Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini tujuan sentral dari pengembangan kebijakan
lingkungan adalah untuk mencapai kualitas lingkungan dengan mengurangi polusi sampai
pada tingkat yang diterima oleh masyarakat. Para pengambil kebijakan telah berjuang
terhadap masalah yang sangat sulit 'seberapa bersih yang dianggap bersih' dan masalah
pemilihan alat kebijakan yang bersifat efektif biaya untuk mencapai tujuan lingkungan yang
telah ditetapkan. Melalui berbagai revisi, perdebatan politis, dan makin meningkatnya
kesadaran masyarakat, telah terjadi sedikit kemajuan dan pergeseran perkembangan
kebijakan. Kesadaran akan perubahan mendasar pada perundangan juga telah meningkat,
tidak lagi bersifat revisi tambal sulam secara berkala - namun lebih bersifat perumusan ulang
tujuan kebijakan lingkungan. Akhirmya terwujudlah konsensus di mana pengambil keputusan
privat dan publik harus diarahkan pada tujuan global yang lebih luas dan bersifat dinamis.
Tujuan semacam inilah yang disebut pembangunan berkelanjutan, yakni mengelola sumber
daya alam sedemikian rupa sehingga kualitas lingkungan jangka panjang dan
ketersediaannya terjamin untuk generasi mendatang. Untuk menganalisis mengapa transisi
seperti ini merupakan perubahan yang nyata dalam perkembangan kebijakan lingkungan,
marilah kita tinjau lagi model keseimbangan material seperti yang telah dibahas pada Bab 1
di depan.
Peraga
Pertama, kapasitas alam untuk mengubah zat dan energi adalah terbatas. Meskipun
limbah dapat diubah menjadi barang lain yang mengalir balik ke penggunaan produktif, proses
ini bukanlah tanpa batas. Oleh karenanya, kebjakan yang mempengaruhi pemakaian sumber
daya dan kerusakan lingkungan tentu mempunyai implikasi pada generasi penerus. Program
pemerintah untuk pemulihan kembali dan mendaur ulang limbah seperti yang ditunjukkan oleh
aliran dalam pada Peraga 13:1 telah membantu menunda buangan limbah namun tidak
menghilangkannya.
Ketiga, kebijakan 'Komando & Kontrol' pada umumnya bekerja secara berlawanan
dengan rangsangan pasar dan tujuan masyarakat luas untuk pembangunan ekonomi. Ini
menunjukkan kemungkinan adanya konfik (trade-offs) antara satu generasi dengan generasi
berikutnya. Kegiatan pembangunan ekonomi dewasa ini dapat merusak lingkungan alam
sedemikian rupa sehingga generasi mendatang kurang mampu melanjutkan kemajuan
ekonomi seperti keadaan sebelumnya. Di lain pithak, membatasi kemajuan ekonomi untuk
pelestarian lingkungan sama halnya dengan melarang generasi sekarang dan generasi
mendatang untuk mencapai standar hidup yang lebih tinggi.
Pertama, berdasarkan satu artikel, penghasilan per kapita harus meningkat setidaknya
dua persen setahun untuk mengurangi kemiskinan di dunia dan menghilangkan celah antara
si kaya dan si miskin.
Kedua, penduduk dunia meningkat sekitar 1,7 persen setahun, satu tingkat yang
diharapkan menurun secara periahan. Secara bersama-sama, angka statistikinimenunjukkan
bahwa pertumbuhan ekonomi harus terjadi, Oleh karenanya, untuk menghindari polusi dan
pengurasan sumber daya alam berlebihan, maka pengaruh lingkungan yang diakibatkan oleh
tambahan penghasilan per unit harus menurun dengan kecepatan sekitar 3,5 sampai 4 persen
per tahun.
Peraga
Perspektif alternatif ini melukiskan bagaimana kegiatan ekonomi diubah selama siklus
produksi dan konsumsi untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Kemungkinan hasil dari
strategi tersebut adalah pembentukan ekosistem industrial, dimana limbah dari satu proses
digunakan kembali sebagai masukin untuk proses lainnya.
