Efek Antidiabetes Kombinasi Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum Linn.) dan
Rimpang Kunyit (Curcumma domestica Val.) dengan Pembanding
Glibenklamid pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2
Disusun oleh :
FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
2019
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Efek
Antidiabetes pada Bulbus Bawang Putih dan Rimpang Kunyit” ini dengan tepat waktunya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fitoterapi
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak adanya kekurangan dan masih
jauh dari kesempurnaan.Penulis juga memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini
terdapat kesalahan pengetikan dan kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam
memahami maksud penulis. Oleh karena itu penulis berharap akan kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari segenap pembaca guna sempurnanya makalah ini.
Demikianlah, semoga makalah yang telah dibuat ini dapat bermanfaat bagi saya
khususnya dan bagi pembaca umumnya.Terimakasih.
Jakarta,Oktober 2019
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………………………………………………………..5
1.3 Tujuan……………………………………………………………………………………………………………………………………..5
BAB IV
Kesimpulan ....................................................................................................................................... 28
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tanaman obat potensial,
selain sebagai bahan baku obat juga dipakai sebagai bumbu dapur dan zat pewarna alami.
Berdasarkan penelitian Pribadi (2009), di Indonesia luas panen kunyit menempati urutan ke
dua setelah jahe. Tanaman kunyit tumbuh baik pada tanah jenis latosol, aluvial dan regosol,
ketinggian tempat 240 sampai dengan 1.200 m di atas permukaan laut, dan curah hujan 2.000
sampai dengan 4.000 ml/tahun.
Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tanaman obat temu-temuan
yang berpotensi untuk dibudidayakan (Syukur et al., 2006). Rimpang kunyit dapat digunakan
antara lain mengobati gusi bengkak, luka, sesak nafas, sakit perut, bisul, sakit limpa, usus
buntu, encok, gangguan pencernaan, perut kembung dan menurunkan tekanan darah. Kunyit
juga dapat digunakan sebagai bahan pewarna, bahan campuran kosmetika, bakterisida,
fungisida dan stimulan (Bursatriannyo et al., 2014).
Bawang Putih Bawang putih (Allium sativum L) merupakan salah tanaman sayuran
umbi yang banyak ditanam diberbagai negara di dunia. Di Indonesia bawang putih memiliki
banyak nama panggilan seperti orang manado menyebutnya lasuna moputi, orang Makasar
menyebut lasuna kebo dan orang Jawa menyebutnya bawang (Wibowo, 2007). Masyarakat
pada umumnya hanya memanfaatkan bagian umbi saja, utamanya hanya sebagai bumbu
dapur. Hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa bawang putih memiliki potensi sebagai
bahan baku obat-obatan untuk menyembuhkan berbagai penyakit (Samadi, 2000).
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya
kenaikan kadar gula darah (hiperglikemia) kronik. Keadaan hiperglikemia kronik tersebut
dapat mengenai banyak orang pada semualapisan masyarakat di seluruh dunia (Waspadji,
1995). Diabetes Mellitus ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan-gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein yang bertalian dengan defisiensi absolut atau relativ aktivitas
dan atau sekresi insulin. Karena itu meskipun diabetes asalnya merupakan endokrin,
manifestasi pokoknya adalah penyakit metabolik (Anonim, 2000).
4
Diabetes mellitus seperti juga penyakit menular lainnya akan berkembang sebagai
suatu penyebab utama kesakitan dan kematian di Indonesia. Penyakit ini akan merupakan
beban yang besar bagi pelayanan kesehatan dan perekonomian di Indonesia baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui komplikasi-komplikasinya.
Kandungan zat-zat kimia yang terdapat dalam rimpang kunyit adalah : zat warna
kurkuminoid, minyak atsiri, arabinosa, fruktosa, glukosa, pati, tanin, dammar dan
mineral. Minyak atsiri berjumlah 2 sampai dengan 5% yang terdiri dari seskuiterpen dan
turunan fenilpropana turmeron (aril-turmeron, alpha turmeron dan beta turmeron), kurlon
kurkumol, atlanton, bisabolen.
Kandungan gizi pada bawang putih Kandungan Gizi Jumlah Energi Protein 122 kal
7 g Lemak 0,3 g Karbohidrat 24,9 g Serat 1,1 g Abu Kalsium 1,6 g 12 mg Fosfor 109 mg
Zat besi 1,2 mg Natrium 13 mg Kalium Vitamin A Vitamin B1 Vitamin B2 Vitamin C
Niacin 346 mg 0 0,23 mg 0,8 mg 7 mg 0,4 mg (Sumber: Food and Nutrition Research
Center, Handbook No.1 Manila dalam Rukmana, 1995) .
1.2.Rumusan Masalah
a) Kandungan apa yang memiliki efektivitas sebagai anti diabetes pada tanaman
Bawang Putih (Allium sativum Linn.) ?
b) Kandungan apa yang memiliki efektivitas sebagai anti diabetes pada tanaman
Rimpang Kunyit (Curcumma domestica Val.)
1.3.Tujuan
a) untuk mengetahui kandungan yang terdapat didalam Bawang Putih (Allium sativum
Linn.) dan Rimpang Kunyit (Curcumma domestica Val.)
b) untuk efektivitas Bawang Putih (Allium sativum Linn.) dan Rimpang Kunyit
(Curcumma domestica Val. terhadap penderita diabetes mellitus tipe 2
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DIABETES
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya
kenaikan kadar gula darah (hiperglikemia) kronik. Keadaan hiperglikemia kronik tersebut
dapat mengenai banyak orang pada semualapisan masyarakat di seluruh dunia (Waspadji,
1995). Diabetes Mellitus ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan-gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein yang bertalian dengan defisiensi absolut atau relativ aktivitas
dan atau sekresi insulin. Karena itu meskipun diabetes asalnya merupakan endokrin,
manifestasi pokoknya adalah penyakit metabolik (Anonim, 2000).
