PENDAHULUAN
Vaginal discharge (fluor albus/ leukorea/ duh tubuh vagina) atau yang sering
disebut keputihan merupakan salah satu masalah yang sering dikeluhkan mulai dari
usia muda sampai usia tua. Vaginal discharge bukan penyakit, namun merupakan
suatu manifestasi klinis dari suatu penyakit. Vaginal discharge / leukorea terbagi
atas leukorea fisiologis dan patologis. Sedangkan, leukorea patologis dapat terjadi
diakibatkan oleh infeksi pada alat reproduksi yang dapat disebabkan oleh infeksi
bakteri (Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Gardnerella vaginalis,
Treponema pallidum), Jamur (Candida Albicans), Parasit (Trichomonas vaginalis),
benda asing dan iritasi.1,2
Berdasarkan penelitian epidemiologi, lebih dari sepertiga penderita di
Indonesia yang berobat, 80% diantaranya merupakan leukorea patologis. Sebagian
besar penderita memiliki keluhan seperti sering mengganti pakaian dalamnya atau
menggunakan pembalut disertai keluhan rasa gatal, duh tubuh vagina yang keluar
berbau, rasa panas bahkan rasa sakit saat bersenggama. Keluhan dapat bervariasi
dari ringan hingga berat. Kendala yang sering terjadi antara lain ketidaktahuan
pasien serta umumnya pasien akan datang saat dirasakan rasa gatal atau rasa sakit
yang hebat karena fluor albus umumnya dinilai sebagai sesuatu yang memalukan
sehingga pasien tidak mendapatkan terapi yang adekuat.1
DEFINISI
Duh tubuh vagina merupakan cairan atau sekret selain darah yang keluar dari
vagina dapat disertai rasa gatal, rasa terbakar di bibir kelamin, rasa nyeri baik
sewaktu berkemih maupun senggama serta bau dan konsistensi yang khas dari
masing-masing penyebab. Selain vagina, sumber cairan ini dapat berasal dari
sekresi vulva, sekresi serviks, sekresi uterus atau sekresi tuba falopii yang
dipengaruhi fungsi ovarium.1
EPIDEMIOLOGI
Menurut studi Badan Kesehatan Dunia (WHO), salah satu masalah tersering
pada reproduksi wanita adalah vaginal discharge. Sekitar 75% wanita di dunia pasti
pernah mengalami keputihan setidaknya satu kali seumur hidup dan sebanyak 45%
wanita mengalami keputihan dua kali/ lebih.
Di Indonesia, data kejadian keputihan sangat terbatas karena hanya sedikit
wanita yang memeriksakan masalah tersebut karena beberapa diantaranya
mendiagnosis dan mengobati sendiri keluhannya. Menurut Depkes (2010), terdapat
75% wanita yang mengalami keputihan minimal satu kali selama hidupnya dan
setengah diantaranya mengalami sebanyak dua kali atau lebih. Studi menunjukkan
bahwa Candida albicans merupakan penyebab tersering pada wanita usia muda.
Penyebab lainnya antara lain Bacterial vaginosis dan Trichomonas vaginalis. Hal
ini dapat terjadi karena banyak wanita yang kurang menyadari pentingnya menjaga
kebersihan daerah vagina serta tidak tahu cara membersihkan daerah vagina secara
tepat. Selain itu, dapat juga dipengaruhi oleh cuaca lembab yang memudahkan
terjadinya infeksi jamur.1
KLASIFIKASI
Vaginal Discharge Fisiologis
Vaginal discharge yang fisiologis merupakan sekret tidak berwarna, tidak
gatal dan tidak berbau yang keluar dari vagina. Sekret ini mengandung banyak
epitel dan sedikit leukosit. Normalnya, hanya ditemukan didaerah porsio vagina,
disebabkan oleh pengaruh hormonal. Vaginal discharge fisiologis dapat ditemukan
saat menarke, saat ovulasi, saat kehamilan, saat stress/kelelahan dan pemakaian
kontrasepsi hormonal.2
ETIOLOGI
Non-Infeksi
Vaginal discharge fisiologik pada perempuan normalnya hanya ditemukan
pada daerah porsio vagina. Sekret patologik biasanya terdapat pada dinding lateral
dan anterior vagina.2
Vaginal discharge fisiologik ditemukan pada :
a. Bayi baru lahir sampai umur kira-kira 10 hari: disini sebabnya ialah
pengaruh estrogen dari plasenta terhadap uterus dan vagina janin.
b. Waktu disekitar menarche karena mulai terdapat pengaruh estrogen.
Leukore disini hilang sendiri akan tetapi dapat menimbulkan keresahan
pada orang tuanya.
c. Wanita dewasa apabila ia dirangsang sebelum dan pada waktu koitus,
disebabkan oleh pengeluaran transudasi dari dinding vagina.
d. Waktu disekitar ovulasi, dengan sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri
menjadi lebih encer.
e. Pengeluaran sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri juga bertambah pada
wanita dengan penyakit menahun, dengan neurosis, dan pada wanita dengan
ektropion porsionis uteri.1
Tabel 1. Penyebab vaginal discharge abnormal (patologik)1
1. Iritasi : - Sperma, pelicin, kondom
- Sabun cuci dan pelembut pakaian
- Deodorant dan sabun
- Cairan antiseptic untuk mandi.
- Pembersih vagina.
- Celana yang ketat dan tidak menyerap keringat
- Kertas tisu toilet yang berwarna.
2. Benda asing3 - AKDR
- cincin pesarium
- tertinggalnya kondom
3. Penyebab - Psikologi : Volvovaginitis psikosomatik
lain3: - Tidak dikatehui : “ Desquamative inflammatory
vaginitis”
Infeksi
Infeksi Menular Seksual
1. Chlamydia trachomatis
Klamidia trakomatis adalah satu dari 4 spesies (termasuk klamidia puerorum,
klamidia psittaci, dan klamidia pneumonia) dalam genus Klamidia. Klamidia
trakomatis dapat dibedakan dalam 18 serovars (variasi serologis). Serovar A,B,Ba
dan C dihubungkan dengan trakoma (penyakit mata yang serius yang dapat
menyebabkan kebutaan), serovars D-K dihubungkan dengan infeksi saluran genital,
dan L1-L2 dihubungkan dengan penyakit Limfogranula venereum (LGV). 4
Gambar 3. Klamidia trachomatis dalam preparat dengan pewarnaan Giemsa (kiri); Servisitis
dikarenakan infeksi chlamydia (kanan)4
Prevalensi
Prevalensi dari klamidia trakomatis tergantung pada karakteristik dari
populasi yang diteliti. Di Amerika Serikat berkisar antara 2 sampai dengan 7%
diantara mahasiswi perempuan, dan 4 - l2% diantara wanita yang berkunjung ke
klinik keluarga berencana. Di Jepang penelitian diantara pekerja seks komersil5,6
yang terinfeksi klamidia adalah l3%. Di Inggris penelitian pada pria usia muda4,5\
memiliki insidens 9,8% positif klamidia. Prevalensi infeksi klamidia tertinggi pada
kelompok yang paling jarang memeriksakan dirinya ke dokter. Pada wanita yang
tidak hamil dapat menyebabkan mukopurulen servisitis, endometitis, salpingitis
akut, infertilitas, dan kehamilan ektopik.5,7 Di Indonesia angka kejadian klamidia
trakomatis belum didapatkan secara rinci. Beberapa peneliti memberikan hasil yang
beragam. Wisnuwardani dalam penelitiannya dengan menggunakan metode ELISA
swab (Klamidiazyme) mendapatkan prevalensi klamidia pada pasien dengan
servisitis yang berobat di Bagian Kebidanan FKUI/RSCM sebesar l2,66%
sedangkan prevalensi antibodi terhadap klamidia trakomatis (chlamydelisa) sebesar
45,57%. Penelitian Sutrisno (1994) di puskesmas Mulya Jaya mendapatkan
prevalensi 2l% dengan Clearview. Klamidia dan l8% dengan metode ELISA
Wellcozyme®, Penelitian Wahyuni (2002) melaporkan angka kejadian infeksi
klamidia pada pasien keputihan sebesar 6,3% dengan metode Gen probe PACE 2.
