Anda di halaman 1dari 16

1.

Definisi Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma baru yang memiliki konsep


beragam dalam pembangunan. Keberagaman konsep pembangunan tersebut yang
membuktikan bahwa, pembangunan di negara maju belum tentu bisa dilaksanakan di negara
sedang berkembang, begitupun sebaliknya. Menurut World Commission on Environment and
Development (WCED), pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang
mempertemukan kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Definisi tersebut juga berfokus pada upaya
peningkatan kualitas hidup manusia yang diformat dengan batas-batas daya dukung
ekosistem. Jika mengacu pada aspek pembangunan menurut Munasinghe (1993), terdapat
tiga aspek dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan ekonomi (berfokus pada
pertumbuhan ekonomi, memaksimalkan laba, memperluas pasar dan mengeksternalkan
biaya), Pembanguan sosial (berfokus pada pemenuhan kebutuhan dan kepercayaan pada diri
sendiri), dan pembangunan yang berkaitan dengan ekologi (berfokus pada penghargaan
terhadap kapasistas lingkungan, konservasi, pendaurulangan sumberdaya,serta
pengurangan sampah).

2. Tujuan Dan Faktor Penghambat Pembangunan Berkelanjutan

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs)


merupakan agenda internasional yang menjadi kelanjutan dari Tujuan Pembangunan
Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) yang disusun oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dengan melibatkan 194 negara, civil society, dan berbagai pelaku
ekonomi dari seluruh penjuru dunia guna menjawab tuntutan kepemimpinan dunia dalam
mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan perubahan iklim dalam bentuk aksi nyata. Tujuan
dan target tersebut meliputi 3 (tiga) dimensi pembangunan berkelanjutan, yaitu lingkungan,
sosial, dan ekonomi. Berikut tujuan SDG’s, yakni :

 Mengentaskan segala bentuk kemiskinan dimanapun


 Mengakhiri kelaparan mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi serta
mendukung pertanian berkelanjutan
 Menjamin kehidupan sehat dan mendukung kesejahterahan bagi semua disegala
usia
 Menjamin pendidikan yang inklusif dan setara secara kualitas dan mendukung
kesempatan belajar seumur hidup bagi semua
 Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak
perempuan
 Menjamin ketersediaan manajemen air dan sanitasi yang berkelanjutan untuk
semua
 Menjamin akses terhadap energi yang terjangkau, dapat diandalkan,
berkelanjutan, dan modern bagi semua
 Mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, penyerapan
tenaga kerja penuh dan produktif serta pekerjaan yang layak bagi semua
 Membangun infrastruktur berketahanan mendukung industrialisasi yang inklusif
dan berkelanjutan dan mondorong inovasi
 Mengurangi kesenjangan di dalam dan diantara negara-negara
 Mewujudkan kota-kota dan permukiman yang inklusif, aman, Tangguh dan
berkelanjutan
 Menjamin pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan
 Segera mengambil tindakan untuk melawan perubahan iklim dan dampaknya
 Mengkonservasi dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumberdaya maritim,
laut dan samudera untuk pembangunan berkelanjutan
 Melindungi, memulihkan dan mendukung penggunaan yang berkelanjutan
terhadap ekosistem daratan, mengelola hutan secara berkelanjutan, melawan
penggurungan, serta menghentikan dan membalikkan degredasi tanah dan
menghentikan kehilangan keanekaragaman hayati
 Memperjuangkan masyarakat yang damai dan inklusi, menyediakan akses
terhadap keadilan bagi semua dan membangun institusi-institusi yang efektif,
bertanggungjawab dan inklusif pada semua tingkat
 Menguatkan perangkat implementasi dan merevitalisasi kemitraan global untuk
pembangunan yang berkelanjutan

14.2 Pembangunan Berkelanjutan

Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini tujuan sentral dari pengembangan kebijakan
lingkungan adalah untuk mencapai kualitas lingkungan dengan mengurangi polusi sampai
pada tingkat yang diterima oleh masyarakat. Para pengambil kebijakan telah berjuang
terhadap masalah yang sangat sulit 'seberapa bersih yang dianggap bersih' dan masalah
pemilihan alat kebijakan yang bersifat efektif biaya untuk mencapai tujuan lingkungan yang
telah ditetapkan. Melalui berbagai revisi, perdebatan politis, dan makin meningkatnya
kesadaran masyarakat, telah terjadi sedikit kemajuan dan pergeseran perkembangan
kebijakan. Kesadaran akan perubahan mendasar pada perundangan juga telah meningkat,
tidak lagi bersifat revisi tambal sulam secara berkala - namun lebih bersifat perumusan ulang
tujuan kebijakan lingkungan. Akhirmya terwujudlah konsensus di mana pengambil keputusan
privat dan publik harus diarahkan pada tujuan global yang lebih luas dan bersifat dinamis.
Tujuan semacam inilah yang disebut pembangunan berkelanjutan, yakni mengelola sumber
daya alam sedemikian rupa sehingga kualitas lingkungan jangka panjang dan
ketersediaannya terjamin untuk generasi mendatang. Untuk menganalisis mengapa transisi
seperti ini merupakan perubahan yang nyata dalam perkembangan kebijakan lingkungan,
marilah kita tinjau lagi model keseimbangan material seperti yang telah dibahas pada Bab 1
di depan.

14.2.2 Satu Kebijakan Jangka Pendek

Seperti yang telah dibicarakan, pendekatan kebijakan lingkungan yang konvensional


adalah meningkatkan kualitas lingkungan dengan alat kebijakan "Komando & Kontrol pada
akhir proses'. Mempercayakan sepenuhnya pada standar kinerja atau standar berbasis
teknologi, tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mengontrol jumlah limbah setelah limbah
tersebut keluar. Secara implisit pendekatan ini bermakna bahwa aliran bahan dasar ke sistem
ekonomi adalah garis lurus (linear), sebagaimana diilustrasikan pada Peraga 14.2. Seperti
ditunjukkan dalam grafik, pandangan ini mengumpamakan bahwa bahan dasar mengalir ke
satu arah, memasuki sistem ekonomi sebagai masukan dan keluar sebagai limbah atau
residu. Kebijaksanaan difokuskan pada usaha untuk mengurangi limbah beracun pada titik
akhir proses. Sebagai contoh, kebijakan udara bersih berusaha untuk mengawasi limbah
berbahaya yang mencemari udara, secara resmi menentukan kriteria dan jenis pencemar
udara yang membahayakan. Demikian juga halnya dengan peraturan air bersih nasional
bermaksud untuk mengawasi zat beracun, jenis pencemar yang konvensional dan
nonkonvensional yang mencemari aliran air. Dan kebijakan sampah benda padat berusaha
untuk mengelola aliran sampah baik yang berbahaya maupun yang tidak berbahaya,
termasuk pengelolaan tempat pembuangan akhir (kembali ke alam). Meskipun kebijakan
semacam ini dapat meningkatkan kualitas lingkungan dalam jangka pendek, kebjakan
tersebut tidaklah memecahkan persoalan dalam jangka panjang. Untuk menjelaskan
mengapa hal ini demikian, perhatikanlah model keseimbangan material yang dinamik dalam
kaitannya dengan gagasan kebijakan.

Peraga

Pertama, kapasitas alam untuk mengubah zat dan energi adalah terbatas. Meskipun
limbah dapat diubah menjadi barang lain yang mengalir balik ke penggunaan produktif, proses
ini bukanlah tanpa batas. Oleh karenanya, kebjakan yang mempengaruhi pemakaian sumber
daya dan kerusakan lingkungan tentu mempunyai implikasi pada generasi penerus. Program
pemerintah untuk pemulihan kembali dan mendaur ulang limbah seperti yang ditunjukkan oleh
aliran dalam pada Peraga 13:1 telah membantu menunda buangan limbah namun tidak
menghilangkannya.

Kedua, pengawasan pada akhir proses hanya menggantungkan pada penanganan


limbah setelah limbah tersebut terjadi Cara yang demikian ini mengalihkan sumber produktif
dari kegunaan lain sumber daya yang akhirnya menambah aliran limbah.

Ketiga, kebijakan 'Komando & Kontrol' pada umumnya bekerja secara berlawanan
dengan rangsangan pasar dan tujuan masyarakat luas untuk pembangunan ekonomi. Ini
menunjukkan kemungkinan adanya konfik (trade-offs) antara satu generasi dengan generasi
berikutnya. Kegiatan pembangunan ekonomi dewasa ini dapat merusak lingkungan alam
sedemikian rupa sehingga generasi mendatang kurang mampu melanjutkan kemajuan
ekonomi seperti keadaan sebelumnya. Di lain pithak, membatasi kemajuan ekonomi untuk
pelestarian lingkungan sama halnya dengan melarang generasi sekarang dan generasi
mendatang untuk mencapai standar hidup yang lebih tinggi.

Kesemuanya ini sesungguhnya menyarankan bahwakebijakan lingkungan harus


bertujuan jangka panjang. Model keseimbangan material mengingatkan kita bahwa alam
lingkungan dan kegiatan ekonomi mempunyai hubungan yang erat, dan hubungannya bersifat
dinamis. Tidak akan ada gunanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan
pengaruhnya terhadap lingkungan, dan sama saja tidak masuk akal, berusaha
mencapaitujuan lingkungan yang mengabaikan akibat ekonomi di masa depan.

14.2.3 Menuju Tujuan Jangka Panjang: Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan didasarkan pada premis bahwa pertumbuhan ekonomi


dan kualitas lingkungan harus merupakan tujuan yang bisa dikawinkan. Statistik jumlah
penduduk dunia dan peningkatan penghasilan dapat membantu menjelaskan mengapa kedua
hal ini penting.

Pertama, berdasarkan satu artikel, penghasilan per kapita harus meningkat setidaknya
dua persen setahun untuk mengurangi kemiskinan di dunia dan menghilangkan celah antara
si kaya dan si miskin.

Kedua, penduduk dunia meningkat sekitar 1,7 persen setahun, satu tingkat yang
diharapkan menurun secara periahan. Secara bersama-sama, angka statistikinimenunjukkan
bahwa pertumbuhan ekonomi harus terjadi, Oleh karenanya, untuk menghindari polusi dan
pengurasan sumber daya alam berlebihan, maka pengaruh lingkungan yang diakibatkan oleh
tambahan penghasilan per unit harus menurun dengan kecepatan sekitar 3,5 sampai 4 persen
per tahun.
Peraga

Negara-negara sedang berkembang menghadapi masalah yang lebih parah lagi,


berjuang mati-matian mengembangkan ekonominya untuk mengimbangi pertumbuhan
penduduk yang cepat dan dalam waktu yang sama dihadapkan pada masalah pencemaran
lingkungan. Jumlah penduduk yang lebih besar meningkatkan permintaan barang dan jasa.
Apabila kapasitas produktif satu perekonomian tidak mampu menampung pertumbuhan
penduduk, akan terjadi kekurangan barang dan jasa dan sumber daya disalahgunakan untuk
memenuhi kekurangan tersebut.

