Anda di halaman 1dari 32

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perforasi gaster adalah penyakit yang disebabkan oleh komplikasi serius dari

penyakit ulserasi peptic. Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk

penetrasi yang komplek dari lambung, usus halus, usus besar, akibat dari bocornya

isi dari usus ke dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara

potensial untuk terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut (keadaan ini

dikenal dengan istilah peritonitis).

Kasus tindakan laparatomi mengalami peningkatan di beberapa negara di

dunia. Salah satunya di daerah Afrika, pada tahun 2015 terdapat 1276 kasus

laparatomi dengan 449 kasus (35%) di bagian obsetri dan 876 kasus (65%) pada

bagian bedah umum (Ngowe, N.M., et.al, 2014; Baison, G.N, 2017). Di Indonesia,

jumlah tidakan operasi terhitung pada tahun 2012 mencapai 1,2 juta jiwa dan

diperkirakan 32% diantaranya merupakan tindakan bedah laparatomi (Kemenkes

RI, 2013).

Perforasi yang menembus rongga peritonial akibat dari inflamasi, infeksi,

iskemia, trauma dapat menyebabkan peritonitis. Pada kasus peritonitis terjadi

proliferasi bakterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam waktu singkat dapat terjadi

eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritoneal menjadi keruh dengan peningkatan

jumlah protein, sel darah putih, debris seluler, dan darah. Respon segera dari saluran

usus adalah hipermotilitas, diikuti oleh ileus paralitik, disertai akumulasi udara dan

1
2

cairan dalam usus. Seringkali, inflamasi tidak lokal dan seluruh rongga abdomen

menjadi terkena pada sepsis umum.

Pasien dengan ventilasi mekanik memerlukan pemantauan yang berulang,

sehingga dapat meminimalkan resiko kejadian komplikasi dari ventilasi mekanik

seperti: barotarauma, gangguan jalan nafas, infeksi paru, hipoventilasi,

hiperventilasi, hipoksia, penurunan perfusi jaringan akibat penurunan fungsi

jantung, nyeri, hipoksia, imobilisasi, peningkatan morbiditi dan mortaliti, serta

dapat menyebabkan beberapa efek psikologis seperti gangguan tidur,

ketidaknyamanan, kegelisahan dan stres.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana asuhan keperawatan yang harus dilakukan pada klien dengan

diagnosa medis Perforasi Gaster di ruang Dahlia RSUD DR Doris Sylvanus

Palangka Raya?

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Utama

Mampu melakukan asuhan keperawatan Perforasi Gaster

1.2.2 Tujuan Khusus

1.2.2.1 Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien Perforasi Gaster.

1.2.2.2 Membuat Diagnosa Keperawatan pada pasien Perforasi Gaster.

1.2.2.3 Membuat perencanaan pada pasien Perforasi Gaster.

1.2.2.4 Melakukan Implemetasi pada pasien Perforasi Gaster.

1.2.2.5 Mengevaluasi Implementasi pada pasien Perforasi Gaster.


3

1.3 Manfaat Penulisan

1.3.1 Manfaat Bagi Penulis

Memberikan pengalaman yang nyata tentang asuhan keperawatan

pada pasien dengan gangguan sistem pencernaan Perforasi Gaster

1.3.2 Manfaat Bagi Pasien dan Keluarga

Pasien dan keluarga mengerti cara perwatan dan menghindari

penyebab pada penyakit secara benar dan bisa melakukan perawatan

dirumah dengan mandiri.

1.3.3 Manfaat Bagi Institusi Akademik

Dapat digunakan sebagai informasi bagi institusi pendidikan dalam

pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan dimasa yang akan

datang.

1.3.4 Manfaat Bagi Rumusan

Dapat memberikan konstribusi untuk mengevaluasi program

pengobatan penyakit melalui upaya peningkatan kesehatan.

1.3.5 Manfaat Bagi Pembaca

Pembaca dapat memahami tentang penatalaksanaan dan perawatan

pada pasien Perforasi Gaster.


4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Perforasi Gaster

2.1.1 Definisi Perforasi Gaster

Perforasi gaster adalah penyakit yang disebabkan oleh komplikasi serius

dari penyakit ulserasi peptic. Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk

penetrasi yang komplek dari lambung, usus halus, usus besar, akibat dari bocornya

isi dari usus ke dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara

potensial untuk terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut (keadaan ini

dikenal dengan istilah peritonitis). Perforasi lambung berkembang menjadi suatu

peritonitis kimia yang di sebabkan karna kebocoran asam lambung ke dalam rongga

perut. Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan

suatu kasus kegawatan bedah.

