Anda di halaman 1dari 35

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Beton

2.1.1 Definisi Beton

Dalam bidang bangunan yang dimaksud dengan beton adalah campuran

dari agregat halus (pasir) dan agregat kasar (kerikil, batu pecah, atau split) dengan

semen, yang dipersatukan oleh air dalam perbandingan tertentu. Menurut

Mulyono (2003:3) yang dimaksud dengan “Beton adalah campuran antara semen

portland atau semen hidrolik yang lainnya, agregat halus, agregat kasar, dan air,

dengan atau tanpa bahan campuran tambahan membentuk masa padat”.

Beton juga dapat didefinisikan sebagai bahan bangunan dan konstruksi

yang sifat-sifatnya dapat ditentukan terlebih dahulu dengan mengadakan

perencanaan dan pengawasan yang teliti terhadap bahan-bahan yang dipilih.

Bahan-bahan pilihan itu adalah semen, air, dan agregat. Agreat yang dimaksud

dapat berupa kerikil, batu pecah, sisa bahan mentah tambang, pasir atau sejenis

lainnya. Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur bersama-sama campuran

menjadi homogen dan bersifat plastis sehingga mudah untuk dikerjakan. Karena

hidrasi semen oleh air, adukan tersebut akan mengeras atau membatu, dan

memiliki kekerasan dan kekuatan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan.

6
2.1.2 Jenis-Jenis Beton

Pada umumnya beton sering digunakan sebagai struktur dalam konstruksi

suatu bangunan. Dalam teknik sipil, beton digunakan untuk bangunan pondasi,

kolom, balok, dan pelat. Berdasarkan Pedoman Beton 1989 Draft Konsesus dan

terminologi ASTM-C.125 (Mulyono, 2003: 136-137) terdapat beberapa jenis

beton yang biasa dipakai dalam konstruksi suatu bangunan.

Berikut ini merupakan beberapa jenis beton yang dimaksud :


1) Beton normal, adalah beton yang menggunakan agregat normal.
2) Beton bertulang, adalah beton yang menggunakan tulangan dengan
jumlah dan luas tulangan tidak kurang dari nilai minimum yang
disyaratkan, dengan atau tanpa pratekan dan direncanakan
berdasarkan asumsi bahwa kedua material bekerja bersama-sama
dalam menahan gaya yang bekerja.
3) Beton pracetak, adalah beton yang elemen betonnya tanpa atau
dengan tulangan yang dicetak di tempat yang berbeda dari posisi
akhir elemen dalam struktur.
4) Beton prestress (pratekan), adalah beton bertulang dimana telah
diberikan tegangan dalam untuk mengurangi tegangan tarik potensial
dalam beton akibat pemberian beban yang bekerja.
5) Beton ringan struktural, adalah beton yang memakai agregat ringan
atau campuran agregat kasar ringan dan pasir alami sebagai pengganti
agregat halus ringan dengan ketentuan tidak boleh melampaui berat
isi maksimum beton 1850 kg/m3 kering udara dan harus memenuhi
ketentuan kuat tekan dan kuat tarik belah beton ringan untuk tujuan
struktural.
6) Beton ringan total atau beton ringan berpasir, adalah beton yang
seluruh agregat halus dengan berat normal.

Berdasarkan Diktat Pedoman Pelaksanaan Praktikum Beton (Hoedajanto,

2003:3-8) dilihat dari beratnya, beton dapat dikalsifikasikan kedalam tiga

kelompok, yaitu :

1) Beton ringan, dimana beratnya 1360 kg/m3 – 1840 kg/m3

2) Beton normal, dimana beratnya 2160 kg/m3 – 2560 kg/m3

3) Beton berat, dimana beratnya 2800 kg/m3 – 6400 kg/m3

7
Selain dilihat berdasarkan jenis dan beratnya, beton juga dapat

diklasifikasikan berdasatkan kelas mutu beton. Menurut PBI tahun 1971 (Candra

dan Samekto, Tanpa Tahun : 54) beton dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :

1) Beton kelas I adalah beton untuk pekerjaan-pekerjan non struktural.


Untuk pelaksanaannya tidak diperlukan keahlian khusus. Pengawasan
mutu hanya dibatasi pada pengawasan ringan terhadap mutu bahan-
bahan, sedangkan terhadap kekuatan bahan tidak disyaratkan
pemeriksaan. Mutu beton kelas I dinyatakan dengan beton mutu Bo.
2) Beton kelas II adalah beton untuk pekerjaan-pekerjaan struktural
secara umum. Pelaksanaannya memerlukan keahlian yang cukup dan
harus dilakukan dibawah pimpinan tenaga-tenaga ahli. Beton kelas II
dibagi dalam mutu-mutu standar B1, K125, K175, dan K225. Pada mutu
B1, pengawasan mutu hanya dibatasi pada pengawasan sedang
terhadap kuat desak tidak disyaratkan pemeriksaan. Pada mutu K125,
K175, dan K225 pengawasan mutu terdiri dari pengawasan ketat
terhadap mutu bahan, dengan keharusan untuk memeriksa kekuatan
beton secara kontinu.
3) Beton kelas III adalah beton untuk pekerjaan struktural di mana
dipakai mutu beton dengan kuat desak karakteristik yang lebih tinggi
dari 225 kg/cm2. Pada pelaksanaannya memerlukan keahlian khusus
dan harus dilakukan di bawah pimpinan tenaga-tenaga ahli.
Disyaratkan adanya laboratorium beton dengan peralatan yang
lengkap, dan dilayani tenaga-tenaga ahli yang dapat melakukan
pengawasan mutu beton secara kontinu.

2.1.3 Sifat-Sifat Beton

Dalam pengerjaan beton segar, ada tiga sifat yang penting dan harus selalu

diperhatikan, yaitu :

1) Kemudahan pengerjaan (Workability)

Untuk mengetahui kemudahan pengerjaan beton segar dapat dilihat dari

nilai slump. Nilai slump identik dengan nilai keplastisan beton. Berikut ini

merupakan unsur-unsur yang dapat mempengaruhi nilai slump :

(a) Jumlah air pencampur

Semakin banyak air semakin mudah untuk dikerjakan.

8
(b) Kandungan semen

Jika FAS tetap, semakin banyak semen berarti semakin banyak

kebutuhan air sehingga keplastisannya pun akan lebih tinggi.

(c) Gradasi campuran pasir kerikil

Jika memenuhi syarat dan sesuai dengan standar, akan mudah

dikerjakan.

(d) Bentuk butiran agregat kasar

Agregat berbentuk bulat-bulat lebih mudah untuk dikerjakan.

(e) Butir maksimum

(f) Cara pemadatan dan alat pemadat

2) Pemisahan kerikil (Segregation)

Segregation atau segregasi pada beton dapat menyebabkan sarang kerikil

yang pada akhirnya akan menyebabkan keropos pada beton. Secara umum,

segregasi ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

(a) Campuran kurus atau kurang semen.

(b) Terlalu banyak air.

(c) Besar ukuran agregat maksimum lebih dari 40 mm.

(d) Permukaan butir agregat kasar (semakin kasar permukaan butir

agregat, maka semakin mudah terjadi segregasi). Namun demikian,

segregasi dapat dicegah dengan beberapa cara, yaitu :

(1) Tinggi jatuh diperpendek.

(2) Penggunan air sesuai denga syarat.

