Anda di halaman 1dari 47

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 5
1.3 Tujuan .................................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian Demam Berdarah .................................................................. 7
2.2 Etiologi Demam Berdarah....................................................................... 8
2.3 Manifestasi Klinik Demam Berdarah...................................................... 8
2.4 Klasifikasi Demam Berdarah ................................................................ 10
2.5 Komplikasi Demam Berdarah .............................................................. 11
2.6 Penatalaksanaan Demam Berdarah ...................................................... 11
2.7 Patofisiologi Demam Berdarah ............................................................ 23
2.8 Pengobatan Demam Berdarah .............................................................. 28
2.9 Penanganan Syok ................................................................................. 33
2.10 Pencegahan Demam Berdarah ........................................................... 34
2.11 Pemeriksaan Penunjang Demam Berdarah ........................................ 39
BAB III ASUHAN KEPERAWAN
3.1 Kasus .................................................................................................... 41
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ........................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 49

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Sindrom syok dengue (SSD) adalah manifestasi demam berdarah dengue
(DBD) paling berbahaya. Angka morbiditas infeksi virus dengue mencapai
hampir 50 juta kasus per tahun dan DBD sebanyak 500.000 kasus per tahun,
dengan mortalitas sekitar 1–5% atau 24.000 jiwa. Angka kematian SSD
ditemukan masih sangat tinggi. Tahun 1986 dilaporkan kejadian syok di
Manado sebesar 60% dari seluruh pasien DBD dengan angka kematian 6,6%.
Prevalensi syok ditemukan berkisar 16%-40% di seluruh rumah sakit di
Indonesia dengan angka kematian 5,7%-50% dalam tahun 1996. Data terbaru
menunjukan angka kematian kasus SSD pada 6 rumah sakit rujukan sebesar
7.81% dari tahun 2008 hingga 2013.
Syok pada SSD merupakan syok hipovolemi terjadi melalui tahapan
tertentu. WHO tahun 2012 mengelompokan tahapan syok pada SSD menjadi
dua yaitu SSD terkompensasi dan SSD dekompensasi yang jauh lebih berat.
Penelitian Citraresmi di Jakarta tahun 2004 mendapatkan kasus infeksi dengue
dengan komplikasi berupa syok berkepanjangan sebanyak 2.7% dan syok
berulang 1,3% dari 1494 kasus. Angka kematian pada syok berkepanjangan dan
syok berulang (66,7%) lebih tinggi dibandingkan syok tanpa komplikasi (13%).
Pengenalan tahapan syok secara klinis sangat penting. Adanya hipotensi
merupakan hal yang terlambat karena tanda hipotensi sudah menunjukkan syok
dekompensasi dan kolaps kardiorespirasi akan segera terjadi. Perdarahan masif
merupakan konsekuensi dari syok profound akibat penatalaksanan SSD yang
tidak efektif. Penanganan yang tepat serta pengenalan sedini mungkin terhadap
tahapan syok pasien dengue merupakan faktor penting yang menentukan
tatalaksana dan hasil pengobatan SSD.
Syok pada DBD timbul karena adanya kebocoran plasma menyebabkan
viskositas darah meningkat,kemudian terjadi penurunan aliran darah, gangguan
mikrosirkulasi dan perfusi. Dalam keadaan anaerob, asam piruvat akan diubah
menjadi laktat oleh enzim lactate dehidrogenase (LDH) Hampir 50% kadar
laktat darah diekstraksi di hati, tetapi pada infeksi dengue terjadi gangguan fung

2
sihati dan diperparah oleh berkurangnya aliran darah ke hati, menyebabkan hati
akan memproduksi laktat dalam keadaan anaerob. Kadar laktat darah telah
banyak dipelajari dan digunakan sebagai penanda biokimia adanya hipoksia
jaringan pada keadaan sakit gawat. Pengukuran laktat serial dapat memprediksi
kemungkinan timbulnya syok septik dan gagal organ multipel lebih baik
dibandingkan pengukuran variabel - variabel transport oksigen. Kadar laktat
darah juga merupakan indikator yang lebih sensitif untuk daya tahan hidup
dibandingkan dengan nilai curah jantung, hantaran oksigen, Tumor necrosis
factor α (TNF α ) dan interleukin-6 (IL-6).
Pemeriksaan kadar laktat serial dilaporkan memberikan kontribusi yang
besar untuk pengobatan dan prognosis pasien secara individual. Bakker dkk
menemukan bahwa pemeriksaan kadar laktat awal darah tidak berbeda diantara
pasien syok sepsis yang bertahan hidup dan meninggal, tetapi terdapat penurun
kadar laktat signifikan pada pasien yang bertahan hidup. Puspajono dkk
menyimpulkan bahwa kadar laktat serial dapat dipakai untuk evaluasi
bertambah beratnya derajat penyakit dan evaluasi tatalaksana SSD. Setiati dkk
mendapatkan kadar laktat sebesar 5,3 mmol/L sebagai penanda prognosis buruk
pada DBD berat, sedangkan Siswanto menggunakan kadar laktat sebesar 2,5
mmol/Luntuk prognosis kematian pasien sepsis. Puspanjono dkk melakukan
penelitian kadar laktat serial dan mendapatkan laktat darah abnormal
(>2mmol/L) sebesar 73% dalam 24 jam pertama kelompok SSD.
Kadar laktat darah telah banyak dipelajari dan digunakan sebagai penanda
biokimiawi adanya hipoksia, indikator beratnya penyakit, monitor terapi syok
dan sebagai indikator prognostik pada sakit gawat. Saat ini kadar laktat dengan
mudah dapat diukur secara bedside atau langsung disisi pasien dengan
menggunakan alat analitik otomatis. Pemeriksaan kadar laktat darah serial
merupakan indikator yang sangat sensitif untuk mengevaluasi derajat berat
hipoksia akibat syok. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini karena
penelitian laktat serial pada SSD masih terbatas dan belum ada yang meneliti
laktat serial pada SSD berdasarkan tahapan syoknya yaitu terkompensai dan
dekompensasi.

3
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana Pengertian Demam Berdarah ?
2. Bagaimana Etiologi Demam Berdarah ?
3. Bagaimana Manifestasi Klinik Demam Berdarah ?
4. Bagaimana Klasifikasi Demam Berdarah ?
5. Apa saja Komplikasi Demam Berdarah ?
6. Bagaimana Penatalaksanaa Demam Berdarah ?
7. Bagaimana Patofisiologi Demam Berdarah ?
8. Bagaimana Pengobatan Demam Berdarah ?
9. Bagaimana Penanganan pada Syok ?
10. Bagaimana Pencegahan Demam Berdarah ?
11. Apa saja Pemeriksaan Penunjang Demam Berdarah ?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana pengertian Demam Berdarah.
2. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana Etiologi Demam Berdarah.
3. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana Manifestasi Klinik Demam
Berdarah.
4. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana Klasifikasi Demam Berdarah.
5. Mahasiswa/wi dapat memahami apa saja Komplikasi Demam Berdarah.
6. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana Penatalaksanaa Demam
Berdarah.
7. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana Patofisiologi Demam Berdarah.
8. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana Pengobatan Demam Berdarah.
9. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana Penanganan pada Syok.
10. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana Pencegahan Demam Berdarah
11. Mahasiswa/wi dapat memahami apa saja Pemeriksaan Penunjang Demam
Berdarah.

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian

Demam Dengue adalah penyakit febris virus akut yang seringkali disertai
dengan gejala sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan
lekopenia. Demam Berdarah Dengue ditandai dengan manifestasi klinis utama
yaitu demam tinggi, fenomena hemoragik, sering dengan hepatomegalidan
pada kasus berat ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Pasien dapat mengalami
syok hipovolemik(penurunan cairan) akibat kebocoran plasma. Syok ini
disebut DengueShock Syndrome(DSS) dan dapat menjadifatal yaitu kematian.

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan


oleh virus Dengue yang berat yang ditandai gejala panas yang mendadak,
perdarahan dan kebocoran plasma yang dapat dibuktikan dengan adanya
penurunan jumlah trombosit, peningkatan hematokrit, ditemukan efusi pleura
disertai dengan penurunan kadar albumin, protein dan natrium. Dengue Syok
Syndrome (DSS) sebagai manifestasi klinis Demam Berdarah Dengue (DBD)
dengan ditandai syok yang dapat mengancam kehidupan penderita.

