1
BAB I
PENDAHULUAN
2
sihati dan diperparah oleh berkurangnya aliran darah ke hati, menyebabkan hati
akan memproduksi laktat dalam keadaan anaerob. Kadar laktat darah telah
banyak dipelajari dan digunakan sebagai penanda biokimia adanya hipoksia
jaringan pada keadaan sakit gawat. Pengukuran laktat serial dapat memprediksi
kemungkinan timbulnya syok septik dan gagal organ multipel lebih baik
dibandingkan pengukuran variabel - variabel transport oksigen. Kadar laktat
darah juga merupakan indikator yang lebih sensitif untuk daya tahan hidup
dibandingkan dengan nilai curah jantung, hantaran oksigen, Tumor necrosis
factor α (TNF α ) dan interleukin-6 (IL-6).
Pemeriksaan kadar laktat serial dilaporkan memberikan kontribusi yang
besar untuk pengobatan dan prognosis pasien secara individual. Bakker dkk
menemukan bahwa pemeriksaan kadar laktat awal darah tidak berbeda diantara
pasien syok sepsis yang bertahan hidup dan meninggal, tetapi terdapat penurun
kadar laktat signifikan pada pasien yang bertahan hidup. Puspajono dkk
menyimpulkan bahwa kadar laktat serial dapat dipakai untuk evaluasi
bertambah beratnya derajat penyakit dan evaluasi tatalaksana SSD. Setiati dkk
mendapatkan kadar laktat sebesar 5,3 mmol/L sebagai penanda prognosis buruk
pada DBD berat, sedangkan Siswanto menggunakan kadar laktat sebesar 2,5
mmol/Luntuk prognosis kematian pasien sepsis. Puspanjono dkk melakukan
penelitian kadar laktat serial dan mendapatkan laktat darah abnormal
(>2mmol/L) sebesar 73% dalam 24 jam pertama kelompok SSD.
Kadar laktat darah telah banyak dipelajari dan digunakan sebagai penanda
biokimiawi adanya hipoksia, indikator beratnya penyakit, monitor terapi syok
dan sebagai indikator prognostik pada sakit gawat. Saat ini kadar laktat dengan
mudah dapat diukur secara bedside atau langsung disisi pasien dengan
menggunakan alat analitik otomatis. Pemeriksaan kadar laktat darah serial
merupakan indikator yang sangat sensitif untuk mengevaluasi derajat berat
hipoksia akibat syok. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini karena
penelitian laktat serial pada SSD masih terbatas dan belum ada yang meneliti
laktat serial pada SSD berdasarkan tahapan syoknya yaitu terkompensai dan
dekompensasi.
3
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana Pengertian Demam Berdarah ?
2. Bagaimana Etiologi Demam Berdarah ?
3. Bagaimana Manifestasi Klinik Demam Berdarah ?
4. Bagaimana Klasifikasi Demam Berdarah ?
5. Apa saja Komplikasi Demam Berdarah ?
6. Bagaimana Penatalaksanaa Demam Berdarah ?
7. Bagaimana Patofisiologi Demam Berdarah ?
8. Bagaimana Pengobatan Demam Berdarah ?
9. Bagaimana Penanganan pada Syok ?
10. Bagaimana Pencegahan Demam Berdarah ?
11. Apa saja Pemeriksaan Penunjang Demam Berdarah ?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana pengertian Demam Berdarah.
2. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana Etiologi Demam Berdarah.
3. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana Manifestasi Klinik Demam
Berdarah.
4. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana Klasifikasi Demam Berdarah.
5. Mahasiswa/wi dapat memahami apa saja Komplikasi Demam Berdarah.
6. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana Penatalaksanaa Demam
Berdarah.
7. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana Patofisiologi Demam Berdarah.
8. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana Pengobatan Demam Berdarah.
9. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana Penanganan pada Syok.
10. Mahasiswa/wi dapat memahami bagaimana Pencegahan Demam Berdarah
11. Mahasiswa/wi dapat memahami apa saja Pemeriksaan Penunjang Demam
Berdarah.
4
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Demam Dengue adalah penyakit febris virus akut yang seringkali disertai
dengan gejala sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan
lekopenia. Demam Berdarah Dengue ditandai dengan manifestasi klinis utama
yaitu demam tinggi, fenomena hemoragik, sering dengan hepatomegalidan
pada kasus berat ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Pasien dapat mengalami
syok hipovolemik(penurunan cairan) akibat kebocoran plasma. Syok ini
disebut DengueShock Syndrome(DSS) dan dapat menjadifatal yaitu kematian.
