Anda di halaman 1dari 3

Pemilu Milik Kita, Yuk Pantau Bersama!

SALAH satu di antara elemen dan indikator yang paling mendasar dari keberhasilan dan kualitas
pelaksanaan penyelenggaraan pemilu yang demokratis adalah adanya keterlibatan masyarakat secara
aktif dalam proses berjalannya tahapan-tahapan pemilu, khususnya dalam hal pengawasan atau
pemantauan proses pemilu. Peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam mengawasi atau memantau
jalannya proses kontestasi demokrasi merupakan hal yang sangat penting. Partisipasi bertujuan
mendorong aktif kegiatan demokrasi untuk semua proses kepemiluan. Kepentingan fokus partisipasi
menjadi indikator peningkatan kualitas demokrasi dan kehidupan politik bangsa.

Pemilu merupakan sarana penunjang dalam mewujudkan sistem ketatanegaraan secara demokratis.
Pemilu pada hakikatnya merupakan proses ketika rakyat sebagai pemegang kedaulatan memberikan
mandat kepada para calon pemimpin untuk menjadi pemimpinnya.

Dalam negara demokrasi, pemilu adalah salah satu bentuk syarat mutlak yang harus dipenuhi.
Pelaksanaan pemilu yang luber dan jurdil pun memerlukan partisipasi aktif masyarakat. Pelaksanaan
pemilu yang baik melahirkan harapan yang lebih baik akan masa depan demokrasi bangsa.

Pemilu menjadi bagian penting dari sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia. Sejak Indonesia
merdeka hingga saat ini, kita telah berkali-kali berhasil melaksanakan penyelenggaraan pemilu
dengan segala kompleksitas dan dinamika yang mengiringi prosesnya. Pemilu yang demokratis
sejatinya harus selalu melibatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sebagaimana isi
konstitusi bukan hanya sebagai objek tapi juga sebagai subjek pemilu demi menjamin integritas
penyelenggara dan proses pemilu.

Menurut Nur Hidayat Sardini (2011: 255) pemantau selalu memiliki peran untuk turut memberikan
keabsahan dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu. Disamping itu juga
meningkatkan rasa hormat terhadap hak asasi manusia, dalam hal ini hak sipil dan politik.

Memang saat ini kewenangan Bawaslu bertambah sehinga lebih punya taring menindak pelanggaran.
Namun tak menutup kemungkinan justru pelanggaran dilakukan oleh penyelenggara, baik jajaran
KPU/Bawaslu atau pelanggaran yang merupakan kolaborasi antar keduanya. Banyaknya pengaduan
atas pelanggaran kode etik ke DKPP membuktikan malpraktik pemilu yang dilakukan oleh
penyelenggara (Ardiles R.M. Mewoh, 2015).

al itu menunjukkan, desain lembaga penyelenggara pemilu yang diisi orang-orang independen
sekalipun (sehingga memungkinkan pemilu berlangsung luber-jurdil dan demokratis) masih punya
potensi adanya pelanggaran.
Oleh karena itu, perlu tetap dibuka ruang dan mekanisme pengaduan pemilu. Paling tidak ada tiga
unsur yang berhak menyampaikan pengaduan dan melaporkan dugaan atas pelanggaran pemilu,
yakni: pemilih, peserta pemilu dan pemantau (Ramlan Surbakti at.a, 2011: 24).

Dengan demikian, keberadaan pemantau masih diperlukan guna mengawal pemilu di negeri ini.
Disamping karena potensi pelanggaran bisa dilakukan penyelenggara juga akhir-akhir ini masih
adanya ego sektoral penyelenggara dalam menyikapi perbedaan penafsiran regulasi pemilu. Kita
masih ingat beda pendapat antara KPU dan Bawaslu terkait status mantan terpidana kasus korupsi
menjadi calon anggota legislatif.

Pemantau dan pengawas pemilu pada hakekatnya adalah lembaga kontrol untuk menjamin pemilu
berlangsung luber jurdil, transparan, akuntabel, dan sesuai kaidah undang-undang. Bedanya,
pengawas punya kewenangan menyelesaikan pelanggaran dan sengketa.

Anggaran operasional pengawas juga dijamin negara. Sedangkan pemantau pemilu merupakan salah
satu bentuk partisipasi publik sebagai ikhtiar meminimalisir kecurangan, baik yang dilakukan peserta
pemilu maupun penyelenggara.

Meski tak punya kewenangan menyelesaikan pelanggaran dan sengketa, pemantau diharapkan
menjadi "kekuatan penyeimbang". Baik ketika ego sektoral muncul di antara penyelenggara pemilu
maupun saat ada ketegangan antara penyelenggara dan peserta pemilu.

Selain itu, pemantau diharapkan selalu punya elan vital untuk menggerakkan moral publik agar terus
mengawal pemilu. Dua hal itulah yang mendasari urgensi pemantau Pemilu 2019.

Pelibatan masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemilu bukanlah hal baru sebagai bagian dari
infrastruktur pemilu. Samuel Huntington (1992) dalam bukunya Partisipasi Politik menguraikan, salah
satu partisipasi rakyat adalah ikut terlibat dalam aktivitas pemilu yang salah satunya adalah dengan
ikut serta dalam mengawasi pemilu.

Pemilu partisipatif yang sudah galakkan oleh Bawaslu harusnya dirawat dan terus disuarakan kepada
masyarakat, sebagai salah satu bagian dalam upaya mewujudkan keterlibatan masyarakat dalam
proses pengawasan pemilu yang luber dan jurdil. Karena pada esensinya demokrasi adalah pelibatan
rakyat secara menyeluruh --"of the people, for the people, and by the people."

Dalam proses menuju pesta Pemilu 2019 harus mulai diserukan juga gerakan Pemilu Gotong Royong,
gerakan yang bertujuan melibatkan rakyat dalam proses pengawasan. Konsepsi negara gotong royong
yang dicetuskan oleh Sukarno (1945) sejatinya juga menjadi inspirasi dalam proses pengawasan
pemilu. Bahkan kata Sukarno, lima sila dalam Pancasila jika diperas akan menjadi satu yakni gotong
royong, karena bangsa ini dibangun di atas konsepsi negara gotong royong.
"Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan
bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan
semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!" (Pidato Sukarno di BPUPKI, 1 Juni 1945)

Gerakan Pemilu Gotong Royong dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 setidaknya akan menjamin
kualitas pemilu bisa lebih baik daripada penyelenggaraan Pemilu 2014. Serta, untuk memastikan
terjaminnya setidaknya empat hal; pertama, memastikan terlindunginya hak politik warga masyarakat
sesuai amanah UUD 1945, karena rakyat akan merasa memiliki terhadap penyelenggaraan pemilu
sehingga akan ada kesadaran untuk mengawasi suaranya yang diberikan dalam pemilu.

Kedua, memastikan terwujudnya pemilu yang bersih, transparan, dan berintegritas dari sisi
penyelenggaraan dan penyelenggaranya. Konstitusi mengamanahkan bahwa pemilu harus dilakukan
atas dasar juber dan jurdil tanpa intervensi siapapun, hingga setelah amandemen UUD 1945 dibuatlah
lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu yang bersifat independen untuk memastikan luber dan
jurdil dapat terealisasi.

Ketiga, mendorong terwujudnya pemilu sebagai instrumen penentuan kepemimpinan politik dan
evaluasi kepemimpinan politik. Pemilu adalah momentum untuk restorasi kepemimpinan,
momentum melahirkan pemimpin baru yang lebih baik, dan sebagai upaya terus memperbaiki
bangsa.

Keempat, mendorong munculnya kepemimpinan politik yang sesuai dengan aspirasi terbesar rakyat.
Pemimpin harus mempunyai legitimasi yang kuat dari rakyat, rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi mengamanahkan kepada pemimpin politik untuk memperbaiki nasib rakyat. Rakyat sebagai
tuan haruslah terus dilayani dalam proses menyejahterakan rakyat sebagai tanggung jawab
pemimpin.

Pada akhirnya, semua harus meneguhkan niat dan diri kita untuk ikut serta dalam mensukseskan
Pemilu 2019 yang penuh integritas dan berkualitas. Pemilu harus dijadikan gerbang perubahan untuk
melahirkan pemimpin yang lebih baik, pemimpin yang bisa membawa nasib rakyat, bangsa dan
negara ke arah yang lebih baik, karena pada hakikatnya pemilu adalah kita. "Bersama Rakyat Awasi
Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu!"

Anda mungkin juga menyukai