Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Masalah Gizi

A. Definisi Masalah gizi

Menurut Prof. Soekirman Ph.D ( Guru Besar Ilmu Gizi IPB Bogor),masalah gizi adalah
Gangguan kesehatan dan kesejahteraan seseorang,kelompok orang atau masyarakat sebagai
adanya ketidakseimbangan antara asupan (intake) dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan
pengaruh interaksi penyakit(infeksi).

B. Transisi masalah gizi

Kesehatan adalah kebutuhan dasar setiap manusia. Untuk memperoleh tubuh yang
sehat diperlukan makanan yang sehat dan bergizi.
Makanan sehat dan bergizi akan memberikan zat gizi yang dibutuhkan tubuh untuk menjalankan
Fungsi tubuh dengan normal.
Pemilihan bahan makanan dan makanan yang tidak baik mengakibatkan tubuh kekurangan zat-
zat gizi esensial tertentu.

Pemenuhan kebutuhan gizi dalam tubuh ini akan memberikan status gizi seseorang yaitu gizi
baik/optimal, gizi kurang dan gizi lebih .

Gizi baik/optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat gizi dan digunakan secara efisien
sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan untuk bekerja dan
kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.

Sedangkan gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial,
hal ini dapat menyebabkan menurunnya pertahanan tubuh terhadap penyakit infeski seperti diare.

Sebaliknya gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan
sehingga menimbulkan efek toksis atau dapat membahayakan kesehatan. Gizi lebih
menyebabkan kegemukan atau obesitas.
Kelebihan energy yang dikonsumsi disimpan dalam jaringan dalam bentuk lemak. Kegemukan
merupakan satu factor resiko terjadinya berbagai penyakit degenerative seperti hipertensi, DM,
jantng koroner, penyakit hati dan kantong empedu.

Di Indonesia terdapat dua masalah gizi yang umumnya terjadi dimasyarakat yaitu masih
banyaknya masyarakat yang mengalami gizi kurang dan terjadinya peningkatan masyarakat
dengan gizi lebih.

Gaya hidup masyarakat yang berubah membuat permasalahan gizi mengalami perubahan baik
dari segi bentuknya maupun akibat penyakit yang akan ditimbulkan. Transisi epidemiologi gizi
ini membuat beberapa masyarakat mengalami gizi lebih ( over nutrition ).

Disamping itu, jumlah orang yang mengalami gizi lebih juga semakin meningkat. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah kasus penyakit degenerative.

Penyakit degenerative adalah istilah medis untuk menjelaskan suatu penyakit yang muncul
akibat proses kemunduran fungsi sel tubuh yaitu dari keadaan normal menjadi lebih buruk.
Penyakit yang masuk dalam kelompok ini antara lain diabetes melitus, stroke, jantung koroner,
kardiovaskular, obesitas, dislipidemia dan sebagainya.

(WHO) menyatakan akan ada satu miliar orang di dunia, khususnya di wilayah perkotaan yang
di bayangi akan menderita obesitas atau kegemukan. Jumlah ini juga di prediksi oleh WHO tetap
akan meningkat pada dengan jumlah penderita obesitas sebanyak 1,5 miliar orang.

Hal ini di anggap wajar terjadi, pasalnya masyarakat perkotaan yang hidup di bawah tuntutan
ekonomi di paksa melupakan gaya hidup yang sehat. Kepadatan rutinitas merupakan satu faktor
utama pergeseran masyarakat untuk berolah raga dan makan makanan yang sehat Menurut
WHO, penyakit degenerative menjadi pembunuh manusia terbesar.

Angka kematian tertinggi ada di negara-negara dengan pendapatan nasional rendah ataupun
tinggi.

C. Pengelompokan Masalah gizi

Masalah gizi di Indonesia dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Pertama adalah


Masalah yang telah dapat dikendalikan, kedua adalah masalah gizi yang belum
selesai dan yang ketiga adalah maslah baru yang mengancam kesehatan
masyarakat.

1) Masalah yang telah dapat dikendalikan

 Kurang Vitamin A
Vitamin A merupakan nutrisi yang hanya dapat dipenuhi dari luar tubuh,
dimana jika asupannya berlebihan bisa menyebabkan keracunan karena tidak larut dalam air.
Kekurangan asupan vitamin A bisa menyebabkan diare yang bisa berujung

pada kematian dan pneumonia.

Prevalensi tertinggi terjadi pada balita. Hal ini disebabkan oleh intake makanan yang
mengandung vitamin A kurang atau rendah,

rendahnya konsumsi vitamin A dan pro vitamin A pada ibu hamil sampai melahirkan
sehingga mempengaruhi kadar vitamin A yang terkandung dalam ASI.

Selain itu dapat disebabkan oleh MP-ASI yang kurang kandungan vitamin A,

gangguan absorbs vitamin A dan pro vitamin A ( penyakit pancreas, diare kronik
,KEP)

Akibat kekurangan vitamin A :


1. Menurunnya daya tahan tubuh sehingga mudah terserang infeksi ( misalnya sakit batuk, diare
dan campak ).
2. Rabun senja ( anak dapat melihat suatu benda , jika ia tiba-tiba berjalan dari tempat yang terang
ke tempat yang gelap ). Rabun senja dapat berakhir pada kebutaan.

Cara mencegah dan mengatasi kekurangan vitamin A :


1. Setiap hari anak diberi makanan yang mengandung vitamin A, seperti hati ayam.
2. Setiap hari anak dianjurkan makan sayuran hijau dan buah-buahan berwarna.
3. Sebaiknya sayuran ditumis menggunakan minyak atau dimasak dengan santan, sebab vitamin A
larut dalam minyak santan
4. Kapsul vitamin A dosis tinggi diberikan pada anak setiap 6 bulan di
Posyandu
Kapsul vitamin A dosis tinggi diberikan pada ibu segera setelah melahirkan.
Pemerintah terus berupaya menanggulangi penyakit gizi ini , namun karena kekurangan
vitamin A (KVA ) pada balita dapat menurunkan daya tahan tubuh. Maka, suplementasi
vitamin A tetap harus diberikan pada balita.

Berikut upaya yang telah dilakukan pemerintah :

1. Penyuluhan agar meningkatakan konsumsi vitamin A dan pro vitamin A

2. Fortifikasi vitamin A ( susu, MSG, tepung terigu, mie instan ).

3. Distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi pada balita 1-5 tahun

 Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI)

Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang perlu ditanggulangi secara sungguh-sungguh.
Penduduk yang tinggal di daerah kekurangan iodium akan mengalami GAKI kronis yang
menyebabkan pertumbuhan fisik terganggu dan keterbelakangan mental yang tidak dapat
disembuhkan sehingga menjadi beban masyarakat.

GAKI mengakibatkan penurunan kecerdasan dan produktivitas penduduk sehingga menghambat


pengembangan sumber daya manusia.

Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (Iodine Deficiency Disorder) adalah gangguan tubuh
yang disebabkan oleh kekurangan iodium sehingga tubuh tidak dapat menghasilkan hormon
tiroid.

Definisi lain, GAKY merupakan suatu masalah gizi yang disebabkan karena kekurangan
Yodium, akibat kekurangan Yodium ini dapat menimbulkan penyakit salah satu yang sering kita
kenal dan ditemui dimasyarakat adalah Gondok.