Penelitian Febrianti (2006) mendapatkan prevalensi infeksi klamidia pada PSK
sebesar 44,3% dengan QuickstripeTM dan 43,2% dengan PCR. Widjaja dkk.(1999)
melaporkan prevalensi infeksi Klamidia pada 3 rumah sakit di Kalimantan Selatan
sebesar 9,2% dengan teknik Ligase Chain Reaction (LCR).5,7
Faktor Risiko
Faktor risiko untuk terjadinya infeksi klamidia trakomatis pada wanita
seksual aktif termasuk usia muda (usia 15-24 tahun), riwayat infertilitas, memiliki
lebih dari 1 partner seksual, adanya partner seks yang baru, tidak menikah, ras kulit
hitam, mempunyai riwayat atau sedang menderita penyakit menular seksual,
riwayat keguguran, riwayat infeksi saluran kemih, dan penggunaan tidak teratur
dari kontrasepsi barrier.5,7
Patofisiologi
Klamidia adalah bakteri intra selular kecil yang membutuhkan sel - sel yang
hidup untuk bermultiplikasi. Kromosom bakteri klamidia terdiri dari kurang lebih
1 juta pasangan basa dan memiliki kapasitas untuk mengkodekan lebih dari 600
protein. Ada 18 serotipe dari klamidia trakomatis yang teridentifikasi. Serotipe D -
K merupakan penyebab infeksi menular seksual dan infeksi neonatal. Tidak
ditemukan bukti kuat bahwa sindroma genital spesifik atau manifestasi klinis,
seperti PID, disebabkan oleh serotipe yang spesifik. Siklus sel dari klamidia
berbeda dari bakteria yamg lain. Endositosis membuat terjadinya formasi inklusi
intraselular yang terikat membran. Kemampuan dari klamidia untuk merubah dari
fase istirahat ke fase replikasi, bentuk infeksius dalam sel penjamu yang
meningkatkan kesulitan dalam mengeliminasi mikroba ini. Masih banyak yang
belum dapat dimengerti mengenai mekanisme spesifik kejadian dalam membran,
perlekatan, endositosis, multiplikasi dari organisme dalam sel, tansformasi dari
metabolik inaktif badan retikulat (RB) ke metabolik aktif replikatif badan elementer
(EB), dan ekspresi dari antigen Klamidia yang berbeda selama siklus sel.8
Klamidia trakomatis memiliki genom yang sangat kecil, tetapi itu bukan
berarti klamidia tidak memiliki siklus perkembangan hidup yang kompleks, siklus
ini terdiri dari dua bentuk: EB, yang di disain untuk dapat bertahan diluar sel
manusia dan untuk menginfeksi sel manusia yang baru, dan RB yang lebih rentan
sebagai bentuk pembelahan diri bakteria ini. Bagian dalam dari sel manusia ini
sangat kaya akan nutrisi, sehingga RB tidak perlu membuat banyak asam amino
dan komponen-komponen lain yang biasanya dibutuhkan sel-sel yang hidup bebas.
Meskipun klamidia trakomatis memiliki gen yang sedikit untuk biosintesis asam
amino, genom-genonmya memiliki gen-gen untuk beberapa jalur pembangkit
energi, termasuk glikolisis, dan jalur pentose phosphate. Pada awalnya, diyakini
bahwa klamidia trakomatis adalah suatu parasit adenosine triphosphate (ATP) yang
tidak memiliki ATP dan harus mendapatkannya dari sel penjamu. Ternyata hal ini
telah diketahui salah, terutama untuk klamidia trakomatis. Spesies lain dari
klamidia mungkin parasit ATP, berdasarkan dari kurangnya gen untuk biosintesis
energi.9
Meskipun klamidia memiliki sitoplasmik tipe gram negatif dan membran
luar, baik EB maupun RB tidak memiliki peptidoglikan. Bagaimana bakteria ini
menghindari lisis? RB mungkin dilindungi dalam beberapa hal dengan adanya
osmolaritas yang tinggi dari bagian dalam sel manusia. EB bagaimanapun, harus
beradaptasi dengan kondisi osmolaritas yang rendah diluar sel penjamu. Jawaban
dari pertanyaan kenapa EB resisten terhadap lisis tampaknya karena membran EB
memiliki protein dengan persilangan multipel disulfida. Ini termasuk protein yang
dinamakan major outer membrane protein (MOMP), polymorphic outer membrane
protein (POMP), dan cysteine-rich proteins (CRP).8,9
Gambar 4. Siklus perkembangan Klamidia trachomatis4
Pada siklus perkembangan klamidia, Badan Elemnter (EB) dibawa kedalam
endosome dari sel penjamu, kemudian endosome melebur, dan badan elementer
berdifferensiasi menjadi Badan Retikulat (RB), Badan retikulat bereplikasi dan
menyebabkan membrane endoplasmik membesar sampai mengisi hampir semua
rongga sitoplasma, Badan Retikulat berubah menjadi badan elementer. Membran
endoplasmic akan ruptur dan melepas badan elementer kedalam sitoplasma sel
penjamu atau melebur dengan membran sitoplasma penjamu, dan badan elementer
akan dikeluarkan ke lingkungan bebas.8
Infeksi klamidia merupakan suatu komplikasi inflamasi jangka panjang dari
infeksi ascending klamidia yang menyebabkan terbentuknya jaringan parut7 pada
tuba. Banyak peneliti yang menemukan adanya organisme ini pada tuba falopii
setelah berbulan-bulan atau bertahun-bertahun setelah infeksi yang pertama. Belum
dapat dimengerti bagaimana mekanisme yang menjelaskan kenapa klamidia
trakomatis menjadi persisten. Dibawah ini dijelaskan mengenai mekanisme evasi
imun dari klamidia trakomatis.8,9
Infeksi kronik klamidia dapat memicu kerusakan tuba yang dari beberapa
penelitian in vitro diperkirakan dapat diakibatkan oleh: 1. Badan elementer
klamidia trakomatis yang terdapat pada semen pria yang terinfeksi menularkan ke
perempuan pasangan seksualnya.. Pertahanan diluar sel pejamu dengan adanya
protein permukaan seperti MOMP dan protein membran yang bersifat polimorfik,
akan mencegah terjadinya deteksi oleh antibodi. Pertahanan didalam sel pejamu
dengan cara replikasi terjadi pada badan inklusi sehingga membatasi paparan
terhadap antibodi, inhibisi pelepasan sitokrom-C di mitokondria yang dibutuhkan
untuk apoptosis yang dimediasi oleh kaspase 9 sehingga menghambat apoptosis
dari sel pejamu yang terinfeksi. Selain itu adanya tyrosyl radical site pada
ribonukleotida reduktase bakteri kemungkinan berperan pada peningkatan
resistensi terhadap nitric oxide. Sekresi tumor necrosis factor (TNF) oleh makrofag
yang terinfeksi klamidia trakomatis merangsang apoptosis dari sel T yang
teraktivasi. Begitu pula sekresi dari klamidia trakomatis protease di sitoplasma
menghancurkan faktor tanskripsi yang dibutuhkan untuk transkripsi dari major
histocompability complex (MHC) yang menghambat interferon-γ (IFN-γ)
merangsang ekspresi molekul MHC kelas I dan II. Klamidia trakomatis memiliki
kemampuan untuk tetap berada dalam bentuk intaselular, yang dapat disebabkan
akibat pemberian antibiotika, defisiensi nutrisi atau sitokin (seperti IFN-γ) atau
setelah infeksi pada monosit. Adanya ekspresi dari gen yang mengkode triptofan
sintase dan represor, menghambat efek IFN-γ. 2. Klamidia naik ke traktus
reproduksi wanita dan menginfeksi sel epitel pada tuba falopii. 3. Didalam sel
badan elementer berubah menjadi badan retikulat dan mulai untuk bereplikasi. 4.
Jalur apoptosis dihambat, yang menyebabkan sel yang terinfeksi dapat bertahan. 5.
Ketika jumlah badan elementer mencapai tingkat densitas tertentu, maka badan
elementer tersebut akan terlepas dari sel epitel dan menginfeksi sel disebelahnya.
6. Badan elementer ekstaseluler akan mengaktivasi sistem imun berupa
diproduksinya IFN-γ, TNF-α dan sitokin-sitokin proinflamasi lainnya. 7. Respon
imun akan menurunkan jumlah badan elementer dan menghambat replikasi
intraseluler dari badan retikulat. 8. Interupsi replikasi badan retikulat menyebabkan
klamidia tetap ada dalam bentuk intaseluler sehingga dapat menimbulkan respon
imun yang bersifat destrruksif. Pada bentuk persisten ini, potein-60 (CHSP60)
dilepaskan, yang dapat menyebabkan respon inflamasi. 9. Ketika jumlah badan
elementer berada di bawah kadar kritis tertentu maka aktivasi sistem imun berhenti
dan replikasi badan retikulat mulai kembali. 10. Perubahan siklus infeksi badan
elementer dengan destruksi dari sel epitel baru dan persisten dalam intaseluler
dengan pelepasan CHSP60 menyebabkan pembentukkan jaringan parut dan
merusak patensi tuba falopii.10
Klamidia yang menginfeksi makrofag juga merangsang apoptosis dari sel
imun yang tidak terinfeksi seperti sel T yang meningkatkan perkembangan infeksi
persisten. Perfettini, dkk. (2002) menemukan dari penelitian pada tikus bahwa IFN-
γ berperan pada patogenesis infeksi klamidia persisten dengan mencegah apoptosis
dari sel yang terinfeksi. Disamping secara langsung mencegah apoptosis, IFN-γ
juga merangsang adanya efek anti apoptosis. Dean dan Powers (2001)
mengemukakan bahwa inhibisi dari apoptosis sel pejamu mengakibatkan Klamidia
mampu membentuk infeksi persisten dan IFN- γ dan interleukin-10 (IL-10)
membantu perkembangan dari klamidia dengan peningkatan ekspresi dari CHSP60
yang mendukung proses inflamasi. Perbedaan ekspresi MOMP dan CHSP60
selama perkembangan klamidia yang normal maupun yang mengalami perubahan
telah diketahui sejak lama, namun makna sebenarnya dari keseimbangan ini dalam
infeksi klamidia persisten tidak6,10 diketahui.
Manifestasi Klinik
Masa inkubasi dari infeksi klamidia adalah 7-12 hari, masa klinis klamidia
sampai muncul gejala adalah 1-3 minggu. Sekitar 25 % pada pria dan sebagian besar
pada wanita bersifat asimtomatis. Masa laten timbul 2-14 hari setelah infeksi.
Hampir sama dengan N gonorrhea masa inkubasinya 0 - 2 minggu, sehingga
menjadi diagnosis banding dari klamidia untuk terjadinya konjungtivitis pada bayi
baru lahir. Jika sudah terinfeksi penderita dapat mengidap penyakit ini selama
berbulan-bulan bahkan bertahun- tahun tanpa mengetahuinya.8
Manifestasi klinik untuk infeksi klamidia pada perempuan dapat berupa
sindroma urethral akut (uretritis), bartolinitis, servisitis, infeksi saluran genital
bagian atas (endometritis, salfingo-oophoritis, atau penyakit radang panggul), dan
perihepatitis (sindroma Fitz-Hugh-Curtis) atau peradangan pada kapsul hati.
Kehamilan ektopik juga dapat terjadi oleh karena infeksi klamidia, yang
biasanya5,7,8 didahului dengan penyakit radang panggul. Gejala tergantung dari
lokasi infeksinya. Infeksi dari urethra dan saluran genital bagian bawah dapat
menyebabkan disuria, duh vagina yang abnormal, atau perdarahan post koital. Pada
saluran genital bagian atas (endometritis, atau salphingitis, kehamilan ektopik)
dapat menimbulkan gejala seperti perdarahan rahim yang tidak teratur 10,11 dan
abdominal atau pelvic discomfort.
2. Neisseria gonorrhoeae
Gonore (GO) didefinisikan sebagai infeksi bakteri yang disebabkan oleh
kuman Neisseria gonorrhoeae, suatu diplokokus gram negatif. Infeksi umumnya
terjadi pada aktivitas seksual secara genito-genital, namun dapat juga kontak
seksual secara oro-genital dan ano-genital. Pada laki-laki umumnya menyebabkan
uretritis akut, sementara pada perempuan menyebabkan servisitis yang mungkin
saja asimtomatik. Gonokokus termasuk golongan diplokokus berbentuk biji kopi
dengan lebar 0,8 μ, panjang 1,6 μ dan bersifat tahan asam. Kuman ini bersifat gram
negatif, yang terlihat di luar atau di dalam sel polimorfonuklear (leukosit), tidak
tahan lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan suhu di atas
39°C dan tidak tahan terhadap zat desinfektan. Afinitas kuman sangat baik pada
mukosa yang dilapisi epitel silindris seperti pada vagina atau epitel lapis gepeng
yang belum berkembang (imatur, pada wanita prepubertas), sedangkan epitel
transisional dan berlapis pipih lebih resisten terhadap kuman gonokokus ini.16
3. Trichomonas vaginalis
Pendahuluan
Trichomonas vaginalis merupakan protozoa patogenik yang biasanya
dijumpai di traktus genitourinaria manusia yang terinfeksi. Ditularkan malalui
hubungan seksual, yang dapat menyebabkan vaginitis pada wanita dan uretritis non-
gonococcoal pada pria. Diperkirakan lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia
terinfeksi parasit ini.19
Epidemiologi
Trichomonas vaginalis biasanya ditularkan melalui hubungan seksual. Dan
ternyata organisme ini dapat bertahan hidup selama 45 menit di tempat dudukan
toilet, baju mandi, pakaian dan air hangat. Penularan perinatal ditemukan sekitar
5% dari ibu yang terinfeksi trichomoniasis, tetapi biasanya ‘self-limited’ oleh
karena metabolisme dari hormon ibu.19,21,10 Tetapi pernah dilaporkan suatu kasus
‘respiratory distress’ bayi laki-laki cukup bulan, dimana pada sediaan basah sputum
kentalnya dijumpai sedikit leukosit dan organisme Trichomonas vaginalis.22
Trichomoniasis menyebar luas di seluruh dunia, baik itu di pedesaan maupun
perkotaan. Pada tahun 1970-an, WHO memperkirakan angka kejadian
trichomoniasis mencapai 180 juta.
Di Amerika Serikat trichomoniasis menginfeksi sekitar 2-3 juta wanita, dan
organisme ini dijumpai pada 30-40% pria yang merupakan pasangan seksual
penderita trichomoniasis ini.19,21
Tiga penelitian di Nigeria pada tahun 1993 menyebutkan angka prevalensi di
Afrika Barat 24,7% (505) dari 2048 spesimen urine yang diambil dari siswa yang
memiliki pendidikan yang tinggi dimana 74% (375) pada wanita dan 26% (131)
pada pria.
Pada populasi dengan resiko rendah umumnya angka kejadian trichomoniasis
rendah, lebih kurang 1%. Tetapi pada mereka yang beresiko tinggi seperti pekerja
seks, gaya hidup seks bebas, angka kejadiannya menjadi cukup tinggi yaitu sekitar
10-50% pada wanita.
