Anda di halaman 1dari 38

TUTORIAL

TERAPI OKSIGEN DAN KESEIMBANGAN ASAM


BASA

Disusun oleh :
Abraham Isnan 2014730001
Derry Arya Pratama 2015730028
Digit Galuh Gantina 2014730019
Isya Thulrahmi 2015730063

Pembimbing :
dr. Eva Susana, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA SUKAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................................1
BAB I.............................................................................................................................................2
PENDAHULUAN..........................................................................................................................2
BAB 2.............................................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................................4
1. TERAPI OKSIGEN.....................................................................................................................4
A. Definisi Terapi Oksigen........................................................................................................4
B. Tujuan Terapi Oksigen.........................................................................................................4
C. Indikasi Terapi Oksigen........................................................................................................4
D. Kontraindikasi Terapi Oksigen (O2).....................................................................................8
E. Teknik Pemberian Terapi Oksigen (O2)................................................................................8
F. Alat Terapi Oksigen (O2) Arus Rendah................................................................................9
G. Alat Terapi Oksigen (O2) Arus Tinggi.................................................................................13
H. Pedoman Pemberian Terapi Oksigen (O2).........................................................................15
I. Efek Samping Pemberian Terapi Oksigen (O2)...................................................................16
J. Perhatian terkait Terapi Oksigen (O2)...............................................................................17
2. KESIMBANGAN ASAM BASA..................................................................................................17
2.1.1 Asam dan Basa.................................................................................................................17
2.1.2 Asam-Basa Yang Kuat dan Lemah....................................................................................18
2.2 Konsentrasi Ion Hidrogen dan pH Cairan Tubuh Normal.....................................................18
2.3 Pengaturan pH Tubuh.........................................................................................................20
2.4 Gangguan Keseimbangan Asam Basa..................................................................................24
2.4.1 Asidosis respiratorik.........................................................................................................25
2.4.2 Alkalosis respiratorik........................................................................................................27
2.4.3 Asidosis metabolik...........................................................................................................29
2.4.4 Alkalosis metabolik..........................................................................................................31
BAB III.........................................................................................................................................34
KESIMPULAN............................................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................35

1
BAB I

PENDAHULUAN

Oksigen merupakan unsur yang paling dibutuhkan bagi kehidupan manusia.


Seorang manusia jika tidak makan atau tidak minum mungkin masih akan memberikan
toleransi yang cukup panjang hingga sampai kepada keadaan fatal, tetapi sebentar saja
manusia tak mendapat oksigen maka akan langsung fatal akibatnya. Hal tersebut
menunjukan akan pentingnya oksigen bagi kehidupan manusia. Tak hanya untuk bernafas
dan memepertahankan kehidupan, oksigen juga sangat dibutuhkan untuk metabolisme
tubuh sampai tingkatan terkecil yaitu sel. Saat ini bahkan Oksigen juga bisa menjadi
sarana untuk mengatasi berbagai macam penyakit atau digunakan sebagai terapi.
Oksigen (O2) merupakan salah satu komponen gas dan unsur yang vital dalam
proses metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel yang ada
dalam tubuh manusia. Secara normal elemen ini diperoleh dengan cara menghirup udara
ruangan dalam setiap kali bernafas karena normalnya didalam sebuah ruangan yang
berudara akan terdapat O2. Penyampaian O2 ke jaringan tubuh ditentukan oleh interaksi
system respirasi, kardiovaskuler dan keadaan hematologis. Pada keadaan kekuraangan O2
dapat ditandai dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan
kematian jaringan secara abnormal atau nekrosis yang semakin lama akan mengancam
kehidupan.
Terapi oksigen adalah suatu tindakan untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen
pada inspirasi, yang dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kadar oksigen
inspirasi/FiO2 (Orthobarik), dan meningkatkan tekanan oksigen (Hiperbarik), tujuan dari
terapi oksigen ini adalah untuk meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga
masuk ke jaringan untuk memfasilitasi metabolisme aerob, dan mempertahankan PaO2 >
60 mmHg atau SaO2 > 90 %.
Interpretasi gas darah arteri adalah kemampuan yang penting untuk dokter,
perawat, dan tenaga medis lainnya. Pemeriksaan ini untuk mengukur pH dan tekanan
parsial oksigen dan karbondioksida pada arteri. Analisis gas darah biasanya digunakan di
instalasi gawat darurat atau di intensive care unit untuk memonitor pasien dengan gagal
napas akut. Untuk memonitor fungsi paru dengan cara yang tidak invasif dapat digunakan
oksimeter. Namun oksimeter hanya mengukur saturasi oksigen dan tidak mengukur pH

2
darah, konsentrasi oksigen atau bikarbonat. Sampel untuk pemeriksaan analisa gas darah
adalah darah arteri yang diambil dari arteri brachialis atau arteri radialis atau arteri
femoralis (pergelangan tangan, lengan atau pangkal paha).
Hampir seluruh reaksi biokimia di dalam tubuh bergantung pada konsentrasi ion
hidrogen. Perubahan pada konsentrasi ion hydrogen dapat mengganggu fungsi organ
secara luas. Perubahan ion hidrogen ini akan menyebabkan perubahan dari keseimbangan
asam basa.1
Keseimbangan asam basa sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia, oleh
karena itu sangat perlu untuk mengetahui fisiologi dan patofisiologi dari keseimbangan
asam basa tersebut, sehingga dapat memberikan terapi yang tepat.2
Asam merupakan molekul yang mengandung atom-atom hidrogen yang dapat
melepaskan ion-ion hidrogen dalam larutan. Sedangkan basa adalah ion atau molekul
yang dapat menerima ion hidrogen. Pengaturan keseimbangan ion hidrogen dalam
beberapa hal sama dengan pengaturan ion-ion lain di dalam tubuh. Sebagai contoh, untuk
mencapai homeostasis, harus ada keseimbangan antara asupan atau produksi ion hidrogen
dan pembuangan ion hidrogen dari tubuh. Seperti pada ion-ion lain, ginjal memainkan
peranan kunci dalam pengaturan pengeluaran ion hidrogen. Akan tetapi, pengaturan
konsentrasi ion hidrogen cairan ekstraseluler yang tepat melibatkan jauh lebih banyak hal
daripada eleminasi sederhana ion-ion hidrogen oleh ginjal. Terdapat juga banyak
mekanisme penyangga asam basa yang melibatkan darah, sel-sel dan paru-paru yang
perlu untuk mempertahankan konsentrasi ion hidrogen normal dalam cairan ekstraseluler
dan intraseluler.1,2
Gangguan keseimbangan asam basa dapat mempengaruhi berbagai fungsi organ
vital seperti aktivitas enzim, pembekuan darah dan aktivitas neuromuscular. Tingkat
keasaman (pH) normal adalah 7,35 – 7,45 dan tingkat keasaman yang masih
memungkinkan untuk hidup adalah berkisar antara 6,7 – 7,9.1 Gangguan keseimbangan
asam basa disebut dengan istilah asidosis bila pH darah bersifat asam dan alkalosis bila
pH darah bersifat basa. Tergantung dari proses primernya, dapat dibagi menjadi
asidosis/alkalosis respiratorik (proses primer pada pernafasan) dan dapat dibagi menjagi
asidisis/alkalosis metabolik (proses primernya adalah gangguan metabolisme). 1

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. TERAPI OKSIGEN

A. Definisi Terapi Oksigen

Terapi oksigen (O2) merupakan suatu intervensi medis berupa upaya


pengobatan dengan pemberian oksigen (O2) untuk mencegah atau memerbaiki
hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan agar tetap adekuat
dengan cara meningkatkan masukan oksigen (O2) ke dalam sistem respirasi,
meningkatkan daya angkut oksigen (O2) ke dalam sirkulasi dan meningkatkan
pelepasan atau ekstraksi oksigen (O2) ke jaringan.

Dalam penggunaannya sebagai modalitas terapi, oksigen (O2) dikemas


dalam tabung bertekanan tinggi dalam bentuk gas, tidak berwarna, tidak berbau,
tidak berasa dan tidak mudah terbakar. Oksigen (O 2) sebagai modalitas terapi
dilengkapi dengan beberapa aksesoris sehingga pemberian terapi oksigen (O2)
dapat dilakukan dengan efektif, di antaranya pengatur tekanan (regulator), sistem
perpipaan oksigen (O2) sentral, meter aliran, alat humidifikasi, alat terapi aerosol
dan pipa, kanul, kateter atau alat pemberian lainnya.

