Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk

lanjut usia terbanyak di dunia yakni mencapai 18,1 juta jiwa pada tahun

2010 atau 9,6 persen dari jumlah penduduk dan diprediksi akan terus

meningkat hingga dua kali lipat pada tahun 2025 (Depkes, 2013). Hal ini

dipengaruhi oleh majunya pelayanan kesehatan, menurunnya angka

kematian bayi dan anak, perbaikan gizi dan sanitasi dan meningkatnya

pengawasan terhadap penyakit infeksi (Nugroho, 2005).

Menurut WHO, di kawasan Asia Tenggara populasi Lansia sebesar

8% atau sekitar 142 juta jiwa. Pada tahun 2050 diperkirakan populasi Lansia

meningkat 3 kali lipat dari tahun ini. Pada tahun 2000 jumlah Lansia sekitar

5,300,000 (7,4%) dari total polulasi, sedangkan pada tahun 2010 jumlah

Lansia 24,000,000 (9,77%) dari total populasi, dan tahun 2020 diperkirakan

jumlah Lansia mencapai 28,800,000 (11,34%) dari total

populasi (Depkes, 2013).

Lanjut usia adalah orang yang sistem-sistem biologisnya mengalami

perubahan-perubahan struktur dan fungsi sehingga mempengaruhi status

kesehatannya (Aswin, 2003). Konsep status kesehatan terintegrasi dalam

tiga domain utama, yaitu fungsi biologis, psikologis (kognitif dan afektif)

serta sosial. Salah satu komponen

1
psikologis dalam diri individu yaitu fungsi kognitif yang meliputi perhatian,

persepsi, berpikir, pengetahuan dan daya ingat (Saladin, 2007).

Permasalahan yang sering dihadapi lansia seiring dengan berjalannya

waktu, yaitu terjadi penurunan berbagai fungsi organ tubuh (Bandiyah, 2009).

Salah satunya penurunan fungsi otak. Penurunan fungsi otak dapat menyebabkan

beberapa penyakit seperti gangguan neurologis, psikologis, delirium dan

demensia (Sarwono, 2010).

Menurut Alzheimer’s Disease International (2009), demensia merupakan

suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang

menyebabkan deteriorasi kognitif dan fungsional, sehingga

mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Salah

satu masalah yang dihadapi lansia demensia adalah adanya gangguan daya ingat

atau memori. Memori adalah kemampuan mengingat kembali pengalaman yang

telah lampau (Rostikawati, 2009). World Alzheimer Reports mencatat demensia

akan menjadi krisis kesehatan terbesar di abad ini yang jumlah

penderitanya terus bertambah. Berdasarkan data dari WHO (2012)

diketahui bahwa 35,6 juta jiwa di dunia menderita demensia dan pada tahun 2050

mendatang, diperkirakan presentasi dari orang-orang berusia 60 tahun ke atas

akan mencapai 22% jumlah populasi dunia. Sedangkan jumlah penyandang

demensia di Indonesia sendiri hampir satu juta orang pada tahun 2011 (Gitahafas,

2011).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEMENSIA

II.1.1. Definisi

Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual

progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga

mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari

(Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).

Demensia adalah sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding

sebelumnya yang cukup berat sehingga mengganggu aktivitas sosial dan profesional

yang tercermin dalam aktivitas hidup keseharian, biasanya ditemukan juga

perubahan perilaku dan tidak disebabkan oleh delirium maupun gangguan psikiatri

mayor (Ong dkk, 2015).

II.1.2. Epidemiologi

Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas usia 65 tahun dengan

angka insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak ada perbedaan antara

pria dan wanita sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih banyak wanita dengan

rasio 1,6. Insiden demensia Alzheimer sangat berkaitan dengan umur, 5% dari

populasi berusia di atas 65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita

Alzheimer, dan ini sesuai dengan makin banyak populasi orang tua di Amerika

Serikat dan

3
Eropa, maka makin tua populasinya makin banyak kasus AD, dimana pada populasi

berusia 80 tahun didapati 50% penderita AD (Sjahrir,1999).