(3) Cukup ruangan antara batang tulangan dengan acuan

9
(4) Ukuran agregat sesuai dengan syarat.

(5) Pemadatan dilakukan dengan baik.

3) Bleeding (naiknya air)

Bleeding adalah air yang naik ke permukaan beton yang baru dipadatkan.

Air yang naik ini membawa semen dan butir-butir halus pasir, yang pada

saat beton mengeras nantinya akan membentuk selaput (laitance). Pada

dasarnya Bleeding ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

(a) Susunan butir agregat

Jika komposisinya sesuai, kemungkinan untuk terjadinya bleeding

kecil.

(b) Banyaknya air

Semakin banyak air berarti semakin besar pula kemungkinan

terjadinya bleeding.

(c) Kecepatan hidrasi

Semakin cepat beton mengeras, semakin kecil kemungkinan

terjadinya bleeding.

(d) Proses pemadatan

Pemadatan yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya

bleeding.

2.1.4 Keunggulan dan Kelemahan Beton

a) Keunggulan Beton

Dari pemakaiannya yang begitu luas maka dapat diduga bahwa struktur

beton mempunyai banyak keunggulan dibandingkan materi struktur yang lain.

10
Menurut Antonio dan Nugraha (2007 : 4-6) beberapa keunggulan dari beton

adalah sebagai berikut :

1) Ketersediaan (availability) materi dasar


Agregat dan air pada umumnya bisa didapat dari lokal setempat.
Semen pada umumnya juga dapat dibuat di daerah setempat, bila
tersedia. Dengan demikian, biaya pembuatan relatif lebih murah
karena semua bahan terdapat di dalam negeri, bahkan bisa setempat.
Bahan termahal adalah semen, yang bisa diproduksi di dalam negeri.
2) Kemudahan untuk digunakan (workability)
(a) Pengankutan bahan mudah, karena masing-masing bahan bisa
diangkut secara terpisah.
(b) Beton bisa dipakai untuk berbagai struktur, seperti bendungan,
fondasi, jalan dan sebagainya.
(c) Beton bertulang bisa digunakan untuk berbagai struktur yang
lebih berat, seperti jembatan, gedung, tandon air dan lain
sebagainnya.
3) Kemampuan beradaptasi (adaptability)
(a) Beton bersifat monolit sehingga tidak memerlukan sambungan
seperti baja.
(b) Beton berbeda dicetak dengan bentuk dan ukuran berapapun.
(c) Beton dapat diproduksi dengan berbagai cara yang disesuaikan
dengan situasi sekitar.
4) Kebutuhan pemeliharaan yang minimal
Secara umum ketahanan beton cukup tinggi, lebih tahan karat,
sehingga tidak perlu dicat seperti struktur baja dan lebih tahan
terhadap bahaya kebakaran.

b) Kelemahan Beton

Disamping segala keunggulan beton, beton sebagai bahan struktur juga

mempunyai beberapa kelemahan yang perlu dipertimbangkan. Beberapa

kelemahan yang dimaksud antara lain :

1) Berat sendiri beton yang besar, sekitar 2400 kg/m3.

2) Kekuatan tariknya rendah, meskipun kekuatan tekannya besar.

3) Beton cenderung untuk retak, karena semennya hidraulis.

11
4) Kualitasnya sangat tergantung cara pelaksanaan di lapangan. Beton

yang baik maupun yang buruk dapat terbentuk dari rumus dan

campuran yang sama.

5) Struktur beton sulit untuk dipindahkan. Pemakaian kembali atau daur

ulang sulit dan tidak ekonomis.

2.1.5 Bahan Penyusun Beton

a) Semen

Semen adalah bahan yang bertindak sebagai pengikat untuk agregat. Jika

dicampur dengan air, semen akan berubah menjadi pasta. Dengan proses waktu

dan panas, reaksi terjadi dengan air yang menghasilkan sifat perkerasan pada

pasta semen.

Standard Industri Indonesia (SII 0013-1981) mendefinisikan semen

Portland sebagai semen hidraulis yang dihasilkan dengan cara menghaluskan

klinker yang terutama terdiri dari silikat-silikat kalsium yang bersifat hidraulis

bersama bahan-bahan yang biasa digunakan,yaitu gypsum.

Secara umum, semen dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :

(1) Semen hidraulis adalah semen yang akan mengeras bila bereaksi dengan

air (water resistance) dan stabil dalam air setelah mengeras.

(2) Semen non hidraulis adalah semen yang dapat mengeras tetapi tidak stabil

dalam air.

Berikut ini merupakan senyawa penting yang terdapat dalam semen :

(a) Trikalsium silikat (C3S) adalah senyawa yang memiliki sifat perekat.

(b) Dikalsium silikat (C2S) adalah senyawa yang memiliki sifat perekat.

12
(c) Trikalsium aluminat (C3A) adalah senyawa yang paling reaktif.

(d) Tetrakalsium aluminoferit (C4AF) adalah senyawa yang berfungsi

sebagai katalisator yang menurunkan temperatur pembakaran dalam

klin untuk pembentukan kalsium silikat.

Berikut ini merupakan beberapa tipe semen portland yang ditetapkan oleh

ASTM (American Standard for Testing Material) :

(1) Tipe I adalah semen portland untuk tujuan tertentu. Jenis ini paling

banyak diproduksi karena digunakan untuk hampir semua jenis

konstruksi.

(2) Tipe II adalah semen portland modifikasi. Maksudnya tipe yang

sifatnya setengah tipe IV dan setengah tipe V (moderat). Lebih

banyak diproduksi sebagai pengganti tipe IV. Dalam penggunaannya

memerlukan ketahanan terhadap panas hidrasi sedang.

(3) Tipe III adalah semen portland dengan kekuatan awal tinggi.

Kekuatan 28 hari umumnya dapat dicapai dalam 1 minggu. Semen

jenis ini umumnya dipakai ketika acuan harus dibongkar secepat

mungkin atau ketika struktur harus dapat cepat dipakai.

(4) Tipe IV adalah semen portland dengan panas hidrasi rendah, yang

dipakai untuk kondisi dimana kecepatan dan jumlah panas yang

timbul harus minimum. Misalnya pada bangunan masif seperti

bendungan gravitasi yang besar. Pertumbuhan kekuatannya lebih

lambat daripada semen tipe I.

13
(5) Tipe V adalah semen portland tahan sulfat, yang dipakai untuk

menghadapi aksi sulfat yang ganas. Umumnya dipakai di daerah

dimana tanah atau airnya memiliki sulfat yang tinggi.

b) Agregat

Kandungan agregat dalam campuran beton biasanya sangat tinggi.

Walaupun fungsinya hanya sebagai pengisi, tetapi karena komposisinya yang

cukup besar, maka agregat ini pun menjadi penting. Secara umum, agregat dapat

dibedakan berdasarkan ukurannya, yaitu :

(1) Agregat halus, ialah agregat yang semua butirnya menembus ayakan

berlubang 4,80 mm (SII 0052 1980), atau 4,75 mm (ASTM C33

1982), atau 5,00 mm (BS 812 1976).

(2) Agregat kasar, ialah agregat yang semua butirnya tertinggal diatas

ayakan berlubang 4,80 mm (SII 0052 1980), atau 4,75 mm (ASTM

C33 1982), atau 5,00 mm (BS 812 1976).

Menurut Mulyono (2003 : 77) disebutkan bahwa agregat dapat dibedakan

berdasarkan berat jenisnya menjadi :

(1) Agregat normal dengan berat jenis 2,5 – 2,7

(2) Agregat berat dengan berat jenis > 2,8

(3) Agregat ringan dengan berat jenis < 2,0

Berikut ini merupakan persyaratan agregat yang dapat digunakan untuk

campuran beton berdasarkan SK SNI S-04-1989-F :

14
a) Agregat Halus
(1) Agregat halus terdiri dari butir-butir yang tajam dank eras,
dengan indeks kekerasan ≤ 2,2
(2) Butir-butir agregat halus harus bersifat kekal, artinya tidak pecah
atau hancur oleh pengaruh-pengaruh cuaca, seperti terik matahari
dan hujan.
(3) Sifat kekal.
(4) Agregat halus tidak mengandung lumpur lebih dari 5%
(ditentukan terhadap berat kering). Yang diartikan dengan
lumpur adalah bagian-bagian yang dapat melalui ayakan 0,060
mm. Apabila kadar lumpur melampaui 5%, maka agregat halus
harus dicuci.
(5) Agregat halus tidak boleh mengandung bahan-bahan organis
terlalu banyak.
(6) Susunan besar butir agregat halus mempunyai modulus
kahalusan antara 1,5 – 3,8 dan harus terdiri dari butir-butir yang
beraneka ragam besarnya. Apabila diayak dengan susunan
ayakan tertentu, harus masuk dalam salah satu dalam daerah
susunan menurut zona I,II,III atau IV.

Grafik 2.1 Zona I Daerah Gradasi Pasir Kasar

15
Grafik 2.2 Zona II Daerah Gradasi Pasir Agak Kasar

Grafik 2.3 Zona III Daerah Gradasi Pasir Halus

Grafik 2.4 Zona IV Daerah Gradasi Pasir Agak Halus

16
(SKBI/BS :882) dan harus memenuhi syarat sebagai berikut :
(a) Sisa di atas ayakan 4,8 mm, harus maksimum 2% berat
(b) Sisa di atas ayakan 1,2 mm, harus minimum 10% berat
(c) Sisa di atas ayakan 0,3 mm, harus minimum 15% berat
(7) Untuk beton dengan tingkat keawetan yang tinggi, reaksi pasir
terhadap alkali harus negatif.
(8) Pasir laut tidak boleh dipakai sebagai agregat halus untuk semua
mutu beton kecuali dengan petunjuk-petunjuk dari lembaga
Pengujian bahan-bahan yang diakui.
(9) Agregat halus yang digunakan untuk maksud spesi plesteran dan
spesi terapan harus memenuhi persyaratan diatas (pasir pasang).
b) Agregat Kasar
(1) Agregat kasar harus terdiri dari butir-butir yang keras dan tidak
berpori. Kadar bagian yang lemah bila diuji dengan goresan
batang tembaga maksimum 5%. Kekerasan dari butir-butir
agregat kasar diperiksa dengan bejana penguji dari Rudeloff
dengan beban penguji 20 ton, dengan mana harus dipenuhi
syarat-syarat berikut :

Tabel 2.1 Syarat Mutu Kekuatan Agregat

Kekerasan dengan Bejan Rudelloff, Kekerasan


Bagian Hancur Menenembus dengan Bejana
Ayakan 2 mm, Persen (%) Geser Los
Kelas dan Mutu Maksimum Angelos, Bagian
Beton Fraksi Butir Fraksi Butir Hancur
9,5 – 19 mm 19 - 30 mm Menembus
Ayakan 1,7 mm,
% Maks.
(1) (2) (3) (4)
Beton kelas I 22 – 30 24 – 32 40 – 50
dan mutu B0
dan B1

Beton kelas II 14 – 22 16 – 24 27 – 40
dan mutu
K.125, K.175,
dan K.225

Beton kelas III Kurang dari 14 Kurang dari 16 Kurang dari 27


dan mutu >
K.225 atau
beton pratekan

17
(2) Agregat kasar yang mengandung butir-butir pipih dan panjang
hanya dapat dipakai apabila jumlah butir-butir pipih dan panjang
tidak melampaui 20% dari berat agregat seluruhnya.
(3) Butir-butir agregat kasar harus bersifat kekal, artinya tidak pecah
atau hancur oleh pengaruh-pengaruh cuaca, seperti terik matahari
dan hujan.
(4) Sifat kekal.
(5) Agregat kasar tidak boleh mengandung zat-zat yang dapat
merusak beton, seperti zat-zat yang reaktif alkali.
(6) Agregat kasar tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 1%
(ditentukan terhadap berat kering). Apabila kadar lumpur
melampaui 1%, maka agregat kasar harus dicuci.
(7) Agregat kasar harus teriri dari butir-butir yang beraneka ragam
besarnya dan apabila diayak dengan susunan ayakan yang
ditentukan, susunan besar butir mempunyai modulus kehalusan
antara 6 - 7,1 dan harus memenuhi syarat-syarat berikut :
(a) Sisa di atas ayakan 38 mm, harus 0% berat
(b) Sisa di atas ayakan 4,8 mm, harus berkisar antara 90% dan
98% berat.
(c) Selisih antara sisa-sisa kumulatif di atas 2 ayakan yang
berurutan adalah maksimum 60% dan minimum 10% berat.

Pada umumnya agregat terdiri dari bahan-bahan yang terdapat secara

alamiah berupa batuan. Secara geologi, batuan terbagi menjadi tiga kelompok,

yaitu :

1) Batuan sedimen

Batuan sedimen terbentuk dari hasil pelapukan kulit bumi, ditransport

oleh media air, angin, atau es, diendapkan dan kemudian mengalami

proses pembatuan. Ciri khas dari struktur batuan sedimen ini adalah

berlapis.

2) Batuan beku

Batuan beku terbentuk dari hasil pembekuan magma. Batuan ini

terbagi menjadi dua kelompok, yaitu batuan beku ekstrusif dan batuan

beku intrusif. Batuan beku ekstrusif adalah batuan beku hasil

18
pembekuan magma akibat erupsi gunung api. Sedangkan batuan beku

intrusive adalah batuan beku hasil pembekuan magma akibat

pendinginan di dalam kerak bumi.

3) Batuan metamorf

Batuan metamorf terbentuk dari hasil perubahan kulit bumi akibat

temperatur, tekanan atau temperatur dan tekanan yang tinggi sehingga

terjadi proses rekristalisasi dan reorientasi pada mineral-mineral

batuan asalnya sehingga terbentuk mineral baru yang stabil sesuai

dengan kondisi lingkungan pengendapan yang baru.

Berikut ini merupakan daftar agregat yang biasa digunakan sebagai bahan

alternatif campuran beton beserta kuat tekannya :

Tabel 2.2 Agregat yang Biasa Digunakan dan Kuat Tekannya

Jenis Agregat Kekuatan Tekan (kg/cm2)


Granit 2650 – 1180
Felsit 5450 – 1240
Kokuina 3900 – 2080
Batu gamping 2490 – 970
Batu pasir 2490 – 460
Marmer 2520 – 530
Kuarsit 4380 – 1290
Gneis 2430 – 970
skis 3080 – 940
Sumber : Kusnadi (Kusnawan,1999:9)

19
Tabel.2.3 Klasifikasi Umum Batuan Metamorf

Sejajar (foliasi kasar, mineral-mineral tersusun dalam pita-pita Gneis


Skistose (foliasi menengah, mineral-mineral tersusun sejajar) Skis
Belah batuan Pecahan batuan berlempar atau lembaran Filit
(foliasi kusut. Mineral-mineral cukup besar untuk
mikroskopik) memantulkan cahaya. Kilap sutra hingga
Foliasi , mineral- mutiara.
mineral Pecahan batuan berlembar. Mineral-mineral Batu
tersusun lebih kecil untuk memantulkan cahaya. Kilap sabak
sejajar. kusam.
Penyusunnya kuarsa (lebih keras dari kaca, kilap gemuk) Kuarsit
Penyusunnya kalsit dan/atau dolomit (tidak berbuih dalam Marmer
Pejal asam belah datar memberikan kilap berkilau)
Penyusunnya serpentin (umumnya hijau, kilap lilin) Serpentin
Penyusunnya garnet dan beberapa mineral temperatur tinggi Taktit
lainnya (kristal-kristal besar)
Sumber : Massey (Kusnawan,1977:5)

c) Air

Pada pembuatan beton, semen tidak bisa menjadi pasta tanpa air. Untuk itu

air diperlukan untuk memicu proses kimiawi semen (hidrasi semen), membasahi

agregat dan memberikan kemudahan dalam pengerjaan beton. Dikarenakan pasta

semen merupakan hasil reaksi kimia antara semen dengan air, maka bukan

perbandingan jumlah air terhadap total berat campuran yang penting, tetapi justru

perbandingan antara air dengan semen atau disebut faktor air semen (fas). Untuk

itu, takaran air yang digunakan dalam campuran beton harus benar-benar

diperhitungkan, karena ini akan berpengaruh terhadap kekuatan beton. ”Air yang

digunakan untuk campuran beton harus bersih, tidak boleh mengandung minyak,

asam alkali, zat organik atau bahan lainnya yang dapat merusak beton atau

tulangan” (Mulyono,2003:53).

20
Menurut SK SNI S-04-1989-F persyaratan air sebagai bahan bangunan,

sesuai dengan penggunaannya harus memenuhi syarat sebagai berikut :

(1) Air harus bersih


(2) Tidak mengandung lumpur, minyak dan benda terapung lainnya
yang dapat dilihat secara visual.
(3) Tidak mengandung benda-benda tersuspensi lebih dari 2 gram/liter.
(4) Tidak mengandung garam-garam yang terlarut dan dapat merusak
beton (asam-asam, zat organik dan sebagainya) lebih dari 15
gram/liter. Kandungan klorida (Cl) tidak lebih dari 500 ppm dan
senyawa sulfat tidak lebih dari 1000 ppm sebagai SO3.
(5) Bila dibandingkan dengan kekuatan tekan adukan dan beton yang
memakai air suling, maka penurunan kekuatan adukan dan beton
yang memakai air yang diperiksa tidak lebih dari 10%.
(6) Semua air yang mutunya meragukan harus dianalisis secara kimia
dan dievaluasi mutunya menurut pemakaiannya.
(7) Khusus untuk beton pratekan, kecuali syarat-syarat tersebut di atas
air tidak boleh mengandung klorida lebih dari 50 ppm.

2.1.6 Bahan Tambahan Beton (Admixture)

Bahan tambahan adalah suatu bahan berupa bubukan atau cairan, yang

dibubuhkan kedalam campuran beton selama pengadukan dalam jumlah tertentu

untuk mengubah beberapa sifatnya. Bahan tambahan yang dimaksud bisa berupa

bahan kimia (chemical admixtures) atau bahan lainnya. Jumlahnya yang relatif

sedikit tetapi pengaruhnya cukup besar pada beton mengakibatkan bahan ini

sering digunakan. Namun pada penggunaannya perlu diperhatikan secara teliti.

Menurut Kelompok Eropa CEN, berdasarkan ISO dan Federasi Asosiasi

Admixture Beton Eropa (Antonio dan Nugraha, 2007:83) mengemukakan bahwa

“Material yang ditambahkan selama proses pencampuran beton dalam kuantitas

tidak lebih dari 5% dari berat semen dari beton untuk mengubah sifat campuran

dan/atau keadaan keras”.

21
Berdasarkan SK SNI S-18-1990-03 terdapat beberapa macam bahan kimia

yang dpakai sebagai bahan tambahan pada beton, yaitu :

1) Bahan tambahan tipe A adalah suatu bahan tambahan yang digunakan


untuk mengurangi jumlah air campuran untuk menghasilkan beton
sesuai dengan konsistensi yang ditetapkan.
2) Bahan tambahan tipe B adalah suatu tambahan yang digunakan untuk
memperlambat waktu pengikatan beton.
3) Bahan tambahan tipe C adalah suatu bahan tambahan yang digunakan
untuk mempercepat waktu pengikatan dan menambah kekuatan awal
beton.
4) Bahan tambahan tipe D adalah suatu bahan tambahan yang digunakan
untuk mengurangi jumlah air campuran untuk menghasilkan beton
sesuai dengan konsistensi yang ditetapkan dan juga untuk
memperlambat waktu pengikatan beton.
5) Bahan tambahan tipe E adalah suatu bahan yang digunakan untuk
mengurangi jumlah air campuran untuk menghasilkan beton sesuai
dengan konsistensi yang ditetapkan dan juga untuk mempercepat
waktu pengikatan serta menambah kekuatan awal beton.
6) Bahan tambahan tipe F adalah suatu bahan tambahan yang digunakan
untuk mengurangi jumlah air campuran sebesar 12% atau lebih, untuk
menghasilkan beton sesuai dengan konsistensi yang ditetapkan.
7) Bahan tambahan tipe G adalah suatu bahan tambahan yang digunakan
untuk mengurangi jumlah air campuran sebesar 12% atau lebih, untuk
menghasilkan beton sesuai dengan konsistensi yang ditetapkan dan
juga untuk memperlambat waktu pengikatan beton.

2.2 Tinjauan Tentang Marmer

Marmer disebut pula sebagai marble atau batu pualam merupakan batuan

hasil proses metamorfose atau malihan dari batu gamping. Pengaruh suhu dan

tekanan yang dihasilkan oleh gaya endogen menyebabkan terjadinya rekristalisasi

pada batuan tersebut membentuk berbagai foliasi maupun non foliasi. Akibat

rekristalisasi asal batuan membentuk tekstur baru dan keteraturan butir, yang

dikenal dengan nama batu pualam. Proses geologi ini terbentuk diantara 30 – 60

juta tahun yang lalu atau dalam bahasa geologi disebut berumur kwarter sampai

tertier.

22
Adapun komposisi kimia yang terkandung di dalam marmer berupa CaO,

AL2O3, Fe2O3,Na2O dan P2O5. Warna asli marmer adalah putih, tetapi terdapat

mineral pengotor yang justru membuat marmer menjadi menarik, sehingga warna

marmer ada yang berwarna merah, kuning, coklat, abu-abu, biru dan hitam.

Mineral pengotor yang dimaksud antara lain :

(1) Grafit memberi warna hitam - coklat,

(2) Pyrit, ilmenit memberi warna coklat – kemerahan.