Diabetes mellitus seperti juga penyakit menular lainnya akan berkembang sebagai
suatu penyebab utama kesakitan dan kematian di Indonesia. Penyakit ini akan merupakan
beban yang besar bagi pelayanan kesehatan dan perekonomian di Indonesia baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui komplikasi-komplikasinya.
Definisi lain menyebutkan diabetes mellitus merupakan suatu Kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO)
sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan
dalam suatu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai
suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor
dimana dapat defisiensi insulin absolut atau relativ dan gangguan fungsi insulin (Gustaviani,
2006).
6
Insulin Dependent Diabetes Mellitus), bisa tanpa gejala, sehingga sering didiagnosis
berdasarkan ketidaknormalan hasil pemeriksaan darah rutin
atau uji glukosa dalam urin.
Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau
mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas
dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi. Faktor resiko yang berubah
secara epidemiologi diperkirakan adalah bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya
obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua
faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya
DM tipe 2 (Gustaviani, 2006).
7
Toleransi Glukosa yang
terganggu merupakan klasifikasi yang
cocok
untuk para penderita yang mempunyai
kadar glukosa plasma yang abnormal
namun tidak memenuhi kriteria
diagnostik.
Diabetes Mellitus Gestasional :
istilah ini dipakai terhadap pasien yang
menderita hiperglikemia selama
kehamilan. Ini meliputi 2-5% dari
seluruh diabetes. Jenis ini sangat penting diketahui karena dampaknya pada janin kurang baik
bila tidak ditangani dengan benar (Suyono, 2006). Pada pasien-pasien ini toleransi glukosa
dapat kembali normal
setelah persalinan (Anonim, 1995).
2.2 KUNYIT
Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tanaman obat potensial,
selain sebagai bahan baku obat juga dipakai sebagai bumbu dapur dan zat pewarna alami.
Berdasarkan penelitian Pribadi (2009), di Indonesia luas panen kunyit menempati urutan ke
dua setelah jahe. Tanaman kunyit tumbuh baik pada tanah jenis latosol, aluvial dan regosol,
ketinggian tempat 240 sampai dengan 1.200 m di atas permukaan laut, dan curah hujan 2.000
sampai dengan 4.000 ml/tahun.
Kunyit juga dapat tumbuh di bawah tegakan tanaman keras seperti sengon, jati yang
masih muda sekitar umur 3 sampai dengan 4 tahun, dengan tingkat naungan tidak lebih dari
30% (Rahardjo dan Rostiana, 2010).
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Zingiberales
8
Suku : Zingiberaceae
Marga : Curcuma
Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tanaman obat temu-temuan
yang berpotensi untuk dibudidayakan (Syukur et al., 2006). Rimpang kunyit dapat digunakan
antara lain mengobati gusi bengkak, luka, sesak nafas, sakit perut, bisul, sakit limpa, usus
buntu, encok, gangguan pencernaan, perut kembung dan menurunkan tekanan darah. Kunyit
juga dapat digunakan sebagai bahan pewarna, bahan campuran kosmetika, bakterisida,
fungisida dan stimulan (Bursatriannyo et al., 2014).
Kunyit merupakan tanaman perennial yang memiliki bentuk daun elips dan disetiap
tanaman terdapat kira-kira 5-15 helai daun yang panjangnya mencapai 85 cm dan lebar 25
cm. bagian pangkal ujung daunnya berbentuk runcing dengan warna hijau tua, dan bagian
tepi daunnya rata. Mengetahui lebih dalam lagi, berikut ini ciri morfologi dari tanaman ini.
Diantaranya;
Batang
Batang tanaman kunyit memiliki warna hijau dengan tinggi batang mencapai 70 – 100
cm mengarah lurus ke atas (geotropisme), dengan bentuk bulat dan bentuk rimpangnya
tersusun dari pelepah daun yang sedikit lunak. Bagian kulit luar rimpang memiliki warna
jingga kecoklatan, dan bagian daging buah merah kekuningan.
Bunga
Bunga pada tanaman kunyit muncul dari rimpang yang terletak pada bagian batang.
Pada bagian ibu tangkai memiliki rambut kasar dan tersusun secara rapat, ketika kering tebal
bunga tanaman kunyit mencapai 2-5 mm, serta panjang 4-8 cm. bunga tanaman kunyit
memiliki bentuk majemuk dan pada bagian mahkota memiliki warna putih dengan dilapisi
sisik dari pucuk bagian batang semu yang panjang mencapai 10-15 cm serta ukuran mencapai
3×1,5 cm berwarna putih kuning.
Akar
9
Kunyit memiliki bau akar yang khas rasanya pedas dan pahit, jika akar tanaman
kunyit ini dilarutkan kedalam air maka akan memberikan tambahan zat curcuminoid
berwarna kuning.
Akar tanaman kunyit berfungsi sebagai rempah dan penyedap serta pewarna alami makanan,
juga berkhasiat untuk melancarkan peredaran darah serta anti bakteri sebagai bahan untuk
melancarkan pengeluaran empedu.
Kandungan zat-zat kimia yang terdapat dalam rimpang kunyit adalah : zat warna
kurkuminoid, minyak atsiri, arabinosa, fruktosa, glukosa, pati, tanin, dammar dan mineral.
