Makalah Kelompok 2 Gagal Nafas
Makalah Kelompok 2 Gagal Nafas
GAGAL NAFAS
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan karunian-Nya kami dapat mengerjakan tugas kelompok makalah yang berjudul
“Makalah Keperawatan Kritis: Gagal Nafas” dengan penuh kemudahan. Tanpa
pertolongan-Nya mungkin kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Aamiin.
Penyusun
II
DAFTAR ISI
III
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal nafas adalah masalah yang relatif sering terjadi, yang biasanya,
meskipun tidak selalu merupakan tahap akhir dari penyakit kronik pada sistem
pernafasan. Keadaan ini semakin sering ditemukan sebagai komplikasi dari
trauma akut, septikemia atau syok.
Gagal nafas, seperti halnya kegagalan pada sistem organ lainnya, dapat
dikenali berdasarkan gambaran klinis atau hasil pemeriksaan laboratorium.
Tetapi harus diingat bahwa pada gagal nafas, hubungan antara gambaran klinis
dengan kelainan dari hasil pemeriksaan laboratorium pada kisaran normal
adalah tidak langsung.
Gagal nafas terjadi apabila paru tidak lagi dapat memenuhi fungsi
primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteria dan
pembuangan karbondioksida. Ada beberapa tingkatan dari gagal nafas, dan
dapat terjadi secara akut (mungkin remiten) atau secara kronik. Insufisiensi
pernafasan kronik atau gagal nafas kronik menyatakan gangguan fungsional
jangka panjang yang menetap selama beberapa hari atau bulan, dan
mencerminkan adanya proses patologik yang mengarah pada kegagalan dan
proses kompensasi untuk menstabilkan keadaan. Gas-gas darah dapat sedikit
abnormal atau dalam batas normal pada saat istirahat, tetapi gas-gas darah
dapat jauh dari batas-batas normal bila dalam keadaan kebutuhan meningkat
seperti saat berlatih. Peningkatan kerja pernafasan (dan dengan demikian
mengurangi cadangan pernafasan) dan pengurangan aktivitas fisik adalah dua
mekanisme utama untuk mengatasi insufisiensi pernafasan kronik.
Maka dari itu, kelompok kami tertarik untuk membahas lebih lanjut
mengenai gangguan sistem respirasi: gagal nafas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gagal nafas?
2. Bagaimana pathogenesis dan etiologi dari gagal nafas?
3. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem respirasi?
1
4. Bagaimana patofisiologi dari gagal nafas?
5. Bagaimana mekanisme hipoksemia dan hiperkapnea?
6. Bagaimana prognosis penyakit gagal nafas?
7. Apa saja manifestasi klinis dari gagal nafas?
8. Apa saja tanda dan gejala khusus dari gagal nafas?
9. Bagaimana diagnosis dari gagal nafas?
10. Bagaimana interpretasi hasil tes dari gagal nafas?
11. Bagaimana penanganan gagal nafas?
12. Bagaimana penatalaksanaan gagal nafas?
13. Bagaimana pengkajian dari pasien dengan gagal nafas?
14. Bagaimana pemeriksaan fungsi respirasi dari pasien dengan gagal nafas?
15. Apa saja diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan gagal
nafas?
16. Apa saja intervensi keperawatan yang muncul pada pasien dengan gagal
nafas?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari gagal nafas.
2. Untuk mengetahui pathogenesis dan etiologi dari gagal nafas.
3. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi sistem respirasi.
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari gagal nafas.
5. Untuk mengetahui mekanisme hipoksemia dan hiperkapnea.
6. Untuk mengetahui prognosis penyakit gagal nafas.
7. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari gagal nafas.
8. Untuk mengetahui tanda dan gejala khusus dari gagal nafas.
9. Untuk mengetahui diagnosis dari gagal nafas.
10. Untuk mengetahui interpretasi hasil tes dari gagal nafas.
11. Untuk mengetahui penanganan gagal nafas.
12. Untuk mengetahui penatalaksanaan gagal nafas.
13. Untuk mengetahui pengkajian dari pasien dengan gagal nafas.
14. Untuk mengetahui pemeriksaan fungsi respirasi dari pasien dengan gagal
nafas.
2
15. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien
dengan gagal nafas.
16. Untuk mengetahui intervensi keperawatan yang muncul pada pasien
dengan gagal nafas.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
karbondioksida tinggi (hiperkarbia). Hipoksia menyebabkan sedikitnya darah
beroksigen yang melintas ke sisi kiri jantung (sunting). Kondisi ini merupakan
penyebab utama kegagalan organ dan kematian pada area perawatan kritis.
ARF dapat disebabkan oleh kondisi paru dan kondisi non paru.
Kondisi paru yang menyebabkan ARF meliputi:
Pneumonia, tumor paru, edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik,
penyakit paru obstruktif kronis, dan obstruksi saluran pernafasan.
Kondisi non paru yang menyebabkan ARF meliputi:
Pneumothoraks, efusi pleuara, gangguan neuromuskular (myastenia
gravis, poliomyelitis), masalah perifer dan masalah spinal (tetanus, trauma),
dan masalah-masalah sistem saraf pusat (trauma kepala dan overdosis obat)
Keberhasilan pengobatan gagal napas akut tidak hanya bergantung pada
deteksi keadaan ini sejak dini, tetapi juga dari pemahaman akan mekanisme
penyebabnya. Deteksi dini mungkin sulit jika awitan timbul perlahan-lahan
karena tanda dan gejala klinis tidak khas. Meskipun hipoksia jaringan tidak
dapat dinilai secara langsung, tetapi pemeriksaan ABG (salah satu langkah dari
proses panjang untuk menentukan oksigenasi jaringan) dapat membantu
menarik kesimpulan mengenai oksigenasi jaringan yang tidak memadai dan
mekanisme yang terganggu. Pengetahuan tentang mekanisme yang terganggu
ini akan memberikan pengertian mengenai patofisiologi penyakit paru pada
seorang psien, yang pada akhirnya akan menuntun kepada pengobatan yang
tepat.
Langkah pertama yang penting untuk mengenali bakal terjadinya gagal
napas adalah kewaspadaan terhadap keadaan dan situasi yang dapat
menimbulkan gagal napas. Ada beberapa hal memuat beberapa gangguan paru
yang sering menyebabkan gagal napas, diklasifikasikan dalam golongan
ekstrinsik dan intrinsic. Kebanyakan dari gangguan ini telah dibahas dalam
bab-bab sebelumnya. Kelainan paru ektrinsik (pada paru yang normal atau
hamper normal) dapat menyebabkan gagal napas ventilasi, atau hiperkapnia,
melalui (1) penekanan dorongan pernapasan sentral atau (2) gangguan pada
respons ventilasi. Narkotik dalam dosis berlebih merupakan salah satu sebab
tersering penekanan pusat pernapasan sehingga mengakibatkan kegagalan
5
ventilasi. Gangguan pada respons ventilasi terjadi jika ada penyakit atau cidera
pada jalur saraf atau otot-otot pernapasan atau disfungsi mekanis pada pompa
toraks akibat cedera, nyeri, atau deformitas. Beberapa penyebab yang mungkin
dari menurunnya respons ventilasi dimasukkan pada gangguan neuromaskular,
pleura, dan dinding dada.
Meskipun gangguan diluar paru, atau ekstrinsik, merupakan sebab penting
gagal napas, namun, gangguan paru intrinsic lebih penting. Obstruksi saluran
napas kronik mengakibatkan kegagalan ventilasi dengan COPD yang
merupakan penyebab tersering. Gangguan restriktif difus pada parenkim paru
dan pembuluh darah umumnya mengakibatkan gagal napas hipoksemia yang
ringan; namun, kelainan paru intrinsik akut seperti edema paru massif,
atelectasis, pneumonia dengan konsolidasi yang luas, dan sindrom gawat napas
akut (dewasa) (ARDS) dapat mengakibatkan hipoksemia yang berat. Cukup
banyak pasien dirawat di perawatan intensif pernapasan akibat ARDS dengan
tingkat mortalitasnya yang tinggi. Dalam bab ini ARDS dibahas secara terpisah
dari penyebab lain gagal napas.