(1) Pengurangan di sumbernya, yang berarti setiap kegiatan yang berusaha mengurangi
jumlah bahan berbahaya yang mencemari lingkungan
(2) Penggantian pemakaian bahan kimia beracun. Pemakaian bahan kimia yang kurang
berbahaya untuk mengganti bahan yang lebih berbahaya.
Beberapa strategi untuk pengurangan limbah di sumbernya dan penggantian bahan kimia
beracun adalah:
1. Segregasi sumber. Cara yang memisahkan limbah berbahaya dari limbah yang tidak
berbahaya.
2. Penggantian bahan dasar. Pemakaian input produktif yang mengakibatkan sedikit
atau tanpa limbah berbahaya.
3. Mengubah proses manufaktur. Pemakaian cara produksi alternatif yang menghasilkan
produk samping yang kurang berbahaya.
4. Penggantian produk. Pemilihan produk yang ramah lingkungan relatif terhadap
komoditas yang secara potensial berlimbah.
Akhimya analisis manfaat biaya dapat membantu menentukan sampai sejauh mana
strategi pencegahan polusi harus dipakai. Secara kualitatif, kita dapat menganggap sebagai
manfaat bagi perusahaan seluruh penghematan biaya pengurangan polusi, besarnya denda
yang mestinya harus dibayar karena tidak mengikuti aturan, dan kenaikan penerimaan
perusahaan sebagai akibat Citra perusahaan yang ramah dan asri lingkungan. Pada sisi biaya
termasuk semua biaya dalam penilaian dan pencarian berbagai pilihan yang tersedia, biaya
administrasi dalam menganalisis berbagai pilihan, biaya teknik desain dan semua
pengeluaran untuk menerapkan strategi terpilih seperti misalnya biaya investasi modal dan
peralatan. Untuk mencapai tingkat pengurangan polusi yang efisien, kriteria yang dipakai
adalah sama seperti pada konteks yang lainnya, yakni pengusaha harus menemukan satu
titik di mana biaya marginal untuk menerapkannya persis ditutup oleh manfaat marginalnya.
Kepedulian umum mengenai perdagangan luar negeri adalah aturan perburuhan yang
tidak ketat dan tingkat upah yang relative rendah di negara berkembang dapat berpengaruh
negatif terhadap kesempatan kerja di negara maju. Ketakutan yang serupa telah muncul pada
perbedaan aturan lingkungan antar negara partner dagang. Biaya produksi lebih rendah di
negara dengan standar lingkungan yang rendah, yang dapat memberikan keuntungan tidak
wajar (unfair) kepada produsen di negara tersebut relatif terhadap pesaingnya dari negara
yang mempunyai aturan pengawasan yang sangat tegas. Sumber ketidaksesuaian yang lain
adalah kualitas barang yang dihasilkan dinegara tanpa aturan mengenai pemakaian bahan
kimia beracun, efisiensi minyak dan konsumsi batubara.
Banyak kerja sama yang disponsori oleh pemerintah negara maju juga mempunyai
pengaruh terhadap lingkungan di negara lain seperti Indonesia. Kerja sama tersebut misalnya
apa yang disebut dengan Green Light Program. Satu rencana yang memantau kerja sama
antara bisnis dan pemerintah yang bertujuan meningkatkan efisiensi pemakaian energi. Di
samping itu program lain disebut Energy Star Program. Satu rencana pemberian label pada
produk yang mendorong pengusaha untuk mengembangkan produk yang hemat energi. Kerja
sama yang disponsori oleh pemerintah di Indonesia, khususnya Kementrian Negara
Lingkungan Hidup, antara lain:
Di samping program dan kerja sama di atas, ketika manfaat pencegahan polusi telah
diketahui masyarakat, maka pengaturan kerja sama di antara pembisnis swasta juga akan
dan telah mulai dibentuk. Beberapa di antaranya tanpa ikut campur pemerintah. Sejumlah
asosiasi dagang, sebagai contoh, telah mengembangkan program pencegahan lingkungan
untuk para anggotanya. Dalam hal ini perlu disebutkan program yang bersifat sukarela seperti
Kapaltaru dan Prokasih.
Program Kapaltaru adalah penghargaan lingkungan hidup pada tingkat nasional yang
diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada perorangan atau kelompok masyarakat
yang telah menunjukkan kepeloporannya dalam melestarikan fungsi lingkungan. Diserahkan
oleh Kepala Negara RI setiap tahun pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni.
Sedangkan Prokasih adalah program kali bersih yang dijalankan pemerintah provinsi dengan
dukungan pemerintah pusat di mana media, organisasi swadaya masyarakat dan kelompok
masyarakat diharapkan berperan aktif. Karena sifatnya sukarela, maka program Prokasih ini
meliputi kegiatan (i) menemukan tim sukarela yang bersedia menjalankanprogram ini, (ii)
menentukan targetperusahaan sumber polusi utama di satu daerah, (ii) meminta agar
perusahaan tersebut menandatangani perjanjian pengurangan limbah buangannya dengan
50 % dari jumlah limbah yang dikeluarkannya dalam kurun waktu yang disepakati, (iv)
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian tersebut, dan ('v) memberikan
tekanan atau pemaksaan tertentu terhadap mereka yang tidak mematuhi kesepakatan
program prokasih.
Pencemaran udara telah menjadi salah satu masalah lingkungan global yang menjadi
perhatian dunia. Di Indonesia sendiri, pencemaran udara memiliki dampak terhadap
kesehatan yang akhirnya akan menimbulkan beban ekonomi (economics burdern) yang harus
ditanggung oleh masyarakat. Beban ekonomi tersebut, terdiri dari biaya langsung (direct cost),
biaya tidak langsung (indirect cost), dan biaya yang bersifat tidak nyata (intangible cost). Biaya
langsung berupa penggunaan sumberdaya untuk merawat dan mengobati sakit, yang
dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu biaya kesehatan (medical cost), seperti biaya berobat
dan jasa konsultasi medis serta biaya non-kesehatan (non-medical cost) seperti transportasi
menuju dan akomodasi selama di tempat berobat. Biaya tidak langsung merupakan nilai
sumber daya yang hilang, yang meliputi biaya morbiditas dan mortalitas, biaya pengobatan
informal, dan biaya kehilangan akibat tindakan kriminal. Sementara itu, intangible cost
merupakan jenis biaya yang sulit diukur karena terkait dengan perasaan, baik fisik dan
psikologi, seperti sakit, menderita, dan tidak nyaman (Sangkey, 2011). Penilaian dampak
ekonomi dari pencemaran udara terhadap kesehatan seringkali dihindari karena dua kesulitan
yang sekaligus menjadi masalah utama, yaitu: (1) menetapkan hubungan sebab-akibat
secara langsung antara pencemaran dan gangguan kesehatan; (2) mengestimasi nilai
moneter pada dampak kesehatan akibat pencemaran. Masalah pertama merupakan bagian
dari studi tentang penilaian risiko epidemiologi (epidemiological risk assessment), terutama
terkait dengan penentuan ada tidaknya hubungan sebabakibat (cause-effect relationship)
(WHO, 2002). Studi ini melibatkan beberapa tahap penilaian, yaitu identifikasi risiko
kesehatan, penilaian eksposur (paparan pencemar), penilaian doseresponse, dan yang
terakhir adalah identifikasi karakter dari masing-masing risiko kesehatan. Masalah kedua,
yaitu estimasi nilai ekonomi dalam satuan moneter(sering disebut valuasi ekonomi) dari
dampak kesehatan akibat pencemaran merupakan sesuatu yang cukup kompleks karena
kesehatan bukanlah suatu komoditas pasar yang sederhana.Konsep ini didasarkan pada teori
ekonomi kesejahteraan (welfare economics) yang mengasumsikan bahwa kesehatan memiliki
nilai selayaknya barang ekonomi lainnya, dan nilai tersebut dapat diperbandingkan. Secara
lebih spesifik, teori tersebut mengasumsikan bahwa masyarakat cukup rasional dalam
mengambil keputusan yang bersifat ‘trade-off’antara risiko kesehatan (health risks) dan
barang ekonomi lainnya (Septiyantie, 2013). Dewasa ini telah berkembang berbagai teknik
evaluasi untuk mengestimasi dampak ekonomi dari pencemaran terhadap kesehatan.
