Anda di halaman 1dari 20

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada
usia reproduksi. Sekitar 80% penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi perinatal
dari ibunya. Laporan CDC (Center for Disease Control) Amerika memaparkan
bahwa seroprevalensi HIV pada ibu perinatal adalah 0,0%-1,7%, pada saat
persalinan 0,4%-2,3% dan 9,4%-29,6% pada ibu hamil yang biasa menggunakan
narkotika intravena. Berbagai penelitian menunjukan bahwa kehamilan dapat
memperberat kondisi klinik wanita yang terinfeksi HIV. Sebaliknya, risiko tentang
hasil kehamilan pada penderita infeksi HIV masih merupakan tanda tanya.
Transmisi vertikal virus AIDS dari ibu ke janinnya telah banyak terbukti, akan tetapi
belum jelas diketahui, kapan transmisi perinatal tersebut terjadi. Penelitian di
Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu
hamil adalah 20-40%. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam
proses persalinan atau melalui ASI. Walaupun demikian WHO menganjurkan agar
ibu dengan HIV (+) tetap menyusui bayinya mengingat manfaat ASI yang lebih
besar dibandingkan dengan risiko penularan HIV.
Sampai saat ini belum ada pengobatan AIDS yang memuaskan. Pemberian
AZT (Zidovudine) dapat memperlambat kematian dan menurunkan frekuensi serta
beratnya infeksi opportunistik. Pengobatan infeksi HIV dan penyakit
opportunistiknya dalam kehamilan merupakan masalah, karena banyak obat belum
diketahui dampak buruknya terhadap kehamilan. Dengan demikian pencegahan
menajdi sangat penting perannya, yaitu hubungan seksual yang sehat, mengguankan
alat kontrasepsi dan mengadakan tes terhadap HIV sebelum kehamilan.
Dalam persalinan, seksio sesarea bukan merupakan indikasi untuk
menurunkan risiko infeksi pada bayi yang dilahirkan. Penularan kepada penolong
persalinan dapat terjadi dengan rate 0-1% per tahun exposure. Perawatan pasca
persalinan perlu memperhatikan kemungkinan penularan melalui pembalut wanita,
lokhia, luka episiotomi atau pun luka seksio sesarea.
2

Untuk mengelola bayi, sebaiknya dilakukan oleh seorang dokter anak yang
khusus menangani kasus ini. Perawatan ibu dan bayi tidak perlu dipisah. Harus
diusahakan agar bayi tidak dilaukan tindakan yang membuat perlukaan bila tidak
perlu betul, misalnya jangan lakukan sirkumsisi. Perawatan tali pusat harus
dijalankan dengan cermat. Imunisasi yang menggunakan virus hidup sebaiknya
ditunda sampai terbukti bahwa bayi tersebut tidak ada infeksi HIV. Antibodi
didapatkan pasif dari ibu akan dapat bertahan sampai 15 bulan.
Jadi, diperlukan pemeriksaan ulang berkala untuk menentukan adanya
perubahan ke arah negatif atau tidak. Infeksi bayi mungkin baru tampak pada usia
12-18 bulan. Infeksi virus HIV pada anak saat ini menjadi masalah kesehatan yang
sangat besar di dunia, dan berkembang dengan cepat serta sangat berbahaya.
Perjalanan alami, beratnya, dan frekuensi penyakit pada anak yang menderita AIDS
berbeda dengan anak yang mempunyai sistem imun normal. Kasus infeksi HIV pada
anak didapatkan melalui penularan dari ibu terinfeksi HIV ke anaknya, yang terjadi
pada saat kehamilan, melahirkan atau pada saat menyusui.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari HIV/AIDS?
2. Apa saja klasifikasi HIV/AIDS?
3. Apa etiologi dari HIV/AIDS?
4. Bagaimana patofisiologi HIV/AIDS pada Ibu hamil?
5. Apa saja manifestasi klinis HIV/AIDS?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk penderita HIV/AIDS?
7. Bagaimana cara penularan HIV/AIDS dari Ibu ke anak pada masa prenatal?
8. Bagaimana penatalaksanaan HIV/AIDS?
9. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada Ibu dengan HIV/AIDS?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian HIV/AIDS
2. Mengetahui klasifikasi HIV/AIDS
3. Mengetahui etiologi dari HIV/AIDS
4. Mengetahui patofisiologi dari HIV/AIDS
5. Mengetahui manifestasi klinis pada HIV/AIDS
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang untuk penderita HIV/AIDS
7. Mengetahui cara penularan HIV dari ibu ke anak
8. Mengetahui penatalaksanaan pada HIV/AIDS
9. Mengetahui konsep asuhan keperawatan pada Ibu dengan HIV/AIDS
3

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian

Penyakit HIV/AIDS atau Human Immunideficiency Disease adalah penyakit


kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus yang melemahkan sistem
kekebalan tubuh dan merupakan perilaku yang tidak sehat. Perilaku tidak sehat itu
diantaranya perilaku seks yang menyimpang, perilaku pengguna narkotik dan obat
yang berbahaya seperti Napza khususnya yang menggunakan jarum suntik.
(Setyoadi dan Endang Triyanto, 2012)

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat


menyebabkan AIDS. Virus ini ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuan Perancis
(Institut Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan
gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan Lymphadenophaty
Associated Virus (LAV) . HIV termasuk keluarga virus retro, yaitu virus yang
memasukkan materi genetiknya ke dalam sel tuan rumah ketika melakukan infeksi
dengan cara yang berbeda (retro), yaitu dari RNA menjadi DNA, yang kemudian
menyatu dalam DNA sel tuan rumah, membentuk pro-virus dan kemudian
melakukan replikasi.

HIV memiliki enzim reverse transcriptase yang dapat berfungsi mengubah


informasi genetik untuk kemudian diintegrasikan ke dalam informasi sel limfosit
untuk mengkopi dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri-ciri HIV. HIV
menyerang sistem imun manusia yaitu menyerang limfosit T helper yang memiliki
reseptor CD4 dipermukaannya. Limfosit T helper antara lain berfungsi
menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai perangsang pertumbuhan dan
pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi sehingga
yang terganggu bukan hanya fungsi limfosit T tetapi juga limfosit B, monosit,
makrofag dan sebagainya dan merusak sistem imunitas. Selanjutnya bisa
memudahkan infeksi oportunistik di dalam tubuh. Kondisi inilah yang kita sebut
AIDS.
4

Menurut Ayu (2012), HIV, virus penyebab AIDS, juga dapat menular dari ibu
yang terinfeksi HIV ke bayinya. Tanpa upaya pencegahan, kurang-lebih 30 persen
bayi dari ibu yang terinfeksi HIV menjadi tertular juga. Ibu dengan viral load tinggi
lebih mungkin menularkan HIV kepada bayinya. Namun tidak ada jumlah viral load
yang cukup rendah untuk dianggap "aman". Infeksi dapat terjadi kapan saja selama
kehamilan, namun biasanya terjadi beberapa saat sebelum atau selama persalinan.
Bayi lebih mungkin terinfeksi bila proses persalinan berlangsung lama. Selama
persalinan, bayi yang baru lahir terpajan darah ibunya. Meminum air susu dari ibu
yang terinfeksi dapat juga mengakibatkan infeksi pada si bayi. Ibu yang HIV-positif
sebaiknya tidak memberi ASI kepada bayinya. Untuk mengurangi risiko infeksi
ketika sang ayah yang HIV-positif, banyak pasangan yang menggunakan pencucian
sperma dan inseminasi buatan.

B. Klasifikasi
1. Stadium pertama : HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan
serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi
positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibodi
terhadap HIV menjadi positif disebut window period. Lama window period
antara 1-3 bulan, bahkan ada yang dapat berlangsung sampai 6 bulan.
2. Stadium kedua : Asimptomatik (tanpa gejala)
Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh
tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat berlangsung rerata selama
5-10 tahun. Cairan tubuh pasien HIVAIDS yang tampak sehat ini sudah dapat
menularkan HIV kepada orang lain.
3. Stadium ketiga : pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata
(persistent generalized lympadenopathy), tidak hanya muncul pada satu tempat
saja, dan berlangsung lebih dari satu bulan.
4. Stadium keempat : AIDS
Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam penyakit, antara lain penyakit
konstitusional, penyakit saraf, dan penyakit infeksi sekunder.

C. Etiologi
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human Immuno-
deficiency Virus (HIV) ini adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan
5

subfamili Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal 2 serotipe HIV yaitu HIV-1
dan HIV-2. HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2
(LAV-2) yang sampai sekarang hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di
Afrika. Spektrum penyakit yang menimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1,
sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) yang tersering, dahulu dikenal
juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), berbentuk bulat
dan terdiri atas bagian inti (core) dan selubung (envelope).
Inti dari virus terdiri dari suatu protein sedang selubungnya terdiri dari suatu
glikoprotein. Protein dari inti terdiri dari genom RNA dan suatu enzim yang dapat
mengubah RNA menjadi DNA pada waktu replikasi virus, yang disebut enzim
reverse transcriptase. Genom virus yang pada dasarnya terdiri dari gen, bertugas
memberikan kode baik bagi pembentukan protein inti, enzim reverse transcriptase
maupun glikoprotein dari selubung. (Soedarmo dkk, 2010)

Infeksi HIV sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh kelompok usia
produktif (15-50 tahun) terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita
cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak-anak 90% terjadi dari ibu yang
mengidap HIV. Sekitar 25-35% bayi yang dilahirkan ibu yang terinfeksi HIV, akan
tertular virus tersebut melalui infeksi yang terjadi selama dalam kandungan, proses
persalinan dan pemberian ASI (Andy, 2011).

Ibu hamil yang positif mengidap HIV berpotensi menularkan virus tersebut
kepada bayi, baik pada masa kehamilan, persalinan, maupun saat menyusui. Dokter
kandungan biasanya akan memberikan berbagai jenis obat ARV (antiretroviral)
untuk menekan jumlah virus. Jika ibu mengonsumsi obat-obatan secara rutin selama
kehamilan hingga hari persalinan nanti, maka risiko penularan bisa ditekan sampai 7
persen. Karena itu penting bagi ibu hamil melakukan tes HIV, agar virus HIV dapat
terdeteksi lebih awal, sehingga program pencegahan HIV pun bisa dilakukan
secepatnya.
Namun, ibu hamil juga harus mempertimbangkan jenis persalinan yang akan
ditempuh nantinya, karena risiko penularan virus HIV ke bayi lebih tinggi pada saat
persalinan. Dalam proses melahirkan, bayi akan terkena darah dan cairan vagina
ketika melewati saluran rahin yang dapat menjadi cara virus HIV masuk ke dalam
tubuhnya. Karena itu, ibu hamil pengidap HIV disarankan untuk tidak melahirkan
6

secara normal melalui vagina karena risiko bayi tertular lebih besar. Beberapa
kondisi yang juga dapat mendukung penularan HIV ke bayi pada saat persalinan
adalah air ketuban yang pecah terlalu awal, bayi mengalami keracunan ketuban dan
kelahiran prematur.
7

D. Patofisiologi

Penularan HIV

Plasenta, cairan ketuban, perdarahan


Transfusi darah Hubungan seksual
ketika persalinan, ASI
jarum suntik

Transmisi dari ibu


HIV masuk ke
ke anak
dalam tubuh

Menyerang sistem Imun (sel


darah putih / limfosit)

Menginfeksi limfosit

DNA virus terintegrasi dalam sel DNA


host
Imun menurun

Perubahan
Demam AIDS pertumbuhan dan
perkembangan

Hipertermi
Diare kronik
Pneumonitis Perubahan status
interstitial kesehatan
Kehilangan
Resiko
volume cairan
kerusakan
aktif Dipsneu Ansietas
intregitas
kulit
Pola nafas
Kekurangan
tidak efektif
volume
cairan