Minyak atsiri berjumlah 2 sampai dengan 5% yang terdiri dari seskuiterpen dan turunan
fenilpropana turmeron (aril-turmeron, alpha turmeron dan beta turmeron), kurlon kurkumol,
atlanton, bisabolen, Nama Waktu Retensi Indek Retensi Formula Berat molekul Area relatif
(%) Komponen mayor > 5% ar-Turmeron 31,3 1672 C15 H20O 216 19.5 α-Turmeron 31,4
1675 C15 H22O 218 20.1 β-Turmeron 32,3 1706 C15 H22O 218 17.6 Komponen minor <
5% Cineol 10,3 1048 C10H18O 154
Klasifikasi Bawang Putih Menurut Samadi (2000) sistematika tanaman bawang putih adalah
sebagai berikut Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
10
Klas : Monocotyledoneae
Ordo : Liliflorae
Genus : Allium
Morfologi Bawang Putih Morfologi bawang putih terdiri atas akar, batang, daun,
bunga dan umbi. Akar Tanaman bawang putih memiliki sistem perakaran dangkal yang
berkembang dan menyebar disekitar permukaan tanah sampai pada kedalaman 10 cm.
Bawang putih memiliki akar serabut dan terbentuk di pangkal bawah batang sebenarnya
(discus). Akar tersebut tertanam dalam tanah sebagai alat untuk menyerap air dan unsur
hara dari tanah. Sistem perakaran bawang putih menyebar ke segala arah, namun tidak
terlalu dalam sehingga tidak tahan pada kondisi tanah yang kering (Samadi, 2000).
Batang Batang bawang putih merupakan batang semu dan berbentuk cakram. Batang
tersebut terletak pada bagian dasar atau pangkal umbi yang terbentuk dari 9 pusat tajuk
yang dibungkus daun-daun. Ketinggian batang semu bawang putih dapat mencapai 30 cm
(Samadi, 2000).
Daun tanaman bawang putih memiliki ciri morfologis yaitu berbentuk pita, pipih,
lebar dan berukuran kecil serta melipat ke arah dalam sehingga membentuk sudut pada
pangkalnya. Satu tanaman bawang putih biasanya memiliki 8-11 helai daun. Permukaan
daun bagian atas berwarna hijau muda dengan kelopak daun yang tipis, kuat, dan
membungkus kelopak daun yang yang lebih muda (Samadi, 2000).
Bunga Tanaman bawang putih dapat berbunga namun hanya pada varietas tertentu
saja. Bunga bawang putih berupa bunga majemuk yang berbentuk bulat seperti bola,
berwarna merah jambu, berukuran kecil, tangkainya pendek, dan bentuknya menyerupai
umbi bawang. Bunga yang tumbuh dapat menghasilkan biji. Umumnya pada sebagian besar
varietas, tangkai bunga tidak tumbuh keluar melainkan hanya sebagian bunga saja yang
tampak keluar bahkan tidak sedikitpun bagian bunga yang keluar karena sudah gagal
sewaktu masih berupa tunas (Wibowo, 2007).
11
Pembungaan pada bawang putih dapat mengganggu perkembangan umbi dan tidak
memiliki nilai ekonomi sehingga biasanya para petani akan membuangnya. Pada bagian
tangkai bunga terbentuk umbi kecil yang menyebabkan pembengkakan sehingga umbi
terlihat seperti bunting. Umbi-umbi 10 kecil tersebut dapat digunakan sebagai bahan
perbanyakan secara vegetative dengan cara ditanam berulang-ulang selama + 2 tahun
(Rukmana, 1995).
Umbi bawang putih tersusun dari beberapa siung yang masing-masing terbungkus
oleh selaput tipis yang sebenarnya merupakan pelepah daun sehingga tampak seperti umbi
yang berukuran besar (Rukmana, 1995). Ukuran dan jumlah siung bawang putih bergantung
pada varietasnya. Umbi bawang putih berbentuk bulat dan agak lonjong. Siung bawang
putih tumbuh dari ketiak daun, kecuali ketiak daun paling luar. Jumlah siung untuk setiap
umbi berbeda tergantung pada varietasnya. Bawang putih varietas lokal biasanya pada
setiap umbinya tersusun 15-20 siung (Samadi, 2000).
Bawang putih merupakan salah satu tanaman dengan kandungan senyawa aktif yang
tinggi. Senyawa aktif tersebut berdampak positif dan bermanfaat besar bagi tubuh
diantaranya seperti allicin, protein, vitamin B1, B2, C, dan D (Hembing, 2007). Senyawa
aktif yang berfungsi sebagai antioksidan pada bawang putih adalah allicin. Bawang putih
yang dipotong atau dihancurkan akan menyebabkan allinase mengkonversi alliin menjadi
allicin (diallylthiosulphinate atau 2- prophenyl-2-propenethiol sulphinate). Allicin bersifat
tidak stabil sehingga mudah terurai. Kemampuan allicin menekan produksi nitrat oksida
(NO) dengan cara mengendalikan iNOS mRNA pada konsentrasi rendah dan
mengendalikan CAT-2 mRNA pada konsentrasi tinggi. Melalui mekanisme tersebut allicin
mampu mencegah reaksi akibat radikal bebas (Schwat et al., 2002). Kandungan gizi pada
bawang putih Kandungan Gizi Jumlah Energi Protein 122 kal 7 g Lemak 0,3 g Karbohidrat
24,9 g Serat 1,1 g Abu Kalsium 1,6 g 12 mg Fosfor 109 mg Zat besi 1,2 mg Natrium 13 mg
Kalium Vitamin A Vitamin B1 Vitamin B2 Vitamin C Niacin 346 mg 0 0,23 mg 0,8 mg 7
mg 0,4 mg (Sumber: Food and Nutrition Research Center, Handbook No.1 Manila dalam
Rukmana, 1995)
12
Manfaat Bawang Putih
Bawang putih memiliki manfaat dan kegunaan yang besar bagi kehidupan manusia.
