Anda di halaman 1dari 9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Kompleksasi
Kompleks atau senyawa koordinasi, menurut definisi klasik, diakibatkan oleh
mekanisme donor-akseptor atau reaksi asam-basa Lewis antara dua atau lebih
konstituen kimia yang berbeda. Setiap atom atau ion nonlogam apakah bebas atau
berada dalam molekul netral atau dalam senyawa ionik, yang dapat menyumbangkan
satu pasang elektron, dapat bertindak sebagai donor. Akseptor, atau konstituen yang
ambil bagian dalam pasangan elektron, seringkali berupa ion logam, walaupun dapat
juga berupa atom netral (Martin, A: 1990).
Dalam pelaksanaan analisisis anorganik kualitatif banyak digunakan reaksi-
reaksi yang menghasilkan pembentukan kompleks. Suatu ion atau molekul kompleks
terdiri dari satu ion (ion) pusat dan sejumlah ligan yang terikat erat dengan atom (ion)
pusat itu. Jumlah relatif komponen-komponen ini dalam kompleks yang stabil
nampak mengikuti stoikiometri yang sangat tertentu, meskipun ini tak dapat
ditafsirkan di dalam lingkup konsep valensi klasik (Roth, H., J: 1994).
2.1.2 Metode Pembentukan Kompleksasi
Metode-metode analisis pembentukan kompleks ada beberapa macam, antara
lain (Day, R., A., 1995):
1. Metode variasi berkesinambungan
2. Metode ini berdasarkan pada kenyataan bahwa apabila dua senyawa
membentuk kompleks maka terjadi perubahan sifat fisika dan kimia.
3. Metode titrasi
4. Metode ini diterapkan pada pembentukan kompleks glisin dan Cu yang dititrasi
dengan NaOH.Metode distribusi

Metode distribusi diterapkan pada pembentukan kompleks iodium dan KI.


Iodium dilarutkan dalam CS2 dan KI dilarutkan dalam air. Kelarutan iodium dalam
air karena terbentuk kompleks.
1. Metode Kelarutan