Cecily L. Betz, 2009


8

E. Manifestasi Klinis
1. Gejala Non Spesifik (prodormal) Infeksi HIV
a. Demam
b. Gangguan pertumbuhan
c. Kehilangan berat badan (10% atau lebih)
d. Hepatomegali
e. Limfadenopati (diameter lebih dari 0,5 cm pada 2 tempat atau lebih)
f. Splenomegali
g. Parotis
h. Diare
2. Gejala Spesifik Infeksi HIV
a. Gangguan tumbuh kembang dan fungsi intelek
b. Gangguan pertumbuhan otak
c. Defisit motoris yang progresif yang ditandai oleh 2 atau lebih gejala
berikut, paresis, tonus otot abnormal, refleks patologis, ataksi atau
gangguan melangkah
d. Lymphoid interstitial pneumonitis (LIP)
e. Infeksi sekunder yang terdiri dari :
f. Keganasan sekunder seperti limfoma susunan saraf pusat primer, Hodgkin’s
B cell dan non Hodgkin’s lymphoma, sarkoma Kaposi (umumnya pada
orang dewasa)
g. Penyakit tertentu yang lain seperti kardiomiopati dengan gagal jantung atau
aritmia, beberapa kelainan hematologik (tersering anemia dan
trombositopenia), glomerulonefropati, kelainan kulit eksim, seborrhoe,
molluscum contagiosus yang berat dan berjalan lama. Perlu dikemukakan
bahwa sebelum timbul gejala, umumnya telah dapat dijumpai adanya
gangguan fungsi imun.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Mendeteksi antigen virus dengan PCR (Polimerase Chain Reaction)
2. Tes ELSA memberikan hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi
3. Hasil positif dikonfirmasi dengan pemeriksaan western blot
4. Serologis : skrining HIV dengan ELISA, tes western blot, limfosit T
5. Pemeriksaan darah rutin
6. Pemeriksaan neurologis
7. Tes fungsi paru, bronkoskopi

G. Penatalaksanaan
1. Tindakan suportif
Oleh karena infeksi HIV umumnya terjadi pada keluarga miskin, dan kurang
terdidik, sedang penyakitnya sulit disembuhkan, maka keluarga akan
9

menghadapi berbagai masalah emosional dan finansial, seperti misalnya rasa


bersalah, hilang kepercayaan diri, dikucilkan dan lain-lainnya. Dalam hal ini
diperlukan bantuan dari berbagai pihak untuk membangun pengertian serta
kewaspadaan keluarga dan masyarakat, kepercayaan diri orang tua dan
keluarganya, bantuan untuk perawatan serta pengobatan pasien, dan lain-lain.
2. Penanggulangan infeksi bakteri
Untuk infeksi bakteri ini diperlukan antibiotik yang sesuai. Untuk mencegah
resistensi, antibiotik digunakan sebaiknya dalam waktu pendek, yaitu segera
dihentikan apabila biakan darah negatif. Selanjutnya, perlu dilakukan berbagai
upaya pencegahan terjadinya infeksi bakteri ini.
Walaupun penelitian belum banyak dilakukan, dikatakan pemberian
immunoglobulin dapat menurunkan kemungkinan infeksi bakteri karena
pemberian immunoglobulin ini dapat menyebabkan meningkatnya limfosit-T
helper, respon proliferatif limfosit penurunan kompleks imun dan jumlah laktat
dihidrogenase dalam sirkulasi dan perbaikan immunoglobulin mempunyai
pengaruh immunomodulator di samping fungsi opsonisasi dan anti bakteri.
Pemberian immunoglobulin terutama dianjurkan apabila terdapat gangguan
fungsi sel B in-vitro atau terdapat infeksi yang berulang. Dosis nya masih
belum jelas. Beberapa rumah sakit menggunakan dosis 200-300mg/kgBB dua
kali seminggu.
Untuk mencegah penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan immunisasi perlu
dipertimbangkan beberapa faktor, seperti prevalens, morbilitas dan mortalitas
penyakit infeksi tersebut, kemampuan penyakit anak yang terinfeksi HIV untuk
membentuk antibodi, risiko pemberian vaksin virus hidup pada anak dengan
defisiensi imun dan juga adanya kemungkinan bahwa antigen yang diberikan
dapat meningkatkan replikasi HIV.
3. Pengobatan retro virus
Untuk infeksi HIV sendiri sedang dicoba berbagai obat yang bertujuan
menghambat replikasi virus dan mencegah kelainan sistem imun yang sudah
terpengaruh. Penelitian yang sampai sekarang banyak dilakukan adalah
terutama untuk menghambat enzim reverse transcriptase. Dari beberapa obat
yang dicoba, di antaranya adalah Ribavirin, suatu analog guanosin yang bekerja
post transkripsi, tampaknya tidak memberikan hasil yang memadai. Sesekali
masih ditemukan banyak efek samping sehubungan dengan dosis dan nama
10

