Anda di halaman 1dari 69

KEPERAWATAN KRITIS

GAGAL NAFAS

Dosen Pembimbing: Hadi Kusuma Atmaja, SST., M. Kes.

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 2

1. BAIQ DINDA DEWI L. (P07120315010)


2. BALQIS MUTHI’AH (P07120316009)
3. ILHAM SURYANATA (P07120316026)
4. MISKAN PEBRIANI (P07120316035)
5. NI PUTU GRAHITA KIRANA (P07120316040)
6. RESTU MAULANA (P07120316043)
7. RIBKA TODINGAN (P07120316044)
8. RIZHKA VIONITA (P07120316046)
9. SITI MASRUROH (P07120316054)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI DIV KEPERAWATAN MATARAM
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan karunian-Nya kami dapat mengerjakan tugas kelompok makalah yang berjudul
“Makalah Keperawatan Kritis: Gagal Nafas” dengan penuh kemudahan. Tanpa
pertolongan-Nya mungkin kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing yang


telah membimbing kami dengan sabar, serta kepada kepada teman-teman yang telah
memberikan sumbang sarannya untuk penyelesaian makalah ini. Kami menyadari
bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami menerima kritik dan
saran yang positif dan membangun dari rekan-rekan pembaca untuk
penyempurnaan pada tugas makalah-makalah berikutnya.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Aamiin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Mataram, 16 Agustus 2019

Penyusun

II
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................. i


Daftar Isi ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan .................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 4
A. Pengertian Gagal Nafas ........................................................................ 4
B. Patogenesis dan Etiologi Gagal Nafas ................................................. 4
C. Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi .............................................. 7
D. Klasifikasi Gagal Napas ....................................................................... 32
E. Patofisiologi ......................................................................................... 32
F. Mekanisme Hipoksemia dan Hiperkapnia ........................................... 34
G. Prognosis...................................................................... ........................ 40
H. Manifestasi Klinis ................................................................................ 40
I. Tanda dan Gejala Khusus..................................................................... 42
J. Diagnosis .............................................................................................. 42
K. Interpretasi Hasil Tes ........................................................................... 43
L. Penanganan .......................................................................................... 43
M. Penatalaksanaan ................................................................................... 44
N. Pengkajian ............................................................................................ 45
O. Pemeriksaan Fungsi Respirasi.............................................................. 49
P. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan ................................................. 55
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 65
A. Kesimpulan .......................................................................................... 65
B. Saran ..................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 66

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal nafas adalah masalah yang relatif sering terjadi, yang biasanya,
meskipun tidak selalu merupakan tahap akhir dari penyakit kronik pada sistem
pernafasan. Keadaan ini semakin sering ditemukan sebagai komplikasi dari
trauma akut, septikemia atau syok.
Gagal nafas, seperti halnya kegagalan pada sistem organ lainnya, dapat
dikenali berdasarkan gambaran klinis atau hasil pemeriksaan laboratorium.
Tetapi harus diingat bahwa pada gagal nafas, hubungan antara gambaran klinis
dengan kelainan dari hasil pemeriksaan laboratorium pada kisaran normal
adalah tidak langsung.
Gagal nafas terjadi apabila paru tidak lagi dapat memenuhi fungsi
primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteria dan
pembuangan karbondioksida. Ada beberapa tingkatan dari gagal nafas, dan
dapat terjadi secara akut (mungkin remiten) atau secara kronik. Insufisiensi
pernafasan kronik atau gagal nafas kronik menyatakan gangguan fungsional
jangka panjang yang menetap selama beberapa hari atau bulan, dan
mencerminkan adanya proses patologik yang mengarah pada kegagalan dan
proses kompensasi untuk menstabilkan keadaan. Gas-gas darah dapat sedikit
abnormal atau dalam batas normal pada saat istirahat, tetapi gas-gas darah
dapat jauh dari batas-batas normal bila dalam keadaan kebutuhan meningkat
seperti saat berlatih. Peningkatan kerja pernafasan (dan dengan demikian
mengurangi cadangan pernafasan) dan pengurangan aktivitas fisik adalah dua
mekanisme utama untuk mengatasi insufisiensi pernafasan kronik.
Maka dari itu, kelompok kami tertarik untuk membahas lebih lanjut
mengenai gangguan sistem respirasi: gagal nafas.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gagal nafas?
2. Bagaimana pathogenesis dan etiologi dari gagal nafas?
3. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem respirasi?

1
4. Bagaimana patofisiologi dari gagal nafas?
5. Bagaimana mekanisme hipoksemia dan hiperkapnea?
6. Bagaimana prognosis penyakit gagal nafas?
7. Apa saja manifestasi klinis dari gagal nafas?
8. Apa saja tanda dan gejala khusus dari gagal nafas?
9. Bagaimana diagnosis dari gagal nafas?
10. Bagaimana interpretasi hasil tes dari gagal nafas?
11. Bagaimana penanganan gagal nafas?
12. Bagaimana penatalaksanaan gagal nafas?
13. Bagaimana pengkajian dari pasien dengan gagal nafas?
14. Bagaimana pemeriksaan fungsi respirasi dari pasien dengan gagal nafas?
15. Apa saja diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan gagal
nafas?
16. Apa saja intervensi keperawatan yang muncul pada pasien dengan gagal
nafas?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari gagal nafas.
2. Untuk mengetahui pathogenesis dan etiologi dari gagal nafas.
3. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi sistem respirasi.
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari gagal nafas.
5. Untuk mengetahui mekanisme hipoksemia dan hiperkapnea.
6. Untuk mengetahui prognosis penyakit gagal nafas.
7. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari gagal nafas.
8. Untuk mengetahui tanda dan gejala khusus dari gagal nafas.
9. Untuk mengetahui diagnosis dari gagal nafas.
10. Untuk mengetahui interpretasi hasil tes dari gagal nafas.
11. Untuk mengetahui penanganan gagal nafas.
12. Untuk mengetahui penatalaksanaan gagal nafas.
13. Untuk mengetahui pengkajian dari pasien dengan gagal nafas.
14. Untuk mengetahui pemeriksaan fungsi respirasi dari pasien dengan gagal
nafas.