Akhir-akhir ini telah dilakukan studi di New Orlens tentang hubungan antara
HIV dan Trichomonas vaginalis, ternyata setelah dikumpulkan data dari tahun 1990
sampai 1998 ditemukan sekitar 16,1% wanita per tahun adalah penderita co-
infected HIV dan Trichomonas vaginalis.21
Gejala klinis
Pasien-pasien dengan trichomoniasis dapat simptomatik atau asimptomatik. Dan
biasanya parasit ini dijumpai secara tidak sengaja melalui pemeriksaan sekret
vagina (latent trichomoniasis).19,21
Masa inkubasinya berkisar 3 sampai 28 hari, rata-rata 7 hari. Gejala
klinisnya dapat terdiri dari :
dijumpainya cairan vagina bewarna kuning kehijauan, pada kasus yang
berat dapat berbusa.
cairan vagina berbau tidak sedap
rasa gatal
panas
iritasi
dispareunia
perdarahan vagina abnormal, terutama setelah coitus
disuria ringan 19,20,21,22,23,24
Nyeri abdomen dapat dijumpai pada 12% wanita penderita trichomoniasis
dimana kemungkinan telah terjadi vaginitis berat dan dapat dijumpai regional
lymphadenopati, atau endrometritis/salpingitis.
Pada pemeriksaan vagina dengan spekulum, mukosa vagina kadang tampak
hiperemis dengan bintik lesi bewarna merah, yang sering disebut dengan
“strawberry vaginitis” atau “colpitis macularis”. Pemeriksaan secara mikroskopik
pada cairan vagina dari colpitis macularis ternyata rata-rata terdapat 18 organisme
Trichomonas vaginalis per lapangan pandang besar, sedangkan pada yang tidak
dijumpai colpitis macularis rata- rata hanya dijumpai 7 organisme.19,20,21
Apabila Trichomonas vaginitis ini tidak diterapi dengan baik, organisme ini
dapat menjadi dormant dan berkolonisasi di urethra serta di kelenjar Skene dan
Bartholin, sehingga hal ini menyebabkan berulangnya infeksi Trichomonas
vaginitis sehingga menjadi trichomoniasis kronik.
Dari berbagai penelitian dikatakan bahwa Trichomonas vaginalis ditemukan
dari 14 – 60 % pria pasangan wanita yang terinfeksi, tetapi sebaliknya Trichomonas
vaginalis ditemukan dari 67-100% wanita pasangan pria yang terinfeksi. Mungkin
hal ini disebabkan oleh karena tingginya kadar Zinc dan substansi antitrichomonas
pada cairan prostat yang berperan menghambat perkembangan organisme ini.19
Diagnosa
Diagnosa dapat ditegakkan melalui hal-hal berikut ini :
Gejala klinis
Diagnosa ditegakkan melalui gejala klinis baik yang subjektif maupun
objektif. Tetapi diagnosa sulit ditegakkan pada penderita pria dimana
trichomoniasis pada pria hanya dijumpai sedikit organisme Trichomonas vaginalis
dibandingkan dengan wanita penderita trichomoniasis.19
Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopis secara langsung dilakukan dengan cara membuat
sediaan dari sekret dinding vagina dicampur dengan satu tetes garam fisiologis di
atas gelas objek dan langsung dapat dibaca di bawah mikroskop. Atau apabila tidak
dapat langsung dibaca, dapat mengirimkan gelas objek yang telah dioleskan sekret
vagina tersebut dalam tabung yang telah berisi garam fisiologis.1,3,4,8,11,12 Pemberian
beberapa tetes KOH 10-20% pada cairan vagina yang diperiksa, dapat
menimbulkan bau yang tajam dan amis pada 75% wanita yang positif
trichomoniasis dan infeksi bakterial vaginosis, tetapi tidak pada mereka yang
menderita vulvovaginal kandidiasis. Untuk menyingkirkan bakterial vaginosis dari
infeksi trichomoniasis dapat diketahui dengan memeriksa konsentrasi laktobasillus
yang jelas berkurang pada trichomonisis dan pH vagina yang lebih basa.19,21
Dari pemeriksaan sekret secara mikroskopik pada mereka yang terinfeksi
trichomoniasis, dapat dijumpai sel-sel PMN yang sangat banyak, coccobacillus,
serta organisme Trichomonas vaginalis (pada sedian yang segar dapat kelihatan
motile).
Kultur
Selain pemeriksaan secara klinis dan mikroskopik langsung, cara lain yang
dapat dilakukan adalah dengan kultur, terutama pada mereka yang sedikit jumlah
organisme Trichomonas vaginalis-nya, seperti pada pria atau pun wanita penderita
trichomoniasis kronik.
Serologi dan immunologi
Pemeriksaan dengan cara ini belum menjamin dan belum cukup sensitif untuk
diagnosis infeksi Trichomonas vaginalis. Walaupun sudah banyak penelitian yang
akhir-akhir ini menggunakan teknik serologi untuk mendiagnosa infeksi T.
vaginalis.19,22
Terapi
Metronidazole adalah antibiotik pilihan pertama dan yang paling baik untuk
kasus- kasus trichomoniasis, meskipun kini telah hadir sejumlah turunannya seperti
tinidazole, ornidazole, memorazole dan tioconazole.
Pengobatan trichomoniasis dengan menggunakan metronidazole pertama kali
diperkenalkan oleh Cosar dan Julou yang mendemonstrasikan aktivitas in vitro
metronidazole terhadap Trichomonas vaginalis.
Dosis yang disarankan untuk trichomoniasis ini adalah :
2 gram, dosis sekali minum (single dose)
250 mg 3 kali sehari selama 7-10 hari
500 mg 2 kali sehari selama 5-7 hari
Pada kasus-kasus gagal terapi maka dapat diberikan dosis 2 gram
metronidazole sehari sekali selama 3-5 hari.
Pemberian metronidazole terhadap wanita hamil tidak disarankan karena
diketahui bahwa metronidazole dapat melewati plasenta barrier, walaupun efek
teratogeniknya masih dipertanyakan.
Pemberian metronidazole secara topikal pada vagina dapat mengurangi
gejala-gejala klinis, tetapi tidak dapat menyembuhkan infeksi ini karena
Trichomonas vaginalis juga menginfeksi urethra dan kelenjar periurethtral,
sehingga bila dilakukan pemberian topikal saja tidak akan dapat membunuh semua
organisme ini yang nantinya dapat menyebabkan terjadinya re-infeksi. Pemberian
secara topikal dianjurkan pada kehamilan yang kurang dari 20 minggu atau pada
penderita yang peka terhadap metronidazole.
Sebaiknya terapi juga diberikan kepada kedua pasangan, agar tidak terjadi re-
infeksi dan dapat meningkatkan persentase penyembuhan sampai dengan
95%.19,20,21,22,23,24
Bukan Infeksi Menular Seksual
1. Gardnerella vaginalis
Definisi
Bacterial vaginosis (BV) adalah penyebab tersering timbulnya duh vagina
yang abnormal pada wanita yang reproduktif. Gejala ini ditandai dengan perubahan
populasi flora normal Lactobacillus dan terjadi pertumbuhan bakteri anaerob di
vagina yang disebabkan hilangnya pH normal vagina. Istilah BV sendiri disetujui
pada tahun 1983 menggantikan istilah sebelumnya yaitu Gardnerella Vaginitis.25
Etiologi
Beberapa literatur telah dikemukakan oleh para ahli, ditemukannya bakteri
pada duh vagina yaitu Gardnerella vaginalis dan bakteri - bakteri anaerob lainnya
menjadi penyebab BV.26
Lactobacillus yang merupakan flora normal dominan pada vagina digantikan
oleh Gardnerella vaginalis dan kuman - kuman anaerob, yaitu Peptostreptococcus,
basil Gram negatif anaerob, Mobiluncus dan Mycoplasma hominis yang tumbuh
berlebihan.27
Gambar 8. Pewarnaan gram dari swab vagina wanita dengan flora normal. Sel epitel dan intinya
dapat terlihat jelas. Bakteri batang gram positif adalah bentuk dari Lactobacillus25
Gambar 9. Pewarnaan gram dari swab vagina wanita BV. Ada banyak bakteri berukuran kecil.