pemberian obat ini, terutama pada pasien sel limfosit T helper, hemoglobin, dan
neutrofil yang menurun atau rendah. Di antara efek samping yang terjadi
misalnya adalah nyeri kepala, mual, myalgia, insomnia dan kelainan
neutropenia, pansitopenia yang parsisten, dan hipoplasi sumsum tulang. Efek
samping ini tampaknya meningkat apabila diberikan bersama obat yang
metabolismenya dilaksanakan oleh glokunoridase hati. Bila diberikan bersama
asetaminoven dapat meningkatkan kejadian supresi sumsum tulang belakang.
Pada pasien dengan vitamin B-12 yang rendah juga terlihat efek toksik
hematologik yang meningkat.
4. Pengaturan kembali sistem imun
Upaya pengembalian fungsi imun dengan obat anti retrovirus saja tidak
memadai. Oleh karena itu sedang dicoba berbagai upaya menambahkan obat-
obatan lain selain retrovirus, seperti bahan-bahan yang berasal dari timus,
granulosite macrophage colony-stimulating factor dan lain-lain, akan tetapi
masih belum berhasil.
5. Pengobatan lain
Untuk trombositopenia yang terjadi akibat reaksi imun pada infeksi HIV,
dicoba kortikosteroid, splenektomi dan immunoglobulin. Hasilnya masih tidak
tetap.
11

H. Penularan Masa Prenatal

HIV dapat ditularkan dari ibu ke bayinya dengan tiga cara yaitu di dalam
uterus (lewat plasenta), sewaktu persalinan dan melalui air susu ibu. Pada bayi
yang menyusui kira-kira separuhnya transmisi terjadi sewaktu sekitar persalinan,
sepertiganya melalui menyusui ibu dan sebagian kecil di dalam uterus. Bayi
terinfeksi yang tidak disusui ibunya, kira-kira dua pertiga dari transmisi terjadi
sewaktu atau dekat dengan persalinan dan sepertiganya di dalam uterus.

1. Kehamilan

Kehamilan bisa berbahaya bagi wanita dengan HIV atau AIDS selama
persalinan dan melahirkan. Ibu sering akan mengalami masalah-masalah
sebagai berikut :

a) Keguguran

b) Demam, infeksi dan kesehatan menurun.

c) Infeksi serius setelah melahirkan, yang sukar untuk di rawat dan mungkin
mengancam jiwa ibu.

2. Melahirkan

Setelah melahirkan cucilah alat genitalia 2 kali sehari dengan sabun dan air
bersih sehingga terlindungi dari infeksi.

3. Menyusui

Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%. Infeksi HIV


kadang-kadang ditularkan ke bayi melalui air susu ibu (ASI). Saat ini belum
diketahui dengan pasti frekuensi kejadian seperti ini atau mengapa hanya
terjadi pada beberapa bayi tertentu tetapi tidak pada bayi yang lain. Di ASI
terdapat lebih banyak virus HIV pada ibu-ibu yang baru saja terkena infeksi
dan ibu-ibu yang telah memperlihatkan tanda-tanda penyakit AIDS. Setelah 6
bulan, sewaktu bayi menjadi lebih kuat dan besar, bahaya diare dan infeksi
menjadi lebih baik. ASI dapat diganti dengan susu lain dan memberikan
12

makanan tambahan. Dengan cara ini bayi akan mendapat manfaat ASI dengan
resiko lebih kecil untuk terkena HIV.
13

BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Biodata Klien
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku dan kebangsaan, pendidikan,
pekerjaan, alamat, nomor RM, tanggal masuk Rumah Sakit, diagnosa medis.
2. Riwayat Kesehatan
a) Riwayat kesehatan dahulu
b) Ditanyakan dahulu pernah mengidap penyakit apa, berapa lama, dan pernah
dirawat di Rumah Sakit atau tidak.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Ditanyakan mengenai penyakit yang mungkin diderita oleh keluarga.
3. Keluhan Utama
Ditanyakan apa saja keluhan yang muncul pada ibu.
4. Data Psikologi
Kondisi ibu hamil dengan HIV / AIDS takut akan penularan pada bayi yang
dikandungnya. Bagi keluarga pasien cenderung untuk menjauh sehingga akan
menambah tekanan psikologis pasien.
5. Pemeriksaan Fisik
a) Breating
Kaji pernafasan bumil, apabila ibu telah terinfeksi sistem pernafasan maka
sepanjang jalr pernafasan akan mengalami gangguan. Misal RR meningkat,
kebersihan jalan nafas.
b) Blood
Pemeriksaan darah meliputi pemeriksaan virus HIV/AIDS. Penurunan sel T
limfosit; jumlah sel T4 helper; jumlah sel T8 dengan perbandingan 2:1
dengan sel T4; peningkatan nilai kuantitatif P24 (protein pembungkus HIV);
peningkatan kadar IgG, Ig M dan Ig A; reaksi rantai polymerase untuk
mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer
monoseluler; serta tes PHS (pembungkus hepatitis B dan antibodi,sifilis,
CMV mungkin positif).
c) Brain
Tingkat kesadaran bumil dengan HIV/AIDS terkadang mengalami penurunan
karena proses penyakit. Hal itu dapat disebabkan oleh gangguan imunitas
pada bumil.
d) Bowel
Keadaan sisitem pencernaan pada bumil akan mengalami gangguan.
14

Kebanyakan gangguan tersebut adalah diare yang lama. Hal itu disebabkan
oleh penurunan sistem imun yang berada di tubuh sehingga bakteri yang ada
di saluran pencernaan akan mengalami gangguan. Hal itu dapat menyebabkan
infeksi saluran pencernaan.
e) Bladder
Kaji tingkat urin klien apakah ada kondisi patologis seperti perubahan warna
urin, jumlah dan bau. Hal itu dapan mengidentifikasikan bahwa ada gangguan
pada sistem perkemihan. Biasanya saat imunitas menurun resiko infeksi pada
uretra klien.
f) Bone
Kaji respon klien, apakah mengalami kesulitan bergerak,reflek pergerakan.
pada ibu hamil kebutuhan akan kalsium meningkat,periksa apabila ada resiko
osteoporosis. Hal itu dapat memburuk dengan bumil HIV/AIDS.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a) ELISA : Enzyme-linked immunosorbent assay (uji awal yang umum) untuk
mendeteksi antibody terhadap antigen HIV(umumnya dipakai untuk skrining
HIV pada individu yang berusia lebih dari 2 tahun).
b) Western blot (uji konfirmasi yang umum) untuk mendeteksi adanya antibodi
terhadap beberapa protein spesifik HIV.
c) Kultur HIV untuk memastikan diagnosis pada bayi.
d) Reaksi rantai polimerase (Polymerase chain reaction)/PCR untuk mendeteksi
asam deoksiribonukleat (DNA) HIV (uji langsung ini bermanfaat untuk
mendiagnosis HIV pada bayi dan anak).
e) Uji antigen HIV untuk mendeteksi antigen HIV.
f) HIV, IgA, IgM untuk mendeteksi antibodi HIV yang diproduksi bayi (secara
eksperimental dipakai untuk mendiagnosis HIV pada bayi).
g) Temuan laboratorium yang terdapat pada bayi dan anak yang terinfeksi HIV :
- Penurunan jumlah limfosit CD4+ absolut
- Penurunan persentase CD4
- Penurunan rasio CD4 terhadap CD8
- Limfopenia
- Anemia, trombositopenia
- Hipergammaglobulinemia (IgG, IgA, IgM)
- Penurunan respons terhadap tes kulit (Candida albicans, tetanus)
- Respons buruk terhadap vaksin yang didapat (difteria, tetanus, morbili,
Haemophilus influenzae tipe B)