2
15. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien
dengan gagal nafas.
16. Untuk mengetahui intervensi keperawatan yang muncul pada pasien
dengan gagal nafas.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gagal Nafas


Gagal nafas akut secara numerik didefinisikan sebagai kegagalan
pernafasan bila tekanan parsial oksigen arteri (atau tegangan, PaO2) 50-60 mm
Hg atau kurang tanpa atau dengan tekanan parsial karbondioksida arteri
(PaCO2) 50 mm Hg atau lebih besar dalam keadaan istirahat pada ketinggian
permukaan laut saat menghirup udara ruangan. Alasan pemakaian definisi
numerik berdasarkan gas-gas darah arteri (ABG) ini karena batas antara
insufisiensi pernafasan kronik dan gagal nafas tidak jelas dan tidak bisa
berdasarkan observasi klinis. Sebaliknya, harus diingat bahwa definisi
berdasarkan ABG ini tidak bersifat absolut; makna dari angka-angka ini
bergantung pada riwayat penyakit dahulu. Orang yang sebelumnya dalam
keadaan sehat dan kemudian mengalami kelainan gas-gas seperti diatas setelah
mengalami kecelakaan hampir tenggelam dapat diperkirakan akan jatuh ke
dalam keadaan koma, sedangkan pasien dengan COPD pada keadaan gas darah
yang sama, dapat melakukan kegiatan fisik dalam batas tertentu.
Gagal pernafasan merupakan kegagalan fungsi system pernafasan dalam
mempertahankan oksigenasi arteri dan pengeluaran CO2 yang adekuat,
sehingga menyebabkan hipoksemia arteri, hiperkapnia atau keduanya. Gagal
pernapasan dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yang langsung atau tidak
langsung mempengaruhi fungsi pernafasan. Seperti telah diketahui fungsi
utama paru-paru adalah pertukaran gas yang terjadi melewati membrane
alveoli kapiler. Gagal pernafasan merupakan akibat dari gangguan pertukaran
O2 dan CO2 dalam alveoli dan darah kapiler paru. PO2 arteri menjadi lebih
rendah dari nilai normal dan PCO2 arteri di atas nilai normal.

B. Pathogenesis dan Etiologi Gagal Nafas


Acute Respiratory Failure (ARF) adalah keadaan dimana tubuh gagal
mempertahankan pertukaran gas yang adekuat. Ada 2 macam ARS: tipe 1 dan
tipe 2. ARF tipe 1, pasien memiliki tingkat oksigen rendah (hipoksia) dan level
karbondioksida yang normal. Pada tipe 2 kembali terjadi hipoksia, tetapi level

4
karbondioksida tinggi (hiperkarbia). Hipoksia menyebabkan sedikitnya darah
beroksigen yang melintas ke sisi kiri jantung (sunting). Kondisi ini merupakan
penyebab utama kegagalan organ dan kematian pada area perawatan kritis.
ARF dapat disebabkan oleh kondisi paru dan kondisi non paru.
Kondisi paru yang menyebabkan ARF meliputi:
Pneumonia, tumor paru, edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik,
penyakit paru obstruktif kronis, dan obstruksi saluran pernafasan.
Kondisi non paru yang menyebabkan ARF meliputi:
Pneumothoraks, efusi pleuara, gangguan neuromuskular (myastenia
gravis, poliomyelitis), masalah perifer dan masalah spinal (tetanus, trauma),
dan masalah-masalah sistem saraf pusat (trauma kepala dan overdosis obat)
Keberhasilan pengobatan gagal napas akut tidak hanya bergantung pada
deteksi keadaan ini sejak dini, tetapi juga dari pemahaman akan mekanisme
penyebabnya. Deteksi dini mungkin sulit jika awitan timbul perlahan-lahan
karena tanda dan gejala klinis tidak khas. Meskipun hipoksia jaringan tidak
dapat dinilai secara langsung, tetapi pemeriksaan ABG (salah satu langkah dari
proses panjang untuk menentukan oksigenasi jaringan) dapat membantu
menarik kesimpulan mengenai oksigenasi jaringan yang tidak memadai dan
mekanisme yang terganggu. Pengetahuan tentang mekanisme yang terganggu
ini akan memberikan pengertian mengenai patofisiologi penyakit paru pada
seorang psien, yang pada akhirnya akan menuntun kepada pengobatan yang
tepat.
Langkah pertama yang penting untuk mengenali bakal terjadinya gagal
napas adalah kewaspadaan terhadap keadaan dan situasi yang dapat
menimbulkan gagal napas. Ada beberapa hal memuat beberapa gangguan paru
yang sering menyebabkan gagal napas, diklasifikasikan dalam golongan
ekstrinsik dan intrinsic. Kebanyakan dari gangguan ini telah dibahas dalam
bab-bab sebelumnya. Kelainan paru ektrinsik (pada paru yang normal atau
hamper normal) dapat menyebabkan gagal napas ventilasi, atau hiperkapnia,
melalui (1) penekanan dorongan pernapasan sentral atau (2) gangguan pada
respons ventilasi. Narkotik dalam dosis berlebih merupakan salah satu sebab
tersering penekanan pusat pernapasan sehingga mengakibatkan kegagalan

5
ventilasi. Gangguan pada respons ventilasi terjadi jika ada penyakit atau cidera
pada jalur saraf atau otot-otot pernapasan atau disfungsi mekanis pada pompa
toraks akibat cedera, nyeri, atau deformitas. Beberapa penyebab yang mungkin
dari menurunnya respons ventilasi dimasukkan pada gangguan neuromaskular,
pleura, dan dinding dada.
Meskipun gangguan diluar paru, atau ekstrinsik, merupakan sebab penting
gagal napas, namun, gangguan paru intrinsic lebih penting. Obstruksi saluran
napas kronik mengakibatkan kegagalan ventilasi dengan COPD yang
merupakan penyebab tersering. Gangguan restriktif difus pada parenkim paru
dan pembuluh darah umumnya mengakibatkan gagal napas hipoksemia yang
ringan; namun, kelainan paru intrinsik akut seperti edema paru massif,
atelectasis, pneumonia dengan konsolidasi yang luas, dan sindrom gawat napas
akut (dewasa) (ARDS) dapat mengakibatkan hipoksemia yang berat. Cukup
banyak pasien dirawat di perawatan intensif pernapasan akibat ARDS dengan
tingkat mortalitasnya yang tinggi. Dalam bab ini ARDS dibahas secara terpisah
dari penyebab lain gagal napas.
Akhirnya, penting untuk mengetahui sejumlah factor pencetus yang
mengakibatkan gagal napas akut pada pasien dengan oenyakit paru kronik
(kotak 41-2). Sekresi yang tertahan, infeksi, dan bronkospasme merupakan
factor pencetus yang paling sering pada pasien dengan COPD yang
menyebabkan keadaan akut pada gagal napas kronik. Faktor-faktor introgenik
yang tidak benar atau pemberian oksigen fraksi inspirasi (FIO2) yang tinggi.
Kor pulmonale, emboli paru terutama pada pasien dengan polisitemia), dan
pneumothoraks akibab bleb emfisematosa merupakan penyebab yan tidak
begitu sering dari gagal napas. Beberapa factor pencetus tidak dapat
dihilangkan, tetapi kebanyakan dapat, kenyataan ini memberikan implikasi
yang penting dalam penyuluhan kepada pasien dan penanganan penyakit paru
kronik.
.

