Disusun Oleh:
YULIANI
2018740155
A. Konsep Lansia
1. Definisi
Lanjut usia (lansia) adalah seseorang dengan usia 65 tahun atau lebih yang
terkadang menimbulkan masalah sosial, tetapi bukanlah suatu penyakit melainkan
suatu proses natural tubuh meliputi terjadinya perubahan deoxyribonucleic acid
(DNA), ketidaknormalan kromosom dan penurunan fungsi organ dalam tubuh. Proses
penuaan (aging process) merupakan suatu proses yang alami ditandai dengan adanya
penurunan atau perubahan kondisi fisik, psikologis maupun sosial dalam berinteraksi
dengan orang lain. Proses menua dapat menurunkan kemampuan kognitif dan
kepikunan. Masalah kesehatan kronis dan penurunan kognitif serta memori
(Handayani, dkk, 2013). Menurut UU No.13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia
disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun (Dewi,
S.R, 2014).
Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses
kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi
dengan stress lingkungan (Pudjiastuti, 2003 dalam Efendi & Makhfudli, 2009).
Lansia adalah individu yang berusia di atas 60 tahun, pada umumnya memiliki
tanda-tanda terjadinya penurunan fungsi-fungsi biologis, psikologis, sosial, dan
ekonomi (BKKBN, 1995 dalam Mubarak, dkk 2012).
Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu
periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih
menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat (Hurlock, 2000
dalam Murwani & Priyantari, 2011).
Menurut UU N0. 13 tahun 1998 dalam Maryam, dkk tahun 2010 dikatakan
bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas.
Populasi lansia di dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat, bahkan
pertambahan lansia menjadi yang paling mendominasi apabila dibandingkan dengan
pertambahan populasi penduduk pada kelompok usia lainnya. Menurut WHO,
populasi lansia di Asia Tenggara sebesar 8% atau sekitar 142 juta jiwa. Pada tahun
2050 diperkirakan populasi lansia akan terus meningkat hingga 3 kali lipat. Pada
tahun 2000 didapatkan data jumlah lansia sekitar 5,300,000 (7,4%) dari total
ppopulasi, sedangkan pada tahun 2010 33terjadi peningkatan jumlah lansia menjadi
24,000,000 (9,77%) dari total populasi dan diperkirakan pada tahun 2020 jumlah
lansia akan terus meningkat hingga 28,800,000 (11,34%) dari total populasi. Di
Indonesia pada tahun 2020 jumlah lansia diperkirakan sekitar 80.000.000 (Kemenkes
RI, 2018).
2. Klasifikasi Lansia
Menurut Maryam, dkk tahun 2008 ada lima klasifikasi pada lansia.
a. Pralansia
Seseorang yang berusia antara 45-49 tahun.
b. Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia resiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau
lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2005).
d. Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat
menghasilkan barang/jasa (Depkes RI, 2003).
e. Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada
bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).
b. Tipe konstruksi
Lanjut usia ini mempunyai integritas baik, dalam menikmati hidup,
mempunyai toleransi yang tinggi, humoristik, fleksibel, dan tahu diri.
Biasanya, sifat ini terlihat sejak muda. Mereka dengan tenang menghadapi
proses menua dan menghadapi akhir.
c. Tipe ketergantungan
Lanjut usia ini masih dapat diterima ditengah masyarakat, tetapi selalu pasif,
tidak berambisi, masih tahu diri, tidak mempunyai inisiatif dan bila bertindak
yang tidak praktis. Ia senang pensiun, tidak suka bekerja, dan senang berlibur,
banyak makan, dan banyak minum.
d. Tipe defensive
Lanjut usia biasanya sebelumnya mempunyai riwayat pekerjaan/jabatan yang
tidak stabil, bersifat selalu menolak bantuan, emosi tidak terkontrol,
memegang teguh kebiasaan, bersifat konpulsif aktif, anehnya mereka takut
menghadapi “menjadi tua” dan menyenangi masa pensiun.
e. Tipe militant dan serius
Lanjut usia yang tidak mudah menyerah, serius senang berjuang, bisa menjadi
panutan.
