Anda di halaman 1dari 12

2.1.

Etiologi
1. Faktor Genetik
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki
korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2
(Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. HLA –DR2 lebih
menunjukkan gejala lupus nefritis yang menonjol, sedangkan pada HLA-DR3 lebih
menunjukkan gejala muskuloskeletal. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen
komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE.
Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di
Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan
berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2. Faktor Imunologi
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di
permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan
informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi
menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan
respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan
produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi
yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk
memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi,
dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain
juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor resiko terjadinya SLE. Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen
mengurangi resiko ini.
4. Faktor Lingkungan
a. Infeksi virus dan bakteri
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini kambuh
setelah infeksi. Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE.
Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan
Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel
pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah. Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun
sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini
disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat
tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah.
c. Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika
seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang
sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal. Stres berat dapat mencetuskan SLE pada
pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan penyakit ini.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan
Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE
diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.

3.5 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal tidak
dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik penyakit LES ini seringkali
tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri
sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi¬
klinis lainnya seperti fotosensitifitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria
LES.
Gambaran klinis keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90% kasus LES,
walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus.
Gejala Konstitusional
• Kelelahan
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan biasanya
mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena
banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti adanya anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison.
Kelelahan ini dapat diukur dengan menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tes
toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES ini maka
diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan
akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
• Penurunan Berat Badan
Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam beberapa bulan
sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh
menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.
• Demam
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain seperti
infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40°C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti
leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
• Lain-lain
Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita LES dapat terjadi sebelum
ataupun seiring dengan aktivitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu
makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.

Manifestasi Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai pada
penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia)
atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini seringkali
dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan
simetris. Untuk ini perlu dibedakan dengan artritis reumatoid dimana pada umumnya LES tidak
menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya koinsidensi penyakit autoimun lain
seperti artritis reumatoid, polimyositis, skleroderma atau manifestasi klinis penyakit-penyakit
tersebut merupakan bagian gejala klinik LES.

Gambar 3.5.a. (A) Livedo reticularis and (B) periungal erythema with
nailfold vasculitis
Avaskular tulang nekrosis. Avaskular nekrosis (AVN) dari tulang merupakan penyebab
utama morbiditas dan kecacatan pada SLE. gejala AVN terjadi pada 5-12% kasus. Tingginya
prevalensi ini telah dilaporkan ketika Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk
deteksi. Nyeri sendi akut terjadi di akhir perjalanan SLE dan terlokalisir dibeberapa lokasi
terutama bahu, pinggul, dan lutut, mungkin menunjukkan AVN. Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan iskemia dan nekrosis tulangt ermasuk fenomena Raynaud, vaskulitis, emboli
lemak, kortikosteroid, dan sindrom antifosfolipid. Osteonekrosis sering berkembang tidak lama
setelah timbulnya terapi kortikosteroid dosis tinggi.

Manifestasi Kulit
Lesi yang tersering ialah:
(a) lesi seperti kupu-kupu di area malar dan nasal dengan sedikit edema, eritema, sisik,
teleangiektasis, dan atrofi, (b) erupsi makulo-papular, polimorfik, dan eritematosa bulosa di pipi,
(c) foto-sensitivitas di daerah yang tidak tertutup pakaian, (d) lesi papular dan urtikarial
kecoklat-coklatan, (e) kadang-kadang terdapat lesi L.E.D (khas dengan sumbatan
keratin/folikular) atau nodus-nodus subkutan yang menetap, (f) vaskulitis sangat menonjol, (g)
alopesia dan penipisan rambut, (h) sikatrisasi dengan atrofi progresif dan hiperpigmentasi, dan
(i) ulkus tungkai.
Pada mukosa mulut, mata, dan vagina, timbul stomatitis, keratokonjungtivitis, dan kolpitis
dengan petekie, erosi, bahkan ulserasi.
Predileksi: kedua pipi, batang hidung, dada, lengan, pangkal jari-jari tangan, telapak tangan
dan punggung tangan, mukosa mulut, faring dan vagina.

Gambar 3. Lupus erythematosus kutaneus akut. Onset lesi ini mendadak, sering muncul setelah
terpapar sinar matahari, dan ditandai dengan eritema dan edema.

