Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit kelamin adalah penyakit yang penularannya terutama melalui
hubungan seksual. Cara hubungan kelamin tidak hanya terbatas secara genito-
genital saja, tetapi dapat juga secara oro-genital atau ano-genital, sehingga
kelainan yang timbul akibat penyakit kelamin ini tidak terbatas hanya pada
daerah genital saja, tetapi dapat juga pada daerah-daerah ekstra genital. Gejala
yang ditimbulkan dapat disebabkan oleh pasangan seksual aktif maupun
neonatus yang lahir dari ibu yang terinfeksi.1,.2
Sejak tahun 1998 istilah STD (Sexually Transmitted Dissease), mulai
berubah menjadi STI (Sexually Transmitted Infection), agar dapat menjangkau
penderita asimtomatik.. Menurut WHO, terdapat lebih kurang 30 jenis mikroba
yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling sering
ditemukan adaah infeksi gonorrhoeae, chlamydia, syphilis, trichomoniasis,
chancroid, herpes genitalis, infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
hepatitis B.3
Penyakit Menular Seksual (PMS) merupakan salah satu dari sepuluh
penyebab pertama penyakit yang tidak menyenangkan pada dewasa muda laki-
laki dan penyebab kedua terbesar pada dewasa muda perempuan di Negara
berkembang. Dewasa dan remaja (15-24 tahun) merupakan 25% dari semua
populasi yang aktif secara seksual, tetapi memberikan kontribusi hampir 50%
dari semua kasus PMS yang baru didapat. Kasus-kasus PMS yang terdeteksi
hanya menggambarkan 50-80% dari semua kasus PMS yang ada di Amerika. Ini
mencerminkan keterbatasan skrining dan rendahnya pemberitaan akan PMS4. Di
Indonesia sendiri, telah banyak laporan mengenai prevalensi infeksi menular
seksual ini. Beberapa laporan yang ada dari beberapa lokasi menunjukkan
prevalensi infeksi gonorrhoeae dan chlamydia yang tinggi, yaitu sekitar 20%-
35%.Selain gonorrhoeae dan chlamydia, infeksi HIV/AIDS juga menjadi
perhatian saat ini karena peningkatan angka kejadiannya yang terus bertumbuh
dari waktu ke waktu. Jumlah penderita HIV/AIDS digambarkan sebagai

1
fenomena gunung es, yaitu jumlah penderita yang dilaporkan jauh lebih kecil
dari jumlah sebenarnya.5
Penyakit Menular Seksual telah menjadi program tersendiri bagi
pemerintah. Tingginya angka kejadian penyakit menular seksual di kalangan
remaja dan dewasa muda, terutama wanita, merupakan bukti bahwa masih
rendahnya pengetahuan remaja akan infeksi menular seksual. Hal ini mungkin
disebabkan kurangnya edukasi-edukasi yang dilakukan oleh pemerintah dan
badan kesehatan lainnya4,5..Tidak adanya mata pelajaran yang secara khusus
mengajarkan dan memberikan informasi bagi murid sekolah menengah atas,
terutama siswi, juga menjadi salah satu penyebab tingginya angka kejadian
infeksi menular seksual di kalangan remaja. Selain itu, gejala yang tidak tampak
serta stigma masyarakat diduga menjadi salah satu yang menyebabkan banyak
kasus infeksi yang tidak terdeteksi.6

B. Tujuan Pembelajaran
Tujuan dari referat ini adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai
penyakit menular seksual.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit kelamin sudah lama dikenal dan diantaranya sangat populer di


Indonesia. PMS sering ditemukan di kalangan dewasa muda. Hal ini
mengindikasinya tabunya hubungan seksual di luar pernikahan sudah tidak
dihiraukan lagi. Insidensi tertinggi adalah pada kelompok usia 20-24 tahun.
Insidensinya lebih tinggi di kalangan pria. Kasus PMS yang paling banyak
dilaporkan adalah non-spesificurethritis dan gonorrhoeae.7 Distribusi populasi
usianya adalah 39,2% berusia kurang dari 15 tahun, 56,5% berusia 15-59 tahun, dan
5,3% berusia lebih dari 60 tahun. 8
Kasus PMS pada pekerja seks komersil di Indonesia cenderung meningkat
dari tahun ke tahun. Hasil estimasi tahun 2006 menunjukkan bahwa pekerja seks
komersil berjumlah 221.000 orang dengan pelanggan sebanyak 3.160.000 orang
dengan prevalensi PMS yang sangat tinggi di kota Bandung, yaitu gonorrhoeae
37,4%, chlamydia 34,5%, dan syphilis 25,2%. Selanjutnya diikuti oleh kota Surabaya
dengan kasus chlamydia 33,7%, syphilis 28,8%, dan gonorrhoeae 19,8%. Yang
ketiga adalah kota Jakarta dengan gonorrhoeae 29,8%, syphilis 25,2%, dan
chlamidia 22,7%. Yang keempat adalah kota Medan dengan Chlamydia 5.3% dan
syphilis 2.4%. 9
Pekerja seks komersil lebih berisiko menimbulkan PMS karena mereka sering
bertukar pasangan seks. Semakin banyak pasangannya semakin banyak kesempatan
terinfeksi PMS dan menularkannya ke orang lain. Peran serta masyarakat dalam
mengontrol PMS sangat penting, selama kelompok ini belum terjangkau dengan
pencegahan dan layanan pengobatan yang berkualitas baik.Jangkauan yang efektif,
pendidikan sebaya serta layanan klinik berjalan atau dengan menyediakan waktu
khusus di klinik memberikan kontribusi untuk mengurangi prevalensi PMS di
masyarakat.3,6,7
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pekerja seks komersil masih
engggan menggunakan kondom sebagai bentuk seks yang aman.Sepuluh juta pria di
Indonesia masih menjadi pelanggan pekerja seks komersil di tempat-tempat
pelacuran, dan menolak menggunakan kondom ketika melakukan seks bebas tersebut
10
.Sebanyak 60% diantaranya merupakan pria yang sudah beristri, dan 40%

3
merupakan anak muda. Ini adalah hasil survei Kementrian Kesehatan pada tahun
2011 mengenai pria berperilaku seksual risiko tinggi terpapar HIV/AIDS.11
Selain masalah banyaknya pekerja seks komersil yang enggan menggunakan
kondom juga terdapat masalah lain. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS (KPA),
gerak KPA untuk mengampanyekan penggunaan kondom terbatas12. Sebagai contoh
KPA dilarang mengampanyekan pemakaian kondom di televisi, dan hanya
diperbolehkan untuk melakukannya di area lokalisasi. 4,3

Patogen dan penyakit menular seksual terkait : 3,13


Patogen Penyakit menular seksual
1. Bakteri
Neisseria gonorrhoeae Urethritis, epididimitis, proktitis, servicitis,
perihepatitis, bartholinitis, faringitis,
conjunctivitis.
Chlamydia trachomatis Uretritis, epididimitis, servisitis. Proktitis,
Mycoplasma hominis salphingitis, limfomagranuloma venerum
Ureaplasma urealyticum (hanya C.trahomatis).

Treponema pallidum Sifilis.


Gardnerella vaginalis Vaginitis.
Donovania granulomatis Granuloma inguinale.
2. Virus
Herpes simplex virus Herpes genitalis.
Herpes B virus Hepatitis fulminan akut dan kronik.
Human papilloma virus Kondiloma akuminatum, papiloma laring
pada bayi.
Molluscum contagiosum virus Moluskum kontangiosum.
Human immunodeficiency
virus A.I.D.S (Aquired Immune Deficiency
Syndrome).

4
3. Protozoa
Trichomonas vaginalis Vaginitis, uretritis, balanitis, balanopostitis.
4. Fungus
Candida albicans Vulvovaginitis, balanitis, balanopostitis.
5. Ektoparasit
Phthirus pubis Pedikulosis pubis
Sarcoptes Skabies
scabieiVar.homiinis

A. INFEKSI GENITAL NONSPESIFIK


a. Definisi
Beberapa singkatan dan pengertian akan diterangkan berikut ini.
Infeksi Genital Nonspesifik (I.G.N.S) atau Nonspecific Genital Infection
(N.S.G.I) adalah Penyakit Menular Seksual (P.M.S) berupa peradangan di
uretra, rektum, atau serviks yang disebabkan oleh kuman nonspesifik. 14
Uretritis Nonspesifik (U.N.S) atau Nonspesifik Uretritis (N.S.U),
pengertiannya lebih sempit dari N.S.G.I. karena peradangan hanya pada uretra
yang disebabkan oleh kuman nonspesifik. 8,.12
Infeksi Genital Nongonokok (I.G.N.G) atau Nongonococcal Genital
Infection (N.G.G.I.) peradangan uretra yang disebabkan oleh kuman lain selain
gonokok. 9.10.13
Yang dimaksud kuman spesifik adalah kuman yang dengan fasilitas
laboratorium biasa atau sederhana dapat ditemukan seketika, misalnya
gonokok, Candida albicans, Trichomonas vaginalis dan Gardnerella vaginalis.
Jadi pengertian N.G.G.I. dan N.G.U lebih luas daripada N.S.G.I. dan N.S.U.15

5
b. Epidemiologi
Di beberapa negeri ternyata insidens I.G.N.S. merupakan P.M.S. yang
paling tinggi dan angka perbandingan dengan uretritis gonore kira-kira 2 : 1
U.N.S. banyak ditemukan pada orang dengan keadaan sosial ekonomi lebih
tinggi, usia lebih tua, dan aktivitas seksual yang tinggi. Juga ternyata pria lebih
banyak daripada wanita dan golongan heteroseksual lebih banyak daripada
golongan homoseksual.3,5

c. Etiologi
Kurang lebih 75% telah diselidiki penyebab I.G.N.S. dan diduga penyebabnya
adalah:
1. Chlamydia trachomatis
Telah terbukti bahwa lebih 50% daripada semua kasus U.N.S.
disebabkan oleh kuman ini. Chlamydia trachomatis merupakan parasit
intraobligat, menyerupai bakteri negatif-Gram Chlamydia trachomatis
penyebab U.N.S. ini masuk subgrup A dan mempunyai tipe serologik D-K.
Dalam perkembangannya Chlamydia trachomatis mengalami 2 fase:9.11
 Fase I :disebut fase noninfeksiosa, terjadi keaadaan laten yang dapat
ditemukan pada genitalia maupun konjungtiva. Pada saat ini
kuman sifatnya intraseluler dan berada didalam vakuol yang
letaknya melekat pada inti sel hospes, disebut badan inklusi.16
 Fase II: Fase penularan, bila vakuol pecah kuman keluar dalam bentuk
badan elementer yang dapat menimbulkan infeksi pada sel hospes
yang baru.17

2. Ureaplasma urealyticum dan Mycoplasma hominis.


Ureaplasma Urealyticum merupakan 25% sebagai penyebab U.N.S. dan
sering bersamaan dengan Chlamydia trachomatis. Dahulu dikenal dengan
nama T-strain mycoplasma. Mycoplasma hominis juga sering bersama-
sama dengan Ureaplasma urealyticum. 2,4
Mycoplasma hominis sebagai penyebab U.N.S. masih diragukan, karena
kuman ini bersifat komensal yang dapat menjadi patogen dalam kondisi-
kondisi tertentu. Ureaplasma urelyticum merupakan mikroorganisme paling
6
kecil, gram negatif dan sangat pleomorfik karena tidak mempunyai dinding
sel yang kaku. 1, 7, 9

3. Gardnerella vaginalis
Merupakan penyebab penyakit menular seksual pada wanita yang
disebut dengan vaginosis bakterial. Pada laki – laki dengan pasangan
perempuan menderita G. vaginalis, hampir 90% ditemukan G. Vaginalis
pada uretra, tetapi tidak ditemukan adanya uretritis. Gardnerella vaginalis
dalam jumlah yang sedikit termasuk flora normal dalam vagina, namun
dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan Vaginosis bakterial. 3,18

4. Alergi
Ada dugaan baahwa U.N.S. disebabkan oleh reaksi alergi terhadap
komponen sekret alat urogenital pasangan seksualnya. Alasan ini
dikemukakan karena pada pemeriksaaan sekret U.N.S. tersebut ternyata
steril dan pemberian obat antihistamin dan kortikosteroid mengurangi
gejala penyakit. 17

5. Bakteri
Mikroorganisme penyebab U.N.S. ini adalah Staphylococcus dan difteroid.
Sesungguhnya bakteri ini dapat tumbuh komensal dan menyebabkan
uretritis hanya pada beberapa kasus. 12

d. Gejala klinis
- Pria
Gejala baru timbul biasanya setelah 1-3 minggu kontak seksual dan
umunya tidak seberat gonore. Gejala berupa disuria ringan, perasaan tidak
enak di uretra, sering kencing dan keluarnya duh tubuh seropurulen.
Dibandingkan dengan gonore perjalanan penyakitnya lebih lama karena masa
inkubasi yang lebih lama dan ada kecenderungan kambuh kembali.18
Pada beberapa keaadaan tidak terlihat keluarnya cairan duh tubuh,
sehingga menyulitkan diagnosis. Dalam keadaan demikian sangat diperlukan
pemeriksaan laboratorium.1

7
Komplikasi dapat berupa terjadinya prostatitis, vesikulitis, epididimitis
dan striktur uretra.19
- Wanita
Infeksi lebih sering terjadi di serviks dibandingkan dengan di vagina,
kelenjar bartholin atau uretra sendiri. Sama seperti gonore , umunya wanita
tidak menunjukan gejala. Sebagian kecil dengan keluhan keluarnya duh tubuh
vagina, disuria ringan, sering kencing, nyeri di daerah pelvis dan
dispareunia.20
Pada pemeriksaan serviks dapat dilihat tanda-tanda servisitis yang
disertai adanya folikel-folikel kecil yang mudah berdarah.13,14
Komplikasi dapat berupa Bartholinitis, proktitis, Salpingitis, dan
sistitis.Peritonitis dan perihepatitis juga pernah dilaporkan. 7,8,10

e. Diagnosis
Secara klinis sukar membedakan infeksi karena gonore atau non-gonore.
Menegakkan diagnosis servisitis atau uretritis karena klamidia sebagai
penyebab perlu pemeriksaan khusus untuk menemukan adanya C.
trachomatis.3
Pemeriksaan laboratorium sederhana dan relatif mudah serta cepat adalah
dengan pemerikasaan Gram, kriteria yang dipakai adalah:3
 Tidak ditemukan diplokokus Gram-Negatif intrasel maupun ekstrasel
PMN.
 Tidak ditemukan blastospora, pseudohifa dan trikomonas.
 Jumlah leukosit PMN pada sekret uretra > 5/LPB, sekret serviks > >30
/LPB
 Belum ada panduan untuk infeksi faring dan anal
Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan sitologi yang memiliki sensitivitas
tinggi untuk konjungtivitas (95%), rendah untuk infeksi genital laki-laki 15%,
perempuan 41%).3
Untuk C. trachomatis dapat digunaka n teknik deteksi antigen dengan cara
Direct Fluorescent Antibody (DFA) dan metode ELISA.3

8
Adapun metode terbaru yaitu dengan mendeteksi asam nukleat Chlamydia
trachomatis dengan teknik hibridisasi DNA probe dan amplifikasi asam
nukleat.3

f. Pengobatan
Obat yang paling efektif adalah golongan tetrasiklin dan eritromisin. Di
samping itu dapat juga dengan gabungan sulfa-trimetoprim, spiramisin, dan
kuinolon.21

Nama Obat Dosis


Tetrasiklin HCl 4x500 mg sehari selama 1 minggu atau 4
x 250 mg sehari selama 2 minggu.
Oksitetrasiklin 4 x 250 mg sehari selama 2 minggu.
Doksisiklin 2 x 100 mg sehari selama 7 hari.
Eritromisin Untuk penderita yang tidak tahan dengan
tetrasiklin, wanita hamil, atau berusia
kurang dari 12 tahun, 4 x 500 mg sehari
selama 2 minggu.
Sulfa-trimetroprim 2x2 tablet sehari selama seminggu.
Azitromisin 1 gram dosis tunggal
Spiramisin 4x500 mg sehari selama 1 minggu
Ofloksasin 2 x 200 mg sehari selama 10 hari.