B. Tujuan Terapi Oksigen


 Meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke jaringan
untuk memfasilitasi metabolisme aerob
 Mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90 % untuk :
- Mencegah dan mengatasi hipoksemia/hipoksia serta mempertahankan
oksigenasi jaringan yang adekuat.
- Menurunkan kerja nafas dan miokard.
- Menilai fungsi pertukaran gas

C. Indikasi Terapi Oksigen


Terapi oksigen (O2) dianjurkan pada pasien dewasa, anak-anak dan bayi
(usia di atas satu bulan) ketika nilai tekanan parsial oksigen (O 2) kurang dari 60

4
mmHg atau nilai saturasi oksigen (O2) kurang dari 90% saat pasien beristirahat
dan bernapas dengan udara ruangan. Pada neonatus, terapi oksigen (O2)
dianjurkan jika nilai tekanan parsial oksigen (O2) kurang dari 50 mmHg atau
nilai saturasi oksigen (O2) kurang dari 88%. Terapi oksigen (O2) dianjurkan pada
pasien dengan kecurigaan klinik hipoksia berdasarkan pada riwayat medis dan
pemeriksaan fisik. Pasien-pasien dengan infark miokard, edema paru, cidera paru
akut, sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), fibrosis paru, keracunan
sianida atau inhalasi gas karbon monoksida (CO) semuanya memerlukan terapi
oksigen (O2).
Terapi oksigen (O2) juga diberikan selama periode perioperatif karena
anestesi umum seringkali menyebabkan terjadinya penurunan tekanan parsial
oksigen (O2) sekunder akibat peningkatan ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi
paru dan penurunan kapasitas residu fungsional (FRC). Terapi oksigen (O2) juga
diberikan sebelum dilakukannya beberapa prosedur, seperti pengisapan trakea
atau bronkoskopi di mana seringkali menyebabkan terjadinya desaturasi arteri.
Terapi oksigen (O2) juga diberikan pada kondisi-kondisi yang menyebabkan
peningkatan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (O2), seperti pada luka bakar,
trauma, infeksi berat, penyakit keganasan, kejang demam dan lainnya.
Dalam pemberian terapi oksigen (O2) harus dipertimbangkan apakah
pasien benar-benar membutuhkan oksigen (O2), apakah dibutuhkan terapi
oksigen (O2) jangka pendek (short-term oxygen therapy) atau panjang (long-
term oxygen therapy). Oksigen (O2) yang diberikan harus diatur dalam jumlah
yang tepat dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari
toksisitas.

Terapi Oksigen (O2) Jangka Pendek


Terapi oksigen (O2) jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan
pada pesien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, di antaranya pneumonia,
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dengan eksaserbasi akut, asma bronkial,
gangguan kardiovaskuler dan emboli paru. Pada keadaan tersebut, oksigen (O2)

5
harus segera diberikan dengan adekuat di mana pemberian oksigen (O2) yang
tidak adekuat akan dapat menimbulkan terjadinya kecacatan tetap ataupun
kematian. Pada kondisi ini, oksigen (O2) diberikan dengan fraksi oksigen (O2)
(FiO2) berkisar antara 60-100% dalam jangka waktu yang pendek sampai kondisi
klinik membaik dan terapi yang spesifik diberikan. Adapun pedoman untuk
pemberian terapi oksigen (O2) berdasarkan rekomendasi oleh American College
of Che-st Physicians, the National Heart, Lung and Blood Institute ditunjukkan
pada table berikut

Terapi Oksigen (O2) Jangka Panjang


Pasien dengan hipoksemia, terutama pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK) merupakan kelompok yang paling banyak
menggunakan terapi oksigen (O2) jangka panjang. Terapi oksigen (O2) jangka
panjang pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) selama
empat sampai delapan minggu bisa menurunkan hematokrit, memerbaiki
toleransi latihan dan menurunkan tekanan vaskuler pulmoner. Pada pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan kor pulmonal, terapi oksigen
(O2) jangka panjang dapat meningkatkan angka harapan hidup sekitar enam
sampai dengan tujuh tahun. Selain itu, angka kematian bisa diturunkan dan dapat
tercapai manfaat survival yang lebih besar pada pasien dengan hipoksemia
kronis apabila terapi oksigen (O2) diberikan lebih dari dua belas jam dalam satu
hari dan berkesinambungan.
6
Oleh karena terdapat perbaikan pada kondisi pasien dengan pemberian
terapi oksigen (O2) jangka panjang, maka saat ini direkomendasikan untuk
pasien hipoksemia (PaO2 < 55 mmHg atau SaO2 < 88%), terapi oksigen (O2)
diberikan secara terus menerus selama dua puluh empat jam dalam satu hari.
Pasien dengan PaO2 56 sampai dengan 59 mmHg atau SaO2 89%, kor pulmonal
dan polisitemia juga memerlukan terapi oksigen (O2) jangka panjang. Pada
keadaan ini, awal pemberian terapi oksigen (O 2) harus dengan konsentrasi
rendah (FiO2 24-28%) dan dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil
pemeriksaan analisa gas darah dengan tujuan mengoreksi hipoksemia dan
menghindari penurunan pH di bawah 7,26. Terapi oksigen (O2) dosis tinggi yang
diberikan kepada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) yang
sudah mengalami gagal napas tipe II akan dapat mengurangi efek hipoksik untuk
pemicu gerakan bernapas dan meningkatkan ketidaksesuaian ventilasi dan
perfusi. Hal ini akan menyebabkan retensi CO2 dan akan menimbulkan asidosis
respiratorik yang berakibat fatal.
Pasien yang menerima terapi oksigen (O2) jangka panjang harus
dievaluasi ulang dalam dua bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap
atau ada perbaikan dan apakah masih dibutuhkan terapi oksigen (O2). Sekitar
40% pasien yang mendapat terapi oksigen (O 2) akan mengalami perbaikan
setelah satu bulan dan tidak perlu lagi meneruskan terapi oksigen (O2).

7
D. Kontraindikasi Terapi Oksigen (O2)
Terapi oksigen (O2) tidak direkomendasi pada:
a. Pasien dengan keterbatasan jalan napas yang berat dengan keluhan utama
dispneu tetapi dengan PaO2 lebih atau sama dengan 60 mmHg dan tidak
mempunyai hipoksia kronis.
b. Pasien yang tetap merokok karena kemungkinan prognosis yang buruk dan
dapat meningkatkan risiko kebakaran.

E. Teknik Pemberian Terapi Oksigen (O2)


Sangat banyak teknik dan model alat yang dapat digunakan dalam terapi
oksigen (O2) yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan .
Pemilihan teknik dan alat yang akan digunakan sangat ditentukan oleh kondisi
pasien yang akan diberikan terapi oksigen (O2).

Teknik dan alat yang akan digunakan dalam pemberian terapi oksigen
(O2) hendaknya memenuhi kriteria sebagai berikut:

 Mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen (O2) (FiO2) udara


inspirasi.
 Tidak menyebabkan akumulasi karbon dioksida (CO2).

8
 Tahanan terhadap pernapasan mininal.
 Irit dan efisien dalam penggunaan oksigen (O2).
 Diterima dan nyaman digunakan oleh pasien.

Cara pemberian terapi oksigen (O2) dibagi menjadi dua jenis, yaitu (1)
sistem arus rendah dan (2) sistem arus tinggi. Pada sistem arus rendah, sebagian
dari volume tidal berasal dari udara kamar. Alat ini memberikan fraksi oksigen
(O2) (FiO2) 21%-90%, tergantung dari aliran gas oksigen (O 2) dan tambahan
asesoris seperti kantong penampung. Alat-alat yang umum digunakan dalam
sistem ini adalah: nasal kanul, nasal kateter, sungkup muka tanpa atau dengan
kantong penampung dan oksigen (O2) transtrakeal. Alat ini digunakan pada
pasien dengan kondisi stabil, volume tidalnya berkisar antara 300-700 ml pada
orang dewasa dan pola napasnya teratur. Pada sistem arus tinggi, adapun alat
yang digunakan yaitu sungkup venturi yang mempunyai kemampuan menarik
udara kamar pada perbandingan tetap dengan aliran oksigen sehingga mampu
memberikan aliran total gas yang tinggi dengan fraksi oksigen (O 2) (FiO2) yang
tetap. Keuntungan dari alat ini adalah fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang diberikan
stabil serta mampu mengendalikan suhu dan humidifikasi udara inspirasi
sedangkan kelemahannya adalah alat ini mahal, mengganti seluruh alat a pabila
ingin mengubah fraksi oksigen (O2) (FiO2) dan tidak nyaman bagi pasien.