Bagian utama dan paling penting dari bawang putih adalah umbinya yang biasanya
digunakan sebagai bumbu dapur. Kandungan senyawa yang sudah ditemukan dalam
bawang putih diantaranya adalah allicin dan sulfur amino acid alliin. Sulfur ammonia acid
alliin ini oleh enzim allicin liase diubah menjadi allicin yang akan mengalami perubahan
menjadi diallil sulfide. Senyawa allicin dan diallil sulfide inilah yang memiliki banyak
kegunaan dan berkhasiat sebagai obat.
Selain itu, bawang putih juga dapat digunakan sebagai bakterisida dan fungisida pada
pengendalian penyakit tanaman. Hasil penelitian Durbin et al 12 (1971) terbukti bahwa
senyawa allicin dalam bawang putih sangat efektif dalam menghambat pertumbuhan
penicillium sp (Rukmana, 1995). Penelitian lain menunjukkan bahwa kandungan allicin
dalam ekstrak bawang putih juga memiliki aktivitas antijamur dengan cara bergabung
dengan protein sehingga akan menyerang protein mikroba dan akhirnya akan membunuh
mikroba tersebut (Kulsum, 2014).
Pemanfaatan obat herbal sebagai obat alternative atau obat komplementer sangat
meningkat saat ini. Promosi obat herbal dalam berbagai media yang menawarkan berbagai
keunggulan juga meningkat. Peningkatan pemanfaatan obat herbal yang tidak disertai
peningkatan kemampuan untuk memilih obat yang berkwalitas tentu akan merugikan
masyarakat. Untuk itu maka pemerintah khususnya departemen kesehatan melalui Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia telah mengatur tentang pemanfaatan obat
herbal dengan peraturan no 13 Tahun 2014 tentang Pedoman Uji Klinik Obat Herbal. Obat
herbal yang baik dan boleh dipilih untuk digunakan dalam pengobatan tentu harus memenuhi
persyaratan yang sesuai dalam peraturan tersebut (Anonim, 2014).
Secara umum dasar penemuan obat-obatan termasuk obat herbal adalah melalui
beberapa prosedur yang diyakini memiliki nilai kebenaran. Cara yang paling pertama dikenal
adalah berdasarkan pengalaman empiris secara turun-temurun. Cara ini menghasilkan
beberapa obat yang dikelompokkan sebagai obat tradisional dan jamu. Penemuan obat kedua
adalah melalui prosedur yang lebih ilmiah yaitu dengan memahami tempat kerja obat
sehingga dipahami interaksi obat dengan reseptor. Penemuan dengan cara ini biasanya dapat
13
menjelaskan bagaimana mekanisme efek terapi dan efek samping dari obat tersebut. Cara
yang ketiga proses penemuan obat adalah cara kebetulan dalam meneliti atau perjalanan
pemanfaatan obat tertentu. Cara ini juga cukup sering terjadi dalam penemuan obat baru.
Cara penemuan obat baru yang ke 4 adalah melalui skrining.
Uji praklinik dilakukan pada hewan sedangkan uji klinik dilakukan pada manusia.
Pada dasarnya uji praklinik dan uji klinik adalah suatu usaha untuk memastikan efektivitas,
keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia akibat pemberian
suatu obat. Bila uji klinik tidak dilakukan maka dapat terjadi malapetaka pada banyak orang
bila langsung dipakai secara umum seperti pernah terjadi dengan talidomid.
Uji praklinik memiliki satu tujuan utama yaitu mengevaluasi keamanan suatu produk
yang baru. Produk yang umum menjalani uji praklinik adalah obat-obatan, peralatan medis,
kosmetik, dan solusi terapi gen. Informasi yang diperoleh dengan menafsirkan data dalam uji
praklinik sangat bermanfaat untuk mendeteksi serta mencegah produk berbahaya dan beracun
agar tidak merugikan lingkungan dan masyarakat. Melalui penelitian ini, peneliti dapat
mempercepat penemuan obat dan meringkas proses pengembangan obat. Pengujian pada
manusia hanya disetujui jika produk obat tidak memiliki efek berbahaya pada hewan coba
pada uji praklinik (Mahan, 2014).
14
Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh
informasi tentang efek farmakologis, profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada
mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan
kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya bila dianggap perlu maka dilakukan uji
pada hewan. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu seperti mencit, tikus, kelinci,
marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata. Penelitian dengan hewan
dapat diketahui apakah obat aman atau menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan.
Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi: Toksisitas akut atau
kronis, kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas), pertumbuhan tumor (onkogenisitas
atau karsinogenisitas) atau teratogenisitas.
Penelitian pada hewan juga dapat mempelajari sifat farmakokinetik obat meliputi
absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil pengamatan pada hewan
menentukan apakah obat dapat diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja
sama dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan
bentukbentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia. Uji praklinik selain memakai
hewan, telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat
contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada
perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji
khasiat pada hewan (Thorat et al.,2010) tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara in
vitro.
Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan, belum ada
metode lain yang menjamin hasil yang menggambarkan toksisitas pada manusia, untuk masa
yang akan datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in vitro. Setelah calon obat
dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji
pada manusia (uji klinik). Uji klinik Ujiklinik adalah pengujian khasiat dan keamanan obat
pada manusia yang dapat “menjamin” apakah hasil in vitro atau hasil pada hewan coba sama
dengan pada manusia. Uji klinik terdiri dari 4 fase(Rahmatini, 2010) – 5 fase , yaitu Uji
klinik fase 0, (Thorat et al.,2010; Mahan,2014) uji klinik fase I.Uji klinik fase II, uji klinik
fase III dan uji klinik fase IV (Mahan, 2014).
Pada uji fase 1, calon obat diuji pada sukarelawan sehat (25-50) untuk mengetahui
apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini
15
ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat
pada manusia. Meskipun tujuan dari fase I ini adalah untuk mendapatkan dosis maksimum
yang dapat ditoleransi, namun studi fase I ini diatur untuk mencegah keracunan berat. Dosis
oral yang dianjurkan adalah 1/50 dosis minimal pada hewan yang dapat menimbulkan efek.
Dosis tersebut dinaikan2 kali lipat secara pelan-pelan sampai terjadi efek farmakologis atau
terjadi efek yang tidak diinginkan(Rahmatini, 2010).
Jika obat yang hendak diuji memiliki toksisitas yang signifikan, seperti pada kasus
terapi kanker dan AIDS, pasien sukarelawan dengan penyakit yang berkaitanlah yang
digunakan pada fase I. Percobaan fase I dilakukan untuk menentukan apakah manusia dan
hewan memperlihatkan respon yang berbeda secara signifikan terhadap obat dan untuk
menentukan batas rentang dosis klinis aman yang memungkinkan. Percobaan ini “terbuka”;
dimana penguji dan subyek mengetahui apa yang diberikan selama percobaan. Banyak
dugaan keracunan terdeteksi pada fase ini. Pengukuran farmakokinetik(penyerapan, waktu
paruh, dan metabolisme) biasanya dilakukan pada fase I.
Hasil studi fase I(khususnya farmakokinetik) dapat dibandingkan dengan studi pada
hewan mana yang paling mirip untuk melakukan uji toksisitas kronis pada hewan
tersebut(Rahmatini, 2010).
Pada uji klinik fase 2 maka calon obat diuji pada pasien tertentu (100-200), diamati
efikasi pada penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang
potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan
pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat. Rentang toksisitas yang lebih luas
mungkin saja terdeteksi pada fase ini, dimana uji fase II biasanya dilakukan pada pusat-pusat
klinis khusus misal rumah sakit pendidikan. Fase II dapat dipisahkan menjadi fase IIA dan
IIB.Fase IIA khusus untuk menentukan dosis dan IIB untuk menentukan efikasi dari obat
(Thorat et al.,2010).
Uji klinik fase 3, melibatkan kelompok besar pasien (mencapai ribuan, 300-3000
orang pasien), biasanya multicenter. Pada fase ini obat baru dibandingkan efek dan
keamanannya dengan obat pembanding yang sudah diketahui. Untuk dapat dinilai oleh badan
tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang
16
sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari
bentuk produknya (tablet, kapsul dll.) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui
kontrol kualitas. Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama
dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru
diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama
dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter.
Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di
Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food and
Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA (Medicine and
Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa lain oleh EMEA ( European
Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA (Therapeutics
Good Administration).
Uji klinik ini dilakukan setelah obat dipasarkan, sehingga disebut juga studi pasca
pemasaran (post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi,
berbagai usia dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai
terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat.
Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari
perdagangan jika membahayakan, sebagai contoh Cerivastatin suatu obat
antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat
antidisentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada otot mata
(SMON disease), fenilpropanolamin yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan
dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan
darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang sebelumnya sudah
mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi, talidomid dinyatakan tidak aman untuk
wanita hamil karena dapat menyebabkan kecacatan pada janin, troglitazon suatu obat
antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati.
17
BAB III
PEMBAHASAN
Efek Antidiabetes Kombinasi Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum Linn.) dan
Rimpang Kunyit (Curcumma domestica Val.) dengan Pembanding Glibenklamid
pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2
1. Bahan
Bulbus bawang putih (Allium sativum Linn.) dan rimpang kunyit (Curcuma domestica
Val.).Unsur kimia utama dalam bawang putih adalah alliin yang merupakan cysteine
sulfoxide dan peptida γ-glutamilcysteine. Bawang putih dalam bentuk serbuk berisi 1%
alliin (S-allyl cysteine sulfoxide). Salah satu bentuk aktif bawang putih adalah allicin
(diallyl tiosulfonate atau diallyl disulfide). Pada saat bawang putih dipotong enzim alinase
akan diaktivasi dan alliin berubah menjadi allicin, selanjutnya allicin dimetabolisme
menjadi vinyl-ditiines.
2. Hewan Percobaan
Penelitian yang dilakukan pada tikus diabetes melitus yang diinduksi streptozotosin,
pemberian bawang putih 500 mg/kgBB secara intraperitoneal selama 7 minggu
menyebabkan penurunan kadar glukosa, kolesterol, dan trigliserida darah secara
bermakna. Ekstrak bulbus bawang putih yang diberikan pada tikus yang diinduksi
streptozotosin menu- runkan hiperfagia dan polidipsia.Allicin yang diberikan secara oral
pada tikus yang diinduksi aloksan menurunkan kadar glukosa dan meningkatkan aktivitas
insulin.