2.1.2 Anatomi Fisiologi

Salah satu organ traktus gastrointestinal adalah gaster. Gaster terletak pada

bagian superior sinistra rongga abdomen dibawah diafragma seperti terlihat pada

gambar 1. Secara anatomi, gaster terdiri dari 3 bagian yaitu kardia, fundus, korpus,

dan pilorus (Ellis, 2006).


5

Fungsi gaster diantaranya; absorbsi nutrisi seperti glukosa, sekresi asam

klorida (HCl), produksi kimus, mencerna protein, produksi mukus dan produksi

faktor intrinsik yaitu suatu glikoprotein yang disekresikan oleh sel parietal. Secara

histologis, terdapat beberapa kelenjar pada bagian gaster diantaranya:

a. Kelenjar kardia hanya mensekresi mukus

b. Kelenjar fundus–korpus yang terdiri dari sel utama (chief cell) mensekresi

pepsinogen, sel parietal mensekresi HCl dan faktor intrinsik, serta mensekresi

mukus.

c. Kelenjar pilorus terletak di antrum pilorus berfungsi untuk mensekresi mukus

dan gastrin (Ellis, 2006).

Tahap fisiologis sekresi HCl pada mukosa gaster, terdiri dari 3 tahap diantaranya:

a. Tahap yang diinisiasi dengan melihat, merasakan, membaui, dan menelan

makan, yang dimediasi oleh aktivitas vagal disebut tahap sefalik

b. Tahap gastrik meliputi stimulasi reseptor regangan oleh otot pada gaster dan

dimediasi oleh impuls vagal serta sekresi gastrin dari sel endokrin (sel G) di
6

kelenjar–kelenjar antral. Sekresi Gastrin dipicu oleh asam amino dan peptida

di lumen.

c. Tahap intestinal terjadi setelah kimus menuju duodenum dan memicu sekresi

enzim–enzim pencernaan yang di sekresi oleh pankreas, hepar, dan kandung

empedu. (Guyton et al., 2006).

2.1.3 Etiologi

1. Perforasi non-trauma:

- Akibat faktor predisposisi : termasuk ulkus peptic

- Perforasi oleh malignasi intra abdomen atau limfoma

- Benda asing misalnya jarum pentul dapat menyebabkan perforasi

esophagus, gaster, atau usus dengan infeksi intra abdomen,

peritonitis, dan sepsis

2. Perforasi trauma (tajam atau tumpul):

- Trauma iatrogenic setelah pemasangan pipa nasogastric saat

endoskopi

- Luka penetrasi ke dada bagian bawah atau abdomen

- Trauma tumpul pada gaster

2.1.4 Klasifikasi

Klasifikasi dari ulkus gaster :

1. Tipe I: paling sering, terjadi sepanjang kurvatura minor, biasanya

terjadi di sekitar incisura angularis.

2. Tipe II: biasanya dua ulkus, pada corpusgaster dan di duodenum

3. Tipe III: prepyloric


7

4. Tipe IV: jarang terjadi, terjadi pada kurvatura minor dekat

dengan gatroesophageal junction.

Tipe I dan IV tidak berhubungan dengan produksi asam.Tipe II dan

III berhubungan dengan hipersekresi asam.

2.1.5 Patofisiologi (patway)

Dalam keadaan normal, lambung relatif bersih dari bakteri dan

mikroorganisme lain karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan

orang yang mengalami trauma abdominal memiliki fungsi gaster normal dan tidak

berada dalam resiko kontaminasi bakteri setelah perforasi gaster. Namun, mereka

yang sebelumnya sudah memiliki masalah gaster beresiko terhadap kontaminasi

peritoneal dengan perforasi gaster. Kebocoran cairan asam lambung ke rongga

peritoneal sering berakibat peritonitis kimia yang dalam. Jika kebocoran tidak

ditutup dan partikel makanan mencapai rongga peritoneal, peritonitis kimia

bertahap menjadi peritonitis bakterial. Pasien mungkin bebas gejala untuk beberapa

jam antara peritonitis kimia awal sampai peritonitis bacterial kemudian. Adanya

bakteri di rongga peritoneal merangsang influks sel-sel inflamasi akut.

