dunia Arab telah memasuki tahun ketiga, belum terlihat tanda
menyurutnya sektarianisme-komunalisme agama, sosial dan politik.
Sektarianisme-komunalisme agama dan sosial-politik juga terlihat
meningkat di Indonesia sejak demokrasi liberal diterapkan pada 1999. Khusus
sektarianisme-komunalisme intra dan antar-agama di tanahair, meski masih
sporadis dan isolatif bukan tidak perlu dicermati dan diwaspadai. Karena, kalau
sektarianisme agama-sosial yang berbaur dengan sektarianisme politik dan
komunalisme suku bangsa terus berlanjut dan meningkat pada masa pra- dan
pasca-Pemilu 2014, jelas dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan
nasional.
Menurut Kemendagri (29 Januari 2013), konflik sektarian-komunal di
Indonesia terus cenderung meningkat. Rinciannya, 93 konflik terjadi pada 2010, 77
konflik pada 2011; dan 129 konflik pada 2012. Dalam situasi yang masih eksplosif
itu, potensi konflik bisa dipastikan lebih besar di daerah yang mengandung
berbagai potensi konflik laten lain seperti sengketa lahan, masalah perburuhan,
kemiskinan dan pengangguran.
Dengan konsolidasi demokrasi yang belum juga solid, kelemahan penegakan
hukum, dan penyebaran pemahanan dan praksis agama trans-nasional di tengah
keragaman intra dan antar-agama Indonesia, sangat boleh jadi sektarianisme-
komunalisme agama dan sosial-politik terus bertahan—jika tidak meningkat di
negeri ini. Karena itulah peningkatan kewaspadaan nasional di pusat dan di daerah
menjadi hal sangat urgen sejak sekarang ini.

Sektarianisme Berlapis
Bisa dipastikan, tidak ada negara dan masyarakat yang bebas dari perbedaan
aliran agama, sosial, budaya dan politik, yang memunculkan sektarianisme dan
komunalisme. Masalahnya kemudian, perbedaan-perbedaan itu dapat meningkat

2
3

menjadi sektarianisme yaitu “kebencian intra dan antar-agama atau antar-mazhab,


aliran, denominasi agama; antar kelas sosial; antar kelompok etnis dan budaya; dan
juga di antara faksi-faksi dalam kekuatan dan gerakan politik”.
Sektarianisme-komunalisme dapat muncul dalam berbagai bentuk mulai dari
yang sederhana sekadar pemberian restu (condoning) dari kalangan elit agama dan
politik pada sikap sektarianisme; pembenaran tindakan kekerasan yang berbau
sektarianisme; sampai kepada perilaku dan kebijakan politik yang mengandung
sektarianisme. Sektarianisme agama-sosial dan politik dalam batas tertentu tidak
bisa dihindari—sulit dihindari. Masalahnya kemudian adalah pengendalian
berbagai potensi dan bentuk sektarianisme itu agar tidak menjurus kepada
instabilitas masyarakat dan negara-bangsa, yang pada gilirannya dapat mengancam
keutuhan NKRI.
Dalam perspektif komparatif, sektarianisme-komunalisme yang kini masih
terus bernyala-nyala di Timur Tengah bukan hal baru. Secara sosio-historis
kawasan ini penuh riwayat sektarianisme agama, sosial-budaya dan politik yang
berlapis-lapis sejak masa kemunculan Kristianitas yang berhadapan dengan
Yudaisme, ketika Yesus Kristus dan ajarannya dianggap menyimpang dari agama
Yahudi. Sektarianisme intra agama Yahudi juga berlanjut hingga kini antara Yahudi
Ortodoks dengan Yahudi Reformasi. Begitu juga intra-Kristianitas yang mencakup
denominasi amat banyak, khususnya antara abad 12 sampai 17—pasca masa
Reformasi Gereja yang memunculkan Protestanisme.
Jelas, semangat sektarianisme-komunalisme antara Kristianitas dan Islam
menjadi faktor penting terjadinya sembilan kali Perang Salib antara 1096 sampai
1272 untuk pembebasan Tanah Suci dari kekuasaan Muslim. Konflik antara
Muslim dan kaum Kristiani juga masih berlanjut di Semenanjung Iberia (Spanyol)
sejak kekuasaan Islam tertancap sejak 711 yang berakhir lewat reconquista oleh

3
4

gabungan kekuatan Gereja Katolik pada 2 Januari 1492 dengan inquisisi terhadap
kaum Muslim dan Yahudi.
Sektarianisme-komunalisme (tribalisme/kabilahisme) bernyala-nyala intra-
Islam berkembang sejak masa Sahabat Nabi Muhammad ketika kaum Khawarij
yang muncul menjelang akhir Perang Siffin (657M, antara pasukan Ali ibn Abi
Thalib versus Mu’awiyah ibn Abi Sufyan) melakukan aksi kekerasan terhadap
kaum Muslim lain yang berbeda pandangan dengan mereka. Selanjutnya skisma
dan sektarianisme antara Sunni dan Syi’ah yang juga muncul pasca Perang Siffin
berlanjut hingga kini di banyak kawasan Timur Tengah.
Dengan beban sosio-historis sektarianisme-komunalisme berlapis-lapis,
tidak heran kalau bara kebencian atas dasar perbedaan agama, paham, aliran, dan
denominasi yang kemudian berbaur dengan sektarianisme sosial, budaya dan
politik terus berlanjut di Timur Tengah. Berganda dengan krisis politik, sosial, dan
ekonomi yang tidak terpecahkan, sektarianisme menjadi sangat sukar diatasi di
kawasan ini, dan terus mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa, harta, dan
benda.