Konsensus Delphi mempublikasi bahwa terdapat peningkatan prevalensi

demensia sebanyak 10% dibandingkan dengan publikasi yang sebelumnya.

Diperkirakan terdapat 35,6 juta orang dengan demensia pada tahun 2010 dengan

peningkatan dua kali lipat setiap 20 tahun, menjadi 65,7 juta di tahun 2030 dan 115,4

juta di tahun 2050. Di Asia Tenggara jumlah orang dengan demensia diperkirakan

meningkat dari 2,48% di tahun 2010 menjadi 5,3% pada tahun 2030 (Ferri dkk,

2005).

Data dari BAPPENAS 2013, angka harapan hidup di Indonesia (laki-laki

dan perempuan) naik dari 70,1 tahun pada periode 2010-2015 menjadi 72,2 tahun

pada periode 2030-2035. Hasil proyeksi juga menunjukkan bahwa jumlah penduduk

Indonesia selama 25 tahun ke depan akan mengalami peningkatan dari 238,5 juta

pada tahun 2010 menjadi 305,8 juta pada tahun 2035. Jumlah penduduk berusia 65

tahun keatas akan meningkat dari 5,0% menjadi 10,8% pada tahun 2035.

II.1.3. Klasifikasi Demensia (Sjahrir, 1999)

Demensia terbagi atas 2 dimensi:

1. Menurut umur, terbagi atas:

a. Demensia senilis, onset > 65 tahun

b. Demensia presenilis, onset < 65 tahun

2. Menurut level kortikal:

a. Demensia kortikal

4
b. Demensia subkortikal

Klasifikasi lain berdasarkan korelasi gejala klinik dengan patologi-

anatomisnya:

1. Anterior : Frontal premotor cortex

Perubahan behavior, kehilangan kontrol, anti sosial, reaksi lambat.

2. Posterior: lobus parietal dan temporal

Gangguan kognitif: memori dan bahasa, akan tetapi

behaviour relatif baik.

3. Subkortikal: apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan gerak.

4. Kortikal: gangguan fungsi luhur; afasia, agnosia, apraksia.

II.1.3.1. Subtipe Demensia (Ong dkk, 2015)

1. Penyakit Alzheimer

Penyakit Alzheimer masih merupakan penyakit neurodegeneratif

yang tersering ditemukan (60-80%). Karakteristik klinis berupa

penurunan progresif memori episodik dan fungsi kortikal lain.

Gangguan motorik tidak ditemukan kecuali pada tahap akhir

penyakit. Gangguan perilaku dan ketergantungan dalam aktivitas

hidup keseharian menyusul gangguan memori episodik mendukung

diagnosis penyakit ini. Penyakit ini mengenai

5
terutama lansia (>65 tahun) walaupun dapat ditemukan pada usia

yang lebih muda. Diagnosis klinis dapat dibuat dengan akurat pada

sebagian besar kasus (90%) walaupun diagnosis pasti tetap

membutuhkan biopsi otak yang menunjukkan adanya plak neuritik

(deposit β-amiloid40 dan β- amiloid42) serta neurofibrilary tangle

(hyperphosphorylated protein tau). Saat ini terdapat kecenderungan

melibatkan pemeriksaan biomarka pencitraan Magnetic Resonance

Imaging (MRI) struktural dan fungsional serta pemeriksaan cairan

otak (β-amiloid dan protein tau) untuk menambah akurasi diagnosis

(Ong dkk, 2015).

2. Demensia Vaskuler

Vascular Cognitive Impairment (VCI) merupakan terminologi yang

memuat defisit kognisi yang luas mulai dari gangguan kognisi ringan

sampai demensia yang dihubungkan dengan faktor risiko vaskuler

(Ong dkk, 2015).