Dengue Shock Syndrome (SSD)/ Dengue Syok Sindrom (DSS) adalah


kasus deman berdarah dengue disertai dengan manifestasi kegagalan sirkulasi/
syok/ renjatan. Dengue Shok Syndrome (DSS) adalah sindroma syok yang
terjadi pada penderita Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam
Berdarah Dengue (DBD) menyebar dengan luas dengan tiba-tiba, dan juga
merupakan permasalahan klinis. Karena 30 –50% penderita demam berdarah
dengue akan mengalami renjatan dan berakhir dengan suatu kematian terutama
bila tidak ditangani secara dini dan adekuat.

5
2.2 Etiologi

Penyakit DBD disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B


Arthopod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, Famili Flaviviricae, dan mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan
antibody terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibody yang
terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat
memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain. Serotipe
DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang
menunjukan manifestasi klinim yang berat. Virus penyebab DHF atau DSS
adalah flavivirus dan terdiri dari 4 serotipe yaitu serotipe 1,2,3, dan 4 (dengue
-1,-2,-3,-4) virus ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegypti betina yang terinfeksi. Virus ini dapat tetap hidup di alam melalui 2
mekanisme. Mekanisme pertama, transmisi vertikel dalam tubuh nyamuk,
dimana virus yang ditularkan oleh nyamuk betina pada telurnya yang nantinya
akan menjadi nyamuk. Virus juga dapat ditularkan dari nyamuk jantan pada
nyamuk betina melalui kontak seksual. Mekanisme kedua, transmisi virus dari
nyamuk ke dalam tubuh manusia dan sebaliknya. Nyamuk mendapatkan virus
ini pada saat itu sedang mengandung virus dengue pada darahnya. Virus yang
sampai ke lambung nyamuk akan mengalami replikasi (berkembangbiak atau
memecah diri), kemudian akan migrasi yang akhirnya akan sampai di kelenjar
ludah. Virus yang berada di lokasi ini setiap saat siap untuk dimasukkan ke
dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk (Najmah, 2016).
2.3 Manifestasi Klinik

Pada Demam berdarah setelah masa inkubasi, dilanjukan dengan 3 fase


yaitu fase demam, kritis, dan resolusi/pemulihan.
2.3.1 Fase Demam
Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik
turun tidak berpengaruh pada antipirektik, suhu tubuh bisa mencapai
40𝑜 C dan dapat terjadi kejang demam. Kadang terdapat muka merah,
eritema, myalgia, artharlgia, dan sakit kepala. Pada beberapa pasienpun

6
bisa ada gejala nyeri tenggorok, infeksi pada konjungtiva. Anoreksia,
mual, muntah, sering juga dikeluhkan. Sulit membedakan demam
karena infeksi virus dengue dan demam dengue paada fase awal seperti
ini, tapi dengan positifnya uji torniquet meningkatkan kemungkinan
demam dengue.
2.3.2 Fase Kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis, anak terlihat seakan sehat,
hati-hati karena fase tersebut dapat sebagai awal kejadian syok. Hari ke
3-7 adalah fase kritis. Dimana kebocoran plasma bisa terjadi kurang
dari 24-48 jam.
Pada fase ini, pasien yang tidak mengalami kebocoran plasma akan
membaik keadaannya, sedangkan yang mengalami kebocoran plasma
akan sebaliknya karena kehilangan volume plasma. Acites dan efusi
pleura bisa terdeteksi tergantung dari keparahan kebocoran plasma dan
volume terapi cairan.
2.3.3 Fase Resolusi
Bila dalam waktu 24-48 jam pasien berhasil melewati fase kritis,
keadaan umum dan nafsu makan membaik, status hemodinamik stabil
semua nilai laboratorium kembali normal.

7
2.4 Klasifikasi
Menurut (Agiza, 2011) membagi demam berdarah menjadi 4 :
2.4.1 Derajat I
Pada derajat I, terjadi demam diikuti gejala yang tidak spesifik. Satu
– satunya cara untuk mengetahui manifestasi pendarahan adalah melalui
tes tourniquet yang menunjukan hasil positif atau kulit mudah memar
2.4.2 Derajat II
Setelah gejala yang ada pada tingkat I, kemudian berlanjut pada
peristiwa pendarahan spontan yang timbul pada kulit atu tempat lain.
2.4.3 Derajat III
Pada derajat ini, terjadi kegagalan sirkulasi yang ditandai oleh
denyut nadi yang cepat dan lemah, hipotensi, suhu tubuh yang rendah,
kulit lembab, dan penderita gelisah.
2.4.4 Derajat IV
Penderita pada derajat IV akan mengalami syok berat dengan nadi
yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa. Fase kritis
pada penyakit ini terjadi pada akhir masa demam.
Setelah penderita DBD mengalai demam selama 2-7 hari, penurunan
suhu biasanya disertai dengan tanda – tanda gangguan sirkulasi darah,
seperti berkeringat, gelisah, tangan dan kakinya dingin, serta mengalami
perubahan tekanan darah ataupun denyut nadi. Pada kasus yang tidak
terlalu berat, gejala – gejala tersebut hampir tidak terlihat, yang
menandakan telah terjadi kebocoran plasma yang ringan.
Akan tetapi, jika kehilangan plasma hebat, maka akan terjadi syok
berat, bahkan kematian bila tidak segera ditangani. Kondisi yang buruk
bisa segera ditangani dengan diagnosis dini dan pemberian cairan
pangganti. Dalam kasus ini, trombositopeni dan hemokonsentrasi sudah
dapat dideteksi sebelum demam turun dan terjadi syok.
Dengan pemberian cairan pengganti, kondisi penderita akan segera
membaik. Pada syok yang berat sekalipun, penderita akan membaik
dalam 2-3 hari. Tanda – tanda adanya perbaikan adalah jumlah urine
yang cukup dan kembalinya nafsu makan.

8
Syok yang tidak dapat diatasi biasanya berhubungan dengan
keadaan lain, seperti asidosis metabolic dan pendarahan hebat pada
saluran cerna atau organ lain. Sementara itu, pendarahan yang terjadi
pada otak dapat menyebabkan penderita kejang dan jatuh dalam keadaan
koma.
2.5 Komplikasi
1) Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada DBD dengan syok ataupun tanpa
syok.
2) Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut.
3) Edema paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan.
2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dibedakan berdasarkan proses yang mendasari yaitu


kebocoran plasma. Pedoman tatalaksana DD dan DBD, SSD berbeda dari segi
resusitasi cairan dan indikasi perawatan di RS. Pada dasarnya pengobatan DBD
bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma. Pasien DD dapat
berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi
pada kasus DBD dengan komplikasi (SSD) diperlukan perawatan intensif.

Pada fase demam pasien dianjurkan :

• Tirah baring, selama masih demam.

• Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.

• Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu,
dll

Pada pasien demam dengue, saat suhu turun pada umumnya merupakan
tanda penyembuhan. Semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang
dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena
kemungkinan sulit membedakan antara demam dengue dan demam berdarah
pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada
demam dengue akan terjadi penyembuhan sedangkan pada demam berdarah
terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Tidak ada terapi spesifik untuk

9
demam berdarah dengue, prinsip utama adalah terapi suportif yaitu
pemeliharaan volume cairan sirkulasi akibat kebocoran plasma.

2.6.1 Penanganan pasien DBD tanpa syok


Petunjuk dalam memberi pertolongan pertama pada penderita atau
tersangka DBD di Unit Gawat Darurat serta dalam memutuskan indikasi
rawat. Tersangka DBD di UGD dilakukan pemeriksaaan darah lengkap,
minimal Hb, Ht dan trombosit. Bila hasil trombosit normal atau turun sedikit
(100.000 – 150.000) pasien dipulangkan, wajib kontrol 24 jam berikut atau
bila memburuk segera harus kembali ke UGD. Bila hasil Hb dan Ht normal,
trombosit <100.000, pasien dirawat. Bila hasil Hb, Ht meningkat, trombosit
normal atau turun, pasien dirawat.