Gambar 3.5.b. Fenomena Raynaud


Gambar 3.5.c. Malar Rash
Manifestasi Paru
Berbagai manifestasi klinis pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang interstitial
parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau
shrinking lung syndrome.
Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi kronik. Pada keadaan
akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakterial dan apabila terjadi keraguan dapat dilakukan
tindakan invasive seperti bilas bronkhoalveolar. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk
kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun
pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus
ini memberikan respons yang baik dengan pemberian steroid.
Hemoptisis merupakan keadaan yang serius apabila merupakan bagian dari perdarahan
paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan yang tepat, dimana tidak hanya penggunaan
steroid namun tindakan pengobatan lain seperti plasmaferesis atau pemberian sitostatika.

Manifestasi Kardiologis
Baik perikardium, miokardium, endokardium ataupun pembuluh darah koroner dapat
terlibat pada penderita LES, walaupun yang paling banyak terkena adalah perikardium.
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub,
gambaran silhouette sign foto dada, ataupun melalui gambaran EKG, echokardiografi. Apabila
dijumpai adanya aritmia atau gangguan konduksi, kardiomegali bahkan takikardia yang tidak
jelas penyebabnya, maka kecurigaan adanya miokarditis perlu dibuktikan lebih lanjut.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan bermanifestasi
sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini semakin
banyak dijumpai pada penderita LES usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta
penggunaan steroid jangka panjang.

Manifestasi Renal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah 5
tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak
insidensi antara usia 20-30 tahun.
Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi
kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Pemeriksaan terhadap protein urin >500 mg/24 jam atau
3+ semi kuantitatif, adanya cetakan granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit atau gabungan serta
pyuria (>5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan kadar serum kreatinin
menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada penderita LES. Akan tetapi melalui biopsi ginjal
akan diperoleh data yang lebih akurat untuk menilai keterlibatan ginjal ini.
Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat merupakan
cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai akibat pengobatan. Secara
klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric vasculitis, irritable bowel
syndrome (IBS), pankreatitis dan penyakit hati.
Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat penderita dalam keadaan
tertekan dan sifatnya episodik, walaupun tidak dapat dibuktikan adanya kelainan pada esofagus
tersebut, kecuali gangguan motilitas.
Keluhan dispepsia yang dijumpai pada lebih kurang 50% penderita LES, lebih banyak
dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid. Bahkan adanya ulkus juga berkaitan
dengan pemakaian obat ini.
Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum, yang dibuktikan
dengan pemeriksaan autopsi. Kelainan lain seperti IBS sulit dibedakan dengan kausa idiopatik
karena gambaran klinis yang tidak banyak berbeda.
Vaskulitis yang terjadi di daerah mesenterik perlu mendapat perhatian yang besar karena,
walaupun jarang, dapat mengakibatkan perforasi usus halus atau kolon yang berakibat fatal.
Keluhan ditandai dengan nyeri di daerah abdominal bawah yang hilang timbul dalam periode
beberapa minggu atau bulan. Pembuktian adanya vaskulitis ini dilakukan dengan arteriografi.
Pankreatitis akut dijumpai pada sekitar 8% penderita LES. Keluhan ditandai dengan
adanya nyeri abdominal bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan serum amilase.
Sampai saat ini penyebabnya masih dipertanyakan apakah memang karena LES itu sendiri atau
akibat pengobatan seperti steroid, azathioprin yang diketahui dapat diketahui dapat menyebabkan
pankreatitis. Namun demikian dijumpai pula pankreatitis pada penderita yang tidak mendapatkan
steroid.
Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai
dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH. Kelainan ini
berkaitan dengan aktivitas penyakit dan penggunaan antiinflamasi non steroid, terutama salisilat.
Kecurigaan terhadap LES perlu dipikirkan apabila pada seorang wanita muda dengan poliartritis
dan mendapatkan salisilat didapatkan peningkatan serum SGOT/SGPT. Transaminase ini akan
kembali normal apabila aktivitas LES dapat dikontrol dan anti inflamasi dihentikan. Belum jelas
hingga kini apakah kelainan hati yang terjadi merupakan bagian dari LES, koinsidensi dengan
LES, atau merupakan lupoid hepatitis (autoimmune chronic active hepatitis) dan tidak dijumpai
bukti adanya kaitan infeksi virus hepatitis B (HBV).

Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang
begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik.
Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain
seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat.
Pembuktian adanya keterlibatan saraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses
penegakan diagnosis ini. Dapat dijumpai kelainan EEG namun tidak spesifik, pada cairan
serebrospinal dapat ditemukan kompleks imun, kadar C4 rendah, peningkatan IgG, IgA dan atau
IgM, peningkatan jumlah sel, peningkatan kadar protein atau penurunan kadar glukosa.
Keterlibatan susunan saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis, lesi
saraf kranial, lesi batang otak, meningitis aseptik atau myelitis transversal. Sedangkan pada
susunan saraf tepi akan bermanifestasi sebagai neuropati perifer, myasthenia gravis atau
mononeuritis multiplex. Dari segi psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat organik atau
non-organik.

Manifestasi Hemik-limfatik
Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada penderita LES
ini. Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah aksila dan servikal, dengan
karakteristik tidak nyeri tekan, lunak, dan ukuran bervariasi sampai 3-4cm. Organ limfoid lain
yang sering dijupai pula pada penderita LES adalah splenomegali yang biasanya disertai oleh
pembesaran hati.
Kerusakan lien berupa infark atau trombosis berkaitan dengan adanya lupus antikoagulan.
Bahkan pernah dilaporkan adanya ruptur arteri lienalis walaupun tidak dijumpai bukti vaskulitis.
Anemia dapat dijumpai pada suatu periode dalam perkembangan penyakit LES ini.
Diklasifikasikan sebagai anemia yang diperantarai proses imun dan non-imun. Pada anemia yang
bukan diperantarai proses imun diantaranya berupa anemia karena penyakit kronik, defisiensi
besi, sickle cell anemia dan anemia sideroblastik. Untuk anemia yang diperantarai proses imun
dapat bermanifestasi sebagai pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun
dan beberapa kelainan lain yang dikaitkan dengan proses autoimun seperti anemia pernisiosa,
acute hemophagocytic syndrome.

Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini diartikan sebagai
terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu
pada kriteria dari the American College of Rheumbatology (ACR) revisi tahun 1997.
Tabel 3. Kriteria Diagnosis serta Batasan Lupus Eritematosus Sistemik
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap
sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat
oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan
dilihat oleh dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis
Pleuritis a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura.
atau
Perikarditis b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction
rub atau terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
atau
b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
hematologik atau
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih
atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih
atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh
obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap naive DNA dengan titer
yang abnormal
atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear
Sm
atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG
atau IgM,
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda
standard, atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-
kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test
imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi
absorpsi antibodi treponema.
Antibodi antinuklear Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan
positif pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
(ANA) pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa
keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.

A. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan menurut Betz (2002), Catzel(1995), Hartman(1994), antara lain :
 Pemeriksaan Fisik
 Meliputi pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal, integument dan vaskuler.
 Inspeksi : bentuk kepala, leher dan thorax simetris atau tidak, tampak bengkak &
kemerahan pada metacarpophalangaeal dextra & sinistra atau tidak, tampak
adanya deformitas dan tampak adanya lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam
berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi pasien atau tidak.
Ada ruam pada wajah dan leher klien atau tidak.
 Palpasi : raba apa ada pembesaran kelenjar dan terdapat massa atau tidak,
pergerakan nafasnya normal atau tidak, ada nyeri tekan atau tidak di daerah
abdomen dan daerah ekstremitas atas maupun bawahnya, serta raba ada krepitasi
atau tidak pada ekstremitas atas maupun bawah klien. Ada oedema atau tidak dan
suhu teraba hangat atau tidak.
 Perkusi: suara ketuknya sonor atau timpani.
B. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah.
Gejala yang klasik mencakup demam, keletihans ecara penurunan berat badan dan
kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium
megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau
leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mungkin
tetapi tidak memastikan diagnostik
Anti ds DNA
 Batas normal : 70 – 200 iu/mL
 Negatif : < 70 iu/mL
 Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan jarang pada penderita
dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar
rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderitadengan penyakit reumatik dan lain-lain,
hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun
dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama
Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang.
Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimunyang lain. ANA adalah sekelompok
antibody protein yang beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk
mendektisi adanya SLE , hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak
spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan
penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumblah
ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil test posotof maka
sebaiknya dilakukan test laboratorium yang lain tetapi jika hasil test negativ maka sebaiknya
dilakukan test serelogi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita
SLE. ANA dapat meliputi anti-smith ( anti SM ). Anti RNP/antiribonukleo protein.
Pemeriksaan khusus:
 Biopsi ginjal
 Biopsi kulit
Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular pada dermaepidermal
junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tidak terkena (70%).

Anda mungkin juga menyukai