5
2.2 Etiologi
6
bisa ada gejala nyeri tenggorok, infeksi pada konjungtiva. Anoreksia,
mual, muntah, sering juga dikeluhkan. Sulit membedakan demam
karena infeksi virus dengue dan demam dengue paada fase awal seperti
ini, tapi dengan positifnya uji torniquet meningkatkan kemungkinan
demam dengue.
2.3.2 Fase Kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis, anak terlihat seakan sehat,
hati-hati karena fase tersebut dapat sebagai awal kejadian syok. Hari ke
3-7 adalah fase kritis. Dimana kebocoran plasma bisa terjadi kurang
dari 24-48 jam.
Pada fase ini, pasien yang tidak mengalami kebocoran plasma akan
membaik keadaannya, sedangkan yang mengalami kebocoran plasma
akan sebaliknya karena kehilangan volume plasma. Acites dan efusi
pleura bisa terdeteksi tergantung dari keparahan kebocoran plasma dan
volume terapi cairan.
2.3.3 Fase Resolusi
Bila dalam waktu 24-48 jam pasien berhasil melewati fase kritis,
keadaan umum dan nafsu makan membaik, status hemodinamik stabil
semua nilai laboratorium kembali normal.
7
2.4 Klasifikasi
Menurut (Agiza, 2011) membagi demam berdarah menjadi 4 :
2.4.1 Derajat I
Pada derajat I, terjadi demam diikuti gejala yang tidak spesifik. Satu
– satunya cara untuk mengetahui manifestasi pendarahan adalah melalui
tes tourniquet yang menunjukan hasil positif atau kulit mudah memar
2.4.2 Derajat II
Setelah gejala yang ada pada tingkat I, kemudian berlanjut pada
peristiwa pendarahan spontan yang timbul pada kulit atu tempat lain.
2.4.3 Derajat III
Pada derajat ini, terjadi kegagalan sirkulasi yang ditandai oleh
denyut nadi yang cepat dan lemah, hipotensi, suhu tubuh yang rendah,
kulit lembab, dan penderita gelisah.
2.4.4 Derajat IV
Penderita pada derajat IV akan mengalami syok berat dengan nadi
yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa. Fase kritis
pada penyakit ini terjadi pada akhir masa demam.
Setelah penderita DBD mengalai demam selama 2-7 hari, penurunan
suhu biasanya disertai dengan tanda – tanda gangguan sirkulasi darah,
seperti berkeringat, gelisah, tangan dan kakinya dingin, serta mengalami
perubahan tekanan darah ataupun denyut nadi. Pada kasus yang tidak
terlalu berat, gejala – gejala tersebut hampir tidak terlihat, yang
menandakan telah terjadi kebocoran plasma yang ringan.
Akan tetapi, jika kehilangan plasma hebat, maka akan terjadi syok
berat, bahkan kematian bila tidak segera ditangani. Kondisi yang buruk
bisa segera ditangani dengan diagnosis dini dan pemberian cairan
pangganti. Dalam kasus ini, trombositopeni dan hemokonsentrasi sudah
dapat dideteksi sebelum demam turun dan terjadi syok.
Dengan pemberian cairan pengganti, kondisi penderita akan segera
membaik. Pada syok yang berat sekalipun, penderita akan membaik
dalam 2-3 hari. Tanda – tanda adanya perbaikan adalah jumlah urine
yang cukup dan kembalinya nafsu makan.
8
Syok yang tidak dapat diatasi biasanya berhubungan dengan
keadaan lain, seperti asidosis metabolic dan pendarahan hebat pada
saluran cerna atau organ lain. Sementara itu, pendarahan yang terjadi
pada otak dapat menyebabkan penderita kejang dan jatuh dalam keadaan
koma.
2.5 Komplikasi
1) Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada DBD dengan syok ataupun tanpa
syok.
2) Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut.
3) Edema paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan.
2.6 Penatalaksanaan
• Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu,
dll
Pada pasien demam dengue, saat suhu turun pada umumnya merupakan
tanda penyembuhan. Semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang
dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena
kemungkinan sulit membedakan antara demam dengue dan demam berdarah
pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada
demam dengue akan terjadi penyembuhan sedangkan pada demam berdarah
terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Tidak ada terapi spesifik untuk
9
demam berdarah dengue, prinsip utama adalah terapi suportif yaitu
pemeliharaan volume cairan sirkulasi akibat kebocoran plasma.