6
C. Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi
1. Konsep Dasar
a. Pengertian Respirasi
Pengertian pernafasan atau respirasi adalah suatu proses mulai dari
pengambilan oksigen, pengeluaran karbohidrat hingga penggunaan
energi di dalam tubuh. Manusia bernafas menghirup oksigen dalam
udara bebas dan membuang karbondioksida ke lingkungan.

Respirasi dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu:


1) Respirasi luar yang merupakan pertukaran O2 dan CO2 antara darah
dan udara.
2) Respirasi dalam yang merupakan pertukaran O2 dan CO2 dari aliran
darah ke sel-sel tubuh.

Dalam mengambil nafas ke dalam tubuh dan membuang nafas ke


udara dilakukan dengan dua cara pernafasan, yaitu:

1) Respirasi/Pernafasan Dada
a) Otot antar tulang rusuk luar berkontraksi atau mengerut.
b) Tulang rusuk terangkat ke atas.
c) Rongga dada membesar yang mengakibatkan tekanan udara
dalam dada kecil sehingga udara masuk ke dalam badan.

7
2) Respirasi/ Pernapasan Perut
a) Otot diafragma pada perut mengalami kontraksi
b) Diafragma datar.
c) Volume rongga dada menjadi besar yang mengakibatkan
tekanan udara pada dada mengecil sehingga udara masuk ke
paru-paru.

Normalnya manusia butuh kurang lebih 300 liter oksigen perhari.


Dalam keadaan tubuh bekerja berat maka oksigen atau O2 yang
diperlukan pun menjadi berlipat-lipat kali dan bisa sampai 10 hingga 15
kalilipat. Ketika oksigen tembus selaput alveolus, hemoglobin akan
mengikat oksiegen yang banyaknya akan disesuaikan dengan besar
kecil tekanan udara.

Pada pembuluh darah arteri, tekanan oksigen dapat mencapat 100


mmHg dengan 19 cc oksigen. Sedangkan pada pembuluh darah vena
tekanannya hanya 40 milimeter air raksa dengan 12 cc oksigen. Oksigen
yang kita hasilkan dalam tubuh kurang lebih sebanyak 200 cc di mana
setiap liter darah mampu melarutkan 4,3 cc karbondioksida / CO2. CO2
yang dihasilkan akan keluar dari jaringan menuju paru-paru dengan
bantuan darah.

Proses Kimiawi Respirasi Pada Tubuh Manusia:

1) Pembuangan CO2 dari paru-paru : H + HCO3  H2CO3  H2+


CO2.
2) Pengikatan oksigen oleh hemoglobin : Hb + O2  HbO2.
3) Pemisahan oksigen dari hemoglobin ke cairan sel : HbO2  Hb +
O2.
4) Pengangkutan karbondioksida di dalam tubuh : CO2 + H2O  H2
+ CO2.

Alat-alat pernafasan berfungsi memasukkan udara yang


mengandung oksigen dan mengeluarkan udara yang mengandung
karbondioksida dan uap air.

8
Tujuan proses pernafasan yaitu untuk memperoleh energi. Pada
peristiwa bernafas terjadi pelepasan energi.

Sistem pernafasan pada manusia terdiri atas:

1) Hidung
2) Faring
3) Trakea
4) Bronkus
5) Bronkiolus
6) Paru-paru

b. Alat-alat pernafasan pada manusia


1) Rongga Hidung (Cavum Nasalis)
Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum
nasalis). Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya
terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat
(kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda
asing yang masuk lewat saluran pernafasan. Selain itu, terdapat juga
rambut pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran
yang masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai
banyak kapiler darah yang berfungsi menghangatkan udara yang
masuk. Di sebelah belakang rongga hidung terhubung dengan
nasofaring melalui dua lubang yang disebut choanae.
Pada permukaan rongga hidung terdapat rambut-rambut
halus dan selaput lendsir yang berfungsi untuk menyaring udara
yang masuk ke dalam rongga hidung.

9
2) Faring (Tenggorokan)

Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Farig merupakan


percabangan 2 saluran, yaitu saluran pernafasan (nasofarings) pada
bagian depan dan saluran pencernaan (orofaring) pada bagian
belakang.
Pada bagian belakang faring (posterior) terdapat laring
(tekak) tempat terletaknya pita suara (pita vocalis). Masuknya udara
melalui faring akan menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar
sebagai suara.
Makan sambil berbicara dapat mengakibatkan makanan
masuk ke daluran pernafasan karena saluran pernafasan pada saat
tersebut sedang terbuka. Walaupun demikian, saraf kita akan
mengatur agar peristiwa menelan, bernafas, dan berbicara tidak
terjadi bersamaan sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan.
Fungsi utama faring adalah menyediakan saluran bagi udara
yang keluar masuk dan juga sebagai jalan makanan dan minuman
yang ditelan, faring juga menyediakan ruang dengung (resonansi)
untuk suara percakapan.

3) Batang Tenggorokan (Trakea)


Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya ±10 cm, terletak
sebagian di leher dan sebagian di rongga dada (torak). Dinding
tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin tulang rawan, dan

10
pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi
menyaring benda-benda asing yang masuk ke saluran pernafasan.

Batang tenggorokan (trakea) terletak di sebelah depan


kerongkongan. Di dalam rongga dada, batang tenggorokan
bercabang menjadi dua cabaang tenggorokan (bronkus). Di dalam
paru-paru, cabang tenggorokan bercabang-cabang lagi menjadi
saluran yang sangat kecil disebut bronkiolus. Ujung bronkiolus
berupa gelembung kecil yang disebut gelembung pari-paru
(alveolus).

4) Pangkal Tenggorokan (Laring)


Laring merupakan suatu saluran yang dikelilingi oleh tulang
rawan. Laring berada di antara orofaring dan trakea, di depan
lariofaring. Salah satu tulang rawan pada laring disebut epiglotis.
Epiglotis terletak di ujung bagian pangkal laring.
Laring diselaputi oleh membran mukosa yang terdiri dari
epitel berlapis pipih yang cukup tebal sehingga kuat untuk menahan
getaran-getaran suara pada lasing. Fungsi utama laring adalah
menghasilkan suara dan juga sebagai tempat keluar masuknya udara.
Pangkal tenggorokan dususun oleh beberapa tulang rawan
yang membentuk jakun. Pangkal tenggorokan dapat ditutup oleh
katup pangkal tenggorok (epiglotis). Pada waktu menelan makanan,
katup tersebut menutup pangkal tenggorok dan pada waktu bernafas

11
katup membuka. Pada pangkal tenggorok terdapat selaput suara
yang akan bergetar bila ada udara dari paru-paru, misalnya pada
waktu kita bicara.