Selain mineral yang disebutkan di atas, kadang-kadang dalam marmer

didapatkan juga mineral lain, walaupun jumlahnya sedikit. Mineral lain yang

dimaksud seperti dolomit, kuarsa, mika, khlorit, plagioklas, epidote, diopsid,

piroksen, tremolit, wolastonite, visuvianite, forsterite, olivin, talk, brucit,

serpentin, dan periklas.

Marmer mempunyai berat jenis 2,9 kerapatan ± 2,8 gr/cm3. Berikut ini

merupakan klasifikasi marmer berdasarkan daya aus dan kekuatan tekan marmer :

Tabel 2.4 Klasifikasi Marmer Berdasarkan Daya Aus dan Kekuatan Tekan

Marmer

Kelas Daya Aus (mm/menit) Kuat Tekan (kg/cm2)


1 < 0,100 1500 – 2000
2 0,100 – 0,130 1200 – 1400
3 0,130 – 0,160 990 – 1100
4 <0,160 300 – 800
Sumber : Sukandarrumidi, 1994:60

Berdasarkan kegunaannya marmer dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :

(1) Tipe ordinario, biasanya digunakan untuk pembuatan tempat mandi,

meja-meja, dinding dan sebagainya.

(2) Tipe staturio, sering dipakai untuk seni pahat dan patung.

23
Berdasarkan teksturnya marmer dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

(1) Batu pualam statuari (statuary marble), cirinya berbutir halus dan

berwarna putih bersih,

(2) Batu pualam arsitektur (architectural marble), cirinya kaya akan

tekstur, serta mempunyai kualitas dan kekuatan yang bagus,

(3) Batu pualam ornamental (ornamental marble), cirinya memiliki warna

yang indah dan bervariasi,

(4) Batu pualam onix (onix marble), cirinya mengandung dolomit atau

arorganit, kalsit dan transparan,

(5) Batu pualam cipdin (cipdin marble), cirinya mengandung mika dan

talk,

(6) Batu pualam ruin (ruin marble), cirinya mempunyai tekstur halus

dengan segi-segi yang tidak teratur,

(7) Batu pualam breksia (breccia marble), cirinya tekstur besar-besar atau

kasar dan bersegi,

(8) Batu pualam kerang (shell marble), cirinya terdapat fosil.

Berdasarkan tabel 2.3, marmer termasuk dalam jenis batuan metamorf,

karena terbentuk dari hasil sedimentasi yang dipengaruhi oleh suhu dan tekanan

yang tinggi, sehingga terbentuklah batuan metamorf. Ciri khas dari batuan

metamorf adalah struktur batuannya terdiri atas bidang-bidang paralel yang

disusun oleh mineral-mineral yang merupakan bahan dasar dari jenis batuan ini

yang disebut struktur foliasi. Bidang-bidang parelel merupakan daerah-daerah

yang lemah sehingga batuan ini mudah dibelah melalui bidang-bidang itu, akan

24
tetapi sukar dibelah melalui bidang-bidang (arah) lain. Namun, sebagian dari

batuan metamorf terutama yang memiliki struktur pejal seperti marmer dan

kuarsit biasanya kuat dan padat.

Di Indonesia bahan galian batu pualam atau marmer ditemukan di

beberapa daerah diantaranya adalah :

Tabel 2.5 Lokasi Persebaran Batu Pualam atau Marmer di Indonesia

Lokasi Daerah
Aceh Lho Nga.
Sumatera Utara Pulau Nias.
Sumatera Barat Sijunjung dan Solok.
Sumatera Selatan Lahat.
Lampung Tanjung Kemala, Padang Cermin dan daerah
Lampung Selatan.
Jawa Barat Palimanan di Gunung Kudo, Gunung Kromomh
dekat Cirebon, Citatah dan Sukabumi.
Jawa Tengah Purwokerto, Banjarnegara di Gunung Kebutuh,
Bernal, Bukit Jiwo, Gunung Djokotuo Bayat
Klaten.
Jawa Timur Panggul (Madura), Besole (Tulungagung),
Campurdarat.
Sulawesi Sekitar Tonasa
Timor Sekitar Kupang
Sumber : Riyanto,1994:3

2.3 Perancangan Campuran Beton (Concrete Mix Design)

Tujuan utama mempelajari sifat-sifat beton adalah untuk perencanaan

campuran (mix design), yaitu untuk mengetahui komposisi atau proporsi bahan-

bahan penyusun beton serta untuk menentukan proporsi masing-masing bahan

untuk menghasilkan beton yang ekonomis dengan kualitas yang baik.

Campuran beton merupakan perpaduan dari material-material

penyususnnya, dimana karakteristik dan sifat bahan akan mempengaruhi hasil

25
rancangan. Dalam menentukan proporsi campuran dapat digunakan beberapa

metode, antara lain :

(1) Metode American Concrete Institute (ACI)

Berikut ini merupakan kekurangan dan kelebihan dari metode ACI

antara lain :

(a) Cara ini merupakan cara coba-coba (eksperimental) untuk

memperoleh proporsi bahan yang menghasilkan konsistensi. Jika

dipakai agregat yang berbeda akan menyebabkan konsistensi

yang berbeda juga.

(b) Nilai Modulus Halus Butir (MHB) sebenarnya kurang

menggambarkan gradasi agregat yang tepat. Untuk agregat

dengan berat jenis yang berbeda, perlu dilakukan koreksi lagi.

(2) Road Note No.4

Cara perancangan ini disimpulkan dari hasil penelitian

Glanville.,et.al, yang ditekankan pada pengaruh gradasi agregat

terhadap kemudahan pengerjaan. Berikut ini merupakan kekurangan

dari metode Rote Note No.4:

(a) Gradasi yang disyaratkan sulit untuk dipenuhi di lapangan.

(b) Terjadi kesulitan dalam menentukan bentuk agregat

(3) Metode Standar Nasional Indonesia (SK.SNI.T-15-1990-03)

Metode ini memiliki beberapa kekurangan, yaitu :

(a) Jenis agregat hanya ditetapkan dari batu pecah dan alami saja

sehingga tidak akurat karena kadang agregat alami memiliki

26
bentuk permukaan tidak bulat atau halus. Hal ini akan

berpengaruh pada jumlah air yang dibutuhkan, sehingga perlu

dilakukan koreksi.

(b) Proporsi agregat campuran yang disyaratkan sulit untuk

dipenuhi.

Setelah menentukan metode mana yang akan digunakan pada mix design,

hal yang harus dilakukan selanjutnya adalah melakukan pengujian bahan-bahan

penyusun beton sesuai dengan data-data yang diperlukan dalam mix design.

Berikut ini merupakan beberapa pengujian material penyusun beton yang sering

dilakukan :

2.3.1 Pengujian Kadar Air Agregat

Pengujian kadar air bertujuan untuk memperoleh angka persentase dari

kadar air yang dikandung oleh agregat. Berdasarkan SK SNI M 11-1989-F yang

dimaksud dengan kadar air adalah besarnya perbandingan antara berat air yang

dikandung agregat dengan agregat dalam keadaan kering, dinyatakan dalam

persen. Nilai kadar air ini digunakan untuk koreksi takaran air untuk adukan beton

yang disesuaikan dengan kondisi agregat di lapangan.

Secara umum, kadar air dalam agregat dapat dibedakan menjadi 4 jenis,

yaitu :

(1) Kadar kering tungku, yaitu keadaan agregat yang benar-benar tidak

mengandung air.

27
(2) Kadar air kering udara, yaitu kondisi agregat yang permukaannya

kering, tetapi sedikit mengandung air dalam porinya dan masih dapat

menyerap air.