f. Tipe pemarah frustasi
Lanjut usia yang pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, selalu
menyalahkan orang lain, menunjukan penyesuian yang buruk. Lanjut usia
sering mengekspresikan kepahitan hidupnya.
g. Tipe bermusuhan
Lanjut usia yang selalu menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalan,
selalu mengeluh, bersifat agresif, dan curiga. Biasanya, pekerjaan saat ia muda
tidak stabil, menganggap menjadi tua itu bukan hal yang baik, takut mati, iri
hati pada orang yang muda, senang mengadu untung pekerjaan, aktif
meghindari masa yang buruk.
h. Tipe putus asa, membenci, dan menyalahkan diri sendiri
Lanjut usia ini bersifat kritis dan menyalahkan diri sendiri, tidak mempunyai
ambisi, mengalami penurunan sosio-ekonomi, tidak dapat menyesuaikan diri.
Lanjut usia tidak hanya mengalami kemarahan, tetapi juga depresi,
memandang lanjut usia sebagai tidak berguna karena masa yang tidak
menarik. Biasanya, perkawinan tidak bahagia, merasa menjadi korban
keadaan, membenci diri sendiri, dan ingin cepat mati.
b. Teori Psikososial
Teori ini memusatkan pada perubahan sikap dan prilaku yang menyertai
peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi biologi pada kerusakan anatomis,
yang terdiri dari :
a) Teori Pemutusan Hubungan (Disengagement)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia maka seseorang akan
berangsur-angsur akan melepaskan dirinya dari kehidupan sosialnya (menarik
diri) dari lingkungan sekitarnya dan ini menyebabkan kehilangan ganda
seperti : kehilangan peran, hambatan kontak sosial, berkurangnya komitmen
atau dengan kata lain orang yang menua menarik diri dari perannya dan
digantikan oleh generasi yang lebih muda. Peran yang terkait pada aktivitas
yang lebih introspektif dan berfokus pada diri sendiri. Disengagement adalah
intrinsik dan tidak dapat dielakkan baik secara biologis dan psikologis,
dianggap perlu untuk keberhasilan penuaan dan bermanfaat baik bagi lansia
dan masyarakat.
b) Teori Aktivitas
Teori ini tidak menyetujui teori disengagement dan lebih menegaskan bahwa
kelanjutan aktivitas dewasa tengah penting untuk keberhasilan penuaan.
Havighurst (1952) yang pertama menulis tentang pentingnya tetap aktif secara
sosial sebagai alat untuk penyesuian diri yang sehat untuk lansia. Beberapa
pendapat mengemukakan bahwa penuaan terlalu kompleks untuk
dikarateristikan kedalam cara sederhana tersebut. Gagasan pemenuhan
kebutuhan seseorang harus seimbang dengan pentingnya perasaan dibutuhkan
orang lain dalam mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan orang lain
dan kesejahteraan fisik secara mental orang tersebut. Teori ini menyatakan
pada lansia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam
kegiatan sosial. Ukuran optimum dilanjutkan pada cara hidup dari lansia,
mempertahan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari
usia pertengahan kelanjutan usia. Selain itu dapat menunjukan pentingnya
aktivitas mental dan fisik yang berkesinambungan untuk mencegah kehilangan
dan pemeliharaan kesehatan sepanjang masa kehidupan manusia.
c) Teori Tugas Perkembangan (Kontuinitas)
Teori kontuinitas menyatakan bahwa kepribadian tetap masa dan prilaku
menjadi lebih mudah diprediksi seiring penuaan. Hasil penelitian Ericson
tugas perkembangan adalah aktivitas dan tantangan yang harus dipenuhi oleh
seseorang pada tahap spesifik dalam kehidupannya untuk mencapai penuaan
yang sukses. Beberapa pendapat bahwa teori ini terlalu sederhana dan tidak
mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi respon seseorang
terhadap proses penuaan. Teori ini juga menyatakan bahwa perubahan yang
terjadi pada lanjut usia dipengaruhi oleh tipe kepribadian yang dimiliki. Pada
kondisi ini tidak adanya pencapaian perasaan bahwa ia telah menikmati hidup
yang baik, maka lansia tersebut beresiko untuk disibukkan dengan rasa
penyesalan atau putus asa.