Kelarutan pada amino benzoate akan menambah kelarutan kofein, dimana kadar
kofein diukur dengan spektrofotometer.
Gaya antar molekul yang terlibat dalam pembentukan kompleks adalah van der
waals dari dispersi, dipolar, dan tipe dipolar induksi. Ikatan hidrogen memberikan
gaya yang bermakna dalam beberapa kompleks molekuler, dan kovalen koordinat
sangat penting dalam kompleks logam. Perpindahan muatan dan interaksi hidrofobis
pun terjadi (Martin, A: 1990).
Satu ion (atau molekul) kompleks terdiri dari satu atom (ion) pusan dan
sejumlah ligam yang terikat erat dengan atom (ion) pusat itu. Atom pusat ditandai
oleh bilangan koordinasi, suatu angka bulat, yang menunjukkan jumlah ligan
(monodentat) yang dapat membentuk kompleks yang stabil dengan satu atom pusat.
Susunan logam-logam sekitar atom pusat adalah simetris (Svehla, G: 1990).
G.N Lewis menerangkan bahwa pembentukan kompleks terjadi karena
pentumbanagn atau pasangan elektron seluruhnya oleh satu ligan kepada atom pusat,
inilah yang disebut dengan ikatan-datif. Teori Medan Ligan menjelaskan bahwa
pembentukan kompleks atas dasar medan elektrostatik yang diciptakan oleh ligan-
ligan dalam dari atom pusat. Medan ligan menyebabkan penguraian tingkatan energi
orbital-orbital-d atom pusat, yang lalu menghasilkan energi untuk menstabilkan
kompleks itu (Energi Stabilitas Medan Ligan) (Svehla, G: 1990).
Pada pembagian besar logam cenderung untuk membentuk kompleks. Sifat ini
dapat digunakan untuk pemisahan, penentuan kadar dan untuk membuat kation tidak
dapat berreaksi. Untuk analisis kuantitatif yang penting adalah tetapan stabilitas
(kestabilan) dan tetapan disosiasi. Pada pembentukan dan penguraian senyawa
kompleks dibedakan antara disosiasi pertama dan kedua. Disosiasi pertama
merupakan disosiasi menjadi kation dan anion kompleks atau menjadi anion dan
kation kompleks, yang biasanya terjadi secara sempurna (Roth, H., J: 1994).
Makin besar tetapan disosiasi, makin banyak ion dalam larutan, dan makin
tidak stabil kompleks yang terjadi. Selain itu diketahui juga bahwa banyak senyawa
kompleks yang terdisosiasi secara bertahap. Ion kompleks tunggal hanya terdapat
pada larutan senyawa kompleks yang sangat kuat (Day, R., A., 1995).
Pembentukan kompleks dalam analisa kualitatif sering terlihat dan dipakai
untuk pemisahan atau identifikasi. Salah satu fenomena yang paling umum yang
muncul bila ion kompleks terbentuk adalah perubahan warna larutan dan kenaikan
larutan (Svehla, G.: 1990).
Kompleks terbentuk dari suatu reaksi ion logam yaitu kation dengan suatu
anion atau molekul netral. Ion logam di dalam kompleks disebut atom pusat dan
kelompok yang terikat pada atom pusat disebut ligan. Jumlah ikatan yang terbentuk
oleh atom logam, pusat disebut bilangan koordinasi dari logam, salah satu contoh
reaksi kompleks adalah reaksi dari ion perak dengan ion sianida untuk membentuk
ion kompleks Ag(CN)2 yang sangat stabil. Higuchi dan kawan-kawannya telah
menyelidiki kompleksasi kafein dengan sejumlah obat yang bersifat asam. Mereka
menemukan interaksi antara kafein dengan obat misalnya silfonamida atau barbiturat
disebabkan oleh gaya dipol-dipol atau ikatan hidrogen antara gugus karbonil yang
terpolarisasi dari kafein dan atom hidrogen dari asam. Interaksi sekunder mungkin
terjadi antara bagian-bagian molekul nonpolar dan kompleks “ditekan keluar” dari
fase air karena tekanan internal air yang besar. Kedua efek ini menyebabkan derajat
interaksi yang tinggi (Martin, A: 1990).
2.1.2 Spektrofotometri
Spektrofotometri adalah sebuah metode analisis untuk mengukur konsentrasi
suatu senyawa berdasarkan kemampuan senyawa tersebut mengabsorbsi berkas sinar
atau cahaya.Spektrofotometri adalah alat yang terdiri dari spektrofotometer dan
fotometer.Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang
gelombang tertentu, sementara fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang
ditransmisikan atau diabsorpsi.Istilah spektrofotometri berhubungan dengan
pengukuran energi radiasi yang diserap oleh suatu sistem sebagai fungsi panjang
gelombang dari radiasi maupun pengukuran panjang absorpsi terisolasi pada suatu
panjang gelombang tertentu (Day, 1995).
Secara umum spektrofotometri dibedakan menjadi empat macam, yaitu
(Harjadi, 1990):
a) Spektrofotometer ultraviolet
b) Spektrofotometer sinar tampak
c) Spektrofotometer infra merah
d) Spektrofotometer serapan atom
Spektrum elektromagnetik terdiri dari urutan gelombang dengan sifat-sifat yang
berbeda.Kawasan gelombang penting di dalam penelitian biokimia adalah ultra
lembayung (UV, 180-350 nm) dan tampak (VIS, 350-800 nm). Cahaya di dalam
kawasan ini mempunyai energi yang cukup untuk mengeluarkan elektron valensi di
dalam molekul tersebut (Harjadi, 1990).
Penyerapan sinar UV-Vis dibatasi pada sejumlah gugus fungsional atau gugus
kromofor yang mengandung elektron valensi dengan tingkat eksutasi rendah.Tiga
jenis elektron yang terlibat adalah sigma, phi, dan elektron bebas.Kromofor-kromofor
organik seperti karbonil, alkena, azo, nitrat, dan karboksil mampu menyerap sinar
ultraviolet dan sinar tampak.Panjang gelombang maksimumnya dapat berubah sesuai
dengan pelarut yang digunakan.Auksokrom adalah gugus fungsional yang
mempunyai elektron bebas nseperti hidroksil, metoksi, dan amina. Terkaitnya gugus
kromofor akan mengakibatkan pergeseran pita absorpsi menuju ke panjang
gelombang yang lebih besar dan disertai dengan peningkatan intensitas. Ketika
cahaya melewati suatu larutan biomolekul, terjadi dua kemungkinan.Kemungkinan
pertama adalah cahaya ditangkap dan kemungkinan kedua adalah cahaya discattering.
Bila energi dari cahaya (foton) harus sesuai dengan perbedaan energi dasar dan energi
eksitasi dari molekul tersebut. Proses inilah yang menjadi dasar pengukuran
absorbansi dalam spektrofotometer (Sutopo, 2006).
Cara kerja spektrofotometer dimulai dengan dihasilkannya cahaya
monokromatik dari sumber sinar. Cahaya tersebut kemudian menuju ke kuvet (tempat
sampel/sel). Banyaknya cahaya yang diteruskan maupun yang diserap oleh larutan
akan dibaca oleh detektor yang kemudian menyampaikan ke layar pembaca
(Sastrohamidjojo, 1992).
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam spektrofotometri adalah :
a. Pada saat pengenceran alat-alat pengenceran harus betul-betul bersih tanpa
adanya zat pengotor.
b. Dalam penggunaan alat-alat harus betul-betul steril.
c. Jumlah zat yang dipakai harus sesuai dengan yang telah ditentukan.
d. Dalam penggunaan spektrofotometri uv, sampel harus jernih dan tidak keruh.
e. Dalam penggunaan spektrofotometri uv-vis, sampel harus berwarna.
Cahaya yang diserap diukur sebagai absorbansi (A), sedangkan cahaya yang
hamburkan diukur sebagai transmitansi (T), dinyatakan dengan hukum lambert-beer
atau Hukum Beer, berbunyi (Sri Suyono, 2013):
“Jumlah radiasi cahaya tampak (ultraviolet, inframerah, dan sebagainya) yang
diserap atau ditransmisikan oleh suatu larutan merupakan suatu fungsi eksponen
dari konsentrasi zat dan tebal larutan”.
Berdasarkan hukum Lambert-Beer, rumus yang digunakan untuk menghitung
banyaknya cahaya yang dihamburkan (Sri Suyono, 2013):
It It
T = Io atau %T = x 100 %
Io

dan absorbansi dinyatakan dengan rumus:


It
A= - log T = -log Io

Dimana I0 merupakan intensitas cahaya datang It atau I1 adalah intensitas


cahaya setelah melewati sampel.
Rumus yang diturunkan dari Hukum Beer dapat ditulis sebagai (Sri Suyono,
2013):
A= a . b . c atau A = ε . b . c
dimana:
A = absorbansi
b / l = tebal larutan (tebal kuvet diperhitungkan juga umumnya 1cm)
c = konsentrasi larutan yang diukur
ε = tetapan absorptivitas molar (jika konsentrasi larutan yang diukur dalam molar)
a = tetapan absorbtivitas (jika konsentrasi larutan yang diukur dalam ppm).
Faktor-faktor yang sering menyebabkan kesalahan dalam menggunakan
spektrofotometer dalam mengukur konsentrasi suatu analit (Sri Suyono, 2013):
1. Adanya serapan oleh pelarut. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan blangko,
yaitu larutan yang berisi selain komponen yang akan dianalisis termasuk zat
pembentuk warna.
2. Serapan oleh kuvet. Kuvet yang ada biasanya dari bahan gelas atau kuarsa,
namun kuvet dari kuarsa memiliki kualitas yang lebih baik.
3. Kesalahan fotometrik normal pada pengukuran dengan absorbansi sangat
rendah atau sangat tinggi, hal ini dapat diatur dengan pengaturan konsentrasi,
sesuai dengan kisaran sensitivitas dari alat yang digunakan (melalui
pengenceran atau pemekatan).
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Alkohol (Dirjen POM, 1955; Rowe, 2009)
Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Alkohol
Rumus molekul : C2H5OH
Rumus Struktur :

Berat Molekul : 46,07 gr/mol


Pemerian : Cairan takberwarna, jernih, mudah menguap
dan mudah bergerak, bau khas, rasa panas. Mudah
terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak
berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan
dalam eter P.
Khasiat : Zat pelarut dan desinfektan/ mencegah pertumbuhan
atau percemaran jasad renik dan terjadinya infeksi pada
benda mati.
Kegunaan : Zat tambahan.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindungi dari cahaya,
ditempat yang sejuk, jauh dari jangkauan api.
2.2.2 Aquadest (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : AQUA DESTILATA
Nama Lain : Air suling
Rumus molekul : H2O
Rumus Struktur :

Berat Molekul : 18,02 g/mol


Pemerian : Cairan jenuh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak
berbau.
Kelarutan : Larut dalam semua jenis larutan.
Kegunaan : Zat pelarut atau pengencer.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
2.2.3 NaEDTA ((Dirjen POM.1995)
Nama Resmi : DINATRIUM ETILENDIAMINA
TETRA ASETAT DIHIDRAT
Nama Lain : Dinatrium adetat, Na2 EDTA
Rumus Molekul : C10H14Na2O8. 2H2O
Berat Molekul : 372,24 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan kental, jernih, tidak berwarna, higroskopik


Kelarutan : Larut dalam air, larutan beropalesensi berwarna jingga
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai pengompleks
2.2.4 Tiamfenikol (Dirjen POM, 1995)
Nama Resmi : THIAMPHENICOLUM
Nama Lain : Tiamfenikol, Metilsulfonil kloramfenikol
Rumus Molekul : C12H15Cl2NO5S
Berat Molekul : 356,2 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk hablur halus atau hablur putih sampai putih


kekuningan; tidak berbau.
Kelarutan : Sukar larut dalam air, dalam eter, dan dalam etil asetat;
agak sukar larut dalam etanol mutlak dan dalam aseton;
larut dalam methanol; mudah larut dalam asetonitril dan
dalam dimetilformamida; sangat mudah larut dalam
dimetilasetamida
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya dan
kelembaban
Kegunaan : Sebagai sampel
DAFTAR PUSTAKA
Day, R., A. 1995. Analisa Kimia Kuantitatif. Penerbit Erlangga: Jakarta.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia : Jakarta

Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia : Jakarta

Hardjadi.W. 1990. Ilmu Kimia Analitikdasar. PT Gramedia : Jakarta

Martin, A. 1990. Farmasi Fisika Jilid I Edisi ke-3. UI Press: Jakarta.

Roth, H. J. 1994. Analisis Farmasi. Universitas Gadjah Mada Press: Yogyakarta.

Rowe, Raymond C. 2009. Handbook Of Pharmaceutical Excipient, Sixth Edition.


Pharmaceutical Press: London

Sastrohamidjojo,H. 1992. Spektroskopi Inframerah. Yogyakarta Liberty : Yogyakarta

Sutopo.2006. Kimia Analisa. Exacta : Solo

Svehla, G. 1990. Vogel Buku Teks Analisis Anorganik. PT Kalman Media Pustaka:
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai