DISUSUN OLEH :
NAMA : SUGIYANTO UMASUGI
NIRM : 1201102
SEMETER : VI B
Assalammualaikum Wr.Wb
Alhamdulillah…..
Tiada kata yang paling indah selain puji dan puja syukur kehadirat Allah swt,yang mana
dengan limpahan rahmat dan karunia Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini tepat pada waktunya.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabiyaullah
Muhammad saw beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah rela mempetaruhkan harta, jiwa
dan raganya untuk membawa umat manusia dari dunia kegelapan menuju dunia yang terang
benderang dan penuh dengan ilmu pengetahuan.
Kami sadari peyusunan makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan maka berpegang
dari itu semua kami sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang konstruktif dari para
pembaca pada umumnya dan dosen bidang studi pada khususnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat menambah referensi kita semua….
“ tak ada gading yang tak retak,tak ada manusia yang sempurna ˝
Penyusun
Sugiyanto Umasugi
DAFTAR ISI
1. Latar belakang
Sehat adalah suatu keadaan yang masih termasuk dalam variasi normal dalam standar yang
diterima untuk kriteria tertentu berdasarkan jenis kelamin, kelompok penduduk dan wilayah (
WHO, 1957).
Dalam era globalisasi segala upaya ditujukan untuk dapat meningkatkan kualitas manusia
Indonesia. Peningkatan kesehatan masyarakat harus dimulai dari peningkatan kesehatan keluarga.
Hal ini tidak mungkin dapat terwujud tanpa perbaikan dan peningkatan kesehatan masyarakat
Indonesia, maka dibutuhkan petugas kesehatan yang memiliki keterampilan ketelitian dan
kecakapan dalam merawat klien dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dalam
kesempatan ini, penulis membahas tentang perawatan pasien dengan retensio urine,karena pasien
dengan retensio urine merupakan hal penting yang harus ditangani dan dibutuhkan keterampilan,
ketelitian serta kecakapan dalam merespon keluhan-keluhan yang dialami oleh pasien.
2. Tujuan
A. Tujuan Umum
Untuk meningkatkan wawasan dan kemampuan tenaga kesehatan serta masyarakat sebagai
gambaran nyata dalam asuhan keperawatan pada klien retensio urine dan incontinensia urine.
B. Tujuan Khusus
Sebagai bahan masukan untuk mengembangkan program pendidikan di masa-masa mendatang.
Sebagai bahan masukan atau tolak ukur keberhasilan dalam program pendidikan kesehatan.
Sebagai bahan kajian dalam hal memberikan asuhan keperawatan pada klien retensio urin.
3. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa mampu mengaplikasikan pengalaman, pemahaman tentang bagaimana
mengelola dan mencapai tujuan asuhan keperawatan berkualitas pada situasi yang nyata.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anatomi Fisiologi
Saluran perkemihan terdiri dari ginjal, ureter, vesika urinaria dan urethra. Ginjal
merupakan organ yang berbentuk seperti kacang dan terletak di kedua sisi kolumna vertebralis.
Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibanding ginjal kiri karena tertekan ke bawah oleh hati katup
terletak di kosta ke-12, sedangkan ginjal kiri terletak setinggi kosta ke-11. Berat Ginjal + 125
gram.
Ureter merupakan saluran yang menghubungkan ginjal dengan vesika urinaria, panjang
ureter 10 – 12 inci, berfungsi sebagai penyalur urine ke vesika urinaria. Kandung kemih adalah
suatu organ yang berongga yang terletak di sebelah anterior tepat di belakang os pubis, yang
tersusun dari otot polos, yang berkontraksi dan berfungsi sebagai tempat penampungan urine
sementara dan menyalurkan urine ke uretra. Uretra merupakan saluran kecil yang dapat
mengembang dan berjalan dari kandung kemih keluar tubuh. Panjang uretra pada wanita 1,5 inci
dan pada pria 8 inci.
Fungsi- fungsi utama dari ginjal adalah :
1. Ultra filtrasi : Menyaring darah dan bahan-bahan yang terlarut serta membuang
cairan yang sudah tidak dibutuhkan oleh tubuh.
2. Pengendalian cairan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
3. Keseimbangan asam basa : Mempertahankan derajat asam dan basa dengan
mensekresi ion H dan pembentukan Bicarbonat sebagai Buffer.
4. Mengatur tekanan darah dengan mengendalikan volume sirkulasi dan sekresi
urine.
5. Mengatur metabolisme dengan mengaktifkan vitamin D yang diatur oleh kalsium
fosfat ginjal.
6. Memproduksi eritrosit : eritropoetin yang disekresikan oleh ginjal dan
merangsang sumsum tulang agar membuat sel-sel eritrosit.
7. Ekskresi produk sisa : Membuang langsung produk metabolisme yang terdapat
pada filtrasi glomerulus.
Pembentukan Urine
Nefron merupakan unit fungsional dari ginjal, yang merupakan awal pembentuk urine. Ginjal ini
tersusun + 1 juta nefron yang terdiri dari sebuah glomerulus dan sebuah tubulus. Dinding kapiler
glomerulus tersusun oleh sel-sel endotel dan membran basalis, Glomerulus membentang dan
membentuk tubulus yang terdiri atas 3 bagian yaitu :
1. Tubulus proximal :
Dalam keadaan normal, + 20 % dari plasma melewati glomerulus akan disaring ke dalam nefron
dengan jumlah 80 liter per hari yang terdiri dari filtrat yaitu : air, elektrolit dan molekul kecil
lainnya masuk ke dalam tubulus proximal di proses hingga 60 % dan filtrat tersebut di serap
kembali ke dalam darah, kecuali glukosa 100 % di serap yang disebut dengan “Reabsorbsi
Obligat” (mutlak).
1. Ansa Henle
Cairan dari tubulus proximal masuk ke Ansa henle. Ketika cairan turun ke ansa henle desenden,
ada transportasi aktif ureum yang menyebabkan kepekatan meningkat, ketika naik lewat ansa
henle asenden ada transportasi aktif H2O (dikeluarkan)
1. Tubulus Distal
Di dalam tubulus ini terjadi 3 proses yaitu :
1) Reabsorbsi air oleh Anti Diuretik Hormon
Bila tubuh kekurangan air maka otak akan membuat banyak anti diuretic hormon sehingga
penyerapan di distal banyak juga dan urine menjadi sedikit. Begitu sebaliknya bila air berlebih
jumlah anti diuretik hormon sedikit dan filtrat dapat lolos yang akhirnya jadi urine banyak.
2) Bekerjanya anti diuretik hormon
Anti diuretik hormon dapat juga dikeluarkan oleh korteks anak ginjal untuk melakukan
transportasi aktif yaitu mengeluarkan kalsium dan menarik natrium.
3) Sekresi zat-zat sisa metabolime dan zat racun tubuh.
1. Ductus Kolligentes
Merupakan tubulus penampung setelah tubulus distal. Di sini masih terjadi proses reabsorbsi air
oleh anti diuretik hormon. Bila cairan sudah melewati ductus kolligentes maka disebut dengan
“urine” yang dilanjutkan ke kalix minor menuju kalix mayor dan melewati pelvis ginjal
mengalirkan urine ke ureter menuju ke vesika urinaria dengan gerakan peristaltik yang membuka
sfingter ureter, kemudian urine masuk ke dalam vesika urinaria, sebagai tempat penampungan
sementara.
1. Vesika Urinaria
Suatu kantong berotot yang disebut musculus Detrusor, yang terisi sedikit demi sedikit urine,
mulai dari volume 0 – 100 cc, tekanan kandung kemih sedikit bertambah. Dari volume 100 – 400
cc tekanan kandung kemih tidak berubah, karena Musculus Detrusor mengembang mengikuti
jumlah air kemih lewat 400 cc ke atas tekanan meningkat dan meregangkan Musculus Detrusor.
Regangan ini mengirim impuls afferent ke medula spinalis lumbal dan sacral dengan susunan
saraf pusat. Dari lumbal sacral keluar impuls efferent ke Musculus Detrusor (mengerut).
Merangsang pembukaan sfingter urethra internal untuk membuka sehingga timbul keinginan
untuk BAK, dengan mengalirkan urine keluar tubuh melalui sfingter urethra eksterna.
Komposisi Urine
Urine yang normal biasanya berwarna jernih sampai dengan kuning muda, tidak terdapat
glukosa, eritrosit, leukosit dan trombosit serta protein. Bau sedikit pesing, berat jenis 1010 –
1030.
Urine terdiri dari :
1. Air
2. Elektrolit
3. Zat asam sisa metabolism
B. Definisi
Retensi urin adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari fesika urinaria. (Kapita
Selekta Kedokteran). Retensio urine adalah tertahannya urine di dalam akndung kemih, dapat
terjadi secara akut maupun kronis. (Depkes RI Pusdiknakes 1995).
Retensi urin adlah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi meskipun terdapat keinginan
atau dorongan terhadap hal tersebut. (Brunner & Suddarth).
Retensi urin adalah sutau keadaan penumpukan urine di kandung kemih dan tidak punya
kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna. (PSIK UNIBRAW).
C. Etiologi
Supra vesikal berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinallis S2 S4 setinggi T12 L1.
Kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian ataupun seluruhnya, misalnya pada
operasi miles dan mesenterasi pelvis, kelainan medulla spinalis, misalnya miningokel, tabes
doraslis, atau spasmus sfinkter yang ditandai dengan rasa sakit yang hebat.
Vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, atoni pada pasien DM atau
penyakit neurologist, divertikel yang besar.
Intravesikal berupa pembesaran prostate, kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil, tumor pada
leher vesika, atau fimosis.
Dapat disebabkan oleh kecemasan, pembesaran porstat, kelainan patologi urethra (infeksi,
tumor, kalkulus), trauma, disfungsi neurogenik kandung kemih.
D. Manifestasi Klinis
a. Diawali dengan urine mengalir lambat.
b. Kemudian terjadi poliuria yang makin lama menjadi parah karena pengosongan kandung
kemih tidak efisien.
c. Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.
d. Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa ingin BAK.
e. Pada retensi berat bisa mencapai 2000 -3000 cc.
E. Patofisiologi
Pada retensio urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai rasa sakit yang
hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai mengejan. Retensio urine
dapat terjadi menurut lokasi, factor obat dan factor lainnya seperti ansietas, kelainan patologi
urethra, trauma dan lain sebagainya. Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal berupa
kerusakan pusat miksi di medulla spinalsi menyebabkan kerusaan simpatis dan parasimpatis
sebagian atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang mengakibatkan
tidak adanya atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal, vesikal berupa kelemahan otot
detrusor karena lama teregang, intravesikal berupa hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher
vesika, striktur, batu kecil menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine sisa meningkat dan
terjadi dilatasi bladder kemudian distensi abdomen. Factor obat dapat mempengaruhi proses BAK,
menurunkan tekanan darah, menurunkan filtrasi glumerolus sehingga menyebabkan produksi
urine menurun. Factor lain berupa kecemasan, kelainan patologi urethra, trauma dan lain
sebagainya yang dapat meningkatkan tensi otot perut, peri anal, spinkter anal eksterna tidak dapat
relaksasi dengan baik. Dari semua factor di atas menyebabkan urine mengalir labat kemudian
terjadi poliuria karena pengosongan kandung kemih tidak efisien. Selanjutnya terjadi distensi
bladder dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan, salah satunya berupa kateterisasi
uretra.
F. Komplikasi
Perdarahan.
Ekstravasasi urin.
G. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada retensio urine adalah sebagai
berikut:
Pemeriksaan specimen urine.
Pengambilan: steril, random, midstream
Penagmbilan umum: pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb, KEton, Nitrit.
Sistoskopy, IVP.
H. Penatalaksanaan medis
Sejumlah tindakan diperlukan untuk mencegah distensi kandung kemih yang berlebihan dan
mengatasi infeksi atau obstruksi.
Beberapa obat penyebab retensi urin yang mencakup:
Preparat dan antidepresan-antispasmodik (seperti:atropine)
I. Patway
BAB III
ASKEP TEORI
1. PENGKAJIAN
a. Identitas klien
b. Riwayat kesehatan umum - Riwayat kesehatan keluarga - Riwayat kesehatan klien
c. Riwayat kesehatan sekarang
Bagaimana frekuensi miksinya
Adakah kelainan waktu miksi
Apakah rasa sakit terdapat pada daerah setempat atau secara umum Apakah penyakit timbul
setelah adanya penyakit lain
Apakah terdapat mual muntah atau oedema
bagaimana keadaan urinya
Adakah secret atau darah yang keluar
Adakah hambatan seksual
Bagaimana riwayat menstruasi
Bagaimana riwayat kehamilan
Rasa nyeri
d. Data fisik Inpeksi : seluruh tubuh dan daerah genital
Palpasi : pada daerah abdomen
Auskultasi : kuadran atas abdomen dilakukan untuk mendeteksi bruit
Tingkat kesadaran
TB, BB
TTV
e. Data psikologis
Keluhan dan reaksi pasien terhadap penyakit
Tingkat adaptasi pasien terhadap penyakit
Persepsi pasien terhadap penyakit
f. Data social, budaya, spiritual
Umum : hubungan dengan orang lain, kepercayaan yang dianut dan keaktifanya dalam
kegiatan.
2. DIAGNOSA
1. Retensi urin b.d ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
2. Gangguan rasa nyaman: nyeri
3. Intoleransi aktivitas
4. Ansietas b.d krisis situasi
3. PERENCANAAN
1. Retensi urin b.d ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Kriteria evaluasi :
1. Berkemih dengan jumlah yang cuk
2. Tidak teraba distensi kandung kemih
Intervensi Rasional
1. Dorong pasien utnuk berkemih tiap 2-4 1. Meminimalkan retensi urin distensi
jam dan bila tiba-tiba dirasakan. berlebihan pada kandung kemih.
2. Tanyakan pasien tentang inkontinensia 2. Tekanan ureteral tinggi menghambat
stres. pengosongan kandung kemih.
3. Observasi aliran urin, perhatikan ukuran 3. Berguna untuk mengevaluasi obsrtuksi
dan ketakutan. dan pilihan intervensi.
4. Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap 4. Retensi urin meningkatkan tekanan
berkemih.. dalam saluran perkemihan atas.
5. Perkusi/palpasi area suprapubik 5. Distensi kandung kemih dapat dirasakan
diarea suprapubik.
Intervensi Rasional
1. Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas 1. Memberikan informasi untuk membantu
nyeri. dalam menetukan intervensi.
2. Plester selang drainase pada paha dan 2. Mencegah penarikan kandung kemih dan
kateter pada abdomen. erosi pertemuan penis-skrotal.
3. Pertahankan tirah baring bila 3. Tirah baring mungkin diperlukan pada
diindikasikan. awal selama fase retensi akut.
4. Berikan tindakan kenyamanan 4. Meningktakan relaksasi dan mekanisme
koping.
5. Meningkatkan relaksasi otot.
5. Dorong menggunakan rendam duduk,
sabun hangat untuk perineum.
3.Intoleransi aktivitas
Kriteria evaluasi:
1. Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tidak adanya
dispnea, kelemahan, tanda vital dalam rentang normal.
Intervensi Rasional
1. Evaluasi respon klien terhadap aktivitas. 1. Menetapkan kemampuan/kebutuhan
pasien dan memudahkan pilihan intervensi.
2. Berikan lingkungan tenang dan batasi 2. Menurunkan stres dan rangsangan
pengunjung selama fase akut sesuai indikasi. berlebihan, meningkatkan istirahat.
3. Jelaskna pentingnya istirahat dalam
rencana pengobatan dan perlunya 3. Tirah baring dapat menurunkan
keseimbangan aktivitas dan istirahat. kebutuhan metabolik, menghemat energi
untuk penyembuhan. Pembatasan aktivitas
ditentukan dengan respons individual pasien
terhadap aktivitas dan perbaikan kegagalan
pernapasan.
4. Bantu aktivitas perawatan diri yang
diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan 4. Meminimalkan kelelahan dan membantu
aktivitas selama fase penyembuhan. keseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen.
Intervensi Rasional
1. Identifikasi persepsi pasien tentang 1. Mendefinisikan lingkup masalah
ancaman yang ada dari situasi. individu dan mempengaruhi pilihan
intervensi.
2. Observasi respon fisik,seperti gelisah, 2. Berguna dalam evaluasi derajat masalah
tanda vital, gerakan berulang. khususnya bila dibandingkan dengan
pernyataan verbal.
3. Dorong pasien/orang terdekat untuk 3. Memberikan kesempatan untuk
mengakui dan menyatakan rasa takut. menerima masalah, memperjelas kenyataan
takut dan menurunkan ansietas.
4. Memberikan kayakinan untuk membantu
4. Identifikasi pencegahan keamanan yang ansietas yang tak perlu.
diambil, seperti marah dan suplai
oksigen. Diskusikan.
BAB IV
ASKEP KASUS
Pengkajian
Nama : Ny H Umur : 50 Thn Alamat : Prembun 3/1 Prembun Kebumen. Tanggal :11
juni 2011 Jam : 14.02 Riwayat kesehatan sekarang Pasien datang ke RS Saras Husada
Purworejo dengan keluhan tidak bias bung air kecil sejak kemarin sing,1 hari yang lalu. Pasien
merasa sakit pada kandung kemih karena tidak bias kencing. Pasien tampak menahan sakit.
Tampak ada penumpukan pada kandung kemih. Keluarga pasien mengatakan tidak ada yang
mengalami penyakit yang sama seperti yang di derita pasien sekarang. Pasien mengatakan tidak
mempunyai penyakit gula dan darah tinggi. Pemeriksaan tanda tanda vital TD : 150/80 mmHg N
: 96 x/mnt R : 24 x/mnt S : 36,2 CGCS : 15 Pengkajian nyeri P : pasien mengatakan sakit karena
tidak bias kencing Q : nyeri seperti di tekan R : nyeri pada kandung kemih S : sekala 7 tujuh T :
klien mengatakan sakit sejak tadi pagi.
2. Minum/cairan
tubuh 4x1 4x1
Frekuensi Air putih Air putih
Jenis 1 Liter 1 liter
Jumlah Tidak ada masalah Tidak ada Masalah
Masalah Kep
3. Eliminasi :
BAB 1x1
Frekuensi 1x1 Padat
Konsentrasi Padat Kuning
Warna Kuning Tidak ada Masalah
Masalah Kep Tidak ada Masalah
BAK 2X1
Frekuensi 2x1 Cair
Konsentrasi Cair Kuning
Warna Kuning Tidak dapat BAK
Masalah Kep Tidak dapat BAK
4. Personal Hyegine
Mandi 2x1 2x1
Keramas 2x1 2x1
Gosok Gigi 2x1 2x1
Potong Kuku 1 x seminggu 1 x Seminggu
Ganti 2x1 2x1
pakaian Tidak ada Masalah Tidak ada Maslah
Masalah Kep
5. Aktivitas &
Istirahat 3 jam sehari 3 jam sehari
Lama tidur
siang 8 jam sehari 6 jam sehari
Lama tidur
malam Tidak ada Tidak ada
Ganggauan Tidak ada masalah Tidak ada Masalah
Tidur
Masalah Kep
Analisa Data
Peningkatan
volume cairan
dalam tubuh
2 12-06-2011 Ds: - Klien mengatakan Mobilitas Aktivitas
badannya tidak dapat bergerak terbatas
bebas
Do: - Klien tampak lemas
- Klien tampak bebas total
Diagnosa Keperawatan
1. Peningkatan volume cairan dalam tubuh berhubungan dengan urin tidak dapat dikeluarkan
ditandai dengan:
Ds: Klien mengatakan badannya bengkak dan klien sangat jarang baik
Do: badan klien tampak edema
Rencana Keperawatan
P : lanjutkan
intervensi 1,2,3,4
3. 12-06-2011 - memberikan penjelasn, 4 -08- 2010 S : klien masih selalu
11.00 wib pengertian dan gambaran tentang 11.20 wib bertanya tentang epnyakitnya
penykit.
O : klien tampak cemas
P: lanjutkan intervensi
1,2,3,4
2 12-06-2011 -mengkaji keadaan imobilitas 5-08-2010 S: klien mengatakan
11.00 wib -mengontrol pergerakan pasien / 11.30 wib badannya masih tidak dapat
aktivitas bergerak bebas
P: lanjutkan intervensi
1,2,3,4
3 12-06-2011 -memberikan penjelasan, 5-08-2010 S: klien masih selalu
12.30 wib pengertian dan gambaran tentang 01.00 wib bertanya tentang penyakitnya
penyakit
O: klien masih tampak
gelisah
P: lanjutkan intervensi
1,2,3,4
P: hentikan intervensi,
pertahankan keadaan klien.
2 12-06-2011 -mengkaji keadaan imobilitas 6-08-2010 S: klien mengatakan
09.30 wib -mengontrol penyerahan pasien / 10.00 wib badannya dapat bergerak
aktivitas bebas kembali
O: -klien tampak
bersemangat
-klien tidak bedres total
A: masalah teratasi
P: hentikan intervensi,
pertahankan keadaan klien.
A: masalah teratasi
P: hentikan intervensi,
pertahankan keadaan klien.
BAB V
PEMBAHASAN
1. PENGKAJIAN
Adanya proses sistematis berupa pengumpulan,verifikasi,komunikasi Data tentang
klien.pengkajian pada askep teori dengan askep pada Ny H banyak hasil di temukan sama,hal
tersebut di karenakan data kondisi klien yang mendukung pengkajian.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Adalah mengetahui kesehatan aktual dan pontensial di mana perawat melalui pendidikan
dan pengalaman,mempunyai wewenang untuk mengatasi masalah tersebut.
Diagnosa pada askep Ny.H
1. Peningkatan volume cairan dalam tubuh berhubungan dengan urin tidak dapat dikeluarkan
2. Aktivitas terbatas berhubungan dengan mobilitas.
3. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Adalah rencana keperawatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah yang dialami oleh
pasien.
Intervensi yang di buat pada asuhan keperawatan Ny H berdasarkan teori
4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Pada tahap perencanaan dan tindakan keperawatan menurut diagnosa keperawatan yang
muncul pada Ny H disesuaikan dengan kondisi,situasi dan kemampuan klien serta disesuaikan
dengan saranan dan prasarana yang tersedia di ruangan.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Retensio urine adalah ketidakmampuan melakukan urinasi meskipun terdapat keinginan atau
dorongan terhadap hal tersebut atau tertahanya urine didalam kandung kemih.
Klien dengan retensio urine dapat terjadi karena berbagai factor seperti:
Vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang,
pembesaran porstat
kelainan patologi urethra.
Oleh karena itu perlu dilakukan perawatan dan Penatalaksanaan pada kasus retensio urine
dengan cara :
a. Kateterisasi urethra.
b. Dilatasi urethra dengan boudy.
c. Drainage suprapubik.
Sedangkan incontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan.
Incontinenensia dibedakan atas 3 tipe antara lain:
a. Incontinensia urgensi
b. Incontinentia tekanan
c. Over flow incontinensia
2. Saran
1. Bagi perawat agar dapat menunjang kebersihan keperawatan maka perlu memiliki pengetahuan
dan keterampilan dalam penanganan kasus retensio urine.
2.Perawat hendaknya menerapkan asuhan keperawatan dalam melaksanakan proses
3.Perlu ada kerja sama antara perawat dan pihak keluarga pasien yang baik, agar intervensi yang
dilakukan dapat terlaksana dengan baik untruk mengatasi masalah pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI Pusdiknakes. 1995. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan dan Penyakit
Urogenital. Jakarta: Depkes RI.
2. Doenges E. Marilynn, Moorhouse Frances Mary, Geisster C Alice. 1999. Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien Edisi 3.
Jakarta: EGC.
3. Mansyoer Arif, dkk. 2001. Kapita selekta kedokteran Jilid 1 Edisi ke tiga. Jakarta: Media
Aesculapius.
4. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal BedahBrunner & Suddarth Edisi
8 Jakarta: EGC.
5. www. Google.com
Pendahuluan
Salah satu persiapan seksio sesarea adalah pemasangan kateter folley. Umumnya indikasi
penggunaan kateter menetap adalah untuk pengeluaran urin, meningkatkan luasnya paparan saat
seksio sesarea pada segmen bawah rahim, mengurangi cedera traktus urinarius saat pembedahan,
mengevaluasi keseimbangan cairan dan mencegah retensio urin pasca seksio sesarea.1-3 Pasca
seksio sesarea, kateter menetap dipertahankan agar kandung kemih tetap kosong guna
mengistirahatkan kandung kemih dan mencegah terjadinya regangan yang berlebihan pada
kandung kemih akibat dari gangguan berkemih spontan yang dapat menyebabkan retensio urin.
Peregangan yang berlebihan dari kandung kemih ini akan menyebabkan regangan pada otot
detrusor sehingga memperlambat fungsi pengosongan kandung kemih. Terganggunya fungsi
kandung kemih ini merupakan faktor predisposisi timbulnya infeksi saluran kemih. Ghoreishi
melaporkan resiko penggunaan kateterisasi persalinan pada seksio sesarea akan menyebabkan
12- 25% bakteriuria asimptomatis. Sehdev HM mengatakan 2-6%
resiko infeksi saluran kemih akibat pemakaian kateter menetap 24 jam pasca seksio sesarea.1
Rivzi dkk menemukan 1,6% penderita yang mengalami infeksi saluran kemih pada pemasangan
kateter pasca seksio sesarea.
Retensio urin pasca persalinan merupakan salah satu komplikasi yang bisa terjadi pada kasus
obstetri. Retensio urin didefinisikan tidak ada buang air kecil secara spontan selama 6 jam
setelah melahirkan pervaginam. Pada persalinan dengan seksio sesarea didefinisikan tidak
adanya proses berkemih spontan 6 jam setelah pelepasan kateter. Kejadian retensio urin pasca
persalinan tercatat berkisar antara 1,7-17,9%. Pribakti melaporkan 9,1% retensio urin pasca
seksio sesarea di RSUD Ulin Banjarmasin.7 Penelitian Rizvi dkk mendapatkan 11,9% retensio
urin pasca seksio sesarea.6 Penelitian Suskhan di RSUPNCM tahun 1998 mendapatkan kejadian
retensio urin pasca seksio sesarea sebesar 17,1% jika kateter
menetap dipertahankan 6 jam. Bila dipertahankan 24 jam, sebesar 7,1%.8 Kemampuan pasien
untuk mengosongkan kandung kemih sebelum terjadi distensi berlebihan harus dipantau. Lama
kateter menetap dipertahankan pasca seksio sesarea masih bervariasi.
Kateter menetap dianjurkan dilepas 12 jam atau 24 jam pasca seksio sesarea.8 Sehdev dari
Departemen Obstetri Ginekologi Universitas Pennsylvania meneliti terdapat 3,2% infeksi saluran
kemih setelah persalinan seksio sesarea oleh karena pemakaian kateter menetap. Sehdev
menganjurkan pemasangan kateter menetap 24 jam pada seksio sesarea untuk mencegah retensio
urin.
Ghoreishi berpendapat kateter menetap dipertahankan 24-48 jam pasca seksio sesarea untuk
mencegah over distensi kandung kemih. Jhonson menganjurkan untuk melepas kateter 6 jam
pasca seksio sesarea.
Ghoreishi mengemukakan semakin lama kateter dipertahankan, resiko infeksi saluran kemih
akan meningkat. Edward dari Centers for Disease Control and Preventionmengatakan kejadian
infeksi saluran kemih tergantung dari cara pemasangan, pengambilan urin, lama pemakaian, dan
kualitas kateter tersebut.4,5 Insidensi infeksi saluran kemih meningkat sesuai dengan lamanya
pemakaian kateter, bervariasi sekitar 3- 33%. Untuk menghindari resiko infeksi saluran kemih,
prosedur pemasangan kateter harus steril dan kateter harus bebas dari bakteri.7,9,10 Protokol
Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri Ginekologi FKUI / RSUPNCM –
Jakarta, kateter menetap dipertahankan 24 jam pasca seksio sesarea.8
Cara
Pasien yang akan dilakukan seksio sesarea transperitoneal profunda dipasang kateter folley no.
16 trans urethra. Subyek yang masuk kriteria penelitian kemudian ditentukan secara
acak, masuk kateter menetap 12 jam atau 24 jam pasca seksio sesarea.
Setelah kateter menetap selama 12 jam atau 24 jam dipertahankan lalu dilepas. Subyek penelitian
pada masingmasing kelompok dievaluasi selama enam jam. Bila pasien tidak dapat
berkemih, subyek penelitian masuk kriteria retensio urin (overt).
Dilakukan kateterisasi urin, diukur dengan gelas ukur kemudian dilakukan pemeriksaan
urinalisa. Bila penderita dapat berkemih spontan, urin yang keluar diukur dan segera
dilakukan kateterisasi untuk mengetahui sisa urin dalam kandung kemih. Bila urin sisa >= 200
ml, subyek penelitian masuk kriteria retensio urin (covert).
Kapasitas kandung kemih didapatkan dari hasil pengukuran pada retensio urin dengan cara
menjumlahkan volume urin hasil berkemih spontan dengan volume urin sisa hasil kateterisasi
setelah kateterisasi spontan.
Pengukuran kapasitas kandung kemih bersamaan dengan pemeriksaan urinalisa untuk menilai
adanya bakteriuria. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan urinalisa sederhana untuk
mendeteksi adanya bakteriuria. Hasil analisa yang mendukung kearah infeksi yaitu dengan
diperoleh lebih dari 10 leukosit/LPB.
Analisis data
Analisis data menggunakan perangkat
Software SPSS for Windows versi 15.0
dengan :
1. Analisa deskriptif untuk karakteristik subyek.
2. Uji Fisher Exact untuk menguji kasus retensio urin pasca seksio sesarea.
3. Uji X2 untuk menguji kasus infeksi saluran kemih pasca seksio sesarea.
4. Uji t untuk menguji perbandingan rata-rata kapasitas kandung kemih volume urin sisa dan
lama operasi.
Pembahasan
Pada kelompok kateter menetap12 jam dan 24 jam umur terbanyak adalah 31-40 tahun, masing-
masing 21 kasus (42%) dan 30 kasus (60%). Berdasarkan paritas, didapatkan
multiparitas yang terbanyak pada kelompok kateter menetap 12 jam dan 24 jam masing-masing
28 kasus (56%) dan 27 kasus (54%). Ghoreishi dan Rizvi mendapatkan tidak ada korelasi
retensio urin pasca seksio sesarea terhadap umur, paritas dan operasi elektif / cito.4,6 Angka
kejadian retensio urin didapatkan 4 kasus (8%) pada pemasangan kateter menetap selama 12 jam
pasca seksio sesarea, sedangkan pada yang 24 jam didapatkan kejadian
retensio urin 1 kasus (2%). Tidak ada perbedaan bermakna (p= 0,362) kejadian retensio urin
pasca seksio sesarea kedua kelompok. Pribakti melaporkan ada 9,1% retensio urin pasca seksio
sesarea di RSUD Ulin Banjarmasin. Suskhan dari RSUPNCM Jakarta mendapatkan
kejadian retensio urin pasca seksio sesarea sebesar 17,1% jika kateter menetap dipertahankan 6
jam, sedangkan jika dipertahankan 24 jam angka kejadiannya 7,1%. Resiko 2,4 kali lebih besar
terjadi retensio urin jika kateter menetap di pasang 6 jam dibanding 24 jam.
Pada penelitian ini, seluruh kasus retensio urin diklasifikasikan sebagai retensio urin tersamar
(covert) sebanyak 5 kasus (5%) sedangkanretensio urin yang jelas (overt) tidak ditemukan.
Retensio urin yang tersamar diidentifikasikan dengan peningkatan jumlah urin yang masih
tersisa setelah berkemih spontan, sedangkan retensio urin yang jelas menunjukan
ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan setelah 6 jam kateter menetap dilepaskan,
dengan tanda-tanda urgensi dan strangulasi. Rizvi dkk mendapatkan insidensi retensio urin
tersamar ditemukan 0,7% sedangkan retensio urin jelas sebesar 0,14%. Retensio urin tersamar
merupakan suatu fenomena yang bersifatself-limiting dimana biasanya volume residual akan
kembali normal dalam 4 hari.6,11 Kejadian retensio urin pasca seksio sesarea pada pemasangan
kateter menetap 12 jam pasca seksio sesarea lebih besar dibandingkan dengan 24 jam.
Lama kateter menetap dipertahankan pasca seksio sesarea masih bervariasi, Suskhan mengatakan
rasa nyeri luka insisi dinding perut pasca seksio sesarea yang secara reflek menginduksi spasme
dari otot levator yang menyebabkan kontraksi spastik pada sfingter urethra.
Rasa nyeri ini yang menyebabkan pasien enggan mengkontraksikan otot-otot dinding perut guna
memulai pengeluaran urin yang menyebabkan retensio urin.8,12 Pada penelitian ini didapatkan
kejadian infeksi saluran kemih 11 kasus (22%) pada pemasangan kateter
menetap 12 jam pasca seksio sesarea sedangkan bila pemasangan menetap 24 jam kejadiannya
sebesar 9 kasus (18%). Uji statistik tidak ada perbedaan yang bermakna (p=0,617) kejadian
infeksi saluran kemih pasca seksio sesarea antara pemasangan kateter menetap 12 jam dan 24
jam pasca seksio sesarea. Jadi pada penelitian ini tidak ditemukan
adanya perbedaan antara lama pemasangan kateter menetap 12 jam atau 24 jam dengan kejadian
infeksi saluran kemih. Berbeda dengan apa yang dikatakan Ghoreishi, semakin lama
kateter dipertahankan, resiko infeksi saluran kemih akan meningkat; Edward dariCenters for
Disease Control and Prevention mengatakan kejadian infeksi