5) Cabang Batang Tenggorokan (Bronkus)


Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua bagian, yaitu
bronkus kanan dan bronkus kiri. Struktur lapiran mukosa bronkus
sama dengan trakea, hanya tulang rawan bronkus bentuknya tidak
teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar cincin tulang
rawannya melingkasri lumen dengan sempurna. Bronkus bercabang-
cabang lagi menjadi bronkiolus.

Batang tenggorokan bercanag menjadi dua bronkus, yaitu


bronkus sebelah kiri dan sebelah kanan. Kedua bronkus menuju
paru-paru, bronkus bercanag lagi menjadi bronkiolus. Bronkus

12
sebalah kanan (bronkus primer) bercanag menjadi tiga bronkus
lobaris (bronkus sekunder), sedangkan bronkus sebelah kiri
bercabang menjadi dua bronkiolus. Cabang-cabang yang paling
kecil masuk ke dalam gelembung paru-paru atau alveolus. Dinding
alveolus mengandung kapiler darah, melalui kapiler-kapiler darah
dalam alveolus inilah oksigen dan udara berdifusi ke dalam darah.
Fungsi utama bronkus adalah menyediakan jalan bagi udara yang
masuk dan keluar paru-paru.

6) Paru-Paru (Pulmo)

Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di


bagian samping dibatasi oleh otot dan rusuk dan bagian bawah
dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua bagian
yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan
paru-paru kiri (pulmo sinister) yang yterdiri atas 2 lobus. Paru-paru
dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput
bagian dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura
dalam ( pleura visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada
yang bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura
parietalis). Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan
elatis, dan pembuluh darah. Bronkiolus tidak mempunyai tulang
rawan, tetapi rongga bronkus masih bersilia dan dibagian ujungnya
mempunyai epitelium bebentuk kubus bersilia. Setiap bronkiolus
terminalis bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus respirasi,

13
kemudian menjadi duktus alveolaris. Pada dinding duktus alveolaris
mengandung gelembung-gelembung yang disebut alveolus.

a) Kapasitas Paru-Paru
Udara yang keluar masuk paru-paru pada waktu melakukan
pernafasan biasa disebut udara pernafasan (udara tidal). Volume
udara pernafasan pada orang dewasa lebih kurang 500 ml.
Volume udara tidal orang dewasa pada pernafasan biasa kira-
kira 500 ml. Ketika menarik nafas dalam-dalam maka volume
udara yang dapat kita tarik mencapai 1500 ml. Udara ini
dinamakan udara komplementer. Ketika kita menarik nafas
sekuat-kuatnya, volume udara yang dapat dihembuskan juga
sekita 1500 ml. Udara ini dinamakan udara suplementer.
Meskipun telah mengeluarkan nafas sekuat-kuatnya, tetapi
masih ada sisa udara dalam paru-paru yang volumenya kira-kira
1500 ml. Udara sisa ini dinamakan udara residu. Jadi, kapasitas
paru-paru total = kapasitas vital + volume residu = 4500
ml/wanita dan 5500 ml/pria.

b) Pertukaran Gas dalam Alveolus


Oksigen yang diperlukan untuk oksidasi diambil dari udara
yang kita hirup pada waktu kita bernafas. Pada waktu bernafas
udara masuk melalui saluran pernafasan dan akhirnya masuk ke
dalam alveolus. Oksigen yang terdapat dalam alveolus berdifusi

14
menembus dinding sel alveolus. Akhirnya masuk ke dalam
pembuluh darah dan diikat oleh hemoglobin yang terdapat dalam
darah menjadi oksihemoglobin. Selanjutnya diedarkan oleh
darah ke seluruh tubuh.
Oksigennya dilepaskan ke dalam sel-sel tubuh sehingga
oksihemoglobin kembali menjadi hemoglobin. Karbondioksida
yang dihasilkan dari pernafasan diangkut oleh darah melalui
pembuluh darah yang akhirnya sampai pada alveolus. Dari
alveolus karbondioksida dikeluarkan melalui saluran pernafasan
pada waktu kita mengeluarkan nafas. Dengan demikian dalam
alveolus terjadi pertukaran gas yaitu oksigen masuk dan
karbondioksida keluar.

c. Proses dan Fisiologi Pernafasan


Proses pernafasan meliputi dua proses, yaitu menarik nafas atau
inspirasi serta mengeluarkan nafas atau ekspirasi. Sewaktu menarik
nafas, otot diafragma berkontraksi, dari posisi melengkung ke atas
menjadi lurus. Bersamaan dengan itu, otot-otot tulang rusuk pun
berkontraksi. Akibat dari berkontraksinya kedua jenis otot tersebut
adalah mengembangnya rongga dada sehingga tekanan dalam rongga
dada berkurang dan udara masuk. Saat mengeluarkan nafas, otot
diafragma dan otot-otot tulang rusuk melemas. Akibatnya, rongga dada
mengecil dan tekanan udara di dalam paru-paru naik sehingga udara
keluar. Jadi, udara mengalir dari tempat yang bertekanan besar ke
tempat yang bertekanan lebih kecil.
Jenis pernafasan berdasarkan organ yang terlibat dalam peristiwa
inspirasi dan ekspirasi, orang sering menyebut pernafasan dada dan
pernafasan perut. Sebenarnya pernafasan dada dan pernafasan perut
terjadi secara bersamaan. (1) pernafasan dada terjadi karena kontraksi
otot antar tulang rusuk, sehingga tulang rusuk terangkat dan volume
rongga dada membesar serta tekanan udara menurun (inhalasi).
Relaksasi otot antar tulang rusuk, costa menurun, volume kecil, tekanan

15
membesar (ekshalasi). (2) pernafasan perut terjadi karena
kontraksi/relaksasi otot diafragma (datar dan melengkung), volume
rongga dada membesar, paru-paru mengembang tekanan mengecil
(inhalasi). Melengkung volume rongga dada mengecil, paru-paru
mengecil, tekanan besar/ekshalasi.

Ventilasi

Ventilasi adalah proses keluar masuknya udara dari paru-paru yang


tergantung pada perbedaan tekanan antara mulut dan alveoli. Pada
inspirasi, dada mengembang, diafragma turun, dan volume paru
bertambah. Ekspirasi merupakan gerakan pasif. Tekanan intrapleura
negatif dan selama pernafasan normal berkias antara 5 dan 9 cm H2O.
Pada posisi berdiri, tekanan pleura menurun dari basis paru ke apeks
paru, akibat pengaruh berat paru dan gravitasi. Karena adanya
perbedaan tekanan ini, alveoli dipuncak paru lebih mengembang dari
pada di dasar paru. Pada volume paru yang rendah, tekanan pleura pada
dasar paru melebihitekanan saluran nafas perifer, saluran nafas perifer
menutup sedangkan udara alveoli pada puncak paru tetap mengalir.
Selama pernafasan tidal, ventilasi didasar paru melebihi ventilasi
didasar paru melebihi ventilasi dipuncak paru.

Perfusi
Kapiler paru membentuk jaringan yang rapat di dinding alveoli.
Hubungan erat antara alveoli dan dinding. Kapiler menyebabkan ketepat
gunaan pertukaran gas. Pembuluh darah paru merupakan system dengan
tekanan rendah-volume besar. Terdapat kira-kira 6 miliyard kapiler
dalam paru manusia, dan hanya 25% dari kapiler iniy yang di pefusi
pada waktu istirahat. Sirkulasi paru mempunyai kapasitas menampung
kenaikan 2-3 kali curah janung dengan seikit perubahan tekanan arteri
pulmonalis.
Pada waktu kerja fisis, untung menampung peningkatan curah
jantung, terjadi dilatasi pembuluh darah dan kapiler yang tidak diperfusi

16
menjadi diperfusi. Hal ini menunjukkan besarnya kapasitas cadangan
pembuluh darah paru. Pada waktu terdapat peningkatan aliran darah
paru, resistensi vascular paru menurun. Tekanan hidrostatik
intravascular dipengaruhi gaya berat sebab itu pada posisi berdiri
tekanan arteri paru lebih besar pada dasar paru dari pada puncak paru,
dan perfusi paru lebih besarpada dasar paru dari pada puncak paru.
Dinding kapiler paru amat tipis dan luwes (compliant) juga amat
peka terhadap tekanan alveoli.
Distribusi aliran darah di paru-paru:
PA>Pa>PV = tekanan alveoli melebihi tekanan arteri pulmonalis,
melebihi tekanan vena. Aliran darah pada zona 1 sedikit/tidak ada (zona
1)
Pa>PA>PV = tekanan arteri pulmonalis tekanan alveoli, melebihi
tekanan vena, mengakibatkan kenaikn perfusi. Sebab itu pembuluh
darah terbuka dan perfusi naik seimbang dengan kenaikan tekanan
hidrostatik. (Zona 2)
Pa>PV>PA = tekanan arteri paru melebihi tekanan vena, melebihi
tekanan alveoli.ini mengakibatkan alveoli.ini mengakibatkan perfusi
paing besar di dasar paru. (Zona 3)
Pada orang normal diposisi berdiri zone 1 tidak terjadi sebab tekanan
arteri pulmonalis cukup untuk perfusi ke puncak paru, hanya perfusi
dipuncak paru lebih kecil dari pada di dasar paru. Pada keadaan dimana
tekanan hidrostatik menurun sebab renjatan atau perdarahan, tekanan
arteri lebih kecil dari tekanan alveoli atau terdapat kenaikan tekanan
alveoli seperti pada pernafasan dengan tekanan positif (positive
pressure breathing), PEEP dan perlambatan ekspirasi dapat
terjadikeadaan seperti zone 1

Ventilasi yang sia-sia


Pada keadaan alveoli diventilasi tetapi tidak diperfusi, alveoli
berlaku sebagai ruang rugi dimana udara masuk dan keluar tanpa
berpartisipasi dalam pertukaran gas, sehingga ruang rugi anatomis

17
(salaruan pernafasan yang tidak ikut dalam pertukaran gas) sekarang
diperluas dengan ruang rugi alveoli. Ruang rugi alveoli adalahvolume
gas yang di inspirasi, yang memasuki alveoli tetapi tidak ikut dalam
pertukaran gas sebab ketidak seimbanganVa/Q local. Pada keadaa ini
V/Q adalah tidak terhingga.perluasan ruang rugialveoli menyebabkan
aliran udara segar yang mencapai alveoli menurun, PO2 alveoli akan
menurun PCO2 arteri. Keadaan ini sering dikompensasi dengan
hiverpentilasi walaupun hipoksemia seringg menetap. Contoh adalah
emboli paru, emfisema dan vaskulitis.

Perfusi yang sia-sia


Kalau alveoli tidak di ventilasi secara total tapi tetap diperfusi,
darah mengalir ke unit tanpa mengalami pertukaran gas. Darah masih
tetapdarah vena dan perfusi tersebut tidak ada gunananya dan sering
disebut shunt intrapulmoner. Pada keadaan normal ventilaisi paru
seluruhnya kira-kira 6 liter/menit dan curah jantung 6 liter/menit dan
V/Q adalah 1.
Pada perfusi yang sia-sia, V/Q adalah O, sebab ventilasi O dibagi
jumblah tertentu sama dengan O. Darah vena akan bercampur dengan
darah arteri, merupakan kadar O2 dan menaikkan kadar CO2 dan proses
ini disebut campuran darah vena (venous admixtures).
Kalau cukup banyak alveoli yang terkena, maka transfer O2 dan CO2
terganggu,terjadiperubahan komposisi gas dalam darah arteri. Kalau
terjadi kompensasi hiperventilasi terhadap hiperkapnia, kadar CO2 yang
normal dalam darah arteri biasanya dipertahankan. Kenaikan kadar O2
dalam alveiloi yang terventilasi baik tidak dapat menkompensasi untuk
yang tidak terventilasi. Pada shunti intrapulmoner yang bermakna,
biasanya didapatkan PO2 arteri yang rendah dengan P CO2 yang
normal/rendah.
Contoh adalah pada aktelektasis, pneumonia aspirasi, pneumonia
bakteri, edema paru, tenggelam dan sumbatan mucus.

18
Difusi
Difusi adalah proses dimana gas dihantar melewati membrane
alveoli-kapiler, plasma membran sel darah merah dan di ikat oleh
hemoglobin dalam sel darah merah. Proses difusi meliputi 2 komponen
yaitu kapasitas difusi membrane dan komponen sel darah merah serta
hemoglobin. Proses ini mempunyai 2 tahap yaitu tahan gas dan tahap
cairan. Daya larut gas dalam cairan merupakan factor penting. Karbon
dioksida lebih larut dari pada O2 dan berdifusi 20 kali lebih cepat dari
O2. Sebelumnya molekul O2 terikat dengan hemoglobin, ia harus
melewati surfaktan yang melapisi alveoli, eoitel alveoli, membrane
basalis, endotel kapiler, plasma dalam kepiler, memban sel darah
merah.kecepatan difusi gas tekanan gas dialveoli dan darah kapiler paru.
Setelah mencapai plasma darah kapiler, O2 harus masukke dalam sel
darah merah dan terikat dengan hemoglobin. Waktu yang dibutuhkan
untuk 1 ikatan O2 dengan hemoglobin di tentukan dengan volume darah
dalam jaringan kapiler paru dan jumblah O2 yang diambil oleh 1 cc
darah/mm Hg tekanan. Pada keadaan normal, jarak dekat untuk difusi
adalah O2 u, sebab cairan edema, ataupun cairan fibrosis. Luas difusi
tergantung pada jumblah alveoli yang berfungsi dan kehilangan luas
difusi terjadi pada emifesema,fibrothoraks dan reaksi paru. Anemia
akan menurunkan kapasitas difusi sebab jumblah sel darah merah yang
akan mengikat gas yang berdifusi berkurang.

