Anda di halaman 1dari 4

Namaku Ana Holge Octora,anak bungsu dari 4 bersaudara dan satu-satunya anak

perempuan. Ana itu panggilanku, hanya satu orang yang memanggilku Holge, dia bilang
nama itu lebih unik dibandingkan Ana, katanya pasaran.Paugran, dia memang menyebalkan
suka seenaknya sendiri. Tetapi entah kenapa aku selalu mendengarkan semua curhatan
suka dukanya yang selalu dia tumpahkan ke aku. Apapun yang terjadi padanya selalu dia
ceritakan, dari cinta pertamanya sampai masalah keluarganya. Ayah Paugran meninggal
dunia saat umurnya 11 tahun, tidak lama kemudian ibu Paugran menikah lagi dengan duda
satu orang ana laki laki yang umurnya 3 tahun lebih tua diatasnya. Awalnya Paugran sangat
senang mempunyai kakak laki-laki , tetapi tidak setelah dia tahu bahwa kakak laki-lakinya
yang bernama Jeco itu tidak menyukai adanya pernikahan ini dan Paugran adik tirinya.

Sejak kelas 3 SMP aku selalu duduk dibangku yang sama dengan Paugran,saat ini
sudah hampir 4 tahun lamanya aku sekelas dengan Paugran.

“ Ana , tau nggak kemaren aku liat Paugran lagi ngrokok loh di warung pak Min” kata
Dera, saat jam Istirahat, aku yang sedang mengerjakan PR lebih tepatnya menyalin
pekerjaan Dera tersentak saat mendengar ceritanya.

“ Nggak mungkin!! aku tahu benar dia orangnya seperti apa, walaupun kadang dia
kejam, tapi aku tahu dia nggak mungkin berperilaku berandal seperti tu.” Kataku sambil
menunjuk mukanya dengan pulpen yang sedari tadi aku gunakan untuk menyalin tugas milik
Dera.

“ ihh beneran deh Na , aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, lagian liat deh
sekarang si Paugran mainnya sama anak-anak yang kaya gitu kan ....perhatiin si Na”
Omongan Dera ada benernya juga, sekarang-sekarang ini memang aku merasa jauh dari
Paugran, Dia lebih sering kumpul sama anak-anak gengges sekolah.

Sepulang sekolah, aku pergi ke warung pak Min untuk memastikan omongan Dera
saat istirahat tadi. Dari kejauhan aku melihat sekumpulan anak SMA yang masih berseragam
putih abu-abu, sebagian dari meraka sedang bercanda gurau sambil menikmati minuman
yang mereka pesan dan yang lainnya hanya bercakap cakap mengisap seputung rokok di
tangan mereka. Mataku terus mencoba berusaha untuk mencari sosok Paugran , aku
berharap apa yang dikatakan Dera itu tidak benar. Tetapi Dera memang benar, aku melihat
Paugran diantara sekumpulan anak SMA itu dengan seputung rokok ditangannya.

“ Pou !!!” aku berteriak memanggilnya, wajahnya menatapku biasa saja tanpa
terkejut ataupun bersalah, dia berjalan menghampiriku.

“ Heh!!! udah berapa kali si aku bilang jangan panggil aku ‘Pou’ “ matanya melotot
dan wajahnya memerah. Dia selalu malu jika aku panggil POU( games Pou) di depan teman-
temannya.
“ Kamu juga panggil aku Holge bukan Ana , ngga papa dong “ kataku sambil
melipatkan kedua tanganku.

“ Kau ini!!!!(menggeram).......pulang sanah, sebelum dicari ibumu.” Saat dia berbalik


arah, segera aku mengambil putung rokok yang ada di tangannya dan membuangnya jauh-
jauh. Aku tahu nggak ada gunanya membuang putung rokok itu, toh dia bisa membelinya
lagi,jujur itu semua sekedar buat keren keren saja kok.

“ Nggak usah ngerokok lagi”

“Enggak mau,ngerokok itu GAUL , kamu pasti iri kan aku main sama mereka”

“ Apaan si Pou nggak penting banget iri sama hal kaya begituan, sebenernya kamu
kenapa si Pou mendadak jadi anak berandal kaya gini,ihhhh “

“Bukan - urusan - ELOO” Jari telunjuknya mendorong jidatku hingga aku terdorong.

“Pou!!” aku berteriak kesal, baru kali ini dia mengacuhkan ucapanku.

“ Apa si!! Bukan urusan kamu , aku mau ngerokok ke , mau main sama mereka ke ,
lagian siapa kamu , temen? Sahabat? Bukan kan. Kalau emang kita sahabat kenapa kamu
nggak pernah terbuka sama aku, selalu aku yang terbuka sama kamu, apapun aku ceritakan
, tapi kamu sama sekali ngga pernah, karena kita cuma temen sekelas nggak lebih, jangan
lagi ikut campur urusanku.” Dia mendorongku lagi, kali ini dia mendorong pundakku dengan
tangannya, aku hampir saja terjatuh olehnya.

Aku menatapnya tajam, penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. Paugran hanya
menatapku sebentar lalu berjalan pergi menuju tempat para gengges, aku melihat dan
mendengarkan langkah ringannya yang lama kelamaan terlihat dan terdengar
samar,perasaaan ini seolah dia akan pergi jauh dari aku. Aku berbalik arah dan berjalan
menuju rumah. Langkahku terasa berat dan lelah tetapi aku mencoba untuk kuat tanpa
sedikitpun menoleh ke arahnya agar terlihat benar-benar sudah tidak memperdulikan dia
lagi.