Mewaspadai Potensi Sektarianisme


Indonesia sepanjang sejarah tidak mewarisi sektarianisme-komunalisme
dalam kadar berlapis seperti di Timur Tengah. Padahal lapisan keagamaan dan
sosial Indonesia relatif lebih kompleks dibandingkan Timur Tengah. Secara
keagamaan, Indonesia mencakup tidak hanya Islam dan Kristianitas dengan
berbagai mazhab, aliran dan denominasi atau gereja, tetapi juga Hindu, Budha,
Konghucu, dan agama-agama lain yang belum mendapat pengakuan resmi dari
negara.
Secara sosial, menurut data BPS 2010, terdapat 1.128 suku bangsa atau
kelompok etnis di Indonesia, yang sangat potensial bagi tumbuhnya etno-sentrisme

4
5

dan komunalisme yang bernyala-nyala. Etno sentrisme dapat tumbuh di kalangan


suku bangsa tertentu, yang umumnya tinggal di wilayah administratif tingkat
provinsi. Jadi ada tumpang tindih antara suku bangsa dengan wilayah administratif
pemerintahan yang bukan tidak mungkin menimbulkan etno-nasionalisme.
Mempertimbangkan realitas keragaman intra dan antar-agama serta
kelompok etnis dan sukubangsa, potensi sektarianisme-komunalisme juga sangat
besar di tanahair. Meski tidak serumit sektarianisme-komunalisme di Timur
Tengah, sektarianisme-komunalisme di Indonesia juga bisa berlipat dan
berkombinasi di antara sektarianisme agama dengan sektarianisme-komunalisme
etnis, dan bahkan dengan sektarianisme sosial-politik. Dan ini jelas dan menjadi
ancaman serius bagi keamanan nasional ketika terjadi eskalasi politik pada waktu
Pemilu dan Pilkada.
Karena itu masalah sektarianisme-komunalisme di Indonesia tidak bisa
diperlakukan secara taken for granted; atau tidak perlu dipandang serius; atau
diasumsikan bisa baik dengan sendirinya dalam perjalanan waktu. Memandang
sektarianisme yang cenderung meningkat dalam dasawarsa terakhir, pandangan
dan sikap seperti itu sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia yang aman,
damai, bersatu dan utuh.
Dalam konteks itu, perlu peningkatan kewaspadaan dan keseriusan seluruh
pemangku kepentingan (stake holders) untuk mencegah peningkatan
sektarianisme-komunalisme agama-sosial dan politik. Para pemimpin agama,
sosial, dan politik sepatutnya menyadari dan melakukan berbagai upaya melalui
institusi masing-masing mencegah berlanjutnya berbagai bentuk sektarianisme-
komunalisme dan sekaligus memperkuat harmoni dan saling menghargai
perbedaan yang ada di antara berbagai kelompok intra dan antar agama, kelompok
etnis, dan kekuatan dan faksi politik.

5
6

Di atas semua itu, pemerintah sepatutnya lebih bertekad bulat (firmer) dalam
prevensi proliferasi sektarianisme-komunalisme dalam masyarakat. Sepatutnya
berbagai ketentuan perundangan dan aparat negara yang dapat menangkal
sektarianisme-komunalisme difungsikan dengan sungguh-sungguh. Selain itu
upaya penciptaan harmoni dan saling penghargaan di antara berbagai kelompok
masyarakat perlu lebih diberdayakan melalui pendidikan dan sosialisasi empat
pilar negara-bangsa Indonesia; UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan bhinneka tunggal
ika.
Tidak kurang pentingnya adalah pencegahan dan penindakan berbagai
bentuk sektarianisme-komunalisme itu oleh aparat penegak hukum dan keamanan
secara tegas, konsisten dan kontinu. Kecenderungan ‘pembiaran’ aparat Polri
misalnya dalam banyak kasus konflik dan kekerasan sektarianisme dan
komunalisme hanyalah berujung pada eskalasi situasi keamanan dan sosial yang
tidak kondusif bagi stabilitas politik dan keamanan nasional.

*Azyumardi Azra, CBE, Gurubesar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; anggota


Council on Faith, World Economic Forum, Davos; dan International Institute for
Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Stockholm.

Anda mungkin juga menyukai