Beberapa merupakan bakteri gram positif dan sebagian gram negatif. Bentuk batang yang agak
melengkung khas pada Mobiluncus mulieris. Clue cell tidak terlihat pada gambar ini 25
Patofisiologi
Leukorea adalah nama gejala yang diberikan kepada cairan yang
dikeluarkan dari alat-alat genital yang tidak berupa darah. Dalam kondisi normal,
kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan jernih yang keluar, bercampur
dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan sekresi dari kelenjar Bartolin.
Selain itu sekret vagina juga disebabkan karena aktivitas bakteri yang hidup pada
vagina yang normal. Pada perempuan, sekret vagina ini merupakan suatu hal yang
alami dari tubuh untuk membersihkan diri, sebagai pelicin dan pertahanan dari
berbagai infeksi. Dalam kondisi normal, sekret vagina tersebut tampak jernih, putih
keruh atau berwarna kekuningan. Sekret ini non-irritan, tidak mengganggu, tidak
terdapat darah, dan memiliki pH 3,5-4,5. Flora normal vagina meliputi
Corinebacterium, Bacteroides, Peptostreptococcus, Gardnerella, Mobiluncuc,
Mycoplasma dan Candida spp. Lingkungan dengan pH asam memberikan fungsi
perlindungan yang dihasilkan oleh Lactobacillus.28
Lingkungan vagina yang normal ditandai adanya suatu hubungan yang
dinamis antara Lactobacillus acidophilus dengan flora endogen lain, estrogen,
glikogen, pH vagina dan hasil metabolit lain. Lactobacillus acidophilus
menghasilkan endogen peroksida yang toksik terhadap bakteri pathogen. Karena
aksi dari estrogen pada epitel vagina, produksi glikogen, lactobacillus (Doderlein)
dan produksi asam laktat yang menghasilkan pH vagina yang rendah sampai 3,8-
4,5 dan pada level ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain.28
Vaginitis sering disebabkan karena flora normal vagina berubah karena
pengaruh bakteri patogen atau adanya perubahan dari lingkungan vagina sehingga
bakteri patogen itu mengalami proliferasi. Antibiotik kontrasepsi, hubungan
seksual, stres dan hormon dapat merubah lingkungan vagina tersebut dan memacu
pertumbuhan bakteri patogen. Pada vaginosis bacterial, diyakini bahwa faktor-
faktor itu dapat menurunkan jumlah hidrogen peroksida yang dihasilkan oleh
Lactobacillus acidophilus sehingga terjadi perubahan pH dan memacu
pertumbuhan Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis dan Mobiluncus yang
normalnya dapat dihambat. Organisme ini menghasilkan produk metabolit
misalnya amin, yang menaikkan pH vagina dan menyebabkan pelepasan sel-sel
vagina. Amin juga merupakan penyebab timbulnya bau pada flour albus pada
vaginosis bacterial.28
Infeksi BV dinyatakan sebagai infeksi polimikrobial yang disebabkan oleh
penurunan jumlah laktobasilus dikuti oleh peningkatan bakteri anaerob yang
berlebihan. Keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang ditandai dengan
perubahan konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) hasil produksi flora normal
Lactobacillus di vagina. Penurunan konsentrasi H2O2 digantikan oleh peningkatan
konsentrasi bakteri anaerob (Mobiluncus, Provetella, Peptostreptococcus,
Bacteroides, dan Eubacterium) dan bakteri fakultatif (Gardnerella vaginalis,
Mycoplasma hominis, Enterococcus dan grup β Streptococcus). Diketahui bahwa
H2O2 dapat menghambat pertumbuhan kuman kuman yang terlibat dalam
vaginosis, yaitu oleh terbentuknya H2O-halida karena pengaruh peroksidase
alamiah yang berasal dari serviks. Dengan meningkatnya pertumbuhan kuman,
produksi senyawa amin oleh kuman anaerob juga bertambah, yaitu berkat adanya
dekarboksilase mikrobial. Senyawa amin yang terdapat pada cairan vagina yaitu
putresin, kadaverin, metilamin, isobutilamin, fenetilamin, histamin, dan tiramin.
Bakteri anaerob dan enzim yang bukan diproduksi oleh Gardnerella dalam suasana
pH vagina yang meningkat akan mudah menguap dan menimbulkan bau amis, bau
serupa juga dapat tercium jika pada sekret vagina yang diteteskan KOH 10%.
Senyawa amin aromatik yang berkaitan dengan timbulnya bau amis tersebut adalah
trimetilamin, suatu senyawa amin abnormal yang dominan pada BV. Poliamin asal
bakteri ini bersamaan dengan asam organik yang terdapat dalam vagina penderita
infeksi BV, yaitu asam asetat dan suksinat, bersifat sitotoksik dan menyebabkan
eksfoliasi epitel vagina. Hasil eksfoliasi yang terkumpul membentuk sekret vagina.
Dalam pH yang alkalis Gardnerella vaginalis melekat erat pada sel epitel vagina
yang lepas dan membentuk clue cells. Secara mikroskopik clue cells nampak
sebagai sel epitel yang sarat dengan kuman, terlihat granular dengan pinggiran sel
yang hampir tidak tampak. Perubahan ini umumnya ditandai dengan produksi
sekret vagina yang banyak, berwarna abu-abu, tipis, homogen, berbau amis dan
terdapat peningkatan pH.25
Gejala Klinis
Eschenbach DA, dkk, Dari 293 wanita dengan vaginosis bakteri yang didiagnosis
menggunakan pengecatan gram sederhana, 65% memiliki gejala peningkatan
keputihan dan atau bau tak sedap pada vagina, sedangkan 74% memiliki tanda-
tanda keputihan karakteristik homogen atau bau seperti amina. Peningkatan pH
vagina merupakan tanda paling spesifik dan bau seperti amina menjadi tanda yang
paling sensitif pada BV.29
Diagnosis
Menegakkan diagnosis BV akan lebih muda bila menggunakan kriteria
Amsel (Amsel R. dkk., 1983) setidaknya terpenuhi 3 dari 4 kriteria, yaitu:
1) Adanya peningkatan jumlah cairan vagina yang bersifat homogen. Keluhan
yang sering ditemukan pada wanita dengan BV adalah adanya gejala cairan
vagina yang berlebihan,berwarna putih yang berbau amis dan menjadi lebih
banyak setelah melakukan hubungan seksual. Pada pemeriksaan spekulum
didapatkan cairan vagina yang encer, homogen, dan melekat pada dinding
vagina namun mudah dibersihkan. Pada beberapa kasus, cairan vagina terlihat
berbusa yang mana gejala hampir mirip dengan infeksi trikomoniasis sehingga
kadang sering keliru dalam menegakan diagnosis.
2) pH cairan vagina yang lebih dari 4,5
pH vagina ditentukan dengan pemerikasaan sekret vagina yang diambil dari
dinding lateral vagina menggunakan cotton swab dan dioleskan pada kertas
strip pH. Pemeriksaan ini cukup sensitif, 90% dari penderita BV mempunyai
pH cairan vagina lebih dari 5; tetapi spesitifitas tidak tinggi karena PH juga
dapat meningkat akibat pencucian vagina, menstruasi atau adanya sperma. pH
yang meningkat akan meningkatkan pertumbuhan flora vagina yang abnormal.
3) Whiff test Positif
Whiff test diuji dengan cara meneteskan KOH 10% pada sekret vagina,
pemeriksaan dinyatakan positif jika setelah penentesan tercium bau amis.
Diduga meningkat pH vagina menyebabkan asam amino mudah terurai dan
menegeluarkan putresin serta kadaverin yang berbau amis khas. Bau amis ini
mudah tercium pada saat melakukan pemeriksaan spekulum, dan ditambah bila
cairan vagina tersebut kita tetesi KOH 10% . Cara ini juga memberikan hasil
yang positif terhadap infeksi trikomoniasis.