10
>20% dan nilai trombosit <100.000 lanjutkan pemberian cairan sesuai
yang di anjurkan.
11
2.6.4 Penatalaksanaan perdarahan spontan pada BDB dewasa
Sumber perdarahan masif dan spontan pada penderita DBD adalah
epistaksis, perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena atau
hematoskesia), saluran kencing (hematuria), perdarahan otak, dan yang
tersembunyi, dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.
Terapi cairan sama seperti kasus DBD tanpa syok. Pemeriksaan tanda
vital, Hb, Ht, trombosit dilakukan 4-6 jam serta pemeriksaan trombosis
dan hemostasis. Heparin diberi bila tanda KID (+). Transfusi komponen
darah diberikan sesuai indikasi, PRC diberi bila Hb <10 g/dl. Trombosit
hanya diberi pad pasien perdarahan spontan masif dengan kadar
12
trombosit <100.000 dengan atau tanpa tanda KID. FFP diberikan bila
didapatkan defisiensi faktor pembekuan (PT dan aPTT memanjang).
Selain itu dapat diberikan oksigen 2-4 liter per menit, dengan
pemeriksaan darah perifer lengkap, hemostasis, AGD, elektrolit, ureum
dan kreatinin. Harus dilakukan pengawasan dini terhadap kemungkinan
syok berulang dalam waktu 48 jam. Karena proses patogenesis penyakit
masih berlangsung dan cairan kristaloid hanya menetap 20% dalam
13
pembuluh darah setelah 1 jam pemberian. Diuresis diusahakan 2
ml/kgBB/jam.
14
apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dandilakukan
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahansebagai
akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.
15
b. Untuk pasien lain, lanjutkan sebagai berikut:
1. Riwayat durasi (jumlah hari) demam dan warning sign (Kotak 11)
pada pasien berisiko tinggi yang akan dinilai oleh perawat atau staf
terlatih, tidak selalu berasal dari medis.
2. Uji tourniquet harus dilakukan oleh tenaga terlatih (jika jumlah
tenaga terlatih tidak memadai, cukup berikan tekanan 80 mmHg
untuk> 12 tahun dan 60 mmHg untuk anak-anak usia 5 sampai 12
tahun selama lima menit).
3. Tanda-tanda vital, termasuk suhu, tekanan darah, denyut nadi, laju
pernapasan dan perfusi perifer, mesti diperiksa oleh perawat
terlatih atau asisten medis. Perfusi perifer dinilai dengan palpasi
tekanan volume nadi, suhu dan warna ekstremitas, serta waktu
pengisian kapiler. Prosedur ini merupakan keharusan bagi semua
pasien, terutama ketika monitor tekanan darah digital dan peralatan-
peralatan medis lainnya tersedia. Perhatian khusus harus diberikan
kepada pasien yang tidak demam namun dengan takikardia. Pasien-
pasien seperti ini dan yang mengalami penurunan perfusi perifer harus
dirujuk segera untuk mendapatkan setidaknya perhatian medis
khusus, pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan kadar gula darah
secepatnya.
4. Rekomendasi pemeriksaan darah lengkap :
a. Semua pasien demam pada kunjungan pertama harus diperiksa
baseline hematokrit, leukosit dan trombosit.
b. Semua pasien dengan warning sign:
1. Tidak ada perbaikan klinis/perburukan keadaan sesaat
sebelum atau selama transisi ke fase afebris.
2. Muntah persisten, tidak bisa minum .
3. Nyeri abdomen yang berat
4. Lesu dan / atau gelisah, perubahan perilaku mendadak .
5. Perdarahan: epistaksis, tinja hitam, hematemesis,
perdarahan menstruasi yang berlebihan, urin berwarna
gelap (hemoglobinuria) atau hematuria.
6. Pucat, tangan dan kaki dingin serta berkeringat.
16
7. Kurang / tidak ada produksi urine selama 4-6 jam .
c. Semua pasien dengan demam > 3 hari.
d. Semua pasien dengan gangguan sirkulasi/syok (pasien ini
harus menjalani cek glukosa).
5. Hasil pemeriksaan darah lengkap : Jika terdapat leukopenia dan /
atau trombositopenia, maka pada pasien dengan warning sign harus
dikirim untuk konsultasi medis segera.
6. Konsultasi medis : direkomedasikan untuk Konsultasi medis
sesegera mungkin pada keadaan berikut : Syok dan Pasien dengan
warning sign khususnya bagi pasien dengan lama penyakit > 4 hari
.