Dampak kesehatan secara umum terdiri dari kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas).
Metode umum yang digunakan untuk menilai biaya morbiditas adalah loss of earnings dan
medical cost. Kombinasi kedua metode tersebut sering disebut dengan metode cost of illness
(COI). Sementara itu, estimasi biaya mortalitas akibat pencemaran melibatkan teknik yang
lebih kompleks dan seringkali menimbulkan kontroversi seputar masalah etika/moral terkait
dengan pemberian satuan moneter pada nilai kehidupan (value of life). Oleh karena itu, para
ahli tidak menggunakan biaya kematian dalam arti psikologis, tetapi melalui proksi berupa
hilangnya penghasilan (forgone earning) akibat mati secara dini . Konsep ini dikenal dengan
nilai hidup secara statistik atau Value of Statistical Life (VSL). Metode yang sering digunakan
untuk mengestimasi biaya mortalitas adalah pendekatan modal manusia atau Human Capital
(HC) dengan prinsip bahwa value of life seseorang ditentukan oleh tingkat produktivitas kerja
yang biasanya diukur berdasarkan nilai sekarang (present value) dari aliran pendapatan di
masa datang. Kelemahan dari pendekatan HC tersebut adalah tidak mampu mengestimasi
preferensi seseorang tentang nilai hidupnya, sehingga dalam praktiknya pendekatan ini sudah
jarang digunakan.Sebagai alternatif, VSL biasanya diestimasi melalui kesediaan membayar
atau willingness to pay (WTP) masyarakat terhadap pengurangan, bukan penghindaran,
tingkat risiko kematian (Yaduma, 2012). Studi tentang dampak ekonomi dari pencemaran
udara terhadap kesehatan telah banyak dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, baik pada
tingkat negara maupun tingkat daerah (biasanya kota) dalam satu negara. Indikator
pencemaran udara yang digunakan berbeda-beda, tetapi sebagian besar menggunakan
PM10. Penilaian dampak kesehatan akibat pencemaran pada studi tersebut dilakukan melalui
metode DoseResponse Function (DRF). Sementara itu, biaya ekonomi dari dampak
kesehatan tersebut diestimasi oleh pendekatan value of statistical life (VSL) untuk mortalitas
dan costs of illness (COI) untuk morbiditas. Hasil studi menunjukkan besarnya biaya mortalitas
yang diakibatkan oleh konsentrasi PM10adalah US$ 1.773 juta atau setara dengan 2.09%
dari PDB (Produk Domestik Bruto), sedangkan biaya morbiditas sekitar US$ 1.889,33 juta
atau setara dengan 2.22% dari PDB Singapura tahun 1999. Pada kasus di Indonesia, studi
tentang dampak kesehatan dari pencemaran udara pada umumnya dilakukan pada tingkat
kota, diantaranya di Kota Jakarta yang menggunakan TSP (Total Suspended Particulates)
dan PM10 di Kota Yogyakarta yang menggunakan PM10 dan Pb (timbal) sebagai indikator
pencemaran udara. Berbeda dengan kedua studi tersebut, penelitian ini dilakukan pada
tingkat negara, yaitu lndonesia,yang difokuskan pada konsentrasi PM10.Tujuan umum dari
penelitian adalah untuk mengestimasi dampak ekonomi dari pencemaran udara terhadap
kesehatan. Secara spesifik, tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut: (1) mengestimasi
jumlah kasus mortalitas dan morbiditas akibat dari konsentrasi PM10; dan (2) melakukan
valuasi biaya ekonomi dari mortalitas dan morbiditas tersebut.
https://www.ojk.go.id/sustainable-finance/id/publikasi/prinsip-dan-kesepakatan-
internasional/Pages/Tujuan-Pembangunan-Berkelanjutan.aspx