Akhirnya, penting untuk mengetahui sejumlah factor pencetus yang
mengakibatkan gagal napas akut pada pasien dengan oenyakit paru kronik
(kotak 41-2). Sekresi yang tertahan, infeksi, dan bronkospasme merupakan
factor pencetus yang paling sering pada pasien dengan COPD yang
menyebabkan keadaan akut pada gagal napas kronik. Faktor-faktor introgenik
yang tidak benar atau pemberian oksigen fraksi inspirasi (FIO2) yang tinggi.
Kor pulmonale, emboli paru terutama pada pasien dengan polisitemia), dan
pneumothoraks akibab bleb emfisematosa merupakan penyebab yan tidak
begitu sering dari gagal napas. Beberapa factor pencetus tidak dapat
dihilangkan, tetapi kebanyakan dapat, kenyataan ini memberikan implikasi
yang penting dalam penyuluhan kepada pasien dan penanganan penyakit paru
kronik.
.
6
C. Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi
1. Konsep Dasar
a. Pengertian Respirasi
Pengertian pernafasan atau respirasi adalah suatu proses mulai dari
pengambilan oksigen, pengeluaran karbohidrat hingga penggunaan
energi di dalam tubuh. Manusia bernafas menghirup oksigen dalam
udara bebas dan membuang karbondioksida ke lingkungan.
1) Respirasi/Pernafasan Dada
a) Otot antar tulang rusuk luar berkontraksi atau mengerut.
b) Tulang rusuk terangkat ke atas.
c) Rongga dada membesar yang mengakibatkan tekanan udara
dalam dada kecil sehingga udara masuk ke dalam badan.
7
2) Respirasi/ Pernapasan Perut
a) Otot diafragma pada perut mengalami kontraksi
b) Diafragma datar.
c) Volume rongga dada menjadi besar yang mengakibatkan
tekanan udara pada dada mengecil sehingga udara masuk ke
paru-paru.
8
Tujuan proses pernafasan yaitu untuk memperoleh energi. Pada
peristiwa bernafas terjadi pelepasan energi.
1) Hidung
2) Faring
3) Trakea
4) Bronkus
5) Bronkiolus
6) Paru-paru
9
2) Faring (Tenggorokan)
10
pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi
menyaring benda-benda asing yang masuk ke saluran pernafasan.
11
katup membuka. Pada pangkal tenggorok terdapat selaput suara
yang akan bergetar bila ada udara dari paru-paru, misalnya pada
waktu kita bicara.
12
sebalah kanan (bronkus primer) bercanag menjadi tiga bronkus
lobaris (bronkus sekunder), sedangkan bronkus sebelah kiri
bercabang menjadi dua bronkiolus. Cabang-cabang yang paling
kecil masuk ke dalam gelembung paru-paru atau alveolus. Dinding
alveolus mengandung kapiler darah, melalui kapiler-kapiler darah
dalam alveolus inilah oksigen dan udara berdifusi ke dalam darah.
Fungsi utama bronkus adalah menyediakan jalan bagi udara yang
masuk dan keluar paru-paru.
6) Paru-Paru (Pulmo)
13
kemudian menjadi duktus alveolaris. Pada dinding duktus alveolaris
mengandung gelembung-gelembung yang disebut alveolus.
a) Kapasitas Paru-Paru
Udara yang keluar masuk paru-paru pada waktu melakukan
pernafasan biasa disebut udara pernafasan (udara tidal). Volume
udara pernafasan pada orang dewasa lebih kurang 500 ml.
Volume udara tidal orang dewasa pada pernafasan biasa kira-
kira 500 ml. Ketika menarik nafas dalam-dalam maka volume
udara yang dapat kita tarik mencapai 1500 ml. Udara ini
dinamakan udara komplementer. Ketika kita menarik nafas
sekuat-kuatnya, volume udara yang dapat dihembuskan juga
sekita 1500 ml. Udara ini dinamakan udara suplementer.
Meskipun telah mengeluarkan nafas sekuat-kuatnya, tetapi
masih ada sisa udara dalam paru-paru yang volumenya kira-kira
1500 ml. Udara sisa ini dinamakan udara residu. Jadi, kapasitas
paru-paru total = kapasitas vital + volume residu = 4500
ml/wanita dan 5500 ml/pria.
14
menembus dinding sel alveolus. Akhirnya masuk ke dalam
pembuluh darah dan diikat oleh hemoglobin yang terdapat dalam
darah menjadi oksihemoglobin. Selanjutnya diedarkan oleh
darah ke seluruh tubuh.
Oksigennya dilepaskan ke dalam sel-sel tubuh sehingga
oksihemoglobin kembali menjadi hemoglobin. Karbondioksida
yang dihasilkan dari pernafasan diangkut oleh darah melalui
pembuluh darah yang akhirnya sampai pada alveolus. Dari
alveolus karbondioksida dikeluarkan melalui saluran pernafasan
pada waktu kita mengeluarkan nafas. Dengan demikian dalam
alveolus terjadi pertukaran gas yaitu oksigen masuk dan
karbondioksida keluar.
15
membesar (ekshalasi). (2) pernafasan perut terjadi karena
kontraksi/relaksasi otot diafragma (datar dan melengkung), volume
rongga dada membesar, paru-paru mengembang tekanan mengecil
(inhalasi). Melengkung volume rongga dada mengecil, paru-paru
mengecil, tekanan besar/ekshalasi.
Ventilasi
Perfusi
Kapiler paru membentuk jaringan yang rapat di dinding alveoli.
Hubungan erat antara alveoli dan dinding. Kapiler menyebabkan ketepat
gunaan pertukaran gas. Pembuluh darah paru merupakan system dengan
tekanan rendah-volume besar. Terdapat kira-kira 6 miliyard kapiler
dalam paru manusia, dan hanya 25% dari kapiler iniy yang di pefusi
pada waktu istirahat. Sirkulasi paru mempunyai kapasitas menampung
kenaikan 2-3 kali curah janung dengan seikit perubahan tekanan arteri
pulmonalis.
Pada waktu kerja fisis, untung menampung peningkatan curah
jantung, terjadi dilatasi pembuluh darah dan kapiler yang tidak diperfusi
16
menjadi diperfusi. Hal ini menunjukkan besarnya kapasitas cadangan
pembuluh darah paru. Pada waktu terdapat peningkatan aliran darah
paru, resistensi vascular paru menurun. Tekanan hidrostatik
intravascular dipengaruhi gaya berat sebab itu pada posisi berdiri
tekanan arteri paru lebih besar pada dasar paru dari pada puncak paru,
dan perfusi paru lebih besarpada dasar paru dari pada puncak paru.
Dinding kapiler paru amat tipis dan luwes (compliant) juga amat
peka terhadap tekanan alveoli.