d) Teori Kepribadian
Jun berteori bahwa keseimbangan antara dua hal tersebut adalah penting bagi
kesehatan. Menurunya tanggung jawab dan tuntutan dari keluarga dan ikatan
sosial sering terjadi dikalangan lansia. Konsep interioritas dari Jun
mengatakan bahwa separuh kehidupan manusia berikutnya digambarkan
dengan tujuan sendiri yaitu mengembangkan kesadaran diri sendiri melalui
aktivitas yang dapat merefleksikan dirinya sendiri. Lansia sering beranggapan
bahwa hidup telah memberikan satu rangkaian pilihan yang sekali dipilih akan
membawa orang tersebut pada suatu arah yang tidak bisa diubah.
e) Sistem Kardiovaskular
Elastisitas dinding aorta menurun, katub jantung menebal dan menjadi kaku,
kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah
berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan
volumenya. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektifitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenisasi, sering terjadi postural hipotensi,
tekanan darah meningkat diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari
pembuluh darah perifer.
f) Sistem Pengaturan Suhu Tubuh
Suhu tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis ± 350 C, hal ini diakibatkan
oleh metabolisme yang menurun, keterbatasan reflek menggigil, dan tidak
dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya aktivitas
otot.
g) Sistem Pernafasan
Otot-otot pernapasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya
aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas sehingga kapasitas residu
meningkat, menarik napas lebih berat, kapasitas pernapasan maksimum
menurun, dan kedalaman bernapas menurun. Ukuran alveoli melebar dari
normal dan jumlahnya berkurang, oksigen pada arteri menurun menjadi 75
mmHg, kemampuan untuk batuk berkurang, dan penurunan kekuatan otot
pernapasan.
h) Sistem Gastrointestinal
Kehilangan gigi, indra pengecapan mengalami penurunan, esophagus melebar,
sensitivitas akan rasa lapar menurun, produksi asam lambung menurun,
peristaltik lemah dan waktu pengosongan lambung menurun, peristaltik lemah
dan biasanya timbul konstipasi, fungsi absorbsi menurun, hati (liver) semakin
mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan, serta berkurangnya suplai
aliran darah.
i) Sistem Genitourinaria
Ginjal mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah keginjal menurun
hingga 50%, fungsi tubulus berkurang (berakibat pada penurunan kemampuan
ginjal untuk mengkonsentrasikan urin, berat jenis urin menurun, proteinuria
biasanya +1), blood urea nitrogen (BUN) meningkat hingga 21 mg%, nilai
ambang ginjal terhadap glukosa meningkat. Otot-otot kandung kemih (vesica
urinaria) melemah, kapasitasnya menurun hingga 200 ml dan menyebabkan
frekuensi buang air kecil meningkat, kandung kemih sulit dikosongkan
sehingga meningkatkan retensi urine. Pria dengan usia 65 tahun keatas
sebagian besar mangalami pembesaran prostat hingga ±75% dari besar
normalnya.
j) Sistem Endokrin
Menurunnya produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH, aktivitas tiroid, basal
metabolic rate (BMR), daya pertukaran gas, produksi aldosteron, serta sekresi
hormon kelamin seperti progesteron, estrogen, dan testosteron.
k) Sistem Integumen
Kulit menjadi keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit kasar
dan bersisik, menurunnya respon terhadap trauma, mekanisme proteksi kulit
menurun, kulit kepala dan rambut menipis serta berwarna kelabu, rambut
dalam hidung dan telinga menebal, berkurangnya elstisitas akibat menurunnya
cairan vaskularitas, pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi keras
dan rapuh, kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk, kelenjar
keringat berkurang jumlahnya dan fungsinya, kuku menjadi pudar dan kurang
bercahaya.
Perubahan pada Epidermis
Stratum korneum yang merupakan lapisan terluar dari epidermis akan
mengalami jumlah lipid seiring bertambahnya usia sehingga rentan
terhadap kerusakan. Pernurunan proliferasi sel – sel epidermis
(keratinosis) juga menyebabkan stratum korneum lebih lama dalam
mengatasi kerusakan tersebut. Sel – sel melanosit yang memberikan
warna pada kulit dan melindungi kulit dari sinar ultraviolet akan
mengalami penururnan jumlah aktif sebanyak 10 – 20% perdekade.