Dimana akibat defisiensi iodium ini merupakan suatu spektrum yang luas dan mengenai semua
segmen usia, dari fetus hingga dewasa. Dengan demikian jelaslah bahwa gondok tidak identik
dengan GAKI.

Faktor – Faktor yang berhubungan dengan masalah GAKI antara lain :


a. Faktor Defisiensi Iodium dan Iodium Excess

Defisiensi iodium merupakan sebab pokok terjadinya masalah GAKI. Hal ini disebabkan karena
kelenjar tiroid melakukan proses adaptasi fisiologis terhadap kekurangan unsur iodium dalam
makanan dan minuman yang dikonsumsinya

b. Faktor Geografis dan Non Geografis

GAKI sangat erat hubungannya dengan letak geografis suatu daerah, karena pada umumnya
masalah ini sering dijumpai di daerah pegunungan seperti pegunungan Himalaya, Alpen, Andres
dan di Indonesia gondok sering dijumpai di pegunungan seperti Bukit Barisan Di Sumatera dan
pegunungan Kapur Selatan.

c. Faktor Bahan Pangan Goiterogenik

Kekurangan iodium merupakan penyebab utama terjadinya gondok, namun tidak


dapat dipungkiri bahwa faktor lain juga ikut berperan. Salah satunya adalah bahan
pangan yang bersifat goiterogenik.

Dalam waktu tertentu GAKY dapat menyebabkan berbagai dampak terhadap


pertumbuhan, dan kelangsungan hidup penderitanya diantaranya :

 Terhadap Pertumbuhan

a. Pertumbuhan yang tidak normal.

b. Pada keadaan yang parah terjadi kretinisme

c. Keterlambatan perkembangan jiwa dan kecerdasan

d. Tingkat kecerdasan yang rendah

 Kelangsungan Hidup

Wanita hamil didaerah Endemik GAKY akan mengalami berbagai gangguan kehamilan antara
lain :

a. Abortus

b. Bayi Lahir mati

c. Hipothryroid pada Neonatal


Penyebab tingginya kasus GAKY adalah disebabkan karena beberapa hal diantaranya :

1. Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk menggunkan garam


beryodium

2. Masih rendahnya pengetahuan masyarakat akan mamfaat garam


beryodium

3. Garam Non Yodium masih banyak beredar ditengah masyarakat.

4. Adanya perbedaan harga yang relatif besar antara garam yang


beryodium
dengan garam non yodium.

5.Pengawasan mutu garam yodium belum dilaksanakan secara menyeluruh dan


terus menerus serta belum adanya sangsi tegas bagi produksi garam non
yodium.

6.Pendistribusian garam beryidium masih belum merata terutama untuk


daerah-daerah terpencil.

 Anemia Gizi Besi

Anemia gizi besi ini timbul akibat kosongnya cadangan zat besi tubuh sehingga cadangan zat
besi untuk eritropoesis berkurang yang menyebabkan kadar Hemoglobin (Hb) dalam darah
kurang dari normal.

Prevalensi anemia gizi besi di Indonesia cukup tinggi. Mengingat, 1 dari 2 orang di Indonesia
beresiko anemia. Lebih memprihatinkan lagi, prevalensi anemia terjadi bukan hanya pada orang
dewasa, namun juga sudah menyerang anak-anak.

Anemia gizi besi biasanya ditandai dengan menurunnya kadar Hb total di bawah nilai normal
(hipokromia) dan ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal (mikrositosis).

Tanda-tanda ini biasanya akan menggangu metabolisme energi yang dapat menurunkan
produktivitas.

Penyebab anemia gizi besi bisa disebabkan oleh beberapa hal Seperti :
 kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi
 menderita penyakit ganguan pencernaan sehingga menggangu penyerapan zat besi.
 Terjadi luka yang menyebabkan pendarahan besar, persalinan, menstruasi, atau cacingan
 serta penyakit kronis seperti kanker, ginjal dan penyakit.

Adapun dampak dari Anemia Gizi Besi (AGB) adalah :

a. Pada Anak-anak berdampak:

1. Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar.

2. Menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan otak.

3. Meningkatkan risiko menderita penyakit infeksi karena daya tahan tubuh


menurun.

b. Dampak pada Wanita :

1. Anemia akan menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah sakit.

2. Menurunkan produktivitas kerja.

3. Menurunkan kebugaran.

c. Dampak pada Remaja putri :

1. Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar.

2. Mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal.

3. Menurunkan kemampuan fisik olahragawati.

4. Mengakibatkan muka pucat.

d. Dampak pada Ibu hamil :

1. Menimbulkan perdarahan sebelum atau saat persalinan.

2. Meningkatkan risiko melahirkan Bayi dengan Berat Lahir Rendah atau

BBLR (<2,5 kg).


3.Pada anemia berat, bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan/atau
bayinya.

AGB bisa diderita siapa saja, namun ada masa rentan AGB. Diantaranya pada masa
kehamilan, balita, remaja, masa dewasa muda dan lansia.

Ibu hamil rentan terhadap AGB disebabkan kandungan zat besi yang tersimpan tidak
sebanding dengan peningkatan volume darah yang terjadi saat hamil, ditambah dengan
penambahan volume darah yang berasal dari janin.

Wanita secara kodrat harus kehilangan darah setiap bulan akibat menstruasi, karenanya
wanita lebih tinggi risikonya terkena AGB dibandingkan pria. Anak-anak dan remaja juga
usia rawan AGB karena kebutuhan zat besi cukup tinggi diperlukan semasa pertumbuhan.
Jika asupan zat besinya kurang maka risiko AGB menjadi sangat besar.

 Kekurangan Energi Kronis gangguan gizi saat hamil

Salah satu permasalahan gizi ibu hamil adalah kekurangan energi kronik (KEK).Kekurangan
energi kronis (KEK) adalah masalah gizi yang disebabkan karena kekurangan asupan makanan
dalam waktu yang cukup lama, hitungan tahun. Kondisi kurang energi kronik (KEK) biasanya
terjadi pada wanita usia subur yaitu wanita yang berusia 15-45 tahun.

Seseorang yang mengalami KEK biasanya memiliki status gizi kurang. Kekurangan energi
kronis dapat diukur dengan mengetahui lingkar lengan atas dan indeks massa tubuh seseorang.
Ibu yang mempunyai lingkar lengan atas yang kurang dari 23,5 cm dapat dikatakan ia
mengalami kekurangan gizi kronis.

Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan seorang ibu hamil mengalami kekurangan
gizi kronis, yaitu:

1. Asupan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan

Ibu hamil memerlukan asupan makanan yang lebih, tidak sama seperti wanita normal seusianya.
Asupan makanan ini akan menentukan status gizi ibu hamil. Ketika ibu hamil tidak memenuhi
kebutuhan energinya, maka janin yang dikandungnya juga mengalami kekurangan gizi. Hal ini
membuat pertumbuhan dan perkembangan janin terhambat.

2. Usia ibu hamil terlalu muda atau tua

Usia mempengaruhi status gizi ibu hamil. Seorang ibu yang masih sangat muda, bahkan masih
tergolong anak-anak – kurang dari 18 tahun – masih mengalami pertumbuhan dan
perkembangan. Apabila ia hamil, maka bayi yang dikandungnya akan bersaing dengan si ibu
muda untuk mendapatkan zat gizi, karena sama-sama mengalami pertumbuhan dan
perkembangan. Persaingan ini mengakibatkan ibu mengalami kekurangan energi kronis.