B. Diagnosa Keperawatan
1. Keterlambatan tumbuh kembang berhubungan dengan penurunan imun
15

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif


3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan dispneu
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan diare
5. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

C. Intervensi
1. Diagnosa I : Keterlambatan tumbuh kembang berhubungan dengan
penurunan imun
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien
menunjukan tanda pertumbuhan yang normal
Kriteria hasil:
a) Berat badan sesuai dengan umur dan tinggi badan
b) Turgor kulit baik
c) Tanda-tanda vital baik
Intervensi:
a) Lakukan pemeriksaan kesehatan dengan saksama (tanda-tanda vital dan
pemeriksaan fisik)
b) Tentukan makanan yang disukai klien
d) Pantu kecenderungan peningkatandan penurunan berat badan
e) Kaji keadekuatan asupan nutrisi
f) Demonstrasikan aktivitas yang meningkatkan perkembangan
2. Diagnosa II : Kurang volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan terjadi
keseimbangan cairan
Kriteria hasil :
a) Tekanan darah normal
b) Keseimbangan masukan dan haluaran selama 24 jam
c) Tidak ada distensi vena jugularis
d) Hidrasi kulit
e) Membran mukosa normal
f) Turgor kulit baik
Intervensi :
a) Timbang popok jika diperlukan
b) Pertahankan intake dan output
c) Monitor status hidrasi
16

d) Monitor vital sign


e) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
3. Diagnosa III : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan dispneu

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola nafas efektif

Kriteria hasil :

a) RR alam batas normal

b) Irama nafas normal

c) Ekspansi dada simetris

d) Tidak ada dispneu

e) Tidak ada traktil fremitus

f) Auskultasi bunyi nafas normal

Intervensi :

a) Monitor TD, nadi, suhu dan dan RR

b) Monitor frekuensi dan irama pernafasan

c) Bersihkan mulut, hidung, dan secret trakea

d) Pertahankan jalan nafas yang paten

e) Atur peralatan oksigenasi

f) Monitor aliran oksigen

g) Petahankan posisi pasien

4. Diagnosa IV : Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan diare

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kulit anak tetap


bersih, utuh dan bebas iritasi

Kriteria hasil :

a) Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperature


dan pigmentasi )

b) Tidak ada luka atau lesi pada kulit

c) Perfusi jaringan baik


17

d) Mampu melindungi kulit

e) Mampu mempertahankan kelembaban kulit

Intervensi :

a) Inspeksi permukaan kulit secara teratur untuk adanya tanda-tanda iritasi


kemerahan

b) Lindungi permukaan kulit yang bergesekan

c) Massage kulit dengan lembut menggunakan lotion di area yang iritasi

5. Diagnosa V : Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu tubuh normal

Kriteria hasil :

a) Suhu kulit dalam rentang yang diharapkan

b) Suhu tubuh dalam batas normal

c) Nadi dan pernapasan dalam rentang yang diharapkan

d) Perubahan warna kulit tidak ada

Intervensi :

a) Pantau suhu minimal setiap 2 jam, sesuai dengan kebutuhan

b) Pantau warna kulit dan suhu

c) Ajarkan keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan mengenali


secara dini hipertermia

d) Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi klien dengan hanya selembar
pakaian

e) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik

6. Diagnosa VI : Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan dapar berkurang

Kriteria hasil :

a) Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas


18

b) Mengidentifikasi dan mengungkapkan serta menunujukan teknik untuk


mengontrol cemas

c) Vital sign dalam mengontrol cemas

d) Postur tubuh, expresi wajah dan tingkat aktifitas menunjukan berkurangnya


kecemasan

Intervensi :

a) Gunakan pendekatan yang menangkan

b) Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur

c) Pahami persepsi pasien terhadap stress

d) Identifikasi tingkat kecemasan

e) Dorong untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan

D. Implementasi
Implementasi merupakan tahap proses keperawatan dimana perawat
memberikan intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung terhadap
klien. (Potter & Perry, 2009)