18
B. Metode Penelitian
Sediaan obat uji yang digunakan adalah kapsul mengandung 200 mg ekstrak bulbus
bawang putih dan 200 mg ekstrak rimpang kunyit dengan kandungan zat aktif alliin 6–7 mg
per 200 mg dan curcumin 37,5–42,5 mg per 200 mg. Selain itu obat pembanding yang
digunakan adalah obat glibenklamid 5 mg.
Penelitian uji klinik ini dilaksanakan dari bulan November 2007 sampai dengan
Agustus 2008 ini telah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung. Jumlah subjek penelitian adalah 19 orang dengan kriteria inklusi penderita
DM tipe 2 dengan kadar glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL atau glukosa plasma puasa
≥126 mg/dL dengan atau tanpa disertai dislipidemia (kolesterol total >200 mg/dL atau
kolesterol LDL >130 mg/ dL) yang belum pernah mendapatkan terapi obat hipoglikemia oral
ataupun insulin sebelumnya dan telah mendapatkan terapi gizi medis selama 2 minggu, laki-
laki atau wanita, usia lebih dari 35 tahun yang datang ke poliklinik Endokrin dan Penyakit
Dalam Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dan bersedia mengikuti penelitian dengan
menandatangani surat persetujuan terapi (informed concent).
Penderita DM tipe 1 atau penderita yang telah mendapat terapi sebelumnya, penderita
dengan gagal ginjal dan hati, penggunaan steroid atau pil kontrasepsi yang dapat
mempengaruhi glukosa darah, penderita yang disertai komplikasi ketoasidosis dan ulkus atau
gangren diabetikum serta wanita hamil dan menyusui tidak dapat diikutsertakan sebagai
subjek penelitian. Penderita yang memenuhi kriteria inklusi, dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis berupa pengukuran berat badan, tinggi badan, tekanan darah, nadi dan
respirasi, lalu penderita mendapat terapi gizi medis selama 2 minggu dan tidak mendapatkan
terapi farmakologi. Setelah 2 minggu terapi gizi medis atau pada minggu ke-2 dilakukan
pemeriksaan fisis (tekanan darah, nadi, respirasi, berat badan) dan laboratorium. Pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan adalah hematologi (Hb, leukosit, hematokrit, trombosit),
19
prothrombin time (PT), international normalize ratio (INR), activated partial thromboplastin
time (APTT), fungsi hati (SGOT, SGPT), fungsi ginjal (ureum dan kreatinin), fungsi
jantung (EKG), gula darah puasa (GDP), gula darah 2 jam postprandial (GD2PP), HbA1c,
insulin, kolesterol total (KT), kolesterol LDL (low density lipoprotein), kolesterol HDL (high
density lipoprotein), trigliserida, serta urin rutin (pH, berat jenis, dan protein).
Bila hasil pemeriksaan sesuai dengan kriteria inklusi maka penderita menjadi subjek
penelitian dan bila terdapat 1 atau lebih kriteria eksklusi maka penderita dikeluarkan dari
subjek penelitian. Subjek yang masuk dalam kriteria inklusi dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu kelompok I diberi obat uji dengan dosis 2,4 g setiap hari: kapsul 400 mg mengandung
200 mg bulbus bawang putih dan 200 mg rimpang kunyit, aturan dosis 2x3 kapsul uji (pagi
dan sore) setelah makan. Kelompok II diberi obat standar glibenklamid 5 mg dengan aturan
dosis/hari adalah 2x3 kapsul, 1 kapsul berisi glibenklamid dan 2 kapsul bahan pembawa (pagi
setelah makan) dan 3 kapsul bahan pembawa (sore setelah makan). Subjek penelitian
mendapat terapi selama 3 bulan (14 minggu). Pada minggu ke-4, -6, -10, dan ke-12 peme-
riksaan laboratorium yang dilakukan adalah GDP, GD2PP, kolesterol total, LDL, HDL,
trigliserida, dan urin rutin. Pada minggu ke-8 pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
adalah GDP, GD2PP, kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, urin rutin, serta fungsi hati dan
ginjal. Pada minggu ke-14 dilakukan kembali pemeriksaan laboratorium lengkap.
C. HASIL
Jumlah subjek yang masuk dalam kriteria inklusi sebanyak 19 orang, subjek yang
menyelesaikan terapi sesuai protokol selama 3 bulan sebanyak 8 orang mendapat terapi
kombinasi bawang putih- kunyit dan 8 orang mendapat terapi glibenklamid. Subjek yang tidak
melanjutkan terapi 2 orang dari kelompok bawang putih-kunyit (1 orang tidak patuh karena
menggunakan kortikosteroid dan orang lost of control) dan 1 orang dari kelompok
glibenklamid lost of control.
Dari semua subjek penelitian, 11/16 subjek adalah wanita dan 5/11 laki-laki. Subjek
memiliki usia rata-rata 58,10 tahun pada kelompok I (kelompok obat uji) dan 51,33 tahun
pada kelompok II (kelompok obat standar) dan total usia rata-rata 55,79 tahun pada kedua
kelompok. Glukosa darah puasa merupakan parameter yang digunakan untuk mengetahui
20
keadaan DM penderita. Pemeriksaan glukosa darah puasa dilakukan ketika penderita puasa
sekurang- kurangnya 8 jam. Penderita dengan glukosa darah puasa ≥126 mg/dL dinyatakan
sebagai penderita diabetes melitus.