Demensia vaskuler adalah penyakit heterogen dengan patologi

vaskuler yang luas termasuk infark tunggal, demensia multi-infark,

lesi kortikal iskemik, stroke perdarahan, gangguan hipoperfusi,

gangguan hipoksik dan demensia tipe campuran (penyakit

Alzheimer dan stroke/lesi vaskuler). Faktor risiko mayor

kardiovaskuler berhubungan dengan kejadian aterosklerosis dan

VaD. Faktor risiko

6
vaskuler ini juga memacu terjadinya stroke akut yang merupakan

faktor risiko untuk terjadinya VaD. Cerebral Autosomal Dominant

Arteriopathy with Subcortical Infarcts and Leucoensefalopathy

(CADASIL), adalah bentuk small vessel disease usia dini dengan lesi

iskemik luas pada white matter dan stroke lakuner yang bersifat

herediter (Ong dkk, 2015).

3. Demensia Lewy Body dan Demensia Penyakit Parkinson Demensia

Lewy Body (DLB) adalah jenis demensia yang sering ditemukan.

Sekitar 15-25% dari kasus autopsi demensia

menemui kriteria demensia ini. Gejala inti

demensia ini berupa demensia dengan fluktuasi kognisi, halusinasi

visual yang nyata (vivid) dan terjadi pada awal perjalanan penyakit

orang dengan Parkinsonism. Gejala yang mendukung

diagnosis berupa kejadian jatuh berulang dan sinkope, sensitif

terhadap neuroleptik, delusi, dan atau halusinasi modalitas lain yang

sistematik. Juga terdapat tumpang tindih dengan temuan patologi

antara DLB dengan penyakit Alzheimer. Namun secara klinis orang

dengan DLB cenderung mengalami gangguan fungsi

eksekutif dan visuospasial sedangkan performa

memori verbalnya relatif baik jika dibanding penyakit

Alzheimer yang terutama mengenai memori verbal

(Ong dkk, 2015).

7
Demensia Penyakit Parkinson/Parkinson Disease Dementia (PDD)

adalah bentuk demensia yang juga sering ditemukan. Prevalensi

demensia pada penyakit Parkinson 23-32% enam kali lipat dibanding

populasi umum (3-4%). Secara klinis, sulit membedakan antara DLB

dan PDD. Pada DLB, awitan demensia dan Parkinsonism harus

terjadi dalam satu tahun sedangkan pada PDD gangguan fungsi

motorik terjadi bertahun-tahun sebelum demensia (10-15 tahun)

(Ong dkk, 2015).

4. Demensia Frontotemporal

Demensia Frontotemporal/Frontotemporal Dementia (FTD) adalah

jenis tersering dari Demensia Lobus Frontotemporal/

Frontotemporal Lobar Dementia (FTLD). Terjadi pada usia muda

(early onset dementia/EOD) sebelum umur 65 tahun dengan rerata

usia adalah 52,8–56 tahun. Karakteristik klinis berupa perburukan

progresif perilaku dan atau kognisi pada observasi atau riwayat

penyakit. Gejala yang menyokong yaitu pada tahap dini (3 tahun

pertama) terjadi perilaku disinhibisi, apati atau inersia, kehilangan

simpati/empati, perseverasi, stereotipi atau perilaku kompulsif/ritual,

hiperoralitas/perubahan diet dan gangguan fungsi eksekutif tanpa

gangguan memori dan visuospasial pada pemeriksaan

neuropsikologi (Ong dkk, 2015).

8
Pada pemeriksaan Computed Tomography (CT) atau MRI

ditemukan atrofi lobus frontal dan atau anterior temporal dan

hipoperfusi frontal atau hipometabolisme pada Single-photon

Emmision Tomography (SPECT) atau Positron Emission

Tomography (PET). Dua jenis FTLD lain yaitu Demensia Semantik

dan Primary Non-Fluent Aphasia (PNFA), dimana gambaran

disfungsi bahasa adalah dominan disertai gangguan perilaku lainnya.