Omentum dan organ dalam cenderung untuk melokalisasi tempat inflamasi,

membentuk flegmon (ini biasanya terjadi pada perforasi usus besar). Hipoksia yang

diakibatkan di area memfasilitasi pertumbuhan bakteri anaerob dan menyebabkan

pelemahan aktivitas bakterisid dari granulosit, yang mengarah pada peningkatan

aktivitas fagosit granulosit, degradasi sel, hipertonisitas cairan membentuk abses,

efek osmotik, mengalirnya lebih


8

Patway Perforasi Gaster


9

2.1.6 Manifestasi Klinis (tanda dan gejala)

Tanda dan gejala perforasi gaster adalah :

1. Kesakitan hebat pada perut dan kram diperut.

2. Nyeri di daerah epigastrium.

3. Hipertermi

4. Takikardi

5. Hipotensi

6. Biasanya tampak letargik karna syok toksik.

2.1.7 Komplikasi

Sebagian besar Perforasi lambung bisa sembuh tanpa disertai komplikasi.

Tetapi pada beberapa kasus, Perforasi lambung bisa menyebabkan komplikasi yang

bisa berakibat fatal, seperti perdarahan, sumbatan, kanker, dan perforasi lambung

(lambung pecah).

Perforasi lambung atau lambung pecah adalah salah satu komplikasi dari

tukak lambung. Tukak pada lambung bisa menembus dan membentuk lubang ke

rongga perut. Kondisi ini menyebabkan tumpahnya atau keluarnya isi lambung ke

dalam rongga perut dan menyebabkan rasa nyeri yang tiba-tiba, sangat hebat, dan

terjadi terus-menerus. Nyeri bisa menyebar dengan cepat ke seluruh perut.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

1. foto polos abdomen pada posisi berdiri.

2. Ultrasonografi

Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut

abdomen. Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas dengan


10

berbagai densitas, yang pada kasus ini adalah sangat tidak homogen karena

terdapat kandungan lambung..

3. CT-scan

CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk mendeteksi

udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti gelembung dan saat

pada foto rontgen murni dinyatakan negatif. Oleh karena itu, CT scan sangat

efisien untuk deteksi dini perforasi gaster.

2.1.9 Penatalaksanaan medis

Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan

umumnya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan

pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak diberikan. Jika gejala dan tanda-

tanda peritonitis umum tidak ada, kebijakan nonoperatif mungkin digunakan

dengan terapiantibiotik langsung terhadap bakteri gram-negatif dan anaerob.

2.2 Konsep Eliminasi

2.2.1 Definisi

Eleminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh.

Eleminasi merupakan pengeluaran racun atau produk limbah dari dalam tubuh.

Gangguan Eleminasi urine

1. Gangguan eleminasi urine adalah keadaan ketika seorang

individu mengalami atau berisiko mengalami disfungsi eleminasi

urine (Lynda Juall Carpenitro-Moyet, Buku Saku Diagnosis Keperawatan

Edisi 13, hal 582, 2010).


11

Gangguan eleminasi urine merupakan suatu kehilangan urine involunter

yang dikaitkan dengan distensi berlebih pada kandung kemih (Nanda

International, Diagnosis Keperawatan 2012-2014, hal 271, 2011).

2. Gangguan Eleminasi Fekal

Gangguan eleminasi fekal adalah penurunan pada frekuensi normal defekasi

yang disertai oleh kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap feses dan/ atau

pengelaran feses yang keras, kering dan banyak (Nanda International,

Diagnosis Keperawatan 2012-2014, hal 281, 2011).

2.2.2 Anatomi Fisiologi

1. Ginjal

Pada dasarnya dapat dibagi dua zona, yaitu korteks (luar) dan medulla

(dalam). Korteksmeliputi daerah antara dasar malfigi pyramid yang juga

disebut pyramid medulla hingga kedaerah kapsula ginjal. Daerah kortes antara

pyramid-pyramid tadi membentuk suatu kolum disebut Kolum Bertini Ginjal.

Pada potongan ginjal yang masih segar, daerah kortek terlihatbercak-bercak

merah yang kecil (Petichie) yang sebenarnya merupakan kumpulan

veskulerkhusus yang terpotong, kumpulan ini dinamakan renal corpuscle atau

badan malphigi. Kortek ginjal terutama terdiri atas nefron pada bagian

glomerulus, tubulus Konvulatus proximalis,tubulus konvulatus distalis.