2.6.2 Pemberian cairan pada pasien DBD dewas diruang rawat


Tatalaksana kasus tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan
masif dan tanpa syok, diberi cairan infuse kristaloid dengan rumus
volume cairan yang diperlukan per hari :
1500 + (20 x (BB dalam kg – 20)
Monitor Hb, Ht, trombosit per 24 jam. Bila hasil Hb dan Ht
meningkat >10-20% dan trombosit turun <100.000 maka jumlah cairan
tetap, lalu lanjutkan monitor per 12 jam. Bila hasil Hb, Ht meningkat

10
>20% dan nilai trombosit <100.000 lanjutkan pemberian cairan sesuai
yang di anjurkan.

2.6.3 Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%


Peningkatan nilai Ht >20% menunjukkan tubuh mengalami defisit
cairan sebanyak 5%. Terapi awal pemberian cairan, infuse kristaloid
dengan dosis 6-7ml/kg/jam. Monitor dilakukan 3-4 jam setelah
pemberian cairan. Parameter nilai perbaikan adalah kadar Ht, frekuensi
nadi, tekanan darah dan produksi urin. Bila didapatkan tanda perbaikan
maka dosis cairan dikurangi menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila 2 jam
kemudian keadaan tetap dan ada perbaikan, dosis dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila keadaan tetap membaik dalam 24-48 jam kemudian,
pemberian cairan infuse dapat dihentikan. Bila keadaan tidak membaik
setelah terapi awal maka dosis cairan infus naik menjadi
10ml/kgbb/jam. Bila 2 jam keadaan membaik, cairan dikurangi
menjadi 5 ml/kgbb jam. Bila memburuk, naik menjadi 15
ml/kgBB/jam.Bila tanda syok (+) masuk ke protokol syok.

11
2.6.4 Penatalaksanaan perdarahan spontan pada BDB dewasa
Sumber perdarahan masif dan spontan pada penderita DBD adalah
epistaksis, perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena atau
hematoskesia), saluran kencing (hematuria), perdarahan otak, dan yang
tersembunyi, dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.
Terapi cairan sama seperti kasus DBD tanpa syok. Pemeriksaan tanda
vital, Hb, Ht, trombosit dilakukan 4-6 jam serta pemeriksaan trombosis
dan hemostasis. Heparin diberi bila tanda KID (+). Transfusi komponen
darah diberikan sesuai indikasi, PRC diberi bila Hb <10 g/dl. Trombosit
hanya diberi pad pasien perdarahan spontan masif dengan kadar

12
trombosit <100.000 dengan atau tanpa tanda KID. FFP diberikan bila
didapatkan defisiensi faktor pembekuan (PT dan aPTT memanjang).

2.6.5 Penatalaksanaan sindrom syok dengue pada dewasa


Resusitasi cairan merupakan terapi terpenting dalam menangani
syok hipovolemia pada SSD. Fase awal, guyur cairan kristaloid 10-20
ml/kgBB, lalu evaluasi 15-30 menit kemudian. Bila renjatan telah
teratasi jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam
60-120 menit keadaan tetap stabil, pemberian cairan menjadi 5
ml/kgBB/jam. Bila dalam 60 – 120 menit kemudian tetap stabil, dosis
menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila stabil selama 24-48 jam, hentikan infus
karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami extravasasi
terjadi (ditandai dengan Ht yg turun), bila cairan tetap diberi bisa terjadi
hipervolemi, edema paru dan gagal jantung.

Selain itu dapat diberikan oksigen 2-4 liter per menit, dengan
pemeriksaan darah perifer lengkap, hemostasis, AGD, elektrolit, ureum
dan kreatinin. Harus dilakukan pengawasan dini terhadap kemungkinan
syok berulang dalam waktu 48 jam. Karena proses patogenesis penyakit
masih berlangsung dan cairan kristaloid hanya menetap 20% dalam

13
pembuluh darah setelah 1 jam pemberian. Diuresis diusahakan 2
ml/kgBB/jam.

Bila setelah fase awal, renjatan belum teratasi, cairan ditingkatkan


menjadi 20-30 ml/kgBB evaluasi dalam 20-30 menit. Bila keadaan
tetap belum teratasi, perhatikan nilai Ht. Bila ht meningkat, perembesan
plasma masih berlangsung, maka pilihan cairan koloid. Bila Ht
menurun kemungkinan perdarahan dalam (internal bleeding) maka
dapat diberikan transfuse darah segar 10 cc/kgBB (dpt diulang sesuai
kebutuhan). Tanda hemodinamik masih belum stabil dengan nilai Ht
lebih dari 30°/o dianjurkan untuk memakai kombinasi kristaloid dan
koloid dengan perbandingan 4:1 atau 3:1.

Koloid mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB,


evaluasi setelah 10-30 menit, dapat ditambah hingga jumlah maksimal
30 ml/kgBB. Pilihan sebaiknya yang tidak menggangu mekanisme
pembekuan darah. Gangguan mekanisme pembekuan darah ini dapat
disebabkan terutama karena pemberian dalam jumlah besar, selain itu
karena jenis koloid itu sendiri. Oleh sebab itu koloid dibatasi maksimal
sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam. Pada kasus SSD apabila setelah
pemberian cairan koloid syok dapat diatasi, maka penatalaksanaan
selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan kecepatan sekitar 4-6
jam setiap 500cc.

Pasang kateter vena sentral untuk pantau kecukupan cairan, Sasaran


tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi,
perhatian dan koreksi ganggguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID dan infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral sudah
sesuai dengan target namun renjatan belum teratasi, maka dapat
diberikan obat inotropik/vasopresor (dopamin, dobutamin, atau
epinephrine).

Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien SSD,


dan apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID,
sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.Pada umumnya,

14
apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dandilakukan
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahansebagai
akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.

Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD mengingat


kemungkinan infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari
saluran cerna. Indikasi lain pemakaian antibiotik pada DBD, bila
didapatkannya infeksi sekunder di tempat/organ lainnya, dan antibiotik
yang digunakan hendaknya yang tidak mempunyai efek terhadap sistem
pembekuan.

2.6.6 Triase Primer pada DHF

Triase harus dilakukan oleh orang yang terlatih dan kompeten.


a. Jika pasien tiba di rumah sakit dalam kondisi parah / kritis, kirim pasien
langsung kepada perawat / asisten medis terlatih (lihat nomor 3 di
bawah).

15
b. Untuk pasien lain, lanjutkan sebagai berikut:
1. Riwayat durasi (jumlah hari) demam dan warning sign (Kotak 11)
pada pasien berisiko tinggi yang akan dinilai oleh perawat atau staf
terlatih, tidak selalu berasal dari medis.
2. Uji tourniquet harus dilakukan oleh tenaga terlatih (jika jumlah
tenaga terlatih tidak memadai, cukup berikan tekanan 80 mmHg
untuk> 12 tahun dan 60 mmHg untuk anak-anak usia 5 sampai 12
tahun selama lima menit).
3. Tanda-tanda vital, termasuk suhu, tekanan darah, denyut nadi, laju
pernapasan dan perfusi perifer, mesti diperiksa oleh perawat
terlatih atau asisten medis. Perfusi perifer dinilai dengan palpasi
tekanan volume nadi, suhu dan warna ekstremitas, serta waktu
pengisian kapiler. Prosedur ini merupakan keharusan bagi semua
pasien, terutama ketika monitor tekanan darah digital dan peralatan-
peralatan medis lainnya tersedia. Perhatian khusus harus diberikan
kepada pasien yang tidak demam namun dengan takikardia. Pasien-
pasien seperti ini dan yang mengalami penurunan perfusi perifer harus
dirujuk segera untuk mendapatkan setidaknya perhatian medis
khusus, pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan kadar gula darah
secepatnya.
4. Rekomendasi pemeriksaan darah lengkap :
a. Semua pasien demam pada kunjungan pertama harus diperiksa
baseline hematokrit, leukosit dan trombosit.
b. Semua pasien dengan warning sign:
1. Tidak ada perbaikan klinis/perburukan keadaan sesaat
sebelum atau selama transisi ke fase afebris.
2. Muntah persisten, tidak bisa minum .
3. Nyeri abdomen yang berat
4. Lesu dan / atau gelisah, perubahan perilaku mendadak .
5. Perdarahan: epistaksis, tinja hitam, hematemesis,
perdarahan menstruasi yang berlebihan, urin berwarna
gelap (hemoglobinuria) atau hematuria.
6. Pucat, tangan dan kaki dingin serta berkeringat.