Kejadian FTD dan Demensia Semantik masing-masing adalah 40%

dan kejadian PNFA sebanyak 20% dari total FTLD (Ong dkk, 2015).

5. Demensia Tipe Campuran

Koeksistensi patologi vaskular pada penyakit Alzheimer sering

terjadi. Dilaporkan sekitar 24-28% orang dengan penyakit

Alzheimer dari klinik demensia yang diautopsi. Pada umumnya

pasien demensia tipe campuran ini lebih tua dengan penyakit

komorbid yang lebih sering. Patologi penyakit Parkinson ditemukan

pada 20% orang dengan penyakit Alzheimer dan 50% orang dengan

DLB memiliki patologi penyakit Alzheimer (Ong dkk, 2015).

II.1.4. Tahapan Demensia

Stadium I / awal : Berlangsung 2-4 tahun dan disebut stadium amnestik

dengan gejala gangguan memori, berhitung dan aktivitas spontan menurun. Fungsi

memori yang terganggu adalah memori baru

9
atau lupa hal baru yang dialami, dan tidak menggangu aktivitas rutin dalam keluarga

(Stanley, 2007).

Stadium II / pertengahan : Berlangsung 2-10 tahun dan disebut fase

demensia. Gejalanya antara lain, disorientasi, gangguan bahasa (afasia). Penderita

mudah bingung, penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tidak

dapat melakukan kegiatan sampai selesai, gangguan kemampuan merawat diri yang

sangat besar, gangguan siklus tidur, mulai terjadi inkontinensia, tidak mengenal

anggota keluarganya, tidak ingat sudah melakukan suatu tindakan sehingga

mengulanginya lagi. Dan ada gangguan visuospasial yang menyebabkan penderita

mudah tersesat di lingkungan (Stanley, 2007).

Stadium III / akhir : Berlangsung 6-12 tahun. Penderita menjadi vegetatif,

tidak bergerak dengan gangguan komunikasi yang parah (membisu),

ketidakmampuan untuk mengenali keluarga dan teman-teman, gangguan mobilisasi

dengan hilangnya kemampuan untuk berjalan, kaku otot, gangguan siklus tidur-

bangun, dengan peningkatan waktu tidur, tidak bisa mengendalikan buang air besar

atau kecil. Kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan orang lain dan kematian

terjadi akibat infeksi atau trauma (Stanley, 2007).

II.1.5. Skrining dan Diagnosis

II.1.5.1. Skrining

Individu yang harus dievaluasi untuk demensia adalah individu dengan

keluhan kognitif yang progresif atau dengan perilaku yang sugestif

10
suatu demensia serta pasien yang walaupun belum memiliki keluhan subjektif,

tetapi pengasuh atau dokter mencurigainya sebagai suatu gangguan kognitif (Ong

dkk, 2015).

Saat ini sudah ada bukti yang cukup untuk skrining orang dengan demensia

pada usia lanjut. Atas dasar itu US Preventive Services Task Force (USPSTF) dan

UK National Institute for Health and Clinical and Health Excellence

merekomendasikan untuk menskrining demensia pada populasi (Boustani dkk,

2003).

Evaluasi demensia terutama ditujukan pada orang dengan kecurigaan

gangguan kognitif yaitu dalam keadaan sebagai berikut:

– Subjek dengan gangguan memori dan gangguan kognitif, baik yang

dilaporkan oleh pasien itu sendiri maupun oleh yang lainnya.

– Gejala pikun yang progresif.

– Subjek yang dicurigai memiliki gangguan perilaku saat dilakukan

pemeriksaan oleh dokter pada saat pemeriksaan, walaupun subjek tidak

mengeluhkan adanya keluhan kognitif atau memori.

– Subjek yang memiliki risiko tinggi demensia (adanya riwayat keluarga

dengan demensia) (Ong dkk, 2015).

II.5.1.2. Penilaian Demensia

Penilaian demensia harus dilakukan melalui evaluasi yang komprehensif.