Sedangkan pada daerah medulla dijumpai sebagian besar nefronpada bagian

loop of Henle’s dan tubulus kolectivus. Tiap-tiap ginjal mempunyai 1-4

juta filtrasiyang fungsional dengan panjang antara 30-40 mm yang disebut

nefron .Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah

lebih dari satu juta buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa. Nefron
12

berfungsi sebagai regulator air dan zatterlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh

dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsicairan dan molekul yang

masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akandibuang.

Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran

lawanarus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut

urin.Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang disebut

korpuskula (atau badan Malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran

(tubulus).Setiap korpuskula mengandung gulungan kapiler darah yang disebut

glomerulus yang beradadalam kapsula Bowman. Setiap glomerulus mendapat

aliran darah dari arteri aferen. Dinding

kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan. Darah

dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang berpori dari glomerulus dan

kapsula Bowman karenaa danya tekanan dari darah yang mendorong plasma darah.

Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalan tubulus ginjal. Darah yang telah
13

tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri eferen.Di antara darah dalam

glomerulus dan ruangan berisi cairan dalam kapsula Bowman terdapat tiga lapisan:

1. Kapiler selapis sel endotelium pada glomerulus

2. Lapisan kaya protein sebagai membran dasar. Selapis sel epitel melapisi dinding

kapsula bowman (podosit)Dengan bantuan tekanan, cairan dalam darah didorong

keluar dari glomerulus, melewati ketigalapisan tersebut dan masuk ke dalam

ruangan dalam kapsula Bowman dalam bentuk filtratglomerular.Filtrat plasma

darah tidak mengandung sel darah ataupun molekul protein yang besar.

Proteindalam bentuk molekul kecil dapat ditemukan dalam filtrat ini. Darah

manusia melewati ginjal sebanyak 350 kali setiap hari dengan laju 1,2 liter per

menit, menghasilkan 125 cc filtratglomerular per menitnya. Laju penyaringan

glomerular ini digunakan untuk tes diagnosa fungsiginjal.Tubulus ginjal

merupakan lanjutan dari kapsula Bowman. Bagian yang

mengalirkan filtratglomerular dari kapsula Bowman disebut tubulus konvulasi

proksimal. Bagian selanjutnya adalah lengkung Henle yang bermuara pada tubulus

konvulasi distal.Lengkung Henle menjaga gradien osmotik dalam pertukaran lawan

arus yang digunakan untuk filtrasi. Sel yang melapisi tubulus memiliki banyak

mitokondria yang menghasilkan ATP dan memungkinkan terjadinya transpor aktif

untuk menyerap kembali glukosa, asam amino, danberbagai ion mineral. Sebagian

besar air (97.7%) dalam filtrat masuk ke dalam tubuluskonvulasi dan tubulus

kolektivus melalui osmosis.Cairan mengalir dari tubulus konvulasi distal ke dalam

sistem pengumpul yang terdiri dari Tubulus penghubungo Tubulus kolektivus

kortikalo Tubulus kolektivus medularisTempat lengkung Henle bersinggungan


14

dengan arteri aferen disebut aparatus juxtaglomerular,mengandung macula densa

dan sel juxtaglomerular. Sel juxtaglomerular adalah tempat terjadinya sintesis dan

sekresi rennin. Cairan menjadi makin kental di sepanjang tubulus dansaluran untuk

membentuk urin, yang kemudian dibawa ke kandung kemih melewati ureter.

2. Ureter

Urin meninggalkan tubulus dan memasuki duktus pengumpul yang akan

mentranspor urin kepelvis renalis. Sebuah ureter bergabung dengan setiap pelvis

renalis sebagai rute keluar pertamapembuangan urin. Ureter merupakan struktur

tubular yang memiliki panjang 25 sampai 30 cmdan berdiameter 1,25 cm pada

orang dewasa. Ureter membentang pada posisi retroperitoneumuntuk memasuki

kandung kemih di dalam rongga pelvis pada sambungan ureterovesikalis. Urinyang

keluar dari ureter ke kandung kemih umumnya steril. Gerakan peristaltik

uretermenyebabkan urin masuk ke kandung kemih dalam bentuk semburan. Ureter

masuk ke dalamdinding posterior kandung kemih dengan posisi miring

agar mencegah refluks urin darikandung kemih ke ureter.

3. Kandung Kemih

Kandung kemih merupakan suatu organ cekung yang dapat berdistensi dan

tersusun atas jaringan otot serta merupakan wadah tempat urin dan merupakan

organ ekskresi. Apabila kosong, kandung kemih berada dalam rongga panggul di

belakang simfisis pubis. Pada pria,kandung kemih terletak pada rectum bagian

posterior dan pada wanita terletak pada dindin ganterior uterus dan vagina.