Hasil pemeriksaan glukosa darah puasa rata- rata pada kedua kelompok mengalami
penurunan 9,25 mg/dL, dari 139,13 mg/dL menjadi 129,88 mg/dL pada kelompok I (p=
0,194) dan pada kelompok II sebesar 72,37 mg/dL, dari 246,63 mg/dL menjadi 174,25
mg/dL; p=0,068 (Gambar 1). Hasil ini menunjukkan perbedaan antara penggunaan kombinasi
bulbus bawang putih-rimpang kunyit dan glibenklamid dalam menurunkan kadar glukosa
darah puasa.
Parameter lain adalah kadar glukosa darah 2 (dua) jam PP. Glukosa darah dua jam
PP pada kelompok I menunjukkan penurunan rata-rata 22,25 mg/dL dibandingkan dengan
baseline, secara statistik tidak bermakna (p=0,394). Pada kelompok II penurunan kadar
glukosa darah rata-rata dua jam PP sebesar 114,25 mg/dL bila dibandingkan dengan baseline,
penurunannya bermakna secara statistik (p=0,021) seperti tampak pada Gambar 2. Untuk
menurunkan kadar glukosa darah dua jam PP, terdapat perbedaan penggunaan kombinasi
bulbus bawang putih dan rimpang kunyit dibandingkan dengan glibenklamid.
21
8
22
(mg/dL) 2 1
HbA1c (%) 8,80±2,00 12,73±1,33 0,00
0
Insulin (mg/dL) 72,20±67,03 52,24±53,09 0,52
0
Kolesterol total (mg/dL) 217,25±55,64 232,13± 0,49
21,86 9
HDL (mg/dL) 43,38±8,31 42,38±6,30 0,79
0
LDL (mg/dL) 135,13±49,81 148,00±18,5 0,50
6 5
Trigliserida (mg/dL) 145,38±56,76 208,50±104, 0,15
67 6
M2
M14
Gambar 1 Diagram Nilai Glukosa Darah Puasa Rata-rata pada Minggu ke-2 dan
Minggu ke-14
Kombinasi bawang putih dan kunyit (kelompokI) terhadap HbA1c terjadi penurunan
rata-rata sebesar 1,30% dibandingkan dengan baseline, secara statistik tidak bermakna
(p=0,064). Pada kelompok II terjadi penurunan HbA1c sebanyak 4,12% dibandingkan
dengan baseline, secara statistik bermakna (p=0,00). Hasil analisis kedua kelompok
23
menunjukkan tidak terdapat perbedaan penggunaan kombinasi bulbus bawang putih dan
kunyit dengan glibenklamid.
Kadar insulin pada kelompok I menunjukkan penurunan kadar insulin rata-rata 12,57,
secara statistik tidak bermakna (p=0,402), sedangkan pada kelompok II terjadi peningkatan
kadar insulin rata-rata sebesar 3,34 dan tidak bermakna (p=0,663).
Parameter penunjang pada penelitian ini adalah indeks massa tubuh (IMT), tekanan
darah, profil darah, serta fungsi hati dan fungsi ginjal. Hasil pemeriksaan IMT pada
kelompok I menunjukkan penurunan bermakna dibandingkan dengan baseline, dari 24,71
kg/m2 menjadi 23,99 kg/m2. Pada kelompok II terjadi peningkatan IMT yang bermakna
Uji keamanan dilakukan dengan melihat hasil pemeriksaan profil darah, tekanan
darah, serta fungsi hati dan ginjal. Subjek yang mendapat terapi kombinasi ekstrak bulus
bawang putih- kunyit menunjukkan penurunan hemoglobin, leukosit, dan trombosit, tetapi
penurunannya tidak bermakna, sedangkan hematokrit, PT, APTT, dan INR meningkat, tetapi
tidak bermakna.
M2
M14
24
Bawang putih-kunyit Glibenklamid
Gambar 2 Diagram Nilai Glukosa Darah 2 Jam PP Rata-rata pada Minggu ke-2
dan ke-14
M2
M14
Gambar 3 Diagram HbA1c Rata-rata Kadar pada Minggu ke-2 dan Minggu ke-
14
Hasil pemeriksaan fungsi hati (SGOT, SGPT) dan fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
pada saat skrining (minggu ke-2/setelah diet) semua subjek berada dalam batas normal. Hasil
pemeriksaan ureum dan kreatinin pada minggu ke-14 atau akhir terapi pada kelompok I
menunjukkan nilai rata-rata dalam batas normal. Subjek yang diberi terapi kombinasi ekstrak
25
bawang putih-kunyit menunjukkan penurunan tidak bermakna kadar SGOT (5,36±8,02), dan
SGPT (5,18±6,89).
26
8
Keterangan: N= Jumlah subjek 16 (8 orang kelompok ekstrak dan 8 orang kelompok
glibenklamid)
Hal ini terjadi karena efek lain dari curcumin, yaitu sebagai hepatoprotektor sehingga
fungsi hati tidak terganggu,7 sedangkan kelompok II menunjukkan peningkatan nilai SGOT
(-11,5± 28,61) dan SGPT (-25,33±69,53) rata-rata yang tidak bermakna.Keluhan klasik
seperti poluria, polidipsia dan polifagia dialami oleh hampir semua subjek. Keluhan klasik
terjadi pada 16/16 subjek, mengalami parestesi pada tangan dan kaki 16/16 subjek, penurunan
berat badan yang tiba-tiba 1/16 subjek, pandangan buram 3/8 subjek, dan pusing 2/16 subjek.