Pendekatan yang dilakukan bertujuan untuk diagnosis dini demensia, penilaian

komplikasi dan penegakan penyebab demensia (Ong dkk, 2015).

11
II.5.1.3. Diagnosis

Pada orang yang diduga memiliki gangguan kognitif, diagnosa harus dibuat

berdasarkan kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV

(DSM-IV) untuk demensia dengan anamnesis yang didapatkan dari sumber yang

terpercaya. Hal ini harus didukung dengan penilaian objektif melalui bedside

cognitive tests dan/atau penilaian neuropsikologis (Ong dkk, 2015).

Pedoman DSM-IV sering digunakan sebagai gold standart untuk diagnosis

klinis demensia. Kriteria ini termasuk adanya gangguan kognitif memori dan tidak

adanya salah satu dari gangguan kognitif seperti afasia, apraksia, agnosia dan

gangguan fungsi eksekutif (Ong dkk, 2015).

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-V (DSM-V)

memakai kata Neurocognitive Disorder (gangguan neurokognisi) dengan dua

derajat keparahan yaitu gangguan neurokognisi mayor untuk demensia dan

gangguan neurokognisi ringan untuk gangguan kognisi tidak demensia (Ong dkk,

2015; Frances dkk, 2000).

Pemeriksaan klinis yang komprehensif meliputi ketiga domain kognisi,

perilaku dan fungsi diperlukan pada mereka yang dicurigai demensia, dengan tujuan

membuat diagnosis dini, mengakses komplikasi dan menentukan penyebab

demensia (Ong dkk, 2015).

12
Tabel 1. Kriteria Klinis Diagnosis Demensia Berdasarkan DSM-IV

Dikutip dari: Ong, P.A., Muis, A., Widjojo, F.S., Rambe, A., Laksmidewi, A.A.A.,
Pramono, A., et al. 2015. Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia. Panduan
Nasional Praktik Klinik. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta.

II.1.6. Faktor Risiko dan Prevensi Demensia

Tindakan preventif harus dikerjakan karena diperkirakan bahwa menunda

awitan demensia selama lima tahun dapat menurunkan setengah dari insiden

demensia. Oleh sebab itu perlu pengetahuan tentang faktor risiko dan bukti yang

telah ada (Ong dkk, 2015).

13
II.1.6.1. Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi

Usia, jenis kelamin, genetik, dan riwayat penyakit keluarga, disabilitas intelektual

dan sindroma Down adalah faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (Ong dkk,

2015).

1) Usia

Risiko terjadinya penyakit Alzheimer meningkat secara nyata dengan

meningkatnya usia, meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun pada individu diatas

65 tahun dan 50% individu diatas 85 tahun mengalami demensia. Dalam studi

pupolasi, usia diatas 65 tahun risiko untuk semua demensia adalah OR=1,1 dan

untuk penyakit Alzheimer OR=1,2 (Ong dkk, 2015).

2) Jenis Kelamin

Beberapa studi prevalensi menunjukkan bahwa penyakit Alzheimer lebih tinggi

pada wanita dibanding pria. Angka harapan hidup yang lebih tinggi dan

tingginya prevalensi AD pada wanita yang tua dan sangat tua dibanding pria.

Risiko untuk semua jenis demensia dan penyakit Alzheimer untuk wanita adalah

OR=1,7 dan OR=2,0. Kejadian demensia vaskular lebih tingggi pada pria secara

umum walaupun menjadi seimbang pada wanita yang lebih tua (Ong dkk, 2015).