Kandung kemih dapat menampung sekitar 600 ml urin, walaupun pengeluaran urin

normal sekitar 300 ml.


15

4. Uretra

Urin keluar dari kandung kemih melalui uretra dan keluar dari tubuh melalui

meatus uretra. Dalam kondisi normal, aliran urin yang mengalami turbulensi

membuat urin bebas dari bakteri.Merman mukosa melapisi uretra, dan kelenjar

uretra mensekresi lendir ke dalam saluran uretra.Lendir dianggap bersifat

bakteriostatis dan membentuk plak mukosa untuk menecegah masuknya bakteri.

Lapisan otot polos yang tebal mengelili uretra.

2.2.3 Etiologi

1. Makanan

Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses.

Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume

feses. Makanan tertentu pada beberapa orang sulit atau tidak bisa dicerna.

Ketidak mampuan ini berdampak pada gangguan pencernaan, di beberapa

bagian jalur dari pengairan feses. Makan yang teratur mempengaruhi defekasi.

Makan yang tidak teratur dapat mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu
16

yang makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan

waktu,respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan polaaktivitas

peristaltik di colon.

2. Cairan Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses.

Ketika pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran contoh:

urine,muntah yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan untuk

mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang colon. Dampaknya

chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang keras.

Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan

chime di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan reabsorbsi cairan dari

chime

3. Meningkatnya stress psikologi

Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit- penyakit

tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai

komponen psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau

marah dapat meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah

lagi orang yagn depresi bisa memperlambat motilitas intestinal, yang

berdampak pada konstipasi

4. Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.

Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan

gerak peristaltic dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju

rectumdalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga

fesesmengerase.Obat-obatan beberapa obat memiliki efek samping yang dapat

berpengeruhterhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare;


17

yanglain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti dengan

prosedur pemberian morphin dan codein, menyebabkan konstipasi. Beberapa

obat secara langsung mempengaruhi eliminasi. Laxative adalah obat yang

merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini

melunakkan feses, mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu

seperti dicyclominehydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan

kadang-kadang digunakan untuk mengobati diare

5. Usia

Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi

juga pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya

sampai sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 – 3 tahun.

Orang dewasa juga mengalami perubahan pengalaman yang dapat

mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya adalah atony

(berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot polos colon yang dapat

berakibat pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya (mengering) feses,

dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yagn juga menurunkan tekanan

selama proses pengosongan lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami

penurunan kontrol terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada

proses defekasi

6. Penyakit

penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord

dan tumor.Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat

menurunkanstimulus sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa

membatasi kemampuan klien untuk merespon terhadap keinginan defekasi


18

ketikadia tidak dapat menemukan toilet atau mendapat bantuan.

Akibatnya,klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien bisa mengalami

fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi dari spinkter ani

2.2.4 Klasifikasi

1. Eleminasi urine

a. Retensi urine adalah akumulasi urine yang nyata didalam kandung kemih

akibat ketidakmampuanmengosongkan kandung kemih .

b. Dysuria Adanya rasa setidaksakit atau kesulitan dalam berkemih .

c. PolyuriaProduksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal , seperti

2500 ml /hari , tanpa adanya intake cairan

d. Inkontinensi urine Ketidak sanggupan sementara atau permanen otot

spingter eksternal untuk mengontrol keluarnya urine dari kantong kemih .

e. Urinari suppresi Adalah berhenti mendadak produksi urine

1. Eleminasi fekal

a. KonstipasiKonstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi , yang diikuti

oleh pengeluaran feses yang lama ataukeras dan kering.

b. ImpaksiImfaksi feses merupakan akibat dari konstipasi yang tidak diatasi .

Imfaksi adalah kumpulan feses yang mengeras, mengendap di dalam

rektum, yang tidak dapat dikeluarkan.

c. Diare adalah peningkatan jumlah feses dan peningkatan pengeluaran feses

yang cair dan tidak berbentuk. Diare adalah gejala gangguan yang

mempengaruhi proses pencernaan, absorpsi, dansekresi di dalam saluran GI

.Inkontinensial feses adalah ketidak mampuan mengontrol keluarnya feses

dan gas dari anus.


19

d. FlatulenFlatulen adalah penyebab umum abdomen menjadi penuh , terasa

nyeri, dan kram.

e. Hemoroid adalah vena-vena yang berdilatasi, membengkak dilapisan

rektum

2.2.5 Patofisiologi (Patway)

Gangguan Eliminasi Fekal

Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga

disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi

dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali per minggu.Banyaknya feses juga

bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam

kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalamrektum dirangsang dan individu

menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.

Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refle ksdefekasi

instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum

memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai

gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum.

Gelombang ini menekan feses kearah anus.Begitu gelombang peristaltik mendekati

anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka

feses keluar.Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam

rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian

kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis

ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan

meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau

bedpan, spingter anus eksternal tenangdengan sendirinya.Pengeluaran feses dibantu


20

oleh kontraksi otot-otot perut dandiaphragma yang akan meningkatkan tekanan

abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang

menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan

refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang

meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau

jika defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulusspingter

eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan

rektum meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan fesesdi absorpsi

sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.


21
22

2.2.6 Komplikasi

1 Konstipasi, merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi

BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan.

BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi

karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap.

2 Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga

tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction

berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid.

3 Diare, merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak

berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi

di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan

meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga

pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.

4 Inkontinensia fecal, yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan

udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai

dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma

spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara

mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik.

Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat.

5 Flatulens, yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus

meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas

keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang

menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh


23

bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang

menghasilkan CO2.

6 Hemoroid, yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa

internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan,

gagal jantung dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan

mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan

pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB

dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya

pasien mengalami konstipasi.

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang

1 Pemeriksaan urine ( urinalisis)

a. Warna urine normal yaitu jernih

b. pH normal yaitu 4,6-8,0 glukosa dalam keadaan normal negatif

c. Ukuran protein normal sampai 10 mg/100ml

d. Keton dalam kondisi normal yaitu negatif

e. Berat jenis yang normal 1,010-1,030

f. Bakteri dalam keadaan normal negatif

2. Pemeriksaan darah meliputi : HB, SDM, kalium, natrium, pencitraan

radionulida, klorida, fosfat dan magnesium meingkat.

3. Pemeriksaaan ultrasound ginjal

4. Arteriogram ginjal

5. EKG

6. CT scan

7. Enduorologi
24

8. Urografi

9. Ekstretorius

2.2.8 Penatalsanaan Medis

Gangguan eleminasi urine

1. Penatalaksanaan medis inkontinensia urine yaitu:

a. Pemanfaatan kartu berkemih

b. Terapi non famakologi

c. Terapi farmakologi

d. Terapi pembedahan

e. Modalitas lain

2. Penatalaksanaan medis retensio urine yaitu

a. Kateterisasi urethra.

b. Dilatasi urethra dengan boudy.

c. Drainage suprapubik.

Gangguan Eliminasi Fekal

1. Penatalaksanaan medis konstipasi

a. Pengobatan non-farmakologis

b. Pengobatan farmakologis

2. Penatalaksanaan medis diare

a. Pemberian cairan

b. Pengobatan dietetik (cara pemberian makanan)

c. Obat- obatan
25

2.3 Menajemen Asuhan Keperawatan

2.3.1 Pengkajian Keperawatan

Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama

dan hal yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali masuk rumah sakit

maupun selama pasien dirawat di rumah sakit.

1. Biodata

Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/

bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.

2. Riwayat kesehatan

a. Keluhan utama

Pasien mengeluh panas, sakit kepala, lemah, nyeri ulu hati, mual dan

nafsu makan menurun.

b. Riwayat kesehatan sekarang

Riwayat kesehatan menunjukkan adanya sakit kepala, nyeri otot, pegal

seluruh tubuh, sakit pada waktu menelan, lemah, panas, mual, dan nafsu

makan menurun.

c. Riwayat kesehatan dahulu

Apakah dahulu klien pernah menderita penyakit yangsama?

d. Riwayat kesehatan keluarga

Apakah ada riwayat keluarga yang menderita sakit yang sama dengan

klien.Riwayat adanya penyakit Abses submandibula pada anggota

keluarga yang lain sangat menentukan.

e. Riwayat Kesehatan Lingkungan


26

Biasanya lingkungan kurang bersih, banyak genangan air bersih seperti

kaleng bekas, ban bekas, tempat air minum burung yang jarang diganti

airnya, bak mandi jarang dibersihkan.

f. Riwayat Tumbuh Kembang

Pengkajian Per Sistem:

1) Sistem Pernapasan

Sesak, perdarahan melalui hidung, pernapasan dangkal, epistaksis,

pergerakan dada simetris, perkusi sonor, pada auskultasi terdengar

ronchi, krakles.