Catatan
 Tetrasiklin dan doksisiklin tidak boleh diberikan kepada wanita hamil
dan masa laktasi. 21
 Eritromisin harus diininum dalam keadaan lambung kosong. Penting
sekali untuk mematuhi pengobatan yang berlangsung selama 7 hari. 22

Pencegahan dan pendidikan23


 Bila memungkinkan, periksa dan obati pasangannya
 Anjuran abstinensia sampai terbukti sembuh secara laboratorium bila
tidak dapat menaharn diri anjurkan untuk memakai kondom
9
 Konseling : jelaskan mengenai 1GNS dan penyebabnya, kemungkinan
komplikasi jangka panjang, cara penularan, pentingnya mematuhi
pengobatan, serta pentingnya penanganan pasangan seksual tetapnya.

g. Prognosis
Kadang-kadang tanpa pengobatan, penyakit lambat laun berkurang dan
akhirnya sembuh sendiri (50-70% dalam waktu kurang lebih 3 bulan).
Setelah pengobatan + 10% penderita akan mengalami
eksaserbasi/rekurens.23

B. SIFILIS
a. Definisi
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh treponema pallidum,
sangat kronik dan besifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang
hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai
masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin.21

b. Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan
Hoffman ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales,
familia Spirochaetaceae, dan genus Treponema. Bentuknya sebagai spiral
teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri atas delapan sampai
dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju
seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada
stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam.3,15

10
Pembiakan pada umumnya tidak dapat dilakukan diluar badan. Di luar
badan, kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfuse
dapat hidup 72 jam. 23

c. Klasifikasi
Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita (didapat).
Sifilis congenital dibagi menjadi : dini (sebelum 2 tahun), lanjut (setelah 2
tahun), dan stigmata. Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua cara, secara
klinis dan epidemiologic. Menurut cara pertama sifilis dibagi menjadi 3
stadium : stadium S (S I), stadium II (S II), dan stadium III (S III). Secara
epidemiologic menurut WHO dibagi menjadi 3,16,19
1. Stadium dini menular (dalam 1 tahun sejak infeksi), terdiri atas S I,
S II, stadium rekuren, dan stadium laten dini.
2. Stadium lanjut tak menular (setelah 1 tahun sejak infeksi), terdiri
atas stadium laten lanjut dan S III.
Bentuk lain ialah sifilis kardiovaskular dan neurosifilis. Ada yang
memasukkannya ke dalam S III atau S IV.

 Patogenesis
Stadium dini
Pada sifilis yang didapat, T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui
mikrolesi atau selaput lender, biasanya melalui senggama, kuman
tersebut berkembang biak, jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrate
yang terdiri dari sel- sel limfosit dan sel- sel plasma, terutama di
perivaskular, pembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh T.
pallidum dan sel- sel radang. Treponema terletak di antara endothelium
kapiler dan jaringan perivaskular disekitarnya. Endarteritis pembuluh
darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofik endothelium yang
menimbulkan obliteraso lumen (endarteritis obliterans). Kehilangan
perdarahan akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak
sebagai SI.3,22
Sebelum S I terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening
regional secara limfogen dan berkembang biak. Pada saat itu terjadi pula

11
penjalaran hematogen dan menyebar ke semua jaringan di badan. Tetapi
manifestasinya akan tampak kemudian. Multiplikasi ini diikuti oleh
reaksi jaringan sebagai S II, terjadi enam sampai delapan minggu sesudah
S I. S I akan sembuh perlahan- lahan karena kuman di tempat tersebut
jumlahnya berkurang, kemudian timbulah sikatriks. S II juga mengalami
regresi perlahan- lahan dan menghilang.19,21
Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi
yang aktif masih ada. Kadang- kadang proses imunitas gagal mengontrol
infeksi sehingga T. pallidum berkembang biak lagi pada tempat S I dan
menimbulkan lesi rekuren menyebabkan reaksi serupa dengan lesi
rekuren yang terdahulu. Lesi menular tersebut dapat timbul berulang-
ulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi 2 tahun. 3,17.19

Stadium lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun- tahun, rupanya treponema
dalam keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap berada di
dalam serum penderita dan jaringan dapat berubah kapan saja, sebabnya
masih belum jelas,mungkin trauma merupakan salah satu faktor
presipitasi. Pada saat itu munculah S III berbentuk guma.Meskipun pada
guma tersebut tidak ditemukan. T. pallidum reaksinya hebat karena
bersifat destruktif dan berlangsung bertahun- tahun19.23. Setelah
mengalami masa laten yang bervariasi guma tersebut timbul ditempat-
tempat lain.. 7,9
Treponema pallidum mencapai sistem kardiovaskular dan system
saraf pada waktu dini, tetapi kerusakan terjadi perlahan- lahan sehingga
memerlukan waktu bertahun- tahun untuk menimbulkan gejala klinis.
Penderita dengan guma biasanya tidak demekian pula sebaliknya. Kira-
kira dua pertiga kasus dengan stadium laten tidak memberi gejala.4,7

12
d. Gejala Klinis
SIFILIS AKUISITA
a) Sifilis dini
I. Sifilis primer (S I)
Masa tunas biasanya 2-4 minggu. T.pallidum masuk dalam
selaput lendir atau kulit yang telah mengalami lesi / mikrolesi
secara langsung. Biasanya melalui senggama, T.pallidum tersebut
akan berkembang biak, kemudian terjadi penyebaran secara
hematogen dan limfogen. Kelainan kulit dimulai sebagai papul
lentikur yang permukaannya menjadi erosi, umumnya akan
menjadi ulkus. Ulkus tersebut biasanya bulat, solitar, dasarnya
adalah jaringan bergranulasi berwarna merah dan bersih, di atasnya
hanya tampak serum.Dindingnya tak bergaung, kulit disekitarnya
tidak menunjukan tanda- tanda radang akut.Yang khas ialah ulkus
tersebut indolen dan teraba indurasi yaitu biasa disebut ulkus
durum.2,3,5,

Kelainan tersebut dinamakan afek primer dan umumnya


berlokasi pada genital eksterna. Pada pria sering terdapat pada
sulkus koronarius, sedangkan pada wanita di labia mayor dan
minor. Selain itu juga dapat di ekstragenital misalnya : di lidah,
tonsil dan anus. afek primer dapat sembuh sendiri antara 3-10
minggu, seminggu setelah afek primer biasanya terjadi pembesaran
kelenjar getah bening regional di inguinalis medialis.3,10

13
II. Sifilis sekunder (S II)
Biasanya timbul setelah 6-8 minggu sejak S I dan sejumlah
sepertiga kasus masih timbul gejala S I. gejala umum : anoreksia,
turunnya berat badan, malaise, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi,
dan artralgia.S II dapat memberikan kelainan pada mukosa, kelenjar
getah bening, mata.Hepar, tulang dan saraf. Kelainan kulit yang basah
(eksudatif) pada S II sangat menular, kelainan yang kering kurang
menular. Gejala yang penting untuk membedakannya ialah tidak gatal
sering disertai limfadenitis generalisata. Antara S II dini dan S II
lanjut terdapat perbedaan. Pada S II dini kelainan kulit generalisata,
simetrik dan lebih cepat hilangnya (beberapa hari sampai beberapa
minggu). S II stadium lanjut kelainan kulitnya tidak
generalisata,melainkan setempa-setempat, tidak simetrik dan lebih
lama bertahan (beberapa minggu sampai beberapa bulan). Bentuk lesi
: berbentuk roseola, papul, dan pustule, atau bentuk lain.1
- Roseola : Ialah eritema makular, berbintik-bintik atau berbercak-
bercak, warnanya merah tembaga, bentuknya bulat atau
lonjong. Roseola merupakan kelainan kulit yang
pertama terlihat pada (SII dini), dan disebut roseola
sifilitika. Efloresensinya, generalisata dan simetrik,
telapak tangan dan kaki ikut dikenai. Disebut pula
eksantema karena timbulnya cepat dan menyeluruh.
Roseola menghilang beberapa hari/minggu dan dapat
bertahan beberapa bulan. Kelainan tersebut dapat residif,
jumlahnya lebih sedikit, lama bertahan, dapat anular dan
bergerombol. Jika menghilang, meninggalkan bekas,
berupa bercak hipopigmentasi yang disebut leukoderma
sifilitikum.1, 3
- Papul : Merupakan bentuk yang paling sering terlihat pada SII.
Bentuknya bulat, kadang kalanya terdapat bersama dengan
roseola. Papul berskuama yang terdapat dipinggir (koloret)
dan disebut papulo-skuamosa. Skuama dapat pula

14
menutupi papul hingga mirip psoriasis, oleh karena itu
maka dinamai psoriasiformis. Jika papul-papul itu
menghilang dapat meninggalkan bercak-bercak
hipopigmentasi dan disebut leukoderma sifilitikum,
yang akan menghilang perlahan. Bila pada leher disebut
leukoderma koli atau colar of Venus.1, 3
Selain papul yang lentikular dapat pula terbentuk papul
yang likenoid (jarang) dan dapat ditembus rambut. Pada
SII dini, papul generalisata dan simetrik, sedangkan yang
lajut bersifat setempat dan tersusun secara tertentu :
arsinar, sirsinar, polisiklik dan korimbiformis. Jika pada
dahi susunan yang arsinar/sirsinar tersebut dinamakan
korona venerik karena menyerupai mahkota. Dapat
dilihat pada sudut mulut, ketiak, dibawah mammae dan
alat genital.1, 3
Bentuk lain ialah kondilomata lata, terdiri atas papul-
papul lentikular, permukaannya datar, sebagian
berkonfluensi, terletak pada daerah lipatan kulit. Tempat
predileksinya dilipat paha, skrotum, vulva, perianal dan di
bawah mammae dan antar jari kaki.1, 3
- Pustul : Mula-mula terbentuk banyak papul yang segera menjadi
vesikel dan kemudian terbentuk menjadi pustul. Demam
yang intermiten, penderita tampak sakit sampai
berminggu-minggu. Kelainan kulit demikian disebut
sifilis variseliformis karena menyerupai varisela. 1, 3
- Bentuk lain: Dapat terlihat pada S II ialah banyak papul, pustul dan
krusta yang berkonfluensi sehingga mirip impetigo, karena
itu disebut sifilis impetiginosa. Dapat pula timbul
berbagai ulkus yang ditutupi oleh krusta disebut ektima
sifilitikum. Bila krusta tebal disebut rupia sifilitika. 1, 3

15
 S II pada mukosa
Biasanya timbul bersama-sama dengan eksantema pada kulit;
kelainan pada mukosa ini disebut enantem, terutama terdapat pada
mulut dan tenggorok.Berupa makula eritematosa, cepat berkonfluensi
sehingga membentuk eritema difus, berbatas tegas yang disebut angina
sifilitika eritematosa. Keluhannya nyeri tenggorokan, terutama waktu
menelan. Seri faring diserang dengan gejala suara parau.3

 S II pada rambut
Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut,
umumnya bersifat difus dan tidak khas, disebut alopesia difusa.Pada S
II lanjut, dapat terjadi alopesia areolaris yaitu kerontokan setempat-
setempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut yang
tipis, seolah-olah digigit ngengat. Bercak-bercak tersebut disebabkan
oleh roseola/papul, akar rambut dirusak oleh treponema. Kerusakan
tersebut dapat juga terjadi pada alis mata bagian lateral dan janggut.1, 3

 S II pada kuku
Warna kuku berubah menjadi putih, kabur.Selain itu juga menjadi
rapuh, terdapat pula alur transversal dan longitudinal.Bagian distal
lempeng kuku menjadi hiperkeratotik sehingga kuku terangkat.
Kelainan tersebut dinamakan onikia sifilitika. Pada paronikia sifilitika
timbul radang kronik, kuku menjadi rusak, kadang-kadang kuku
terlepas.1,3,9

 S II pada alat lain :


a) Kelenjar getah bening,
Umumnya seluruh KGB superficial membesar, sifatnya seperti S I.3
b) Mata
Pada S II lanjut terjadi uveitis anterior, tetapi lebih sering terjadi
pada stadium rekuren. Koroido-retinitis dapat terjadi tetapi jarang.3

16
c) Hepar
Kadang-kadang terjadi hepatitis, hepar membesar dan
menyebabkan ikterus ringan. 4
d) Tulang
Terjadi periostitis atau kerusakan korteks dan menyebabkan nyeri.3
e) Saraf
Pada pemeriksaan LCS, tampak kelainan berupa peninggian sel dan
protein.Gejala klinis pada stadium ini jarang, tetapi dapat
disebabkan oleh meningitis akut/subakut. Tekanan intracranial
dapat meninggi dan memberi gejala nyeri kepala, muntah, dan
edema papil. Pemeriksaan serebrospinal pada S II ini tidak perlu
dikerjakan secara rutin.3,6

Antara S II dini dan S II lanjut terdapat perbedaan.Pada S II dini


kelainan kulit generalisata, simetrik, dan lebih cepat hilang (beberapa
hari hingga beberapa minggu). Pada S II lanjut, tidak generalisata lagi,
melainkan setempat-setempat, tidak simetrik dan lebih lama bertahan
(beberapa minggu hingga beberapa bulan. 3
Diagnosis sifilis sekunder ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan lapangan gelap positif T.pallidum banyak ditemukan pada
lesi selaput lendir atau lesi basah seperti kondiloma lata. Pada umumnya
diagnosis ditegakkan tanpa pemeriksaan lapangan gelap, akan tetapi
hanya berdasarkan kelainan khas lesi kulit sifilis sekunder, ditunjang
dengan pemeriksaan serologis. 2,3

III. Sifilis Laten Dini


Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan, termasuk
alat-alat dalam, tetapi infeksi masih ada dan aktif. Tes serologic
darah positif, sedangkan tes likour serebrospinalis negative. Tes
yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA.3

17
IV. Stadium Rekuren
Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit
mirip S II, maupun serologic yang telah negative menjadi positif.
Hal ini terjadi terutama pada sifilis yang tidak diobati atau yang
mendapat pengobatan tidak cukup. Umumnya bentuk relaps ialah S
II, kadang-kadang S I. Kadang-kadang relaps dapat terjadi pada
tempat afek primer dan disebut monorecidive. Relaps dapat memberi
kelainan pada mata, tulang, alat dalam, dan susunan saraf.Juga dapat
terlahir bayi dengan sifilis kongenital. 1

b) Sifilis lanjut
Perbedaan karakteristik sifilis dini dan sifilis lanjut adalah sebagai
berikut :3
1. Pada sifilis dini bersifat infeksius, pada sifilis lanjut tidak, kecuali
3
kemungkinan pada wanita hamil.
2. Pada sifilis dini hasil pemeriksaan lapangan gelap ditemukan
T.pallidum, pada sifilis lanjut tidak ditemukan.3
3. Pada sifilis dini infeksi ulang dapat terjadi walau telah diberi
pengobatan yang cukup, sedangkan pada sifilis lanjut sangat jarang.
4. Pada sifilis dini tidak bersifat destruktif, sedangkan pada sifilis lanjut
destruktif. 3
5. Pada sifilis dini hasil tes serologis selalu reaktif dengan titer tinggi,
setelah diberi pengobatan yang adekuat akan berubah menjadi non
reaktif atau titer rendah,sedangkan pada sifilis lanjut umumnya reaktif,
selalu dengan titer rendah dan sedikit atau hampir tidak ada perubahan
setelah diberi pengobatan. Titer yang tinggi pada sifilis lanjut
dijumpai pada gumma dan paresis.7