16
7. Kurang / tidak ada produksi urine selama 4-6 jam .
c. Semua pasien dengan demam > 3 hari.
d. Semua pasien dengan gangguan sirkulasi/syok (pasien ini
harus menjalani cek glukosa).
5. Hasil pemeriksaan darah lengkap : Jika terdapat leukopenia dan /
atau trombositopenia, maka pada pasien dengan warning sign harus
dikirim untuk konsultasi medis segera.
6. Konsultasi medis : direkomedasikan untuk Konsultasi medis
sesegera mungkin pada keadaan berikut : Syok dan Pasien dengan
warning sign khususnya bagi pasien dengan lama penyakit > 4 hari
.
7. Keputusan untuk observasi dan penatalaksanaan :
a. Syok : resusitasi dan rawat inap
b. Pasien dengan hipoglikemia tanpa leukopenia dan/atau
trombositopenia harus diberikan infus glukosa sesegera
mungkin kemudian dilanjutkan dengan pemberian cairan
intravena pemeliharaan yang mengandung glukosa.
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan untuk menentukan
kemungkinan penyebab penyakit. Pasien-pasien ini harus
diobservasi dalam jangka waktu 8-24 jam. Pastikan telah terjadi
perbaikan klinis sebelum pasien dipulangkan, dan pasien
tersebut harus dipantau setiap hari.
c. Pasien-pasien dengan warning sign.
d. Pasien berisiko tinggi dengan leukopenia dan trombositopenia
8. Follow-up : Pasien harus mengerti bahwa masa kritis jusrtu terjadi
pada saat tidak demam dan tindak lanjutnya adalah dengan
pemeriksaan darah lengkap untuk mendeteksi tanda-tanda bahaya
dini, seperti leukopenia, trombositopenia, dan / atau kenaikan
hematokrit. Pemantauan harian diperlukan, kecuali mereka yang
telah kembali aktivitas normal atau jika suhu sudah mulai kembali
turun.

17
2.6.7 Manajemen Syok : DBD derajat III

SSD merupakan syok hipovolemik disebabkan oleh kebocoran


plasma dan ditandai dengan meningkatnya resistensi vaskuler sistemik,
dengan manifestasi tekanan nadi yang menyempit (tekanan sistolik
dipertahankan dengan peningkatan tekanan diastolik, misalnya 100/90
mmHg). Ketika hipotensi muncul, selain kebocoran plasma, kita harus
menduga bahwa mungkin telah terjadi pendarahan yang masif, dimana
yang paling sering adalah perdarahan saluran cerna yang bisa saja tidak
tampak atau tersembunyi.
Perlu dicatat bahwa resusitasi cairan dari SSD berbeda dari syok
yang lain misalnya syok septik . Sebagian besar kasus SSD akan
memberikan respon terhadap pemberian cairan 10 ml/kg (pada anak-
anak) atau 300-500 ml (pada orang dewasa) dalam 1 jam atau bila perlu
secara bolus. Selanjutnya, pemberian cairan harus mengikuti grafik
seperti pada gambar 9. Namun, sebelum memutuskan untuk
mengurangi jumlah cairan IV yang diberikan, kondisi klinis, tanda-
tanda vital , produksi urin dan nilai hematokrit harus diperiksa terlebih
dahulu untuk memastikan perbaikan klinis.
Pemeriksaan laboratorium (ABCS) harus dilakukan pada kasus syok
dan non-syok. Bila terlihat tidak ada perbaikan meskipun penggantian
volume sudah memadai (Kotak 14).

18
Penting diketahui bahwa kecepatan cairan IV dapat dikurangi
jika telah terjadi perbaikan perfusi perifer ; tetapi harus tetap diteruskan
sampai minimum 24 jam dan dapat dihentikan setelah 36-48 jam.
Pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan efusi masif
karena peningkatan permeabilitas kapiler. Algoritme pemberian cairan
untuk pasien dengan SSD dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

2.6.8 Manajemen Syok : DBD derajat IV


Resusitasi cairan awal pada DBD derajat IV harus lebih agresif agar
cepat mengembalikan tekanan darah. Pemantauan laboratorium harus
dilakukan sesegera mungkin untuk menilai ABCS dan keterlibatan
organ. Bahkan hipotensi yang ringan pun harus segera ditangani secara
agresif. 10 ml/kg cairan bolus harus diberikan secepat mungkin,
idealnya dihabiskan dalam waktu 10 sampai 15 menit.
Jika tekanan darah berhasil diperbaiki, cairan intravena lebih lanjut
dapat diberikan sebagaimana penanganan pada derajat III. Jika syok
tidak tertangani setelah pemberian 10 ml/kg pertama, ulangi bolus 10
ml/kg kedua sementara hasil laboratorium harus dikejar dan dikoreksi

19
segera mungkin. Transfusi darah merupakan langkah berikutnya harus
segera dikerjakan (setelah menilai HCT praresusitasi) diikuti dengan
monitoring ketat, misalnya kateterisasi kandung kemih terus menerus,
kateterisasi vena sentral atau intraarterial.
Perlu dicatat bahwa perbaikan pada tekanan darah sangat penting
untuk keberhasilan penanganan dan jika ini tidak dapat dicapai dengan
cepat maka prognosis bisa menjadi buruk. Obat inotropik dapat
digunakan untuk menaikkan tekanan darah, jika pemberian cairan
dianggap cukup adekuat seperti misalnya, tekanan vena sentral tinggi
(CVP), kardiomegali, atau diketahui memiliki fungsi/kontraktilitas
jantung yang buruk.
Jika tekanan darah berhasil dikoreksi setelah pemberian resusitasi
cairan dengan atau tanpa transfusi darah, dan dijumpai adanya
gangguan fungsi organ, maka pasien harus mendapat penanganan
suportif yang sesuai. Contoh penanganan suportif terhadap fungsi organ
adalah dialisis peritoneal, contiuous renal replacement therapy (CRRT)
serta ventilasi mekanik.
Jika akses intravena tidak bisa didapat dengan segera, maka dapat
dicobakan larutan elektrolit oral jika pasien sadar atau cara lain adalah
jalur intraosseous. Akses intraosseous merupakan suatu bagian dari
upaya untuk menyelamatkan nyawa dan harus bisa dicapai dalam 2-5
menit atau jika telah dua kali mengalami kegagalan dalam mencapai
akses vena perifer atau jika jalur oral juga gagal.

20
2.7 Patofisiologi
Virus dengue ditransmisi melalui nyamuk Aedes aegypti atau Aedes
albopictus. Kedua vektor tersebut tersebar meluas di daerah tropis dan subtropis
di berbagai belahan dunia. Virus dengue masuk ke sirkulasi perifer manusia
melalui gigitan nyamuk. Virus tersebut akan masuk ke dalam darah sejak fase
akut/fase demam hingga klinis demam menghilang. Secara klinis fase demam
dibagi menjadi tiga, yaitu fase demam, fase kritis dan fase penyembuhan

21
(Valentino, 2012). Fase demam berlangsung pada hari ke-1 hingga 3, fase kritis
terjadi pada demam hari ke-3 hingga 7 dan fase penyembuhan terjadi setelah
demam hari ke-6 hingga 7.
Perjalanan penyakit tersebut menentukan dinamika perubahan tanda dan
gejala klinis pada pasien dengan infeksi demam berdarah dengue (DBD). Pada
DBD terjadi peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan kebocoran
plasma ke jaringan. Kondisi ini dapat menyebabkan syok hipovolemik.
Peningkatan permeabilitas vaskular akan terjadi pada fase kritis dan
berlangsung maksimal 48 jam. Kebocoran plasma terjadi akibat disfungsi
endotel serta peran kompleks dan sistem imun: monosit dan sel T, sistem
komplemen, serta produksi mediator inflamasi dan sitokin lainnya.
Trombositopena pun terjadi akibat beberapa mekanisme yang kompleks,
seperti gangguan megakariositopoisiesis akibat infeksi sel hematopoetik, serta
peningkatan destruksi dan konsumsi trombosit. Manifestasi perdarahan yang
paling sering dijumpai pada anak ialah perdarahan kulit (petekie) dan mimisan
(epistaksis). Tanda perdarahan lainnya yang patut diwaspadai antara lain
melena, hematemesis, dan hematuria. Apabila kebocoran plasma terjadi secara
masif akan mengakibatkan pasien mengalami syok hipovolemik. Kondisi ini
disebut dengue shock syndrome (DSS) (Suhendro, et al., 2014).
Saat suhu tubuh mulai turun ke 37,5-38oC atau dibawahnya yang terjadi
pada hari ke 3-6 dari perjalanan penyakit, dapat terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler ditandai dengan peningkatan nilai hematokrit. Tanda
tersebut menadai awal terjadinya fase kritis. Leukopenia yang progresif diikuti
dengan penurunan jumlah
Trombosit secara cepat menandai terjadinya kebocoran plasma. Pada fase
ini, pada pasien tanpa peningkatan permeabilitas kapiler akan terjadi perbaikan
klinik sedangkan pada pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler dapat
terjadi perburukan klinik sebagai akibat dari hilangnya volume plasma. Derajat
dari kebocoran plasma tersebut bervariasi. Efusi pleura dan ascites merupakan
tanda adanya kebocoran plasma yang dapat dideteksi. Untuk menegakkan
diagnosis dari keadaan tersebut dapat dilakukan foto polos dada dan USG
abdomen.