Dalam konteks model keseimbangan material kita ketahui bahwa pertumbuhan


penduduk dan pembangunan ekonomi meningkatkan baik aliran sumber daya ke pasar
maupun aliran limbah kembali ke alam. Perubahan aliran ini dapat berpengaruh negatif
terhadap masa depan generasi penerus apabila keputusan masa kini tidak
mempertimbangkan tujuanjangka panjang. Sebagian jawaban terhadap masalah ini adalah
bahwa aliran bahan ke system perekonomian tidak perlu bersifat linear. Disain produksi,
proses manufaktur, dan penggunaan energi dapat dimodifikasi sedemikian rupa sehingga
aliran bahan ke dalam sistem perekonomian melalui jalur yang lebih tertutup, seperti
ditunjukkan pada Peraga 14:3. Perlu mendapat perhatian bahwa model ini menyarankan
pendekatan yang lebih luas terhadap pelestarian lingkungan dibandingkan hanya dengan
pengawasan limbah setelah limbah tersebut terjadi:

Perspektif alternatif ini melukiskan bagaimana kegiatan ekonomi diubah selama siklus
produksi dan konsumsi untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Kemungkinan hasil dari
strategi tersebut adalah pembentukan ekosistem industrial, dimana limbah dari satu proses
digunakan kembali sebagai masukin untuk proses lainnya.

Pembangunan berkelanjutan merupakan gagasan yang sangat ambisius. Masalah


pokok dalam pencapaiannya adalah adanya perubahan kegiatan pasar pada sistem
perekonomian dan bagaimana kebijakan lingkungan dirumuskan. Kuncinya adalah
perubahan tingkah laku pelaku pasar sedemikian rupa sehingga pertumbuhan ekonomi dan
pelestarian lingkungan merupakan tujuan yang searah dan bukannya tujuan yang satu
bertentangan dengan yang lainnya. Meskipun perubahan tersebut memakan waktu, beberapa
gagasan yang sedang dikembangkan di banyak negara telah mengarahkan kebijakan publik
dan swasta menuju ke arah yang benar. Salah satu dari padanya adalah strategi pencegahan,
bukannya pengawasan polusi.

14.3 Pencegahan Polusi


Peribahasa lama mengatakan bahwa "tindakan pencegahan jauh lebih baik dari
pengobatan." Peribahasa ini sekarang digunakan sebagai moto untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan. Yang dimaksud dengan tindakan pencegahan adalah:
pemakaian bahan, proses, atau kegiatan lain yang mengurangi atau menghilangkan
terjadinya polusi atau limbah pada sumbernya. Ini meliputi usaha- usaha mengurangi
pemakaian bahan berbahaya, energi, air, atau sumber lainnya, dan kegiatan yang bersifat
melindungi sumber daya alam melalui pelestarian atau pemakaian yang lebih efisien.

Berdasarkan pengertian ini, pencegahan polusi mengharuskan perubahan


pendekatan dari apa yang dimaksud sebagai strategi akhir proses' (end of pipe strategy)
menjadi strategi 'pengurangan dari awal sampai akhir’ (ront-end reduction strategy). Ini berarti
bahwa limbah yang dihasilkan merupakan variabel strategik dan bukan hanya merupakan
tugas yang harus dipecahkan setelah limbah itu muncul. Dalam model keseimbangan material
strategi pencegahan bersifat mengubah aktivitas ekonomi sedemikian rupa sehingga jumlah
limbah berbahaya yang kembali ke alam menjadi lebih sedikit.

14.3.1 Strategi Pelaksanaan Pencegahan Polusi

Ada dua strategi pencegahan polusi, yakni

(1) Pengurangan di sumbernya, yang berarti setiap kegiatan yang berusaha mengurangi
jumlah bahan berbahaya yang mencemari lingkungan
(2) Penggantian pemakaian bahan kimia beracun. Pemakaian bahan kimia yang kurang
berbahaya untuk mengganti bahan yang lebih berbahaya.

Beberapa strategi untuk pengurangan limbah di sumbernya dan penggantian bahan kimia
beracun adalah:

1. Segregasi sumber. Cara yang memisahkan limbah berbahaya dari limbah yang tidak
berbahaya.
2. Penggantian bahan dasar. Pemakaian input produktif yang mengakibatkan sedikit
atau tanpa limbah berbahaya.
3. Mengubah proses manufaktur. Pemakaian cara produksi alternatif yang menghasilkan
produk samping yang kurang berbahaya.
4. Penggantian produk. Pemilihan produk yang ramah lingkungan relatif terhadap
komoditas yang secara potensial berlimbah.