Selain itu, sel – sel langerhans yang berperan sebagai makrofag juga
menururn, sehingga rentan terhadap terjadinya infeksi (Reichel, 2009).
Perubahan Pada Dermis
Pada usi atua terjadi penururna kekebalan kulit dan penururnan
vaskularisasi serta komponen sel. Dermis tersusun atas 80% kolagen
yang memeberikan daya elastisitas dan fleksibilitas pada kulit.
Penururnan kolagen dan elastisitas dapat menyebabkan kelemahan,
ketahanan, dan kerutan halus tampak pada kulit yang menua.
Perubahan Jaringan Subkutan
Pertambahan usia menyebabkan penururnan jumlah dan distribusi lemak
pada subkutan. Beberapa jaringan subkutan mengalami atropi. Hal ini
mengakibatkan orang tua mengalami kehilangan bantalan tubuh yang
melindungi dari tekanan dan nkehilangan suhu tubuh. Selain itu, pada
saraf juga mengalami penurunan shingga mempengaruhi sensasi tekan
dan sentuhan.
l) Sistem Muskuloskeletal
Tulang kehilangan kepadatan (density) dan semakin rapuh, kifosis, persendian
membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami sklerosis, atrofi
serabut otot sehingga gerak seseorang menjadi lambat, otot-otot kram dan
menjadi tremor.
b. Perubahan Mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah perubahan fisik,
kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas), lingkungan, tingkat
kecerdasan (intelligence quotient-I.Q.), dan kenangan (memory). Kenangan dibagi
menjadi dua, yaitu kenangan jangka panjang (berjam-jam sampai berhari-hari
yang lalu) mencakup beberapa perubahan dan kenangan jangka pendek atau
seketika (0-10 menit) biasanya dapat berupa kenangan buruk.
c. Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial terjadi terutama setelah seseorang mengalami pensiun.
Berikut ini adalah hal-hal yang akan terjadi pada masa pensiun.
a) Kehilangan sumber finansial atau pemasukan (income) berkurang.
b) Kahilangan status karena dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi,
lengkap dengan segala fasilitasnya.
c) Kehilangan teman atau relasi.
d) Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.
e) Merasakan atau kesadaran akan kematian (sense of awareness of mortality).
A. Diabetes Melitus
Pengertian
Diabetes Melitus atau sering disebut dengan kencing manis adalah suatu
penyakit kronik yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin atau
dihasilkan oleh kelenjar pankreas yang berperan dalam memasukkan glukosa dari
aliran darah ke sel-sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi (IDF, 2015).
sekresi insulin, kinerja insulin atau kedua-duanya, sedangkan menurut WHO, 2011,
fungsi pankreas maupun keduanya. Jadinya, diabetes melitus adalah kelainan kadar
gula darah ditandai kenaikan glukosa darah (Hyperglikemia), gangguan pada tubuh
membutuhkan perawatan medis yang lama atau terus menerus dengan cara
Penyebab yang berhubungan dengan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin
pada diabetes melitus tipe 2 menurut Soegondo, 2007 dalam Damayanti, 2015, diperkirakan
karena :
1. Faktor genetik
3. Obesitas
4. Riwayat keluarga
antara lain :
DM Tipe 2, ibu dari neonatus yang beratnya lebih dari 4 kg, individu tertinggi
2. Obesitas
Prevalensi obesitas pada Diabetes Melitus cukup tinggi, demikian pula sebaliknya
yang didasari oleh resistensi insulin. Resistensi insulin pada diabetes dengan
3. Usia
Faktor usia yang resiko menderita DM Tipe 2 adalah usia diatas 30 tahun, hal ini
dimulai sel, kemudian berlanjut pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi
homeostasis. Setelah seorang mencapai umur 30 tahun, maka kadar glukosa darah