I. Sifilis laten lanjut


Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakan dengan
pemeriksaan tes serologic. Lama masa laten beberapa tahun hingga
bertahun- tahun, perlu diperiksa, apakah ada sikatriks bekas S I pada
alat genital atau leukoderma pada leher yang menunjukan bekas S II

18
(collar of Venus). Kadang- kadang banyak kulit hipertrofi lentikular
pada badan bekas papul- papul S II.3

II. Sifilis tersier (S III)


Lesi pertama terlihat 3-10 tahun setelah S I. kelainan yang
khas ialah guma, yakni infiltrate sirkumskripta, kronis, biasanya
lunak, dan destruktif. Besarnya guma bervariasi dari lentikular sampai
sebesar telur ayam. Kulit diatasnya mula-mula tidak menunjukkan
tanda-tanda radang akut dan dapat digerakkan. Setelah beberapa bulan
mulai melunak, biasanya mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai
tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid serta melekat terhadap
guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan keluarlah cairan
seropurulen, kadang-kadang sanguinolen; pada beberapa kasus
disertai jaringan nekrotik.1,3,4
Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya
lonjong/bulat,dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong
ke luar. Beberapa ulkus berkonfluensi sehingga membentuk pinggir
yang polisiklik. Jika telah menjadi ulkus,maka infiltrat yang terdapat
di bawahnya yang semula sebagai benjolan menjadi datar.Tanpa
pengobatan guma tersebut akan bertahan beberapa bulan hingga
beberapa tahun. Biasanya guma solitar, tetapi dapat pula multipel,
umumnya asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika
guma multipel dan perlunakannya cepat,dapat disertai demam.1
Selain guma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula-
mula di kutan kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni
beberapa minggu/bulan dan umumnya meninggalkan sikatriks yang
hipotrofi.Nodus tersebut dalam perkembangannya mirip guma,
mengalami nekrosis di tengah dan membentuk ulkus.Dapat pula tanpa
nekrosis dan menjadi sklerotik.Perbedaannya dengan guma, nodus
lebih superfisial dan lebih kecil (miliar hingga lentikular), lebih
banyak, mempunyai kecenderungan untuk bergerombol atau
berkonfluensi; selain itu tersebar (diseminata). Warnanya merah
kecoklatan.3

19
Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terus secara
serpiginosa.Bagian yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti
lilin dan disebut psoriasiformis.Kelenjar getah bening regional tidak
membesar.Kelainan yang jarang ialah yang disebut nodositas juxta
articularis berupa nodus-nodus subkutan yang fibrotik, tidak
melunak, indolen, biasanya pada sendi besar. Dan dapat terjadi sifilis
kardiovaskular dan neurosifilis.3,7

e. Pembantu Diagnosis3
 Pemeriksaan T. pallidum.
 Tes Serologik Sifilis (T.S.S.) : treponemal dan nontreponemal.
 Pemeriksaan lain : rontgen tulang.

f. Pengobatan
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati,
dan selama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan
dimulai sedini mungkin, makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten
terapi bermaksud mencegah proses lebih lanjut.1, 5, 6
Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain.

1. Penisilin
Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat
menembus placenta sehingga mencegah infeksi. Pada janin dan dapat
menyembuhkan janin yang terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis.1, 5,
6, 11

Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan


kurang dari 0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut harus
bertahan dalam serum selama sepuluh sampai empat belas hari untuk
sifilis dini dan lanjut, dua puluh satu hari untuk neurosifilis dan sifilis
kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari angka tersebut, setelah lebih
dari dua puluh empat sampai tiga puluh jam, maka kuman dapat
berkembang biak.1, 5, 6

20
Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:1, 5, 6, 11, 12
a. Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat
jam, jadi bersifat kerja singkat.
b. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat
(PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.
c. Penisilin G benzatin dengan dosis 2,4 juta unit akan bertahan dalam
serum dua sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama.

Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per


oral tidak dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerna kurang
dibandingkan dengan suntikan. Cara pemberian penisilin tersebut sesuai
dengan lama kerja masing-masing; yang pertama diberikan setiap hari,
yang kedua setiap tiga hari, dan yang ketiga biasanya setiap minggu.1, 5, 6
Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, maka kadar obat
dalam serum dapat bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak
perlu disuntik setiap hari seperti pada pemberian penisilin G prokain
dalam akua. Obat ini mempunyai kekurangan, yakni tidak dianjurkan
untuk neurosifilis karena sukar masuk ke dalam darah di otak, sehingga
yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua. Karena penisilin G
benzatin memberi rasa nyeri pada tempat suntikan, ada penyelidik yang
tidak menganjurkan pemberiannya kepada bayi. Demikian pula PAM
memberi rasa nyeri pada tempat suntikan dan dapat mengakibatkan abses
jika suntikan kurang dalam; obat ini kini jarang digunakan. 1, 5, 6

Cara & dosis pemberian penisilin dalam kepustakaan masih


berbeda.
Dosis total yang untuk peniisilin G benzatin :
 S I : 4,8 juta unit IM
 S II : 4,8 juta unit
 Sifilis Laten: 7,2 juta unit
 S III : 9,6 juta unit

21
Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan
penisilin G benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan
interval seminggu. Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah
penisilin G prokain dalam akua 18-24 juta unit sehari, diberikan 3-4 juta
unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari.1, 5, 6, 11. 12
Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain
dalam akua100.000- 150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan
50.000 unit/kg B.B., i.m.,setiap hari selama 10 hari.1, 5, 6, 11

Reaksi Jarish-Herxheimer
Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish-
Herxheimer. Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui,
mungkin disebabkan oleh hipersensitivitas akibat toksin yang
dikeluarkan oleh banyak T.pallidum yang mati.Dijumpai sebanyak 50-
80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat terjadi setelah enam sampai
dua belas jam pada suntikan penisilin yang pertama.3
Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal.Gejala umum biasanya
hanya ringan berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula berat: demam
yang tinggi, nyeri kepala, artralgia, malese, berkeringat, dan kemerahan
pada muka. Gejala lokal yakni afek primer menjadi bengkak karena
edema dan infiltrasi sel, dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan
menghilang setelah sepuluh sampai dua belas jam tanpa merugikan
penderita pada S I.1,2
Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya:
edema glottis pada penderita dengan guma di laring, penyempitan arteria
koronaria pada muaranya karena edema dan infiltrasi, dan trombosis
serebral. Selain itu juga dapat terjadi rupture aneurisms atau ruptur
dinding aorta yang telah menipis yang disebabkan oleh terbentuknya
jaringan fibrotik yang berlebihan akibat penyembuhan yang cepat.3
Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid,
contohnya dengan prednison 20-40 mg sehari.Obat tersebut juga dapat
digunakan sebagai pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama

22
pada gangguan aorta dan diberikan dua sampai tiga hari sebelum
pemberian penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari kemudian.3

2. Antibiotika Lain
Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat
digunakan sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin.
Bagi yang alergi terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari,
atau eritromisin 4 x 500 mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama
pengobatan 15 hari bagi S I dan S II dan 30 hari bagi stadium laten.
Eritromisin bagi yang hamil, efektivitasnya meragukan.Doksisiklin
absorbsinya lebih baik daripada tetrasiklin, yakni 90-100%, sedangkan
tetrasiklin hanya 60-80%.3,7,11
Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau
eritromisin yang diberikan sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari,
menunjukkan perbaikan.3
Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x
500 mg sehari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis
tunggal i.m. atau i.v.selama 15 hari.3
Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S II, dosisnya 500
mg sehari sebagai dosis tunggal. Lama pengobatan 10 hari. Menurut
laporan verdon dkk. Penyembuhannya mencapai 84,4%. 4
Menurut penelitian Gabriele Riedner dkk, menyatakan bahwa
azitromisin oral dengan dosis 2 gram mempunyai efek terhadap
pengobatan sifilis dini pada negara berkembang.15

Evaluasi tes serologi sifihis (VDRL) 11, 12, 13


 1 bulan sesudah pengobatan selesai, ulangi TSS :
o titer turun: tidak diberi pengobatan lagi
o titer naik: pengobatan ulang
o titer tetap* tunggu I bulan lagi
 1bulan sesudah*:
o titer turun: tidak diberi pengobatan
o liter naik atau tetap: pengobatan ulang

23
Pemantauan tes serologi sifilis :
Pada bulan ke I, III, VI, dan XII dan setiap 6 bulan pada tahun ke-2
Pencegahan dan pendidikan11, 12, 13
 Edukasi tentang penyakitnya, cara penularan, cara pencegahan,
dan pengobatannya
 Sedapat mungkin, penanganan pasangan seksualnya

g. Prognosis
Dengan ditemukannya penisilin, maka prognosis sifilis menjadi lebih
baik. Untuk menentukan penyembuhan mikrobiologik, yang berarti bahwa
semua T. pallidum di badan terbunuh tidaklah mungkin. Penyembuhan
berarti sembuh klinis seumur hidup, tidak menular ke orang lain, T.S.S.
pada darah dan likuor serebrospinalis selalu negatif. 2,3

C. GONORE
a. Definisi
Gonore adalah penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan
oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae, bakteri diplokokkus gram negatif yang
menjadikan manusia sebagai perantaranya. Selama beberapa abad, bermacam
nama telah digunakan untuk mendeskripsikan infeksi yang disebabkan oleh N.
gonorrhoeae ini, diantaranya; ‘strangury’ yang digunakan oleh Hipocrates,
penamaan gonore sendiri diberikan oleh Galen (130 SM) untuk
menggambarkan eksudat uretra yang sifatnya seperti aliran air mata (flow of
seed) dan M. Neisser, dikenalkan oleh Albert Neisser, yang menemukan
mikroorganisme tersebut pada tahun 1879 dari pewarnaan apusan yang diambil
dari vagina, uretra dan eksudat konjungtiva. 3,7,11
Kultur dari bakteri N. gonorrhoeae dilaporkan pertama kali oleh
Leistikow dan Loffler pada tahun 1882 dan dikembangkan pada tahun 1964
oleh Thayer dan Martin yang menemukan tempat biakan selektif pada media
agar khusus. Media Thayer-Martin merupakan media yang selektif untuk
mengisolasi gonokok. Mengandung vankomisin untuk menekan pertumbuhan
kuman positif-Gram, kolimestat untuk menekan pertumbuhan bakteri negatif-
Gram dan nistatin untuk menekan pertumbuhan jamur.3

24
Pada umumnya penularannya melalui hubungan kelamin yaitu secara
genito-genital, oro-genital dan ano-genital. Tetapi di samping itu dapat juga
terjadi secara manual melalui alat-alat, pakaian, handuk, thermometer. N.
gonorrhoeae tidak mengenal ras, sosial ekonomi atau kondisi geografis. Laki-
laki, wanita baik dewasa maupun anak-anak dapat tertular penyakit ini. 8,9

b. Epidemiologi
Infeksi ini ditularkan melalui hubungan seksual, dapat juga ditularkan
kepada janin pada saat proses kelahiran berlangsung. Walaupun semua
golongan rentan terinfeksi penyakit ini, tetapi insidens tertingginya berkisar
pada usia 15-35 tahun. Di antara populasi wanita pada tahun 2000, insidens
tertinggi terjadi pada usia 15 -19 tahun (715,6 per 100.000) sebaliknya pada
laki-laki insidens rata-rata tertinggi terjadi pada usia 20-24 tahun (589,7 per
100.000). Pada tahun 1987 dilaporkan sebanyak 31/100.000 orang yang
menderita, pada tahun 1994 dilaporkan penderita gonore semakin berkurang
yaitu hanya sekitar 31/100.000 orang yang menderita. 5,6

Faktor-faktor risiko: 11,13


- Hubungan seksual dengan penderita tanpa proteksi
- Mempunyai banyak pasangan seksual
- Pada bayi – saat melewati jalan kelahiran dari ibu yang terinfeksi
- Pada anak – penyalahgunaan seksual (sexual abuse) oleh penderita
terinfeksi.

c. Etiologi
N. gonorrhoeae adalah infeksi yang disebabkan oleh N. gonorrhoeae.
Albert Neisser adalah yang penemu mikroorganisme tersebut pada tahun 1879
dari pewarnaan apusan yang diambil dari vagina, uretra dan eksudat
konjungtiva. Bakteri N. gonorrhoeae tidak dapat bergerak, tidak memiliki
spora, jenis diplokokkus gram negatif dengan ukuran 0,8 – 1,6 mikro. Bakteri
gonokokkus tidak tahan terhadap kelembaban, yang cenderung mempengaruhi
transmisi seksual.Bakteri ini bersifat tahan terhadap oksigen tetapi biasanya
memerlukan 2-10% CO2 dalam pertumbuhannya di atmosfer.3

25
Bakteri ini membutuhkan zat besi untuk tumbuh dan mendapatkannya
melalui transferin, laktoferin dan hemoglobin. Organisme ini tidak dapat hidup
pada daerah kering dan suhu rendah, tumbuh optimal pada suhu 35-37o dan pH
7,2-7,6 untuk pertumbuhan yang optimal. Gonokokkus terdiri dari 4 morfologi,
type 1 dan 2 bersifat patogenik dan type 3 dan 4 tidak bersifat patogenik. Tipe
1 dan 2 memiliki pili yang bersifat virulen dan terdapat pada permukaannya,
sedang tipe 3 dan 4 tidak memiliki pili dan bersifat non-virulen. Pili akan
melekat pada mukosa epitel dan akan menimbulkan reaksi radang.3, 8, 9, 11, 12, 13

d. Patogenesis
Neisseria gonorrhoeae merupakan gram negatif , intra seluler, diplokokus
aerobic yang mempengaruhi epitel kuboid atau kolumner host. Berbagai factor
yang mempengaruhi cara gonokokus memediasi virulensi dan
patogenisitasnya. Pili dapat membantu pergerakan gonokokus ke permukaan
mukosa. Membran protein luar seperti apacity-associated (Opa) meningkatkan
perlekatan antra gonokokus ( bentuk koloni padat pada kultur media) dan juga
meningkatkan perlekatan dengan fagosit. Produksi yang dimediasi plasmid
tipe TEM-1 beta laktamase (penisilinase) juga berperan pada
virulensinya. Gonokokus melekat pada sel mukosa host (dengan bantuan pili
dan protein Opa) dan kemudian penetrasi seluruhnya dan diantara sel dalam
ruang subepitel. Karakteristik respon host oleh invasi dengan neutrofil, diikuti
dengan pelepasan epitel, pembentukan mikroabses submukosal, dan discharge
purulen. Apabila tidak diobati, infiltrasi makrofag dan limfosit digantikan oleh
neutrofil. Beberapa strain mmenyebabkan infeksi asimptomatik.15,16

26
e. Gejala Klinis
Masa inkubasi gonore sangat singkat, bervariasi antara 2-5 hari terkadang
lebih lama, dengan kebanyakan gejala biasanya muncul 2-5 hari setelah
terinfeksi oleh penderita. Pada sejumlah kecil kasus dapat asimptomatik selama
beberapa bulan. Tanda, gejala dan komplikasi berbeda pada pria dan wanita.
Diketahui 10% laki-laki dan 50% wanita bersifat asimptomatik.3

Pada traktus genitourinari pria dapat ditemukan: 3, 7, 8


- Infeksi pada uretra umumnya menyebabkan duh tubuh uretra yang
mukopurulen atau purulen (>80%) dan atau disuria (>50%)
- Orificium uretra eksternum eritematosa, edema, dan ektropion
- Pada infeksi anal: gatal-gatal pada daerah anus
- Infeksi oral: mungkin tanpa gejala atau sakit tenggorokan.
Pada traktus genitourinari wanita bagian bawah:
- Duh tubuh serviks yang mukopurulen atau purulen
- Duh tubuh vagina atau pendarahan; vulvaginitis pada anak-anak

Pada traktus genitourinari wanita bagian atas: 3, 7, 8


- PID (Pelvic Inflamatory Diseases)
- Nyeri bagian bawah perut
- Demam
- Gejala lain:
 Duh rektal yang mukopurulen atau purulen
 Orofaringeal-faringitis
 Mata purulen konjungtivitis
 DGI (Disseminated Gonorrheal Infection): demam (biasanya <390C)

27
f. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan pembantu yang terdiri dari 5 tahapan.3
1) Sediaan langsung : pewarnaan gram dari duh tubuh uretra.
2) Kultur : media transport (Stuart dan Transgrow) dan media
pertumbuhan ( Mc Leod’s chocolate agar, Thayer Martin, dan modified
Thayer Martin agar).
3) Tes definitif : oksidasi dan fermentasi.
4) Tes Beta-laktamase.
5) Tes Thomson.

g. Pengobatan
Pada pengobatan yang perlu diperhatikan adalah efektivitas, harga dan
sesedikit mungkin efek toksiknya. Ternyata pilihan utama ialah penisilin +
probenesid, kecuali di daerah yang tinggi insidens Neisseria gonorrhoeae
penghasil penisilinase (N.G.P.P). Secara epidemiologis pengobatan yang
dianjurkan adalah obat dengan dosis tunggal.3

Rekomendasi rejimen infeksi anogenital tanpa komplikasi :3


 Ciprofloxacin, 500 mg oral, sebagai dosis tunggal, atau
 Ceftriaxone, 250 mg dengan injeksi intramuskular, sebagai dosis
tunggal atau
 Cefixime, 400 mg secara oral, sebagai dosis tunggal atau
 Spectinomycin, 2 g dengan injeksi intramuskular, sebagai dosis
tunggal
Catatan:
 Ciprofloxacin merupakan kontraindikasi pada kehamilan, dan tidak
direkomendasikan untuk digunakan pada anak-anak dan remaja.
 Terdapat variasi dalam aktivitas obat anti-gonokokal pada individu dengan
terapi kuinolon, dan penting untuk menggunakan hanya yang paling aktif.