Pengaturan ventilasi
Pengaturan ventilasi untuk mempertahankan PO2 dan PCO2 dalam
batas normal adalah rumit. Gerakan pernafasan yang berjalan dengan
sendirirnya dan tidak disadari, terganung terutama pada pusat
pernafasan di medula oblongata dan dapat di ubah oleh aktivitas pontin
dan korteks, reseptor kimia diaorta, dan badan karotis serta melalui
vagus terhadap dinding dada dan paru-paru. Permeabelitas sekat darah
otak dan membrane sel berbeda untuk tiap zat. Karbon dioksida

19
berdifusi dari darah ke sel medulla jauh lebih cepat dari ke yang lain.
Hal ini pentig dalam proses terjadinya hiperventilasi. Korbon dioksida
akan bereaksi dengan H2O Melepaskan ion H. perubahan ion H dalam
cairan serebrospinal dan cairan medulla akan mengubah ion H dalam
sel, menyebabkan kenaikan volume tidal dan kemudian kecepatan
pernafasan. Kalau kesamaan cairan serebrospinal berlangsung lama,
seperti pada asedosis respirasi sebab penyakit obstruksi menahun,
terjadi kompensasi dimana bikarbonat cairan serebrospinal naik dan pH
akan naik lagi. Sebab itu kenaikan CO2 pada penyakit paru obstruksi
menahun mempunyai reaksi hiperventilasi yang kurang terhadap
kenaikan CO2 padapenyakit paru obstruksi menahun mempunyai reaksi
hiperventilasi yang kurang terhadap kenaikan CO2 dan tergantung dari
rangsangan hipoksia. Pemberian oksigen dalam jumblah yang banyak
untuk memperbaiki hipoksemia untuk menghilangkan rangsangan
pernafasan, menyebabkan hipoventilasi sekunder, sehingga PCO2
kemudian akan naik lagi.

Faktor yang mempengaruhi ventilasi

Ventilasi ditentukan oleh variabel-variabel dalam persamaan

F=P/R

Dengan F adalah bulk flow udara, P adalah perbedaan tekanan antara


atmosfir dan alveoli, dan R adalah resistensi atau tahanan dari saluran
nafas.

Tekanan

Tekanan alveolus bervariasi pada setiap inspirasi dan mendorong


aliiran udara. Pada awitan inspirasi, rongga thoraks mengembang. Pada
saat rongga thoraks mengembang, dada juga mengembang. Menurut
prinsip Boyle, jika volume udara yang mengisi ruang meningkat, tekanan
di dalam ruang tersebut menurun. Oleh karena itu, paru mengembang,
tekanan di dalam alveoli menurun dibawah tekanan atmosfir, dan udara
dari atmosfir menyerbu masuk ke paru (dari tekanan diri ke rendah) pada

20
akhirnya inspirasi,rongga thoraks relaksasi,menyebabkan tekanan
didalam alveolus, yang terisi udara inspirasi,memiliki tekanan yang lebih
tinggi dari pada atmosfir. Udara kemudian mengalir keluar paru sesuai
penurunan gradien tekanan.

Resistensi Bronkus

Resistensi jalan nafas biasanya rendah. Resistensi dappat meningkat


pada keadaan otot polos brokus berkontraksi. Konstiksi bronkus
menyebabkan penurunan aliran udara ke dalam paru. Resistensi
berbanding terbalik dengan jari-jari (radius) pembuluh bronkus pangkat
empat. Sebagai contoh, jika jari-jari pembuluh bronkus menurun
setengahnya, tahanan terhadap aliran udara di bronkus meningkat 16 kali.
Dengan demikian, jika jalan nafas mengalami konstriksi, walaupun
ringan, resistensi terhadap aliran udara di bronkus meningkat secara
bermakna.

Resistensi bronkus ditentukan system saraf parasimpatik dan


simpatik yang mempersarafi otot polos bronkus dan mediator kimia
sekitarnya (local)

Saraf parasimpatik sampai ke otot polos bronkus melalui jalur saraf


vagus dan menyebabkan konstriksi atau penyempitan jalan parasimpatik
melepas neurotransmitter asetilkolin (Ach). ACh berkerja dengan
bersikap reseptor kolinergik yang ada di otot polos.

Persarafan simpatis otot polos bronkus terjadi melalui serabut saraf


dari ganglion servikalis dan thorakslis bagian atas dan menyebabkan
relaksasi atau dilatasi bronkus. Hal ini menurunkan resistensi dan
meningkatkan aliran udara. Saraf simfatis melepas neurotransmitter
norefinefrin yang berikatan dengan reseptor adrenergic B2 di otot polos
bronkus.

Saraf pengendali pernafasan

Ventilasi dikendalikan pusat pernafasan dibatang otak bagian bawah


di area medulla dan pons. Di medulla, terdapat neuron inspirasi dan

21
ekspirasi yang melepaskan muatan pada waktu yang berbeda dalam suatu
pola kecepatan dan irama yang telah di tentukan. Neuron respirasi
menjalankan ventilasi dengan menstemulasi neuron motoric yang
mempersarafi otot-otot utama pernafasan. (diafragma) dan otot
aksesorius (otot interkosta).

Kemoreseptor Pusat

Kemoreseptor pusat diotak berespons terhadap perubahan


konsentrasi ion hidrogen dalam cairan serebro spinal. Peningkatan
konsentrasi ion hidrogen meningkatkan pelepasan muatan kemoreseptor,
sementara penurunan konsentrasi ion hidrogen menurunkan pelepasan
muatan kemoreseptor. Informasi dari kemoreseptor pusat diteruskan ke
pusat pernafasan di otak, yang memberi respons dengan meningkatkan
dan menurunkan pola nafas. Konsentrasi ion hidrogen biasanya
mencerminkan konsentrasi karbon dioksida, oleh sebab itu, jika kadar
karbon dioksida meningkat, keadaan ion hidrogen meningkat, dan
kecepatan pelepasan neuroninspirasi meningkat, menyebabkan
peningkatan frekuensi pernafasan. Hal ini merupakan salah satu contoh
umpan balik negative, karena dengan peningkatan frekuensi nafas,
kelebihan karbon dioksida dan ion hidrogen juga meningkatkan.
Sebalaiknya, jika karbon dioksida rendah dan kadar ion hidrogen rendah,
kecepatan pelepasan neuron inspirasi kembali ke kondisi dasar, dan
respirasi melambat.