4) Ditemukan clue cells pada pemeriksaan mikroskopis
Menemukan clue cells di dalam sekret vagina merupakan hal yang sangat
esensial pada kriteria Amsel. Clue cells merupakan sel-sel epitel vagina yang
dikelilingi oleh bakteri Gram variabel coccobasilli sehingga yang pada keadaan
normal sel epitel vagina yang ujung-ujungnya tajam, perbatasanya menjadi
tidak jelas atau berbintik. Clue cells dapat ditemukan dengan pengecatan gram
secret vagina dengan pemeriksaan laboratorium sederhana dibawah mikroskop
cahaya. Jika ditemukan paling sedikit 20% dari lapangan pandang.
Gambar 10. Gambar Clue Cell dari Pengecatan Salin (Amsel R. dkk., 1983)
Terdapat juga kriteria lain yang dapat membantu, yaitu Kriteria Nugent atau
juga dikenal sebagai skor Nugent merupakan metode diagnosis infeksi BV dengan
pendekatan berdasarkan jumlah bakteri yang ada pada sekret vagina. Kriteria
Nugent merupakan modifikasi dari metode Spiegel dalam penghitungan jumlah
kuman pada preparat basah sekret vagina.30
Kriteria Nugent dinilai dengan adanya gambaran Lactobacillus, Gardnerella
vaginalis dan Mobiluncus spp. (skor dari 0 sampai 4 tergantung pada ada atau
tidaknya pada preparat). Kuman batang Gram negatif/Gram variable kecil
(Garnerella vaginalis) jika lebih dari 30 bakteri per lapangan minyak imersi (oif)
diberi skor 4; 6-30 bakteri per oif diberi skor 3; 1-5 bakteri per oif diberi skor 2;
kurang dari 1 per oif diberi skor 1; dan jika tidak ada diberi skor 0. Kuman batang
Gram-positif besar (Lactobacillus) skor terbalik, jika tidak ditemukan kuman
tersebut pada preparat diberi skor 4; kurang dari 1 per oif diberi skor 3; 1-5 per oif
diberi skor 2; 6-30 per oif diberi skor 1; dan lebih dari 30 per oif diberi skor 0.
Kuman batang Gram berlekuk-variabel (Mobiluncus sp.) , jika terdapat lima atau
lebih bakteri diberi skor 2 , kurang dari 5 diberi skor 1 , dan jika tidak adanya bakteri
diberi skor 0. Semua skor dijumlahkan hingga nantinya menghasilkan nilai akhir
dari 0 sampai 7 atau lebih. Kriteria untuk infeksi BV adalah nilai 7 atau lebih tinggi;
skor 4-6 dianggap sebagai intermediate, dan skor 0-3 dianggap normal.30
Penatalaksanaan
Antibiotik yang terpilih untuk mengobati BV adalah golongan antibiotik
yang dapat menghambat aktivitas bakteri anaerob. Metronidazole dan klindamisin
adalah pilihan antibiotik untuk BV. Secara teori, antibiotik yang tidak aktif
melawan flora normal Lactobacilus (misalnya metronidazole) dapat menyebabkan
peningkatan flora normal vagina dibandingkan dengan Klindamisin yang dapat
melawan pertumbuhan flora normal vagina. Namun, klindamisin memiliki
kemampuan yang lebih kuat dalam melawan bakteri-bakteri M hominis,
Mobiluncus spp dan G vaginalis dibandingkan metronidazole. Pengobatan standar
BV adalah pemberian metronidazole 400 mg peroral 2 kali sehari selama 5 hari.
Alternatifnya adalah metronidazole 2 gram dosis tunggal. Angka kesembuhan
metronidazole sampai 95 % namun setelah 2 minggu menurun menjadi 80%.
Pilihan pengobatan topikal juga cukup baik misalnya krim klindamisin 2% atau gel
metronidazole 0,75% intravagina. Pengobatan topikal memang lebih mahal namun
memiliki efikasi yang sama dengan pemberian oral. Pengobatan topikal ini dapat
dipertimbangkan pemberiannya pada pasien yang tidak dapat menerima
pengobatan sistemik.25
Terapi diindikasikan kepada31:
a. Wanita yang simptomatik
b. Wanita yang akan menjalani prosedur pembedahan
c. Wanita dengan gejala BV yang tidak khas namun duh vaginanya membaik
setelah pemberian terapi.
Regimen yang direkomendasikan:
Metronidazole 400-500 mg dua kali sehari selama 5-7 hari(A)
Atau Metronidazole 2 g dosis tunggal (A).
Regimen alternatif:
Intravaginal metronidazole gel (0.75%) sekali sehari selama 5 hari (A)
Atau Intravaginal klindamisin krim (2%) sekali sehari selama 7 hari (A)
Atau Klindamisin 300 mg 2 kali sehari selama 7 hari (A).
Tinidazole 2g dosis tunggal (A).
Efek samping dari metronidazole seperti yang diketahui adalah berupa
nausea, rasa kembung pada perut, serta intoleransi alkohol. Kadang dapat diikuti
kemerahan pada kulit. Tidak ada bukti yang menyatakan metronidazole bersifat
teratogenik sehingga metronidazole bisa digunakan pada wanita hamil.
Klindamisin memiliki efek samping kemerahan kulit serta kolitis pseudomembran.
Sekitar 10% wanita yang mendapat pengobatan BV mengeluhkan kandidosis
vagina.25
Saran yang diberikan kepada penderita yaitu pasien menghindari sabun
pencuci vagina, shower gel, serta tidak memasukkan cairan antiseptik atau shampo
di air mandi.31
Komplikasi
Infeksi BV yang tidak mendapat penanganan yang baik dapat menyebabkan
komplikasi, antara lain, endometritis, penyakit radang panggul, sepsis paskaaborsi,
infeksi paskabedah, infeksi paskahisterektomi, peningkatan risiko penularan HIV
dan IMS lain. Infeksi BV merupakan faktor risiko potensial untuk penularan HIV
karena pH vagina meningkat dan faktor biokimia lain yang diduga merusak
mekanisme pertahanan host. Penelitian dari seluruh dunia mengenai BV langsung
tertuju kepada sejumlah komplikasi obstetrik yaitu keguguran, lahir mati,
perdarahan, kelahiran prematur, persalinan prematur, ketuban pecah dini, infeksi
cairan ketuban, endometritis paskapersalinan dan kejadian infeksi daerah operasi.25
2. Candida Albicans
Pendahuluan
Candida telah muncul sebagai salahsatu infeksi nosokomial yang paling
penting di seluruh dunia dengan angka morbiditas, mortalitas dan pembiayaan
kesehatan yang bermakna. Penggunaan antijamur untuk profilaksis dan
penatalaksanaan infeksi Candida telah mengubah epidemiologi dan
penatalaksanaan infeksi ini. Penggunaan agen kemoterapeutik, imunosupresif,
antibiotik spektrum luas, transplantasi organ, nutrisi parenteral dan teknik bedah
mutakhir juga telah berperan untuk mengubah epidemiologi infeksi candida. Infeksi
jamur telah muncul sebagai ancaman yang bermakna pada individu yang
imunocompromised. Spesies Candida adalah patogen jamur yang paling sering.32
Infeksi Candida pertama kali didapatkan di dalam mulut sebagai thrush yang
dilaporkan oleh Francois Valleix (1836). Langerbach (1839) menemukan jamur
penyebab trush, kemudian Berhout (1923) memberi nama organisme tersebut
Candida.33
Lebih dari 150 spesies Candida telah di identifikasi.1 Sebanyak paling sedikit
tujuh puluh persen infeksi Candida pada manusia disebabkan oleh Candida
albicans, sisanya disebabkan oleh C. tropicalis, C. parapsilosis, C. guillermondii,
C. kruzei dan beberapa spesies Candida yang lebih jarang.34
Candida adalah anggota flora normal terutama saluran pencernaan, juga
selaput mukosa saluran pernafasan, vagina, uretra, kulit dan dibawah jari-jari kuku
tangan dan kaki. Di tempat-tempat ini ragi dapat menjadi dominan dan
menyebabkan keadaan-keadaan patologik ketika daya tahan tubuh menurun baik
secara lokal maupun sistemik.32,35 Kadang-kadang candida menyebabkan penyakit
sistemik progresif pada penderita yang lemah atau sistem imunnya tertekan,
terutama jika imunitas berperantara sel terganggu. Candida dapat menimbulkan
invasi dalam aliran darah, tromboflebitis, endokarditis, atau infeksi pada mata dan
organ-organ lain bila dimasukkan secara intravena (kateter, jarum, hiperalimentasi,
penyalahgunaan narkotika dan sebagainya).36
Struktur Antigen
Tes aglutinasi dengan serum yang terabsorpsi menunjukkan bahwa semua
strain Candida albicans termasuk dalam dua kelompok besar serologic A dan B.