28
Rekomendasi rejimen pada Adult gonokokal konjungtivitis3
 Ceftriaxone, 125 mg dengan injeksi intramuskular, sebagai dosis
tunggal atau
 Spectinomycin, 2 g dengan injeksi intramuskular, sebagai dosis
tunggal atau
 Ciprofloxacin, 500 mg oral, sebagai dosis tunggal
Catatan:
 Rejimen ini mungkin efektif meskipun tidak ada data yang diterbitkan
oleh perusahaan dalam pengobatan ophthalmia gonokokal.
Alternatif rejimen dimana agen yang direkomendasikan tidak tersedia
 Kanamisin, 2 g dengan injeksi intramuskular, sebagai dosis tunggal

B. Rekomendasi rejimen konjungtivitis gonokokal Neonatal3


 Ceftriaxone, 50 mg / kg dengan suntikan intramuskular, sebagai dosis
tunggal, untuk dosis maksimal 125 mg.
 Kanamisin, 25 mg / kg dengan suntikan intramuskular, sebagai dosis
tunggal, untuk dosis maksimal 75 mg, atau
 Spectinomycin, 25 mg / kg dengan suntikan intramuskular, sebagai dosis
tunggal, maksimal 75 mg
Penambahan: Tetrasiklin salep mata untuk rejimen ini tidak ada manfaat
yang didokumentasikan.

Pencegahan ophthalmia neonatorum


Oftalmia neonatorum gonokokal dapat dicegah dengan profilaksis mata
tepat waktu. Mata bayi harus hati-hati dibersihkan segera setelah lahir.
Pemberian silver nitrat solusio 1% atau 1% salep tetrasiklin terhadap mata
semua bayi di waktu persalinan sangat dianjurkan sebagai tindakan
pencegahan. Namun, profilaksis okular memberikan perlindungan buruk
terhadap konjungtivitis C. trachomatis. Bayi yang lahir dari ibu dengan
infeksi gonokokal harus menerima tambahan pengobatan.1,8
Rekomendasi rejimen untuk bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi
gonokokal:

29
 Ceftriaxone 50 mg / kg dengan suntikan intramuskular, sebagai dosis
tunggal, maksimal 125 mg
 Kanamisin, 25 mg / kg dengan suntikan intramuskular, sebagai dosis
tunggal, untuk maksimal 75 mg, atau
 Spectinomycin, 25 mg / kg dengan suntikan intramuskular, sebagai dosis
tunggal, untuk dosis maksimal 75 mg.

h. Prognosis
Prognosis pada penderita dengan gonore tergantung cepatnya penyakit
dideteksi dan diterapi. Penderita dapat sembuh sempurna bila dilakukan
pengobatan secara dini dan lengkap.Tetapi jika pengobatan terlambat
diberikan, maka kemungkinan besar dapat menyebabkan komplikasi lebih
lanjut.3,21

i. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :3
1. Uretra yang berparut atau berbintik pada pria kemungkinan mengarah ke
menurunnya fertilitas atau obstruksi kandung kemih.
2. Parutan atau bintik-bintik pada traktus reproduksi atas pada wanita
dengan PID (penyakit radang panggul) kemungkinan mengarah ke
infertilitas, nyeri pelvis kronik dan kehamilan ektopik.
3. Adanya kemungkinan lahir prematur, infeksi neonatal dan keguguran
akibat infeksi gonokokkus pada wanita hamil.
4. Adanya parutan pada kornea dan kebutaan permanen akibat infeksi
gonokokkus pada mata.
5. Adanya sepsis pada bayi baru lahir karena gonore pada ibu.
6. Adanya kelainan neurologik lanjut akibat gonokokkal meningitis.
7. Destruksi permukaan sendi articular.
8. Destruksi katup jantung.
9. Kematian karena CHF atau meningitis.

30
D. ULKUS MOLE
a. Definisi
Ulkus mole ialah penyakit infeksi genital akut, setempat, dapat inokulasi
sendiri (auto-inoculable), disebabkan oleh Haemophilus ducreyi
(Streptobacillus ducreyi), dengan gejala klinis khas berupa ulkus pada tempat
masuk dan seringkali disertai supurasi kelenjar getah bening regional. 3, 6

b. Epidemiologi
Prevalensi Chancroid biasanya terdapat didaerah Afrika, Asia,, dan
Caribbian. Biasanya menyerang orang kulit hitam lebih banyak dibandingkan
kulit putih. Pada wanita biasanya hanya sekitar 10% dapat diketahui, karena
gejala pada wanita biasanya bersifat asimptomatik. Chancroid umumnya
mengenai individu dengan social ekonomi rendah, tempat prostitusi, dan
traveler dari daerah endemic. Chancroid dapat mengenai semua umur, tapi
lebih dominat pada orang-orang yng berusia muda. Untuk wanita di Amerika
Serikat, prevalensi tertingginya terjadi pada usia 15- 19 tahun, dan pada laki-
laki insiden tertinggi pada usia 20-24 tahun. 7.10

c. Etiologi
Penyebabnya ialah H.ducreyi yang merupakan bakteri gram negative,
anaerobic fakultatif, berbentuk batang pendek dengan ujung bulat, tidak
bergerak, tidak membentuk spora dan memerlukan hemin untuk
pertumbuhannya. Hanya mengenai orang dewasa yang aktif.Lebih banyak pada
pria.3, 6

d. Faktor Risiko
Kulit berwarna lebih sering terkena penyakit ini. Banyak terdapat di
daerah tropis dan subtropis. Kebersihan dan hygiene berperan penting dalam
penyebaran penyakit.3

31
e. Patogenesis
Penyakit ditularkan secara langsung melalui hubungan seksual.
Predileksi pada genital, jari, mulut, dan dada. Pada tempat masuknya
mikroorganisme terbentuk ulkus yang khas. Tempat masuk kuman adalah
daerah yang sering atau mudah mengalami abrasi, erosi, atau ekskoriasi, yang
disebabkan oleh trauma, infeksi lain, atau iritasi yang berhubungan dengan
kurangnya higienitas. Pada lesi, organisme terdapat dalam makrofag dan
netrofil atau mengumpul dalam jaringan intertisial. 3, 6

f. Gejala Klinis
Masa inkubasi sangat pendek sekitar 3-7 hari, jarang sampai 14 hari. Lesi
mula-mula berbentuk macula atau papul yang segera berubah menjadi pustule
yang kemudian pecah membentuk ulkus yang khas, antara lain:3, 6
 Multiple.
 Lunak.
 Nyeri tekan.
 Dasarnya kotor dan mudah berdarah.
 Tepi ulkus menggaung.
 Kulit sekitar ulkus berwarna merah.
Lokasi ulkus pada pria terletak di daerah preputium, glans penis, batang
penis, frenulum dan anus; sedangkan pada wanita terletak di vulva, klitoris,
serviks, dan anus. Lokasi ekstragenital pada lidah, bibir, jari tangan, payudara,
umbilicus, dan konjungtiva.1,5
Pembesaran kelenjar limfe inguinal tidak multiple, terjadi pada 30%
kasus yang disertai radang akut. Kelenjar kemudian melunak dan pecah dengan
membentuk sinus yang sangat nyeri disertai badan panas.

ulkus pada penis

32
Variasi bentuk klinis.
1. Dwarf chancroid : lesi kecil, dangkal, dapat menyerupai herpes genitalis,
relatif tidak nyeri.3
2. Giant chancroid: ulkus hanya satu dan meluas dengan cepat serta bersifat
destruktif.3
3. Follicular chancroid : terutama dijumpai pada perempuan berkaitan dengan
folikel rambut di daerah labia mayora dan pubis, berawal sebagai pustul
folikularis, kemudian membentuk ulkus klasik tempat tersebut.
4. Transient chancroid: ulkus kecil sembuh sendiri setelah 4-6 hari, disusul
perlunakan kelenjar limfe inguinal 10-20 hari kemudian.3
5. Ulkus mole serpiginosum: terjadi inokulasi dan penyebaran dari lesi yang
konfluen pada preputium, skrotum, dan paha. Ulkus dapat berlangsung
bertahun-tahun.3
6. Ulkus mole gangrenosum: suatu varian yang disebabkan superinfeksi
dengan bakteri fusosprikhetosis, sehingga menimbulkan ulkus fagedenik.
Dapat menyebabkan destruksi jaringan yang cepat dan dalam.7,11
7. Ulkus mole folikularis (follicularis chancroid): timbul pada folikel rambut,
terdiri atas ulkus kecil multiple. Lesi ini dapat terjadi di vulva atau pada
daerah genitalia yang berambut. Lesi ini sangat superficial.3
8. Ulkus mole papular (ulcus molle elevatum): terdiri atas papul yang
berulserasi dan granulomatosa, dapat menyerupai donovanosis atau
kondiloma lata sifilis stadium II.3

g. Pengobatan
Menurut CDC, tidak ada pemeriksaan laboratorium yang mampu dengan tepat
mendiagnosis chancroid. Pengobatan untuk chancroid yang direkomnedasikan
oleh CDC adalah :

33
1. Obat sistemik : 3,11
a. Azitromycin 1 gr, oral, single dose.
b. Seftriakson 250 mg dosis tunggal, injeksi IM.
c. Siprofloksasin 2x500 mg selama 3 hari.
d. Eritromisin 4x500 mg selama 7 hari.
e. Amoksisilin + asam klavunat 3x125 mg selama 7 hari.
f. Streptomisin 1 gr sehari selama 7-14 hari.
g. Kotrimoksasol 2x2 tablet selama 7 hari.
2. Obat local
Kompres dengan larutan normal salin (NaCl 0,9%) 2 kali sehari selama 15
menit.3

h. Komplikasi 3, 6
 Mixed chancre
Kalau diserta sifilis stadium I. Mula-mula lesi khas ulkus mole , tetapi
setelah 15-20 hari menjadi manifes, terutama jika diobati dengan
sulfonamide.
 Abses kelenjar sinus bila tidak diobati akan pecah, timbul sinus yang
kemudian menjadi ulkus dan membesar membentuk giant chancroid.
 Fimosis atau parafimosis: kalau lesi mengenai preputium
 Fistula uretra: timbulnya karena ulkus pada glans penis yang bersifat
dekstruktif. Nyeri pada buang air kecil.
 Infeksi campuran.

E. LIMFOGRANULOMA VENERUM
a. Definisi
Limfogranuloma venerium (L.G.V) ialah penyakit venerik yang disebabkan
oleh Chlamydia trachomatis, efek primer biasanya cepat menghilang, bentuk
yang tersering ialah sindrom inguinal. Sindrom tersebut berupa limfadenitis
dan periadenitis beberapa kelenjar getah bening inguinal medial dengan kelima
tanda radang akut dan disertai gejala konstitusi, kemudian akan mengalami
perlunakan yang tak serentak.3,8,12

34
b. Epidemiologi
Penyakit ini terutama terdapat di negeri tropik dan subtropik, penderita
pria pada sindrom inguinal lebih banyak dari pada wanita, sebenarnya hal itu
disebabkan karena perbedaan pathogenesis. Kini penyakit ini jarang
ditemukan.1,3,5

c. Etiologi
Penyebabnya ialah Chlamydia trachomatis. Penyakit yang segolongan
ialah psitakosis, trakoma, dan inclusion conjungtivitis.

d. Gejala Klinis
Gejala mula timbul dalam waktu 3-12 hari atau lebih setelah terinfeksi.
Pada penis atau vagina muncul lepuhan kecil berisi cairan yang tidak disertai
nyeri. Lepuhan ini berubah menjadi ulkus (luka terbuka) yang segera membaik
sehingga seringkali tidak diperhatikan oleh penderitanya.3
 Selanjutnya terjadi pembengkakan kelenjar getah bening pada salah satu
atau kedua selangkangan. Kulit diatasnya tampak merah dan teraba
hangat, dan jika tidak diobati akan terbentuk lubang (sinus) di kulit yang
terletak diatas kelenjar getah bening tersebut. Dari lubang ini akan keluar
nanah atau cairan kemerahan, lalu akan membaik; tetapi biasanya
meninggalkan jaringan parut atau kambuh kembali.3
 Gejala lainnya adalah demam, tidak enak badan, sakit kepala, nyeri sendi,
nafsu makan berkurang, muntah, sakit punggung dan infeksi rektum yang
menyebabkan keluarnya nanah bercampur darah.3
 Akibat penyakit yang berulang dan berlangsung lama, maka pembuluh
getah bening bisa mengalami penyumbatan, sehingga terjadi
pembengkakan jaringan. Infeksi rektum bisa menyebabkan pembentukan
jaringan parut yang selanjutnya mengakibatkan penyempitan rektum.3
 Masa inkubasi 1-4 minggu pada tempat masuknya mikroorganisme
berupa lesi yang tidak khas baik berupa erosi, papul atau ulkus yang
sembuh sendiri tanpa pengobatan. Beberapa minggu kemudian timbul
pembengkakan kelenjar getah bening. Tumor tampak merah dan nyeri,