F. Alat Terapi Oksigen (O2) Arus Rendah


a. Nasal kanul dan nasal kateter.
Nasal kanul dan nasal kateter merupakan alat terapi oksigen (O2)
dengan sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal kanul terdiri
dari sepasang tube dengan panjang + dua cm yang dipasangkan pada lubang
hidung pasien dan tube dihubungkan secara langsung menuju oxygen flow
meter. Alat ini dapat menjadi alternatif bila tidak terdapat sungkup muka,
terutama bagi pasien yang membutuhkan konsentrasi oksigen (O2) rendah

9
oleh karena tergolong sebagai alat yang sederhana, murah dan mudah dalam
pemakaiannya. Nasal kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring
dengan aliran 2-6 liter/ menit dengan fraksi oksigen (O2) (Fi-O2) antara 24-
44%. Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan fraksi oksigen (O2) (FiO2)
secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran
menjadi kering. Adapun keuntungan dari nasal kanul yaitu pemberian
oksigen (O2) yang stabil serta pemasangannya mudah dan nyaman oleh
karena pasien masih dapat makan, minum, bergerak dan berbicara.
Walaupun nasal kanul nyaman digunakan tetapi pemasangan nasal kanul
dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada mukosa hidung, mudah lepas,
tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen (O2) lebih dari 44% dan tidak
dapat digunakan pada pasien dengan obstruksi nasal. Nasal kateter mirip
dengan nasal kanul di mana sama-sama memiliki sifat yang sederhana,
murah dan mudah dalam pemakaiannya serta tersedia dalam berbagai
ukuran sesuai dengan usia dan jenis kelamin pasien. Untuk pasien anak-anak
digunakan kateter nomor 8-10 F, untuk wanita digunakan kateter nomor 10-
12 F dan untuk pria digunakan kateter nomor 12-14 F. Fraksi oksigen (O2)
(FiO2) yang dihasilkan sama dengan nasal kanul.

Gambar 2.1. Gambar 2.2.


Nasal Kanul Nasal Kateter

b. Sungkup muka tanpa kantong penampung.


Sungkup muka tanpa kantong penampung merupakan alat terapi

10
oksigen (O2) yang terbuat dari bahan plastik di mana penggunaannya
dilakukan dengan cara diikatkan pada wajah pasien dengan ikat kepala
elastis yang berfungsi untuk menutupi hidung dan mulut. Tubuh sungkup
berfungsi sebagai penampung untuk oksigen (O2) dan karbon dioksida
(CO2) hasil ekspirasi. Alat ini mampu menyediakan fraksi oksigen (O 2)
(FiO2) sekitar 40-60% dengan aliran sekitar 5-10 liter/ menit. Pada
penggunaan alat ini, direkomendasikan agar aliran oksigen (O2) dapat tetap
dipertahankan sekitar 5 liter/ menit atau lebih yang bertujuan untuk
mencegah karbon dioksida (CO2) yang telah dikeluarkan dan tertahan pada
sungkup untuk terhirup kembali. Adapun keuntungan dari penggunaan
sungkup muka tanpa kantong penampung adalah alat ini mampu
memberikan fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang lebih tinggi daripada nasal
kanul ataupun nasal kateter dan sistem humidifikasi dapat ditingkatkan
melalui pemilihan sungkup berlubang besar sedangkan kerugian dari alat ini
yaitu tidak dapat memberikan fraksi oksigen (O2) (FiO2) kurang dari 40%,
dapat menyebabkan penumpukan karbon dioksida (CO2) jika aliran oksigen
(O2) rendah dan oleh karena penggunaannya menutupi mulut, pasien
seringkali kesulitan untuk makan dan minum serta suara pasien akan
teredam. Sungkup muka tanpa kantong penampung paling cocok untuk
pasien yang membutuhkan fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang lebih tinggi
daripada nasal kanul ataupun nasal kateter dalam jangka waktu yang singkat,
seperti terapi oksigen (O2) pada unit perawatan pasca anestesi. Sungkup
muka tanpa kantong penampung sebaiknya juga tidak digunakan pada
pasien yang tidak mampu untuk melindungi jalan napas mereka dari resiko
aspirasi.

11
c. Sungkup muka dengan kantong penampung.
Terdapat dua jenis sungkup muka dengan kantong penampung yang
seringkali digunakan dalam pemberian terapi oksigen (O2), yaitu sungkup
muka partial rebreathing dan sungkup muka nonrebreathing. Keduanya
terbuat dari bahan plastik namun perbedaan di antara kedua jenis sungkup
muka tersebut terkait dengan adanya katup pada tubuh sungkup dan di
antara sungkup dan kantong penampung. Sungkup muka partial rebreathing
tidak memiliki katup satu arah di antara sungkup dengan kantong
penampung sehingga udara ekspirasi dapat terhirup kembali saat fase
inspirasi sedangkan pada sungkup muka nonrebreathing, terdapat katup satu
arah antara sungkup dan kantong penampung sehingga pasien hanya dapat
menghirup udara yang terdapat pada kantong penampung dan
menghembuskannya melalui katup terpisah yang terletak pada sisi tubuh
sungkup. Sungkup muka dengan kantong penampung dapat mengantarkan
oksigen (O2) sebanyak 10-15 liter/ menit dengan fraksi oksigen (O 2) (FiO2)
sebesar 80-85% pada sungkup muka partial rebreathing bahkan hingga
100% pada sungkup muka nonrebreathing. Kedua jenis sungkup muka ini
sangat dianjurkan penggunaannya pada pasien-pasien yang membutuhkan
terapi oksigen (O2) oleh karena infark miokard dan keracunan karbon
monoksida (CO).

12
d. Oksigen (O2) transtrakeal.
Oksigen (O2) transtrakeal dapat mengalirkan oksigen (O2) secara
langsung melalui kateter di dalam trakea. Oksigen (O 2) transtrakeal dapat

Gambar 2.4. Gambar 2.5.


Sungkup Muka Sungkup Muka
Partial Rebreathing Nonrebreathing

Gambar 2.6.
Oksigen (O2) Transtrakeal
meningkatkan kepatuhan pasien untuk menggunakan terapi oksigen (O2)
secara kontinyu selama 24 jam dan seringkali berhasil untuk mengatasi
hipoksemia refrakter. Oksigen (O2) transtrakeal dapat menghemat
penggunaan oksigen (O2) sekitar 30-60%. Keuntungan dari pemberian
oksigen (O2) transtrakeal yaitu tidak ada iritasi muka ataupun hidung
dengan rata-rata oksigen (O2) yang dapat diterima pasien mencapai 80-96%.
Kerugian dari penggunaan alat ini yaitu biayanya yang tergolong tinggi dan
resiko terjadinya infeksi lokal. Selain itu, ada pula berbagai komplikasi
lainnya yang seringkali terjadi pada pemberian oksigen (O2) transtrakeal
antara lain emfisema subkutan, bronkospasme, batuk paroksismal dan
infeksi stoma.

13
G. Alat Terapi Oksigen (O2) Arus Tinggi

Terdapat dua indikasi klinis untuk penggunaan terapi oksi gen (O2) dengan
arus tinggi, di antaranya adalah pasien dengan hipoksia yang memerlukan
pengendalian fraksi oksigen (O2) (FiO2) dan pasien hipoksia dengan ventilasi
yang abnormal. Adapun alat terapi oksigen (O2) arus tinggi yang seringkali
digunakan, salah satunya yaitu sungkup venturi. Sungkup venturi merupakan alat
terapi oksigen (O2) dengan prinsip jet mixing yang dapat memberikan fraksi
oksigen (O2) (FiO2) sesuai dengan yang dikehendaki. Alat ini sangat bermanfaat
untuk dapat mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen (O2) rendah sekitar
24-35% dengan arus tinggi, terutama pada pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK) dan gagal napas tipe II di mana dapat mengurangi resiko
terjadinya retensi karbon dioksida (CO2) sekaligus juga memerbaiki hipoksemia.
Alat ini juga lebih nyaman untuk digunakan dan oleh karena adanya pendorongan
oleh arus tinggi, maka masalah rebreathing akan dapat teratasi. Diberikan pada
pasien hyperkarbia kronik (CO2 yang tinggi) seperti PPOK yang terutama
tergantung pada kendali hipoksia untuk bernafas, pada pasien hypoksemia sedang
sampai berat, dan ventilasi yang tidak teratur. Keuntungannya konsentrasi oksigen
yang diberikan konstan/tepat sesuai dengan petunjuk pada alat, FiO2 tidak
dipengaruhi oleh pola ventilasi, serta dapat diukur dengan O2 analiser, temperatur
dan kelembaban gas dapat dikontrol dan tidak terjadi penumpukan CO2.
Kerugiannya adalah harus diikat dengan kencang untuk mencegah oksigen
mengalir kedalam mata, tidak memungkinkan makan atau batuk, masker harus
dilepaskan bila pasien makan, minum, atau minum obat dan bila humidifikasi
ditambahkan gunakan udara tekan sehingga tidak mengganggu konsentrasi O2.