2) Sistem Integumen.

Terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit kering, pada grade I terdapat

positif pada uji tourniquet, terjadi pethike, pada grade III dapat

terjadi perdarahan spontan pada kulit.

3. Pola Pengkajian secara fungsional :

a. Nutrisi-Metabolik

Menggambarkan informasi tentang riwayat pasien mengenai konsumsi

makanan dan cairan, tipe intake makan dan minum sehari, penggunaan

suplemen, vitamin makanan.Masalah nafsu makan, mual, rasa panas

diperut, lapar dan haus berlebihan.

b. Eliminasi

Menggambarkan informasi tentang riwayat pasien mengenai pola BAB,

BAK frekwensi karakter BAB terakhir, frekwensi BAK.


27

c. Aktivitas – Latihan

Meliputi informasi riwayat pasien tentang pola latihan, keseimbangan

energy, tipe dan keteraturan latihan, aktivitas yang dilakukan dirumah,

atau tempat sakit.

d. Istirahat tidur

Meliputi informasi riwayat pasien tentang frekwensi dan durasi periode

istirahat tidur, penggunaan obat tidur, kondisi lingkungan saat tidur,

masalah yang dirasakan saat tidur.

e. Kognitif- perseptual

Meliputi informasi riwayat pasien tentang fungsi sensori, kenyamanan

dan nyeri, fungsi kognitif, status pendengaran, penglihatan, masalah

dengan pengecap dan pembau, sensasi perabaan, baal, kesemutan

f. Konsep diri-persepsi diri

Meliputi riwayat pasien tentang peran dalam keluarga dan peran social,

kepuasan dan ketidakpuasan dengan peran

g. Seksual reproduksi

Meliputi informasi tentang focus pasutri terhadap kepuasan atau

ketidakpuasan dengan seks, orientasi seksual

h. Koping toleransi stress

Meliputi informasi riwayat pasien tentang metode untuk mengatasi atau

koping terhadap stress

i. Nilai kepercayaan

Meliputi informasi riwayat pasien tentang nilai, tujuan, dankepercayaan

berhubungan dengan pilihan membuat keputusan kepercayaan spiritual


28

2.3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan perlukaan pada lambung.

2. Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake

nutrisi tidak adekut.

3. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.

4. Kecemasan berhubungan dengan kurang pengetahuan

2.3.3 Rencana Keperawatan

a. Nyeri berhubungan dengan adanya perlukaan di lambung.

- Tujuan :Setelah dilakukkan tindakan selama 3 × 24 jam diharapkan terdapat

penurunan respon nyeri / nyeri hilang.

- Kriteria hasil :Tingkat kenyamanan, (perasaan senang) tingkat persepsi

positif terhadap kemudahan fisik dan psikologis, tindakan individu untuk

mengendalikan nyeri, keparahan nyeri dapat diamati / dilaporkan, jumlah

nyeri yang dilaporkan.

- Intervensi Keperawatan:

1. Gunakan laporan dari pasien sendiri pilihan pertama.

- Rasional: Guna mengumpulkan informasi pengkajian.

2. Minta pasien untuk menilai nyeri

- Rasional: Membantu menilai nyeri atau ketidaknyamanan.

3. Gunakan lembar alur nyeri.

- Rasional: Memantau pengurangan nyeri dari analgetik dan efek

sampingnya.

4. Lakukan pengkjian nyeri (lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,

keparahan nyeri, faktor presipitasi).


29

- Rasional: Membantu membedakan nyeri.

5. Dalam mengkaji pasien gunakan kata – kata yang konsisten dengan usia

dan tingkat perkembangan pasien.

- Rasional: Membantu membangun suasana terapiutik.

6. Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika peredaran

nyeri tidak dapat dicapai.

- Rasional: Nyeri yang berkelanjutan dicurigai adanya komplikasi.

7. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi.

- Rasional: Teknik distraksi relaksasi meminimalkan tingkatan rasa nyeri.

8. Observasi vital sign.

b. Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake

nutrisi tidak adekut, anaroxia.

- Tujuan :Setelah dilakukkan tindakan selama 3 × 24 jam diharapkan terjadi

peningkatan asupan dalam pemenuhan nutrisi.

- Kriteria hasil :Klien secara subjektif termotivasi untuk melakukan

pemenuhan ntrisi sesuai anjuran, asupan meningkat pada porsi makan yang

disediakan, mempertahankan berat badan, menoleransi diet yang

dianjurkan, mengungkapkan tekat untuk mematuhi diet.