Distribusi aliran darah di paru-paru:
PA>Pa>PV = tekanan alveoli melebihi tekanan arteri pulmonalis,
melebihi tekanan vena. Aliran darah pada zona 1 sedikit/tidak ada (zona
1)
Pa>PA>PV = tekanan arteri pulmonalis tekanan alveoli, melebihi
tekanan vena, mengakibatkan kenaikn perfusi. Sebab itu pembuluh
darah terbuka dan perfusi naik seimbang dengan kenaikan tekanan
hidrostatik. (Zona 2)
Pa>PV>PA = tekanan arteri paru melebihi tekanan vena, melebihi
tekanan alveoli.ini mengakibatkan alveoli.ini mengakibatkan perfusi
paing besar di dasar paru. (Zona 3)
Pada orang normal diposisi berdiri zone 1 tidak terjadi sebab tekanan
arteri pulmonalis cukup untuk perfusi ke puncak paru, hanya perfusi
dipuncak paru lebih kecil dari pada di dasar paru. Pada keadaan dimana
tekanan hidrostatik menurun sebab renjatan atau perdarahan, tekanan
arteri lebih kecil dari tekanan alveoli atau terdapat kenaikan tekanan
alveoli seperti pada pernafasan dengan tekanan positif (positive
pressure breathing), PEEP dan perlambatan ekspirasi dapat
terjadikeadaan seperti zone 1
17
(salaruan pernafasan yang tidak ikut dalam pertukaran gas) sekarang
diperluas dengan ruang rugi alveoli. Ruang rugi alveoli adalahvolume
gas yang di inspirasi, yang memasuki alveoli tetapi tidak ikut dalam
pertukaran gas sebab ketidak seimbanganVa/Q local. Pada keadaa ini
V/Q adalah tidak terhingga.perluasan ruang rugialveoli menyebabkan
aliran udara segar yang mencapai alveoli menurun, PO2 alveoli akan
menurun PCO2 arteri. Keadaan ini sering dikompensasi dengan
hiverpentilasi walaupun hipoksemia seringg menetap. Contoh adalah
emboli paru, emfisema dan vaskulitis.
18
Difusi
Difusi adalah proses dimana gas dihantar melewati membrane
alveoli-kapiler, plasma membran sel darah merah dan di ikat oleh
hemoglobin dalam sel darah merah. Proses difusi meliputi 2 komponen
yaitu kapasitas difusi membrane dan komponen sel darah merah serta
hemoglobin. Proses ini mempunyai 2 tahap yaitu tahan gas dan tahap
cairan. Daya larut gas dalam cairan merupakan factor penting. Karbon
dioksida lebih larut dari pada O2 dan berdifusi 20 kali lebih cepat dari
O2. Sebelumnya molekul O2 terikat dengan hemoglobin, ia harus
melewati surfaktan yang melapisi alveoli, eoitel alveoli, membrane
basalis, endotel kapiler, plasma dalam kepiler, memban sel darah
merah.kecepatan difusi gas tekanan gas dialveoli dan darah kapiler paru.
Setelah mencapai plasma darah kapiler, O2 harus masukke dalam sel
darah merah dan terikat dengan hemoglobin. Waktu yang dibutuhkan
untuk 1 ikatan O2 dengan hemoglobin di tentukan dengan volume darah
dalam jaringan kapiler paru dan jumblah O2 yang diambil oleh 1 cc
darah/mm Hg tekanan. Pada keadaan normal, jarak dekat untuk difusi
adalah O2 u, sebab cairan edema, ataupun cairan fibrosis. Luas difusi
tergantung pada jumblah alveoli yang berfungsi dan kehilangan luas
difusi terjadi pada emifesema,fibrothoraks dan reaksi paru. Anemia
akan menurunkan kapasitas difusi sebab jumblah sel darah merah yang
akan mengikat gas yang berdifusi berkurang.
Pengaturan ventilasi
Pengaturan ventilasi untuk mempertahankan PO2 dan PCO2 dalam
batas normal adalah rumit. Gerakan pernafasan yang berjalan dengan
sendirirnya dan tidak disadari, terganung terutama pada pusat
pernafasan di medula oblongata dan dapat di ubah oleh aktivitas pontin
dan korteks, reseptor kimia diaorta, dan badan karotis serta melalui
vagus terhadap dinding dada dan paru-paru. Permeabelitas sekat darah
otak dan membrane sel berbeda untuk tiap zat. Karbon dioksida
19
berdifusi dari darah ke sel medulla jauh lebih cepat dari ke yang lain.
Hal ini pentig dalam proses terjadinya hiperventilasi. Korbon dioksida
akan bereaksi dengan H2O Melepaskan ion H. perubahan ion H dalam
cairan serebrospinal dan cairan medulla akan mengubah ion H dalam
sel, menyebabkan kenaikan volume tidal dan kemudian kecepatan
pernafasan. Kalau kesamaan cairan serebrospinal berlangsung lama,
seperti pada asedosis respirasi sebab penyakit obstruksi menahun,
terjadi kompensasi dimana bikarbonat cairan serebrospinal naik dan pH
akan naik lagi. Sebab itu kenaikan CO2 pada penyakit paru obstruksi
menahun mempunyai reaksi hiperventilasi yang kurang terhadap
kenaikan CO2 padapenyakit paru obstruksi menahun mempunyai reaksi
hiperventilasi yang kurang terhadap kenaikan CO2 dan tergantung dari
rangsangan hipoksia. Pemberian oksigen dalam jumblah yang banyak
untuk memperbaiki hipoksemia untuk menghilangkan rangsangan
pernafasan, menyebabkan hipoventilasi sekunder, sehingga PCO2
kemudian akan naik lagi.
F=P/R
Tekanan
20
akhirnya inspirasi,rongga thoraks relaksasi,menyebabkan tekanan
didalam alveolus, yang terisi udara inspirasi,memiliki tekanan yang lebih
tinggi dari pada atmosfir. Udara kemudian mengalir keluar paru sesuai
penurunan gradien tekanan.
Resistensi Bronkus
21
ekspirasi yang melepaskan muatan pada waktu yang berbeda dalam suatu
pola kecepatan dan irama yang telah di tentukan. Neuron respirasi
menjalankan ventilasi dengan menstemulasi neuron motoric yang
mempersarafi otot-otot utama pernafasan. (diafragma) dan otot
aksesorius (otot interkosta).
Kemoreseptor Pusat
Kemoreseptor perifer
22
karena dalam kondisi tertentu ion hidrogen bebas meningkatkan
perubahan konsentrasi karbon diokisa.
23
udara dalam paru-paru tertekan di rongga dada, dan aliran udara
terdorong ke luar tubuh, proses ini diesbut ekspirasi.
2) Pernafasan perut
Pada pernafasan ini otot yang berperan aktif adalah otot
diafragma dan otot dinding rongga perut. Bila otot diafragma
berkontraksi, posisi diafragma akan mendatar. Hal itu menyebabkan
volume rongga dada bertambah besar sehingga tekanan udara
semakin kecil. Penurunan tekanan udara menyebabkan
mengembangnya paru-paru, sehingga udara mengalir masuk ke
paru-paru (inspirasi).
Pernafasan adalah suatu proses yang terjadi secara otomatis
walau dalam keadaan tertidur sekalipun karena sistem pernafasan
dipengaruhi oleh susunan saraf otonom.
Menurut tempat terjadinya pertukaran gas maka pernafasan
dapat dibedakaban menjadi 2 jenis, yaitu pernafasan luar dan
pernafasan dalam.
Pernafasan luar adalah pertukaran udara yang terjadi antara
udara dalam alveolus dengan darah dalam kapiler, sedangkan
pernafasan dalam adalah pernafasan yang terjadi antara darah dalam
kapiler dengan sel-sel tubuh.
Masuk keluarnya udara dalam paru-paru dipengaruhi oleh
perbedaan tekana udara dalam rongga dada dengan tekanan udara di
luar tubuh. Jika tekana di luar rongga dada lebih besar makan udara
24
akan masuk. Sebaliknya, apabila tekanan dalam rongga dada lebih
besar makan udara akan keluar.
Sehubungan dengan organ yang terkibat dalam pemasukan
udara (inspirasi) dan pengeluran udara (ekspirasi) maka mekanisme
pernafasan dibedakan atas dua macam, yaitu pernafasan dada dan
pernafasan perut. Pernafasan dada dan perut terjadi secara
bersamaan.
25
2) Inspiratori Reserve Volume (IRV) adalah volume cadangan inspirasi
atau volume udara ektra yang bisa diisap secara maksimal setelah
fase inspirasi biasa, volume IRV untuk laki-laki + 3,3 liter,
sedangkan wanita +1,9 liter.
3) Ekspiratori Reserve Volume (ERV) adalah volume cadangan
ekspirasi atau volume udara ekstra yang bisa dikeluarkan dengan
ekspirasi maksimal, setelah akhir ekspirasi biasa. Volume ERV
untuk laki-laki +1 liter, dan wanita + 0,7 liter.
4) Residual Volume (RV) adalah jumlah volume udara yang masih
tersisa di paru, setelah ekspirasi maksimal dan setelah inspirasi
maksimal, residual rata-rata adalah 1200 cc.
5) Kapasitas Vital / Vital Capacity (VC) adalah kapasitas paru dalam
menampung volume udara setelah inspirasi maksimal dan volume
cadangan ekspirasi maksimal (VT+IRV+ERV) +4600 cc.
6) Kapasitas paru total adalah kapasitas paru menampung udara dengan
inspirasi dan ekspirasi maksimal serta volume residu yang tertinggal
di paru (VC+RV) + 5800cc).
7) Kapasitas residu fungsional adalah jumlah udara yang masih
tertinggal di paru ekspirasi biasa (RV+ERV) + 2300 cc.
8) Kapasitas inspirasi adalah volume udara yang dapat diinspirasi
setelah akhir ekspirasi biasa (VT+IRV) + 3500cc.
26
1) Dengan demikian, udara yang digunakan dalam proses pernafasan
memiliki volume antara 500 cc hingga sekitar 3500 cc.
2) Dari 500 cc udara inspirasi/ekspirasi biasa, hanya sekitar 350 cc
udara yang mencapai alveolus, sedangkan sisanya mengisi saluran
pernafasan.
3) Volume udara pernafasan dapat diukur dengan suatu alat yang
disebut spirometer.
4) Besarnya volume udara pernafasan tersebut dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain ukuran alat pernafasan, kemampuan dan
kebiasaan bernafas, serta kondisi kesehatan.
27
cara yaitu: (1) karbondioksida larut dalam plasma dan membentuk asam
karbonat dengan enzim anhydrase. (2) karbondioksida terikat pada
hemoglobin dalam bentuk karbomino hemoglobin (3) karbondioksida
terikat dalam gugus ion bikarbonat (HCO2) melalui proses berantai
pertukaran klorida.
28
Secara sederhana, pengikatan oksigen oleh hemoglobin dapat
diperlihatkan menurut persamaan reaksi bolak-balik berikut ini:
Hb4 + O2 4 Hb O2 oksihemoglobin) berwarna jernih
Reaksi yang dipengarihi oleh kadar O2, kadar CO2, tekanan O2
(PO2), perbedaan kadar O2 dalam jaringa, kadar O2 di udara. Proses
difusi oksigen ke dalam arteri demikian juga difusi CO2 dari arteri
dipengaruhi oleh tekanan O2 dalam udara inspirasi.
Tekanan seluruh udara lingkungan sekitar 1 atmosfir atau 760
mmHg, sedangkan tekanan O2 di lingkungan sekitar 160 mmHg.
Tekanan oksigen di lingkunagn lebih tinggi dari pada tekanan oksigen
dalam alveolus paru-paru dan arteri yang hanya 104 mmHg. Oleh karena
itu oksigen dapat masuk ke paru-paru secara difusi.
Dari paru-paru, O2 akan mengalir lewat vena pulmonalis yang
tekanan O2 nya 104 mm; menuju ke jantung. Dari jantung O2 mengalir
lewat arteri sistemik yang tekanan O2 nya 104 mmHg menuju ke
jaringan tubuh yang tekanan O2 nya 0-40 mmHg. Di jaringan, O2 akan
dipergunakan. Dari jaringan CO2 akan mengalir lewat vena sistemik ke
jantung. Tekanan CO2 di jaringan di atas 45 mmHg, lebih tinggi
dibandingkan vena sistemik yang hanya 45 mmHg. Dari jantung, CO2
mengalir lewat arteri pulmonalis yang tekanan O2 nya sama yaitu 45
mmHg. Dari arteri pulmonalis CO2 masuk ke paru-paru lalu dilepsakan
ke udara bebas.
Beberapa minimal darah yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan oksigen pada jaringan? Setiap 100 mm3 darah dengan
29
tekanan oksigen 100 mmHg dapat mengangkut 19 cc oksigen. Bila
tekanan oksigen hanya 40 mmHg makan hanya ada sekitar 12 cc oksigen
yang bertahan dalam darah vena. Dengan demikian kemampuan
hemoglobin untuk mengikat oksigen adalah 7 cc per 100 mm3 darah.
Pengangkutan sekitar 200 mm3 CO2 keluar tubuh umumnya
berlangsung menurut reaksi kimia berikut:
1) O2 +H2O Þ (karbonat anhidrase) H2CO3
Tiap liter darah hanya dapat melarutkan 4,3 cc CO2 sehingga
mempengaruhi pH darah menjadi 4,5 karena terbentuknya asam
karbonat.
Pengangkutan CO2 oleh darah dapat dilaksanakan melalui 3 cara
yakni sebagai berikut.
Karbondioksida larut dalam plasma, dan membentuk asam karbonat
dengan enzim anhidrase (7% dari seluruh C).
2) Karbondioksida terikat pada hemoglobin dalam bentuk karbomino
hemoglobin (23% dari seluruh CO2).
3) Karbondioksida terikat dalam gugus ion bikarbonat (HCO3)
melalui proses berantai pertukaran klorida (70% dari seluruh CO2).
Reaksinya adalah sebagai berikut.
CO2 + H2O Þ H2CO3 Þ H+ + HCO-3
Gangguan terhadap pengangkutan CO2 dapat mengakibatkan
munculnya gejala asidosis karena turunnya kadar basa dalam darah.
Hal tersebut dapat dosebabkan karena keadaan Pneumonia.
Sebaliknya apabila terjadi akumulasi garam basa dalam darah maka
muncul geaja alkalosis.
30
Gula (glukosa) dari pemecahan karbohidrat dalam tubuh diubah terlebih
dahulu menjadi senyawa fosfat yang dikatalisis oleh bantuan enzim
glukokinase. Selanjutnya senyawa fosfat diubah menjadi asam piruvat
dan akhirnya dibebaskan dalam bentuk H2O dan CO2 sebagai hasil
samping oksidasi tersebut. Proses respirasi sel dari bahan glukosa secara
garis besar, meliputi tiga tahapan, yaitu proses glikosis, siklus Krebs,
dan tranfer elektron.
Pada pekerja berat atau para atlit yang beraktivitas tinggi,
pembentukan energi dapat dilakukan secara anaerobic. Hal ini
disebabakan bila tubuh kekurangan suplai oksigen makan akan terjadi
proses perombakan asam piruvat menjadi asam laktat yang akan
membentuk 2 mol ATP.
j. Frekuensi Pernafasan
Jumlah udara yang keluar masuk ke paru-paru setiap kali bernafas
disebut sebagai frekuensi pernafasan. Pada umumnya, frekuensi
pernafasan manusia setiap menitnya sebanyak 15-18 kali. Cepat atau
lambatnya frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya:
1) Usia. Semakin bertambahnya usia seseorang makan akan semakin
rendah frekuensi parnafasannya. Hal ini berhubungan dengan
energi yang dibutuhkan.
2) Jenis Kelamin. Pada umumnya pria memiliki frekuensi pernafasan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Kebutuhan akan
oksigen serta produksi karbondioksida pada pria lebih tinggi
dibandingkan wanita.
3) Suhu tubuh. Semakin tinggi suhu tubuh seseorang makan akan
semakin cepat frekuensi pernafasannya, hal ini berhubungan
dengan peningkatan proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh.
4) Posisi atau kedudukan tubuh. Frekuensi pernafasan ketika sedang
duduk akan berbeda dibandingkan dengan ketika sedang
31
berjongkok atau berdiri. Hal ini berhubungan erat dengan energi
yang dibutuhkan oleh organ tubuh sebagai tumpuan berat tubuh.