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memunginkan perawat

untuk menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil meningkatkan

kondisi klien. (Potter & Perry, 2009)


19

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyebabkan
penurunan kekebalan tubuh dan dapat menimbulkan sekumpulan gejala penyakit
yang disebut Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Salah satu faktor
risiko penularan terbanyak HIV/AIDS melalui penularan perinatal sebanyak 2,8%,
yang dapat menular selama kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan.

AIDS merupakan masalah kesehatan internasional yang perlu segera


ditanggulangi. AIDS berkembang secara pandemi hampir di setiap negara di dunia,
termasuk Indonesia. Sampai saat ini obat dan vaksin untuk menaggulangi AIDS
belum ditemukan. Untuk itu alternatif lain yang lebih mendekati adalah upaya
pencegahan.

Sampai saat ini belum ada pengobatan AIDS yang memuaskan. Pemberian
AZT (Zidovudine) dapat memperlambat kematian dan menurunkan frekuensi serta
beratnya infeksi opportunistik. Pengobatan infeksi HIV dan penyakit
opportunistiknya dalam kehamilan merupakan masalah, karena banyak obat belum
diketahui dampak buruknya terhadap kehamilan. Dengan demikian pencegahan
menajdi sangat penting perannya, yaitu hubungan seksual yang sehat, mengguankan
alat kontrasepsi dan mengadakan tes terhadap HIV sebelum kehamilan.
Dalam persalinan, seksio sesarea bukan merupakan indikasi untuk
menurunkan risiko infeksi pada bayi yang dilahirkan. Penularan kepada penolong
persalinan dapat terjadi dengan rate 0-1% per tahun exposure. Perawatan pasca
persalinan perlu memperhatikan kemungkinan penularan melalui pembalut wanita,
lokhia, luka episiotomi atau pun luka seksio sesarea.
20

Untuk mengelola bayi, sebaiknya dilakukan oleh seorang dokter anak yang
khusus menangani kasus ini. Perawatan ibu dan bayi tidak perlu dipisah. Harus
diusahakan agar bayi tidak dilaukan tindakan yang membuat perlukaan bila tidak
perlu betul, misalnya jangan lakukan sirkumsisi. Perawatan tali pusat harus
dijalankan dengan cermat. Imunisasi yang menggunakan virus hidup sebaiknya
ditunda sampai terbukti bahwa bayi tersebut tidak ada infeksi HIV. Antibodi
didapatkan pasif dari ibu akan dapat bertahan sampai 15 bulan.
Jadi, diperlukan pemeriksaan ulang berkala untuk menentukan adanya
perubahan ke arah negatif atau tidak. Infeksi bayi mungkin baru tampak pada usia
12-18 bulan. Infeksi virus HIV pada anak saat ini menjadi masalah kesehatan yang
sangat besar di dunia, dan berkembang dengan cepat serta sangat berbahaya.
Perjalanan alami, beratnya, dan frekuensi penyakit pada anak yang menderita AIDS
berbeda dengan anak yang mempunyai sistem imun normal. Kasus infeksi HIV pada
anak didapatkan melalui penularan dari ibu terinfeksi HIV ke anaknya, yang terjadi
pada saat kehamilan, melahirkan atau pada saat menyusui.

B. Saran
Semoga dengan adanya makalah mengenai HIV AIDS pada ibu hamil dapat
menambah pengetahuan bagi mahasiswa di Poltekkes Surakarta agar lebih
berwawasan luas dalam hal keperawatan maternitas.

Anda mungkin juga menyukai