35
perlunakan yang terjadi tidak serentak sehigga memecah dengan fistel.
Penyakit meluas ke kelenjar getah bening di rongga panggul.3
 Pada wanita, di samping gejala di atas, manifestasi dapat terjadi pada
kelenjar Iliaka, sehingga terjadi nyeri waktu buang air besar atau
berhubungan seksual. Nama lainnya : Bonen
 Penyakit mata Konjungtivitis klamidia atau trachoma pernah menjadi
penyebab paling penting dari kebutaan di seluruh dunia, tetapi perannya
berkurang dari 15% kasus kebutaan oleh trachoma pada tahun 1995
menjadi 3,6% pada tahun 2002. Bayi yang baru lahir juga dapat
mengembangkan infeksi klamidia mata melalui persalinan (lihat di
bawah). Menggunakan strategi AMAN (singkatan untuk operasi untuk di-
tumbuh atau berubah-bulu mata, antibiotik, kebersihan wajah, dan
perbaikan lingkungan), Organisasi Kesehatan Dunia bertujuan untuk
penghapusan global trachoma tahun 2020 (2020 GET inisiatif).3,12
 Rheumatologi Chlamydia juga dapat menyebabkan artritis reaktif – tiga
serangkai dari artritis, konjungtivitis dan uretritis (radang uretra) –
terutama pada pria muda. Sekitar 15.000 orang mengembangkan artritis
reaktif karena infeksi klamidia setiap tahun di AS, dan sekitar 5.000
secara permanen dipengaruhi oleh itu. Hal ini dapat terjadi pada kedua
jenis kelamin, meskipun lebih sering terjadi pada pria.9
 Infeksi Perinatal Setengah dari semua bayi lahir dari ibu dengan
klamidia akan lahir dengan penyakit ini. Chlamydia dapat mempengaruhi
bayi dengan menyebabkan aborsi spontan; kelahiran prematur,
konjungtivitis, yang dapat menyebabkan kebutaan, dan pneumonia.
Konjungtivitis karena untuk klamidia biasanya terjadi satu minggu setelah
kelahiran (bandingkan dengan penyebab kimia (dalam jam) atau gonore
(2-5 hari)).9
 Kondisi lainnya Chlamydia trachomatis juga penyebab limfogranuloma
venereum, infeksi kelenjar getah bening dan limfatik. Biasanya
menyajikan dengan ulserasi genital dan kelenjar getah bening di
selangkangan, tapi juga dapat bermanifestasi sebagai proktitis (radang
rektum), demam atau pembengkakan kelenjar getah bening di daerah lain
dari tubuh.3,5

36
Gambaran klinisnya dapat dibagi menjadi bentuk dini, yang terdiri atas
afek primer serta sindrom inguinal, dan bentuk lanjut yang terdiri atas sindrom
genital, anorektal dan uretral. Waktu terjadi afek primer hingga sindrom
inguinal 3-6 minggu, sedangkan dari bentuk dini hingga bentuk lanjut bsatu
tahun hingga beberapa tahun.1,3

Afek primer
Afek primer berbentuk tidak khas dan tidak nyeri dapat berupa erosi,
papul miliar, vesikel, pustule, dan ulkus.Umumnya solitary dan cepat
hilang.Pada pria umumnya afek primer berlokasi di genitalia eksterna, terutama
di sulkus koronarius, dapat pula di uretra meskipun sangat jarang. Pada wanita
biasanya afek primer tidak terdapat pada genitalia eksterna, tetapi pada vagina
bagian dalam dan serviks.2,3,5

Sindrom inguinal
Sindrom inguinal merupakan sindrom yang tersering dijumpai.Sindroma
tersebut terjadi pada pria, jika afek primernya di genitalia eksterna, umumnya
unilatelar, kira- kira 80%.Pada wanita terjadi, jika afek primernya pada
genitalia eksterna dan vagina 1/3 bawah.Pada sindroma ini yang terserang ialah
kelenjar getah bening inguinal medial, karena kelenjar tersebut merupakan
kelenjar regional bagi genital eksterna. Biasanya permukaannya berbenjol-
benjol, kemudian akan berfluensi. Karena L. G.V
merupakan penyakit sub-akut maka tanda- tanda radang timbul seperti rubor,
dolor, kalor, tumor dan fungsio lesa.9
Selain limfadenitis terjadi pula periadenitis yang menyebabkan
perlekatan dengan jaringan disekitarnya.Kemudian terjadi perlinakan yang
tidak serentak, yang mengakibatkan konsistensinya menjadi bermacam-macam,
yakni keras, kenyal, dan lunak (abses).Perlunakan biasanya di tengah, dapat
terjadi abses dan fistel yang multiple.3,9

37
Sindrom genital
Jika sindroma inguinal tidak diobati, maka terjadi fibrosis pada kelenjar
inguinal medial, sehingga aliran kelenjar getah bening terbendung serta terjadi
edema dan elephantiasis.Dan dapat berbentuk fistel dan ulkus.Pada pria,
elephantiasis terdapat pada penis dan skrotum sedangkan wanita pada labia dan
klitoris.3,9

Sindrom anorektal
Prosesnya hampir sama dengan sindroma inguinal, yakni terjadi
limfadenitis dan periadenitis. Lalu mengalami perlunakan hingga terbentuk
abses.Kemudian abses pecah sehingga keluar darah dan pus pada waktu
defekasi, kemudian terbentu fistel.Abses dan fistel dapat berlokasi di perianal
dan perirektal.Selanjutnya muara fistel meluas dan menjadi ulkus, yang
kemudian menyembuh dan menjadi sikatriks, terjadilah retraksi hingga
mengakibatkan striktur reksi.3,9

Sindrom uretral
Sindrom tersebut terjadi, jika terbentuk infiltrat di uretra posterior
yang kemudian menjadi abses, lalu memecah dan menjadi fistel. Dapat terjadi
striktur, hingga orifisium uretr eksternum berubah bentuk seperti mulut ikan
dan disebut fist mouth urethra dan penis melengkung seperti pedang turki.3,9

e. Pembantu Diagnosis 3
 Tes Frei : pus penderita diambil dari tempat abses yang belum pecah
dan dilarutkan dalam garam fisiologis.
 Tes ikatan komplemen : lebih cepat dibandingkan dengan tes Frei.

38
f. Pengobatan
Pemberian doksisiklin 2x 100 mg/hari selama 14 hari-21 hari. ,
eritromisin atau tetrasiklin ( 4 x 500 mg /hari ,selama 21 hari) sebagai obat
alterbnatif, atau pemberian Azitromisin 1x 500 mg, per oral selama 3 minggu.
Setelah pengobatan, dilakukan pemeriksaan rutin untuk mengetahui bahwa
infeksi telah sembuh.3
Kombinasi sulfametoksazol dan trimetroprim lebih poten, satu tablet
terdiri atas 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetropim dosis sehari 2x2
tablet. Diberiakn terus - menerus hingga sembuh. Lama penyembuhan pada
sindrom inguinal antara 1-5 minggu tergantung dari berat dan ringannya
penyakit. Efek samping sulfa ialah anemia hemolitik. Meskipun efek samping
tersebut sangat jarang terjadi, sebaiknya diperiksa kadar Hb, jumlah leukosit,
dan hitung jenis. Sebelum pengobatan di mulai.obat yang merupakan pilihan
kedua ialah sula dengan dosis 3x1 gram sehari berikutnya ialah tetrasiklin
dengan dosis 3x500 mg sehari, pada sindrom inguinal dianjurkan pula untuk
beristirahat.3,9,12
Pengobatan topical berupa kompres terbuka jika abses telah pecah,
misalnya dengan larutan permangasan kalikus 1/5.000.pengobatan dalam
bentuk lanjut ialah tindakan pembedahan dan kortikosteroid. Pada pengobtan
L.G.V. jangan dilupakan mitra seksualnya turut di obati.3,9

g. Prognosis
Pada sindrom inguinal prognosisnya baik, sedangkan pada bentuk lanjut
prognosisnya buruk.3
h. Pencegahan
Cara yang paling baik untuk mencegah penularan penyakit ini adalah
abstinensia (tidak melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual yang
diketahui menderita penyakit ini).Untuk mengurangi resiko tertular oleh
penyakit ini, sebaiknya menjalani perilaku seksual yang aman (tidak berganti-
ganti pasangan seksual atau menggunakan kondom).

39
F. GRANULOMA INGUINAL
a. Definisi
Granuloma Inguinale adalah suatu penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh Calymatobacterium granulomatis, yang menyebabkan
peradangan menahun pada alat kelamin. Sering terjadi di daerah tropis dan
subtropis.3, 9, 1
b. Epidemiologi
Penyakit ini terutama terdapat didaerah tropis dan subtropis , dan lebih
banyak mengenai ras kulit berwarna. Frekuensi pada laki-laki 2x dari pada
wanita. Pada umumnya penderita berumur 20-40 tahun dengan tingkat sosial
ekonomi rendah dan hygiene yang buruk. 1,6
c. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Calymatobacterium granulomatosis yang
merupakan bakteri Gram negatif dengan ukuran 15 µm x 0,7 µm , pelomorfik
dan non motil. Bakteri ini harus diisolasi dalam yolk sac embrio ayam,
walaupun kemudian diketahui dapat juga tumbuh pada medium yang
mengandungnkuning telur. Pewarnaan jaringan dengan menggunakan metode
Wright & Giemsa Calymatobacterium granulomatosis dapat terlihat bersma sel
mononuklear yang bear yang dikenal dengan Donovon bodies.1
d. Patogenesis
Calymatobacterium granulomatosis diduga adalah bakteri intestinal
dengan berhasilnya diidentifikasi dari flora tinja yang nampak dengan
pem.elektron mikroskop berupa bakteriofag dengan enterobakteriaceae, bakteri
ini menyebabkan terjadinya penyakit GI melalui autoinokulasi atau secara
seksual melalui ”vagina intercouse” atau melalui ”rectal intercouse” pada
heteroseksual & homoseksual. Calymatobacterium granulomatosis mungkin
juga menginfeksi melalui inokulasi langsung melalui kulit & mukosa yag tidak
intak. Hal ini sering terjadi pada usia dewasa muda. 3
e. Gejala Klinis
Gejala mulai timbul dalam waktu 1-12 minggu setelah terinfeksi. Gejala
awalnya berupa bintil-bintil merah yang tidak nyeri, yang secara perlahan
tumbuh menjadi benjolan bulat dan menonjol.3,16

40
Bagian tubuh yang terkena pada pria adalah penis, buah zakar,
selangkangan dan paha, sedangkan pada wanita meliputi vulva, vagina dan
kulit di sekitarnya. Pada pria dan wanita, daerah lainnya yang juga terkena
adalah dubur, bokong dan wajah. Pada akhirnya benjolan tersebut akan
menutupi alat kelamin. Penyembuhannya berlangsung lambat dan bisa
terbentuk jaringan parut.3
Biasanya benjolan tersebut akan terinfeksi oleh organisme lainnya. Jika
tidak diobati, bisa menyebar ke seluruh tubuh, yaitu ke tulang, persendian atau
hati dan menyebabkan penurunan berat badan, demam serta anemia.2,5
Terdapat 4 gejala klinis utama penyakit ini :3, 9
1. Ulkus granulomatous
Tipe yang paling umum & sering ditemuakn berwarna merah terang
seperti daging. Non tender ulcer yang mudah berdarah saat penyentuhan
& menjadi semakin parah bila tidak diterapi.
2. Hipertrofik/ulkus vernicosa
Tipe ini terdiri dari ulkus bertepi verukoid atau ireguler yang meninggi
dengan dasar granulomatous. Tumbuh dengan tepi yang iregular,
biasanya sangat kerng & terjadi edema.
3. Nekrotik
Berbauk busuk, ulkus yang dalamm yang menyebabkan destruksi
jaringan.
4. Kekeringan ,sklerosis atau lesi sikatriks dengan jaringan fibrous dan
parut.

41
f. Pengobatan
Bisa diberikan antibiotik seperti streptomisin, tetrasiklin, eritromisin,
kloramfenikol dan trimetroprim-sulfametoksazol.6 bulan setelah pengobatan,
penderita harus diperiksa untuk memastikan bahwa infeksi sudah berhasil
diatasi. 3, 9, 12

Terapi Sistemik
 Kotrimoksazol
Dianjurkan 240 mg 2x sehari , selama 1-2 minggu
 Ampisilin
Dapat diberikan 500 mg , 4 x sehari , selama 2 minggu.
 Gentamicin
Diberikan 1 mg/kgBB secara IM, 2 x sehari selama 2-4 minggu
 Tetrasiklin
Dianjurkan 500 mg , 4 x sehari selama 10-20 hari. Tetrasiklin drug of
choice untuk GI
 Eritromisin
Dianjurkan 5 m, 4 kali sehari selama 2- 3 minggu. Perlu dipertimbangkan
penggunaannya pada wnita hamil
 Klomramfenikol
Diberikan 500 mg, 3 x sehari , selama 2-4 minggu.

Terapi topikal : Pengobatan Topikal tidak ada faedahnya.3

Tindak Lanjut: Kadang-kadang timbul residif setelah pengobatan sempurna,


sehingga pengobatan perlu diulang. Setelah pengobatan
berhasil, kontrol dilakukan dalam jangka waktu lama, yakni
beberapa bulan sampai beberapa tahun, maksudnya untuk
mengawasi kemungkinan terjadi residif. Pada penyembuhan
terjadi jaringan parut yang berdepigmentasi.3

42
G. HERPES SIMPLEKS
a. Definisi
Herpes Simpleks merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
herpes simpleks tipe 1(HSV-1) atau tipe 2 (HSV-2).1 Penyakit ini terjadi ketika
virus ini masuk ke dalam tubuh, yang menyebabkan luka dingin (cold sores)
pada mulut atau wajah atau pada alat kelamin.2 Setelah bereplikasi pada kulit
dan mukosa, virus ini kemudian menginfeksi saraf perifer lokal dan naik ke
ganglia dimana dia akan diam disana sampai terjadi aktivasi kembali.5 Virus
Herpes Simpleks tipe 1 secara tradisional dihubungkan dengan penyakit pada
daerah orofasial, sedangkan virus Herpes Simpleks tipe 2 secara tradisional
dihubungkan dengan penyakit pada daerah genital. Namun, letak lesi tidak
selalu menunjukkan tipe virus.3
Herpes simpleks umumnya tidak bergejala. Infeksi ditandai dengan lesi
primer lokal, laten dan cenderung untuk kambuh kembali. Lesi primer pada
wanita berada pada serviks, dan vulva. Pada pria, lesi muncul pada glans penis
atau preputium, dan pada anus dan / atau dubur mereka yang melakukan seks
anal. Lesi mungkin bisa terdapat pada lokasi kelamin atau perineum lainnya
seperti juga mulut, pada pria dan wanita biasanya hal ini tergantung pada cara
mereka melakukan hubungan seksual. Penyakit ini tergolong berat untuk bayi,
karena dapat mengakibatkan malformasi janin, keterbelakangan mental yang
parah, kerusakan otak atau kematian bayi. Bagi wanita hamil yang terinfeksi,
aborsi spontan atau kelahiran prematur bisa terjadi.4.

b. Epidemiologi
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyebar baik pria maupun wanita
dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh virus herpes simpleks
(V.H.S) tipe I biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi VHS
tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau III, dan berhubungan dengan
peningkatan aktivitas seksual. 1
Di negara berkembang HSV-2 menjadi penyebab umum penyakit ulkus
kelamin,terutama di negara-negara dengan prevalensi tinggi infeksi HIV. Studi
internasional menunjukkan prevalensi pada orang koinfeksi dengan HIV yangn
hampir 90% untuk HSV-1 dan sampai 77% untuk HSV-2.3,10