22
Derajat dari peningkatan nilai hematokrit pada fase ini biasanya dapat
memperlihatkan keparahan dari adanya kebocoran plasma yang menyebabkan
berkurangnya perfusi darah. Terjadinya syok biasanya didahului dengan adanya
tanda-tanda bahaya. Suhu tubuh saat terjadinya syok dapat subnormal. Bila
terjadi syok yang berkepanjangan dapat terjadi hipoperfusi jaringan, asidosis
metabolik, dan DIC. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perdarahan yang
berat sehingga nilai hematokrit akan turun saat terjadi syok yang berat. Pada
fase ini juga terjadi leukopeni tetapi jumlah leukosit dapat meningkat apabila
terjadi perdarahan berat. Kerusakan organ dapat terjadi seperti hepatitis berat,
encephalitis, atau miokardis.
Pasien-pasien yang mengalami perbaikan setelah fase ini dikelompokkan ke
dalam infeksi dengue yang ringan. Beberapa pasien dapat dikembangkan
menjadi lebih berat dengan adanya kebocoran plasma, pada pasien-pasien
tersebut perlu dilakukan pemeriksaan darah untuk menentukan onset dari fase
kritis dan adanya kebocoran plasma. Pasien-pasien yang mengalami perburukan
klinis pada fase ini akan memberikan tanda-tanda bahaya, pasien-pasien
tersebut dikelompokkan pasien dengue dengan tanda bahaya. Kasus dengue
dengan tanda bahaya dapat mengalami perbaikan klinik dengan terapi rehidrasi
intravena yang efektif dan efesien. Beberapa kasus dapat mengalami
perburukan menjadi dengue berat.

23
Arbovirus (melalui nyamuk aedes Agregasi Trombosit
aegypti)

Pengeluaran ADP
Beredar dalam aliran darah
Penghancuran trombosit oleh RES

Merangsang sistem imun Viremia


Trombositopenia

Mengaktifkan interleukin I dan II Mengaktifkan sistem komplemen


Kapiler Pecah

Mengirim signal ke hipotalamus Pelepasan antilaktosin C3a dan C5a

Petekie dan Epitaksis


Pengeluaran asam arakindonat Pelepasan histamin yang berdistributif
vasoaktif

Pengeluran PGE 2
Permeabilitas dinding pembuluh darah Kerusakan endotel pembuluh darah

Elevated thermoregulatory set point Perpindahan plasma dari intravaskuler


ke ekstraseluler Mengaktivasi faktor pembekuan

Demam Kebocoran Plasma DIC (diiminate Intravaskuler


FDP
Coagulan)

Hipertermi Hipotensi Faktor pembekuan


24
Perfusi kejaringan berkurang Hipovolemia Perdarahan

Anoksia Jaringan Syok Hipovolemik Resiko Perdarahan

Metabolisme Anaerob
Paru-paru

Asidosis Metabolik Efusi Pleura

Suara pernapasan ronchi


Aliran darah ke ginjal

Ketidkefektifan pola nafas


Tahanan arterial aferen

Pengurangan laju filtrasi


glomerulus dengan aldosteron dan
vasopresor

Produksi urin

Kekurangan Volume Cairan

25
2.8 Pengobatan

2.8.1 Syok Terkompensasi

Suatu tantangan penting bagi tenaga kesehatan yaitu bagaiamana


mengenali tahapan tahapan syok. Tahapan syok yaitu syok terkompensasi
dan dekompensasi. Syok terkompensasi terjadi pada pasien yang sudah
bisa diidentifikasi tenaga medis pun sudah bisa memberikan terapi cairan
yang adekuat sehingga syok dekompensasi tidak terjadi.
Syok dengue merupakan satu rangkaian proses fisiologis, adanya
hipovolemi menyebabkan tubuh melakukan mekanisme kompensasi
melalui neurohumoral agar tidak terjadi hipoperfusi pada organ vital.
Sistem kardiovaskular mempertahankan sirkulasi melalui peningkatan isi
sekuncup (stroke volume), laju jantung (heart rate), dan vasokonstriksi
perifer.
Pada fase ini tekanan darah biasanya belum turun, namun sudah
terjadi peningkatan laju jantung. Oleh karena itu takikardia yang terjadi
pada saat suhu tubuh mulai turun, walaupun tekanan darah belum banyak
menurun, Itulah kepentingan mengapa tanda-tanda vital pada pasien DBD
perlu dilakukan lebih intensif. Begitu ada tanda takikardia, segera waspada
kemungkinan pasien mengalami syok terkompensasi. Namun, pada
beberapa pasien perlu diingat bahwa bisa saja pasien sudah mengalami
syok terkompensasi namun takikardia tidak terjadi, khususnya remaja dan
dewasa.
Tahap selanjutnya, apabila perembesan plasma terus berlangsung
atau pengobatan yang diberikan tidak adekuat, kompensasi dilakukan
dengan mempertahankan sirkulasi ke arah organ vital dengan mengurangi
ke daerah perifer (vasokonstriksi perifer), secara klinis ditemukan
ekstremitas teraba dingin dan lembab, sianosis, kulit tubuh menjadi
bercak-bercak (mottled), pengisian waktu kapiler (capillary refill time)
memanjang yaitu lebih dari dua detik. Dengan adanya vasokonstriksi
perifer, terjadi peningkatan resistensi perifer sehingga tekanan diastolik

28
meningkat sedang tekanan sistolik tetap sehingga tekanan nadi (perbedaan
tekanan antara sistolik dan diastolik) akan menyempit kurang dari 20
mmHg. Pada tahap ini sistem pernapasan melakukan kompensasi berupa
quite tachypnea (takipnea tanpa peningkatan kerja otot pernapasan).
Kompensasi sistem keseimbangan asam basa berupa asidosis metabolik
namun nilai pH masih normal dengan tekanan karbon dioksida rendah dan
kadar bikarbonat rendah. Pemberian cairan yang adekuat pada umumnya
akan memberikan prognosis yang baik. Bila pada keadaan kritis kurang
dari pengamatan sehingga pengobatan tidak diberikan dengan cepat dan
tepat, maka pasien akan jatuh kedalam syok dekompensasi.

Terapi Syok Terkompensasi

Pasien yang mengalami syok terkompensasi harus segera mendapat


pengobatan sebagai berikut:

1) Berikan terapi oksigen 2–4 L/menit


2) Berikan resusitasi cairan dengan cairan kristaloid isotonik intravena
dengan jumlah cairan 10–20 mL/kgBB dalam waktu 1 jam. Kemudian
periksa hematokrit.
3) Bila syok teratasi, berikan cairan dengan dosis 10 mL/kgBB/jam
selama 1–2 jam.
4) Bila keadaan sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara
bertahap menjadi 7.5, 5, 3, 1.5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah
24–48 jam pasca resusitasi, cairan intravena sudah tidak diperlukan.
5) Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan yang diberikan secara
intravena bila masukan cairan melalui oral makin membaik.
6) Bila syok tidak teratasi, periksa analisis gas darah, hematokrit, kalsium
dan gula darah untuk menilai kemungkinan adanya A-B-C-S (A =
asidosis, B = bleeding/perdarahan, C = calcium, S= sugar/gula darah)
yang memperberat syok hipovolemik. Apabila salah satu atau beberapa
kelainan tersebut ditemukan, segera lakukan koreksi

29
2.8.2 Syok Dekompensasi

Salah satu tanda klinis penting dari syok dekompensasi adalah telah
terjadi penurunan tekanan darah, hipotensi. Jika hipotensi sudah terjadi,
itu artinya pasien sudah terlambat datang. Upaya ekstra dibutuhkan untuk
menjaga pasien tetap hidup. Dan tentu saja risiko pasien mengalami
kematian akan meningkat. Pada keadaan syok dekompensasi, upaya
fisiologis tubuh untuk mempertahankan sistem kardiovaskular telah
gagal, pada keadaan ini tekanan sistolik dan diastolik telah menurun,
disebut syok hipotensif.