14
Gambar 2.7.
Sungkup Venturi
Fraksi Oksigen (O2) (FiO2) pada
Alat Terapi Oksigen (O2) Arus Rendah dan Arus Tinggi

H. Pedoman Pemberian Terapi Oksigen (O2)


Adapun pemberian terapi oksigen (O2) hendaknya mengikuti langkah-

15
langkah sebagai berikut sehingga tetap berada dalam batas aman dan efektif, di
antaranya:
 Tentukan status oksigenasi pasien dengan pemeriksaan klinis, analisa
gas darah dan oksimetri.
 Pilih sistem yang akan digunakan untuk memberikan terapi oksigen
(O2).
 Tentukan konsentrasi oksigen (O2) yang dikehendaki: rendah (di
bawah 35%), sedang (35 sampai dengan 60%) atau tinggi (di atas
60%).
 Pantau keberhasilan terapi oksigen (O2) dengan pemeriksaan fisik
pada sistem respirasi dan kardiovaskuler.
 Lakukan pemeriksaan analisa gas darah secara periodik dengan selang
waktu minimal 30 menit. Apabila dianggap perlu maka dapat
dilakukan perubahan terhadap cara pemberian terapi oksigen (O2).
 Selalu perhatikan terjadinya efek samping dari terapi oksigen (O2)
yang diberikan

I. Efek Samping Pemberian Terapi Oksigen (O2)


Seperti halnya terapi dengan obat, pemberian terapi oksigen (O 2) juga
dapat menimbulkan efek samping, terutama terhadap sistem pernapasan,
susunan saraf pusat dan mata, terutama pada bayi prematur. Efek samping
pemberian terapi oksigen (O2) terhadap sistem pernapasan, di antaranya dapat
menyebabkan terjadinya depresi napas, keracunan oksigen (O2) dan nyeri
substernal. Depresi napas dapat terjadi pada pasien yang menderita penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK) dengan hipoksia dan hiperkarbia kronis. Pada
penderita penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), kendali pusat napas bukan
oleh karena kondisi hiperkarbia seperti pada keadaan normal, tetapi oleh
kondisi hipoksia sehingga pabila kada oksigen (O2) dalam darah meningkat
maka akan dapat menimbulkan depresi napas. Pada penderita penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK), terapi oksigen (O2) dianjurkan dilakukan dengan

16
sistem aliran rendah dan diberikan secara intermiten.
Keracunan oksigen (O2) terjadi apabila pemberian oksigen (O2) dengan
konsentrasi tinggi (di atas 60%) dalam jangka waktu yang lama. Hal ini akan
menimbulkan perubahan pada paru dalam bentuk kongesti paru, penebalan
membran alveoli, edema, konsolidasi dan atelektasis. Pada keadaan hipoksia
berat, pemberian terapi oksigen dengan fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang
mencapai 100% dalam waktu 6-12 jam untuk penyelamatan hidup seperti
misalnya pada saat resusitasi masih dianjurkan namun apabila keadaan kritis
sudah teratasi maka fraksi oksigen (O2) (FiO2) harus segera di turunkan. Nyeri
substernal dapat terjadi akibat iritasi pada trakea yang menimbulkan trakeitis.
Hal ini terjadi pada pemberian oksigen (O2) konsentrasi tinggi dan keluhan
tersebut biasanya akan diperpa-rah ketika oksigen (O2) yang diberikan kering
atau tanpa humidifikasi.
Efek samping pemberian terapi oksigen (O2) terhadap susunan saraf
pusat apabila diberikan dengan konsentrasi yang tinggi maka akan dapat
menimbulkan keluhan parestesia dan nyeri pada sendi sedangkan efek samping
pemberian terapi oksigen (O2) terhadap mata, terutama pada bayi baru lahir
yang tergolong prematur, keadaan hiperoksia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada retina akibat proliferasi pembuluh darah yang disertai dengan
perdarahan dan fibrosis atau seringkali disebut sebagai retrolental fibroplasia.

J. Perhatian terkait Terapi Oksigen (O2)


Oleh karena deteksi terhadap efek samping dari terapi oksigen (O2)
tergolong tidak mudah, maka perlu dilakukan pencegahan terhadap timbulnya
efek samping dari terapi oksigen (O2) melalui cara pemberian oksigen (O2) yang
harus dilakukan dengan dosis serta cara yang tepat. Pemberian oksigen (O 2)
yang paling aman dilakukan pada fraksi oksigen (O2) (FiO2) 0,5-1. Menggunakan
terapi oksigen (O2) juga sangat beresiko terhadap api, oleh karena itu sangat
perlu untuk mengedukasi pasien untuk menghindari merokok serta tabung

17
oksigen (O2) harus diyakinkan aman agar tidak mudah terjatuh dan meledak.

2. KESIMBANGAN ASAM BASA


2.1 Definisi

2.1.1 Asam dan Basa


Menurut teori Bronsted-lowry, asam merupakan subtansi kimia yang dapat berperan
sebagai pemberi proton (donor proton- H+) sedangkan basa merupakan struktur kimia
yang dapat berperan sebagai penerima proton. Pada cairan fisiologis, teori asam basa
lebih baik dijelaskan melalui teori Arrhenius. Menurut Arrhenius asam adalah sebuah
senyawa yang terdiri dari hydrogen dan bereaksi dengan air membentuk ion hidrogen.
Sedangkan suatu basa adalah subtansi yang menghasilkan ion hidroksil di dalam air.2
Istilah basa sering digunakan secara sinonim dengan alkali. Alkali adalah suatu
molekul yang terbentuk dari kombinasi satu atau lebih logam-logam alkali-natrium,
kalium, litium dan seterusnya dengan ion yang sangat mendasar seperti ion hidroksil
(OH-). Bagian dasar dari molekul-molekul ini bereaksi secara cepat dengan ion-ion
hydrogen untuk menghilangkannya dari larutan.1,2
Ion hidrogen adalah proton tunggal bebas yang dilepaskan dari atom hidrogen.
Satu contoh adalah asam hidroklorida (HCL), yang berionisasi dalam air membentuk ion-
ion hydrogen (H+) dan ion klorida (Cl-). Demikian juga dengan asam karbonat (H2CO3).
Contoh dari basa adalah ion bikarbonat (HCO3-) karena dia dapat bergabung
dengan satu ion hydrogen untuk membentuk H2CO3. Demikian juga dengan HPO4- adalah
suatu basa karena dapat menerima satu ion hydrogen untuk membentuk H 2PO4. Protein-
protein dalam tubuh juga berfungsi sebagai basa, karena beberapa asam amino yang
membangun protein dengan muatan akhir negatif siap menerima ion-ion hydrogen.
Protein hemoglobin dalam sel darah merah dan protein-protein dalam sel tubuh yang lain
merupakan basa-basa tubuh yang sangat penting.2

2.1.2 Asam-Basa Yang Kuat dan Lemah


Asam kuat adalah asam yang berdisosiasi dengan cepat dan terutama melepaskan
sejumlah besar ion H+ dalam larutan. Contohnya adalah HCl. Asam lemah mempunyai

18
lebih sedikit kecenderungan untuk mendisosiasikan ion-ionnya, oleh karena itu kurang
kuat melepas H-. Contohnya adalah H2CO3.2
Suatu basa kuat adalah basa yang bereaksi secara cepat dan kuat dengan H-, oleh
karena itu dengan cepat menghilangkannya dari larutan. Contohnya yang khas adalah
OH-, yang bereaksi dengan H- untuk membentuk air (H20). Basa lemah yang khas adalah
HC03-, karena HC03- berikaan dengan H+ secara jauh lenih lemah daripada OH-.
Kebanyakan asam dan basa dalam cairan ekstraseluler yang berhubungan dengan
pengaturan asam-basa normal adalah asam dan basa lemah.2,3

2.2 Konsentrasi Ion Hidrogen dan pH Cairan Tubuh Normal


Konsentrasi ion hidrogen darah secara normal dipertahankan dalam batas ketat suatu nilai
normal sekitar 0,00004 mEq/liter (10nEq/liter). Variasi normal hanya sekitar 3 sampai 5
nEq/liter, tetapi dalam kondisi yang ekstrem, konsentrasi ion hidrogen dapat bervariasi
dari serendah 10nEq/liter sampai setinggi 160 nEq/liter tanpa menyebabkan kematian.2
Karena konsentrasi ion hidrogen normalnya adalah rendah dan karena jumlah
yang kecil ini tidak praktis, biasanya konsentrasi ion hidrogen disebut dalam skala
logaritma, dengan menggunakan satuan pH. pH berhubungan dengan konsentrasi ion
hidrogen yang sebenarnya melalui rumus berikut ini (konsentrasi ion hidrogen [H +]
dinyatakan dalam ekuivalen per liter):
pH = log 1 = - log [H+]
[H+]

Sehingga PH normal adalah –log (40 x 10-9), yaitu 7,40.