3) Riwayat Keluarga dan Faktor Genetik

Penyakit Alzheimer Awitan Dini (Early Onset Alzheimer Disease/EOAD)

terjadi sebelum usia 60 tahun, kelompok ini menyumbang 6-7% dari kasus

penyakit Alzheimer. Sekitar 13% dari

20
EOAD ini memperlihatkan transmisi autosomal dominan. Tiga mutasi gen yang

teridentifikasi untuk kelompok ini adalah amiloid-β protein precursor pada

kromosom 14 ditemukan pada 30-70% kasus, presenilin pada kromosom 1

ditemukan pada kurang dari 5% kasus. Sampai saat ini tidak ada mutasi genetik

tunggal yang teridentifikasi untuk Penyakit Alzheimer Awitan Lambat. Diduga

faktor genetik dan lingkungan saling berpengaruh. Diantara semua faktor

genetik, gen Apolipoprotein E (APOE E) yang paling banyak diteliti. Telaah

secara sistematik studi populasi menerangkan bahwa APOE E4 signifikan

meningkatkan risiko demensia penyakit Alzheimer terutama pada wanita dan

populasi antara 55-56 tahun, pengaruh ini berkurang pada usia yang lebih tua

(Ong dkk, 2015).

Sampai saat ini tidak ada studi yang menyebutkan perlunya tes genetik untuk

pasien demensia atau keluarganya. Apabila dicurigai autosomal dominan, maka

tes ini dapat dilakukan hanya setelah dengan informed consent yang jelas atau

untuk keperluan penelitian (Ong dkk, 2015).

II.1.6.2. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi (Ong dkk, 2015)

II.1.6.2.1. Faktor Risiko Kardiovaskular

Berbagai studi kohort dan tinjauan sistematis menunjukkan bahwa faktor

risiko vaskular berkontribusi terhadap meningkatnya risiko demensia dan

Alzheimer. Secara khusus, hipertensi usia pertengahan (R.R 1,24- 2,8),

hiperkolesterolemia pada usia pertengahan (R.R 1,4-3,1), diabetes

21
mellitus (R.R 1,39-1,47) dan stroke semuanya telah terbukti berhubungan dengan

peningkatan risiko kejadian demensia (Ong dkk, 2015).

1) Hipertensi

Pasien dengan hipertensi yang disertai dengan penurunan

kognisi, maka perlu dilakukan pemeriksaan CT scan/MRI otak

untuk mendeteksi adanya silent infarct, microbleed atau white

matter lesion (Ong dkk, 2015).

2) Asam folat dan Vitamin B

Suplemen asam folat dan vitamin B tidak direkomendasikan

untuk pencegahan dalam pengobatan pasien dengan demensia

yang bukan disebabkan karena defisiensi vitamin B12 (Ong

dkk, 2015).

3) Statin

Terapi statin direkomendasikan untuk prevensi atau rutin

diberikan pada pasien Alzheimer (Ong dkk, 2015).

II.5.1.4. Penatalaksanaan

Pendekatan farmakologis dan non farmakologis bertujuan untuk:


 Mempertahankan kualitas hidup dengan memanfaatkan kemampuan
yang ada secara optimal
 Menghambat progresifitas penyakit
 Mengobati gangguan lain yang menyertai demensia
 Membantu keluarga untuk menghadapi keadaan penyakitnya secara
realistis dan memberikan informasi cara perawatan yang tepat.