43
c. Etiologi
VHS tipe I dan II merupakan virus herpes hominis yang merupakan virus
DNA. Pembagian tipe I dan II berdasarkn karakteristik pertumbuhan pada
media kultur, antigenic marker dan lokasi klinis (tempat predileksi).4. 23

d. Patogenesis
Infeksi primer HSV terjadi melalui kontak langsung pada orang dengan
virus yang menular pada daerah perifer kulit, permukaan mukosa, atau sekret.
HSV tidak aktif pada suhu kamar sehingga penyebaran secara aerosol dan
fomitik tidak mungkin terjadi. Infeksi terjadi melalui inokulasi ke permukaan
mukosa yang rentan terhadap infeksi atau tinggal di kulit. Setelah paparan
HSV, virus bereplikasi di sel epitel, menyebabkan lisis pada sel yang terinfeksi,
pembentukan vesikel, dan peradangan lokal. Setelah infeksi primer di tempat
terjadinya inokulasi, HSV menuju ke saraf-saraf perifer dan masuk ke akar
ganglia saraf otonom atau saraf sensoris, dimana latensi terbentuk di sana.7
Pada infeksi HSV orofasial, ganglia trigeminal yang paling sering terkena
sedangkan pada infeksi HSV genital, ganglia sacralis (S2-S5) yang paling
sering terlibat.3 Transportasi mundur HSV antar saraf dan terjadinya latensi
tidak tergantung pada replikasi virus pada kulit atau neuron, neuron dapat
terinfeksi tanpa adanya gejala. Latensi dapat terjadi setelah kedua gejala
asimptomatik dan simptomatik terjadi pada infeksi primer. Secara berkala,
HSV dapat mengaktifkan diri kembali dari fase laten dan virus kemudian
menginfeksi saraf sensorik pada kulit dan daerah mukosa yang menyebabkan
episode penyakit berulang. Penularan mukokutan berulang dapat terjadi dengan
atau tanpa lesi, virus dapat ditularkan ke host baru saat fase penularan terjadi.
Kekambuhan biasanya terjadi di sekitar terjadinya infeksi primer, mungkin
secara klinis bergejala atau tanpa gejala.7. 8
Pada seseorang dengan immunokompeten yang dapat sama-sama
terinfeksi baik HSV-1 dan HSV-2 baik secara oral maupun melalui genital.
HSV 1 teraktivasi kembali lebih sering pada daerah mulut dibanding pada
daerah genital. Sama halnya dengan HSV-2, HSV-2 teraktivasi kembali 8-10
kali lebih sering pada daerah genital dari pada daerah orolabial. Reaktivasi

44
menjadi lebih sering dan lebih berat pada seseorang dengan
immunocompromise.9. 10
Kontak dengan HSV-1 dalam air liur pembawa mungkin menjadi cara
terpenting dari penyebaran. HSV- 2 biasanya menular secara seksual.Kedua
jenis 1 dan 2 dapat ditularkan ke berbagai daerah secara oral-genital, kontak
oral-anal atau dubur-kelamin. Penularan pada bayi baru lahir biasanya terjadi
melalui jalan lahir yang terinfeksi, tetapi jarang terjadi pada rahim atau
postpartum.4

45
e. Gejala Klinis

Infeksi VHS berlangsumg dalam 3 tingkat:


1. Infeksi Primer
Tempat prediksi HSV tipe I di daerah pinggang keatas terutama di
daerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi
dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter
gigi, atau pada orang yang sering menggigit jari (herpetic whitlow). Virus
ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh HSV tipe II
mempunyai tempat predileksi di daerah pinggang ke bawah terutama di
daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi
neonatus.9. 10.12
Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan
seksual seperti oro-genital, sehingga herpes yang terdapat di genital kadang-
kadang disebabkan oleh HSV tipe I sedangkan di daerah mulut dan rongga
mulut dapat disebabkan oleh HSV tipe II.3,11,12
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3
minggu dan sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malaise,
anoreksia, dan dapat ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening
regional.3,9,12
Kelainan yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok diatas kulit
yang sembab dan erimatosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi
seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang-kadang mengalami ulserasi
yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks.Pada perabaan tidak terdapat
indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga memberi
46
gambaran yang tidak helas.Umumnya didapati pada orang yang kekurangan
antibodi virus herpes simpleks.Pada wanita ada laporan yang mengatakan
bahawa 80% infeksi HSV pada genitalia eksterna disertai infeksi pada
serviks.3,9,12
2. Fase Laten
Fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi
HSV dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.3,9,12
3. Infeksi rekurens
Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan
tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit
sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat berupa
trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual dan
sebagainya), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat
pula timbul akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang.3,9,12
Gejala klinis yang timbul lebih ringan daripada infeksi primer dan
berlangsung kira-kira 7 hari sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala
prodromal lokal sebelum timbul vesikel berupa ras panas, gatal dan nyeri.
Infeksi rekurens ini timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat lain/
tempat sekitarnya (nonloco).3,9,12
Virus ini menyebabkan timbulnya lesi kulit dan selaput lendir yang khas,
dan ditularkan melalui pengeluaran virus (viral shedding) dari lesi. Masa
inkubasi virus adalah sekitar 2-24 hari setelah terinfeksi. Pada priode
prodromal sering timbul lesi. Selama periode prodromal dan saat lesi terbuka,
virus bersifat menular , dan mungkin berkisar selama 2-10 minggu. Setelah
infeksi awal, virus mungkin berada dalam periode dorman di jaras saraf
sensorik yang mempersarafi lesi primer. Virus dorman dapat menjadi aktif
kembali setiap saat, menyebabkan timbulnya lesi. Reaktivasi suatu infeksi
herpes laten dapat terjadi sewaktu penderita sakit, mengalami stres, terpajan
sinar matahari berlebihan atau oda saat tertentu daur haid.3,9,12

47
f. Pembantu diagnosis
 Percobaan Tzanck dengan pewarnaan Giemsa : sel datia berinti banyak
dan badan inklusi intranuklear.3

g. Pengobatan
Semua orang yang memilik aktvitas seksual aktif sebaiknya diedukasi
dikarenakan resiko untuk mendapatkan dan menularkan infeksi menular secara
seksual, termasuk HSV.5
Mengingat dampak psikologis yang mungkin terjadi, maka diperlukan
konseling sebagai bagian integral keberhasilan manajemen herpes genitalis
dengan harapan tercapainya beberapa tujuan (goals) yang jelas. Pada dasarnya
konseling IMS bertujuan:
1. Pasien patuh minum obat/mengobati sesuai ketentuan
2. Kembali untuk follow up teratur sesuai jadwal
3. Meyakinkan pentingnya pemeriksaan mitra seksual dan turut berusaha agar
mitra tersebut bersedia diperiksa dan diobati bila perlu

48
4. Mengurangi risiko penularan dengan:
a) Abstinensia dari semua hubungan seks hingga pemeriksaan terakhir
selesai
b) Abstinensia dari semua hubungan seks bila timbul simtom atau gejala
kambuh
c) Menggunakan kondom bila meragukan adanya risiko
5. Tanggap dan memberikan respons cepat terhadap infeksi atau hal yang
mencurigakan setelah hubungan seks.

Pengobatan terhadap lesi yang timbul:


Herpes Bibir:8
- Kumur-kumur dengan antiseptik misalnya klorheksidin 3-4 kali/hari.
- Pemberian asiklovir topikal 5 kali sehari.
Herpes genital:8
- Larutan betadin atau kalium-permanganat untuk rendam duduk 3 kali
sehari
- Asiklovir oral:
 Lesi primer: 5 x 200 mg/hari atau 3 x 400 mg/hari selama 7 hari
- Pencegahan untuk rekuren diberikan 4x200mg/hari atau 2x
400mg/hari kemudian dapat diturunkan menjadi 2-3 x 200 mg / hari
dan interupsi setiap 6-12 bulan. Pada pasien immunocompromised 4x
200-400 mg/ hari.
- Untuk mencegah rekurens diberikan obat untuk meningkatkan
imunitas selular misalnya pemberian Lupidon H (HSV tipe I) dan
Lupidon G (HVS tipe II) dalam satu priode pengobatan. Efek
pemberian levamisol dan isooprinosin adalah sebagai
imunostimulator.
- Untuk anak < 2 tahun diberikan setengah dosis dewasa dan anak > 2
tahun diberikan dosis dewasa.
- Penggunaan asiklovir pada wanita hamil masuk kategori B karena
dapat melewati plasenta manusia.

49
Cara kerja obat ini adalah mengganggu replikasi DNA virus sehingga hanya
bermanfaat ketika penyakit sedang aktif.Jika timbul ulserasi bisa dilakukan
kompres.8,9
- malaise sekitar 12%, sakit kepala 2%, mual (2-5%), muntah (3%) dan
diare (2-3%).
- Bila pada kehamilan timbul herpes genitalia perlu mendapatkan
perhatian serius, karena melalui plasenta virus dapat sampai ke
sirkulasi fetal serta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian pada
janin. Infeksi neonatal mempunyai angka mortalita 60%, separuh ada
yang hidup, menderita cacat neurologik atau kelainan pada mata.

h. Pencegahan dan Prognosis


Infeksi HSV berulang cenderung menjadi kurang dengan berlalunya
waktu. Eksema Herpetikum dapat dapat berkomplikasi menjadi berbagai
dermatosis. Pasien dengan imunodefisiensi mungkin mengalami: penyebaran
HSV kutaneous, penyebaran HSV ke sistemik, Herpes Ulser kronis. Eritema
multiforme dapat menjadi komplikasi pada setiap episode herpes berulang,
terjadi 1-2 minggu setelah wabah.7

H. TRIKOMONIASIS
a. Definisi
Trikomoniasis merupakan infeksi saluran urogenital bagian bawah pada
wanita maupun pria, dapat bersifat akut atau kronik, disebabkan oleh
Trichomonas vaginalis dan penularannya biasanya melalui hubungan seksual.
3,9,12

b. Epidemiologi
Penularan umumnya melalui hubungan kelamin, tetapi dapat juga melalui
pakaian, handuk, atau karena berenang.Oleh karena itu trikomoniasis ini
terutama ditemukan pada orang dengan aktivitas seksual tinggi, tetapi dapat
juga ditemukan pada bayi dan penderita setelah menopause. Penderita wanita
lebih banyak dibandingkan dengan pria.2

50
c. Etiologi
Penyebab trikomoniasis ialah T.vaginalis yang pertama kali ditemukan oleh
DONNE pada tahun 1836.Merupakan flagelata berbentuk filiformis, berukuran
15-18 mikron, mempunyai 4 flagelata dan bergerak seperti gelombang.3
Parasit ini berkembang biak secara belah pasang memanjang dan dapat
hidup dalam suasana PH 5-7,5. Pada suhu 50oC akan mati dalam beberapa
menit, tetapi pada suhu 0oC dapat bertahan sampai 5 hari.
Ada dua spesies lainnya yang dapat ditemukan pada manusia, yaitu
T.tenax yang hidup di rongga mulut dan Pentatrichomonas hominis yang hidup
dalam colon, yang pada umumnya tidak menimbulkan penyakit.3,4

d. Patogenesis
T.vaginalis mampu menimbulkan peradangan pada dinding saluran
urogenital dengan cara invasi sampai mencapai jaringan epitel dan subepitel.
Masa tunas rata-rata 4 hari sampai 3 minggu. Pada kasus yang lanjut terdapat
bagian-bagian dengan jaringan granulasi yang jelas.Nekrosis dapat ditemukan
di lapisan subepitel yang menjalar sampai di permukaan epitel. Di dalam
vagina dan uretra parasit hidup dari sisa-sisa sel, kuman-kuman, dan benda lain
yang terdapat dalam sekret.1

e. Gejala Klinis
1. Trikomoniasis pada wanita
Yang diserang terutama dinding vagina, dapat bersifat akut maupun
kronik.Pada kasus akut terlihat sekret vagina seropurulen berwarna
kekuning-kuningan, kuning-hijau, berbau tidak enak (maladorous), dan
berbusa. Dinding vagina tampak kemerahan dan sembab. Kadang-kadang
terbentuk abses kecil pada dinding vagina dan serviks, yang tampak
granulasi berwarna merah dan dikenal sebagai strawberry appearance dan
disertai gejala dispareunia, perdarahan pascakoitus, dan perdarahan
intermenstrual. Bila sekret banyak yang keluar dapat timbul iritasi pada lipat
paha atau disekitar genitalia eksterna. Selain vaginitis dapat pula terjadi
uretritis, bartholinitis, skenitis dan sistitis yang pada umumnya tanpa

51
keluhan. Pada kasus yang kronik gejala lebih ringan dan sekret vagina
biasanya tidak berbusa.4,5

2. Trikomoniasi pada laki-laki


Pada laki-laki yang diserang terutama uretra, kelenjar prostat, kadang-
kadang preputium, vesikula seminalis dan epididimis. Pada umumnya
gamabran umumnya lebih ringan dibandingkan dengan wanita. Bentuk
akut gejala mirip dengan uretritis nongonore, misalnya disuria, poliuria,
dan sekret uretra mukoid atau mukopurulen urin biasanya jernih, tetapi
kadang-kadang ada benang-benang halus. Pada bentuk kronik gejala tidak
khas; gatal pada uretra, disuria dan urin keruh pada pagi hari.3,22

f. Pembantu Diagnosis
 Media modifikasi Diamond : paling baik dan mudah didapat.3

g. Pengobatan
Pengobatan dapat diberikan secara topikal atau sistemik.16
Secara topikal, dapat berupa: 3
1.Bahan cairan berupa irigasi, misalnya hidrogen peroksida 1-2% dan larutan
asam laktat 4%.
2.Bahan berupa suposituria,Bubuk yang bersifat trikomoniasidal.
3.Gel dan krim, yang berisi zat trikomoniasidal.

Secara sistemik (oral) 3


Obat yang sering digunakan terrgolong derivat nitromidazol seperti:6, 16
Obat Dosis
Metronidazol Dosis tunggal 2 gram atau
3x500 mg per hari selama
7 hari.
Nimorazol Dosis tunggal 2 gram
Tinidazol Dosis tunggal 2 gram
Omidazol Dosis tunggal 1,5 gram

52
Pada waktu pengobatan yang perlu beberapa anjuran pada penderita : 3,22
1. Pemeriksaan dan pengobatan terhadap pasangan seksual untuk mencegah
jangan terjadi infeksi “pingpong”
2. Jangan melakukan hubungan seksusal selama pengobatan dan sebelum
dinyatakan sembuh.
3. Hindari pemakaian barang-barang yang mudah menimbulkan transmisi.

