Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIABETES

MELITUS DI PSTW BUDI MULYA 02 CENGKARENG


Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Praktek Profesi Ners

Stase Keperawatan Gerontik

Disusun Oleh:

YULIANI
2018740155

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA


TEORI TENTANG LANSIA

A. Konsep Lansia
1. Definisi
Lanjut usia (lansia) adalah seseorang dengan usia 65 tahun atau lebih yang
terkadang menimbulkan masalah sosial, tetapi bukanlah suatu penyakit melainkan
suatu proses natural tubuh meliputi terjadinya perubahan deoxyribonucleic acid
(DNA), ketidaknormalan kromosom dan penurunan fungsi organ dalam tubuh. Proses
penuaan (aging process) merupakan suatu proses yang alami ditandai dengan adanya
penurunan atau perubahan kondisi fisik, psikologis maupun sosial dalam berinteraksi
dengan orang lain. Proses menua dapat menurunkan kemampuan kognitif dan
kepikunan. Masalah kesehatan kronis dan penurunan kognitif serta memori
(Handayani, dkk, 2013). Menurut UU No.13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia
disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun (Dewi,
S.R, 2014).
Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses
kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi
dengan stress lingkungan (Pudjiastuti, 2003 dalam Efendi & Makhfudli, 2009).
Lansia adalah individu yang berusia di atas 60 tahun, pada umumnya memiliki
tanda-tanda terjadinya penurunan fungsi-fungsi biologis, psikologis, sosial, dan
ekonomi (BKKBN, 1995 dalam Mubarak, dkk 2012).
Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu
periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih
menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat (Hurlock, 2000
dalam Murwani & Priyantari, 2011).
Menurut UU N0. 13 tahun 1998 dalam Maryam, dkk tahun 2010 dikatakan
bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas.
Populasi lansia di dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat, bahkan
pertambahan lansia menjadi yang paling mendominasi apabila dibandingkan dengan
pertambahan populasi penduduk pada kelompok usia lainnya. Menurut WHO,
populasi lansia di Asia Tenggara sebesar 8% atau sekitar 142 juta jiwa. Pada tahun
2050 diperkirakan populasi lansia akan terus meningkat hingga 3 kali lipat. Pada
tahun 2000 didapatkan data jumlah lansia sekitar 5,300,000 (7,4%) dari total
ppopulasi, sedangkan pada tahun 2010 33terjadi peningkatan jumlah lansia menjadi
24,000,000 (9,77%) dari total populasi dan diperkirakan pada tahun 2020 jumlah
lansia akan terus meningkat hingga 28,800,000 (11,34%) dari total populasi. Di
Indonesia pada tahun 2020 jumlah lansia diperkirakan sekitar 80.000.000 (Kemenkes
RI, 2018).

2. Klasifikasi Lansia
Menurut Maryam, dkk tahun 2008 ada lima klasifikasi pada lansia.
a. Pralansia
Seseorang yang berusia antara 45-49 tahun.
b. Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia resiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau
lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2005).
d. Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat
menghasilkan barang/jasa (Depkes RI, 2003).
e. Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada
bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).

3. Batasan Umur Lanjut Usia


Berikut ini adalah batasan – batasan umur yang mencakup batasan umur lansia dari
pendapat berbagai ahli yang dikutip dari (Nugroho, 2002 dalam Efendi & makhfudli,
2009).
a. Menuru tundang – undang nomor 13 tahun 1998 dalam bab 1 pasal 1 ayat 2 yang
berbunyi“ lanjut usia adalah sesorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun
keatas “.
b. Menurut World Health Organization (WHO)
Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun
Lanjut usia (elderly) : 60-74 tahun
Lanjut usia tua (old) : 75-90 tahun
Usia sangat tua (very old) : diatas 90 tahun
c. Menurut Prof. Dr. Ny. Sumiati Ahmad Mohammad
Masa bayi : 0-1 tahun
Masa prasekolah : 1-6 tahun
Masa sekolah : 6-10 tahun
Masa pubertas : 10-20 tahun
Masa dewasa : 20-40 tahun
Masa setengah umur (prasenium) : 40-65 tahun
Masa lanjut usia (senium) : 65 tahun keatas
d. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI)
Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi
menjadi empat bagian sebagai berikut.
Pertama (fase luvetus) : 25-45 tahun
Kedua (fase virilitas) : 40-55 tahun
Ketiga (fase presenium) : 55-65 tahun
Keempat (fase senium) : 65 hingga tutup usia
e. Menurut Prof. Dr. koesoemato Setyonegoro
Masa dewasa muda (elderly adulthood) : 18 atau 20-25 tahun
Masa dewasa penuh atau maturitas (middle years) : 25-60 atau 65 tahun
Masa lanjut usia (geriatric age) : > 65 atau 70 tahun
Masa lanjut usia (geriatric age) itu sendiri dibagi lagi menjadi, tiga batasan umur,
yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old (> 80 tahun).