Kemoreseptor perifer

Kemoreseptor perifer berada didalam arteri karotis dan aorta, dan


memantau konsenterasi oksigen didalam darah arteri. Reseptor-reseptor
ini, disebut badan karotisatau aorta, yang mengirimkan sinyal-sinyalnya
ke pusat pernafasan di medulla dan pons terutama untuk meningkatkan
frekuensi ventilasi jika kadar oksigen menurun. Kemoreseptor perifer
kurang sensitive dibandingkan kemoreseptor pusat. Kemoreseptor
perifer juga berespon dengan peningkatan laju pelepasan terhadap
peningkatan ion hidrogen yang larut di dalam darah. Hal ini penting

22
karena dalam kondisi tertentu ion hidrogen bebas meningkatkan
perubahan konsentrasi karbon diokisa.

Neuron motoric yang mengendalikan fungsi respirasi

Neuron motoric utama yang mengendalikan pernafasan adalah saraf


frenkius.apabila diaktifkan oleh neuron inspirasi pusat, saraf frenikus
menyebabkan dada mengembang dan udara mulai mengalir dari atmosfir
ke dalam paru. Masuknya aliran udara dalam paru di sebut inspirasi.
Seiring dengan berlanjutnya inspirasi, pelepasan muatan neuron
ekspirasi meningkat, sehingga aktivitas neuron motoric terhenti dan
terjadi relaksasi diafragma. Dada kembali mengempis dan udara
mengalir keluar paru. Aliran udara keluar dari paru disebut ekspirasi.

d. Mekanisme Pernafasan Manusia


Pernafasan pada manusia dapat digolongkan menjadi 2, yaitu:
1) Pernafasan Dada
Pada pernafasan dada otot yang berperan penting adalah otot
antar tulang rusuk. Otot tulang rusuk dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu otot tulang rusuk luar yang berperan dalam mengangkat
tulang-tulang rusuk dan tulang rusuk dalam yang berfungsi
menurunkan atau mengembalikan tulang tulang rusuk ke posisi
semula. Bila otot antar tulang rusuk luar berkontraksi, makan tulang
rusuk akan terangkat sehingga volume dada bertambah besar.
Bertambah besarnya akan menyebabkan tekanan dalam rongga
dada lebih kecil dari pada tekanan rongga dada luar. Karena tekanan
udara kecil pada rongga dada menyebabkan aliran udara mengalir
dari luar tubuh dan masuk ke dalam tubuh, proses ini disebut proses
inspirasi.
Sedangkan pada proses ekspirasi terjadi apabila kontraksi
dari otot dalam, tulang rusuk kembali ke posisi semula dan
menyebabkan tekanan udara di dalam tubuh meningkat. Sehingga

23
udara dalam paru-paru tertekan di rongga dada, dan aliran udara
terdorong ke luar tubuh, proses ini diesbut ekspirasi.

2) Pernafasan perut
Pada pernafasan ini otot yang berperan aktif adalah otot
diafragma dan otot dinding rongga perut. Bila otot diafragma
berkontraksi, posisi diafragma akan mendatar. Hal itu menyebabkan
volume rongga dada bertambah besar sehingga tekanan udara
semakin kecil. Penurunan tekanan udara menyebabkan
mengembangnya paru-paru, sehingga udara mengalir masuk ke
paru-paru (inspirasi).
Pernafasan adalah suatu proses yang terjadi secara otomatis
walau dalam keadaan tertidur sekalipun karena sistem pernafasan
dipengaruhi oleh susunan saraf otonom.
Menurut tempat terjadinya pertukaran gas maka pernafasan
dapat dibedakaban menjadi 2 jenis, yaitu pernafasan luar dan
pernafasan dalam.
Pernafasan luar adalah pertukaran udara yang terjadi antara
udara dalam alveolus dengan darah dalam kapiler, sedangkan
pernafasan dalam adalah pernafasan yang terjadi antara darah dalam
kapiler dengan sel-sel tubuh.
Masuk keluarnya udara dalam paru-paru dipengaruhi oleh
perbedaan tekana udara dalam rongga dada dengan tekanan udara di
luar tubuh. Jika tekana di luar rongga dada lebih besar makan udara

24
akan masuk. Sebaliknya, apabila tekanan dalam rongga dada lebih
besar makan udara akan keluar.
Sehubungan dengan organ yang terkibat dalam pemasukan
udara (inspirasi) dan pengeluran udara (ekspirasi) maka mekanisme
pernafasan dibedakan atas dua macam, yaitu pernafasan dada dan
pernafasan perut. Pernafasan dada dan perut terjadi secara
bersamaan.

e. Volume dan kapasitas paru


Dalam pernafasan di paru-paru melalui suatu mekanisme
pergerakan dinding thoraks yang dipengaruhi oleh siklus perubahan
tekanan udara di dalam paru pada saat ekspirasi dan inspirasi. Setiap
adanya perubahan pola nafas maka diparu-paru akan terjadi perubahan
volume udara dan kapasitas paru. Di bawah ini merupakan gambaran
perubahan volume dan kapasitas paru:
1) Tidal Volume (VT) adalah volume udara dalam pernafasan biasa
(normal). Volume rata-rata dalam pernafasan normal adalah 500 cc,
dan hanya 350 cc yang sampai di paru-paru dan mengalami difusi,
sedangkan 150 cc mengisi saluran nafas dari hidung sampai bronkus
terminalis yang disebut ruang rugi fisiologik. Pada beberapa
penderita ganguan saluran nafas dengan pola nafas yang dangkal
akan menurunkan tidal volume-volume udara efektif yang sampai di
alveoli.

25
2) Inspiratori Reserve Volume (IRV) adalah volume cadangan inspirasi
atau volume udara ektra yang bisa diisap secara maksimal setelah
fase inspirasi biasa, volume IRV untuk laki-laki + 3,3 liter,
sedangkan wanita +1,9 liter.
3) Ekspiratori Reserve Volume (ERV) adalah volume cadangan
ekspirasi atau volume udara ekstra yang bisa dikeluarkan dengan
ekspirasi maksimal, setelah akhir ekspirasi biasa. Volume ERV
untuk laki-laki +1 liter, dan wanita + 0,7 liter.
4) Residual Volume (RV) adalah jumlah volume udara yang masih
tersisa di paru, setelah ekspirasi maksimal dan setelah inspirasi
maksimal, residual rata-rata adalah 1200 cc.
5) Kapasitas Vital / Vital Capacity (VC) adalah kapasitas paru dalam
menampung volume udara setelah inspirasi maksimal dan volume
cadangan ekspirasi maksimal (VT+IRV+ERV) +4600 cc.
6) Kapasitas paru total adalah kapasitas paru menampung udara dengan
inspirasi dan ekspirasi maksimal serta volume residu yang tertinggal
di paru (VC+RV) + 5800cc).
7) Kapasitas residu fungsional adalah jumlah udara yang masih
tertinggal di paru ekspirasi biasa (RV+ERV) + 2300 cc.
8) Kapasitas inspirasi adalah volume udara yang dapat diinspirasi
setelah akhir ekspirasi biasa (VT+IRV) + 3500cc.