naik 1-2 mg% tiap tahun saat puasa dan akan naik 6-13% pada 2jam setelah makan,
berdasarkan hal tersebut bahwa umur merupakan faktor utama terjadinya kenaikan
Damayanti 2015)
4. Tekanan Darah
(Hypertensi) yaitu tekanan darah ≥140/90 mmHg, pada umumnya pada diabetes
mellitus menderita hipertensi. hipertensi yang tidak dikelola dengan baik akan
darah. Kadar gula darah plasma, obesitas selain faktor lain pada sistem otoregulasi
5. Aktivitas Fisik
Tipe 2 selain faktor genetik, juga bisa dipacu oleh lingkungan yang menyebabkan
perubahan gaya hidup tidak sehat, seperti makan berlebihan (berlemak dan kurang
serat), kurang aktivitas fisik, stress. DM Tipe 2 sebenarnya dapat dikendalikan atau
dicegah terjadinya melalui gaya hidup sehat, seperti makanan sehat dan aktivitas
6. Stress
Stress muncul ketika ada ketidakcocokan antara tuntutan yang dihadapi dengan
kemampuan yang dimiliki. Stress memicu reaksi biokimia tubuh melalui 2 jalur,
yaitu neural dan neuroendokrin. Reaksi pertama respon stress yaitu sekresi sistem
peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau keduanya. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang
dikonsumsi dan secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah.
2008).
Secara klinis terdapat dua tipe DM yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1
tipe 2 berlangsung lambat dan progresif, sehingga tidak terdeteksi karena gejala yang
Menurut Smeltzer et al, (2008) Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada
1. Polidipsia
Peningkatan rasa haus akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya air
karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi
Akibat gangguan aliran darah pada pasien diabetes lama, katabolisme protein diotot
dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi.
3. Polifagia
Akibat penurunan protein sebagai bahan pembentukan antibodi, peningkatan konsentrasi glukosa
disekresi mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah pada penderita diabetes
kronik.
5. Kelainan kulit
Kelainan kulit berupa gatal-gatal, bisul, biasanya terjadi di lipatan kulit seperti di ketiak dan
6. Kelainan ginekologis
Keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur terutama candida. Pada penderita diabetes
mellitus regenerasi sel persarafan mengalami gangguan akibat kekurangan bahan dasar utama yang
berasal dari unsur protein. Akibatnya banyak sel persarafan terutama perfifer mengalami
kerusakan.
Proses penyembuhan luka membutuhkan bahan dasar utama dari protein dan unsur makanan yang
lain. Pada penderita diabetes melitus bahan protein banyak diformulasikan untuk kebutuhan energi
sel sehingga bahan yang dipergunakan untuk penggantian jaringanyang rusak mengalami
gangguan. Selain itu luka yang sulit sembuh juga dapat diakibatkan oleh pertumbuhan
Penderita diabetes mellitus mengalami penurunan produksi hormon seksual akibat kerusakan
Disebabkan oleh katarak/ gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa oleh hiperglikemia,
Pencegahan
1. Pencegahan primer
Pendidikan tentang kebutuhan diet mungkin diperlukan. Suatu perencanaan makanan
yang terdiri dari 10% lemak, 15% protein, dan 75% karbohidrat kompleks
direkomendasikan untuk mencegah diabetes. Kandungan rendah lemak dalam diet ini
tidak hanya mencegah arterosklerosis, tetapi juga meningkatkan aktivitas reseptor insulin
(Stanley, Mickey, 2006).
Latihan juga diperlukan untuk membantu mencegah diabetes. Berjalan atau
berenang, dua aktivitas dengan dampak rendah, merupakan permulaan yang sanga baik
untuk para pemula.