7. Keputusan untuk observasi dan penatalaksanaan :
a. Syok : resusitasi dan rawat inap
b. Pasien dengan hipoglikemia tanpa leukopenia dan/atau
trombositopenia harus diberikan infus glukosa sesegera
mungkin kemudian dilanjutkan dengan pemberian cairan
intravena pemeliharaan yang mengandung glukosa.
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan untuk menentukan
kemungkinan penyebab penyakit. Pasien-pasien ini harus
diobservasi dalam jangka waktu 8-24 jam. Pastikan telah terjadi
perbaikan klinis sebelum pasien dipulangkan, dan pasien
tersebut harus dipantau setiap hari.
c. Pasien-pasien dengan warning sign.
d. Pasien berisiko tinggi dengan leukopenia dan trombositopenia
8. Follow-up : Pasien harus mengerti bahwa masa kritis jusrtu terjadi
pada saat tidak demam dan tindak lanjutnya adalah dengan
pemeriksaan darah lengkap untuk mendeteksi tanda-tanda bahaya
dini, seperti leukopenia, trombositopenia, dan / atau kenaikan
hematokrit. Pemantauan harian diperlukan, kecuali mereka yang
telah kembali aktivitas normal atau jika suhu sudah mulai kembali
turun.
17
2.6.7 Manajemen Syok : DBD derajat III
18
Penting diketahui bahwa kecepatan cairan IV dapat dikurangi
jika telah terjadi perbaikan perfusi perifer ; tetapi harus tetap diteruskan
sampai minimum 24 jam dan dapat dihentikan setelah 36-48 jam.
Pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan efusi masif
karena peningkatan permeabilitas kapiler. Algoritme pemberian cairan
untuk pasien dengan SSD dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
19
segera mungkin. Transfusi darah merupakan langkah berikutnya harus
segera dikerjakan (setelah menilai HCT praresusitasi) diikuti dengan
monitoring ketat, misalnya kateterisasi kandung kemih terus menerus,
kateterisasi vena sentral atau intraarterial.
Perlu dicatat bahwa perbaikan pada tekanan darah sangat penting
untuk keberhasilan penanganan dan jika ini tidak dapat dicapai dengan
cepat maka prognosis bisa menjadi buruk. Obat inotropik dapat
digunakan untuk menaikkan tekanan darah, jika pemberian cairan
dianggap cukup adekuat seperti misalnya, tekanan vena sentral tinggi
(CVP), kardiomegali, atau diketahui memiliki fungsi/kontraktilitas
jantung yang buruk.
Jika tekanan darah berhasil dikoreksi setelah pemberian resusitasi
cairan dengan atau tanpa transfusi darah, dan dijumpai adanya
gangguan fungsi organ, maka pasien harus mendapat penanganan
suportif yang sesuai. Contoh penanganan suportif terhadap fungsi organ
adalah dialisis peritoneal, contiuous renal replacement therapy (CRRT)
serta ventilasi mekanik.
Jika akses intravena tidak bisa didapat dengan segera, maka dapat
dicobakan larutan elektrolit oral jika pasien sadar atau cara lain adalah
jalur intraosseous. Akses intraosseous merupakan suatu bagian dari
upaya untuk menyelamatkan nyawa dan harus bisa dicapai dalam 2-5
menit atau jika telah dua kali mengalami kegagalan dalam mencapai
akses vena perifer atau jika jalur oral juga gagal.
20
2.7 Patofisiologi
Virus dengue ditransmisi melalui nyamuk Aedes aegypti atau Aedes
albopictus. Kedua vektor tersebut tersebar meluas di daerah tropis dan subtropis
di berbagai belahan dunia. Virus dengue masuk ke sirkulasi perifer manusia
melalui gigitan nyamuk. Virus tersebut akan masuk ke dalam darah sejak fase
akut/fase demam hingga klinis demam menghilang. Secara klinis fase demam
dibagi menjadi tiga, yaitu fase demam, fase kritis dan fase penyembuhan
21
(Valentino, 2012). Fase demam berlangsung pada hari ke-1 hingga 3, fase kritis
terjadi pada demam hari ke-3 hingga 7 dan fase penyembuhan terjadi setelah
demam hari ke-6 hingga 7.
Perjalanan penyakit tersebut menentukan dinamika perubahan tanda dan
gejala klinis pada pasien dengan infeksi demam berdarah dengue (DBD). Pada
DBD terjadi peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan kebocoran
plasma ke jaringan. Kondisi ini dapat menyebabkan syok hipovolemik.