Dari rumus tersebut, dapat dilihat bahwa pH berhubungan terbalik dengan
konsentrasi ion hidrogen; oleh karena itu, pH yang rendah berhubungan dengan
konsentrasi ion hidrogen yang tinggi dan pH yang tinggi berhubungan dengan
konsentrasi ion hidrogen yang rendah.2
Nilai pH normal darah arteri adalah 7,4, sedangkan pH darah vena dan cairan
interstisial sekitar 7,35 akibat jumlah ekstra karbon dioksida (CO 2) yang dibebaskan dari
jaringan untuk membentuk H2CO3 dalam cairan-cairan ini (tabel 2.3). Karena pH normal
darah arteri adalah 7,4, seseorang diperkirakan mengalami asidosis saat pH turun di
bawah nilai ini dan mengalami alkalosis saat pH meningkat di atas 7,4. batas rendah pH

19
di mana seseorang dapat hidup lebih dari beberapa jam adalah sekitar 6,8, dan batas atas
adalah sekitar 7,8.1,2,4
pH intraselular biasanya sedikit lebih rendah daripada pH plasma karena
metabolisme sel menghasilkan asam, terutama H2CO3. Bergantung pada jenis sel, pH
cairan intraselular diperkirakan berkisar antara 6,0 dan 7,4. Hipoksia jaringan dan aliran
darah yang buruk ke jaringan dapat menyebabkan pengumpalan asam dan, oleh karena
itu, dapat menurunkan pH intraselular.
pH urin dapat berkisar dari 4,5 sampai 8,0 bergantung pada status asam basa cairan
ekstraselular. Ginjal memainkan peranan penting dalam mengoreksi abnormalitas
konsentrasi ion hidrogen cairan ekstraselular dengan mengekskresikan asam atau basa
pada kecepatan yang bervariasi.4

2.3 Pengaturan pH Tubuh


Metabolisme tubuh akan menghasilkan asam. Asam-asam yang diproduksi di dalam
tubuh adalah asam respiratorik dan asam non-respiratorik (metabolik). Asam respiratorik
adalah CO. Sedangkan asam metabolik adalah laktat, piruvat dan keton.
Eliminasi asam respiratorik sekitarn12 mol setiap harinya dieliminasi oleh paru-
paru. Asam metabolik yang dihasilkan setiap harinya hanya sekitar 0,1 mol (100 mEq).
Asam ini akan dieliminasi di ginjal atau di metabolisme di hati.

20
Ada 3 mekanisme yang mempertahankan nilai pH agar tetap dalam batas normal
dalam cairan tubuh, yaitu:2
1. Penyangga kimia.
2. Mekanisme kompensasi respirasi.
3. mekanisme kompensasi oleh ginjal.

1. Penyangga kimia
Sistem buffer adalah zat kimia yang terdapat dalam cairan tubuh yang mempunyai
kemampuan untuk menyesuaikan pH apabila terjadi penambahan sejumlah asam atau
basa ke dalam cairan tubuh. Sistem buffer bisa merupakan campuran asam lemah dan
garam alkalinya atau campuran basa lemah dan garam asamnya.
Penyangga yang penting dalam tubuh adalah H2CO3 dan NaHCO3 atau KHCO3,
garam HPO4, protein dengan garam alkalinya, H Protein dan B Protein, B adalah kation
seperti Na dan K.3
Ada 4 sistem penyangga di dalam tubuh1,3,4
a) Sistem penyangga bikarbonat-asam karbonat (HCO3-H2CO3).
Merupakan sistem penyangga yang utama dalam tubuh dan berfungsi
terutama dalam cairan ekstrasel. Pada proses metabolisme normal, kebanyakan
asam organik dan anorganik yang terbentuk lebih kuat dari H2CO3. hal ini
menimbulkan reaksi sebagai berikut :
HCl + NaHCO3 H2CO3 + NaCl
H2CO3 H2O + CO2
Bila suatu basa seperti NaOH memasuki tubuh atau terbetuk dalam tubuh,
maka akan bereaksi dengan CO2 membentuk bikarbonat dengan jalan sbb:
NaOH + H2CO3 NaHCO3 + H2O
Karbon dioksida (CO2) diproduksi secara kontinyu melalui proses
metabolisme, oleh karena itu setiap basa yang masuk kedalam tubuh dengan
segera diubah menjadi bikarbonat.
Karena pentingnya bikarbonat dan karbon dioksida dalam pengaturan
asam basa, maka pH darah tergantung dari perbandingan ion HCO 3 : H2CO3
dalam plasma dan cairan ekstrasel. Pada keadaan normal, perbandingan ini
adalah 20 : 1.
21
Henderson & Hesselbach mendapatkan cara perhitungan pH sebagai
berikut :
pH = 6,1 + log HCO3/H2CO3
= 6,1 + log 20 = 6,1 + 1,3 = 7,4

Bila kadar bikarbonat naik atau kadar asam karbonat turun, maka
perbandingan HCO3/H2CO3 akan naik dan nilai pH naik, demikian juga
sebaliknya.
b) Sistem penyangga fosfat.
Sistem penyangga ini terutama berperan dalam eritrosit dan sel tubulus
ginjal yang berperan mengatur ekresi ion H.Ion fosfat terdapat dalam 2 bentuk,
yaitu HPO4- dan H2PO4-. Penambahan asam kuat seperti HCl akan menimbulkan
reaksi sebagai berikut :
HCl + Na2HPO4 NaCl + NaH2PO4
Dengan kata lain asam kuat diubah menjadi garam netral NaCl oleh garam
penyangga fosfat yang berubah bentuk dari basa lemah menjadi asam lemah.
Dengan cara serupa, basa kuat seperti NaOH akan menimbulkan reaksi
sebagai berikut :
NaOH + NaH2PO4 Na2HPO4 + H2O
Atau dengan kata lain basa kuat akan diubah menjadi air oleh garam
penyangga fosfat yang mengalami perubahan bentuk dari asam lemah menjadi
basa lemah.2
c) Sistem penyangga protein.
Sistem penyangga ini terutama berfungsi dalam sel jaringan dan juga
didalam plasma.Protein tubuh bertindak sebagai anion pada pH yang alkalis,
dalam bentuk asam (H-Protein) atau sebagai basa (B-Protein).
Dengan cara ini protein dapat melepas atau mengikat ion H sesuai dengan
kebutuhan.
d) Sistem penyangga hemoglobin.2
Hb bekerja sebagai asam lemah dan membentuk sistem penyangga dengan
basa kuat seperti bikarbonat dan fosfat.