5) Aktivitas. Seseorang yang aktivitas fisiknya tinggi seperti
olahragawan akan membutuhkan lebih banyak energi daripada
orang yang diam atau santai, oleh karena itu, frekuensi pernafasan
orang tersebut juga lebih tinggi. Gerakan dan frekuensi pernafasan
diatur oleh pusat pernafasan yang terdapat di otak. Selain itu,
frekuensi pernafasan distimulus oleh konsentrasi karbondioksida
(CO2) dalam darah.
E. Patofisiologi
Proses pernafasan dibagi menjadi empat proses yaitu ventilasi, difusi, aliran
darah dan kontrol pernafasan, yang masing-masing berfungsi mempertahankan
32
nilai normal PO2 dan PCO2 dalam darah arteri. Kelainan salah satu proses yang
cukup berat menyebabkan gagal pernafasan.
Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan tidak
mendapatkan oksigen selama perjalanan di pembuluh darah paru, maka darah
yang keluar di arter akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial
oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. PO2, darah vena sistemik
(PVO2) menentukan batas bawah PO2, arteri Bila semua darah vena yang
bersaturasi rendah melalu sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan
gas di rongga alveolar, maka PO2, = PAO2, Maka PO2, alveolam (PAO2)
33
menentukan batas atas PO2, arteri. Semua nilai PO2 berada diantara PVO2,
dan PAO2.
34
penekanan pusat pernapasan karena penggunaan narkotik yang overdosis, atau
jika ada peningkatan kerja pernapasan yang tidak proporsional atau
metabolisme tubuh total (meningkatkan produksi CO2) pada VA tertentu,
seperti pada obesitas atau deformitas dada.
Hipoksemia yang berkaitan dengan hipoventilasi murni umumnya ringan
(PaO2=50 sampai 80 mmHg) dan langsung disebabkan oleh peningkatan PCO2
alveolar (PaCO2). Kejadian ini dapat dijelaskan dengan mengingat bahwa
tekanan parsial alveolar atau gas-gas darah pada seluruh arteri harus
ditambahkan pada tekanan total (atmosfir). Dengan demikian bila PaCO2
meningkat, PaO2 harus menurun, dan sebaliknya pada tekanan atmosfer total
yang konstan.
Hubungan antara peningkatanya tegangan karbon dioksida (PCO2) dan
menurunnya tegangan oksigen (PO2) yang terjadi pada keadaan hipoventilasi
dapat diprediksikan dengan persamaan gas alveolar bila diketahui komposisi
FIO2 dan rasio pertukaran pernapasan (R atau RQ), seperti di bawah ini:
𝑃𝑎𝐶𝑂2
𝑃𝐴𝑂2 = 𝐹𝐼𝑂2 (𝑃𝐵 − 𝑃𝐻2 𝑂) −
𝑅
PaO2 adalah tekanan parsial O2 dalam alveolus FIO2 adalah fraksi O2 yang
diinspirasi (0,21 ketika bernapas) PB adalah tekanan barometric (760 mmHg
pada permukaan laut), PH2O adalah tekanan parsial uap air dalam trakea (47
mmHg pada suhu tubuh normal), dan PaCO2 adalah tekanan parsial CO2 dalam
darah arteri dan mengambil bagian yang sama dalam alveolus. R atau RQ
ditentukan oleh metabolism tubuh dan sama dengan volume produksi CO2
dibagi dengan volume O2 yang dikonsumsi (VCO2/VO2). Nilai R adalah 0,7
jika lemak murni terbakar, 1,0 jika karbohidrat terbakar, dan kira-kira 0,8 pada
makanan campuran. Ketika seorang yang sehat bernapasan dalam udara
ruangan dengan PaCO2 normal sebesar 40 mmHg dan nilai R yang diambil =
0,8:
40
𝑃𝐴𝑂2 = 0,21 (760 − 47) −
0,8
𝑃𝐴𝑂2 = 𝑃𝐴𝑂2 = 100 𝑚𝑚𝐻𝑔
35
Jika seorang hipoventilasi bernapas dalam udara ruangan dan PaCO2 normal
meningkat dari 40 mmHg menjadi 70 mmHg, PAO2 dan PaO2 seharusnya turun
dari 100 mmHg ke sekitar 62 mmHg:
70
𝑃𝐴𝑂2 = 0,21 (760 − 47) −
0,8
𝑃𝐴𝑂2 = 𝑃𝐴𝑂2 = 62,23 𝑚𝑚𝐻𝑔
36
ventilasinya (V/Q tinggi) mengakibatkan PaO2 yang tinggi dan PaCO2 rendah
dalam darah yang mengalir dari alveoli. Perlu diingat bahwa paru yang sehat
juga mengalami beberapa ketidakseimbangan V/Q akibat efek gravitasi, tetapi
perbedaan ini tidak cukup bermakna untuk mengakibatkan kelainan gas darah.
Rasio V/Q yang rendah dapat menyebabkan hipoksemia yang bermakna pada
penyakit paru tetapi umumnya hanya sedikit memengaruhi PaCO2. Perbedaan
ini ditimbulkan oleh hubungan antara tekanan-tekanan parsial dan kandunngan
dari kedua gas ini.
37
biasanya mampu meningkatkan ventilasi pada sisa paru normal untuk
membuang CO2 secara memadai. Jika terjadi hiperventilasi secara keseluruhan
akibat hipoksemia yang ekstrim, dapat timbul hipokapnia dan alkalosis
respiratori. Gagal napas hipoksemia yang terutama disebabkan oleh pirau sulit
diatasi karena hipoksemia tidak segera diatasi dengan terapi O2.
Kebanyakan para ahli kini tidak lagi menganggap gangguan dalam difusi
merupakan factor yang bermakna dalam menimbulkan hipoksemia, meskipun
gangguan itu dapat sedikit berperan jika terdapat penebalan membrane kapiler-
alveolar, seperti pada fibrosis paru dan sarcoidosis. Dalam keadaan istiraha,
lama kontak yang normal dari udara alveolus dengan darah pulmonal adalah
0,75 detik, dan keseimbangan tercapai dalam waktu 0,25 detik. Jadi dengan
demikian tersedia cukup waktu untuk terjadi proses difusi. Bila selama berlatih
38
lama difusi agak berkurang, maka keterbatasan difusi ini mungkin akan ikut
menyokong terjadinya hipoksemia.
39
serangan asma yang berkepanjangan dapat merupakan tanda bahwa fungsi paru
telah menurun. Focus primer dari kegagalan ventilasi adalah tindakan untuk
memperbaiki ventilasi, dan pada waktu yang bersamaan mencegah terjadinya
hipoksia jaringan yang serius. Cara-cara untuk membedakan mekanisme
penyebab hipoksemia dan hiperkapnia akan dibicarakan lebih lanjut.
G. Prognosis
Tingkat mortalitas bervariasi tetapi umumnya pasien yang masuk ICU
dengan diagnosis ini memiliki tingkat mortalitas yang hampir 50%. Masalah
medis ini mengakibatkan lamanya opname lebih dari 1 minggu di ICU.
H. Manifestasi Klinis
Manifestasi gagal napas akut mencerminkan gabungan dari gambaran klinis
penyakit penyebab, factor-faktor pencetus, srerta manifestasi hipoksemia dan
hiperkapnia. Dengan demikian gambaran klinisnya cukup bervariasi karena
berbagai factor dapat menjadi pencetus. Ada atau tidaknya insufiensi
pernapasan kronik yang mendahului, juga merupakan factor lain yang dapat
memberikan perbedaan dalam gambaran klinisnya.