Peningkatan permeabilitas vaskular akan terjadi pada fase kritis dan
berlangsung maksimal 48 jam. Kebocoran plasma terjadi akibat disfungsi
endotel serta peran kompleks dan sistem imun: monosit dan sel T, sistem
komplemen, serta produksi mediator inflamasi dan sitokin lainnya.
Trombositopena pun terjadi akibat beberapa mekanisme yang kompleks,
seperti gangguan megakariositopoisiesis akibat infeksi sel hematopoetik, serta
peningkatan destruksi dan konsumsi trombosit. Manifestasi perdarahan yang
paling sering dijumpai pada anak ialah perdarahan kulit (petekie) dan mimisan
(epistaksis). Tanda perdarahan lainnya yang patut diwaspadai antara lain
melena, hematemesis, dan hematuria. Apabila kebocoran plasma terjadi secara
masif akan mengakibatkan pasien mengalami syok hipovolemik. Kondisi ini
disebut dengue shock syndrome (DSS) (Suhendro, et al., 2014).
Saat suhu tubuh mulai turun ke 37,5-38oC atau dibawahnya yang terjadi
pada hari ke 3-6 dari perjalanan penyakit, dapat terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler ditandai dengan peningkatan nilai hematokrit. Tanda
tersebut menadai awal terjadinya fase kritis. Leukopenia yang progresif diikuti
dengan penurunan jumlah
Trombosit secara cepat menandai terjadinya kebocoran plasma. Pada fase
ini, pada pasien tanpa peningkatan permeabilitas kapiler akan terjadi perbaikan
klinik sedangkan pada pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler dapat
terjadi perburukan klinik sebagai akibat dari hilangnya volume plasma. Derajat
dari kebocoran plasma tersebut bervariasi. Efusi pleura dan ascites merupakan
tanda adanya kebocoran plasma yang dapat dideteksi. Untuk menegakkan
diagnosis dari keadaan tersebut dapat dilakukan foto polos dada dan USG
abdomen.
22
Derajat dari peningkatan nilai hematokrit pada fase ini biasanya dapat
memperlihatkan keparahan dari adanya kebocoran plasma yang menyebabkan
berkurangnya perfusi darah. Terjadinya syok biasanya didahului dengan adanya
tanda-tanda bahaya. Suhu tubuh saat terjadinya syok dapat subnormal. Bila
terjadi syok yang berkepanjangan dapat terjadi hipoperfusi jaringan, asidosis
metabolik, dan DIC. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perdarahan yang
berat sehingga nilai hematokrit akan turun saat terjadi syok yang berat. Pada
fase ini juga terjadi leukopeni tetapi jumlah leukosit dapat meningkat apabila
terjadi perdarahan berat. Kerusakan organ dapat terjadi seperti hepatitis berat,
encephalitis, atau miokardis.
Pasien-pasien yang mengalami perbaikan setelah fase ini dikelompokkan ke
dalam infeksi dengue yang ringan. Beberapa pasien dapat dikembangkan
menjadi lebih berat dengan adanya kebocoran plasma, pada pasien-pasien
tersebut perlu dilakukan pemeriksaan darah untuk menentukan onset dari fase
kritis dan adanya kebocoran plasma. Pasien-pasien yang mengalami perburukan
klinis pada fase ini akan memberikan tanda-tanda bahaya, pasien-pasien
tersebut dikelompokkan pasien dengue dengan tanda bahaya. Kasus dengue
dengan tanda bahaya dapat mengalami perbaikan klinik dengan terapi rehidrasi
intravena yang efektif dan efesien. Beberapa kasus dapat mengalami
perburukan menjadi dengue berat.
23
Arbovirus (melalui nyamuk aedes Agregasi Trombosit
aegypti)
Pengeluaran ADP
Beredar dalam aliran darah
Penghancuran trombosit oleh RES
Pengeluran PGE 2
Permeabilitas dinding pembuluh darah Kerusakan endotel pembuluh darah
Metabolisme Anaerob
Paru-paru
Produksi urin
25
2.8 Pengobatan
28
meningkat sedang tekanan sistolik tetap sehingga tekanan nadi (perbedaan
tekanan antara sistolik dan diastolik) akan menyempit kurang dari 20
mmHg. Pada tahap ini sistem pernapasan melakukan kompensasi berupa
quite tachypnea (takipnea tanpa peningkatan kerja otot pernapasan).