4. Tipe usia lanjut


Menurut Maryam, dkk tahun 2010, beberapa tipe pada usia lanjut bergantung
pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial dan
ekonomi. Tipe tersebut antara lain :
a. Tipe Arif Bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman,
mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan,
memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
b. Tipe Mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari
pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
c. Tipe Tidak Puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak
sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut.
d. Tipe Pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan
pekerjaan apa saja.
e. Tipe Bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan
acuh tak acuh.
Menurut Nugroho (2008), lanjut usia dapat pula dikelompokkan dalam
beberapa tipe yang tergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan,
kondisi fisik, mental sosial, dan ekonominya. Tipe ini antara lain :
a. Tipe optimis
Lanjut usia santai dan periang, penyesuaian cukup baik, mereka memandang
masa lanjut usia dalam bentuk bebas dari tanggung jawab dan sebagai
kesempatan untuk menuruti kebutuhan pasifnya. Tipe ini sering disebut juga
lanjut usia tipe kursi goyang ( the rocking chairman).

b. Tipe konstruksi
Lanjut usia ini mempunyai integritas baik, dalam menikmati hidup,
mempunyai toleransi yang tinggi, humoristik, fleksibel, dan tahu diri.
Biasanya, sifat ini terlihat sejak muda. Mereka dengan tenang menghadapi
proses menua dan menghadapi akhir.
c. Tipe ketergantungan
Lanjut usia ini masih dapat diterima ditengah masyarakat, tetapi selalu pasif,
tidak berambisi, masih tahu diri, tidak mempunyai inisiatif dan bila bertindak
yang tidak praktis. Ia senang pensiun, tidak suka bekerja, dan senang berlibur,
banyak makan, dan banyak minum.
d. Tipe defensive
Lanjut usia biasanya sebelumnya mempunyai riwayat pekerjaan/jabatan yang
tidak stabil, bersifat selalu menolak bantuan, emosi tidak terkontrol,
memegang teguh kebiasaan, bersifat konpulsif aktif, anehnya mereka takut
menghadapi “menjadi tua” dan menyenangi masa pensiun.
e. Tipe militant dan serius
Lanjut usia yang tidak mudah menyerah, serius senang berjuang, bisa menjadi
panutan.
f. Tipe pemarah frustasi
Lanjut usia yang pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, selalu
menyalahkan orang lain, menunjukan penyesuian yang buruk. Lanjut usia
sering mengekspresikan kepahitan hidupnya.
g. Tipe bermusuhan
Lanjut usia yang selalu menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalan,
selalu mengeluh, bersifat agresif, dan curiga. Biasanya, pekerjaan saat ia muda
tidak stabil, menganggap menjadi tua itu bukan hal yang baik, takut mati, iri
hati pada orang yang muda, senang mengadu untung pekerjaan, aktif
meghindari masa yang buruk.
h. Tipe putus asa, membenci, dan menyalahkan diri sendiri
Lanjut usia ini bersifat kritis dan menyalahkan diri sendiri, tidak mempunyai
ambisi, mengalami penurunan sosio-ekonomi, tidak dapat menyesuaikan diri.
Lanjut usia tidak hanya mengalami kemarahan, tetapi juga depresi,
memandang lanjut usia sebagai tidak berguna karena masa yang tidak
menarik. Biasanya, perkawinan tidak bahagia, merasa menjadi korban
keadaan, membenci diri sendiri, dan ingin cepat mati.

5. Teori Proses Menua


a. Teori Biologis
Menurut potter (2005) menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk
perubahan fungsi, struktur, pengembangan, panjang usia dan kematian.
a) Teori Genetik (Genetic Theory/Genetic Lock)
Teori ini mengusulkan bahwa akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi
dapat merusak sintensis DNA. Teori genetik terdiri dari teori asam
deoksribonukleat (DNA), teori ketepatan dan kesalahan, mutasi, somatik, dan
glikogen. Teori ini menyatakan bahwa proses replikasi pada tingkatan seluler
menjadi tidak teratur karena adanya informasi tidak sesuai yang diberikan dari
inti sel. Molekul DNA menjadi bersilangan (crosslink) dengan unsur yang lain
sehingga mendorong malfungsi molekular dan akhirnya malfungsi organ
tubuh.
b) Teori Imunologis
Teori imunitas menggambarkan penurunan atau kemunduran dalam
keefektifan sistem imun yang berhubungan dengan penuaan. Mekanisme
seluler tidak teratur diperkirakan menyebabkan serangan pada jaringan tubuh
melalui penurunan imun. Dengan bertambahnya usia, kemampuan
pertahanan/imun untuk menghancurkan bakteri, virus dan jamur melemah
sehingga mereka lebih rentan untuk menderita berbagai penyakit seperti
kanker dan infeksi. Seiring berkurangnya imun terjadilah suatu peningkatan
respon auto imun pada tubuh lansia.
c) Teori Neuroendokrin
Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan secara universal akibat
penurunan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk dapat menerima.
Memproses dan bereaksi terhadap perintah. Hal ini dapat dikenal sebagai
perlambatan tingkah laku, respon ini terkadang aktualisasikan sebagai
tindakan untuk melawan, ketulian atau kurang pengetahuan. Umumnya pada
usia lanjut merasa seolah-olah mereka tidak kooperatif/ tidak patuh.
d) Teori Lingkungan
Menurut teori ini, faktor dari dalam lingkungan seperti karsinogen dari
industri, cahaya matahari, trauma dan infeksi dapat membawa perubahan
dalam proses penuaan. Dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak
sekunder dan bukan faktor utama dalam penuaan.
e) Teori Crossllink
Teori cross link dan jaringan ikat mengatakan bahwa molekul kolagen dan
elastin, komponen jaringan ikat, membentuk senyawa yang lama
meningkatkan rigiditas sel, cross link diperkirakan berakibat menimbulkan
senyawa antara molekul yang normalnya terpisah. Saat serat kolagen yang
awalnya dideposit dalam jaringan otot polos, menjadi renggang berikatan dan
jaringan menjadi fleksibel. Contoh cross link jaringan ikat terkait usia meliputi
penurunan kekuatan daya rentang dinding arteri seperti tanggalnya gigi, kulit
yang menua, tendon kering dan berserat.
f) Teori Radikal Bebas
Radikal bebas adalah produk metabolisme seluler yang merupakan bagian
molekul yang sangat reaktif. Molekul ini memiliki muatan ektraseluler kuat
yang dapat menciptakan reaksi dengan protein, mengubah bentuk sifatnya,
molekul ini juga dapat bereaksi dengan lipid yang berada dalam membran sel
dan mempengaruhi permeabilitasnya atau dapat berikatan dengan organel sel.
Teori ini menyatakan bahwa penuaan disebabkan karena terjadinya akumulasi
kerusakan ireversibel akibat senyawa pengoksidasi dimana radikal bebas dapat
terbentuk dialam. Tidak stabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi bahan
organik seperti karbohidrat dan protein.

b. Teori Psikososial
Teori ini memusatkan pada perubahan sikap dan prilaku yang menyertai
peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi biologi pada kerusakan anatomis,
yang terdiri dari :
a) Teori Pemutusan Hubungan (Disengagement)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia maka seseorang akan
berangsur-angsur akan melepaskan dirinya dari kehidupan sosialnya (menarik
diri) dari lingkungan sekitarnya dan ini menyebabkan kehilangan ganda
seperti : kehilangan peran, hambatan kontak sosial, berkurangnya komitmen
atau dengan kata lain orang yang menua menarik diri dari perannya dan
digantikan oleh generasi yang lebih muda. Peran yang terkait pada aktivitas
yang lebih introspektif dan berfokus pada diri sendiri. Disengagement adalah
intrinsik dan tidak dapat dielakkan baik secara biologis dan psikologis,
dianggap perlu untuk keberhasilan penuaan dan bermanfaat baik bagi lansia
dan masyarakat.
b) Teori Aktivitas
Teori ini tidak menyetujui teori disengagement dan lebih menegaskan bahwa
kelanjutan aktivitas dewasa tengah penting untuk keberhasilan penuaan.
Havighurst (1952) yang pertama menulis tentang pentingnya tetap aktif secara
sosial sebagai alat untuk penyesuian diri yang sehat untuk lansia. Beberapa
pendapat mengemukakan bahwa penuaan terlalu kompleks untuk
dikarateristikan kedalam cara sederhana tersebut. Gagasan pemenuhan
kebutuhan seseorang harus seimbang dengan pentingnya perasaan dibutuhkan
orang lain dalam mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan orang lain
dan kesejahteraan fisik secara mental orang tersebut. Teori ini menyatakan
pada lansia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam
kegiatan sosial. Ukuran optimum dilanjutkan pada cara hidup dari lansia,
mempertahan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari
usia pertengahan kelanjutan usia. Selain itu dapat menunjukan pentingnya
aktivitas mental dan fisik yang berkesinambungan untuk mencegah kehilangan
dan pemeliharaan kesehatan sepanjang masa kehidupan manusia.
c) Teori Tugas Perkembangan (Kontuinitas)
Teori kontuinitas menyatakan bahwa kepribadian tetap masa dan prilaku
menjadi lebih mudah diprediksi seiring penuaan. Hasil penelitian Ericson
tugas perkembangan adalah aktivitas dan tantangan yang harus dipenuhi oleh
seseorang pada tahap spesifik dalam kehidupannya untuk mencapai penuaan
yang sukses. Beberapa pendapat bahwa teori ini terlalu sederhana dan tidak
mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi respon seseorang
terhadap proses penuaan. Teori ini juga menyatakan bahwa perubahan yang
terjadi pada lanjut usia dipengaruhi oleh tipe kepribadian yang dimiliki. Pada
kondisi ini tidak adanya pencapaian perasaan bahwa ia telah menikmati hidup
yang baik, maka lansia tersebut beresiko untuk disibukkan dengan rasa
penyesalan atau putus asa.
d) Teori Kepribadian
Jun berteori bahwa keseimbangan antara dua hal tersebut adalah penting bagi
kesehatan. Menurunya tanggung jawab dan tuntutan dari keluarga dan ikatan
sosial sering terjadi dikalangan lansia. Konsep interioritas dari Jun
mengatakan bahwa separuh kehidupan manusia berikutnya digambarkan
dengan tujuan sendiri yaitu mengembangkan kesadaran diri sendiri melalui
aktivitas yang dapat merefleksikan dirinya sendiri. Lansia sering beranggapan
bahwa hidup telah memberikan satu rangkaian pilihan yang sekali dipilih akan
membawa orang tersebut pada suatu arah yang tidak bisa diubah.

6. Perubahan Sistem Tubuh Lansia


Menurut Nugroho, 2000 beberapa perubahan sistem tubuh manusia
a. Perubahan Fisik
a) Sel
Pada lansia, jumlah jumlah selnya akan lebih sedikit dan ukurannya akan lebih
besar. Cairan tubuh dan cairan intraseluler akan berkurang, proporsi protein di
otak, otot, ginjal, darah, dan hati juga ikut berkurang. Jumlah sel otak akan
menurun, mekanisme perbaikan sel akan terganggu, dan otak menjadi atrofi.
b) Sistem Persarafan
Rata-rata berkurangnya saraf neocortical sebesar 1 per detik (Pakkenberg dkk,
2003), hubungan persarafan cepat menurun, lambat dalam merespon baik dari
gerakan maupun jarak waktu, khususnya dengan stress, mengecilnya saraf
pancaindra, serta menjadi kurang sensitive terhadap sentuhan.
c) Sistem Pendengaran
Gangguan pada pendengaran (presbiakusis), membran timpani mengalami
atrofi, terjadi pengumpulan dan pengerasan serumen karena peningkatan
keratin, pendengaran menurun pada lanjut usia yang mengalami ketengagan
jiwa atau stress.
d) Sistem Penglihatan
Timbul skelerosis pada sfinter pupil dan hilangnya respon terhadap sinar,
kornea lebih berbentuk seperti bola (sferis), lensa lebih suram (keruh) dapat
menyebakan katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar dan daya
adaptasi terhadap kegelapan menjadi lebih lambat dan sulit untuk melihat
dalam kedaan gelap, hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang pandang,
dan menurunya daya untuk membedakan antara warna biru dengan hijau pada
skala pemeriksaan.

e) Sistem Kardiovaskular
Elastisitas dinding aorta menurun, katub jantung menebal dan menjadi kaku,
kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah
berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan
volumenya. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektifitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenisasi, sering terjadi postural hipotensi,
tekanan darah meningkat diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari
pembuluh darah perifer.
f) Sistem Pengaturan Suhu Tubuh
Suhu tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis ± 350 C, hal ini diakibatkan
oleh metabolisme yang menurun, keterbatasan reflek menggigil, dan tidak
dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya aktivitas
otot.
g) Sistem Pernafasan
Otot-otot pernapasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya
aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas sehingga kapasitas residu
meningkat, menarik napas lebih berat, kapasitas pernapasan maksimum
menurun, dan kedalaman bernapas menurun. Ukuran alveoli melebar dari
normal dan jumlahnya berkurang, oksigen pada arteri menurun menjadi 75
mmHg, kemampuan untuk batuk berkurang, dan penurunan kekuatan otot
pernapasan.
h) Sistem Gastrointestinal
Kehilangan gigi, indra pengecapan mengalami penurunan, esophagus melebar,
sensitivitas akan rasa lapar menurun, produksi asam lambung menurun,
peristaltik lemah dan waktu pengosongan lambung menurun, peristaltik lemah
dan biasanya timbul konstipasi, fungsi absorbsi menurun, hati (liver) semakin
mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan, serta berkurangnya suplai
aliran darah.
i) Sistem Genitourinaria
Ginjal mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah keginjal menurun
hingga 50%, fungsi tubulus berkurang (berakibat pada penurunan kemampuan
ginjal untuk mengkonsentrasikan urin, berat jenis urin menurun, proteinuria
biasanya +1), blood urea nitrogen (BUN) meningkat hingga 21 mg%, nilai
ambang ginjal terhadap glukosa meningkat. Otot-otot kandung kemih (vesica
urinaria) melemah, kapasitasnya menurun hingga 200 ml dan menyebabkan
frekuensi buang air kecil meningkat, kandung kemih sulit dikosongkan
sehingga meningkatkan retensi urine. Pria dengan usia 65 tahun keatas
sebagian besar mangalami pembesaran prostat hingga ±75% dari besar
normalnya.
j) Sistem Endokrin
Menurunnya produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH, aktivitas tiroid, basal
metabolic rate (BMR), daya pertukaran gas, produksi aldosteron, serta sekresi
hormon kelamin seperti progesteron, estrogen, dan testosteron.
k) Sistem Integumen
Kulit menjadi keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit kasar
dan bersisik, menurunnya respon terhadap trauma, mekanisme proteksi kulit
menurun, kulit kepala dan rambut menipis serta berwarna kelabu, rambut
dalam hidung dan telinga menebal, berkurangnya elstisitas akibat menurunnya
cairan vaskularitas, pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi keras
dan rapuh, kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk, kelenjar
keringat berkurang jumlahnya dan fungsinya, kuku menjadi pudar dan kurang
bercahaya.
 Perubahan pada Epidermis
Stratum korneum yang merupakan lapisan terluar dari epidermis akan
mengalami jumlah lipid seiring bertambahnya usia sehingga rentan
terhadap kerusakan. Pernurunan proliferasi sel – sel epidermis
(keratinosis) juga menyebabkan stratum korneum lebih lama dalam
mengatasi kerusakan tersebut. Sel – sel melanosit yang memberikan
warna pada kulit dan melindungi kulit dari sinar ultraviolet akan
mengalami penururnan jumlah aktif sebanyak 10 – 20% perdekade.
Selain itu, sel – sel langerhans yang berperan sebagai makrofag juga
menururn, sehingga rentan terhadap terjadinya infeksi (Reichel, 2009).
 Perubahan Pada Dermis
Pada usi atua terjadi penururna kekebalan kulit dan penururnan
vaskularisasi serta komponen sel. Dermis tersusun atas 80% kolagen
yang memeberikan daya elastisitas dan fleksibilitas pada kulit.
Penururnan kolagen dan elastisitas dapat menyebabkan kelemahan,
ketahanan, dan kerutan halus tampak pada kulit yang menua.
 Perubahan Jaringan Subkutan
Pertambahan usia menyebabkan penururnan jumlah dan distribusi lemak
pada subkutan. Beberapa jaringan subkutan mengalami atropi. Hal ini
mengakibatkan orang tua mengalami kehilangan bantalan tubuh yang
melindungi dari tekanan dan nkehilangan suhu tubuh. Selain itu, pada
saraf juga mengalami penurunan shingga mempengaruhi sensasi tekan
dan sentuhan.
l) Sistem Muskuloskeletal
Tulang kehilangan kepadatan (density) dan semakin rapuh, kifosis, persendian
membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami sklerosis, atrofi
serabut otot sehingga gerak seseorang menjadi lambat, otot-otot kram dan
menjadi tremor.
b. Perubahan Mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah perubahan fisik,
kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas), lingkungan, tingkat
kecerdasan (intelligence quotient-I.Q.), dan kenangan (memory). Kenangan dibagi
menjadi dua, yaitu kenangan jangka panjang (berjam-jam sampai berhari-hari
yang lalu) mencakup beberapa perubahan dan kenangan jangka pendek atau
seketika (0-10 menit) biasanya dapat berupa kenangan buruk.

c. Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial terjadi terutama setelah seseorang mengalami pensiun.
Berikut ini adalah hal-hal yang akan terjadi pada masa pensiun.
a) Kehilangan sumber finansial atau pemasukan (income) berkurang.
b) Kahilangan status karena dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi,
lengkap dengan segala fasilitasnya.
c) Kehilangan teman atau relasi.
d) Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.
e) Merasakan atau kesadaran akan kematian (sense of awareness of mortality).

7. Tugas Perkembangan Lansia


Menurut Erickson, dalam Maryam dkk, 2008 kesiapan lansia untuk
beradaptasi atau menyesuaikan terhadap diri tugas perkembangan usia lanjut
dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya.
Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan kegiatan
sehari-hari dengan teratur dan baik serta membina hubugan yang serasi dengan orang-
orang disekitarnya, maka pada usia lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang
biasa ia lakukan pada tahap perkembangan sebelumnya seperti olahraga,
mengembangkan hobi bercocok tanam, dan lain-lain.
Adapun tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut
a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun
b. Mempersiapkan diri untuk pensiun
c. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya
d. Mempersiapkan kehidupan baru
e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara santai
f. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan.
TEORI TENTANG DIABETES MELITUS

A. Diabetes Melitus
Pengertian
Diabetes Melitus atau sering disebut dengan kencing manis adalah suatu

penyakit kronik yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin atau

tidak dapat menggunakan insulin (resistensi insulin), dan di diagnosa melalui

pengamatan kadar glukosa di dalam darah. Insulin merupakan hormon yang

dihasilkan oleh kelenjar pankreas yang berperan dalam memasukkan glukosa dari

aliran darah ke sel-sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi (IDF, 2015).

Ditambahkan oleh ADA(2010), Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok

penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

sekresi insulin, kinerja insulin atau kedua-duanya, sedangkan menurut WHO, 2011,

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolisme dari karbohidrat, lemak,

protein sebagai hasil dari ketidakfungsian insulin (resistensi insulin), menurunnya

fungsi pankreas maupun keduanya. Jadinya, diabetes melitus adalah kelainan kadar

gula darah ditandai kenaikan glukosa darah (Hyperglikemia), gangguan pada tubuh

dan perlu terapi secara bertahap untuk mengatasinya.

Jadi, Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronis kompleks yang

membutuhkan perawatan medis yang lama atau terus menerus dengan cara

mengendalikan kadar gula darah untuk mengurangi risiko multifaktorial.


Etiologi

Sekitar 50% lansia menunjukkan intoleransi glukosa, dengan kadar gula


puasa yang normal. Penyebab dari terjadinya intoleransi glukosa ini adalah faktor
diet, obesitas, kurangnya olahraga, dan penuaan. Frekuensi hipertiroid pada lansia
yaitu sebanyak 25%, sekitar 75% dari jumlah tersebut mempunyai gejala, dan
sebagian menunjukkan “apatheic thyrotoxicosis”.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem endokrin
akibat proses menua:
1. Kadar glukosa darah meningkat. Implikasi dari hal ini adalah glukosa darah
puasa 140 mg/dL dianggap normal.
2. Ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat. Implikasi dari hal ini adalah
kadar glukosa darah 2 jam PP 140-200 mg/dL dianggap normal.
3. Residu urin di dalam kandung kemih meningkat. Implikasi dari hal ini adalah
pemantauan glukosa urin tidak dapat diandalkan.
4. Kelenjar tiroad menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4 sedikit menurun, dan
waktu paruh T3 dan T4 meningkat. Implikasi dari hal ini adalah serum T3 dan
T4 tetap stabil.

Penyebab yang berhubungan dengan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin
pada diabetes melitus tipe 2 menurut Soegondo, 2007 dalam Damayanti, 2015, diperkirakan
karena :
1. Faktor genetik

2. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 40 tahun)

3. Obesitas

4. Riwayat keluarga

Menurut Damayanti (2015) faktor-faktor resiko terjadinya Diabetes Melitus

antara lain :

1. Faktor Keturunan (genetik)

Faktor genetik dapat langsung memperngaruhi sel beta dan mengubah

kemampuannya untuk mengenali dan menyebarkan rangsangan sekretoris insulin.

Keadaan ini meningkatkan kerentanan individu tersebut terhadap faktor-faktor


lingkungan yang dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta pankreas. Secara

genetik resiko DM Tipe 2 meningkat pada saudara kembar monozigotik seorang

DM Tipe 2, ibu dari neonatus yang beratnya lebih dari 4 kg, individu tertinggi

terhadap Diabetes Melitus (Price 2002 dalam Damayani, 2015).

2. Obesitas

Prevalensi obesitas pada Diabetes Melitus cukup tinggi, demikian pula sebaliknya

kejadian Diabetes Melitus dan gangguan toleransi glukosa pada

obesitas sering dijumpai. Obesitas terutama obesitas sentral berhubungan secara

bermakna dengan sindrom dismetabolik (dislipidemia, hiperglikemia, hipertensi)

yang didasari oleh resistensi insulin. Resistensi insulin pada diabetes dengan

obesitas membutuhkan pendektan khusus. Penurunan berat badan 5-10% sudah

memberikan hasil yang baik (Perkeni, 2015).

3. Usia

Faktor usia yang resiko menderita DM Tipe 2 adalah usia diatas 30 tahun, hal ini

dikarenakan adanya perubahan anatomis,fisiologis, dan biokimia. Perubahan

dimulai sel, kemudian berlanjut pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi

homeostasis. Setelah seorang mencapai umur 30 tahun, maka kadar glukosa darah

naik 1-2 mg% tiap tahun saat puasa dan akan naik 6-13% pada 2jam setelah makan,

berdasarkan hal tersebut bahwa umur merupakan faktor utama terjadinya kenaikan

relevansi diabetes serta gangguaan toleransi glukosa (Sudoyo et al , 2009 dalam

Damayanti 2015)

4. Tekanan Darah

Seseorang beresiko menderita DM adalah yang mempunyai teknanan darah tinggi

(Hypertensi) yaitu tekanan darah ≥140/90 mmHg, pada umumnya pada diabetes
mellitus menderita hipertensi. hipertensi yang tidak dikelola dengan baik akan

mempercepat kerusakan pada ginjal dan kelainan kardiovaskuler. Sebaliknya

apabila tekanan darah dapat dikontrol maka akan memproteksikan terhadap

komplikasi mikro dan makrovaskuler yang disertai pengelolaan hiperglikemia yang

terkontrol. Patogenesis hipertensi penderita DM Tipe 2 sanat kompleks, banyak

faktor yang berpengaruh pada peningkatan tekanan

darah. Kadar gula darah plasma, obesitas selain faktor lain pada sistem otoregulasi

pengaturan tekanan darah (Purwita, 2016).

5. Aktivitas Fisik

Menurut Ketua Indonesia Diabetes Association (Persadia), Soegondo bahwa DM

Tipe 2 selain faktor genetik, juga bisa dipacu oleh lingkungan yang menyebabkan

perubahan gaya hidup tidak sehat, seperti makan berlebihan (berlemak dan kurang

serat), kurang aktivitas fisik, stress. DM Tipe 2 sebenarnya dapat dikendalikan atau

dicegah terjadinya melalui gaya hidup sehat, seperti makanan sehat dan aktivitas

teratur (Damayanti, 2015).

Menurut Kriska dalam Damayanti (2015) mekanisme aktivitas fisik dalam

mencegah atau menghambat perkembangan DM Tipe 2 yaitu :

a. Penurunan resistensi insulin/peningkatan sensitivitas insulin

b. Peningkatan toleransi glukosa

c. Penurunan lemak adiposa tubuh secara menyeluruh

d. Pengurangan lemak sentral

e. Perubahan jaringan otot

6. Stress

Stress muncul ketika ada ketidakcocokan antara tuntutan yang dihadapi dengan
kemampuan yang dimiliki. Stress memicu reaksi biokimia tubuh melalui 2 jalur,

yaitu neural dan neuroendokrin. Reaksi pertama respon stress yaitu sekresi sistem

saraf simpatis untuk mengeluarkan norepinefrin yang menyebabkan peningkatan

frekuensi jantung. Kondisi ini menyebabkan glukosa darah meningkat guna

sumber energi untuk perfusi.

Karakteristik penyakit diabetes mellitus pada lansia

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik

peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat kelainan sekresi

insulin, kerja insulin atau keduanya. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang

dikonsumsi dan secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah.

Insulin merupakan suatu hormon yang diproduksi pankreas yang berfungsi

mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan

penyimpanannya (American Diabetes Assosiation, 2004 dalam Smeltzer&Bare,

2008).

Secara klinis terdapat dua tipe DM yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1

disebabkan karena kurangnya insulin secara absolut akibat proses autoimun

sedangkan DM tipe 2 merupakan kasus terbanyak (90-95% dari seluruh kasus

diabetes) yang umumnya mempunyai latar belakang kelainan diawali dengan

resistensi insulin (American Council on Exercise, 2001; Smeltzer&Bare, 2008). DM

tipe 2 berlangsung lambat dan progresif, sehingga tidak terdeteksi karena gejala yang

dialami pasien sering bersifat ringan seperti kelelahan, iritabilitas, poliuria,polidipsi

dan luka yang lama sembuh (Smeltzer&Bare, 2008).


Manifestasi Klinik

Menurut Smeltzer et al, (2008) Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada

pasien diabetes mellitus yaitu :Poliuria

Peningkatan pengeluaran urin

1. Polidipsia

Peningkatan rasa haus akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya air

menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel

karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi

ke plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran

ADH (antidiuretik hormone) dan menimbulkan rasa haus.

2. Rasa lelah dan kelemahan otot

Akibat gangguan aliran darah pada pasien diabetes lama, katabolisme protein diotot

dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi.

3. Polifagia

Peningkatan rasa lapar.

4. Peningkatan angka infeksi

Akibat penurunan protein sebagai bahan pembentukan antibodi, peningkatan konsentrasi glukosa

disekresi mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah pada penderita diabetes

kronik.

5. Kelainan kulit

Kelainan kulit berupa gatal-gatal, bisul, biasanya terjadi di lipatan kulit seperti di ketiak dan

dibawah payudara. Biasanya akibat tumbuhnya jamur.

6. Kelainan ginekologis

Keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur terutama candida. Pada penderita diabetes
mellitus regenerasi sel persarafan mengalami gangguan akibat kekurangan bahan dasar utama yang

berasal dari unsur protein. Akibatnya banyak sel persarafan terutama perfifer mengalami

kerusakan.

7. Kesemutan rasa baal akibat terjadinya neuropati.

8. Luka/ bisul yang tidak sembuh-sembuh

Proses penyembuhan luka membutuhkan bahan dasar utama dari protein dan unsur makanan yang

lain. Pada penderita diabetes melitus bahan protein banyak diformulasikan untuk kebutuhan energi

sel sehingga bahan yang dipergunakan untuk penggantian jaringanyang rusak mengalami

gangguan. Selain itu luka yang sulit sembuh juga dapat diakibatkan oleh pertumbuhan

mikroorganisme yang cepat pada penderita diabetes melitus.

9. Pada laki-laki terkadang mengeluh impotensi

Penderita diabetes mellitus mengalami penurunan produksi hormon seksual akibat kerusakan

testosteron dan sistem yang berperan.

10. Mata kabur

Disebabkan oleh katarak/ gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa oleh hiperglikemia,

mungkin juga disebabkan kelainan pada korpusvitreum.

Patofisiologi Penyakit Diabetes Akibat Penuaan


Diabetes mellitus adalah “suatu gangguan metabolik yang melibatkan berbagai sistem
fisiologi, yang paling kritis adalah melibatkan metabolisme glukosa.” Fungsi vaskular, renal,
neurologis dan penglihatan pada orang yang mengalami diabetes dapat terganggu dengan proses
penyakit ini, walaupun perubahan-perubahan ini terjadi pada jaringan yang tidak memerlukan insulin
untuk berfungsi (Stanley, Mickey, 2006).
Beberapa kondisi dapat menjadi predisposisi bagi seseorang untuk mengalami diabetes,
walaupun terdapat dua tipe yang dominan. Diabetes mellitus tergantung insulin (Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM)), atau diabetes tipe I, terjadi bila seseorang tidak mampu untuk
memproduksi insulin endigen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Tipe diabetes ini
terutama dialami oleh orang yang lebih muda. Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (Non-Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)) atau diabetes tipe II, adalah bentuk yang paling sering pada
penyakit ini. Antara 85-90 % orang dengan diabetes memiliki tipe NIDDM, yang lebih dekat
dihubungkan dengan obesitas daripada dengan ketidakmampuan untuk memproduksi insulin (Stanley,
Mickey, 2006).
NIDDM, bentuk penyakit yang paling sering diantara lansia, adalah ancaman serius terhadap
kesehatan karena beberapa alasan. Pertama, komplikasi kronis yang dialami dalam hubungannya
dengan fungsi penglihatan, sirkulasi, neurologis, dan perkemihan dapat lebih menambah beban pada
sistem tubuh yang telah mengalami penurunan akibat penuaan. Kedua, sindrom hiperglikemia
hipeosmolar nonketotik, suatu komplikasi diabetes yang dapat mengancam jiwa meliputi
hiperglikemia, peningkatan osmolalitas serum, dan dehidras, yang terjadi lebih sering di antara lansia
(Stanley, Mickey, 2006).
WOC (Web Of Caution)

Pencegahan
1. Pencegahan primer
Pendidikan tentang kebutuhan diet mungkin diperlukan. Suatu perencanaan makanan
yang terdiri dari 10% lemak, 15% protein, dan 75% karbohidrat kompleks
direkomendasikan untuk mencegah diabetes. Kandungan rendah lemak dalam diet ini
tidak hanya mencegah arterosklerosis, tetapi juga meningkatkan aktivitas reseptor insulin
(Stanley, Mickey, 2006).
Latihan juga diperlukan untuk membantu mencegah diabetes. Berjalan atau
berenang, dua aktivitas dengan dampak rendah, merupakan permulaan yang sanga baik
untuk para pemula.

2. Pencegahan sekunder
a. Penapisan
Kadar gula darah harus diperiksa secara rutin sebagai komponen dari penapisan, tetapi
hasil yang negatif dalam gejala ringan yang lain tidak dapat dianggap sebagai suatu
kesimpulan. Tes toleransi glukosa oral pada umumnya dianggap lebih sensitif dan
merupakan indikator yang dapat diandalkan daripada kadar glukosa darah puasa dan
harus dilakukan untuk menentukan diagnosis dan perawatan awal NIDDM (Stanley,
Mickey, 2006).

b. Nutrisi
Perawat yang membantu lansia dalam merencanakan makan dapat mengambil
kesempatan untuk memberikan pendidikan kepada klien tentang prinsip umum nutrisi
yang baik. Perawat dapat mengajarkan klien tentang membaca label untuk menghindari
asupan sehari-hari, memilih sumber-sumber makanan rendah kolesterol, dan
memasukkan serat yang adekuat dalam diet mereka (Stanley, Mickey, 2006).

c. Olahraga
Untuk lansia dengan NIDDM, olahraga dapat secara langsung meningkatkan fungsi
fisiologis dengan mengurangi kadar glukosa darah, meningkatkan stamina dan
kesejahteraan emosional, dan meningkatkan sirkulasi. Walaupun berenang dan berjalan
cepat telah dinyatakan sebagai pilihan yang sangat baik untuk lansia dengan NIDDM,
tipe aktivitas lainnya juga sama-sama bermanfaat. Khususnya, aerobik yang menawarkan
manfaat paling banyak. Seseorang dengan NIDDM harus melakukan latihan minimal satu
kali setiap 3 hari (Stanley, Mickey, 2006).

Komplikasi
Menurut Black dan Hawks (2005) Smeltzer et al, (2008) mengklasifikasikan diabetes
melitus menjadi 2 kelompok besar yaitu :
1. Komplikasi akut
a. Ketoasidosis diabetik

Adalah keadaan yang disebabkan karena tidak adannya insulin atau ketidakcukupan

jumlah insulin, yang menyebabkan kekacauan metabolisme karbohidrat, protein,

lemak. Ada tiga gambaran klinis ketoasidosis diabetik yaitu dehidrasi, kehilangan

elektrolit dan asidosis.( PERKENI, 2015).

b. Hipoglikemi

Adalah penurunan kadar glukosa darah kurang dari 60 mg/dl. Keadaan ini dapat

terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, asupan

karbohidrat kurang atau aktivitas fisik yang berlebihan.

c. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

Adalah suatu dekompensasi metabolik pada pasien diabetes tanpa disertai adanya

ketosis.Gejalanya pada dehidrasi berat, tanpa hiperglikemia berat dan gangguan

neurologis.

2. Komplikasi kronis

a. Mikroangiopati

1) Retinopati diabetikum disebabkan karena kerusakan pembuluh darahretina.

Faktor terjadinya retinopati diabetikum: lamanya menderita diabetes, umur

penderita, kontrol gula darah, faktor sistematik(hipertensi, kehamilan).

2) Nefropati diabetikum yang ditandai dengan ditemukannya kadar protein yang

tinggi dalam urin yang disebabkan adanya kerusakan pada glomerulus.

Nefropati diabetikum merupakan faktor resiko dari gagal ginjal kronik.

3) Neuropati diabetikum biasanya ditandai dengan hilangnya reflex. Selain itu

juga bisa terjadi poliradikulopati diabetikum yang merupakan suatu sindrom

yang ditandai dengan gangguan pada satu atau lebih akar saraf dan dapat
disertai dengan kelemahan motorik, biasanya dalam waktu 6- 12 bulan.

b. Makroangiopati

1) Penyakit jantung koroner dimana diawali dari berbagai bentuk dislipidemia,

hipertrigliseridemia dan penurunan kadar HDL. Pada Diabetes Melitus sendiri

tidak meningkatkan kadar LDL, namun sedikit kadar LDL pada DM tipe II

sangat bersifat atherogeni karena mudah mengalami glikalisasi dan oksidasi.

2) Penyakit serebrovaskuler, perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah

serebral atau pembentukan emboli ditempat lain dalam sistem pembuluh darah

yang kemudian terbawa aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh darah

serebral yang mengakibatkan serangan iskemik dan stroke.

3) Penyakit vaskuler perifer perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah

besar pada ekstremitas bawah menyebabkan oklusi arteri ekstremitas bawah.

Tanda dan gejalanya meliputi penurunan denyut nadi perifer dan klaudikatio

intermiten (nyeri pada betis pada saatberjalan). (Smeltzer et al. 2008 dalam

Damayanti, 2015)

Penatalaksanaan

Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa

darah normal (euglikemia) tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius

pada pola aktivitas pasien. Menurut Konsensus perkeni (2011), ada empat pilar

penatalaksanaan diabetes melitus.

1) Edukasi

Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif

pasien dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus

mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut,yang berlangsung

seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku,


membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill) dan upaya

peningkatan motivasi.

2) Terapi gizi medis

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan

anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan

pembedahan atau beberapa kejadian stres lainnya sesuai dengan kebutuhan

kalori masing masing individu. Perlu ditekankan pentingnya keteraturan dalam

hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan terutama pada pasien yang

menggunakan obat penurunan kadar gula darah.

3) Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena

efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi rIsiko

kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan

meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian

insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga.

Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran

jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat latihan jasmani dapat ditingkatkan,

sementara yang sudah mendapat komplikasi dapat dikurangi. Hindarkan

kebiasaan yang kurang gerak.

4) Terapi Farmakologis

Pada diabetes tipe II, insulin mungkin diperlukan sebagai terapi jangka panjang

untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemia oral

tidak berhasil mengontrolnya. Disamping itu, sebagian pasien diabetes tipe II

yang biasanya mengendalikan kadar glukosa darah selama mengalami sakit,

infeksi, kehamilan.
ASUHAN KEPERAWATAN DM PADA LANSIA

A. Pengkajian

 Riwayat Kesehatan Keluarga

Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?

 Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya

Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat


terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur
atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi
penyakitnya.

 Aktivitas/ Istirahat :

Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.

 Sirkulasi

Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada


ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi,
perubahan tekanan darah

 Integritas Ego

Stress, ansietas

 Eliminasi

Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare

 Makanan / Cairan

Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan,


haus, penggunaan diuretik.

 Neurosensori

Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot,


parestesia,gangguan penglihatan.
 Nyeri / Kenyamanan

Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)

 Pernapasan

Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)

 Keamanan

Kulit kering, gatal, ulkus kulit.

B. Masalah Keperawatan

1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan


2. Gangguan integritas kulit
3. Resiko terjadi injury

C. Intervensi

Diagnosa Keperawatan. 1.

Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


penurunan masukan oral, anoreksia, mual, nyeri abdomen.

Intervensi :

 Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.


 Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan
makanan yang dapat dihabiskan pasien.
 Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung,
mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan
keadaan puasa sesuai dengan indikasi.
 Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan
elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui
oral.
 Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan
indikasi.
 Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran,
kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit
kepala.
 Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.
 Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.
 Kolaborasi dengan ahli diet.

Diagnosa Keperawatan. 2.

Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik


(neuropati perifer).\

Intervensi

 Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge,


frekuensi ganti balut.
 Kaji tanda vital
 Kaji adanya nyeri
 Lakukan perawatan luka
 Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.
 Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.

Diagnosa Keperawatan. 3.

Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan

 Hindarkan lantai yang licin.


 Gunakan bed yang rendah.
 Orientasikan klien dengan ruangan.
 Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association, 2010. Diagnosis and Classification ofDiabetes Mellitus.


Diabetes Care. 33:1.

Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar: RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI.
Damayanti, S. 2015. Diabetes Mellitus Dan Penatalaksanaan Keperawatan. Edisi
Pertama. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Nuha Medika.
Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani,
Jakarta:EGC, 1997.
Azizah,Lilik Ma’rifatul. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Garaha Ilmu. Yogyakarta. 2011
Kushariyadi. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Salemba Medika. Jakarta. 2010
Stanley, Mickey. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Alih Bahasa; Nety Juniarti, Sari
Kurnianingsih. Editor; Eny Meiliya, Monica Ester. Edisi 2. EGC. Jakarta. 2006

Anda mungkin juga menyukai