22
CO2 yang dibentuk selama proses metabolisme jaringan akan berdifusi ke
dalam rongga jaringan, ke dalam plasma dan kemudian ke dalam sel darah
merah. Di dalam sel darah merah dengan perantara enzim karbonik anhidrase,
CO2 akan diubah menjadi H2CO3 yang segera terurai menjadi H+ dan HCO3-. H+
akan diikat oleh Hb- membentuk HHb, sedangkan HCO3- akan diikat oleh ion
kalium di dalam sel darah merah membentuk KHCO3. bila konsentrasinya telah
melampaui kadarnya di dalam plasma, maka bikarbonat akan berdifusi ke dalam
plasma dan untuk menjaga keseimbangan elektronetralitas, maka ion klorida
akan memasuki sel darah merah membentuk KCL, jadi :
CO2 + H2O H2CO3 (H+) + (HCO3-)
(H+) + (Hb-) HHb
(HCO3-) + (K+) KHCO3 di dalam sel darah merah
KHCO3 (K+) + (HCO3-) masuk ke dalam plasma
Plasma (Cl-) sel darah merah KCl

2. Mekanisme kompensasi respirasi.2


Garis pertahanan kedua terhadap gangguan asam basa adalah pengaturan konsentrasi CO 2
cairan ekstraselular oleh paru-paru. Dalam persamaan Henderson-Hasselbalch, kita
melihat bahwa peningkatan PACO2 cairan ekstraselular akan menurunkan pH, sedangkan
penurunan PACO2 akan meningkatkan pH. Oleh karena itu, dengan menyesuaikan PACO2
meningkat atau menurun, paru-paru secara efektif dapat mengatur konsentrasi ion
hidrogen cairan ekstraselular. Peningkatan ventilasi akan menurunkan CO2 dari cairan
ekstraselular yang melalui kerja massa, akan mengurangi konsentrasi ion hidrogen.
Sebaliknya, penurunan ventilasi akan meningkatkan CO2, jadi juga meningkatkan
konsentrasi ion hidrogen dalam cairan ekstrselular.

3. Mekanisme kompensasi ginjal.


Dalam keadaan normal ginjal berperan dalam keseimbangan asam basa melalui 3 cara,
yaitu :1
a) Reabsorpsi ion bikarbonat.
Pada keadaan normal, dengan laju filtrasi glomerulus 120 ml/menit dengan kadar
HCO3 serum 24 mEq/l, ginjal harus mereabsorpsi 4000 mEq/l HCO 3. Hal ini

23
berlangsung melalui proses pertukaran ion H (sekresi sel tubulus ginjal) dengan ion
Na tubulus.
Sekresi ion H pada tubulus melalui enzim karbonik anhidrase yang bertindak sebagai
katalisator, seperti reaksi berikut ini :
CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3-
Ion H akan bereaksi dengan HCO3 di tubulus menjadi H2CO3, kemudian menjadi H2O
dan CO2. Selanjutnya H2O diekskresi dalam bentuk urin sedangkan CO2 diabsorbsi
oleh sel tubulus.
Ion Na dalam urin masuk ke dalam sel tubulus dan bergabung dengan HCO 3.
Selanjutnya terurai kembali menjadi ion HCO3 dan Na, kemudian ion HCO3 masuk ke
plasma dan cairan ekstrasel.

Plasma Sel tubulus Urin tubulus

CO2 + H2O H2CO3


HCO3 + H+ Na + HCO3
Na
+ HCO3 + Na H+ + HCO3
HCO3
H2CO3
H2O
+
CO2 CO2 CO2

Gambar 2.1 Mekanisme sekresi aktif ion hydrogen dan reabsorbsi bikarbonat

b) Asidifikasi garam penyangga.


Mekanisme pertukaran yang serupa terjadi antara ion H dari sel tubulus dan berbagai
garam Na yang terdapat dalam urin, seperti garam Na2HPO4 yang merupakan garam
terbanyak. Garam ini berdisosiasi menjadi ion Na dan NaHPO 4, selanjutnya ion Na
direabsorpsi. Sebaliknya ion H bergerak ke urin bergabung dengan NaHPO4
membentuk NaH2PO4 yang akan diekskresikan, dengan demikian kelebihan ion H +
dalam tubuh dibuang melalui urin.

24
c) Ekskresi amoniak.
NH3 terbentuk pada sel tubulus ginjal sebagai hasil oksidasi asam amino. NH 3 diubah
menjadi NH4 (bergabung dengan ion H) dan dieksresikan ke urin dalam bentuk
NH4Cl. Diamping itu NH3 bisa diubah menjadi urea dihati dan kemudian dieksresikan
oleh ginjal.

2.4 Gangguan Keseimbangan Asam Basa


Akhiran “-emia”” digunakan untuk menyebutkan efek total dari semua proses primer dan
respon kompensasi fisiologis dari pH darah arteri. Karena pH arteri normal pada orang
dewasa adalah 7,35 - 7,45, maka pH < 7,35 disebut sebagai asidemia, sedangkan
pH>7,45 disebut sebagai alkalemia.1,2,3
Terdapat 2 bentuk gangguan asam basa berdasarkan perubahan Ph, yaitu asidosis
dan alkalosis. Asidosis didefinisikan sebagai gangguan yang menyebabkan penurunan pH
< 7,35, sedangkan alkalosis adalah setiap gangguan yang menyebabkan peningkatan Ph
7,45.
Terdapat 6 jenis gangguan keseimbangan asam basa, yaitu asidosis repiratorik
akut dan kronik, alkalosis respiratorik akut dan kronik, asidosis metabolik dan alkalosis
metabolik.

2.4.1 Asidosis respiratorik.


1. Definisi
Asidosis respiratorik adalah gangguan asam basa primer ditandai dengan
meningkatnya PCO2 (hiperkapnia) sampai diatas 45 mmHg. Hal ini menyebabkan rasio
HCO3/H2CO3 turun sehingga pH turun. Beratnya asidemia yang terjadi tergantung dari
beratnya hiperkapnia, kemampuan penyangga dan mekanisme kompensasi ginjal untuk
mempertahankan pH. Peningkatan CO2 yang terjadi secara mendadak tidak segera diikuti
oleh turunnya pH, karena mekanisme penyangga intra dan ekstrasel memerlukan waktu
beberapa menit sesudah hiperkapnia akut oleh peningkatan HCO3 serum.
Pada asidosis respiratorik akut HCO3 akan naik 1 mEq untuk setiap 10 mmHg
kenaikan PCO2. hal ini merupakan akibat langsung dari naiknya eksresi asam (terutama
dalam bentuk amonium) dan akibat sintesa HCO 3 oleh ginjal. Pada keadaan kronik HCO3
naik 3,5 mEq/l untuk tiap 10 mmHg kenaikan PCO2.1

25
Serum HCO3 yang tinggi dengan pH asidemik ringan menunjukkan proses kronik,
sedangkan pH yang sangat asidemik dengan peningkatan minimal dari HCO3
menandakan proses akut.
Perbedaan ini sangat penting untuk dipahami dalam rangka perencanaan terapi, oleh
karena masing-masing mempunyai perbedaan dalam pendekatan terapi.

2. Penyebab
Asidosis respiratorik disebabkan oleh :
1. Depresi pusat pernafasan.
Misalnya pada intoksikasi opiate atau barbiturate, trauma atau tumor SSP,
infeksi SSP seperti meningitis/ensefalitis, pendarahan otak (stroke) dan
hipoventilasi sentral yang sifatnya primer.
2. Penyakit paru.
Misalnya pada penyakit paru obstruktif baik akut atau kronis, trauma dada dan
kelainan saraf otot nafas.
Tabel 2.1 Penyebab Asidosis Respiratorik3

Hipoventilasi alveoli Gangguan tidur


Depresi sistem saraf pusat Jalan nafas bawah
Dipicu obat Asma berat
Gangguan tidur Penyakit paru obstruktif
Sindrom hipoventilasi karena kronik
kegemukan (Pickwickian) Tumor
Iskemia otak Penyakit parenkim paru
Trauma otak Edema paru
Gangguan neuromuskular Kardiogenik
Miopati Non kardiogenik
Neuropati Emboli paru
Abnormalitas dinding dada Pneumonia
Flail chest Aspirasi
kifoskoliosis Penyakit paru intersititial
Abnormalitas pleura Malfungsi ventilator
Pneumotoraks Peningkatan produksi CO2
Efusi pleura Kelebihan karbohidrat dalam
Obstruksi jalan nafas jumlah besar
Jalan nafas atas Hipertermia malignan
Benda asing Menggigil
Tumor Aktivitas kejang yang
Spasme laring memanjang

26
3. Gambaran Klinis
a. Tanda dan gejala
Tidak ada tanda atau gejala yang spesifik untuk asidosis respiratorik.Tanda dan
gejala yang ditemukan sesuai dengan penyebab asidosis tersebut. Terhadap susunan saraf
pusat menyebabkan perubahan tingkat kesadaran yang beratnya tergantung derajat
asidosis yang terjadi. Peningkatan tekanan intrakranial dapat dihubungkan dengan PCO2
yang tinggi sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah serebral. Pada kasus ringan akan
ditemukan sakit kepala.
Jika ditemukan sumbatan pada saluran pernapasan, maka akan didapatkan tanda-
tanda stridor dan napas dengan usaha (labored breathing). Jika depresi pusat napas, akan
ditemukan pernapasan yang pelan, dangkal atau apneuistik. Jika terdapat PPOK dengan
eksaserbasi akut dengan mengi (wheezing) atau dispneu.
b. Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan kimia darah sangat bevariasi. Umumnya pH turun, PCO2 naik
dan HCO3 serum naik dengan progresif. Bisa timbul hipokalemia atau hiperkalemia tetapi
tidak seberat seperti pada asidosis metabolik, sebaliknya ion klorida menurun dalam
plasma karena adanya stimulasi produksi amonia dan sekresi H+ oleh ginjal, maka terjadi
penurunan Ph urin.