Tanda dan gejala hipoksemia merupakan akibat langsung dari hipoksia
jaringan. Tanda dan gejala yang sering dicari untuk menentukan adanya
hipoksemia seringkali baru timbul setelah PaO2 mencapai 40 sampai 50
mmHg. Jaringan yang sangat peka terhadap penurunan O2 paling banyak
terpengaruh, termasuk otak, jantung, dan paru. Tanda dan gejala yang paling
menonjol adalah neurologic: sakit kepala, kekacauan mental, gangguan dalam
penilaian, bicara kacau, asteriksis, gangguan fungsi motoric, agitasi, dan
gelisah yang dapat berlanjut menjadi delirium dan tidak sadar. Pada beberapa
kasus, tanda dan gejala neurologic dari orang yang mengalami hipoksia
disalahtafsirkan sebagai mabuk karena alcohol. Respon awal kardiovaskular
terhadap hipoksemia adalah takikardia dan peningkatan curah jantung serta
tekanan darah. Jika hipoksia menetap, bardikarida, hipotensi, penurunan curah
jantung, dan aritmia dapat terjadi. Hipoksemia menyebabkan vasokontriksi
pada pembuluh darah paru. Efek metabolic hipoksia jaringan adalah
40
metabolism anaerobic yang mengakibatkan asidosis metabolic. Meskipun
sianosis sering dianggap sebagai salah satu tanda hipoksia, tetapi tanda ini tidak
dapat diandalkan. Gejala klasik dyspnea nungkin tidak ada, terutama bila ada
penekanan pusat pernapasan seperti pada gagal napas akibat kelebihan dosis
narkotik.
Hiperkapnia yang terjadi dalam udara ruangan selalu disertai hipoksemia.
Akibatnya tanda dari gejala gagal nafas mencerminkan efek-efek dari
hiperkapnia dan hipoksemia. Efek utama dari PaCO2 yang meningkat adalah
penekenan system saraf pusat (CNS). Itulah sebabnya mengapa hiperkapnia
yang berat kadang-kadang disebut sebagai narcosis CO2. Hiperkapnia
mengakibatkan vasodilatasi serebral peningkatan aliran darah serebral, dan
peningkatan tekanan intracranial. Akibatnya timbul gejala yang khas, yaitu
sakit kepala, yang bertambah berat sewaktu bangun tidur pada pagi hari (karena
PaCO2 sedikit meningkat sewaktu tidur). Tanda dan gejala yang lain adalah
edema papil, iritabilitas neuromuscular (asteriksis), suasana hati yang berubah-
ubah, dan rasa mengantuk yang terus bertambah yang akhirnya akan menuju
koma yang ringan. Meskipun peningkatan PaCO2 merupakan rangsangan yang
paling kuat untuk bernapas, tetapi peningkatan PaCO2 juga menimbulkan efek
yang menekan pernapasan jika kadarnya melebihi 70 mmHg. Selain itu, pasien
dengan COPD dan hiperkapnia kronik akan menjadi tidak peka terhadap
peningkatan PaCO2 dan menjadi bergantung pada dorongan hipoksia.
Hiperkapnia menyebabkan konstriksi pada pembuluh darah paru, sehingga
dapat memperberat hipertensi arteria pulmonalis. Jika retensi CO2 sangat berat,
dapat terjadi penurunan kontraktilitas miokardium, vasodilatasi sistemik, gagal
jantung, dan hipotensi. Hiperkapnia menyebabkan asidosis respiratorik, yang
sering bercampur dengan asidosis metabolic jika terjadi hipoksia. Campuran
ini dapat menagkibatkan penurunan pH darah yang serius. Respon
kompensatorik ginjal terhadap asidosis respiratorik adalah reabsorpsi
bikarbonat untuk mempertahankan pH darah agar tetap normal. Respons ini
memerlukan waktu sekitar 3 hari, sehingga asiodis respiratorik akan jauh lebih
berat jika awitannya cepat.
41
I. Tanda dan Gejala Khusus
1. Awal
a. Perubahan neurologik: resah, gelisah, pusing, cemas.
b. Tanda-tanda vital akan meningkat yang menyebabkan takipnea,
takikardia, dan hipertensi.
c. Oksimetri nadi akan turun dibawah normal.
d. Sesak nafas dan dispnea saat istirahat (paling umum).
e. Penggunaan otot aksesoris dan interkostal.
f. Suara nafas abnormal: crackles, gurgles.
g. Perubahan pada jumlah dahak (sputum), warna, dan perlu dilakukan
suction.
h. Disritmia jantung.
i. Seluruh kulit pucat.
2. Akhir
a. Perubahan-perubahan neurologi: letargi, rasa kantuk berat, koma.
b. Tanda-tanda vital turun yang menyebabkan bradipnea, bradikardi, dan
hipotensi.
c. Sianosis/warna kulit tubuh terlihat bercak (mottling) dan usaha
pernafasan yang lemah.
d. Henti jantung
J. Diagnosis
Ada beberapa keadaaan yang timbul selama setiap orang dapat mengenali
adanya gagal napas. Contohnya adalah henti jantung, obstruksi total saluran
napas atas, misalnya, oleh sepotong daging, cedera kepala serius yang cukup
untuk menghentikan mekanisme pernapasan, atau kesulitan bernapas pada
orang yang slanotik. Namun demikian, pada banyak pasien, gagal napas dapat
tidak jelas terlihat. Awitan gagal napas terjadi perlahan-lahan pada banyak
pasien dengan insufisiensi pernapasan kronik. Tanda dan gejala mungkin tidak
khas dan sangat tidak sesuai dengan beratnya gangguan pernapasan sampai
keadaan menjadi sangat gawat. Sikap yang sangat waspada diperlukan untuk
mengenali setiap kasus gagal napas. Dengan demikian, klinisi perlu untuk
42
sangat mencurigai adanya gagal napas dan siap untuk melakukan analisa gas-
gas darah arteri (ABG) yang merupakan satu-satunya jalan untuk membuat
diagnosis pasti. Pada umumnya PaCO2 yang mencapai 50 mmHg atau lebih
atau PaO2 mencapai 50 sampai 60 mmHg atau kurang pada ketinggian
permukaan laut diterima sebagai petunjuk adanya gagal napas.
L. Penanganan
1. Pengenalan dini dan perawatan penyebab yang mendasari
2. Intubasi sebelum pasien lelah bernafas
3. Ventilasi mekanis dengan PEEP dan FiO2 yang tinggi ditambahkan jika
hipoksia berat.
4. Pemasukan pipa nasogastrik dengan dukungan nutrisi
5. Pasang kateter arteri pulmonalis jika cairan dan status jantung belum jelas
6. Transfusi sel darah merah jika pasien menderita anemia
7. Pengobatan:
a. Biokarbonat untuk mengoreksi asidosis sesuai dengan nilai ABG
b. Blokade neuromuskular untuk meminimalkan kebutuhan oksigen dan
mempermudah pasien istirahat
43
c. Analgesik jika pasien mendapatkan blokade neuromuskular untuk
mencegah rasa sakit akibat imobilitas
d. Diuretik seperti furosemid untuk menghilangkan cairan pada gagal
jantung
e. Bronkodilator atau steroid untuk mendilatasi saluran pernafasan dan
mengurangi peradangan pada COPD akut.
f. Pemblokir asam lambung untuk mencegah tukak lambung.
M. Penatalaksanaan
44
Intravena, oral, atau per rektal;
obat-obat kartikosteroid)
6 Gagal Jantung Diuretik
Digoksin (hati-hati jika
diberikan)
Tabel di atas memuat daftar prioritas dan tujuan penanganan gagal napas
Hiperkapnia. Pendekatan tertuhap Permasalahan sekresi paru yang tertahanan
meliputi tindakan untuk mencairkan dan mengeluarkan secret itu. Pencairan
paling baik dilakukan Hidrasi yang memadai untuk pasien. Obat-obatkan
seperti kalium iodida yang diberikan per oral atau pemberian Air secara erosol
juga dapat membatu mobilisasi seputum. Secret paling baik dikeluarkan
dengan mengusahakan supaya pasien batuk dan membantu usaha pasien dengn
perkusi, pibrasi, dan drainase postural. Jika pasien terlalu lemah untuk batuk,
secret dapat keluar dengan aspirasi melalui selang endotrakeal atau
bronkoskopi. Jika metode metode ini gagal mungkin diperlukan trakeostomi.
N. Pengkajian
1. Diagnosis (Anamnesis)
a. Keluhan awal
Keluhan awal akut mungkin disebabkan adanya gangguan fisiologis
akut, seperti serangan asma bronkial, emboli paru, pneumothoraks atau
infark miokard. Serangan berkepanjangan selama berjam-jam hingga
berhari-hari lebih sering akibat eksaserbasi penyakit paru yang kronik
45
atau perkembangan proses sedikit demi sedikit seperti pada efusi pleura
atau gagal jantung kongestif.
b. Gejala yang menyertai
1) Nyeri dada yang disertai dengan sesak kemungkinan disebabkan
oleh emboli paru, infark miokard atau penyakit pleura
2) Batuk yang disertai dengan sesak, khususnya sputum purulen
mungkin disebabkan oleh infeksi napas atau proses radang kronik
(misalnya bronkitis atau radang mukosa saluran napas lainnya)
3) Demam dan menggigil mendukung adanya suatu infeksi
4) Hemoptisis mengisyarakatkan adanya ruptur kapiler/vaskular,
misalnya karena emboli paru, tumor atau radang saluran nafas.
c. Terpajan keadaan lingkungan atau obat tertentu
1) Alergen seperti serbuk, jamur atau zat kimia mengakibatkan
terjadinya bronkospasme dengan bentuk keluhan sesak. Anamnesis
harus mencakup riwayat terpapar penyebab alergi.
2) Debu, asap, dan bahan kimia yang menimbulkan iritasi jalan napas
berakibat terjadinya bronkospasme pada pasien yang sensitif.
Menghindari penyebab alergi tersebut mencegah terjadinya
penyakit ini.
3) Obat-obatan yang dimakan atau injeksi dapat menyebabkan reaksi
hipersensitivitas yang menyebabkan sesak.
d. Riwayat gangguan yang sama
Riwayat gangguan yang sama dapat menyingkat daftar penyebab
penyakit, khususnya bila pasien tahu nama penyakitnya dan dapat
menceritakan bentuk pengobatan terdahulu. Riwayat penyakit pada
tabel berikut sebaiknya otomatis ditanyakan karena mungkin pasien
tidak khusus menceritakan kecuali bila dokter menanyakannya.
2. Pemeriksaan Fisis
Tanda vital. Tekanan darah, temperatur, frekuensi nadi dan
frekuensi napas mementukan tingkat keparahan penyakit. Seorang pasien
sesak dengan tanda-tanda vital normal biasanya hanya menderita penyakit
46
kronik atau ringan, sementara pasien yang memperlihatkan adanya
perubahan nyata pada tanda-tanda vital biasanya menderita gangguan akut
yang memerlukan evaluasi dan pengobatan segera.
a. Temperatur dibawah 35°C (95°F) atau di atas 41°C (105.8°F) atau
tekanan darah sistolik dibawah 90 mm Hg menandakan keadaan gawat
darurat.
b. Pulsus paradoksus pada fase inspirasi terjadi peningkatan tekanan
arterial lebih besar daripada 10 mm Hg-tanda ini bermanfaat dalam
menentukan adanya kemungkinan udara terperangkap (air trapping)
pada keadaan asma dan PPOK eksaserbasi akut. Ketika obstruksi
saluran napas memburuk, variasi itu meningkat; dan ketika obstruksi
membaik, pulsus paradoxus menurun.
c. Frekuensi napas kurang dari 5 kali/menit mengisyaratkan
hipoventilasi dan kemungkinan besar respiratory arrest. Bila lebih dari
35 kali/menit menunjukkan gangguan yang parah, frekuensi yang lebih
cepat dapat terlihat beberapa jam sebelum otot-otot napas menjadi lelah
dan terjadi gagal napas.
3. Pemeriksaan Umum
a. Tampilan umum
Pasien dapat memberikan isyarat atas diagnosis tersebut. Seorang
pasien yang mengantuk dengan napas yang lambat dan pendek bisa
disebabkan; obat tertentu, retensi CO2 atau gangguan sistem saraf pusat
(misalnya stroke, edema serebral, pendarahan subaraknoid). Seorang
pasien yang gelisah dengan napas yang cepat dan dalam bisa
disebabkan hipoksemia berat karena primer penyakit paru/saluran
napas, jantung atau bisa juga serangan cemas (anxiety attack), histerical
attack.
b. Kontraksi otot bantu napas
Dapat mengungkapkan adanya tanda obstruksi saluran napas. Otot
bantu pernapasan (accesory muscles) di leher dan otot-otot interkostal
akan berkontraksi/digunakan pada keadaan adanya obstruksi saluran
47
napas moderat hingga parah. Asimetri gerakan dinding dada atau
deviasi trakeal dapat pula dideteksi selama pemeriksaan otot-otot
napas. Pada tension pneumothorakx- suatu keadaan gawat darurat- sisi
yang terkena akan membesar pada setiap inspirasi dan trakea akan
terdorong ke sisi yang sebelahnya.
c. Tekanan vena jugularis harus dicatat
Peninggiannya menandakan adanya peningkatan tekanan atrium
kanan.
d. Palpasi
1) Tertinggalnya pengembangan suatu hemithoraks yang dirasakan
dengan palpasi bagian lateral bawah rib cage paru bersangkutan
menunjukkan adanya gangguan pengembangan pada hemithoraks
tersebut. Hal ini bisa akibat obstruksi salah satu bronkus utama,
pneumothoraks atau efusi pleura.
2) Fremitus taktil. Menurunnya fremitus taktil yang diperoleh dengan
memerintahkan pasien menyebutkan tujuh puluh tujuh (77)
berulang-ulang terpalpasi pada area yang mengalami atelektasis
seperti yang terjadi pada bronkus yang tersumbata atau area yang
ada efusi pleura. Meningkatnya fremitus disebabkan oleh
konsolidasi parenkim pada suatu area yang mengalami inflamasi.
e. Perkusi
1) Hipersonor akan ditemukan pada hiperinflasi paru seperti terjadi
selama serangan asma akut, emfisema juga pada pneumothoraks.
2) Redup (dullness) pada perkusi menunjukkan konsolidasi paru atau
efusi pleura.
f. Auskultasi
1) Berkurangnya intensitas suara napas pada kedua bidang paru
menunjukkan adanya obstruksi saluran napas. Keadaan ini dapat
terdengar pada konsolidasi, efusi pleura atau pneumothoraks.
2) Ronki kasar dan nyaring (coarse rales and wheezing) sesuai dengan
obstruksi parsial atau penyempitan saluran napas
48
3) Ronki basah halus (fine, moist rales) terdengar pada parenkim paru
yang berisi cairan. Ronki bilateral (bilateral rales) disertai dengan
irama gallop sesuai dengan gagal jantung kongestif. Ronki setempat
sesuai dengan adanya konsolidasi paru di tempat itu.
4) Adanya egofoni (diucapkan huruf “i” seperti “e” datar menandakan
konsolidasi.
5) Pada pasien dengan sesak dan rasa sakit di dadaharus dipikirkan
kemungkinan adanya friction rub, bila 2 komponen merupakan ciri
pleuritis dan suara 3 komponen seperti perikarditis.