(3) Keadaan Jenuh Kering Permukaan (JKP) atau Saturated Surface Dry

(SSD), yaitu keadaan dimana tidak ada air di permukaan agregat,

tetapi agregat tersebut masih mampu menyerap air. Pada kondisi ini,

air dalam agregat tidak akan menambah atau mengurangi air pada

campuran beton.

(4) Kondisi basah, adalah kondisi dimana butir-butir agregat banyak

mengandung air, sehingga akan menyebabkan penambahan kadar air

campuran beton.

Untuk mengetahui kadar air dalam agregat, dapat dilakukan penelitian

yang kemudian data hasil pengujian tersebut dimasukkan ke dalam rumus berikut

ini :

Wଵ − Wଶ
Kadar Air = x 100% … … … … … … … … … … … … … … . . persamaan(1)
Wଶ

Dimana : W1 = berat benda uji mula-mula

W2 = berat benda uji kering tungku

2.3.2 Pengujian Berat Jenis Agregat

Pengujian berat jenis diperlukan untuk menetapkan besarnya komposisi

volume agregat dalam adukan beton. Untuk menghitung berat jenis material,

dapat dipergunakan rumus :

28
Wଵ
ρୠ = … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … persamaan(2)
Vଵ − Vଶ

Dimana : ρb = Berat jenis agregat

W1 = Berat agregat setelah dioven

V1 = Volume air + agregat

V2 = Volume air

2.3.3 Pengujian Berat Satuan atau Volume Agregat

Tujuan pengujian ini adalah untuk menentukan berat isi agregat halus,

agregat kasar atau campuran yang didefinisikan sebagai perbandingan antara berat

material dengan volumenya. Menurut Antoni dan Nugraha (2007 : 56) disebutkan

bahwa “ Berat volume agregat kering sekitar 1200 kg/m3 – 1750 kg/m3”. Artinya

berat volume agregat kering yang dimaksud adalah 1200 kg/m3 – 1750 kg/m3 atau

1,20 gr/cm3 – 1,75 gr/cm3.

Untuk mengetahui berat satuan atau berat volume material yang dimaksud,

maka dapat digunakan rumus sebagai berikut :

Bଷ
Berat Satuan = … … … … … … … … … … … . … … … … … … … . . … . persamaan(3)
V

B3 = B2 – B1 ……………………..………………… …….………...persamaan (4)

Dimana : B1 = Berat bejana kosong

B2 = Berat bejana + berat agregat

B3 = Berat agregat

V = Isi bejana (dm3)

29
Tabel 2.6 Spesifikasi Wadah Baja yang Digunakan dalam Praktikum

Tebal Wadah
Kapasitas Diameter Tinggi Minimum Ukuran
(liter) (mm) (mm) (mm) Maks.Agregat
Dasar Sisi (mm)
2,832 152,4 ± 2,5 154,9 ± 2,5 5,08 2,54 12,70
9,345 203,2 ± 2,5 292,1 ± 2,5 5,08 2,54 25,40
14,158 254,0 ± 2,5 279,4 ± 2,5 5,08 3,00 38,10
28,316 355,6 ± 2,5 284,4 ± 2,5 5,08 3,00 101,60
Sumber : Hoedajanto dkk. 2003 : 3-9

2.3.4 Pengujian Analisis Gradasi Agregat

Pengujian tentang analisis gradasi agregat atau analisis saringan ini

bertujuan untuk memperoleh distribusi besaran atau jumlah persentase butiran

baik agregat halus maupun agregat kasar. Distribusi yang diperoleh dapat

ditunjukan dalam tabel atau grafik. Adapun alat yang dipakai untuk melakukan

analisis agregat ini adalah seperangkat saringan dengan ukuran jaring-jaring

tertentu.

Menurut British Standard, agregat halus dikelompokkan dalam empat

zona (daerah), yaitu :

Tabel 2.7 Batas Gradasi Agregat Halus British Standard

Lubang Persen Berat Butir yang Lewat Ayakan


Ayakan
(mm) I II III IV
10 100 100 100 100
4.8 90 – 100 90 – 100 90 – 100 95 – 100
2.4 60 – 95 75 – 100 85 – 100 95 – 100
1.2 30 – 70 55 – 90 75 – 100 90 – 100
0.6 15 – 34 35 – 59 60 – 79 80 – 100
0.3 5 – 20 8 – 30 12 – 40 15 – 50
0.15 0 – 10 0 – 10 0 – 10 0 – 15
Sumber :Mulyono,2003:91

30
Keterangan :

(1) Daerah Gradasi I = Pasir Kasar

(2) Daerah Gradasi II = Pasir Agak Kasar

(3) Daerah Gradasi III = Pasir Halus

(4) Daerah Gradasi IV = Pasir Agak Halus

Dari analisis gradasi, dapat diketahui Modulus Halus Butir (MHB). MHB

atau fineness modulus adalah suatu angka yang secara kasar menggambarkan

rata-rata ukuran butir agregat. Untuk menghitung MHB dapat menggunakan

rumus sebagai berikut :

Total Persen Kumulatif berat tertinggal


MHB = … … … … … … persamaan(5)
Total Persen Tertinggal

Tabel 2.8 Batas Gradasi Agregat Kasar Menurut British Standard

Lubang Persen Berat Butir yang Lewat Ayakan, Besar


Ayakan (mm) Butir Maks.

40 mm 20 mm 12.5 mm
40 95 – 100 100 100
20 30 – 70 90 – 100 100
12.5 - - 90 – 100
10 10 – 35 25 – 55 40 – 85
4.8 0–5 0 - 10 0 – 10
Sumber : Mulyono,2003:94

Berikut ini merupakan ukuran saringan agregat berdasarkan SK SNI M 08-

1989-F yaitu 3” (76,2 mm); 2 ½ “ (63,5 mm); 2” (50,8 mm); ¾ “(19,1 mm); No. 4

(4,75 mm); No. 8 (2.36 mm); No.16 (1,18 mm); No.30 (0,600 mm); No.50 (0,300

mm); No.100 (0,150 mm); No.200 (0,075 mm).

31
2.3.5 Pengujian Butir-Butir yang Lewat Ayakan Nomor 200

Pengujian ini bertujuan untuk memperoleh persentase jumlah bahan dalam

agregat yang lolos saringan nomor 200 ( 0,075 mm) dengan cara pencucian

sehingga dapat diketahui kandungan lumpur yang terdapat dalam butir-butir

agregat.

Untuk mengetahui persentase kandungan lumpur dalam butir-butir

tersebut, maka dapat digunakan rumus sebagai berikut :

B1 − B2
Kandungan lumpur = x 100% … … … … … … … … … . . … persamaan(6)
B1

Dimana : B1 = Berat kering tungku benda uji awal

B2 = Berat kering tungku benda uji setelah dicuci

2.3.6 Pengujian Kekerasan Agregat dengan Bejana Tekan Rudelloff

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kekerasan agregat yang

akan dipakai pada campuran beton. Kekerasan adalah perlawanan terhadap

keausan. Untuk menghitung berapa persen pembubukan agregat kasar yang

terjadi, maka dapat digunakan rumus sebagai berikut :

Wଵ − Wଶ
Pembubukan = … … … … … … … … … … … … … … … … … persamaan(7)
ܹଵ

Dimana : W1 = berat benda uji sebelum ditekan

W2 = berat benda uji yang tertahan di ayakan 2 mm

2.4 Pengolahan Beton

Suatu hal yang penting dalam beton adalah pelaksanaan pembuatan beton

atau pengolahan beton. Pengolahan beton ini terdiri dari beberapa langkah,

32
diantaranya penakaran (menimbang) bahan-bahan, pengadukan, pegangkutan dari

tempat mengaduk ke lokasi pengecoran, pencetakan (memasukan aduk ke dalam

cetakan), pemadatan dan perawatan.