14.3.2 Analisis Ekonomi Pencegahan Polusi

Pesumber polusi harus menentukan kapan pendekatan pencegahan harus digunakan,


sampai seberapa jauh, dan dengan strategi apa. Kriteria ekonomi dan aturan pengambilan
keputusan lainnya berlaku sama baik untuk strategi pencegahan maupun untuk alat kebijakan
lingkungan lainnya. Apakah satu perusahaan akan memakai strategi pencegahan polusi
sebagai bagian dari strategi usahanya atau tidak, pada umumnya tergantung pada biayanya
relatif dari pilihan lainnya, seperti pemakaian teknologi pengurangan polusi. Tujuannya adalah
untuk memilih alternatif dengan biaya terendah sehingga dicapai biaya efektif dan
meningkatkan keuntungan. Apabila satu perusahaan ingin menentukan bahwa strategi
pencegahan polusi adalah pilihan yang biaya efektif, maka dia harus memakai kriteria biaya
efektif dalam memilih berbagai strategi. Sebagai contoh, apabila satu perusahaan dapat
mencari bahan dasar yang tidak beracun dengan biaya yang lebih murah dibandingkan
dengan mengubah proses produksinya, maka dia harus memilih strategi tersebut.

Dengan memahami pentingnya biaya relatif dalam proses pengambilan keputusan


pemerintah dapat membantu mempromosikan pencegahan polusi dengan berbagai cara.
Misalnya, pemerintah dapat mendorong pengembangan bahan kimia pengganti yang tidak
beracun dan murah dan perubahan proses produksi yang efektif biaya dengan subsidi atau
bantuan grant. Pemerintah dapat juga meningkatkan informasi tentang strategi pencegahan
polusi yang efektif kepada industri. Cara lain adalah pemerintah membantu pengusaha dalam
menilai strategi pencegahan polusi.

Akhimya analisis manfaat biaya dapat membantu menentukan sampai sejauh mana
strategi pencegahan polusi harus dipakai. Secara kualitatif, kita dapat menganggap sebagai
manfaat bagi perusahaan seluruh penghematan biaya pengurangan polusi, besarnya denda
yang mestinya harus dibayar karena tidak mengikuti aturan, dan kenaikan penerimaan
perusahaan sebagai akibat Citra perusahaan yang ramah dan asri lingkungan. Pada sisi biaya
termasuk semua biaya dalam penilaian dan pencarian berbagai pilihan yang tersedia, biaya
administrasi dalam menganalisis berbagai pilihan, biaya teknik desain dan semua
pengeluaran untuk menerapkan strategi terpilih seperti misalnya biaya investasi modal dan
peralatan. Untuk mencapai tingkat pengurangan polusi yang efisien, kriteria yang dipakai
adalah sama seperti pada konteks yang lainnya, yakni pengusaha harus menemukan satu
titik di mana biaya marginal untuk menerapkannya persis ditutup oleh manfaat marginalnya.

14.4 Kerja Sama Internasional

Pembangunan berkelanjutan dimaksudkan sebagai tujuan global, yang mana


manfaatnya dinikmati oleh semua segmen masyarakat dan untuk semua negara. Oleh karena
maksud dan implikasinya yang begitu luas maka sangat diperlukan usaha bersama dari
semua pihak terkait. Di bawah ini akan ditinjau beberapa contoh kerja sama internasional dan
kesepakatan lainnya. Apa yang disumbangkan oleh kerja sama semacam ini adalah
kebersamaan untuk mempromosikan beberapa aspek dari tujuan ganda pembangunan
berkelanjutan.