Kelompok A mencakup C tropicalis. Ekstrak Candida untuk tes serologik dan kulit
tampaknya terdiri atas campuran antigen. Antibodi ini dapat diketahui melalui
presipitasi, imunodifusi, imunoelektroforesis balik, aglutinasi lateks, dan tes-tes
lainnya, tetapi pengenalan antibodi sirkulasi ini tidak terlalu membantu dalam
mendiagnosis penyakit akibat candida. Pada candidiasis yang tersebar sering
terdapat antigen mannan dari Candida yang beredar, dan kadang-kadang dapat
ditemukan antibodi presipitasi terhadap antigen nonmannan. Sebenarnya semua
serum manusia normal akan mengandung antibodi IgG terhadap Candida mannan.36
Gambaran Klinik
Penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies Candida disebut Kandidiasis,
dapat bersifat akut atau subakut dan dapat mengenai mulut, vagina, kulit, kuku,
bronki atau paru, kadang-kadang dapat menyebabkan septikemia, endokarditis,
atau meningitis.
Berdasarkan tempat yang terkena Conant dkk (1971), membaginya sebagai
berikut :33
A. Kandidosis selaput lendir :
1. Kandidosis oral (trush)
2. Perleche
3. Vulvovaginitis
4. Balanitis atau balanopostitis.
5. Kandidosis mukokutan kronik
6. Kandidosis bronkopulmonar dan paru
B. Kandidosis kutis :
1. Lokalisata :
a. daerah intertriginosa
b. daerah perianal
2. Generalisata
3. Paronikia dan onikomikosis
4. Kandidosis kutis granulomatosa
C. Kandidosis sistemik :
1. Endokarditis
2. Meningitis
3. Pielonefritis
4. Septikemia
D. Reaksi id (kandidid)
Pengobatan
A. Menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi.
Lesi-lesi lokal paling baik diobati dengan menghilangkan penyebabnya, yaitu
menghindari basah, mempertahankan daerah-daerah tersebut tetap sejuk,
berbedak dan kering dan penghentian pemakaian antibiotika.33,37
B. Topikal2
1. Larutan ungu gentian ½-1 % untuk selaput lendir, 1-2 % untuk kulit,
dioleskan sehari 2 kali selama 3 hari
2. Nistatin, berupa krim, salap, emulsi
3. Amfoterisin B
4. Grup azol antara lain :
- Mikonazol 2% berupa krim atau bedak
- Klotrimazol 1% berupa bedak, larutan dan krim
- Tiokonazol, bufonazol, isokonazol
- Siklopiroksolamin 1% larutan, krim
- Antimikotik lain yang berspektrum luas
C. Sistemik :
1. Tablet nistatin untuk menghilangkan infeksi fokal dalam saluran cerna
Pemberian nistatin melalui mulut tidak diabsorpsi, tetap dalam usus dan
tidak mempunyai efek pada infeksi Candida sistemik.33,35
2. Amfoterisin B diberikan intravena untuk kandidosis sistemik
Amfoterisin B yang disuntikkan secara intravena, merupakan usaha
pengobatan efektif yang telah diterima untuk sebagian besar bentuk
kandidiasis yang mengenai organ dalam. Amfoterisin B diberikan dalam
kombinasi dengan flusitosin melalui mulut untuk menambah efek
pengobatan pada kandidiasis diseminata.33,37
3. Ketokonazol bersifat fungistatik Ketokonazol menimbulkan respons
terapeutik yang jelas pada beberapa penderita infeksi Candida sistemik,
terutama pada kandidiasis mukokutan. Terapi ketokonazol adalah obat
pilihan untuk pengendalian jangka panjang untuk kandidiasis
mukokutan kronik.6 Anti jamur grup azol menghambat pembentukan
ergosterol dengan mem blok aksi 14-alpha-demethylase.32 Dapat
diberikan dengan dosis 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada
pagi hari setelah makan. Ketokonazol merupakan kontraindikasi untuk
penderita kelainan hepar.33
4. Kandidosis vaginalis dapat diberikan klotrimazol 500 mg per vaginam
dosis tunggal, sistemik dapat diberikan ketokonazol 2x200 mg selama 5
hari atau dengan itrakonazol 2x200 mg dosis tunggal atau dengan
flukonazol 150 mg dosis tunggal.
Pada vulvovaginitis Candida, terapi perawatan dengan ketokenazol
mungkin diperlukan.33
5. Anti jamur spektrum luas adalah polyene, echinocandin digunakan jika
belum diketahui spesies jamurnya. Bila organisme nya dipastikan
Candida albicans, harus dimulai terapi dengan fluconazol.32
PENCEGAHAN
Pencegahan yang dapat dilakukan agar leukorea/ keputihan tidak berulang,
antara lain39 :
Menjaga kebersihan genitalia
Membersihkan bagian luar vagina setiap hari dengan air dan menjaganya
tetap kering
Menghindari penggunaan cairan pembersih kewanitaan
Cara membersihkan organ reproduksi dengan benar yaitu dari arah depan
ke belakang untuk mencegah penyebaran bakteri dari anus ke vagina
Saat menstruasi, biasakan mengganti pembalut apabila sudah terasa basah/
lembab
Memperhatikan pakaian organ kewanitaan kering dan tidak lembab
Menghindari menggunakan pakaian dalam/ celana panjang yang terlalu
ketat karena meningkatkan kelembaban organ kewanitaan
Menggunakan pakaian dalam dari bahan katun agar menyerap keringat
Apabila pakaian dalam terasa lembab, segera ganti dengan yang kering dan
bersih
Mengatur pola hidup yang sehat
Setia kepada pasangan
Hindari seks bebas berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan alat
pelindung sepeti kondom.
Hindari stress, merokok dan alcohol
Konsumsi makanan bergizi dan menjaga berat badan ideal
Hindari penggunaan barang-barang pribadi berbagi dengan orang lain
seperti handuk, pakaian dalam.
PROGNOSIS
Secara umum memiliki prognosis yang baik apabila diberikan regimen terapi
dengan durasi yang tepat serta terapi pada pasangan seksual serta mengikuti
instruksi (minum obat secara rutin dengan dosis yang sesuai dan tidak melakukan
hubungan seksual selama pengobatan sampai terapi selesai dan tidak bergejala).
Pada Vaginosis Bakterial prognosis kesembuhan baik yakni mencapai 70-80%,
Kandidiasis sekitar 80-95% dan Trikomoniasis sekitar 95% dengan terapi yang
adekuat. 38,39
SIMPULAN
Vaginal discharge (leukorea/ fluor albus/ keputihan) merupakan salah satu
masalah yang sering dikeluhkan mulai dari usia muda sampai usia tua. Vaginal
discharge bukan penyakit, namun merupakan suatu manifestasi klinis dari suatu
penyakit. Vaginal discharge / leukorrhea terbagi atas leukorrhea fisiologis dan
patologis. Leukorrhea patologis dapat terjadi diakibatkan oleh infeksi pada alat
reproduksi yang dapat disebabkan oleh infeksi bakteri (Neisseria gonorrhoeae,
Chlamydia trachomatis, Gardnerella vaginalis), Jamur (Candida Albicans), Parasit
(Trichomonas vaginalis), benda asing, iritasi, dll.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dalam anamnesis, perhatikan karakteristik dari discharge
(warna, konsistensi, bau), disertai rasa gatal, terbakar dan nyeri (baik saat berkemih
maupun bersenggama). Dalam pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan
spekulum, dapat melihat sumber keluarnya cairan/ sekret tersebut serta
memperhatikan karakteristik dari vaginal discharge disesuaikan dengan
penyebabnya. Dalam pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan ukur pH, pewarnaan
Gram, kultur, pemeriksaan sediaan basah serta pemeriksaan secara molekular
(NAATs, PCR, dll).
Tatalaksana diberikan secara adekuat terhadap masing-masing penyebab
berdasarkan pedoman regimen yang telah dibahas sebelumnya untuk mencegah
terjadinya komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiknjosastro, H, Saifuddin, B, Rachimhadi, Trijatmo. Radang dan Beberapa
Penyakit pada Alat Genital Wanita. Ilmu Kandungan. 2011. Edisi ketiga.
Cetakan pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo.
Hal. 221-226
2. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC. Williams Obstetrics and
Gynecologic. 22nd. San Fransisco: The McGraw-Hill Companies. 2007
3. Amiruddin, D. Fluor Albus in Penyakit Menular Seksual. 2003.LKiS :
Jogjakarta
4. Cengiz L, Kiyan M, Cengiz AT, Aksoy AM, Kara F,Seekin L, et al. Chlamydia
trachomatis antigens in endocervical samples and serum IgG antibodies in
sterile – infertile women using ELISA. Microbiyol Bull. 1992; 26; 203-13.
5. Harahap SD et al. Hubungan infeksi Chlamydia dengan oklusi tuba pada wanita
infertil. Indonesian Journal of Obstetric and Gynecology volume.36. 2008; 10-
11.
6. Cunningham et al. Anatomy and Physiology. Williams Obsterics 23rd.
McGraw-Hills Companies. 2010.
7. WHO task force: Tubal infertility: Serologic relationship to past chlamydial and
gonococcal infection. Sex Trans.Dis. 1995; 29 ; 71-7.
8. Joyee AG, Thyagarajan SP, Sowmya B, Venkatesan C,Ganapathy M. Need for
specific & routine strategy for the diagnosis of genital chlamydial infection
among patients with sexually transmitted diseases in India. Indian J Med Res.
2003; 118; 152-7.
9. Schorge et al. Gynecologic Infection. Williams Gynecology 2nd. McGraw-
Hills Companies. 2005.
10. Mark A Fritz, Leon Speroff. Female Infertility. Clinical Gynecologic
Endocrinology and Infertility 8th. Lippincott Williams&Wilkins. 2005.
11. Puolakkainen M, Back EH, Reunala T, Suhonen S, Lahteenmaki P, Lehtinen
M, et al. Comparison of performances of two commercially available tests, a
PCR assay and a ligase chain reaction test, in detection of urogenital Chlamydia
trachomatis infection. J Clin. Microbiol. 1998; 36 ; 1489-93.
12. Linda O. Eckert Gretchen M. Lentz. Infections of the Upper Genital Tract
Endometritis, Acute and Chronic Salpingitis. Comprehensive Gynecology, 5th
ed. Mosby, Elsevier. 2010.
13. Joseph Debattis, M.sc, Peter Timmas, Ph.D, “Immunopathogenesis of
chlamydia tracomatis infections in women” . American society for reproductive
medicinne. 2003.
14. Chow, J.M., Yonekura, M.L., Richwald, G.A., Greenland, S., Sweet, R.L.,
Schacter, J, “The association Between Chlamydia Trachomatis and Ectopic
Pregnancy”, JAMA, vol.263, no.23, pp. 3164-3167.1990.
15. Paavonen, J., Kruse, W.E, “Chlamydia Trachomatis: Impact on Human
Reproduction”, Human Reproduction Update, vol. 5, no.5, pp. 433-447.1999.
16. Jawas, Fitri A. dan Murtiastutik, Dwi. 2008. Penderita Gonore di Divisi
Penyakit Menular Seksual Unit Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSU Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2002–2006. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Volume 20 Nomor 3. Surabaya: Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.
17. Ernawati. 2010. Uretritis Gonore. Jurnal Volume Edisi Khusus. Surabaya:
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma.
18. Brooks, Geo F., Janet S. Butel dan Stephen A. Morse. 2005. Mikrobiologi
Kedokteran Buku I. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
19. Krieger JN., Alderete JF . Trichomonas vaginalis and Trichomoniasis. In:
Holmes KK., Mardh P., Sparling PF. Sexually Transmitted Disease.
International Edition. New Yor. Mc-Graw Hill. 1999 : 587-98
20. Candiani GB, Carneri ID, Macchi L, Bisbini P,. Trichomonisis. Milan. Grafiche
Ricordi, 1973 : 7-17,33-50
21. Cook GC. Trichomonal Infection. In : Manson’s Tropical Disease. 20th ed.
London. ELBS & WB Saunders. 1996 : 1315-17
22. Garcia LS, Bruckner DA. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Jakarta.
EGC.1996: 63-5
23. Beaver PC, Jung RC, Cupp EW. Clinical Parasitology. 9th ed.. Philadelphia.
Lea & Febiger, 1984 : 49-51
24. Faust EC, Russell PF. Clinical Parasitology. 7th Ed. Philadelphia. Lea &
Febiger.1964 : 98-101
25. H. Phillips. (2002). Bacterial Vaginosis. JOURNAL OF PAEDIATRICS,
OBSTETRICS AND GYNAECOLOGY. Genitourinary Medicine. London.
26. Roman AS, Pernoll ML. Late pregnancy complications dalam: De Cherney AH,
Nathan L, penyunting. Current Obstetric and Gynecologic. Edisi ke 9. New
York: Mc Graw Hill 2003: 290.
27. Linda O, Eckert MD. Acute vulvovaginitis. New England Journal
Medicine.2006;355:1244-52.
28. Amiruddin, D. Fluor Albus in Penyakit Menular Seksual. 2003.LKiS :
Jogjakarta
29. Amsel R, Totten PA, Spiegel CA, Chen KC, Eschenbach D, Holmes KK.
Nonspecific vaginitis. Diagnostic criteria and microbial and epidemiologic
associations. Am J Med 1983; 74(1):14-22
30. Nugent RP, Krohn MA, Hillier SL. Reliability of Diagnosing Bacterial
Vaginosis is Improved by a Standardized Method of Gram Stain Interpretation.
J Clin Microbiol 1991;29:297-301
31. Ison CA, Hay PE. Validation of a simplified grading of Gram stained vaginal
smears for use in genitourinary medicine clinics. Sex Transm.Infect.
2002;78(6):413-5.
32. Anaissie, E.J. The Changing Epidemiology of Candida Infection. Available
from URL : http://www.medscape.com/viewprogram/7208_pnt. 31 Mei 2007 :
2-6 ; 10-15.
33. Kuswadji. Kandidosis. Dalam : Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar, Aisah Siti.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi ketiga, Jakarta, FK UI, 1999 : 103-6.
34. Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert J., & Zinkernagel, R.M. Fungi as Human
Pathogens : Medical Microbiology. New York, Thieme Stuttgart, 2005 :362-4.
35. Tortora, G.J, Funke, B.R., & Case, C.L. Microbiology an Introduction. Eighth
Edition, San Fransisco, Benjamin Cummings, 2004 : 606-7.
36. Jawetz E, Melnick J, & Adelberg E. Mikrobiologi Kedokteran. Diterjemahkan
oleh Edi Nugroho & Maulany RF. Edisi 20, Jakarta, EGC, 1996 : 627-9.
37. Brooks G.F., Carrol K.C., Butel J.S., & Morse S.A. Medical Microbiology. 24th
ed, Mc Graw Hill, 2007 : 642-5
38. Wibisono B. Daili SF. Makes WB. Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular
Seksual. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
(P3L). Departemen Kesehatan RI. Jakarta: 2010
39. Centers for Disease Control and Prevention: Sexually Transmitted Diseases
Treatment Guidelines 2015. Available at : http://www.cdc.gov/std/tg2015
/default.htm