2.4.1 Penakaran atau Penimbangan Material

Penakaran (penimbangan) bahan-bahan adalah pengambilan bahan-bahan

untuk beton menurut takaran yang ditentukan. Takaran bahan dapat ditentukan

menurut perbandingan berat atau perbandingan volume. Baik penakaran dengan

ukuran berat maupun dengan volume, penakaran harus dilakukan dengan cermat.

Takaran yang tidak tepat dapat mengakibatkan kualitas beton yang dihasilkan

mungkin kurang memenuhi syarat mutu.

2.4.2 Proses Pengadukan Beton Segar

Yang dimaksud dengan pengadukan beton adalah proses pencampuran

antara bahan-bahan dasar beton, yaitu semen, agregat halus, agregat kasar dan air

dalam perbandingan yang telah ditentukan. Secara umum, pengadukan beton

dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara manual menggunakan tangan

dan dengan menggunakan mesin pengaduk.

Pengadukan dengan menggunakan tangan dilakukan dengan menggunakan

bantuan sekop atau cangkul. Adapun tata cara pelaksanaannya yaitu dengan

mencampur semen dengan bubuk bahan tambahan (apa bila menggunakan bahan

tambahan yang berupa bubuk) dan pasir tanpa air terlebih dahulu hingga didapat

campuran yang rata. Kemudian tambahkan agregat kasar dan diaduk tanpa air

terlebih dahulu sampai distribusi kerikil terlihat rata betul dan sempurna.

33
Selanjutnya air adukan yang telah dicampur dengan bahan tambahan (bila

digunakan bahan tambahan berupa cairan) ditambahkan dan diaduk sampai

didapat adukan beton yang homogen dan kekentalan yang sesuai dengan beton

yang diinginkan.

Untuk pengadukan dengan menggunakan mesin pengaduk berikut tata cara

pelaksanaannya berdasarkan SK SNI T-28-1991-03 :

(1) Setelah seluruh bahan-bahan ditakar, masukkan bahan-bahan tersebut


pada waktu mesin sedang berputar dengan urutan :
(a) Masukkan agregat kasar dan sejumlah air adukan ke dalam mesin
aduk.
(b) Masukkan agregat halus dan semen serta seluruh sisa air adukan.
(2) Bila digunakan bahan tambahan :
(a) Campurkan terlebih dahulu pada air adukan bahan tambahan
berupa cairan.
(b) Campurkan semen dengan bahan tambahan berupa bubuk.
(3) Lanjutkan pengadukan sekurang-kurangnya 1½ menit atau sampai
diperoleh adukan yang seragam.
(4) Lakukan Pengujian slump paling lama 5 menit setelah pengadukan
dan ambil beton segar untuk pembuatan benda uji bila diperlukan
paling lama 15 menit setelah pengadukan.

Tabel 2.9 Waktu Campur Minimum Pencampuran Beton dengan Mesin Pengaduk

Kapasitas Mesin Pengaduk (m3) Waktu Mencampur (menit)


≤2 1,3’
2,5 2’
3,0 2,3’
5,0 3’
Sumber : Candra dan Samekto, Tanpa Tahun : 48

2.4.3 Pemerikasaan Kelecakan Beton Segar

Kelecakan beton atau workability adalah kemudahan suatu campuran

beton segar untuk dikerjakan dan dipadatkan. Untuk mengukur derajat kelecakan

adukan, dapat dilakukan dengan beberapa cara. Berikut ini merupakan cara yang

34
dapat dilakukan untuk menguji kelecekan beton segar, antara lain slump test, uji

meja alir (flow table), remolding test, Kelly ball penetration test, dan compacting

faktor test.

Adapun cara mengukur derajat kelecakan adukan beton yang paling

populer adalah dengan alat slump (kerucut terpancung Abrams). Slump test adalah

pengujian kelecakan beton yang paling sederhana yang sering digunakan. Tujuan

pengujian ini adalah untuk mengetahui tingkat kelecakan (workability) beton

segar dengan cara mengukur berapa penurunan yang terjadi. Namun, kelemahan

slump test ini adalah tidak dapat mengukur kelecakan campuran beton yang kaku.

Berikut ini merupakan rumus untuk menghitung tinggi slump :

h = h଴ − hଵ … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . … persamaan (8)

Dimana : h = tinggi slump

ho = tinggi cetakan adukan awal

h1 = tinggi cetakan adukan setelah penurunan

2.4.4 Penuangan dan Pemadatan Beton Segar

Untuk penuangan beton, tuanglah beton sedekat mungkin dengan

kedudukan akhirnya, dengan secepat dan seefisien mungkin, sehingga pemisahan

dapat dihindari dan beton dapat dipadatkan secara penuh. Setelah beton segar

diaduk, diangkat dan dituangkan, kemudian beton tersebut harus dipadatkan.

Pemadatan perlu dilakukan karena sebenarnya dalam beton segar yang telah

dituangkan tersebut masih mengandung udara dalam bentuk rongga udara.

Pemadatan adalah suatu cara untuk mengeluarkan udara dalam beton segar

sebanyak mungkin. Pemadatan pada beton dilakukan agar mendapatkan beton

35
yang betul-betul padat, tanpa sarang kerikil, tetap homogen dan semua ruangan

terisi. Adapun cara pemadatan dapat dilakukan secara manual ataupun dengan

menggunakan bantuan mesin penggentar.

Pemadatan secara manual dilakukan dengan alat berupa tongkat baja atau

tongkat kayu. Adukan yang baru saja dituang ke dalam cetakan harus segera

dipadatkan dengan cara ditusuk-tusuk dengan tongkat baja atau kayu. Sebaiknya

tebal beton yang ditusuk tidak lebih dari 15 cm. Untuk itu, pemadatan cara manual

ini biasanya hanya dilakukan untuk pekerjaan beton dengan kapasitas yang kecil.

Pemadatan dengan bantuan mesin dilakukan dengan menggunakan alat

getar (vibrator). Alat getar itu mengakibatkan getaran pada beton segar yang baru

saja dituang, sehingga aduk beton mengalir dan menjadi padat. Penggetaran yang

terlalu lama harus dicegah untuk menghindari mengumpulnya kerikil dibagian

bawah dan hanya mortar di bagian atas beton. Pemadatan dengan menggunakan

mesin biasanya dilakukan untuk pekerjaan beton dengan kapasitas yang besar.

Berdasarkan SK SNI T-28-1991-03 pengecoran dan pemadatan harus

mengikuti ketentuan berikut :

1) Beton yang akan dicor harus pada posisi sedekat mungkin dengan
acuan untuk mencegah terjadinya segregasi yang disebabkan
pemuatan kembali atau dapat mengisi dengan mudah keseluruh acuan.
2) Tingkat kecepatan pengecoran beton harus diatur agar beton selalu
dalam keadaan plastis dan dapat mengisi dengan mudah ka dalam
sela-sela diantara tulangan.
3) Beton yang telah mengeras sebagian atau yang seluruhnya tidak boleh
dipergunakan untuk pengecoran.
4) Beton yang telah terkotori dengan bahan lain tidak boleh dituangkan
ke dalam struktur.
5) Pengecoran beton harus dilaksanakan secara terus menerus tanpa
berhenti hingga selesainya pengecoran suatu panel atau penampang
yang dibentuk oleh batas-batas elemennya atau batas penghentian
pengecoran yang ditentukan untuk siar pelaksanaan.

36
6) Beton yang dicor harus dipadatkan secara sempurna dengan alat yang
tepat agar dapat mengisi sepenuhnya daerah sekitar tulangan, alat
konstruksi dan alat instalasi yang akan tertanam dalam beton dan
daerah sudut acuan.
7) Dalam hal pemadatan beton dilakukan dengan alat penggetar :
(1) Lama penggetaran untuk setiap titik harus dilakukan sekurang-
kurangnya 5 detik, maksimal 15 detik.
(2) Batang penggetar tidak boleh mengenai cetakan atau bagian
beton yang sudah mengeras dan tidak boleh dipasang lebih dekat
100 mm dari cetakan atau dari beton yang sudah mengeras serta
diusahakan agar tulangan tidak terkena oleh batang penggetar.
(3) Lapisan yang digetarkan tidak boleh lebih tebal dari panjang
penggetar dan tidak boleh lebih dari 500 mm. untuk bagian
konstruksi yang sangat tebal harus dilakukan lapis demi lapis.
8) Dalam hal pengecoran yang menggunakan sistem cetakan atau acuan
yang digeser ke atas besi acuan harus terisi rata.
9) Bila diperlukan adanya siar pelaksanaan, siar tersebut harus dibuat
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2.4.5 Pembuatan Benda Uji

Tujuan pembuatan benda uji adalah untuk mendapatkan sampel yang dapat

mewakili seluruh campuran beton yang dibuat dengan perbandingan tertentu.

Adapun ukuran cetakan benda uji yang ditetapkan adalah sebagai berikut :

Tabel 2.10 Ukuran Cetakan Benda Uji Beton

Jenis Cetakan Contoh Uji Ukuran Bagian Dalam Cetakan (mm)


Kubus 150 x 150 x 150
200 x 200 x 200
Balok 500 x 100 x 100
600 x 150 x 150
Silinder Diameter 50 dan tinggi 100
Diameter 150 dan tinggi 30
Sumber : SK SNI M-62-1990-03

2.4.6 Perawatan Benda Uji

Perawatan beton (curing) adalah suatu langkah atau tindakan untuk

memberikan kesempatan pada semen atau beton untuk mengembangkan

37
kekuatannya secara wajar dan sempurna mungkin. Pada dasarnya perawatan beton

bertujuan agar beton dapat memaksimalkan kekuatan yang dihasilkan. Jika tidak

dilakukan perawatan, maka akan berpengaruh pada kekuatan beton dan secara

fisik beton akan terlihat retak-retak.

Adapun lama perawatan dapat dilakukan selama 3 minggu untuk beton

kurus (lean), sebaliknya perawatan hanya perlu dilakukan untuk beberapa hari

saja untuk beton yang kaya (rich). Karena perawatan memperbaiki mutu beton

maka perawatan semakin lama semakin baik, selama hal itu praktis dilakukan.

Untuk beton yang terletak di tanah dan beton struktural dibutuhkan minimum 7

hari perawatan.

2.4.7 Kaping

Kaping adalah pelapis perata permukaan bidang tekan benda uji beton.

Maksud penggunaan kaping ini adalah agar pada saat uji tekan bidang permukaan

tekan beton dalam keadaan rata, sehingga beban yang ditekankan pada permukaan

bidang tersebut dapat tersebar secara merata. Kaping dilakukan pada saat akan

melakukan uji tekan beton.

2.4.8 Pengujian Kuat Tekan Benda Uji

Dalam proses pengujian benda uji, secara tidak langsung ini artinya

menguji seluruh kekuatan beton yang dibuat. Dalam pengujian benda uji ini dapat

dilakukan beberapa kekuatan benda uji, seperti kuat tekan, kuat tarik dan lain

sebagainya. Pengujian kuat tekan beton bertujuan untuk menentukan kekuatan

38
tekan beton yang berbentuk kubus dan silinder yang dibuat dan dirawat. Ada

beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan tekan beton, yaitu :

1) Kondisi ujung benda uji

Maksudnya kerataan dan ketegakan lurusnya terhadap sumbu benda

uji. Untuk itu sebelum melakukan pengujian kuat tekan, sebaiknya

benda uji terlebih dahulu bagian ujung silindernya diberi kaping agar

permukaannya rata.

2) Ukuran benda uji

Ukuran standar yang sering digunakan adalah silinder dengan

diameter 15 cm dan tinggi 30 cm. Namun, ada juga yang

menggunakan ukuran lebih kecil. Penggunaan ukuran silinder yang

lebih kecil dapat mempengaruhi kuat tekan yang diperoleh.

3) Rasio diameter benda uji terhadap ukuran maksimum agregat

Spesifikasi yang ada mensyaratkan bahwa dimensi terkecil benda uji

haruslah minimum 3 kali ukuran maksimum agregat yang digunakan.

Hasil studi memperlihatkan bahwa akurasi test tekan umumnya

menurun dengan mengecilnya rasio diameter benda uji terhadap

ukuran maksimum agregat.

4) Rasio panjang terhadap diameter benda uji.

Rasio panjang (ℓ) terhadap diameter (d) benda uji yang baku adalah 2.

Walaupun begitu, penggunaan benda uji dengan rasio lebih kecil dari

2 diperbolehkan oleh peraturan yang ada. Secara umum, semakin

kecil rasio ℓ/d, maka semakin tinggi nilai kuat tekan yang didapat.

39
Hal ini dikarenakan pada benda uji dengan rasio ℓ/d < 2, kondisi

restraint ujung akan sangat mempengaruhi distribusi tegangan pada

benda uji.

Untuk mengetahui besarnya kuat tekan benda uji, dapat digunakan rumus

sebagai berikut :

Kekuatan tekan beton = P/A …………………………...……………persamaan (9)

Dimana : P = beban maksimum

A = luas penampang benda uji

2.5 Pertanyaan Penelitian

Dalam suatu penelitian, pertanyaan penelitian dapat dimunculkan apabila

peneliti tidak merumuskan hipotesis penelitian. Penelitian yang tidak perlu

merumuskan hipotesis biasanya bersifat eksploratif dan deskriptif. Seperti halnya

dengan hipotesis, pertanyaan penelitian pun berfungsi sebagai penunjuk arah

dalam proses penelitian. Berikut ini merupakan pertanyaan penelitian yang

muncul pada penelitian skripsi ini, yaitu :

1) Apakah limbah marmer dapat digunakan sebagai pengganti agregat

kasar pada campuran beton?

2) Berapakah besar kuat tekan yang dicapai pada usia beton 28 hari, jika

agregat kasar pada campuran beton disubstitusikan dengan limbah

marmer?

3) Apakah limbah marmer yang digunakan sebagai bahan substitusi

pengganti agregat kasar pada campuran beton dapat mempengaruhi

kuat tekan beton?

40

Anda mungkin juga menyukai