Sementara, ibu yang hamil di usia terlalu tua juga membutuhkan energi yang besar untuk
menunjang fungsi organnya yang semakin melemah. Dalam hal ini, persaingan untuk
mendapatkan energi terjadi lagi. Oleh karena itu, usia kehamilan yang sesuai adalah 20 tahun
hingga 34 tahun.

3. Beban kerja ibu terlalu berat

Aktivitas fisik mempengaruhi status gizi ibu hamil. Setiap aktivitas membutuhkan energi, jika
Ibu melakukan aktivitas fisik yang sangat berat setiap harinya sementara asupan makannya tidak
tercukupi maka ibu hamil ini sangat rentan untuk mengalami kekurangan energi kronis.

4. Penyakit infeksi yang dialami ibu hamil

Salah satu hal yang paling berpengaruh terhadap status gizi hamil adalah kondisi kesehatan ibu
saat itu. Ibu hamil yang mengalami penyakit infeksi, sangat mudah kehilangan berbagai zat gizi
yang diperlukan oleh tubuh. Penyakit infeksi bisa mengakibatkan kekurangan energi kronis pada
ibu hamil karena kemampuan tubuh untuk menyerap zat gizi menurun dan hilangnya nafsu
makan sehingga asupan makan juga menurun.

5) Malnutrisi energi protein

adalah kondisi di mana tubuh kekurangan asupan energi dan protein. Tanpa protein dan sumber
energi lain yang memadai, maka fungsi organ tubuh akan terganggu, tubuh mudah mengalami
luka atau cedera, serta pertumbuhan tubuh menjadi tidak sempurna. Seseorang dinyatakan
mengalami malutrisi energi protein atau memiliki indeks massa tubuh sekitar 17 hingga 18,5.

Terdapat dua jenis kondisi yang menandai gangguan malnutrisi energi protein, yaitu
 kwashiorkor
 marasmus.

Kwashiorkor adalah defisiensi protein yang parah, di mana terdapat kekurangan asupan makanan
yang menjadi sumber protein. Kwashiorkor ditandai dengan penumpukan cairan (edema) dan
lemah pada anggota tubuh.

Marasmus merupakan kondisi gizi buruk yang parah di mana tubuh mengalami defiensi protein,
karbohidrat, lemak serta nutrisi penting lainnya. Marasmus ditandai dengan berat badan yang
rendah.

Malnutrisi energi protein banyak diderita bayi, anak-anak, atau orang lanjut usia serta berpotensi
mengakibatkan cacat atau kematian. Penanganan kondisi ini dapat dilakukan dengan cara
memberi nutrisi tambahan guna memperbaiki kadar elektrolit dan cairan tubuh yang tidak
normal. Selain itu, yang utama harus dilakukan adalah mengobati gejala yang diderita, seperti
infeksi.

o Gejala Malnutrisi Energi Protein

Sejumlah gejala yang bisa menandakan terjadinya malnutrisi energi protein pada seseorang
adalah:

 Badan terlihat lemah dan lelah.


 Diare.
 Suhu tubuh menjadi lebih rendah.
 Kulit kering.
 Kerontokan rambut.
 Mudah kesal.
 Perubahan sikap, misalnya gelisah, apatis, atau kurang perhatian.
 Pernapasan menjadi lebih lambat.
 Kaki dan tangan menjadi kaku atau kesemutan.

Pada marasmus, gejala khusus yang mendandai kondisi tersebut bisa berupa penurunan berat
badan, penyusutan lambung, dan dehidrasi.
Sementara itu, gejala khusus yang terlihat pada penderita kwashiorkor adalah edema (tubuh
menjadi bengkak karena penumpukan cairan), pertumbuhan dan kenaikan berat badan terhambat,
serta pembengkakan perut.

o Penyebab Malnutrisi Energi Protein

Malnutrisi energi protein bisa disebabkan oleh faktor sosial atau karena adanya kondisi
kesehatan yang mendasari.

Faktor sosial yang dapat memicu terjadinya malnutrisi energi protein adalah:

 Kelaparan, atau kekurangan bahan pangan.


 Kemiskinan.
 Masa penyapihan air susu ibu yang tidak tepat pada anak.
 Ketergantungan pada bantuan orang lain untuk makan.

Sedangkan masalah kesehatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kondisi ini di antaranya
adalah:

 Gangguan makan, misalnya bulimia.


 Mengonsumsi obat yang dapat berpengaruh pada penyerapan nutrisi dalam tubuh.
 Infeksi HIV.
 Infeksi parasit dan gastrointestinal.
 Penyakit jantung bawaan.
 Fibrosis kistik.
 Gagal ginjal kronis.
 Diagnosis Malnutrisi Energi Protein

Diagnosis malnutrisi energi protein biasanya diawali dengan temuan pada pemeriksaan fisik,
yaitu pengukuran berat dan tinggi badan. Kemudian dokter akan menanyakan pola makan,
riwayat penyakit (termasuk riwayat menderita gangguan makan), dan obat yang dikonsumsi.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat pula dilakukan guna memastikan diagnosis dan
mencari penyebab kelainan, antara lain:

 Pemeriksaan darah, guna memeriksa kadar glukosa darah, apus darah tepi.
 Pemeriksaan hemoglobin, elektrolit, dan serum albumin.
 Pemeriksaan urine dan kultur bakteri.
 Pemeriksaan tinja untuk melihat keberadaan parasit.
 Tes HIV.
 Tes tusuk kulit untuk melihat adanya alergi.
 Pengobatan Malnutrisi Energi Protein

Pengobatan malutrisi energi protein biasanya diawali dengan memperbaiki kadar elektrolit dan
cairan tubuh yang tidak normal.

Selain itu, pengobatan infeksi juga harus dilakukan, apabila pasien mengalami infeksi. Jika
gejala yang dialami pasien cukup parah, maka diperlukan perawatan di rumah sakit.

Tahap kedua penanganan kasus malnutrisi energi protein adalah dengan memberi asupan nutrisi
melalui terapi pola makan. Makanan yang diberikan biasanya adalah makanan berbahan dasar
susu.

Selain itu, dokter juga akan memberikan suplemen multivitamin atau suplemen protein cair, serta
obat-obatan tertentu untuk meningkatkan selera makan, bila diperlukan.

Pasca pengobatan, pasien akan dianjurkan untuk tetap melakukan pemeriksaan rutin ke dokter
agar perkembangan kondisi pasien bisa tetap terawasi sampai benar-benar sembuh.

2. Masalah yang belum selesai (un-finished agenda)

1) Balita pendek ( stunting )


o Definisi stunting
 Stunting atau perawakan pendek (shortness). suatu keadaan tinggi badan (TB) seseorang yang
tidak sesuai dengan umur, yang penentuannya dilakukan dengan menghitung skor Z-indeks
Tinggi Badan menurut Umur (TB/U). Seseorang dikatakan stunting bila skor Z-indeks TB/Unya
di bawah -2 SD (standar deviasi).
 menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang
dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely stunted).
o PENYEBAB STUNTING Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya
disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita.
Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting oleh karenanya
perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita.
Secara lebih detil, beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat digambarkan sebagai
berikut :

1. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai
kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan.

Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak
mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak
menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-ASI diberikan/mulai
diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6 bulan.

Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MP- ASI juga dapat
mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta
membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan
maupun minuman.

2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan
kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini yang
berkualitas.

Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa
tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013
dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi.

Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai
serta masih terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3
anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).

3. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini dikarenakan harga
makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal.

Terbatasnya akses ke makanan bergizi di Indonesia juga dicatat telah berkontribusi pada 1 dari
3 ibu hamil yang mengalami anemia.

4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.


Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih
buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke
air minum bersih.

Beberapa penyebab seperti yang dijelaskan di atas, telah berkontibusi pada masih tingginya
pervalensi stunting di Indonesia dan oleh karenanya diperlukan rencana intervensi yang
komprehensif untuk dapat mengurangi pervalensi stunting di Indonesia.

Kerangka Intervensi Stunting yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua,
yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif.

Kerangka pertama adalah Intervensi Gizi Spesifik. Ini merupakan intervensi yang ditujukan
kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30%
penurunan stunting.

Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Intervensi
ini juga bersifat jangka pendek dimana hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek.

Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk melaksanakan Intervensi Gizi Spesifik dapat dibagi
menjadi beberapa intervensi utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan
balita:

Ada 12 kegiatan yang dapat berkontribusi pada penurunan stunting melalui Intervensi Gizi
Spesifik sebagai berikut:

1. Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.

2. Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.

3. Melakukan fortifikasi bahan pangan.

4. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB).

5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).

7. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.

8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.

9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat.


10. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada remaja.

11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.

12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

Kedua kerangka Intervensi Stunting diatas sudah direncanakan dan dilaksanakan oleh
Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari upaya nasional untuk mencegah dan mengurangi
pervalensi stunting.

o KEBIJAKAN DAN PROGRAM TERKAIT INTERVENSI STUNTING YANG TELAH


DILAKUKAN

Terkait upaya untuk mengurangi serta menangani pervalensi stunting, pemerintah di tingkat
nasional kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan serta regulasi yang diharapkan dapat
berkontribusi pada pengurangan pervalensi stunting, termasuk diantaranya:

1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah

3. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi.

4. Undang-Undang (UU) No. 36/2009 tentang Kesehatan.

5. Peraturan Pemerintah (PP) No.33/2012 tentang Air Susu Ibu Eksklusif.

6. Peraturan Presiden (Perpres) No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan


Perbaikan Gizi.

7. Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian


Ais Susu Ibu (ASI) Secara Eksklusif Pada Bayi di Indonesia.

8. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.15/2013 tentang Tata Cara Penyediaan


Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu

.9. Permenkes No.3/2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).

10. Permenkes No.23/2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.

11. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama
Kehidupan (Gerakan 1.000 HPK), 2013. 12. Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK),
2013.
Selain mengeluarkan paket kebijakan dan regulasi, kementerian/lembaga (K/L) juga sebenarnya
telah memiliki program baik terkait intervensi gizi spesifik maupun intervensi gizi sensitif, yang
potensial untuk menurunkan stunting.

Intervensi Program Gizi Spesifik dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) melalui
Gerakan 1.000 Hari Pertama Kegiatan (HPK). Berikut ini adalah identifikasi beberapa program
gizi spesifik yang telah dilakukan oleh pemerintah:

1. Program terkait Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil, yang dilakukan melalui beberapa
program/kegiatan berikut:

• Pemberian makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein
kronis

• Program untuk mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat • Program untuk mengatasi
kekurangan iodium

100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting)

5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). 6. Menyediakan Jaminan Persalinan


Universal (Jampersal). 7. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua. 8. Memberikan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal. 9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat. 10.
Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada remaja. 11. Menyediakan
bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin. 12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

Kedua kerangka Intervensi Stunting diatas sudah direncanakan dan dilaksanakan oleh
Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari upaya nasional untuk mencegah dan mengurangi
pervalensi stunting

2) Balita gizi kurang atau gizi buruk


o Pengertian Gizi Kurang

Gizi kurang adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
-3 SD (Standard Deviasi) sampai -2SD (Depkes RI, 2011).Gizi kurang adalah gangguan
kesehatan yang disebabkan kekurangan dan ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan
asupan dan protein.(Rahardjo, 2012).
Gizi kurang adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau ketidakseimbangan zat
giziyang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berfikir dan semua hal yang berhubungan
dengan kehidupan.

b. Faktor Risiko Gizi Kurang

Faktor risiko gizi kurang pada balita menurut konferensi international tentang “At Risk Factors
and The Health and Nutrition of Young Children” di Kairo tahun 1975 mengelompokkan
menjadi tiga yaitu :

1) At risk factors yang bersumber dari masyarakat

a) Ketahanan pangan

Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh
anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya Daya beli keluarga dipengaruhi
oleh faktor harga dan pendapatankeluarga. Jika daya beli rendah maka akan berpengaruh pada

ketahanan pangan keluarga, sehingga konsumsi pangan juga berkurang yang dampaknya bisa
kepada gangguan gizi.

b) Pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatan yang selalu siap dan dekat dengan masyarakat akan sangat membantu
dalam meningkatkan derajat kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh
seluruh keluarga

2) At risk factors yang bersumber pada keluarga

a) Tingkat Pengetahuan

Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap
perawatan kesehatan, higiene pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran
terhadap kesehatan.Pengetahuan yang dimiliki ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan
keluarga. Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi menyebabkan keanekaragaman makanan yang
berkurang Keluarga akan lebih banyak membeli barang karena pengaruh kebiasaan, iklan, dan
lingkungan. Selain itu, gangguan gizi juga disebabkan karena kurangnya kemampuan ibu
menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari.faktor pengetahuan dan sikap
ibu dalam pemberian makan anak sangat berhubungan dengan status gizi kurang anak balita.
b) Tingkat Pendidikan

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada balita relatif tinggi bila pendidikan gizi ibu tinggi
Dan balita yang mengalami pertumbuhan yang lambat/balita dengan status gizi buruk juga
berisiko 3 kali lebih besar berasal dari ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Nafi’ah tahun 2015, Sebagian besar tingkat pendidikan ibu balita
yang memiliki balita gizi kurang dalam kategori pendidikan dasar.

c) Tingkat Pekerjaan

Ibu yang sudah mempunyai pekerjaan penuh tidak lagi dapat memberikan perhatian penuh
terhadap anak balitanya, apalagi untuk mengurusnya. Meskipun tidak semua ibu bekerja tidak
mengurus anaknya, akan tetapi kesibukan dan beban kerja yang ditanggungnya dapat
menyebabkan kurangnya perhatian ibu dalam menyiapkan hidangan yang sesuai untuk balitanya

(d) Tingkat Pendapatan

Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan, karena
dengan pendapatan yang memadai dapat menyediakan semua kebutuhan anak balita yang
primer maupun yang sekunder. Pendapatan yang meningkat akan menyebabkan semakin
besarnya total pengeluaran termasuk pengeluaran untuk pangan.

e) Sanitasi Lingkungan Kesehatan lingkungan yang baik seperti penyediaan air bersih dan
perilaku hidup bersih dan sehat akan mengurangi risiko kejadian penyakit infeksi. Sebaliknya,
lingkungan yang buruk seperti air minum tidak bersih, tidak ada saluran penampungan
air limbah, tidak menggunakan kloset yang baik dapat menyebabkan penyebaran penyakit.
Penyakit inilah yang akan menjadikan infeksi, sehingga dapat menyebabkan kurangnya nafsu
makan sehingga menyebabkan asupan makanan menjadi rendah dan akhirnya menyebabkan
kurang gizi.

c) At risk factors yang bersumber pada individu anak

a) Usia

Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1–<3tahun (batita) dan
anak usia prasekolah (3-5tahun).Anak usia 1-<3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak
menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar
dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut
yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali
makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar.

Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering.Di usia
ini anak memasuki usia pra sekolah dan mempunyai risiko besar terkena gizi kurang bahkan gizi
buruk. Pada usia ini anak tumbuh dan berkembang dengan cepat sehingga membutuhkan zat gizi
yang lebih banyak, sementara mereka mengalami penurunan nafsu makan dan daya tahan
tubuhnya masih rentan sehingga lebih mudah terkena infeksi dibandingkan anak dengan usia
lebih tua. Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif..

b) Jarak Kelahiran

Sebagian besar masyarakat memiliki jumlah balita dalam satu keluarga >2 balita dan tidak
sedikit jarak kelahiran berdekatan < 2 tahun. Jarak kelahiran turut serta mempengaruhi status gizi
balita.Jarak kehamilan atau kelahiran yang berdekatan (<2 tahun) juga dapat memicu pengabaian
pada anak pertama secara fisik maupun psikis, yang dapat menimbulkan rasa cemburu akibat
ketidaksiapan berbagi kasih sayang dari orang tuanya Namun berdasarkan catatan statistik
penelitian bahwa jarak kelahiran yang aman antara anak satu dengan lainnya adalah >2 tahun.
Pada jarak ini si ibu akan memiliki bayi yang sehat serta selamat saat melewati proses kehamilan

c) Pemberian ASI Eksklusif

ASI eksklusif menurut World Health Organization (WHO) 2011 adalah memberikan hanya ASI
saja tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berumur 6
bulan, kecuali obat dan vitamin. ASI akan terus diberikan kepada anak sampai berusia 2 tahun.

ASI dapat menigkatkan kekebalan tubuh bayi yang baru lahir, karena mengandung zat kekebalan
tubuh yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi dan alergi. Bayi ASI eksklusif
akan lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif.

d) Penyakit Infeksi

Terdapat pengaruh yang cukup besar dari penyakit infeksi

terhadap keadaan gizi seseorang. Penyakit infeksi tersebut antaralain seperti diare dan demam,
penyakit tersebut dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, dimana makanan yang dikonsumsi
menjadi berkurang, sehingga dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada status gizi Terdapat
hubungan timbal balik antara kejadian penyakit dan gizi kurang maupun gizi buruk.Anak yang
menderita gizi kurang dan gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga rentan
terhadap penyakit. Di sisi lain anak yang menderita sakit akan cenderung menderita gizi buruk.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Baculu, Juffrie dan Helmyati tahun 2015 yaitu balita yang
memiliki riwayat penyakit infeksi memiliki risiko 2,83 kali lebih besar menderita gizi buruk
dibandingkan dengan balita yang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi.

e) Riwayat Berat Lahir

Berat lahir adalah berat bayi yang di timbang dalam waktu 1 jam pertama setelah bayi lahir.

Klasifikasi berat bayi lahir dikelompokkan menjadi 3 yaitu :

(1) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR ). BBLR merupakan berat bayi yang dilahirkan dengan
berat lahir <2500 gram tanpa memandang usia gestasi Bayi yang BBLR menandakan kurang
terpenuhinya kebutuhan zat gizi dan berisiko lebih tinggi terhadap kematian bayi, penyakit
kronis pada usia dewasa,keterlambatan mental dan pertumbuhan yang lambat karena kondisi
kekurangan gizi yang berisiko mengakibatkan balita menderita KEP. Beberapa penelitian yang
telah dilakukan juga menunjukkan bahwa bayi yang BBLR berkali-kali berisiko memiliki status
gizi kurang pada usia 1-5 tahun dibandingkan yang tidak BBLR, penelitian yang lain juga
menyebutkan bahwa anak yang BBLR pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat dari
anak dengan berat bayi lahir normal. Gizi Buruk dapat terjadi apabila BBLR jangka
panjang.Pada BBLR zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit
terutama penyakit infeksi.Penyakit ini menyebabkan balita kurang nafsu makan sehingga asupan
makanan yang masuk kedalam tubuh menjadi berkurang dan dapat menyebabkan gizi buruk.

(2) Bayi Berat Lahir Normal

Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dari kehamilan sampai 42 minggu dan berat badan
lahir > 2500

(3) Bayi Berat Lahir Lebih

Bayi berat lahir lebih adalah Bayi yang dilahirkan dengan beratlahir lebih > 4000 gram
menunjukan bahwa BBLR mempunyai risiko 3,34 kali lebih besar untuk mengalami status gizi
kurang dibandingkan dengan anak yang tidak BBLR.

f) Riwayat Imunisasi
Menurut Depkes RI No.42 (2013) imunisasi adalah suatu upaya untuk
menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga
bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit
ringan. Vaksin adalah antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati, masih hidup tapi
dilemahkan,masih utuh atau bagiannya, yang telah diolah, berupa toksin mikroorganisme yang
telah diolah menjadi toksoid, protein rekombinan yang bila diberikan kepada seseorang akan
menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu.

Jenis imunisasi menurut Kemenkes RI, 2013 yaitu:

(1)Imunisasi wajib

Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah untuk seseorang sesuai
dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya
dari penyakit menular tertentu. Imunisasi wajib terdiri dari :

(a)Imunisasi Hepatitis B mencegah penularan hepatitis B dan kerusakan hati. Pemberian vaksin
hepatitis B dilakukan pada usia 0-7 hari (Kemenkes RI, 2013)

(b)Imunisasi BCG. Vaksin BCG mengandung kuman BCG yang masih hidup namun telah
dilemahkan berfungsi untuk mencegah penularan TBC (Tuberculosis) berat. Pemberian vaksin
BCG hanya dilakukan satu kali, yaitu pada saat anak baru dilahirkan hingga berusia dua bulan.

(c)Vaksin Poliomielitis.

Vaksin ini mengandung virus polio yang dilemahkan, berfungsi untuk mencegah kelumpuhan
(Kemenkes RI, 2013). Pemberian vaksin polio harusdilakukan dalam satu rangkaian, yaitu pada
saat anak baru dilahirkan dan pada saat anak berusia satu, dua, tiga dan empat bulan. Vaksin ini
selanjutnya bisa diberikan kembali di usia satu setengah tahun, dan yang terakhir di usia lima

tahun.