Selanjutnya apabila pasien terlambat berobat atau pemberian


pengobatan tidak adekuat akan terjadi profound shock yang ditandai
dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak teratur, sianosis makin
jelas terlihat.

Pada pasien yang sedang dalam perawatan, temuan adanya hipotensi


merupakan hal yang terlambat karena tanda hipotensi sudah masuk ke
dalam syok dekompensasi, kolaps kardiorespirasi akan segera terjadi.
Deteksi dini syok terkompensasi dan terapi yang cepat dan tepat
memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan syok
dekompensasi.

Salah satu tanda perburukan klinis yang utama adalah adanya


perubahan kondisi mental karena penurunan perfusi otak. Pasien menjadi
gelisah, bingung, atau letargi. Kejang dan agitasi mungkin terjadi
bergantian dengan letargi.

Pada beberapa kasus anak-anak dan dewasa muda, pasien tetap


memiliki status mental yang baik walaupun sudah mengalami syok.
Ketidakmampuan bayi dan anak-anak untuk mengenali atau melakukan
kontak mata dengan orang tua, atau tidak memberi respons terhadap
rangsang nyeri seperti pada saat pengambilan darah, dapat merupakan
pertanda buruk yaitu awal terjadinya hipoperfusi korteks serebri.

30
Syok hipotensif berkepanjangan dan hipoksia menyebabkan asidosis
metabolik berat, kegagalan organ multipel serta perjalanan klinis yang
sangat sulit diatasi. Perjalanan dari ditemukannya warning signs sampai
terjadi syok terkompensasi, dan dari syok terkompensasi menjadi syok
hipotensi dapat memakan waktu beberapa jam. Akan tetapi dari syok
hipotensif sampai kolaps kardiorespirasi dan henti jantung bisa terjadi
hanya dalam hitungan menit.

Pasien DBD berat memiliki derajat kelainan koagulasi yang


bervariasi, tetapi hal ini pada umumnya tidak sampai menyebabkan
perdarahan masif. Terjadinya perdarahan masif hampir selalu
berhubungan dengan profound shock yang bersama - sama dengan
trombositopenia, hipoksia serta asidosis dapat menyebabkan kegagalan
organ multipel dan koagulasi intravaskular diseminata. Perdarahan masif
tanpa profound shock dapat terjadi oleh karena penggunaan asam asetil
salisilat (aspirin), ibupofren, atau kortikosteroid. Oleh karena itu
hindarilah penggunaan obat-obatan tersebut. Perdarahan juga mungkin
terjadi pada pasien dengan ulkus duodenum. Gagal hati akut, gagal ginjal
akut dan ensefalopati bisa terjadi pada syok berat. Kardiomiopati dan
ensefalitis juga telah dilaporkan dalam sejumlah laporan seri kasus
dengue.

Pada sebagian besar kematian akibat dengue terjadi diakibatkan


profound shock yang dipersulit oleh perdarahan atau pemberian cairan
berlebih. Pasien dengan kebocoran plasma hebat mungkin saja tidak
jatuh pada kondisi syok jika telah dilakukan penggantian cairan sesegera
namun mungkin timbul gangguan pernapasan akibat terapi cairan
intravena yang berlebih.

31
Terapi Syok Dekompensasi

Pada pasien dengan syok dekompensasi, perburukan klinis sudah


terjadi. Kondisi sudah sulit bagi pasien dan dokter. Pada kondisi ini,
tatalaksana syok dekompensasi harus dilakukan dengan sangat intensif.
Syok dekompensasi perlu mendapat tindakan yang cepat dan segera,
pertolongan yang terlambat akan mengakibatkan pasien jatuh ke dalam
kondisi profound shock yang memiliki prognosis yang buruk.

Apabila saat berobat pasien sudah dalam syok dekompensasi,


baik yang masih dalam fase hipotensif maupun yang sudah jatuh ke
dalam profound shock, maka diberikan pengobatan sebagai berikut:

1) Berikan oksigen 2–4 L/menit


2) Lakukan pemasangan akses vena, apabila dua kali gagal atau lebih
dari 3–5 menit, berikan cairan melalui prosedur intraosseus
3) Berikan cairan kristaloid dan/atau koloid 10–20 mL/kgBB secara
bolus dalam waktu 10–20 menit. Pada saat bersamaan usahakan
untuk melakukan pemeriksaan hematokrit, analisis gas darah, gula
darah, dan kalsium.
4) Apabila syok telah teratasi, berikan cairan kristaloid dengan dosis 10
mL/kgBB/jam selama 1–2 jam.
5) Apabila keadaan sirkulasi masih stabil, berikan larutan kristaloid
dengan jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi 7.5, 5, 3, 1.5
mL/kgBB/jam. Kebanyakan, setelah 24–48 jam pasca resusitasi,
cairan intravena sudah tidak lagi diperlukan. Pertimbangkan untuk
mengurangi jumlah cairan yang diberikan secara intravena bila
masukan cairan melalui oral sudah semakin baik.
6) Apabila syok belum teratasi periksa ulang hematokrit, jika
hematokrit tinggi diberikan kembali bolus kedua. Koreksi apabila
asidosis, hipoglikemia atau hipokalsemia

32
7) Bila hematokrit rendah atau normal dan ditemukan tanda perdarahan
masif, diberikan transfusi darah segar (fresh blood) dengan dosis 10
mL/kgBB atau fresh packed red cell dengan dosis 5 mL/kgBB. Jika
nilai hematokrit rendah atau turun namun tidak ditemukan tanda
perdarahan maka berikan bolus kedua, tapi apabila tidak membaik
maka pertimbangkan untuk pemberian transfusi darah.
8) Pada syok berat (prolonged shock, recurrent shock, profound shock),
perdarahan masif, ensefalopati/ensefalitis, atau gagal napas, yang
sulit diatasi diperlukan perawatan di unit perawatan intensif.

2.9 Penanganan syok


Dalam keadaan renjatan berat diberikan cairan ringer laktat secara tepat
(diguyur) selama 30 menit. Apabila syok tidak teratasi dan/atau keadaan klinis
memburuk, ganti cairan dengan koleksi 10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah
maksimal 30 ml/kgBB. Setelah perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan
kristaloid (tetesan 20 ml/kgBB). Bila dengan cairan koloid dan kristaloid syok
belum teratasi sedangkan kadar hematokrit tetap, diduga telah terjadi
perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar
Ht tetap > 40 vol%, diberikan darah sebanyak 10 ml/kgBB/jam, tetapi bila
perdarahan masif berikan 20 ml/kgBB. Bila renjatan tidak berat diberikan cairan
dengan kecepatan 20 ml/kgBB/jam.

Bila renjatan sudah diatasi, nadi sudah jelas teraba, amplitido nadi cukup
besar, tekanan sistolik 80 mmHg atau lebih, maka kecepatan tetesan dikurangi
menjadi 10 ml/kgBB/jam. Kecepatan pemberian cairan selanjutnya disesuaikan
dengan gejala klinis dan nilai hematokrit yang diperiksa periodik. Evaluasi
klinis, nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu, dan pengeluaran urin dilakukan
lebih sering.
Perlu dilakukan monitoring, yaitu:
1) Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30
menit atau lebih, sampai syok teratasi.
2) Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien

33
stabil.
3) Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan mengenai jenis
cairan, jumlah, dan tetesan, untuk mengetahui apakah cairan yang diberikan
sudah mencukupi.
4) Dieuresis dipantau. Bila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam,
sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, berikan
furosemide 1 ml/kgBB. Bila diuresis tetap belum mencukupi, pada ummnya
syok belum teratasi dengan baik, maka pemasangan central venous pressure
(CVP) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian plasma selanjutnya.
Cairan intravena dapat dihentikan bila Ht telah turun sekitar 40 vol%.
Jumlah urin 12 ml/kgBB/jam atau lebih menandakan keadaan sirkulasi
membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam sejak
syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan pada saat reabsorpsi plasma dari
ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematocrit setelah pemberian
cairan rumatan), maka akan menyebabkan hypovolemia, dengan akibat terjadi
edema paru dan gagal jantung. Penurunan Ht jangan dianggap sebagai tanda
perdarahan tapi disebabkan hemodilusi. Nadi yang kuat, diuresis cukup, tanda
vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorpsi.
Pada pasien gelisah, berikan kloralhidrat per oral atau per rektal dengan
dosis 12,5-50 mg/kgBB (tidak melebihi 1 gram. Terapi dengan oksigen 2 liter
per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.
2.10 Pencegahan
2.10.1 Pencegahan primer
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan
yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan
tersier. Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah
orang yang sehat menjadi sakit.