2. Pencegahan sekunder
a. Penapisan
Kadar gula darah harus diperiksa secara rutin sebagai komponen dari penapisan, tetapi
hasil yang negatif dalam gejala ringan yang lain tidak dapat dianggap sebagai suatu
kesimpulan. Tes toleransi glukosa oral pada umumnya dianggap lebih sensitif dan
merupakan indikator yang dapat diandalkan daripada kadar glukosa darah puasa dan
harus dilakukan untuk menentukan diagnosis dan perawatan awal NIDDM (Stanley,
Mickey, 2006).
b. Nutrisi
Perawat yang membantu lansia dalam merencanakan makan dapat mengambil
kesempatan untuk memberikan pendidikan kepada klien tentang prinsip umum nutrisi
yang baik. Perawat dapat mengajarkan klien tentang membaca label untuk menghindari
asupan sehari-hari, memilih sumber-sumber makanan rendah kolesterol, dan
memasukkan serat yang adekuat dalam diet mereka (Stanley, Mickey, 2006).
c. Olahraga
Untuk lansia dengan NIDDM, olahraga dapat secara langsung meningkatkan fungsi
fisiologis dengan mengurangi kadar glukosa darah, meningkatkan stamina dan
kesejahteraan emosional, dan meningkatkan sirkulasi. Walaupun berenang dan berjalan
cepat telah dinyatakan sebagai pilihan yang sangat baik untuk lansia dengan NIDDM,
tipe aktivitas lainnya juga sama-sama bermanfaat. Khususnya, aerobik yang menawarkan
manfaat paling banyak. Seseorang dengan NIDDM harus melakukan latihan minimal satu
kali setiap 3 hari (Stanley, Mickey, 2006).
Komplikasi
Menurut Black dan Hawks (2005) Smeltzer et al, (2008) mengklasifikasikan diabetes
melitus menjadi 2 kelompok besar yaitu :
1. Komplikasi akut
a. Ketoasidosis diabetik
Adalah keadaan yang disebabkan karena tidak adannya insulin atau ketidakcukupan
lemak. Ada tiga gambaran klinis ketoasidosis diabetik yaitu dehidrasi, kehilangan
b. Hipoglikemi
Adalah penurunan kadar glukosa darah kurang dari 60 mg/dl. Keadaan ini dapat
terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, asupan
Adalah suatu dekompensasi metabolik pada pasien diabetes tanpa disertai adanya
neurologis.
2. Komplikasi kronis
a. Mikroangiopati
yang ditandai dengan gangguan pada satu atau lebih akar saraf dan dapat
disertai dengan kelemahan motorik, biasanya dalam waktu 6- 12 bulan.
b. Makroangiopati
tidak meningkatkan kadar LDL, namun sedikit kadar LDL pada DM tipe II
serebral atau pembentukan emboli ditempat lain dalam sistem pembuluh darah
yang kemudian terbawa aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh darah
Tanda dan gejalanya meliputi penurunan denyut nadi perifer dan klaudikatio
intermiten (nyeri pada betis pada saatberjalan). (Smeltzer et al. 2008 dalam
Damayanti, 2015)
Penatalaksanaan
Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa
pada pola aktivitas pasien. Menurut Konsensus perkeni (2011), ada empat pilar
1) Edukasi
pasien dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus
peningkatan motivasi.
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan terutama pada pasien yang
3) Latihan jasmani
insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga.
jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat latihan jasmani dapat ditingkatkan,
4) Terapi Farmakologis
Pada diabetes tipe II, insulin mungkin diperlukan sebagai terapi jangka panjang
untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemia oral
infeksi, kehamilan.
ASUHAN KEPERAWATAN DM PADA LANSIA
A. Pengkajian
Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
Sirkulasi
Integritas Ego
Stress, ansietas
Eliminasi
Makanan / Cairan
Neurosensori
Pernapasan
Keamanan
B. Masalah Keperawatan
C. Intervensi
Diagnosa Keperawatan. 1.
Intervensi :
Diagnosa Keperawatan. 2.
Intervensi
Diagnosa Keperawatan. 3.
Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar: RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI.
Damayanti, S. 2015. Diabetes Mellitus Dan Penatalaksanaan Keperawatan. Edisi
Pertama. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Nuha Medika.
Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani,
Jakarta:EGC, 1997.
Azizah,Lilik Ma’rifatul. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Garaha Ilmu. Yogyakarta. 2011
Kushariyadi. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Salemba Medika. Jakarta. 2010
Stanley, Mickey. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Alih Bahasa; Nety Juniarti, Sari
Kurnianingsih. Editor; Eny Meiliya, Monica Ester. Edisi 2. EGC. Jakarta. 2006