Kompensasi sistem keseimbangan asam basa berupa asidosis metabolik
namun nilai pH masih normal dengan tekanan karbon dioksida rendah dan
kadar bikarbonat rendah. Pemberian cairan yang adekuat pada umumnya
akan memberikan prognosis yang baik. Bila pada keadaan kritis kurang
dari pengamatan sehingga pengobatan tidak diberikan dengan cepat dan
tepat, maka pasien akan jatuh kedalam syok dekompensasi.
29
2.8.2 Syok Dekompensasi
Salah satu tanda klinis penting dari syok dekompensasi adalah telah
terjadi penurunan tekanan darah, hipotensi. Jika hipotensi sudah terjadi,
itu artinya pasien sudah terlambat datang. Upaya ekstra dibutuhkan untuk
menjaga pasien tetap hidup. Dan tentu saja risiko pasien mengalami
kematian akan meningkat. Pada keadaan syok dekompensasi, upaya
fisiologis tubuh untuk mempertahankan sistem kardiovaskular telah
gagal, pada keadaan ini tekanan sistolik dan diastolik telah menurun,
disebut syok hipotensif.
30
Syok hipotensif berkepanjangan dan hipoksia menyebabkan asidosis
metabolik berat, kegagalan organ multipel serta perjalanan klinis yang
sangat sulit diatasi. Perjalanan dari ditemukannya warning signs sampai
terjadi syok terkompensasi, dan dari syok terkompensasi menjadi syok
hipotensi dapat memakan waktu beberapa jam. Akan tetapi dari syok
hipotensif sampai kolaps kardiorespirasi dan henti jantung bisa terjadi
hanya dalam hitungan menit.
31
Terapi Syok Dekompensasi
32
7) Bila hematokrit rendah atau normal dan ditemukan tanda perdarahan
masif, diberikan transfusi darah segar (fresh blood) dengan dosis 10
mL/kgBB atau fresh packed red cell dengan dosis 5 mL/kgBB. Jika
nilai hematokrit rendah atau turun namun tidak ditemukan tanda
perdarahan maka berikan bolus kedua, tapi apabila tidak membaik
maka pertimbangkan untuk pemberian transfusi darah.
8) Pada syok berat (prolonged shock, recurrent shock, profound shock),
perdarahan masif, ensefalopati/ensefalitis, atau gagal napas, yang
sulit diatasi diperlukan perawatan di unit perawatan intensif.
Bila renjatan sudah diatasi, nadi sudah jelas teraba, amplitido nadi cukup
besar, tekanan sistolik 80 mmHg atau lebih, maka kecepatan tetesan dikurangi
menjadi 10 ml/kgBB/jam. Kecepatan pemberian cairan selanjutnya disesuaikan
dengan gejala klinis dan nilai hematokrit yang diperiksa periodik. Evaluasi
klinis, nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu, dan pengeluaran urin dilakukan
lebih sering.
Perlu dilakukan monitoring, yaitu:
1) Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30
menit atau lebih, sampai syok teratasi.
2) Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien
33
stabil.
3) Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan mengenai jenis
cairan, jumlah, dan tetesan, untuk mengetahui apakah cairan yang diberikan
sudah mencukupi.
4) Dieuresis dipantau. Bila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam,
sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, berikan
furosemide 1 ml/kgBB. Bila diuresis tetap belum mencukupi, pada ummnya
syok belum teratasi dengan baik, maka pemasangan central venous pressure
(CVP) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian plasma selanjutnya.
Cairan intravena dapat dihentikan bila Ht telah turun sekitar 40 vol%.
Jumlah urin 12 ml/kgBB/jam atau lebih menandakan keadaan sirkulasi
membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam sejak
syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan pada saat reabsorpsi plasma dari
ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematocrit setelah pemberian
cairan rumatan), maka akan menyebabkan hypovolemia, dengan akibat terjadi
edema paru dan gagal jantung. Penurunan Ht jangan dianggap sebagai tanda
perdarahan tapi disebabkan hemodilusi. Nadi yang kuat, diuresis cukup, tanda
vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorpsi.
Pada pasien gelisah, berikan kloralhidrat per oral atau per rektal dengan
dosis 12,5-50 mg/kgBB (tidak melebihi 1 gram. Terapi dengan oksigen 2 liter
per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.
2.10 Pencegahan
2.10.1 Pencegahan primer
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan
yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan
tersier. Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah
orang yang sehat menjadi sakit.
34
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat
penting untuk menentukan distribusi, kepadatan populasi,
habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu dan
tempat yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan
tingkat kerentanan atau kekebalan insektisidayang dipakai,
untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk
pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan
memudahkan pemilihan dan penggunaan sebagian besar
peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk
memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan yang
dilakukan adalah survei jentik. Survei jentik dilakukan
dengan cara melihat atau memeriksa semua tempat atau
bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti dengan mata telanjang untuk
mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu dengan cara visual.
Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya
jentik disetiap tempat genangan air tanpa mengambil
jentiknya. Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui
kepadatan jentik Aedes aegypti adalah :
35
persentase Angka Bebas Jentik (ABJ), yaitu jumlah
rumah yang tidak ditemukan jentik per jumlah rumah
yang diperiksa. ABJ = Jumlah Rumah Yang Tidak
Ditemukan Jentik x 100% Jumlah Rumah Yang
Diperiksa Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
merupakan bentuk evaluasi hasil kegiatan yang
dilakukan tiap 3 bulan sekali disetiap desa/kelurahan
endemis pada 100 rumah/bangunan yang dipilih secara
acak (random sampling). Angka Bebas Jentik dan
House Indeks lebih menggambarkan luasnya
penyebaran nyamuk disuatu wilayah.
2.10.1.2 Pengendalian vektor
36
Pengendalian hayati atau sering disebut dengan
pengendalian biologis dilakukan dengan
menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan
mikroorganisme hewan invertebrate atau vertebrata.
Sebagai pengendalian hayati dapat berperan sebagai
patogen, parasit dan pemangsa. Beberapa jenis ikan
kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus
(Gambusia affinis) adalah pemangsa yang cocok
untuk larva nyamuk. Beberapa jenis golongan cacing
nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan
Romanomarmis culiforax merupakan parasit yang
cocok untuk larva nyamuk.
3) Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa
cara antara lain dengan mencegah nyamuk kontak
dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada
pintu, lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian
rumah. Hindari menggantung pakaian di kamar
mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang tidak
terjangkau sinar matahari.
2.10.1.3 Surveilans kasus
Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan
surveilans aktif maupun pasif. Di beberapa negara pada
umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun sistem
surveilans pasif tidak sensitif dan memiliki spesifisitas
yang rendah, namun sistem inin berguna untuk
memantau kecenderungan penyabaran dengue jangka
panjang. Pada surveilans pasif setiap unit pelayanan
kesehatan ( rumah sakit, Puskesmas, poliklinik, balai
pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan
melaporkan setiap penderita termasuk tersangka DBD
37
ke dinas kesehatan selambat-lambatnya dalam waktu 24
jam. Surveilans aktif adalah yang bertujuan memantau
penyebaran dengue di dalam masyarakat sehingga
mampu mengatakan kejadian, dimana berlangsung
penyebaran kelompok serotipe virus yang bersirkulasi,
untuk mencapai tujuan tersebut sistem ini harus
mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik.
Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan peringatan
dini atau memiliki kemampuan prediktif terhadap
penyebaran epidemi penyakit DBD.
2.10.1.4 Gerakan pemberantasan sarang nyamuk
Gerakan PSN adalah keseluruhan kegiatan yang
dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah untuk
mencegah penyakit DBD yang disertai pemantauan
hasilhasilnya secara terus menerus. Gerakan PSN DBD
merupakan bagian terpenting dari keseluruhan upaya
pemberantasan penyakit DBD, dan merupakan bagian
dari upaya mewujudkan kebersihan lingkungan serta
prilaku sehat dalam rangka mencapai masyarakat dan
keluarga sejahtera. Dalam membasmi jentik nyamuk
penularan DBD dengan cara yang dikenal dengan istilah
3M, yaitu :
1) Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat
minum hewan peliharaan minimal sekali dalam
seminggu.
2) Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian
rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk
dewasa.
3) Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak
terpakai, yang semuanya dapat menampung air hujan
38
sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes
aegypti.
2.10.2 Pencegahan sekunder
Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1) Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit
DBD, berikan pertolongan pertama dengan banyak minum,
kompres dingin dan berikan obat penurun panas yang tidak
mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau unit
pelayanan kesehatan.
2) Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan
pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan segaera melaporkan
penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut kepada
Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan
segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan
penyakit dilokasi penderita dan rumah disekitarnya untuk
mencegah kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara.
3) Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi
dan kejadian luar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas
Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara
penanggulangan seperlunya.
2.11 Pemeriksaan penunjang
39
Diagnosis pasti dapat tegak bila didapatkan hasil isolasi virus
dengue (cell culture) atau deteksi antigen virus RNA dgn teknik Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction namun teknik ini rumit.
Pemeriksaan lain yaitu tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi
spesifik terhadap dengue. Berupa antibodi total, IgM yang terdeteksi mulai
hari ke-3 sampai ke-5, meningkat smpai minggu 3, dan menghilang setelah
60-90 hari. IgG terbentuk pada hari ke-14 pada infeksi primer, dan
terdeteksi pada hari ke-2 pada infeksi sekunder.
40
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Kasus
Pemeriksaan
Hemaglobin 14,4
Hematokrit 49,1
Leukosit 8.060
Trombosit 17
Eritrosit 5,4
PH 7,3
Terapi :
1) Omeperazol PO 1x1cap
2) Novalgin prn PO 1 cth
3) Infurs RA 100cc/jam
4) Infus Kaen 4B 100cc/jam
3.1.1 Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama : An.
Usia : 8 tahun
41
Jenis Kelamin :-
2. Identitas Penanggung Jawab
3. Keluhan utama
Klien mengalami demam naik turun
4. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengalami demam naik turun sudah 3 hari, kesadaran
cenderung tidur, bicara pelan, sesekali tampak meringis. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan BB: 25 kg, TD: 84/55 mmhg, N:
96x/mnt, RR: 33x/mnt, S: 36,5 derajat celcius, terpasang O2
reabreathing masker 8 rpm, tampak edema pada area orbita,
tampak tanda perdarahan dibawah kulit (petechieI), ronchi basal
didapatkan pada kedua lapang paru, BAK 20cc/jam, Intake 800,
output 400, nyeri tekan pada kandung kemih.
b. Riwayat kesehatan dahulu
c. Riwayat kesehatan Keluarga
5. Pola Aktivitas sehari-hari
6. Pemeriksaan Fisik
a. Penampilan Umum
Kesadaran : cenderung tidur (somnolen), bicara pelan dan
sesekali tampak meringis.
TTV : TD : 84/55 mmhg, N: 96x/mnt, S: 36,5 C, RR:
33x/mnt
b. Sistem Pernapasan
Pada klien terdapat suara ronchi basal pada kedua lapang paru,
RR: 33x/mnt, dan terpasang O2 reabreathing masker 8 rpm.
c. Sistem kardiovaskuler
d. Sistem persarafan
e. Sistem Endokrin
f. Sistem genitourinaria
42
BAK 20cc/jam, Intake 800, output 400, nyeri tekan pada
kandung kemih.
g. Sistem Muskuloskeletas
h. Sistem Integumen
Tampak tanda perdarahan dibawah kulit (petechieI).
i. Sistem Wicara dan THT
7. Data Psikologis
8. Data sosial
9. Data spiritual
10. Data penunjang
a. Laboratorium :
Pemeriksaan
Hemaglobin 14,4
Hematokrit 49,1
Leukosit 8.060
Trombosit 17
Eritrosit 5,4
PH 7,3
43
- Kesadaran klien
cenderung tidur. Kebocoran Plasma
- TD : 84/55 mmhg,
N: 96x/mnt.
- Hemaglobin 14,4
Hipotensi
g/dl
- tampak tanda Hipovolemia
perdarahan dibawah
kulit (petechieI). Syok
- Trombosit 17 g/dl
- Eritrosit 5,4 g/dl
- HT: 49,1 g/dl
DS: Perpindahan plasma dari Kekurangan Volume
intravaskuler ke ekstraseluler Cairan
DO:
- BAK 20cc/jam. Kebocoran Plasma
Produksi urin
44
- terpasang O2
reabreathing masker
8 rpm.
45
b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
c. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara nafas tambahan
d. Keluarkan sekret dengan suction
e. Monitor respirasi dan saturasi O2
f. Monitor aliran oksigen
g. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
3. Dx 3 : Kekurangan volume Cairan b.d Perpindahan plasma dari
intravaskuler ke ekstraseluler
NOC:
a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, HT
normal
b. Vital sign dalam batas normal
c. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas
NIC:
a. Monitor status cairan termasuk intake dan output cairan
b. Pelihara IV line
c. Monitor tingkat Hb dan Hematokrit
d. Monitor tanda vital
e. Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan
f. Monitor berat badan
g. Pemberian cairan IV
h. Monitor adanya tanda dan gejala kelebihan volume cairan
i. Monitor adanya tanda gagal ginjal.
46
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
47
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan
tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Keadaan
tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka
akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi,namun bila daya tahan rendah
maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan
kematian.
48
DAFTAR PUSTAKA
49