22
Penatalaksanaan Farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis pada penderita dementia reersibel
bertujuan untuk pengobatan kausal, misalnya pada hiper/ hipotiroidi,
defisiensi vitamin B12, intoksikasi, gangguan nutrisi, infeksi dan
ensefalopati metabolic. Progresifitas demensia vaskuler dapat dihentikan
dengan pengobatan terhadap faktor resiko dan pengobatan simptomatis
untuik substitusi defisit neurotransmitter. Namun hal ini tidak dapat
menyembuhkan penderita.
Pada demensia Alzheimer pengobatan bertujuan untuk menghentikan
progresivitas penyakit dan mempertahankan kualitas hidup. Beberapa
golongan obat yang direkomendasikan, antara lain:
Pengobatan simptomatis:
Pengobatan dengan golongan penghambat asetilkoloinesterase (seperti donepezil
hidroklorida, rivastigmin dan galantamin) bertujuan untuk
mempertahankan jumlah asetilkolin yang produksinya menurun. Obat
golongan NMDA seperti memantindipasarkan di Indonesia saat ini.
Pengobatan dengan disease modifiying agents:
 Obat golongan obat antiinflamasi non steroid (OAINS)
Pada proses pembentukan senile plaque dan neurofibrillary tangle dapat
diidentifikasi adanya elements of cell mediated immune response,
sehingga pemakaian OAINS dapat menguranga proses ini.
 Antioksidan
Antioksidan berfungsi menghambat oksidasi oleh radikal bebas yang berlebihan
sehingga merusak sel neuron. Antioksidan ini terdapat pada sayuran dan
buah-buahan, vitamin E, A, dan C.
 Neurotropik
Obat golongan ini merupakan derivate neurotransmitter GABA yang mempunyai
efek fasilitasi neurotransmisi kolinergik dengan stimulasi sintesis dan
pelepasan asetilkolin.
 Obat yang bekerja pada beta amiloid protein tau, dan presenilin
 Vaksin untuk demensia Alzheimer, masih dalam penelitian.

23
Penatalaksanaan Non Farmakologis
Penatalaksanaan ditujukan untuk keluarga, lingkungan, dan penderita
dengan tujuan:
 Menetapkan program aktivitas harian penderita
 Orientasi realist
 Modifikasi perilaku
 Membrikan informasi dan pelatihan yang benar pada keluarga, pengasuh
dan penderita.

Program Harian Penderita:


 Kegiatan harian teratur dan sistematis, meliputi latihan fisik untuk
memacu aktivitas fisik dan otak yang baik (brain- gym)
 Asupan gizi berimbang, cukup serat, mengandung antioksidan, mudah
dicerna, penyajian menarik dan praktis
 Mencegah/ mengelola faktor resiko yang dapat memperberat penyakit,
misalnya: hipertensi, gangguan vascular, diabetes, dan merokok.
 Melaksanakan hobi dan aktivitas social sesuai dengan kemampuan
 Melaksanakan “LUPA” (Latih, Ulang, Perhatian, dan Asosiasi0
 Tingkatkan aktivitas saat siang hari, tempatkan di ruangan yang
mendapatkan cahaya cukup

Orientasi realitas:
 Penderita diingatkan akan waktu dan tempat
 Beri tanda khusus untuk tempat tertentu, misalnya kamar mandi
 Pemberian stimulasi melalui latihan/ permainan, misalnya permainan
monopoli, kartu, scrabble, mengisi teka-teki silang, sudoku, dll. Hal ini
member manfaat yang baik pada predemensia (Mild Cognitive
Impairment)

24
 Menciptakan lingkungan yang familiar , aman, dan tenang. Hindari
keadaan yang membingungkan dan menimbulkan stress. Berikan
keleluasaan bergerak.

Modifikasi Periaku:
 Gangguan perilaku berupa agitasi, agresivitas, wandering, dan disinhibisi
seksual
 Observasi perilaku penderita dan mencari faktor pencetusnya
 Memberikan informasi yang benar mengenai penyakit pada keluarga dan
pengasuh
 Member rencana pola asuh/ perawatan dengan melibatkan seluruh
anggota keluarga maupun pengasuh.

Kesejahteraan Keluarga dan Pengasuh Perlu Diperhatikan:


 Keluarga dan pengasuh harus bekerja sama dalam merawat penderita
 Pengasuh diberi pelatihan dalam penanganan penderita terutama untuk
mengatasi gangguan perilaku dan inkontinens
 Pengasuh diberi waktu istirahat dan kesempatan untuk berkomunikasi
dengan pengasuh lain

Terapi Operatif:
Demensia yang menyertai Normal Pressure Hydrocephalus dapat
disembuhkan dengan melakukan tindakan operatif dengan pemasangan
ventriculo-peritoneal shunt.

25

Anda mungkin juga menyukai