Penderita yang tidak melanjutkan terapi dikatakan sebagai subjek dengan intent to
treat. Pengamatan subjek ITT adalah subjek yang diterapi sesuai protokol dan subjek yang
tidak sesuai protokol serta subjek lost of control. Pada kelompok ini terdapat tiga penderita
yang mengalami lost of control, yaitu dua orang pada kelompok obat uji dan satu orang pada
kelompok glibenklamid. Hasil terapi pada kelompok ini tidak dapat dianalisis karena subjek
yang terdapat pada kelompok ini tidak mencukupi.
27
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan teori dan bukti yang telah dipaparkan, dapat diambil kesimpulan bahwa :
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya
kenaikan kadar gula darah (hiperglikemia) kronik. Keadaan hiperglikemia kronik
tersebut dapat mengenai banyak orang pada semualapisan masyarakat di seluruh
dunia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak bulbus bawang putih
dan rimpang kunyit dengan dosis 2,4 g/hari dapat mempercayai efek antidiabetes,
tetapi tidak sebaik glibenklamid. Kombinasi ini dapat digunakan sebagai salah
satu bahan pilihan untuk terapi diabetes melitus tipe 2, akan tetapi perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut dengan subjek yang lebih banyak dan untuk mengetahui
mekanisme kerja kedua ekstrak tersebut.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Powers AC. Diabetes mellitus at endocri- nology and metabolism. Dalam: Gibson RJ,
penyunting. Harisson's principles of internal medicine. Edisi ke-16. New York.
McGraw- Hill; 2005. hlm. 2152–71.
2. PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. PERKENI. 2006
3. WHO. Definition and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate hyperglycemia.
Report of a WHO/IDF Consultation. 2006.
4. WHO Monograph on selected medical plants. Vol 1. Geneva: WHO; 1999.
5. Thomson M, Al-Amin ZM, Al-Qattan KK, Shaban LH, Ali M. Antidiabetic and
hypolipidaemic properties of garlic (Allium sativum) in streptozotocin-induced
diabetic rats. Int J Diabetes Metab. 2007;15:108–15.
6. Swanston-Flatt SK. Traditional plant treatments for diabetes. Studies in normal and
streptozotocin diabetic mice. Diabetologia. 1990;33:462–4.
7. Ishita C, Kaushik B. Turmeric and curcumin: biological actions and medical
applications (Review). Current Science. 2004;87:44–50.
8. Kuroda M, Mimaki Y, Nishiyama T, Mae T, Kishida H, Tsukagawa M, dkk.
Hypoglicemic effects of turmeric (curcuma longa L. rhizomes) on genetically diabetic
KK-Aymice. Biol Pharm Bull. 2005;28(5):937–9.
9. Deviana R. Pengaruh pemberian ekstrak bulbus bawang putih (allium sativum) dan
rimpang kunyit (curcuma domestica) serta kombinasinya terhadap profil lipoprotein
dan glukosa darah tikus (Tesis). Bandung: Institut Teknologi Bandung; 2005.
10. Dewi M. Pengaruh kombinasi ekstrak bulbus bawang putih (allium sativum) dan
rimpang kunyit (curcuma domestica) terhadap penurunan kadar glukosa darah dan
perbaikan profil lipoprotein pada penderita diabetes tipe 2 disertai dislipidemia
(Tesis). Bandung: Institut Teknologi Bandung; 2007.
11. Subiakto Y. Pengaruh pemberian kombinasi ekstrak bulbus bawang putih (allium
sativum) dan rimpang kunyit (curcuma domestica) terhadap fungi hati dan ginjal,
serta histologi organ tikus (Tesis). Bandung: Institut Teknologi Bandung; 2005.
12. Curtis L, Charles AR. Diabetes mellitus. Endocrinologic disorders. Pharmacotheray a
pathophysiologic approach. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill; 2006.
13. Tirosh A, Shai I, Manova D.T, Israeli E, Pereg D, Shochat T, dkk. Normal fasting
plasma glucose level and type 2 diabetes in young man. N Engl J Med.
29
2005;353:1454– 62.
14. Weisberg SP, Leibel R, Tortoriello DV Dietary curcumin significantly improves
obesity-associated inflammation and diabetes in mouse models of diabesity.
Endocrinology. 2008;149:3549–58.
15. Fujiwara H, Hosokawa M, Zhou X, Fujimoto S, Fukuda K, Toyoda K, dkk. Curcumin
inhibits glucose production in isolated mice hepatocytes. Diabetes Res Clin Pract.
2008;80:185–90.
16. Jain SK, Rains J, Jones K. Effect of curcumin on protein glycosylation, lipid
peroxidation, and oxygen radical generation in human red blood cells exposed to high
glucose levels. Free Radic Biol Med. 2006;41:92–6.
17. Saudek CD, Herman WH, Sacks DB, Bergenstal RM, Edelman D, Davidson MB. A
new look at screening and diagnosing diabetes mellitus. J Clin Endocrinol Metab.
2008;93:2447–53.
18. Selvin E, Coresh J, Golden SH, Brancati FL, Folsom AR, Steffes MW. Glycemic
control and coronary heart disease risk in persons with and without diabetes. Arch Int
Med. 2005;165:1910–6.
19. Iribarren C, Karter AJ, Go AS, Ferrara A, Liu JY, Sidney S, Selby JV. Glycemic control
and heart failure among adult patients with diabetes. Circulation. 2001;103:2668–73.
20. Eun MJ, Myung SC, Un JJ, Myung JK, Hye JK, Seon MJ, dkk. Beneficial effects of
curcumin on hyperlipidemia and insulin resistance in high-fat-fed hamster. Metab
Clin Exp. 2008;57:1576–83.
30