2.10.1.1 Surveilans Vektor

34
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat
penting untuk menentukan distribusi, kepadatan populasi,
habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu dan
tempat yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan
tingkat kerentanan atau kekebalan insektisidayang dipakai,
untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk
pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan
memudahkan pemilihan dan penggunaan sebagian besar
peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk
memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan yang
dilakukan adalah survei jentik. Survei jentik dilakukan
dengan cara melihat atau memeriksa semua tempat atau
bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti dengan mata telanjang untuk
mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu dengan cara visual.
Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya
jentik disetiap tempat genangan air tanpa mengambil
jentiknya. Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui
kepadatan jentik Aedes aegypti adalah :

1) House Indeks (HI), yaitu persentase rumah yang


terjangkit larva dan atau pupa. HI = Jumlah Rumah
Yang Terdapat Jentik x 100% Jumlah Rumah yang
Diperiksab.
2) Container Indeks (CI), yaitu persentase container yang
terjangkit larva atau pupa. CI = Jumlah Container Yang
Terdapat Jentik x 100% Jumlah Container Yang
Diperiksa.
3) Breteau Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif
per-100 rumah yang diperiksa. BI = Jumlah Container
Yang Terdapat Jentik x 100 rumah Jumlah Rumah Yang
Diperiksa Dari ukuran di atas dapat diketahui

35
persentase Angka Bebas Jentik (ABJ), yaitu jumlah
rumah yang tidak ditemukan jentik per jumlah rumah
yang diperiksa. ABJ = Jumlah Rumah Yang Tidak
Ditemukan Jentik x 100% Jumlah Rumah Yang
Diperiksa Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
merupakan bentuk evaluasi hasil kegiatan yang
dilakukan tiap 3 bulan sekali disetiap desa/kelurahan
endemis pada 100 rumah/bangunan yang dipilih secara
acak (random sampling). Angka Bebas Jentik dan
House Indeks lebih menggambarkan luasnya
penyebaran nyamuk disuatu wilayah.
2.10.1.2 Pengendalian vektor

Pengendalian vektor adalah upaya untuk


menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti.
Secara garis besar ada 3 cara pengendalian vektor yaitu:

1) Pengendalian Cara Kimiawi


Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida
yang ditujukan pada nyamuk dewasa atau larva.
Insektisida yang dapat digunakan adalah dari
golongan organoklorin, organofosfor, karbamat, dan
pyrethoid. Bahan-bahan insektisida dapat
diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray)
terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang
dapat digunakan terhadap larva Aedes aegypti yaitu
dari golongan organofosfor (Temephos) dalam bentuk
sand granules yang larut dalam air di tempat
perindukan nyamuk atau sering disebut dengan
abatisasi.
2) Pengendalian Hayati / Biologik

36
Pengendalian hayati atau sering disebut dengan
pengendalian biologis dilakukan dengan
menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan
mikroorganisme hewan invertebrate atau vertebrata.
Sebagai pengendalian hayati dapat berperan sebagai
patogen, parasit dan pemangsa. Beberapa jenis ikan
kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus
(Gambusia affinis) adalah pemangsa yang cocok
untuk larva nyamuk. Beberapa jenis golongan cacing
nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan
Romanomarmis culiforax merupakan parasit yang
cocok untuk larva nyamuk.
3) Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa
cara antara lain dengan mencegah nyamuk kontak
dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada
pintu, lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian
rumah. Hindari menggantung pakaian di kamar
mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang tidak
terjangkau sinar matahari.
2.10.1.3 Surveilans kasus
Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan
surveilans aktif maupun pasif. Di beberapa negara pada
umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun sistem
surveilans pasif tidak sensitif dan memiliki spesifisitas
yang rendah, namun sistem inin berguna untuk
memantau kecenderungan penyabaran dengue jangka
panjang. Pada surveilans pasif setiap unit pelayanan
kesehatan ( rumah sakit, Puskesmas, poliklinik, balai
pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan
melaporkan setiap penderita termasuk tersangka DBD

37
ke dinas kesehatan selambat-lambatnya dalam waktu 24
jam. Surveilans aktif adalah yang bertujuan memantau
penyebaran dengue di dalam masyarakat sehingga
mampu mengatakan kejadian, dimana berlangsung
penyebaran kelompok serotipe virus yang bersirkulasi,
untuk mencapai tujuan tersebut sistem ini harus
mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik.
Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan peringatan
dini atau memiliki kemampuan prediktif terhadap
penyebaran epidemi penyakit DBD.
2.10.1.4 Gerakan pemberantasan sarang nyamuk
Gerakan PSN adalah keseluruhan kegiatan yang
dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah untuk
mencegah penyakit DBD yang disertai pemantauan
hasilhasilnya secara terus menerus. Gerakan PSN DBD
merupakan bagian terpenting dari keseluruhan upaya
pemberantasan penyakit DBD, dan merupakan bagian
dari upaya mewujudkan kebersihan lingkungan serta
prilaku sehat dalam rangka mencapai masyarakat dan
keluarga sejahtera. Dalam membasmi jentik nyamuk
penularan DBD dengan cara yang dikenal dengan istilah
3M, yaitu :
1) Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat
minum hewan peliharaan minimal sekali dalam
seminggu.
2) Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian
rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk
dewasa.
3) Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak
terpakai, yang semuanya dapat menampung air hujan

38
sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes
aegypti.
2.10.2 Pencegahan sekunder
Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1) Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit
DBD, berikan pertolongan pertama dengan banyak minum,
kompres dingin dan berikan obat penurun panas yang tidak
mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau unit
pelayanan kesehatan.
2) Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan
pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan segaera melaporkan
penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut kepada
Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan
segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan
penyakit dilokasi penderita dan rumah disekitarnya untuk
mencegah kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara.
3) Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi
dan kejadian luar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas
Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara
penanggulangan seperlunya.
2.11 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk screening dengan periksa


kadar hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), trombosit, leukosit. Pemeriksaan
sediaan darah tepi menunjukkan limfositosis relatif disertai gambaran
limfosit plasma biru. Kadar leukosit dapat normal atau menurun mulai hari
ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45% jumlah leukosit total) disertai
limfosit plasma biru (LPB >15% total leukosit) yang pada fase syok akan
meningkat. Trombosit umumnya menurun pada hari ke-3 hingga ke-8.
Pemeriksaan hematokrit untuk menentukan kebocoran plasma dengan
peningkatan kadar hematokrit >20% kadar hematokrit awal.

39
Diagnosis pasti dapat tegak bila didapatkan hasil isolasi virus
dengue (cell culture) atau deteksi antigen virus RNA dgn teknik Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction namun teknik ini rumit.
Pemeriksaan lain yaitu tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi
spesifik terhadap dengue. Berupa antibodi total, IgM yang terdeteksi mulai
hari ke-3 sampai ke-5, meningkat smpai minggu 3, dan menghilang setelah
60-90 hari. IgG terbentuk pada hari ke-14 pada infeksi primer, dan
terdeteksi pada hari ke-2 pada infeksi sekunder.

Pemeriksaan lain menunjukkan SGOT dan SGPT dapat meningkat.


Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya
fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan
fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. aPTT
dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Asidosis
metabolik dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat.

Pada pemeriksaan radiologis pada posisi lateral dekubitus kanan


bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi
pleura berhubungan dengan berat-ringannya penyakit. Pada pasien syok,
efusi pleura dapat ditemukan bilateral.