(1) Konferensi PBB Mengenai Lingkungan dan Pembangunan


Lebih dikenal dengan sebutan KTT Rio, konferensi PBB mengenai Lingkungan
dan Pembangunan selama 12 hari yang diadakan di Rio de Janeiro, Brasil pada 1992.
Ribuan delegasi dari 170 negara menghadirinya untuk membicarakan isu dan
keprihatinan mereka berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan. Banyak
dokumen yang dihasilkan dalam konferensi tersebut, di antaranya adalah Agenda 21
dan Deklarasi Rio. Di bawah ini disajikan secara singkat.
Agenda 21 Dokumen dengan 40 bab ini adalah rencana aksi sukarela yang
memberikan garis besar arah kemajuan dunia luas menuju pembangunan
berkelanjutan, yang meliputi pembiayaan untuk negara berkembang, konservasi dan
pembangunan berkelanjutan untuk hutan, pencegahan dan meminimumkan limbah
padat berbahaya, strategi untuk menangani polusi samudra dan perlindungan satwa
laut, kerja sama internasional untuk kemajuan teknologi penilaian dan pengelolaan
risiko bahan kimia beracun. Mungkin pencapaian terpenting pada KTT Rio, adalah
Agenda 21, yang merupakan hasil dua setengah tahun negosiasi untuk mencapai
konsensus internasional mengenai masalah lingkungan.
Deklarasi Rio Dokumen ini memuat 27 prinsip pokok sebagai pegangan untuk
mencapai kualitas lingkungan global dan pembangunan ekonomi. Prinsip yang
menyatakan bahwa proteksi lingkungan merupakan bagian integral dari
pembangunan, dan menghendaki pengurangan dalam pola produksi dan konsumsi
yang tidak berkelanjutan. Dilaporkan bahwa deklarasi ini merupakan kompromi dari
apa yang semula diantisipasi.
(2) Perjanjian Internasional Mengenai Pengawasan Polusi Perbatasan
Beberapa masalah lingkungan melewati batas negara adalah endapan asam,
penipisan ozon, pemanasan global, dan beberapa pencemaran permukaan air. Jadi
kontaminasi di satu negara bias melewati batas negaranya - sejenis eksternalitas
internasional. Dalam hal ini, perjanjian formal antar negara harus dirundingkan dan
disetujui oleh semua negara terkait. Dalam kesepakatan ini sering diatur secara
khusus masalah tertentu yang dihadapi negara berkembang dan kebutuhan akan
bantuan teknis dan finansial dari negara maju.
Empat perjanjian internasional yang penting dibicarakan secara singkat di
bawah ini, yakni:
a) Protokol Montreal dan Perubahannya
Semula ditandatangani oleh 24 negara pada bulan September 1987, Protokol
Montreal mengenai bahan yang menipiskan lapisan ozon merupakan contoh kerja
sama internasional penting yang bertujuan untuk pelestarian lingkungan. Diperkuat
dengan Amandemen London 1990 dan Konferensi Kopenhagen 1992, perijanjan ini
dimaksudkan untuk mengakhiri CFC (chclorofluorocarbons) dan bahan penipisan
ozon lainnya. Sampai sekarang telah lebih dari 160 negara meratifikasi protokol
tersebut, yang meliputi lebih dari 96 persen pemakaian CFC dunia dan lebih dari 85
persen penduduk dunia. Menyadari masalah khusus yang dihadapi negara
berkembang dan pada waktu yang sama sangat memerlukan bantuan, negara-negara
industri maju telah menghimpun dana untuk membantu pada masa transisi menuju
teknologi pengganti CFC. Mereka juga diberikan masa tenggang selama 10 tahun
untuk memenuhi target yang telah disepakati
b) Konvensi Perubahan Iklim PBB (U.N. Framework Convention on Climate
Change)
Diikuti oleh lebih dari 150 negara, konvensi ini mengatur dasar-dasar kerja
sama global untuk menghadap perubahan iklim. Pada bulan Maret 1994, pakta ini
telah secara formal mengikat setelah diratifikasi oleh 50 negara pada tahun 1993. Di
antara negara pertama yang meratifikasi perjanjian ini adalah China, yang
memerlukan dukungan kuat dari negara lain untuk memenuhi konsumsi batubara dan
emisi CO2, yang selalu meningkat, yang diperkirakan akan menjadi tiga kali lipat dalam
35 tahun mendatang. Satu keputusan penting, yang selalu diperdebatkan, adalah
komitmen dari setiap penanda tangan pakta tersebut untuk menerapkan strategi
nasional dalam membatasi emisi gas rumah kaca (greenhouse gas = GHG). Setiap
strategi harus menunjang tujuan umum mengurangi emisi untuk mencapai tingkat
tahun 1990 pada tahun 2000. Ketetapan ini telah merupakan fokus perdebatan pada
Konferensi Iklim PBB tahun 1995 di Berlin dan di Nusa Dua, Bali, Indonesia tahun
2008.
c) Konvensi London (London Dumping Convention)
Pembuangan limbah tertentu di lautan samudra, termasuk buangan limbah
radio aktif, dilarang berdasarkan Konvesi tentang Pencegahan Polusi Kelautan,
berdasarkan Dumping Limbah dan Barang Lain, yang biasanya dikenal sebagai
London Dumping Convention (L.DC). Semula dicetuskan pada bulan November 1972,
sekarang LDC telah diratifikasi oleh lebih dari 75 negara. Kenyataannya, semua
negara yang telah pernah membuang limbah radio aktif ke lautan harus menjadi
anggota LDC.
d) Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas
(ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution) adalah sebuah
perjanjian lingkungan hidup yang ditandatangani pada tahun 2002 oleh negara-negara
anggota ASEAN yang bertujuan untuk mengendalikan pencemaran asap di Asia
Tenggara. Persetujuan ini merupakan reaksi terhadap krisis lingkungan hidup yang
melanda Asia Tenggara pada akhir dasawarsa 1990-an. Krisis ini terutama
disebabkan oleh pembukaan lahan dengan cara pembakaran di pulau Sumatra,
Indonesia. Citra satelit menunjukkan adanya titik api di beberapa lokasi di Kalimantan,
Sumatra, Semenanjung Melayu dan beberapa tempat lain. Malaysia dan Singapura,
dan sedikit banyak Thailand dan Brunei, sangat terpengaruh oleh hal ini. Dari Sumatra,
angin muson bertiup membawa asap ke arah timur dan menciptakan akibat negatif
bagi negara-negara Asia Tenggara lainnya. Asap tebal melingkupi sebagian Asia
Tenggara selama beberapa Minggu mengakibatkan masalah kesehatan pada
penduduk setempat. Sampai Agustus 2005, tujuh negara telah meratifikasi perjanjian
tersebut. Indonesia, negara yang dianggap sebagai sumber utama krisis asap, masih
belum meratifikasi perjanjian. Pada tahun 2006 Pemerintah Indonesia telah
menyampaikan rencana ratifikasi persetujuan itu kepada DPR dalam bentuk
Rancangan Undang-Undang. Negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian adalah
Brunei (27 Februari 2003), Laos (19 Desember 2004), Malaysia (3 Desember 2002),
Myanmar (65 Maret 2003), Singapura (13 lanuari 2003), Thailand (10 September
2003), dan Yietnam (24 Maret 2003).

14.5 Perjanjian Dagang Internasional dan Pelestarian Lingkungan

Negosiasi perdagangan internasional selalu merupakan bahan perdebatan politik dan


ekonomi.. Meskipun diketahui adanya keuntungan ekonomis dari perdagangan, perdagangan
antar negara selalu merupakan masalah yang kompleks. Negosiasi perdagangan jarang atau
malah tidak pernah lepas dari tujuan politik dan masalah pertahanan nasional. Keuntungan
dari perdagangan dengan mudah dikaburkan oleh sikap proteksionis yang dikompori oleh
perbedaan peraturan mengenai keamanan produksi, hukum perburuhan, dan nasionalisme.
Akhir-akhir ini, pembicaraan perdagangan internasional telah menghadapi kontroversi jenis
lain-pertentangan potensial antara keuntungan ekonomi dan menurunnya kualitas
lingkungan.

Kepedulian umum mengenai perdagangan luar negeri adalah aturan perburuhan yang
tidak ketat dan tingkat upah yang relative rendah di negara berkembang dapat berpengaruh
negatif terhadap kesempatan kerja di negara maju. Ketakutan yang serupa telah muncul pada
perbedaan aturan lingkungan antar negara partner dagang. Biaya produksi lebih rendah di
negara dengan standar lingkungan yang rendah, yang dapat memberikan keuntungan tidak
wajar (unfair) kepada produsen di negara tersebut relatif terhadap pesaingnya dari negara
yang mempunyai aturan pengawasan yang sangat tegas. Sumber ketidaksesuaian yang lain
adalah kualitas barang yang dihasilkan dinegara tanpa aturan mengenai pemakaian bahan
kimia beracun, efisiensi minyak dan konsumsi batubara.

Di sisi lain, para pendukung perdagangan menyatakan bahwa keuntungan ekonomi


dari perdagangan akan membantu negara miskin dalam menyediakan pembiayaan
pembersihan lingkungan, yang pada umumnya sudah tercemar sangat parah. Dalam hal
polusi lintas batas keuntungan dari perdagangan akan dinikmati oleh negara tetangga.
Argumentasi ini konsisten dengan premis pembangunan berkelanjutan-kemakmuran
ekonomi, dalam konteks ini ditingkatkan melalui perdagangan, yang dapat menimbulkan
perbaikan kualitas lingkungan.

14.6 Kerja Sama dan Program Dalam Negeri

Meskipun perspektifnya global, namun kebijakan untuk mencapai pembangunan


berkelanjutan harus muncul di dalam batas-batas negara. Persis sama halnya dengan
perjanjian internasional, kebijakan dalam negeri juga memerlukan kerja sama,
meskipundalam bentuk yang berbeda. Di banyak negara industri, kerja sama sedang digalang
antara pemerintah dan industri, antara kelompok lingkungan dan pembisnis, dan antara
perusahaan individu dengan industri.

Pembangunan berkelanjutan dan tujuan lain seperti pencegahan polusi mengharuskan


adanya perubahan besar dalam pengambilan keputusan perusahaan, merencanakan
produksinya, dan mendesain serta memasarkan produksinya. Apabila pembisnis
menganggap hal ini berlawanan dengan kepentingan pribadinya, perubahan yang
dikehendaki sangat sulit terjadi. Untuk memantau agar terjadi perubahan secara perlahan
mengenai cara berpikir dan perencanaan bisnisnya, pemerintah harus bekerja sama dengan
industri dan kelompok lingkungan untuk berbagi informasi, untuk memantau kemajuan
teknologi yang diperlukan, dan untuk mencari solusi menuju pencapaian baik tujuan
pelestarian lingkungan maupun tujuan usaha bisnis. Usaha ke arah ini memerlukan kerja
sama baik di dalam sektor swasta itu sendiri, maupun kerja sama yang disponsori pemerintah.

Banyak kerja sama yang disponsori oleh pemerintah negara maju juga mempunyai
pengaruh terhadap lingkungan di negara lain seperti Indonesia. Kerja sama tersebut misalnya
apa yang disebut dengan Green Light Program. Satu rencana yang memantau kerja sama
antara bisnis dan pemerintah yang bertujuan meningkatkan efisiensi pemakaian energi. Di
samping itu program lain disebut Energy Star Program. Satu rencana pemberian label pada
produk yang mendorong pengusaha untuk mengembangkan produk yang hemat energi. Kerja
sama yang disponsori oleh pemerintah di Indonesia, khususnya Kementrian Negara
Lingkungan Hidup, antara lain:

a. Pakta lingkungan Paroki


Paroki St. Patrick meluncurkan sebuah "perjanjian keluarga" yang bertujuan
mempromosikan upaya perlindungan terhadap lingkungan. Pastor paroki tersebut,
Patrick Sun Ing-feng, mendistribusikan lembaran perjanjian pada hari Pantekosta
tanggal 23 Mei lalu. Dia mengatakan,"Ini adalah perjanjian antara Tuhan dengan
kita."Perjanjian ini mendorong umat untuk menghargai kehidupan, hidup dalam
harmoni dengan ciptaan Tuhan dan peduli dengan bumi. Perjanjian tersebut
menyarankan beberapa cara praktis seperti untuk lebih memilih berjalan kaki daripada
naik mobil, dan mengurangi penggunaan kertas. "Tidak ada salahnya hidup dalam
kenyamanan, tapi terlalu banyak hura-hura menyebabkan boros dan tamak," kata
Maria Lau, yang menjual kertas buangan sejak tahun 2008 dan menyumbangkan
hasilnya untuk amal. Ketua dewan paroki berharap perjanjian ini dapat membantu
umat paroki "menghubungkan iman dengan kehidupan nyata serta membangun
hubungan yang lebih dekat" dengan sesama umat paroki. Sekitar 100 keluarga,
hampir seperempat dari jumlah umat paroki, telah bergabung dalam gerakan
lingkungan hijau ini.
b. Program Eco Pesantren
Kerja sama antara MNLH dengan Menteri Agama, tentang pengembangan
peran Lembaga pendidikan islam dalam pengelolaan lingkungan hidup. Diluncurkan 6
Maret 2008. Arti Eco Pesantren adalah satu institusi pendidikan islam yang
mempunyai kepedulian pada aktivitas yang tanggap terhadap lingkungan hidup, di
mana salah satu tujuan:adalah memberdayakan komunitas pesantren untuk
meningkatkan kualitas lingkungan yang islami; jumlah pesantren lebih dari 17.000
buah di Indonesia.
c. Program Adiwiyata
Maksud dari program ini adalah untuk menciptakan kondisi yang baik bagi
sekolah untuk menjadi tempat pembelajaran dan penyadaran warga sekolah,
sehingga di kemudian hari warga sekolah tersebut dapat turut bertanggung jawab
dalam upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup dan pembangunan
berkelanjutan. Kegiatan utama Program Adiwiyata adalah mewujudkan kelembagaan
sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan bagi sekolah dasar dan menengah di
Indonesia. Program dan kegiatan yang dikembangkan harus berdasarkan norma-
norma dasar dan berkehidupan yang meliputi antara lain: kebersamaan, keterbukaan,
kejujuran, keadilan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam.
d. Program Adipura (Clean and Green city program)
Program ini adalah satu program yang diselenggarakan oleh KNLH yang
berupa sebuah penghargan bagi kota di Indonesia yang berhasil dalam kebersihan
serta pengelolaan lingkungan perkotaan. Pengertian kota dalam penilaian Adipura
bukanlah kota otonom, namun bisa juga bagian dari wilayah kabupaten yang memiliki
karakteristik sebagai daerah perkotaan dengan batas-batas wilayah tertentu. Peserta
program Adipura dibagi ke dalam 4 kategori berdasarkan jumlah penduduk, yaitu: Kota
Metropolitan (berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa), Kota Besar (500.001 -1.000.000
jiwa), Kota Sedang (100.001 - 500.000 jiwa), dan Kota Kecil (sampai dengan 100.000
jiwa). Dalam lima tahun pertama, program Adipura difokuskan untuk mendorong kota-
kota di Indonesia menjadi "Kota Bersih dan Teduh". Program Adipura telah
dilaksanakan setiap tahun sejak 1986 kemudian terhenti pada tahun 1998, dan
kembali dicanangkan pada tanggal 5luni 2002, dan berlanjut hingga sekarang.

Di samping program dan kerja sama di atas, ketika manfaat pencegahan polusi telah
diketahui masyarakat, maka pengaturan kerja sama di antara pembisnis swasta juga akan
dan telah mulai dibentuk. Beberapa di antaranya tanpa ikut campur pemerintah. Sejumlah
asosiasi dagang, sebagai contoh, telah mengembangkan program pencegahan lingkungan
untuk para anggotanya. Dalam hal ini perlu disebutkan program yang bersifat sukarela seperti
Kapaltaru dan Prokasih.

Program Kapaltaru adalah penghargaan lingkungan hidup pada tingkat nasional yang
diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada perorangan atau kelompok masyarakat
yang telah menunjukkan kepeloporannya dalam melestarikan fungsi lingkungan. Diserahkan
oleh Kepala Negara RI setiap tahun pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni.
Sedangkan Prokasih adalah program kali bersih yang dijalankan pemerintah provinsi dengan
dukungan pemerintah pusat di mana media, organisasi swadaya masyarakat dan kelompok
masyarakat diharapkan berperan aktif. Karena sifatnya sukarela, maka program Prokasih ini
meliputi kegiatan (i) menemukan tim sukarela yang bersedia menjalankanprogram ini, (ii)
menentukan targetperusahaan sumber polusi utama di satu daerah, (ii) meminta agar
perusahaan tersebut menandatangani perjanjian pengurangan limbah buangannya dengan
50 % dari jumlah limbah yang dikeluarkannya dalam kurun waktu yang disepakati, (iv)
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian tersebut, dan ('v) memberikan
tekanan atau pemaksaan tertentu terhadap mereka yang tidak mematuhi kesepakatan
program prokasih.
Pencemaran udara telah menjadi salah satu masalah lingkungan global yang menjadi
perhatian dunia. Di Indonesia sendiri, pencemaran udara memiliki dampak terhadap
kesehatan yang akhirnya akan menimbulkan beban ekonomi (economics burdern) yang harus
ditanggung oleh masyarakat. Beban ekonomi tersebut, terdiri dari biaya langsung (direct cost),
biaya tidak langsung (indirect cost), dan biaya yang bersifat tidak nyata (intangible cost). Biaya
langsung berupa penggunaan sumberdaya untuk merawat dan mengobati sakit, yang
dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu biaya kesehatan (medical cost), seperti biaya berobat
dan jasa konsultasi medis serta biaya non-kesehatan (non-medical cost) seperti transportasi
menuju dan akomodasi selama di tempat berobat. Biaya tidak langsung merupakan nilai
sumber daya yang hilang, yang meliputi biaya morbiditas dan mortalitas, biaya pengobatan
informal, dan biaya kehilangan akibat tindakan kriminal. Sementara itu, intangible cost
merupakan jenis biaya yang sulit diukur karena terkait dengan perasaan, baik fisik dan
psikologi, seperti sakit, menderita, dan tidak nyaman (Sangkey, 2011). Penilaian dampak
ekonomi dari pencemaran udara terhadap kesehatan seringkali dihindari karena dua kesulitan
yang sekaligus menjadi masalah utama, yaitu: (1) menetapkan hubungan sebab-akibat
secara langsung antara pencemaran dan gangguan kesehatan; (2) mengestimasi nilai
moneter pada dampak kesehatan akibat pencemaran. Masalah pertama merupakan bagian
dari studi tentang penilaian risiko epidemiologi (epidemiological risk assessment), terutama
terkait dengan penentuan ada tidaknya hubungan sebabakibat (cause-effect relationship)
(WHO, 2002). Studi ini melibatkan beberapa tahap penilaian, yaitu identifikasi risiko
kesehatan, penilaian eksposur (paparan pencemar), penilaian doseresponse, dan yang
terakhir adalah identifikasi karakter dari masing-masing risiko kesehatan. Masalah kedua,
yaitu estimasi nilai ekonomi dalam satuan moneter(sering disebut valuasi ekonomi) dari
dampak kesehatan akibat pencemaran merupakan sesuatu yang cukup kompleks karena
kesehatan bukanlah suatu komoditas pasar yang sederhana.Konsep ini didasarkan pada teori
ekonomi kesejahteraan (welfare economics) yang mengasumsikan bahwa kesehatan memiliki
nilai selayaknya barang ekonomi lainnya, dan nilai tersebut dapat diperbandingkan. Secara
lebih spesifik, teori tersebut mengasumsikan bahwa masyarakat cukup rasional dalam
mengambil keputusan yang bersifat ‘trade-off’antara risiko kesehatan (health risks) dan
barang ekonomi lainnya (Septiyantie, 2013). Dewasa ini telah berkembang berbagai teknik
evaluasi untuk mengestimasi dampak ekonomi dari pencemaran terhadap kesehatan.
Dampak kesehatan secara umum terdiri dari kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas).
Metode umum yang digunakan untuk menilai biaya morbiditas adalah loss of earnings dan
medical cost. Kombinasi kedua metode tersebut sering disebut dengan metode cost of illness
(COI). Sementara itu, estimasi biaya mortalitas akibat pencemaran melibatkan teknik yang
lebih kompleks dan seringkali menimbulkan kontroversi seputar masalah etika/moral terkait
dengan pemberian satuan moneter pada nilai kehidupan (value of life). Oleh karena itu, para
ahli tidak menggunakan biaya kematian dalam arti psikologis, tetapi melalui proksi berupa
hilangnya penghasilan (forgone earning) akibat mati secara dini . Konsep ini dikenal dengan
nilai hidup secara statistik atau Value of Statistical Life (VSL). Metode yang sering digunakan
untuk mengestimasi biaya mortalitas adalah pendekatan modal manusia atau Human Capital
(HC) dengan prinsip bahwa value of life seseorang ditentukan oleh tingkat produktivitas kerja
yang biasanya diukur berdasarkan nilai sekarang (present value) dari aliran pendapatan di
masa datang. Kelemahan dari pendekatan HC tersebut adalah tidak mampu mengestimasi
preferensi seseorang tentang nilai hidupnya, sehingga dalam praktiknya pendekatan ini sudah
jarang digunakan.Sebagai alternatif, VSL biasanya diestimasi melalui kesediaan membayar
atau willingness to pay (WTP) masyarakat terhadap pengurangan, bukan penghindaran,
tingkat risiko kematian (Yaduma, 2012). Studi tentang dampak ekonomi dari pencemaran
udara terhadap kesehatan telah banyak dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, baik pada
tingkat negara maupun tingkat daerah (biasanya kota) dalam satu negara. Indikator
pencemaran udara yang digunakan berbeda-beda, tetapi sebagian besar menggunakan
PM10. Penilaian dampak kesehatan akibat pencemaran pada studi tersebut dilakukan melalui
metode DoseResponse Function (DRF). Sementara itu, biaya ekonomi dari dampak
kesehatan tersebut diestimasi oleh pendekatan value of statistical life (VSL) untuk mortalitas
dan costs of illness (COI) untuk morbiditas. Hasil studi menunjukkan besarnya biaya mortalitas
yang diakibatkan oleh konsentrasi PM10adalah US$ 1.773 juta atau setara dengan 2.09%
dari PDB (Produk Domestik Bruto), sedangkan biaya morbiditas sekitar US$ 1.889,33 juta
atau setara dengan 2.22% dari PDB Singapura tahun 1999. Pada kasus di Indonesia, studi
tentang dampak kesehatan dari pencemaran udara pada umumnya dilakukan pada tingkat
kota, diantaranya di Kota Jakarta yang menggunakan TSP (Total Suspended Particulates)
dan PM10 di Kota Yogyakarta yang menggunakan PM10 dan Pb (timbal) sebagai indikator
pencemaran udara. Berbeda dengan kedua studi tersebut, penelitian ini dilakukan pada
tingkat negara, yaitu lndonesia,yang difokuskan pada konsentrasi PM10.Tujuan umum dari
penelitian adalah untuk mengestimasi dampak ekonomi dari pencemaran udara terhadap
kesehatan. Secara spesifik, tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut: (1) mengestimasi
jumlah kasus mortalitas dan morbiditas akibat dari konsentrasi PM10; dan (2) melakukan
valuasi biaya ekonomi dari mortalitas dan morbiditas tersebut.
https://www.ojk.go.id/sustainable-finance/id/publikasi/prinsip-dan-kesepakatan-
internasional/Pages/Tujuan-Pembangunan-Berkelanjutan.aspx

Anda mungkin juga menyukai