I. VAGINOSIS BAKTERIAL
a. Definisi
Bacterial vaginosis merupakan kondisi dimana lactobacillus-predominant
vaginal flora normal digantikan dengan bakteri anaerob dalam konsentrasi
tinggi (contoh : Bakteroides Spp, Mobilincus Spp), Gardnerella vaginalis, and
Mycoplasma hominis. Jadi, bacterial vaginosis bukan suatu infeksi yang
disebabkan oleh suatu organisme, tetapi timbul akibat perubahan kimiawi dan
pertumbuhan berlebihan dari bakteri yang berkolonisasi di vagina.17. 18

b. Epidemiologi
Bacterial vaginosis sangat sering terjadi, dengan jumlah prevalensi
bervariasi tergantung pada populasi pasien. Pada penelitian terhadap pegawai
kantor swasta, jumlahnya berkisar antara 4 – 17 %, pada mahasiswi jumlahnya
berkisar antara 4 – 25 %, pada wanita hamil rata – ratanya hampir sama dengan
wanita yang tidak hamil yaitu berkisar antara 6 – 32%.7
Ada beberapa faktor resiko terjadinya bacterial vaginosis yaitu berhubungan
dengan ras (lebih sering terjadi pada wanita kulit hitam), merokok, aktivitas
seksual, dan vaginal douching.7. 17. 18

c. Etiologi
Penyebab bacterial vaginosis bukan organisme tunggal. Organisme
penyebab bacterial vaginosis antara lain Gardnerella vaginalis, Mycoplasma
hominis, dan berbagai bakteri anaerob lainnya seperti Prefotella,
Peptosterptococcus, Porphyromonas, dan Mobiluncus species.8,10

53
1. Gardnerella vaginalis
Gardnerella vaginalis sangat erat hubungannya dengan bacterial
vaginosis. Organisme ini mula – mula dikenal sebagai H. vaginalis
kemudian diubah menjadi genus Gardnerella atas dasar penyelidikan
mengenai fenetopik dan asam dioksi-ribonukleat.Tidak mempunyai kapsul,
tidak bergerak dan berbentuk batang gram negative atau variabel gram.Tes
katalase, oksidase, reduksi nitrat, indole, dan urease semuanya
negative.Kuman ini bersifat anerob vakultatif, dengan produksi akhir utama
pada fermentasi berupa asam asetat, banyak galur yang juga menghasilkan
asam laktat dan asam format.Ditemukan juga galur anaerob obligat.Untuk
pertumbuhannya membutuhkan tiamin, riboflavin, niasin, asam folat, biotin,
purin dan pirimidin.10, 15,23

Gambar Gardnerella Spp5

2. Bakteri anaerob : Mobilincus Spp dan Bakteriodes Spp


Bakteriodes Spp diisolasi sebanyak 76% dan Peptostreptococcus
sebanyak 36% pada wanita dengan bacterial vaginosis.Pada wanita normal
kedua tipe anerob ini lebih jarang ditemukan.Penemuan spesies anaerob
dihubungkan dengan penurunan laktat dan peningkatan suksinat dan asetat
pada cairan vagina.Setelah terapi dengan metronidazole, bakterioides dan
peptostreptococcus tidak ditemukan lagi dan laktat kembali menjadi asam
organic yang predominan dalam cairan vagina.Bakteri anaerob berinteraksi
dengan G. vaginalis untuk menimbulkan vaginosis.Mobilincus Spp hampir

54
tidak pernah ditemukan pada wanita normal, 85% wanita dengan bacterial
vaginosis mengandung organisme ini.18,23

Gambar Mobilincus Species


3. Mycoplasma Hominis
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa Mycoplasma Hominis juga
harus dipertimbangkan sebagai agen etiologic untuk bacterial vaginosis,
bersama – sama dengan G. vaginalis dan bakteri anaerob lainnya. Prevalensi
tiap mikroorganisme ini meningkat pada wanita dengan bacterial
vaginosis.Organisme ini terdapat dengan konsentrasi 100 – 1000 kali lebih
besar pada wanita yang mengalami bacterial vaginosis dibandingkan dengan
wanita normal.8. 15
Pertumbuhan mycoplasma hominis mungkin distimulasi oleh
putrescine, satu dari amin yang konsentrasinya meningkat pada bacterial
vaginosis.

Gambar Mycoplasma Hominis


55
d. Gejala Klinis
Pada 50% wanita tidak memiliki gejala. Jika ada gejala biamsanya
berupa discharge (duh tubuh) dari vagina yang biasanya bewarna abu - abu
atau kekuning – kuningan, bau yang tidak enak (bau amis), gatal disekitar dan
diluar vagina, rasa terbakar pada saat berkemih. Gejala yang paling sering
adalah adanya cairan vagina yang abnormal (terutama setelah melakukan
hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang khas yaitu bau amis (fishy
odor) yang disebabkan oleh metabolit amine yang dihasilkan oleh bakteri
anaerob. Sepertiga penderita mengeluh gatal dan rasa terbakar, dan seperlima
timbul kemerahan dan edema pada vulva. Nyeri abdomen, dispareunia, atau
nyeri waktu kencing jarang terjadi, atau karena penyakit lain. Iritasi daerah
vagina atau sekitar vagina (gatal dan rasa terbakar) lebih ringan dari pada yang
disebabkan oleh Tricomonas vaginalis atau C. albicans. Bacterial vaginosis
dapat timbul bersama infeksi traktus genital bawah seperti trikomoniasis dan
servisitis sehingga menimbulkan gejala genital yang tidak spesifik.5. 18

e. Diagnosis 3,23
 Duh tubuh vagina berwarna abu – abu, homogen dan berbau amis.
 Ditemukan clue cells pada kombinasi sediaan basah dan pewarnaan
Grm duh tubuh pada usap vagina.
 Tes sniff dengan 1 tetesan KOH 10% pada sekret vagina akan timbul
bau amin.
 pH vagina 4,5 – 5,5.

f. Pengobatan
Pilihan untuk pengobatan oral dan topical metronidazole dan
clindamycin. Oral metronidazole harus diberikan dalam dosis 500 mg dua kali
sehari selama tujuh hari. Dosis tunggal 2 gram digunakan untuk
trikomoniasis.Metronidazole dapat digunakan pada kehamilan trimester
pertama. Clindamycin oral merupakan pilihan tambahan dengan dosis 300 mg
dua kali sehari selama tujuh hari.10

56
Pengobatan intravaginal berkhasiat untuk mengobati bakterial vaginosis
dan tidak menghasilkan efek sistemik, meskipun efek samping seperti infeksi
jamur pada vagina bisa terjadi. Pilihan obat untul intravaginal adalah
metronidazole gel digunakan pada malam hari sebelum tidur selama lima hari.
Cream clindamycin digunakan pada malam hari sebelum tidur selama tujuh
hari, clindamycin ovula selama tiga hari, dan sustained release clindamycin
sebagai dosis tunggal. Ada pertimbangan bahwa agen topical mungkin
merupakan terapi yang tidak adekuat untuk pasien yang hamil, karena
kemungkinan terjadi upper tract colonization yang berhubungan dengan
bacterial vaginosis.10
Pemulihan flora vagina dengan laktobacillus eksogen telah disarankan
sebagai tambahan untuk terapi antibiotic, meskipun ini membutuhkan
penggunaan strain berasal manusia untuk kolonisasi efektif dan tidak tersedia
secara komersial. Terapi dengan yogurt, lactobacilli suppocitories, atau
acidifying agent tidak begitu memberikan manfaat.8,9
Pengobatan pada bacterial vaginosis yang asimptomatik masih
merupakan kontroversi dan biasanya tidak direkomendasikan.Kejadian
bacterial vaginosis yang berulang sering terjadi dan biasanya terjadi pada 50%
kasus yang terjadi pada 6 bulan.Beberapa data tersedia untuk penggunaan
profilaksis intravaginal metronidazole gel dua kali seminggu malam hari
sebelum tidur untuk mencegah berulangnya bacterial vaginosis. Penggunaan
kondom yang konsisten juga bermanfaat untuk mencegah berulangnya
bacterial vaginosis.10

g. Prognosis
Prognosis pada bacterial vaginosis baik, dilaporkan perbaikan spontan
pada lebih dari sepertiga kasus. Dengan pengobatan metronidazole dan
clindamicin memceri angka kesembuhan yang tinggi (84 – 96 %).4,11

57
J. ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY-SYNDROME (AIDS)
Pada tahun 1983 human immunodeficiency virus (HIV) berhasil diisolasi dari
lymphadenopathy (kelenjar getah bening yang membesar), dan pada 1984
dibuktikan bahwa HIVlah yang menjadi penyebab AIDS. Penyakit HIV
bervariasi dari infeksi primer, dengan atau tanpa gejala akut hingga ke penyakit
yang lanjut.17,1
a. Definisi
AIDS atau sindrome kehilangan kekebalan tubuh adalah sekumpulan
gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalan
dirusak oleh virus HIV.3
HIV merupakan singkatan dari ’human immunodeficiency virus’.
HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh
manusia (terutama D4 positive T-sel dan macrophages– komponen-
komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau
mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya
penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang akan mengakibatkan
defisiensi kekebalan tubuh.3,12
Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut tidak dapat
lagi menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit- penyakit. Orang
yang kekebalan tubuhnya defisien (Immunodeficient) menjadi lebih rentan
terhadap berbagai ragam infeksi, yang sebagian besar jarang menjangkiti
orang yang tidak mengalami defisiensi kekebalan. Penyakit-penyakit yang
berkaitan dengan defisiensi kekebalan yang parah dikenal sebagai “infeksi
oportunistik” karena infeksi-infeksi tersebut memanfaatkan sistem kekebalan
tubuh yang melemah.1,2,3
AIDS adalah singkatan dari ‘acquired immunodeficiency syndrome’
dan menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan
menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV telah ditahbiskan sebagai
penyebab AIDS. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi
tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi
AIDS. 3

58
Infeksi HIV tipe 1 (HIV-1) adalah penyakit bergejala temporer yang
berhubungan dengan replikasi titer HIV-1 yang tinggi dan kuat dan patogen
menginvasi secara luas respon imunologi. Dari 40 sampai 90 persen infeksi
HIV - 1 tidak memberikan gejala. Sindrom ini sering tidak terdiagnosis atau
misdiagnosis, antibodi HIV-1 tidak terdeteksi selama fase awal infeksi.
Diagnose infeksi HIV - 1 akut memerlukan ketinggian index dari kecurigaan
dokter yang bekerja klinik dan penggunaan yang benar dari spesifik
diagnostik test laboratorium. Diagnosis awal yang akurat penting bagi
dokter untuk pengobatan awal anti retroviral.3,7
b. Epidemiologi
Infeksi HIV/AIDS merupakan pandemi global karena kasusnya
dilaporkan oleh seluruh negara di dunia. Jumlah kasus HIV pada orang
dewasa saat ini mencapai 37 juta. Menurut Joint United Nations Programme
on HIV/AIDS (UNAIDS), pada tahun 2003 saja ada 5 juta kasus baru (14000
infeksi per hari) dan 3 juta kematian karena AIDS, sehingga AIDS
merupakan penyebab keempat kematian di seluruh dunia.
Di seluruh dunia tahun 2007 diperkirakan terdapat 30,6 juta hingga
36,1 juta orang dengan HIV dan AIDS. Walaupun jumlah infeksi baru telah
menurun, namun masih terjadi infeksi baru 6800 orang per hari dan setiap
hari 5700 orang meninggal akibat HIV dan AIDS. Remaja 15-24 tahun
adalah populasi paling berrisiko yang cukup tinggi, mencapai 52 persen pada
penasun, 45 persen pada penjaja seks, dan 31 persen pada pelanggan penjaja
seks. Diperkirakan pada 2007 akan terjadi jumlah infeksi baru HIV yang
terbesar pada kelompok usia 15 hingga 19 tahun.3,10
Perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk tercepat di
kawasan Asia, meskipun secara nasional angka prevalensinya tergolong
rendah, hanya 0.1 %. Departemen Kesehatan melaporkan penambahan pasien
AIDS 1 Januari s.d. 30 Desember 2010 adalah 4158 kasus. Secara kumulatif
kasus AIDS 1 April 1987 s.d. 30 Desember 2010 adalah 24.131 kasus dan
Kematian 4539 kasus.3,15

59
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Jenis Kelamin : 3

Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko : 3

c. Patogenesis
Bentuk paling umum dari infeksi HIV-1 yaitu transmisi seksual di
mukosa genitalia. Studi terbaru pada resus kera dengan acute intravaginal
immunodeficiency virus, memberikan pengertian yang mendalam dan
penting ke dalam urutan dari kejadian selular yang terjadi di dalam langkah-
langkah awal dari infeksi. Pada model ini target pertama virus adalah sel-sel
Langerhans dan sel-sel dendritik yang ditemukan di lamina propria yang
terletak lebih rendah pada epitelium cervicovaginal. Sel-sel ini kemudian
menyatukan CD4+ limfosit dan menyebar ke jaringan yang lebih dalam.
Dalam 2 hari setelah infeksi, virus dapat dideteksi melalui pembuluh limfa
iliaka interna. Segera setelah itu, penyebaran secara sistemik terjadi dan HIV-
1 berkembang biak dalam plasma 5 hari setelah infeksi. 3,4,5
Pada manusia, muncul beberapa variasi dari mukosa yang terinfeksi
untuk menandakan adanya viremia, dengan perkiraan berkisar antara 4-
11hari. Menghancurkan barier mukosa dan meningkatkan peradangan karena
penyakit kelamin, uretritis atau cervicitis, hal ini meningkatkan terjadinya
infeksi HIV-1. Walaupun infeksi paling sering ditularkan di mukosa

60
genital, banyak laporan-laporan menunjukkan bahwa infeksi dapat juga
ditularkan ke mukosamulut karena oral sex. Tonsila faringeal dan jaringan
adenoid merupakan sel yang kaya akan dendrit, sehingga menjadi organ
target yang memudahkan virus untuk menginfeksi CD 4+sel. 3,8
Penelitian terhadap seseorang dengan infeksi HIV-1 akut,
menunjukkan infeksi selektif oleh populasi tertentu dari varian HIV-1.
Penyebaran virus melalui makrofag-tropik (not T- cell tropic) dan kehilangan
kemampuan untuk mempengaruhi synctitia multinukleasi di dalam biakan
jaringan. Glikoprotein 120, protein pembungkus virus, mengikat molekul
CD4 kedalam sel yang peka, tetapi untuk masuk kedalam sel butuh suatu
coreseptor. Coreseptor dari makrofag tropik adalah strain dari CCR5, sebuah
reseptor kemokin permukaan . beberapa virus dinamai R5 untuk
mencerminkan reseptor mereka, sedangkan virus-virus sel T-tropik yang
memerlukan CXCR4 untuk masuk, disebut virus-virus X4. Sel Langerhans
yang merupakan target utama virus respon terhadap CCR5 tetapi CXCR4
tidak. Hal ini dapat menjelaskan virus R5 merupakan strain yang dominan
dalam infeksi HIV-1 akut. Hal ini juga menjelaskan orang-orang dengan
homozigot 32-bp delesi pada CCR5 relatif resisten terhadap strain R5.
Walaupun jarang kasus transmisi virus X4 pernah dilaporkan pada beberapa
orang.10
Setelah infeksi terdapat penigkatan viremia secara cepat di dalam
plasma, dengan penyebaran virus terbanyak pada pembuluh limfa, dan virus
tersebut terjebak oleh sel-sel dendrit. Titer tertinggi virus ditemukan pada
infeksi primer di daerah genitalia. Pada tahap ini ditandai dengan tingginya
replikasi virus dan kemampuan untuk menginfeksi, penting untuk kesehatan
publik, sejak tes deteksi untuk antibodi HIV-1 sering gagal. 8
Setelah penigkatan viremia, sering kali untuk mengukur 1 juta
molekul RNA per milimeter, ditamdai dengan pengurangan viremia ke
keadaan replikasi virus. Penurunan jumlah virus selama infeksi HIV-1 akut
mungkin dikarenakan respon spesifik dari sistem imun ketika virus
berreplikasi. Terdapat hubungan antara HIV-1 sitotoksik T limfosit dan
penurunan titer virus pada manusia dan binatang. Ketika infeksi akut, satu
dari 17 CD4+T sel dalam darah perifer menjadi T sitotoksik limfosit spesifik

61
menjadi target melawan virus. Proporsi tinggi ini mencerminkan suatu usaha
yang bertenaga oleh pertahanan-pertahanan seluler untuk menahan replikasi
virus. Pengamatan ini, menggabungkan dengan bukti in vitro dari suatu
pengaruh antiviral yang kuat dari sitotoksik T limfosit menyatakan bahwa
sel-sel ini adalah di paling sedikit bertanggung jawab untuk pengurangan di
viremia HIV-1. 8,17
Ada juga suatu korelasi antara cytotoxic-T-lymphocyte yang respon
terhadap protein pembungkus dan pengurangan di dalam RNA plasma
karena virus. Sebagai tambahan, faktor-faktor yang dapat larut oleh CD8+
menghalangi replikasi HIV-1 pada awal infeksi yang akut dan berperan untuk
pengurangan beban yang karena virus. Di dalam kontras, antibodi penetralan
tidak biasanya dapat ditemukan dari minggu sampai bulan sampai
pengurangan di dalam replikasi virus. Banyak dari gejala infeksi HIV-1 akut
refleksi dari respon antibodi tubuh, dan kebanyakan terjadi pada saat
pengisian virus dalam plasma menurun. Seseorang dengan pengisian virus
yang tinggi lebih besar kemungkinan terjadi AIDS dan kematian. 8

d. Tanda Dan Gejala


Stadium klinis HIV menurut WHO pada dewasa :
Stadium klinis I
 Asimtomatik
 Limfadenopati generalisata
Skala penampilan 1: asimtomatik, aktivitas normal.3