49
pertukaran
dalam keadaan
istirahat
c. Ventilasi c. Petunjuk umum c. 5-10 L c. >10 L
semenit (VE), L ventilasi
d. Kapasitas vital d. Menunjukkan d. 65-70 d. <15 ml/kg
paksa (FVC), cadangan ml/kg BB BB ideal
ml/kg BB ideal ventilasi: ideal
petunjuk
terbaik
menentukan
perlunya
bantuan
ventilasi
e. Volume e. Volume e. 50-60 e. <10 ml/kg
ekspirasi paksa ekspirasi detik ml/kg
dalam satu detik pertama FVC:
(FEV1), ml/kg berguna dalam
menilai
cadangan
ventilasi pada
pasien dengan
COPD dan juga
untuk menilai
efek tindakan
untuk
mengatasi
obstruksi jalan
nafas
f. Daya inspirasi f. Menunjukkan f. 75-100 cm f. <50-60 cm
maksimum cadangan usaha H2O H2O
(MIF), cm H2O ventilasi
50
g. VD/VT g. Rasio ruang g. 0,25-0,40 g. >0,60
mati atau
volume tidal:
memberikan
perkiraan
ventilasi pada
perfusi yang
berlebihan:
membutuhkan
pengambilan
sampel udara
ekspirasi untuk
mengukur
PECO2 dan
PaCO2: VD/VT
= PaCO2 –
(PECO2/
PaCO2)
51
asidemia yang
serius jika pH
7,2 atau kurang
52
c. Proporsi
jantung yang
dipirau
melalui alveoli
3. Pemeriksaan Status Asam-Basa
a. PaCO2 mm Hg a. 40 -+ 5
b. pH dara arteri b. 7,35-7,45
c. HCO3-, mEq/L c. 24 -+ 3
4. Evaluasi Laboratorium
a. Pemeriksaan dahak
Pemeriksaan dahak harus mencakup pemeriksaan bilasan sputum gram
(gram-stained smear) untuk membuktikan adanya radang saluran napas
bawah dan penentuan jenis gram patogen.
b. Analisis gas darah arterial
Pengukuran gas darah arterial dilakukan pada evaluasi awal seluruh
pasien sesak yang memperlihatkan tekanan darah sistolik kurang dari
90 mm Hg, suatu frekuensi napass lebih dari 35 kali/menit atau kurang
dari 10 kali/menit atau sianosis. Apabila gas darah arterial tidak diukur
pada tahap awal dan kondisi pasien memburuk di bawah perawatan;
analisis gas darah tersebut harus tetap perlu diperiksa. Nilai ini berguna
sebagai petunjuk penggunaan suplemen oksigen dan keputusan untuk
penggunaan ventilasi mekanis.
c. Spirometri/Peak Flow Meter (Peak Expiratory Flow Rate-PEFR).
Pada pasien yang mengalami eksaserbasi asma atau PPOK. Spirometri
memberi kita informasi beratnya obstruksi dan dapat digunakan untuk
menentukan seriusnya keadaan penyakit tersebut. Pengukuran PEFR
bisa menggantikan pengukuran siprometri untuk menentukan berat
ringannya obstruksi, hasilnya ditanyakan dalam liter per menit. Nilai
normal ditentukan untuk setiap individu menurut jenis kelamin, usia
dan tinggi badan. Nilai kurang dari 50% dari yang diperkirakan
53
menunjukkan obstruksi yang parah. Pemeriksaan PEFR ini harus
diulangi setiap 30 menit untuk menentukan perjalanan penyakit.
5. Pencitraan (Imaging)
Pembuatan foto thoraks posterior-anterior dan lateral dilakukan apabila
dicurigai adanya kelainan pada pleura, parenkim paru atau jantung. Adanya
bula, kista, paru emfisematus atau diafragma yang mendatar (flattened
diagraph) mendukung diagnosis PPOK. Adanya kardiomegali mendukung
kemungkinan penyebab sesak yang berkaitan dengan jantung.
7. Saluran Napas
Periksalah orofaring untuk memastikan saluran napas tidak tersumbat
karena pembengkakan (edema) atau suatu benda asing. Intubasi
endotrakeal dapat dilakukan apabila pasien mengalami henti napas atau
mengarah kepada gagal napas progresif.
8. Oksigen
Oksigen harus diberikan kecuali apabila ada bukti bahwa retensi CO2 yang
akan memburuk karena tingginya oksigen yang diberikan (FIO2). Sistem
Venturi mask delivery dengan FIO2 sebesar 24% atau 28% biasanya aman.
Tujuan terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 sebesar 60-70 mm Hg
dengan kenaikan minimal pada PaCO2.
54
Ventilasi mekanis. Pasien yang diintubasi untuk sementara dapat diberikan
oksigen melalui Ambu bag sambil mempersiapkan suatu ventilator sebagai
kelanjutannya.
Batasan karakteristik :
- Gangguan penglihatan
- Penurunan CO2
- Takikardi
- Hiperkapnia
- Keletihan
- Somnolen
- Iritabilitas
- Hypoxia
- Kebingungan
- Dyspnoe
- Nasal faring
- AGD Normal
55
- Sianosis
- Hipoksemia
- Hiperkarbia
NOC :
Kriteria Hasil :
- Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari tanda tanda distress pernafasan
- Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis
dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah,
tidak ada pursed lips)
56
- Tanda tanda vital dalam rentang normal
Intervensi Keperawatan :
NIC :
Airway Management
- Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
Respiratory Monitoring
57
- Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul, hiperventilasi, cheyne
stokes, biot
- Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan suara
tambahan
Batasan karakteristik :
- Nasal flaring
- Dyspnea
- Orthopnea
- Nafas pendek
58
- Assumption of 3-point position
- Pernafasan pursed-lip
- Pernafasan rata-rata/minimal
- Kedalaman pernafasan
- Timing rasio
- Hiperventilasi
- Deformitas tulang
- Penurunan energi/kelelahan
- Perusakan/pelemahan muskulo-skeletal
- Obesitas
- Posisi tubuh
59
- Kelelahan otot pernafasan
- Hipoventilasi sindrom
- Nyeri
- Kecemasan
- Disfungsi Neuromuskuler
- Kerusakan persepsi/kognitif
- Imaturitas Neurologis
NOC :
Kriteria Hasil :
- Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis
dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah,
tidak ada pursed lips)
- Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
- Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)
Intervensi Keperawatan :
NIC :
Airway Management
- Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
- Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
- Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
- Pasang mayo bila perlu
- Lakukan fisioterapi dada jika perlu
60
- Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
- Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
- Lakukan suction pada mayo
- Berikan bronkodilator bila perlu
- Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
- Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
- Monitor respirasi dan status O2
Oxygen Therapy
- Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
- Pertahankan jalan nafas yang paten
- Atur peralatan oksigenasi
- Monitor aliran oksigen
- Pertahankan posisi pasien
- Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi
- Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
61
memenuhi kebutuhan metabolik Vital Sign Status Catat adanya disritmia
tubuh. jantung
62
Penurunan resistansi vascular Catat adanya fluktuasi
paru (pulmunary vascular tekanan darah
resistence, PVR)
Monitor VS saat pasien
Penurunan resistansi vaskular berbaring, duduk, atau
sistemik (sistemik vascular berdiri
resistence , SVR)
Auskultasi TD pada kedua
Dipsnea lengan dan bandingkan
63
Ansietas, Gelisah Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
Perubahan afterload
Perubahan kontraktilitas
Perubahan preload
Perubahan irama
64
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gagal pernafasan merupakan kegagalan fungsi system pernafasan dalam
mempertahankan oksigenasi arteri dan pengeluaran CO2 yang adekuat,
sehingga menyebabkan hipoksemia arteri, hiperkapnia atau keduanya. Gagal
pernapasan dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yang langsung atau tidak
langsung mempengaruhi fungsi pernafasan.
B. Saran
Diharapkan dosen pembimbing dapat lebih sabar dan lebih inovatif dalam
mengajarkan mata kuliah terkait. Dan diharapkan kepada para mahasiswa
untuk lebih aktif bertanya dan menyampaikan pendapatnya selama kuliah
berlangsung. Diharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan
makalah ini selanjutnya.
65
DAFTAR PUSTAKA
LeMone, Priscilla, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
66