Wawasan Nasional
Wawasan Nasional
1
2
demokrasi di Dunia Arab telah memasuki tahun ketiga, belum terlihat tanda
menyurutnya sektarianisme-komunalisme agama, sosial dan politik.
Sektarianisme-komunalisme agama dan sosial-politik juga terlihat
meningkat di Indonesia sejak demokrasi liberal diterapkan pada 1999. Khusus
sektarianisme-komunalisme intra dan antar-agama di tanahair, meski masih
sporadis dan isolatif bukan tidak perlu dicermati dan diwaspadai. Karena, kalau
sektarianisme agama-sosial yang berbaur dengan sektarianisme politik dan
komunalisme suku bangsa terus berlanjut dan meningkat pada masa pra- dan
pasca-Pemilu 2014, jelas dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan
nasional.
Menurut Kemendagri (29 Januari 2013), konflik sektarian-komunal di
Indonesia terus cenderung meningkat. Rinciannya, 93 konflik terjadi pada 2010, 77
konflik pada 2011; dan 129 konflik pada 2012. Dalam situasi yang masih eksplosif
itu, potensi konflik bisa dipastikan lebih besar di daerah yang mengandung
berbagai potensi konflik laten lain seperti sengketa lahan, masalah perburuhan,
kemiskinan dan pengangguran.
Dengan konsolidasi demokrasi yang belum juga solid, kelemahan penegakan
hukum, dan penyebaran pemahanan dan praksis agama trans-nasional di tengah
keragaman intra dan antar-agama Indonesia, sangat boleh jadi sektarianisme-
komunalisme agama dan sosial-politik terus bertahan—jika tidak meningkat di
negeri ini. Karena itulah peningkatan kewaspadaan nasional di pusat dan di daerah
menjadi hal sangat urgen sejak sekarang ini.
Sektarianisme Berlapis
Bisa dipastikan, tidak ada negara dan masyarakat yang bebas dari perbedaan
aliran agama, sosial, budaya dan politik, yang memunculkan sektarianisme dan
komunalisme. Masalahnya kemudian, perbedaan-perbedaan itu dapat meningkat
2
3
3
4
gabungan kekuatan Gereja Katolik pada 2 Januari 1492 dengan inquisisi terhadap
kaum Muslim dan Yahudi.
Sektarianisme-komunalisme (tribalisme/kabilahisme) bernyala-nyala intra-
Islam berkembang sejak masa Sahabat Nabi Muhammad ketika kaum Khawarij
yang muncul menjelang akhir Perang Siffin (657M, antara pasukan Ali ibn Abi
Thalib versus Mu’awiyah ibn Abi Sufyan) melakukan aksi kekerasan terhadap
kaum Muslim lain yang berbeda pandangan dengan mereka. Selanjutnya skisma
dan sektarianisme antara Sunni dan Syi’ah yang juga muncul pasca Perang Siffin
berlanjut hingga kini di banyak kawasan Timur Tengah.
Dengan beban sosio-historis sektarianisme-komunalisme berlapis-lapis,
tidak heran kalau bara kebencian atas dasar perbedaan agama, paham, aliran, dan
denominasi yang kemudian berbaur dengan sektarianisme sosial, budaya dan
politik terus berlanjut di Timur Tengah. Berganda dengan krisis politik, sosial, dan
ekonomi yang tidak terpecahkan, sektarianisme menjadi sangat sukar diatasi di
kawasan ini, dan terus mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa, harta, dan
benda.
4
5
5
6
Di atas semua itu, pemerintah sepatutnya lebih bertekad bulat (firmer) dalam
prevensi proliferasi sektarianisme-komunalisme dalam masyarakat. Sepatutnya
berbagai ketentuan perundangan dan aparat negara yang dapat menangkal
sektarianisme-komunalisme difungsikan dengan sungguh-sungguh. Selain itu
upaya penciptaan harmoni dan saling penghargaan di antara berbagai kelompok
masyarakat perlu lebih diberdayakan melalui pendidikan dan sosialisasi empat
pilar negara-bangsa Indonesia; UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan bhinneka tunggal
ika.
Tidak kurang pentingnya adalah pencegahan dan penindakan berbagai
bentuk sektarianisme-komunalisme itu oleh aparat penegak hukum dan keamanan
secara tegas, konsisten dan kontinu. Kecenderungan ‘pembiaran’ aparat Polri
misalnya dalam banyak kasus konflik dan kekerasan sektarianisme dan
komunalisme hanyalah berujung pada eskalasi situasi keamanan dan sosial yang
tidak kondusif bagi stabilitas politik dan keamanan nasional.