- Intervensi keperawatan:

1. Anjurkan agar klien memakan makanan yang disediakan di rumah sakit

- Rasional: Membantu mengetahui adanya peningkatan atau penurunan berat

badan klien.

2. Anjurkan untuk makan porsi sedikit dengan interval sering.

- Rasional: Mencegah perangsangan yang mendadak pada lambung.


30

c. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.

- Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

diharapakan tidak terjadi kekurangan cairan tubuh .

- Kriteria hasil :Tidak memiliki konsentrasi urin yang berlebih, tidak

mengalami haus yang tidak normal, memiliki keseimbangan asupan yang

seimbang, menampilkan hidrasi yang baik, memiliki asupan cairan oral

yang adekuat.

- Intervensi keperawatan:

1. Observasi output dan input cairan setiap hari terhadap dehidrasi.

- Rasional: Out put yang berlebih dapat terjadinya dehidrasi.

2. Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa, penurunan turgor

kulit, pengisian kapiler lambat.

- Rasional: Menunjukkan kehilangan cairan berlebihan / dehidrasi.

3. Kaji tanda tanda vital.

- Rasional: Hipotensi, demam, dapat menunjukkan terjadinya kehilangan

cairan.

4. Observasi terhadap kehilangan cairan yang tinggi elektrolit (diare).

- Rasional: Untuk mengevalasi kehilangan cairan.

5. Kaji nilai elektrolit setiap 24 jam untuk ketidaksinambungan cairan.

- Rasional: Mengetahui jumlah cairan yang dibutuhkan.

6. Anjurkan keluarga untuk memberi minum klien 6 – 8 gelas air putih setiap

hari.

- Rasional: Mengganti cairan elektrolit yang hilang melalui oral


31

2.3.4 Implementasi Keperawatan

Lakukan implementasi sesuai dengan Intervensi Keperawatan.

2.3.5 Evaluasi Keperawatan

Kaji respon klien apakah intervensi di lanjutkan atau dihentikan.


32

DAFTAR PUSTAKA

Aru W, S. (2009). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta: Interna

Publishing.

Hendarwanto. (2010). BUku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI.

Laksana, E. (2015). Istirahat dan Tidur. Semarang: SMF Anestesi dan Terapi

Intensif RSUP dr. Kariadi.

Lestari, T. (2016). Asuhan Keperawatan Anak. Yogyakarta: Nuha Medika.

Rismawati, Y., & Ferawati, I. (2015). Fisiologi dan gangguan istirahat dan tidur.

Jurnal Kesehatan Andalas, 80-85.

Anda mungkin juga menyukai

  • Pengantar
    Pengantar
    Dokumen4 halaman
    Pengantar
    Rini Ririn
    Belum ada peringkat
  • Pengantar
    Pengantar
    Dokumen4 halaman
    Pengantar
    Rini Ririn
    Belum ada peringkat
  • Lembar Pengesahan
    Lembar Pengesahan
    Dokumen2 halaman
    Lembar Pengesahan
    aris noven
    Belum ada peringkat
  • COVER
    COVER
    Dokumen1 halaman
    COVER
    Rini Ririn
    Belum ada peringkat
  • CHAPTER
    CHAPTER
    Dokumen8 halaman
    CHAPTER
    Rini Ririn
    Belum ada peringkat
  • CHAPTER
    CHAPTER
    Dokumen8 halaman
    CHAPTER
    Rini Ririn
    Belum ada peringkat
  • Leukimia
    Leukimia
    Dokumen30 halaman
    Leukimia
    Rini Ririn
    Belum ada peringkat
  • HAM & Kaidah Etik Terkait Klien Gg. Keswa PDF
    HAM & Kaidah Etik Terkait Klien Gg. Keswa PDF
    Dokumen34 halaman
    HAM & Kaidah Etik Terkait Klien Gg. Keswa PDF
    Chika Febriani
    Belum ada peringkat
  • Parasit
    Parasit
    Dokumen51 halaman
    Parasit
    ferdi pratama
    Belum ada peringkat
  • Parasit
    Parasit
    Dokumen51 halaman
    Parasit
    ferdi pratama
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen39 halaman
    Bab 2
    Rini Ririn
    Belum ada peringkat
  • Cover LP Penyakit Fix-1
    Cover LP Penyakit Fix-1
    Dokumen1 halaman
    Cover LP Penyakit Fix-1
    Rini Ririn
    Belum ada peringkat