40
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus

Seorang anak berusia 8 tahun dirawat di ruang intensive care sebuah


rumah sakit, pasien mengalami demam naik turun sudah 3 hari, kesadaran
cenderung tidur, bicara pelan, sesekali tampak meringis. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan BB: 25 kg, TD: 84/55 mmhg, N: 96x/mnt, S: 36,5 derajat
celcius, terpasang O2 reabreathing masker 8 rpm, tampak edema pada area
orbita, tampak tanda perdarahan dibawah kulit (petechieI) ronchi basal
didapatkan pada kedua lapang paru, BAK 20cc/jam, Intake 800, output 400,
nyeri tekan pada kandung kemih. Pada pemeriksaan lab didapatkan:

Pemeriksaan
Hemaglobin 14,4
Hematokrit 49,1
Leukosit 8.060
Trombosit 17
Eritrosit 5,4
PH 7,3

Terapi :
1) Omeperazol PO 1x1cap
2) Novalgin prn PO 1 cth
3) Infurs RA 100cc/jam
4) Infus Kaen 4B 100cc/jam

3.1.1 Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama : An.
Usia : 8 tahun

41
Jenis Kelamin :-
2. Identitas Penanggung Jawab
3. Keluhan utama
Klien mengalami demam naik turun
4. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengalami demam naik turun sudah 3 hari, kesadaran
cenderung tidur, bicara pelan, sesekali tampak meringis. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan BB: 25 kg, TD: 84/55 mmhg, N:
96x/mnt, RR: 33x/mnt, S: 36,5 derajat celcius, terpasang O2
reabreathing masker 8 rpm, tampak edema pada area orbita,
tampak tanda perdarahan dibawah kulit (petechieI), ronchi basal
didapatkan pada kedua lapang paru, BAK 20cc/jam, Intake 800,
output 400, nyeri tekan pada kandung kemih.
b. Riwayat kesehatan dahulu
c. Riwayat kesehatan Keluarga
5. Pola Aktivitas sehari-hari
6. Pemeriksaan Fisik
a. Penampilan Umum
Kesadaran : cenderung tidur (somnolen), bicara pelan dan
sesekali tampak meringis.
TTV : TD : 84/55 mmhg, N: 96x/mnt, S: 36,5 C, RR:
33x/mnt
b. Sistem Pernapasan
Pada klien terdapat suara ronchi basal pada kedua lapang paru,
RR: 33x/mnt, dan terpasang O2 reabreathing masker 8 rpm.
c. Sistem kardiovaskuler
d. Sistem persarafan
e. Sistem Endokrin
f. Sistem genitourinaria

42
BAK 20cc/jam, Intake 800, output 400, nyeri tekan pada
kandung kemih.
g. Sistem Muskuloskeletas
h. Sistem Integumen
Tampak tanda perdarahan dibawah kulit (petechieI).
i. Sistem Wicara dan THT
7. Data Psikologis
8. Data sosial
9. Data spiritual
10. Data penunjang
a. Laboratorium :
Pemeriksaan
Hemaglobin 14,4
Hematokrit 49,1
Leukosit 8.060
Trombosit 17
Eritrosit 5,4
PH 7,3

b. Terapi yang diberikan:


1) Omeperazol PO 1x1cap
2) Novalgin prn PO 1 cth
3) Infurs RA 100cc/jam
4) Infus Kaen 4B 100cc/jam

3.1.2 Analisa Data


Data Fokus Etiologi Problem
DS: Permeabilitas dinding Syok
pembuluh darah
DO:

Perpindahan plasma dari


intravaskuler ke ekstraseluler

43
- Kesadaran klien
cenderung tidur. Kebocoran Plasma
- TD : 84/55 mmhg,
N: 96x/mnt.
- Hemaglobin 14,4
Hipotensi
g/dl
- tampak tanda Hipovolemia
perdarahan dibawah
kulit (petechieI). Syok
- Trombosit 17 g/dl
- Eritrosit 5,4 g/dl
- HT: 49,1 g/dl
DS: Perpindahan plasma dari Kekurangan Volume
intravaskuler ke ekstraseluler Cairan
DO:
- BAK 20cc/jam. Kebocoran Plasma

- Intake 800 dan Hipotensi


output 400. Aliran darah ke ginjal
- TD : 84/55 mmhg
Tahanan arterial aferen

Pengurangan laju filtrasi


glomerulus dengan aldosteron
dan vasopresor

Produksi urin

Kekurangan Volume Cairan

DS: Kebocoran Plasma Ketidkefektifan pola nafas


DO:
Paru-paru
- Pada klien terdapat
Efusi Pleura
suara ronchi basal
pada kedua lapang Suara pernapasan ronchi

paru. Ketidkefektifan pola nafas


- RR: 33x/mnt

44
- terpasang O2
reabreathing masker
8 rpm.

3.1.3 Intervensi Keperawatan


1. Dx 1 : Syok hipovolemik b.d kebocoran plasma
NOC:
a. Nadi dalam batas yang diharapkan
b. Demam tidak ditemukan
c. TD dalam batas normal
d. Hematokrit dalam batas normal
e. Kesadaran kembali normal
NIC:
a. Monitor tanda awal syok
b. Lihat dan pelihara kepatenan jalan napas
c. Monitor tekanan nadi
d. Monitor status cairan input dan output
e. Catat gas darah arteri dan oksigen
f. Pantau gejala gagal pernapasan seperti rendahnya PaO2 dan
peningkatan PCO2
g. Monitor nilai laboratorium HB. Ht, AGD serta Elektrolit
h. Berikan cairan IV yang tepat
2. Dx 2 : Ketidakefektifan pola nafas b.d efusi pleura
NOC:
a. Menunjukan jalan napas yang paten (klien tidak merasa
tercekik, irama nafas, frekuensi pernapasan dalam rentang
normal, tidak ada suara napas abnornal).
b. Tanda-tanda vital dalam rentang normal.
NIC:
a. Identifikasi perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan

45
b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
c. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara nafas tambahan
d. Keluarkan sekret dengan suction
e. Monitor respirasi dan saturasi O2
f. Monitor aliran oksigen
g. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
3. Dx 3 : Kekurangan volume Cairan b.d Perpindahan plasma dari
intravaskuler ke ekstraseluler
NOC:
a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, HT
normal
b. Vital sign dalam batas normal
c. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas
NIC:
a. Monitor status cairan termasuk intake dan output cairan
b. Pelihara IV line
c. Monitor tingkat Hb dan Hematokrit
d. Monitor tanda vital
e. Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan
f. Monitor berat badan
g. Pemberian cairan IV
h. Monitor adanya tanda dan gejala kelebihan volume cairan
i. Monitor adanya tanda gagal ginjal.

46
BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling


banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh
dunia, dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta dan angka
kematian berkisar 24.000. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome)
adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh tanda renjatan atau syok
dapat berakibat fatal. Kegawatdaruratan DBD dinyatakan sebagai salah satu
masalah kesehatan global.

47
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan
tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Keadaan
tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka
akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi,namun bila daya tahan rendah
maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan
kematian.

Pengobatan SSD bersifat suportif. Resusitasi cairan merupakan terapi


terpenting. Tatalaksana berdasarkan atas adanya perubahan fisiologi berupa
perembesan plasma dan perdarahan. Deteksi dini terhadap adanya perembesan
plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok.
Pemilihan jenis cairan danjumlah yang akan diberikan merupakan kunci
keberhasilan pengobatan. Penegakkan diagnosis DBD secara dini dan
pengobatan yang tepat dancepat akan menurunkan angka kematian DBD.

48
DAFTAR PUSTAKA

Franciscus Ginting, dkk. 2011. Pedoman Diagnostik Dan Tatalaksana Infeksi


Dengue Dan Demam Berdarah Dengue Menurut Pedoman Who 2011.
Universitas Andalas.

Huda, amin nurarif dkk. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan, berdasarkan


diagnosa medis nanda NIC-NOC. Jilid 1. Jogjakarta: Mediaction
Indah Sandy Simorangkir S.Ked-Kepaniteraan Klinik Penyakit Dalam RS.Otorita
Batam-Des’09 FK Univ Trisakti.
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006.
Suhendro, et.al. 2014. Demam Berdarah Dengue, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
edisi ke-4. p.1709-1710. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan.
Departemen Kesehatan RI. 2005.
Prof (Dr) Jagdish Prasad. 2015 .National Guidelines for Clinical Management of
Dengue Fever. Goverment India

49

Anda mungkin juga menyukai