“ Hhhhh....lama sekali si busnya datang “ ku tendang tiang halte untuk meluapkan


semua kemarahanku. “ aaaawwww, sakit!!! ”

“ Ana.....?”

Aku angkat kepalaku untuk melihat sumber suara itu dan.......“ Hah !!!!” aku terkejut
saat melihat seseorang yang berada di depanku. Dia adalah Jeco, kakak tiri Paugran. Ini
pertama kalinya kita bertatap muka sangat dekat, sebelumnya aku hanya melihatnya dari
kejauhan. Dia hanya sekedar lewat saat aku berkunjung ke rumah mereka. Tiga tahun ini dia
melanjutkan pendidikan di Unversitas Indonesia mengambil jurusan Teknik Elektro , Paugran
pernah menceritakannya. Karena itu 3 tahun ini aku hampir tidak pernah melihatnya.
Sebuah kebetulan kita bisa bertemu sedekat ini di sini.
“ Kak Jeco kan ?”

“ Kupikir kamu sudah lupa denganku, tidak malah kupikir kamu tidak mengenalku”

“ Mana mungkin aku tidak mengenalmu, Paugran kan sering membicarakanmu.” Apa
aku salah bicara, baru saja aku menyebut nama Paugran sedangkan aku tahu hubungan
mereka tidak baik. “ Maaf...maaf...bukan maksudku...”

“ Matahari hampir terbenam, seharusnya anak SMA sudah pulang dari tadi kan ? “
lega rasanya, untung Kak Jeco mengalihkan pembicaraan.

“ iya , ada yang harus aku pastikan sebelum aku pulang” kepalaku tertunduk,
semangatku hilang lagi , mengingat kejadian yang menyebalkan tadi. Kak Jeco mungkin tahu
sesuatu terjadi kepadaku, dia hanya terdiam dan menatapku dengan tatapan khawatir.
Sampai akhirnya bus yang aku tumpangi datang.

“ Busmu sudah datang, naiklah, sepertinya kamu sedang tidak baik biar aku
antar.ayo!” Kak Jeco menuntunku menaiki bus seolah aku seorang nenek-nenek yang sudah
tidak mampu menaiki tangga-tangga bus. Bus tampak sepi, hanya ada 5 orang di dalamnya,
sehingga kami bisa memeilih tempat duduk yang kami inginkan. Aku duduk di dekat jendela
dan kak Jeco duduk di sebelahku.

Rumahku dengan rumah Paugran dan Kak Jeco memang tidak searah dan lumayan
berjauhan. Tetapi Paugran sering menyempatkan dirinya untuk mengantarku pulang seperti
yang dilakukan Kak Jeco sekarang, dia juga sering berkunjung kerumah sekedar mengobrol
dan bermain gitar bersama, kadang tanpa diundang dia datang memaksaku untuk
mendengarkan semua curhatannya. Sebaliknya, aku pun sering berkunjung ke rumahnya.

“ Apa kamu mau menceritakannya?” aku hanya diam “ Menceritakan apa yang telah
terjadi ?”

Aku menatapnya memohon “ Maaf kak...”

“ Oke kalo kamu nggak mau cerita, aku akan menebaknya sendiri, sebentar “
matanya tertutup, dia taruh kedua telunjuknya di samping kanan kiri kepalanya berlagak
layaknya seorang peramal. “ mmmmm....sekarang aku tahu “ dia membuka matanya “ Kamu
lagi berantem kan sama Paugran “

“ Bagaimana Kakak tahu, jadi Kakak benar-benar bisa membaca pikiran orang yaaa.”
Aku tersenyum meledek.

“ Iya dong, keren kan aku “

Aku hanya mengangkat kedua alisku, merasa heran dengan sikap Kak Jeco, yang
dulunya aku pikir orangnya pendiam dan dingin . Tidak dengan sekarang, menurutku dia
orangnya asik juga. Dan yang menjadi plus buat kak Jeco ,dia jauh lebih tampan dan lembut
dibandingkan Paugran.

“Aaaaaaaaaaaaa!!! Sudah jam berapa ini , aku terlambat .” Dengan cepat aku
beranjak dari tempat tidurku, ku ambil handuk berwarna pink yang tergantung rapih di
depan kamar mandi, hanya 5 lima menit lamanya aku mandi. Tidak sempat menyisir
rambutku yang masih acak-acakan, kuakali dengan mengikatnya seperti ekor kuda. Setelah
semuanya beres, dengan tergesa aku keluar dari kamarku, terlihat kedua orang tuaku dan
Kenshin, kakak ketigaku masih menikmati santapan sarapan pagi.

“ Sudah mau berangkat ? tidak sarapan dulu ?” kata mamah sambil menuangkan sup
ke mangkuk ayah dan Kenshin. Hari sabtu adalah hari libur bagi para pekerja dan mahasiswa
, tidak bagi siswa SMA seperti aku.

“ Nggak mah, libur dulu sarapannya. Aku sudah terlambat. Berangkat dulu ya “
setelah ku ikat tali sepatuku, aku keluar dari rumahku dan berlari menuju halte.
Beruntungnya sesampai di halte aku langsung mendapatkan bus tujuan sekolahku.

Anda mungkin juga menyukai