4. Terapi.
Terapi ditujukan untuk mengoreksi faktor penyebab dan memulihkan ventilasi
alveolar untuk mengeluarkan CO2. pada keadaan akut, intubasi endotrakeal dan bantuan
ventilasi harus dilakukan tanpa harus menunggu pasien memperlihatkan tanda-tanda
peniggian PCO2 yang progresif. Koreksi hiperkapnia tak boleh terlalu cepat karena bisa
menimbulkan alkalemia. Pada keadaan akut, jangan lupa memberikan oksigen, untuk
mencegah hipoksia jaringan.1
Pada retensi CO2 akibat PPOK, pendekatan lebih diarahkan pada tindakan
konservatif (dengan resimen : bronkodilator, fisioterapi paru dan antibiotika), oleh karena
pasien PPOK lebih toleran terhadap retensi CO2, asidosisnya tidak terlalu berat dan
hiperkapnia tidak terlalu efektif untuk merangsang pusat nafas. Pemberian oksigen
hendaknya hati-hati, dianjurkan secara intermiten untuk mencegah hilangnya kendali
pusat nafas oleh karena hipoksia.
27
Na-bikarbonat tak mempunyai peranan penting kecuali pada keadaan asidemia
yang mengancam jiwa yaitu pH dibawah 7,1 sedangkan alat Bantu nafas mekanik tidak
segera dapat dilakukan.2

2.4.2 Alkalosis respiratorik.


1.Definisi
Alkalosis respiratorik adalah gangguan asam basa primer ditandai oleh CO2 yang
rendah atau hipokapnia akibat hiperventilasi. Penurunan CO2 menyebabkan rasio
HCO3/H2CO3 meningkat sehingga nilai pH naik.

2. Penyebab
Alkalosis repsiratorik disebabkan oleh :
1. Penyakit atau gangguan pada susunan saraf pusat.
Seperti pada ensefalopati metabolik, infeksi pada otak, stroke, hipoksia serebri,
intoksikasi salisilat dan kecemasan yang berlebihan.
2. Kelainan atau penyakit pada paru.
Seperti pada pneumonia, asma stadium awal, emboli paru, dan penyakit
interstitial paru yang dini
3. Kelainan kardiovaskular.
Seperti pada sepsis yang disebabkan infeksi gram negatif dan kegagalan jantung
kongestif.

3. Gambaran Klinis.
a. Tanda dan gejala
Pada umumnya gejala dan tanda ditentukan pada keadaan akut dan berhubungan
dengan alkalemia seperti: kepala terasa ringan, mual-muntah, parestesia sirkumoral dan
digital, spasme karpopedal dan tetani.2
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada alkalosis respiratorik akan terjadi respon kompensasi untuk
mempertahankan pH dalam bentuk batas normal. Pada kompensasi ini, besarnya
perubahan pH dan nilai HCO3 dalam serum, bisa digunakan untuk membantu

28
menentukan akut atau kroniknya hiperventilasi. Pemerikasaan laboratorium menunjukkan
perubahan hipobikarbonatremia hiperkloremia, hipokalemia dan hipofosfatemia.

4. Terapi.1
Pada pasien tanpa gejala dengan pH < 7,55. terapi ditujukan ada kelainan primer
yang menyebabkan hipokarbia dan tidak ditujukan terhadap perubahan pH. Pasien yang
menunjukkan gejala alkalosis, memerlukan perhatian dan terapi terhadap alkalemia yang
terjadi.
1. Tindakan pertama adalah dengan mempergunakan ‘simple rebreathing device’
untuk menaikkan PCO2.
2. Bisa juga pasien bernafas dengan mempergunakan campuran gas O2 95% dan CO2
5%. (perlu pengawasan ketat).
3. Pada keadaan berat disertai gangguan irama jantung yang mengancam kehidupan,
dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan yang ekstrim seperti penggunaan
asetasolamida (Diamox), HCl atau NH4Cl secara intravena, mengambil alih
pernafasan pasien dengan alat Bantu nafas mekanik.

2.4.3 Asidosis metabolik.


1. Definisi
Orang dewasa menghasilkan 20 - 100 mEq/l asam/hari dalam bentuk H2SO4,
H3PO4, dan asam organik yang lain. Ginjal akan mengekskresikan asam yang dihasilkan
ini dan secara simultan mensintesis HCO3 yang hilang dalam proses penyangga.1,2

2. Penyebab
Pada keadaan tertentu akan terjadi hipobikarbonatremia yang merupakan tanda
utama dari suatu asidosis metabolik. Keadaan seperti ini biasa disebabkan oleh :1,2
a) Kelebihan produksi asam.
Pada asidosis diabetik atau asidosis laktat, produksi asam dapat melebihi
kemampuan ginjal untuk absobsi dan ekskresi H+.

b) Kurangnya cadangan penyangga.

29
Kehilangan ion HCO3 yang terbuang percuma melalui ginjal atau usus
menyebabkan hipobikarbonatremia dan asidosis metabolik.1,2
c) Kurangnya ekskresi asam.
Dapat terjadi pada penyakit ginjal kronik dimana ginjal gagal mengkskresikan asam
yang diproduksi secara normal.

Tabel 2.2 Penyebab Asidosis Metabolik3

30
Selisih anion meningkat Diare
Peningkatan produksi asam volatil Resin pertukaran anion
endogen (kolestiramin)
Gagal ginjal Menelan CaCl2, MaCl2
Ketoasidosis Fistula (pankreatik, biliari, atau usus
Diabetik halus)
Kelaparan Ureterosigmoidostomi atau obstrusi
Asidosis laktat lingkaran ileus
Campuran Peningkatan kehilangan HCO3- melalui
Koma hiperosmolar ketotik ginjal
Alkoholik Asidosis tubular ginjal
Inborn errors of metabolism Inhibitor karbonik anhidrase
Menelan toksin Hipoaldosteronism
Salisilat Dilusi
Methanol Jumlah cairan bebas-bikarbonat yang
Etilen glikol sangat banyak.
Paraldehide Nutrisi parenteral total
Toluene Peningkatan ambilan asam yang
Sulfur mengandung klorida
Rabdomiolisis Ammonium klorida
Selisih anion normal (hiperkloremik) Lisin hidroklorida
Peningkatan kehilangan HCO3- melalui Arginin hidroklorida
gastrointestinal
3. Gambaran Klinis
Turunnya konsentrasi HCO3 serum menurunkan rasio HCO3/H2CO3 sehingga nilai
pH turun, hal ini akan mempengaruhi pusat nafas untuk mengeluarkanCO 2 dengan
hiperventilasi untuk mengembalikan pH kearah normal. Akan tetapi usaha kompensasi
ini tidak akan pernah tercapai bila produksi asam terus berlangsung.1,2
Penurunan pH akan merangsang pelepasan epinefirin, yang disebabkan oleh stress
yang menyeluruh dan mungkin merupakan efek hemodinamik dari suatu keasaman. Pada
keadaan asidosis metabolik anorganik bisa terjadi hiperkalemia, tetapi pada asidosis
organik umumnya kalium normal.
Pada asidosis metabolik kronis, metabolisme kalsium berubah, hal ini disebabkan
karena : mobilisasi Ca dari tulang, efinitas Ca dengan protein berkurang sehingga filtrasi
glomerulus terhadap Ca meningkat, dan reabsorbsi Ca oleh tubulus menurun.
Perubahan hemodinamik merupakan sesuatu yang mengancam jiwa sehingga
terapi ditujukan untuk mencegah komplikasi ini. Asidosis secara langsung memperburuk
kontraksi miokard, tetapi hal ini diimbangi oleh efek inotropik positif akibat pelepasan
epnefrin. Akan tetapi bila pH dibawah 7,2 efek mio-Inhibisi dari asam menjadi dominant
dan sewaktu-waktu dapat terjadi kegagalan miokard.

4. Terapi.
Secara umum diperlukan basa untuk menggantikan kekurangan basa yang terjadi.
NaHCO3 merupakan pilihan utama, dapat juga dipakai Na-laktat atau asetat pada
keadaan-keadaan tertentu. Preparat tersebut diatas diberikan secara parenteral. Disamping
NHCO3, bisa juga diberikan penyangga THAM atau penyangga trias. Pemberian peroral
dapat digunakan campuran Na dan K sitrat.1
Karena pemberian basa bukan tanpa komplikasi, tidak semua asidosis metabolik
harus dikoreksi segera. Pada umumnya pemberian basa dimulai bila pH turun sampai <
7,2.

2.4.4 Alkalosis metabolik.


1. Definisi
Hiperkarbonatremia merupakan tanda dari alkalosis metabolik. Rasio
HCO3/H2CO3 akan meningkat sehingga nilai pH akan naik.1

2. Penyebab
1. Kehilangan HCl dalam jumlah besar dari tubuh karena muntah, pengisapan
lambung atau pemakaian diuretika yang berlebihan.
2. Penggunaan antasid dalam jumlah banyak dan waktu yang lama terutama yang
mengandung NaHCO3 dan CaCO3.
3. Kehilangan ion K karena diare, muntah, dan pada penyakit sirosis hati.
4. Gangguan fungsi tubulus ginjal akibat hiperkalsemia.
5. Pada fase diuresis dari suatu kegagalan ginjal akut.
6. Efek aldosteron atau steroid yang sejenis, missal pada sindroma Cushing,
aldosteronisme primer, hipertensi maligna dan stenosis arteri renalis.
7. Kompensasi dari suatu asidosis respiratorik.
Tabel 2.3 Penyebab Alkalosis Metabolik2
Sensitif klorida Sindrom Cushing
Gastrointestinal Menelan licorice
Muntah Sindrom Bartter
Drainase lambung Hipokalemia berat
Diare klorida Lain-lain
Adenoma vilus Transfusi darah massif
Ginjal Larutan koloid yang mengandung
Diuretik asetat
Post hiperkapnik Pemberian basa pada insufisiensi
Ambilan klorida yang rendah ginjal
Keringat Terapi biasa
Fibrosis kistik Terapi kombinasi antasid dan
Resisten klorida resin pertukaran kation
Peningkatan aktivitas Hiperkalsemia
mineralokortikoid Sindrom milk-alkali
Hiperaldosteronism preimer Metastasis tulang
Gangguan edema Penisilin sodium
(hiperaldosteronism sekunder) Pemberian glukosa pada kelaparan

3. Gambaran Klinis
Kelebihan basa akan merangsang kemoreseptor di batang otak untuk menurunkan
ventilasi alveolar dalam usaha menahan CO2 dari tubuh. Keadaan konpensasi ini juga
akan menyebabkan hipoksia ringan dan hiperbikarbonatremia. Kenaikan PCO2
menandakan terjadinya kompensasi pernafasan untuk mengembalikan pH kearah normal.
Pada alkalosis metabolik tanpa komplikasi, PCO2 naik 6 mmHg untuk tiap 10
mEq/l kenaikan HCO3 serum. Bila lebih atau kurang dari yang diharapkan, mungkin
terdapat kelainan primer lain.
Alkalosis metabolik menyebabkan afinitas protein terhadap kalsium bertambah
sehingga kadar kalsium bebas dalam serum berkurang. Disamping itu akan menginduksi
pelepasan asetilkolin pada hubungan saraf otot. Kedua hal ini akan menimbulkan gejala
atau tanda Chvostek dan Trousseau positif, demikian juga ‘twiching’ dan tetani
merupakan tanda dari alkalemia berat (pH diatas 7,55). Pasien yang alkalotik berada
dalam resiko besar untuk timbulnya aritmia spontan terutama dalam stress fisik seperti
anestesia dan pembedahan.
Akibat lain dari keadaan ini adalah meningkatnya afinitas Hb terhadap O2.
Reabsorbsi ginjal terhadap kalsium tinggi sedangkan terhadap K rendah.

4. Terapi.
Pengobatan terutama ditujukan pada penyebab yang mengakibatkan timbulnya
alkalosis metabolik. Tindakan pengobatan untuk tujuan koreksi terhadap alkalosis
metabolik, sangat sulit dilakukan akhir-akhir ini dicoba penggunaan golongan obat
penghambat enzim karbonik anhidrase.
Apabila disebabkan karena muntah atau pengisapan lambung. Bisa diberikan
infuse cairan yang mengandung NaCl dan KCl sejumlah yang sama dengan volume
cairan lambung yang hilang. Apabila disebabkan hipokalemia, diberikan terapi dengan
preparat KCl yang jumlahnya sulit diperoleh di pasaran.1

Tabel 2.4 Interpretasi hasil analisa gas darah dan hubungannya dengan pH,
TCO2 dan PCO2
Jenis gangguan asam-basa pH TCO2 PCO2
1.Asd Resp Tdk Terkompensasi Rendah Tinggi Tinggi
2.Alk Resp Tdk Terkompensasi Tinggi Rendah Rendah
3.Asd Met Tdk Terkompensasi Rendah Rendah Normal
4.Alk Met Tdk Terkompensasi Tinggi Tinggi Normal
5.Asd Resp Kompensasi Alk Met N Tinggi N
6.Alk Resp Kompensasi Asd Met N Rendah N
7.Asd Met Kompensasi Alk Resp N Rendah Rendah
8.Alk Met Kompensasi Asd Resp N Tinggi Tinggi

BAB III

KESIMPULAN

Asam merupakan molekul yang mengandung atom-atom hidrogen yang dapat


melepaskan ion-ion hidrogen dalam larutan. Sedangkan basa adalah ion atau molekul
yang dapat menerima ion hidrogen.
Gangguan keseimbangan asam basa dapat mempengaruhi berbagai fungsi organ
vital seperti aktivitas enzim, pembekuan darah dan aktivitas neuromuscular. Tingkat
keasaman (pH) normal adalah 7,35 – 7,45 dan tingkat keasaman yang masih
memungkinkan untuk hidup adalah berkisar antara 6,7 – 7,9.
Ada 3 mekanisme yang mempertahankan nilai pH agar tetap dalam batas normal
dalam cairan tubuh, yaitu: penyangga kimia, mekanisme kompensasi respirasi dan
mekanisme kompensasi oleh ginjal.
Terdapat 2 bentuk gangguan asam basa berdasarkan perubahan Ph, yaitu asidosis
dan alkalosis. Asidosis didefinisikan sebagai gangguan yang menyebabkan penurunan pH
< 7,35, sedangkan alkalosis adalah setiap gangguan yang menyebabkan peningkatan Ph
7,45.
Terdapat 6 jenis gangguan keseimbangan asam basa, yaitu asidosis repiratorik
akut dan kronik, alkalosis respiratorik akut dan kronik, asidosis metabolik dan alkalosis
metabolik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku. G, Senapathi TGA. Keseimbangan Asam Basa. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Anestesia dan Reanimasi. Jakarta. 2010. Hal 315-327.

2. Guyton AC, Hall, JE. Acid Base Balance. 1996. In : Text Book of Medical
Physicology, PHiladelpHia : WB Saunders Company.

3. Morgan, GE, Mikhail, MS, Murray, MS. Acid Base Balance. 2006. In : Clinical
Anesthesiology, Fourth edition. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill.
4. Wahyuprayitno, B. Diktat Patofisiologi Keseimbangan Asam Basa Darah. 2003.
Surabaya : FK UNAIR/RSUD dr. Soetomo.

5. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical A-
nesthesiology. Edisi V. New York. McGraw-Hill Companies. 2013.

6. Dr Gde M, Dr Tjokorda GAS. Ilmu Anestesia Dan Reanimasi. Indeks 2017

7. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI. Fish- man’s
Pulmonary Diseases and Disorders. Edisi IV. New York. McGraw-Hill
Companies. 2008.

8. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan, MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II.
Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002.

9. Mangku G, Senapathi TGE. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Edisi II.
Jakarta. Indeks. 2017.

10. Widiyanto B, Yasmin LS. Terapi Oksigen terhadap Perubahan Saturasi Oksi- gen
melalui Pemeriksaan Oksimetri pada Pasien Infark Miokard Akut (IM-A).
Prosiding Konferensi Nasional II PPNI Jawa Tengah. 2014; 1(1): 138-43.

Anda mungkin juga menyukai