(d)Vaksin DPT-HB. Mengandung DPT berupa toxoid difteri

dan toxoid tetanus yang dimurnikan dan pertusis yanginaktifasi serta vaksin Hepatitis B yang
merupakan sub unit vaksin virus yang mengandung HbsAg murni dan bersifat non infectious
(Kemenkes RI, 2013). Yang mencegah difteri, batuk rejan dan tetanus serta mencegah hepatitis
B.Vaksin ini diberikan pada usia dua, tiga dan empat bulan.
(e)Vaksin Campak. Mengandung vaksin campak hidup yang telah dilemahkan yang berfungsi
mencegah penyakit campak (Kemenkes RI, 2013). Vaksin ini diberikan pada saat usia 9 bulan,
dua tahun dan enam tahun .

(2)Imunisasi pilihan

Imunisasi pilihan merupakan imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang sesuai dengan
kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit menular tertentu.
Imunisasi merupakan salah satu cara pencegahan penyakit menular khususnya Penyakit yang
Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang diberikan tidak hanya anak sejak masih bayi
hingga remaja tetapi juga dewasa (Kemenkes RI, 2016). Cara kerja imunisasi yaitu dengan
memberikan antigen bakteri atau virus tertentu yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan
tujuan merangsang sistem imun tubuh untuk membentuk antibodi. Antibody ini meningkatkan
kekebalan tubuh seseorang sehingga dapat mencegah atau mengurangi akibat penularan PD3I
tersebut. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Ameliatahun 2014 menunjukkan bahwa anak
balita yang mengalami gizi kurang sebagian besar status imunisasinya tidak lengkap, sementara
itu untuk status gizi baik terbanyak pada balita dengan status imunisasi lengkap.

g) Pemberian Vitamin A

Vitamin A atau retinol adalah salah satu vitamin yang larut dalam lemak, dan disimpan tubuh di
organ hati. Fungsinya untuk proses pembentukan dan pertumbuhan sel darah merah, sel limfosit,
sehingga berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Karena itu vitamin A ini merupakan
antioksidan kuat yang dapat menangkal radikal bebas yang berbahaya bagi tubuh. Selain itu,
bermanfaat bagi kesehatan mata seperti mencegah rabun senja, kerusakan kornea dan kebutaan.
Bermanfaat pula bagi kesehatan kulit dan pernafasan.Sasaran program ini adalah balita dari usia
6 bulan sampai dengan 59 bulan. Vitamin A yang dibagikan adalah vitamin A dosis tinggi. Ada 2
jenis vitamin A yang diberikan yaitu yang biru (100.000 IU) untuk bayi usia 6 sampai dengan 11
bulan, dan yang merah (200.000 IU) untuk usia 12 sampai dengan 59 bulan. pemberian vitamin
A ini diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu pada bulan Februari dan Agustus. Kurang
Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar di seluruh dunia terutama di negara
berkembang dan dapat terjadi pada semua umur terutama pada masa pertumbuhan . KVA
merupakan suatu ganguan yang disebabkan karena kurangnya asupan vitamin A dalam
tubuh.KVA dapat mengakibatkan kebutaan, mengurangi daya tahan tubuh sehingga mudah
terserang infeksi, yang sering menyebabkan kematian khususnya pada anak-anak. Selain itu
KVA dapat menurunkan epitelisme sel-sel kulit . Faktor yang menyebabkan timbulnya KVA
adalah kemiskinan dan minim pengetahuan akan gizi. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Wahyuni tahun 2012 menunjukkan bahwa pemberian vitamin A mempunyai hubungan
signifikan dengan status gizi anak balita dengan hasilnya yaitu balita yang pernah mendapatkan
kapsul vitamin A, status gizinya 72,3 % baik.

 Penanganan Gizi Kurang

1) Pemberian Makanan Tambahan (PMT)

Pemberian Makanan Tambahan (PMT) adalah salah satu bentuk intervensi langsung untuk
menyediakan jenis makanan yang penting contohnya makanan tambahan pemulihan untuk balita
gizi buruk dan gizi kurang . Pemberian makanan tambahan bertujuan untuk memperbaiki
keadaan gizi pada anak golongan rawan gizi yang menderita kurang gizi, dan diberikan dengan
kriteriaanak balita yang tiga kali berturut-turut tidak naik timbangannya serta yang berat
badannya pada KMS terletak dibawah garis merah.

2) Menjadikan KADARZI (Keluarga Sadar Gizi)

KADARZI adalah keluarga yang setiap anggotanya menerapkan perilaku gizi yang baik
(Depkes, 2012).KADARZI merupakan sikap dan perilaku keluarga yang dapat secara mandiri
mewujudkan keadaan gizi yang sebaik-baiknya tercermin dari konsumsi pangan yang beraneka
ragam dan bermutu gizi seimbang .Bahwaada hubungan antara Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)
dengan status Gizi Balita. Artinya keluarga khususnya yang mempunyai anak balita dengan
status gizi baik memiliki sikap dan perilaku mandiri dalam mewujudkan keadaan gizi seimbang
yang dapat terlihat dari konsumsi makan yang beraneka ragam dan bermutu gizi seimbang.

3. Masalah baru yang mengancam kesehatan masyarakat (emerging problem)

2.2 Etiologi masalah gizi

1. Masalah Ekonomi Dan Politik

masalah gizi dimulai dari pengelolaan Negara. Apabila pengelolaan negara yang terbagi dalam 3
kekuatan politik, yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif tidak dapat melaksanakan tujuan
pembangunan negara sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dengan baik, maka
kesejahteraan umum tidak dapat tercapai secara optimal. Sebagai contoh dari akar masalah
adalah besarnya penyelewengan anggaran pembangunan yang sudah berakar pada para
pengelola Anggaran Pembangunan Negara (APBN) sejak dulu. kebocoran terhadap dana
pembangunan sekitar 30 persen pada tahun 1989 sampai dengan 1993. Keadaan ini sampai
sekarang masih terjadi sungguhpun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah bekerja keras.

Dampak korupsi akan sangat membebani masyarakat karena:

a. Korupsi menyebabkan turunnya kualitas pelayanan publik.

b. Korupsi menyebabkan terenggutnya hak-hak dasar warga negara.

c. Korupsi menyebabkan rusaknya sendi-sendi prinsip dari sistem pengelolaan keuangan negara.

d. Korupsi menyebabkan terjadinya pemerintahan boneka.

e. Korupsi dapat meningkatkan kesenjangan sosial.

f. Korupsi dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan investor.

g. Korupsi dapat menyebabkan terjadinya degradasi moral dan etos kerja.

Selanjutnya, ketidakcakapan para pemimpin dalam mengelola negara akan berdampak pada
rendahnya mutu pendidikan, rendahnya kualitas sumber daya manusia, menyebabkan negara
tidak mampu membuka lapangan kerja, yang berdampak pada tingginya pengangguran, dan
mengakibatkan munculnya kemiskinan. Keadaan masyarakat yang terdidik dan memiliki status
ekonomi yang baik, akan jauh lebih mampu menyediakan pangan, mengasuh anak anaknya
serta menjangkau pelayanan kesehatan yang baik, yang pada akhirnya mencapai tingkat status
gizi yang baik.

2. Ketersediaan Pangan di Tingkat Rumah Tangga

a. Ketersediaan bahan pangan Ukuran ketersediaan pangan dalam rumah tangga adalah jumlah
yang cukup tersedia bagi untuk konsumsinya sesuai dengan jumlah anggota keluarganya. Bagi
petani, ketersediaan ini harus mampu memberikan suplai pangan yang diperlukan antara musim
panen saat ini dengan musim panen berikutnya. Bagi keluarga yang tidak bertumpu pada
pertanian, ketersediaan pangan harus ditopang dengan kemampuan penghasilan rumah tangga
yang mampu membeli pangan sepanjang tahun.
b. Stabilitas ketersediaan Stabilitas ketersediaan pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk
menyediakan makan 3 kali sehari sepanjang tahun sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di
daerah tersebut.

c. Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan Indikator aksesibilitas/keterjangkauan dalam


pengukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dilihat dari kemudahan rumah tangga
memperoleh pangan, yang diukur dari pemilikan lahan (misal sawah untuk provinsi Lampung

dan ladang untuk provinsi NTT) serta cara rumah tangga untuk memperoleh pangan.

3. Kualitas Keamanan pangan

a. Kualitas keamanan pangan baik. Dalam rumah tangga yang terbaik adalah kemampuan rumah
tangga untuk menyediakan pangan yang memenuhi gizi seimbang. Dalam pengeluaran untuk
pangan, rumah tangga ini memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein hewani dan
nabati atau protein hewani saja.

b. Kualitas keamanan pangan kurang baik Rumah tangga dengan kualitas keamanan pangan
kurang baik adalah rumah tangga yang dalam mencukupi kebutuhan pangannya hanya memiliki
pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein nabati saja.

c. Kualitas bahan pangan tidak baik Rumah tangga dengan kualitas bahan pangan tidak baik
adalah rumah tangga yang tidak memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein baik
hewani maupun nabati.

World Health Organization mendefinisikan tiga komponen utama ketahanan pangan yaitu:

1) Ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan.

2) Ketersediaan pangan adalah kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk
kebutuhan dasar.

3) Akses pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk
mendapatkan bahan pangan bernutrisi.

4) Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar
dan tepat secara proporsional.

5) FAO menambahkan komponen keempat, yaitu kestabilan dari ketiga komponen tersebut
dalam kurun waktu yang panjang.
D. ASUHAN IBU DAN ANAK

Pengasuhan anak dimanifestasikan sebagai memberi makan, merawat (menjaga


kesehatannya), mengajari dan membimbing (mendorong dan stimulasi kognitif anak). Praktek
pengasuhan dalam hal pemberian makan meliputi pemberian ASI, pemberian makanan tambahan
yang berkualitas, penyiapan dan penyimpanan makanan yang higinis.

Praktek pengasuhan dalam perawatan anak adalah pemberian perawatan kesehatan kepada anak
sehingga dapat mencegah anak dari penyakit, yang meliputi imunisasi dan pemberian suplemen
pada anak. Sedangkan praktek pengasuhan dalam stimulasi kognitif adalah dukungan emosional
dan stimulasi kognitif yang diberikan oleh orang tua atau pengasuh untuk mendukung
perkembangan anak yang optimal, yang meliputi ketersediaan alat bermain yang mendukung
perkembangan mental, motorik dan sosial;

pemberian ASI dan stimulasi yang diberikan pengasuh serta interaksi anak-orang tua.
Ketidaktepatan dalam praktik Asuhan Ibu dan Anak merupakan faktor yang penting dalam
memberikan jaminan terhadap berlangsungnya gizi ibu dan anak balita yang diasuhnya.

Berdasarkan kajian UNICEF, Ada tiga hambatan utama terhadap peningkatan gizi dan
perkembangan anak di Indonesia.

1. Pertama Pada umumnya, ibu, keluarga dan masyarakat tidak tahu bahwa masalah gizi
merupakan sebuah masalah. Masyarakat baru menyadari apabila gizi kurang tersebut berbentuk
anak yang sangat kurus atau sudah menderita sakit. Sedangkan masalah anak pendek dan gizi ibu
tidak mudah dilihat. Oleh karena ketidaktahuan akan masalah gizi tersebut, sering kali Ibu
keluarga dan masyarakat tidak mampu melaksanakan pengasuhan anak dengan baik. Banyak
upayaupaya yang diarahkan secara tidak tepat untuk menangani anak yang sangat kurus.
Intervensi sering tidak diarahkan pada sistem untuk menanggulangi gizi kurang pada ibu dan
anak-anak.

2. Kedua Banyak pihak menghubungkan gizi kurang dengan kurangnya pangan dan percaya
bahwa penyediaan pangan merupakan jawabannya. Ketersediaan pangan bukan penyebab utama
gizi kurang di Indonesia, meskipun kurangnya akses ke pangan karena kemiskinan merupakan
salah satu penyebab. Bahkan juga ditemukan anak-anak dari dua kuintil kekayaan tertinggi
menunjukkan anak pendek dari menengah sampai tinggi, sehingga penyediaan pangan saja
bukan merupakan solusi.

3. Ketiga Pengetahuan keluarga balita dan masyarakat yang tidak memadai dan praktek-praktek
yang tidak tepat merupakan hambatan signifikan terhadap peningkatan gizi. Pada umumnya,
orang tidak menyadari pentingnya gizi selama kehamilan dan dua tahun pertama kehidupan.

E. PELAYANAN KESEHATAN

Secara umum tujuan utama pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan preventif
(pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat. Namun secara
terbatas pelayanan kesehatan masyarakat juga melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan
rehabilitatif (pemulihan).

Oleh karena ruang lingkup pelayanan kesehatan masyarakat menyangkut kepentingan rakyat
banyak, dengan wilayah yang luas dan banyak daerah yang masih terpencil, sedangkan sumber
daya pemerintah baik tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan sangat terbatas, maka sering
program pelayanan kesehatan tidak terlaksana dengan baik.

Berkaitan dengan peranannya sebagai faktor penyebab tidak langsung timbulnya masalah gizi,
selain sanitasi dan penyediaan air bersih, kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di
jamban, tidak merokok dan memasak di dalam rumah, sirkulasi udara dalam rumah yang baik,
ruangan dalam rumah terkena sinar matahari dan lingkungan rumah yang bersih

F. FAKTOR PENYEBAB LANGSUNG

1. Asupan zat gizi Pertama adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah dan
komposisi zat gizi yang memenuhi syarat makanan beragam, bergizi seimbang, dan aman. Pada
tingkat makro, konsumsi makanan individu dan keluarga dipengaruhi oleh ketersediaan pangan
yang ditunjukkan oleh tingkat produksi dan distribusi pangan. Ketersediaan pangan beragam
sepanjang waktu dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau oleh semua rumah tangga
sangat menentukan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan tingkat konsumsi makanan
keluarga. Khusus untuk bayi dan anak telah dikembangkan standar emas makanan bayi yaitu:

a. inisiasi menyusu dini;

b. memberikan ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan;


c. pemberian makanan pendamping ASI yang berasal dari makanan keluarga, diberikan tepat
waktu mulai bayi berusia 6 bulan; dan

d. ASI terus diberikan sampai anak berusia 2 tahun.

2. Penyakit infeksi Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan
dengan tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan.

Untuk itu, cakupan universal untuk imunisasi lengkap pada anak sangat mempengaruhi kejadian
kesakitan yang perlu ditunjang dengan tersedianya air minum bersih dan higienis sanitasi yang
merupakan salah satu faktor penyebab tidak langsung. Berbagai penyakit infeksi yang sering
menyerang balita adalah :

a. Batuk-batuk Penyebab yang paling umum dari kondisi ini kemungkinan selesma, atau
dikenal juga sebagai infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Selain itu ada juga penyebab
lainnya seperti lendir dari hidung yang mengalir ke tenggorokkan, asma, bronkiolitis, batuk rejan
atau pneumonia.

b. Diare Balita yang mengalami diare umumnya memiliki kotoran yang encer dan berair. Diare
ini bisa disebabkan oleh gastroenteritis, alergi atau tidak bisa menoleransi suatu makanan. Pada
bayi di bawah usia 3 tahun (batita) terkadang diare disebabkan oleh sistem pencernaan yang
belum sempurna.

c. Sulit bernapas Gangguan ini umumnya terjadi pada bayi karena saluran udara yang
dimilikinya masih kecil. Namun ada juga beberapa kondisi yang bisa menyebabkan bayi sulit
bernapas, seperti asma, bronkiolitis atau pneumonia.

d. Sakit telinga Kondisi ini biasanya disebabkan oleh adanya infeksi pada telinga bagian tengah
dan luar. Pada umumnya balita yang mengalami sakit telinga akan sering kali menarik-narik
telinganya.

e. Menangis berlebihan Penyebab medis yang bisa menyebabkan bayi menangis berlebihan
adalah kondisi yang mengakibatkan sakit perut, nyeri pada tulang atau adanya infeksi tulang.
Secara umum bayi yang sakit cenderung akan diam dan tidak rewel.

f. Demam Pada umumnya demam merupakan pertanda terjadinya infeksi yang disebabkan oleh
bakteri atau virus. Usaha pertama yang dilakukan jika bayi demam tinggi adalah memberinya
obat penurun demam, karena demam yang terlalu tinggi bisa menyebabkan kejang.
g. Kejang (konvulsi) Balita yang kejang adalah suatu kondisi menakutkan bagi orang tua.
Namun, jika kejang terjadi akibat demam tinggi biasanya jarang berbahaya. Penyebab lain dari
balita yang kejang adalah epilepsi dan kejang hari kelima, yaitu kejang tanpa ada alasan yang
khusus pada bayi yang baru lahir dalam keadaan sehat.

h. Ruam Ruam yang timbul pada balita disebabkan oleh banyak hal, sepert penyakit infeksi,
alergi, eksim dan juga infeksi kulit.

i. Sakit perut Terdapat berbagai hal yang bisa memicu sakit perut pada balita, salah satu
penyebab yang paling umum adalah sembelit (konstipasi) atau susah buang air besar. Sakit perut
yang dialami juga bisa disebabkan oleh gastroenteritis dan juga rasa cemas berlebihan yang
dialami si kecil. Jika sakit perutnya tergolong parah, maka segera konsultasikan ke dokter.

j. Muntah Muntah bisa disebabkan oleh infeksi seperti gastroenteritis, infeksi saluran kemih,
keracunan makanan atau masalah struktural misalnya refluks atau stenosis pilorik.

2.2 DEFINISI SURVEILANS GIZI

. Menurut Depkes RI (2008) Surveilans gizi adalah proses pengamatan berbagai masalah yang
berkaitan dengan upaya perbaikan gizi masyarakat secara terusmenerus baikpada situasi normal
maupun darurat dan informasi yang dihasilkan dapat digunakan untuk pengambilan keputusan
dalam rangka mencegah memburuknya status gizi masyarakat, menentukan intervensi yang
diperlukan, manajemen program, dan evaluasi dari program yang sedang dan telah dilaksanakan.

Sedangkan menurut NAS (National Academy of Science) dalam Adi dan Mukono (2000)
surveilans gizi adalah kegiatan pengamatan terhadap status gizi yang bertujuan agar pengambilan
keputusan dalam penentuan kebijakan dan program dapat terarah kepada perbaikan gizi
masyarakat golongan miskin.

Informasi harus dikumpulkan secara teratur dan harus digunakan oleh para penentu kebijakan
dan perencana program. Institusi yangterlibat harus mempunyai hubungan yang erat dengan
mekanisme perencanaan dan intervensi. Surveilans gizi berbeda dengan surveilans penyakit
pada umumnya. Meskipun antara keduanya memiliki kesamaan dalam hal kegiatan
mengumpulkan informasi untuk kebijakan program dan tindakan, tetapi terdapat beberapa
perbedaan yang menjadi ciri tersendiri dari surveilans gizi. Beberapa perbedaan tersebut antara
lain (Adi dan Mukono 2000):
1. Masalah yang dihadapi oleh kegiatan surveilans gizi lebih rumit dari surveilans penyakit. Hal
ini disebabkan masalah gizi mempunyai penyebab yang multi faktor dan sangat erat kaitannya
dengan masalah kemiskinan.

2. Identifikasi gejala dan cara penanggulangan masalah gizi lebih sulit dari pada masalah
penyakit

3. Dalam penanganan masalah gizi jauh lebih sulit dibandingkan dengan masalah penyakit
karena dalam penggulangan masalah gizi melibatkan lintas sektor yang lebih luas. Syarat
pertama dari kegiatan surveilans adalah pengumpulan informasi secara teratur. Dengan
demikian, suatu pengkajian yang tidak didasarkan atau dikaitkan dengan data yang dikumpulkan
secara periodik tidak disebut sebagai suatu surveilans. Syarat kedua adalah data yang
dikumpulkan secara periodik dan setelah dianalisis harus dapat digunakan sebagai bahan
pengambilan keputusan dalam pengelolaan program perbaikan gizi masyarakat.

Oleh karena itu, data yang dikumpulkan harus merupakan data yang bersifat tetap dan siap untuk
digunakan sesuai tujuan tersebut. Disamping itu harus terdapat hubungan yang erat antara
instansi-instansi yang bertanggung jawab dalam hal surveilans dan perencanaan atau penentu
kebijakan

2.3 TUJUAN SURVEILANS GIZI

Sebagai sebuah sistem, surveilans gizi merupakan suatu proses berkelanjutan yang mempunyai
tujuan sebagai berikut:

1. Menentukan status gizi penduduk dengan merujuk secara khusus pada kelompok penduduk
yang diketahui sedang dalam keadaan menderita atau berisiko. Penentuan status gizi tersebut
meliputi tanda-tanda dan luasnya masalah gizi yang ada dan gambaran tentang trend kejadian
Menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk menganalisa tentang sebab-sebab dan
faktor-faktor yang terkait. Hasil kajian tersebut digunakan dalam menentukan tindakan
pencegahan yang dilaksanakan.

2. Menyediakan informasi bagi pemerintah untuk menentukan prioritas yang sesuai dengan
tersedianya sumber daya dalam memperbaiki status gizi penduduk baik dalam situasi normal
maupun darurat.
3. Memberikan peramalan tentang perkembangan masalah gizi yang akan datang berdasarkan
analisis perkembangan (trend ) yang telah dan sedang terjadi dan dilengkapi dengan informasi
tentang potensi kemampuan dan sumber daya yang tersedia. Hasil dari peramalan tersebut akan
membantu perumusan kebijakan yang tepat.Melakukan pemantauan ( monitoring ) program-
program gizi serta menilai (evaluasi) tentang efektifitasnya.

Anda mungkin juga menyukai