Stadium klinis II
1. Berat badan berkurang <10%
2. Manifestasi mukokutaneus ringan (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi
jamur di kuku, ulserasi oral berulang, kheilitis angularis)
3. Herpes zoster dalam lima tahun terakhir
4. Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang (seperti sinusitis
bakterial)
Dan/atau skala penampilan 2: simtomatik, aktivitas normal.3

62
Stadium klinis III
1. Berat badan berkurang >10%
2. Diare kronik tanpa penyebab yangjelas, >1 bulan
3. Demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas (datang pergi
4. atau menetap), >1 bulan
5. kandidiasis oral (thrush)
6. Oral hairy leucoplakia (OHL)
7. TB paru
8. Infeksi bakterial berat (mis. pnemonia, piomiositis)
Dan/atau skala penampilan 3: <50% dalam masa 1 bulan terakhir terbaring.3

Stadium klinis IV:


1. HIV wasting syndromea
2. Pneumocystic carinii pneumonia
3. Toksoplasmosis otak
4. Diare karena kriptosporidiosis >1 bulan
5. Kriptokokosis ekstra paru
6. Penyakit Cytomegalovirus pada satu organ selain hati, limpa, atau kelenjar
7. getah bening (contoh retinitis)
8. Infeksi virus Herpes simpleks, di mukokutaneus (>1 bulan) atau organ
dalam
9. Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)
10. Mikosis endemik yang menyebar
11. Kandidiasis esofagus, trakea, bronki
12. Mikobakteriosis atipik, menyebar atau di paru
13. Septikemia salmonela non-tifoid
14. Tuberkulosis ekstra paru
15. Limfoma
16. Sarkoma Kaposi's
17. Ensefalopati HIVb
Dan/atau skala penampilan 4: terbaring di tempat tidur >50% dalam masa 1
bulan terakhir.3,8,9

63
Keterangan :
 HIV wasting syndrome: berat badan berkurang >10% dari BB semula,
disertai salah satu dari diare kronik tanpa penyebab yang jelas (>1 bulan)
atau kelemahan kronik dan demam berkepanjangan tanpa penyebab yang
jelas.
 Ensefalopati HIV: adanya gangguan dan/atau disfungsi motorik yang
mengganggu aktivitas hidup sehari-hari, berlangsung selam berminggu-
minggu atau bulan, tanpa ada penyakit penyerta lain selain infeksi-HIV
yang dapat menjelaskan mengapa demikian.

e. Laboratorium
Uji laboratorium menunjukkan limfositopenia dan trombositopenia. CD4+ sel
hitung berkurang atau normal selama infeksi HIV-1, CD8+ meningkat.3

f. Diagnosis
Diagnosis infeksi HIV-1 akut tidak bisa dibuat berdasarkan tes
serologik standar. The recombinant enzyme-linked immunosorbent assays
(ELISAs) biasanya digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV-1, tetapi
biasanya negatif pada seseorang dengan infeksi akut. Tes serologik positif
biasanya pada hari ke 22-27 setelah infeksi akut. Satu-satunya test untuk
mendeteksi infeksi HIV-1 adalah plasma atau serum p24 antigen tes. HIV-1
juga dideteksi dengan peningkatan plasma virus RNA. Viral-RNA assay lebih
sensitif dari pada dua tes yang lain, Viral-RNA assay mendeteksi virus 2-
5hari lebih cepat daripada tes antigen p24 dan lebih cepat dari pada
serologik test. Level dari RNA virus lebih dari 50000 molekul per milimeter
pada pasien HIV-1. Pada penelitian 9 orang, kesembilan orang tersebut
memiliki lebih dari 300.000 molekul RNA virus per milimeter dan tujuh dari
sembilan memiliki 1 juta molekul RNA virus per milimeter. HIV ELISA dan
HIV-1 RNA harus diulang dua sampai empat minggu setelah hilangnya
gejala pada pasien risiko tinggi.3,4,8

64
g. Penatalaksanaan
Pada penelitian pengobatan dibagi menjadi dua grup. Grup pertama
diberikan zidovudine 250mg dua kali sehari, dan grup kedua diberikan
plasebo selama 6 bulan. Setelah 6 bulan grup pertama dengan pengobatan
zidovudine meniingkatkan 173 milimeter kubik CD4+ limfosit dan grup
kedua yang mendapatkan placebo hanya meningkatkan 6 milimeter kubik
CD4+ limfosit. 3,10
Terapi awal terdiri dari dua nucleoside reverse-transcriptase inhibitors
ditambah HIV-1–protease inhibitor atau tiga nucleoside reverse-transcriptase
inhibitors. Pada 6 orang pasien yang menerima kombinasi tiga obat ini,
menurunkan HIV-1 RNA. Pada infeksi HIV-1 kronik pengobatan dilanjutkan
hingga dua tahun. 3,10
Kombinasi-tetap ARV yang tersedia di dunia pada 1 December 2003.3
Kombinasi-tetap tiga obat
1. d4T (40 mg) + 3TC (150 mg) + NVP (200 mg)
2. d4T (30 mg) + 3TC (150 mg) + NVP (200 mg)
3. AZT (300 mg) + 3TC (150 mg) + ABC (150 mg)
4. AZT (300 mg) + 3TC (150 mg) + NVP (200 mg)

Kombinasi-tetap dua obat


1. d4T (30 mg) + 3TC (150 mg)
2. d4T (40 mg) + 3TC (150 mg)
3. AZT (300 mg) + 3TC (150 mg)

65
Efek samping ARV

66
K. KONDILOMA AKUMINATA
a. Definisi dan etiologi
Kondiloma akuminata merupakan salah satu manifestasi klinis yang
disebabkan oleh infeksi Human Papillomavirus Virus (HPV), paling sering
ditemukan di daerah genital dan jarang di selaput lendir. Sering terkait
dengan HPV 6 dan 11 dengan masa inkubasi 3 minggu sampai 8 bulan. Cara
penularan infeksi biasanya melalui hubungan seksual dengan orang yang
telah terinfeksi sebelumnya, penularan ke janin atau bayi dari ibu yang telah
terinfeksi sebelumnya dan risiko mengembangkan karsinoma sel skuamosa.3
b. Manifestasi klinis
Kebanyakan pasien dengan kondiloma akuminata datang dengan
keluhan ringan. Keluhan yang paling sering adalah ada bejolan atau terdapat
lesi di perianal.24
1. Gejala
Kebanyakan pasien hanya mengeluhkan adanya lesi, yang dinyatakan
tanpa gejala. Jarang terdapat gejala seperti gatal, perdarahan, atau
dispaurenia.24
2. Tanda-Tanda Fisik
Lesi sering ditemukan di daerah yang mengalami trauma selama
hubungan seksual dan mungkin soliter tetapi sering akan ada 5 sampai 15
lesi dari 1-5 mm diameter. Kutil dapat menyatu menjadi plak yang lebih
besar dan ini lebih sering terlihat dengan imunosupresi dan diabetes.
Pada pria yang tidak disunat, rongga prepusium (glans penis, sulkus
koronal, frenulum) yang paling sering terkena, sementara pria yang telah
di disunat biasanya terdapat di batang penis.24
Kandiloma Akuminata pada pria dapat juga terjadi pada orificium
uretra, pubis, skrotum, pangkal paha, perineum, daerah perianal, dan
anus. Pada perempuan, lesi dapat terjadi pada labia minora, labia mayora,
pubis, klitoris, orificium uretra, perineum, daerah perianal, anus,
introitus, vagina, dan ectocervix.24
Kutil anogenital dapat bervariasi secara signifikan dalam warna, dari
merah muda ke salmon merah, putih keabu-abuan sampai coklat (lesi
berpigmen). Kondiloma Akuminata umumnya berupa lesi yang tidak

67
berpigmen. Lesi berpigmen sebagian besar dapat terlihat pada labia
mayora, pubis, selangkang, perineum, dan daerah perianal.24

Gambar 1. Kondiloma Akuminata : Penis. Terdapat lesi pada penis,


gambaran multiple kembang kol pada batang dan kulit penis.24

Gambar 2. Kondiloma Akuminata pada Vulva.


Multiple papuls pada labia yang berwarna pink-coklat.24

c. Tatalaksana3
Pilihan obat berdasarkan keadaan lesi, yaitu jumlah, ukuran dan bentuk
serta lokasi. Cara pengobatan dapat dibagi atas pengobatan yang dilakukan
oleh pasien (home-patient-applied treatment) dan pengobatan oleh dokter
(phsycian- applied treatment).
1. Kemoterapi
a. Tinktura Podofilin 25%
Aplikasi dilakukan oleh dokter, tidak boleh oleh pasien
sendiri. Kulit disekitarnya dilindungi dengan vaselin agar tidak
terjadi iritasi dan dicuci setelah 4-6 jam. Jika belum ada
penyembuhan dapat diulangi setelah 3 hari. Setiap kali pemberian
jangan melebihi 0,3 cc karena akan diserap dan bersifat toksik.
Gejala intoksikasi berupa mual, muntah, nyeri abdomen, gangguan
alat napas dan keringat yang disertai kulit dingin. Dapat pula terjadi
supresi sumsum tulang yang disertai trombositopenia dan

68
leukopenia. Obat ini jangan diberikan pada wanita hamil karena
dapat terjadi kematian fetus.
Cara pegobatan dengan podofilin ini sering dipakai. Hasilnya
baik pada lesi baru, tetapi kurang memuaskan pada lesi yang lama
atau yang berbentuk pipih.

b. Asam trikorasetat (trichloroacetic acid atau TCA) konsentrasi 80-


90%
Obat ini juga dioleskan oleh dokter dan dilakukan setiap
minggu. Pemberiannya harus berhati-hati, karena dapat
menimbulkan iritasi hingga ulkus yang dalam. Boleh dierikan pada
ibu hamil.

c. 5-Fluorourasil
Konsentrasinya antara 1-5% dalam krim, dipakai terutama lesi
di meatus uretra. Pemberiannya setiap hari oleh pasien sendiri
sampai lesi hilang. Pasien dianjurkan untuk tidak miksi selama 2
jam setelah pengobatan.

2. Bedah listrik (elektrokauterisasi)


3. Bedah beku (N2,N2O cair)
4. Bedah skalpel
5. Laser karbondioksida
Luka lebih cepat sembuh dan meninggalkan sedikit jaringan parut,
bila dibadningkan elektrokauterisasi.
6. Interferon
Dapat diberikan dalam bentuk suntikan (IM atau intralesi) dan
topikal (krim). Interferon alfa diberikan dengan dosis 4-6 mU secara IM
3x seminggu selama 6 minggu atau dengan dosis 1-5 mU injeksi
intramuskular selama 6 minggu.

69
7. Imunoterapi
Pada penderita dengan lesi yang luas dan resisten terhadap pengobatan dapat
diberikan pengobatan bersama dengan imunostimulator.

70
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit kelamin adalah penyakit yang penularannya terutama melalui


hubungan seksual. Cara hubungan kelamin tidak hanya terbatas secara genito-genital
saja, tetapi dapat juga secara oro-genital atau ano-genital, sehingga kelainan yang
timbul akibat penyakit kelamin ini tidak terbatas hanya pada daerah genital saja,
tetapi dapat juga pada daerah-daerah ekstra genital. Gejala yang ditimbulkan dapat
disebabkan oleh pasangan seksual aktif maupun neonatus yang lahir dari ibu yang
terinfeksi.
Penyakit menular seksual tediri dari infeksi genital nonspesifik, gonore,
herpes simpleks, trikomoniasis, vaginosis bacterial, sifilis, limfogranuloma
venerium, ulkus mole, granuloma inguinale , AIDS dan kondiloma akuminata.

71
DAFTAR PUSTAKA

1. Adler, M, et al. ABC of Sexually transmitted disease 5th Ed. London: BMJ Books;
2005. p. 233 – 132.
Th
2. Books, G.F, Carrol K.C., Butel J.S, & Morse S.A. Medical Microbiology 24
ed. NewYork: Mc Graw Hill; 2007. p. 649 – 670.
3. Djuanda, A, et al. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi 5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2010. p. 363 – 423.
4. Gawkrodger, David J. Dermatology : An Illustrated Colour Text, 5th Ed.
Sheffield : Churchill Livingstone; 2012. p. 519 – 530.
5. Mark, S, et al. Guidelines for the management of sexually transmitted infections.
New York : Mc Graw Hill; 2009. p. 127 – 150.
6. Martodiharjo, S, et al. Ulkus Mole (chancroid). Dalam: Pedoman Diagnosis dan
Terapi Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Surabaya : RSU dr.Soetomo;
2004. p. 203-207.
7. Siregar. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2005. p.
49 – 75.
8. J.Corwin, Elizabeth. Buku Saku Patofisiologi Corwin, Jakarta: EGC; 1997. P.
118 – 130.
9. Geri, M, Hamilton, C. Obstetri dan Ginekologi Panduan Praktis. Jakarta :
Erlangga; 2000. p. 219 – 234.
10. Lauren, M. Clinical Effectiveness Group. UK National Guidelines on Sexually
Transimitted Diseases and Related Conditions. UK : BMJ; 2001. p. 46- 70.
11. Holmes, KK, Mardh, PA, Sparling, PF, Lemon, SM. Sexually Transmitted
Diseases. 3 Ed. New York : McGraw Hill; 1999. p. 176-190.
12. Leitich, H, et al. Antibiotic Treatment of Bacterial Vaginosis in Pregnancy: A
Meta Analysis. Am J Obstet Gynecol. New York: M GrawHill; 2002. p. 752-
758.
13. Gravett, MG, Nelson, HP, DeRouen, T, Holmes, KK. . Independent Associations
of Bacterial Vaginosis and Chlamydia Trachomatis Infection with Adverse
Pregnancy Outcome. England : NEJM; 2009. p. 1899 -1903.

72
14. Martius, J, Krohn, MA, Hillier, SL, Stamm, WE. 1988. Relationship of Vaginal
Lactobacillus Species, Cervical Chlamydia Trachomatis, and Bacterial Vaginosis
to Preterm Birth. Am J Obstet Gynecol. England : Elsevier; 1988. p. 89.
15. Daili, SF. 1982. Sexually Transmitted Disease di Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka; 1982. p. 78-82.
16. Djuanda, S, Daili, SF. Penyakit yang ditularkan melalui Hubungan Kelamin atau
Sexually Transmitted Disease (S.T.D). Bandung : Media PADVI; 1979. p. 7-15.
17. Burns, M.D. The All Embracing Sex Disease. Dutch : NSU and NSGI Modem
Medicine; 1977. p. 19-22.
18. Nicol, T.R. Lecture Notes on Sexually Transmitted Diseases. Genewa :
Blackwell Scientific Publication; 1980. p. 65-68.
19. Oriel, J.D. 1980. Management of Non-gonococcal Urethtritis. Sweden : Medical
Progress; 1980. p. 65-68.
20. Schofield, C.B.S. 1979. Non Specific Urogenital Infection Sexually Transmitted
Diseases 3rd edition. Edinburgh : Chrunchill Livingstone; 1979. p. 167-179.
21. Arnold, H.L, Odom, R.B and James, W.D. Andrew’s Diseases of the Skin.
Clinical Dermatology 8th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 1990. p. 437-443.
22. Cree, G.E. Trichomoniasis Vaginalis in Gram-Stained Smears. British: J.Vener;
1968. p. 226.
23. Piot, P and Vanderhayden, J. Gardnerella Vaginalis and Non Specific Vagnitis.
New York : Mc Graw Hill; 1984. p. 421-427.
24. Fitzpatrick TB, Wolff K, Allen R. Color atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology , 6th edition. New York: McGraw-Hill Inc; 2009. p. 789,861-910.

73

Anda mungkin juga menyukai