f. Skema Udara Pernafasan


Udara cadangan
inspirasi 1500
Udara pernafasan
biasa 500
Kapasitas Total Kapasitas Vital
Udara cadangan
ekspirasi 1500
Udara sisa (residu
1000

26
1) Dengan demikian, udara yang digunakan dalam proses pernafasan
memiliki volume antara 500 cc hingga sekitar 3500 cc.
2) Dari 500 cc udara inspirasi/ekspirasi biasa, hanya sekitar 350 cc
udara yang mencapai alveolus, sedangkan sisanya mengisi saluran
pernafasan.
3) Volume udara pernafasan dapat diukur dengan suatu alat yang
disebut spirometer.
4) Besarnya volume udara pernafasan tersebut dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain ukuran alat pernafasan, kemampuan dan
kebiasaan bernafas, serta kondisi kesehatan.

g. Gas-gas dalam udara


Gas Udara luar Udara di Udara yang
sebelum alveoli (%) keluar dari
masuk paru- paru-paru
paru (%) (%)

Nitrogen (N2) 79,01 80,7 79,6

Oksigen (O2) 20,95 13,8 16,4

Karbondioksida 0,04 5,5 4,0


(CO2)

Pertukaran udara berlangsung di dalam alveolus dan pembuluh


darah yang mengelilinginya. Gas oksigen dan karbondioksida akan
berdifusi melalui sel-sel yang menyusun dinding alveolus dan kapiler
darah. Udara alveolus mengandung zat oksegen yang lebih tinggi dan
karbondioksida lebih rendah dari pada gas di dalam darah pembuluh
kapiler. Oleh karena itu molekul cenderung berpindah dari konsentrasi
yang lebih tinggi ke rendah, maka oksigen berdifusi dari alveolus ke
dalam darah, dan karbondioksida akan berdifusi dari pembuluh darah ke
alveolus. Pengangkutan CO2 oleh darah dapat dilaksanakan melalui 3

27
cara yaitu: (1) karbondioksida larut dalam plasma dan membentuk asam
karbonat dengan enzim anhydrase. (2) karbondioksida terikat pada
hemoglobin dalam bentuk karbomino hemoglobin (3) karbondioksida
terikat dalam gugus ion bikarbonat (HCO2) melalui proses berantai
pertukaran klorida.

h. Pertukaran O2 dan CO2 dalam Pernafasan


Jumlah oksigenyang diambil melalui udara pernafasan tergantung
pada kebutuhan dan hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh jenis
pekerjaan, ukuran tubuh, serta jumlah maupun jenis bahan makanan
yang dimakan.
Pekerja-pekerja berat termasuk atilt lebih banyak mebutuhkan
oksigen dibanding pekerja ringan. Demikian juga seseorang yang
memiliki ukuran tubuh lebih besar dengan sendirinya membutuhkan
okseigen lebih banyak. Selanjutnya, seseorang yang memiliki kebiasaan
memakan lebih banyak daging akan membutuhkan lebih banyak
oksigen daripada seorang vegetarian.
Dalam keadaan biasa, manusia membutuhkan sekitar 300 ccoksigen
sehari (24 jam) atau sekitar 0,5 cc tiap menit. Kebutuhan terebut
berbanding lurus dengan volume udara inspirasi dan ekspirasi biasa
kecuali dalam keadaan tertentu saat konsentrasi oksigen udara inspirasi
berkurang atau karena sebab lain, misalnya konsentrasi hemoglobin
darah berkurang.
Oksigen yang dibutuhkan berdifusi masuk ke darah dalam kapiler
darah yang menyelubungi alveolus. Selanjutnya, sebagian besar oksigen
diikat oleh zat warna darah atau pigmen darah (hemoglobin) untuk
diangkut ke sel-sel jaringan tubuh.
Hemoglobin yang terdapat dalam butir darah merah atau eritrosit ini
tersusun oleh senyawa hemin atau hematin yang mengandung unsur besi
dan globin yang berupa protein.

28
Secara sederhana, pengikatan oksigen oleh hemoglobin dapat
diperlihatkan menurut persamaan reaksi bolak-balik berikut ini:
Hb4 + O2 4 Hb O2 oksihemoglobin) berwarna jernih
Reaksi yang dipengarihi oleh kadar O2, kadar CO2, tekanan O2
(PO2), perbedaan kadar O2 dalam jaringa, kadar O2 di udara. Proses
difusi oksigen ke dalam arteri demikian juga difusi CO2 dari arteri
dipengaruhi oleh tekanan O2 dalam udara inspirasi.
Tekanan seluruh udara lingkungan sekitar 1 atmosfir atau 760
mmHg, sedangkan tekanan O2 di lingkungan sekitar 160 mmHg.
Tekanan oksigen di lingkunagn lebih tinggi dari pada tekanan oksigen
dalam alveolus paru-paru dan arteri yang hanya 104 mmHg. Oleh karena
itu oksigen dapat masuk ke paru-paru secara difusi.
Dari paru-paru, O2 akan mengalir lewat vena pulmonalis yang
tekanan O2 nya 104 mm; menuju ke jantung. Dari jantung O2 mengalir
lewat arteri sistemik yang tekanan O2 nya 104 mmHg menuju ke
jaringan tubuh yang tekanan O2 nya 0-40 mmHg. Di jaringan, O2 akan
dipergunakan. Dari jaringan CO2 akan mengalir lewat vena sistemik ke
jantung. Tekanan CO2 di jaringan di atas 45 mmHg, lebih tinggi
dibandingkan vena sistemik yang hanya 45 mmHg. Dari jantung, CO2
mengalir lewat arteri pulmonalis yang tekanan O2 nya sama yaitu 45
mmHg. Dari arteri pulmonalis CO2 masuk ke paru-paru lalu dilepsakan
ke udara bebas.
Beberapa minimal darah yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan oksigen pada jaringan? Setiap 100 mm3 darah dengan

29
tekanan oksigen 100 mmHg dapat mengangkut 19 cc oksigen. Bila
tekanan oksigen hanya 40 mmHg makan hanya ada sekitar 12 cc oksigen
yang bertahan dalam darah vena. Dengan demikian kemampuan
hemoglobin untuk mengikat oksigen adalah 7 cc per 100 mm3 darah.
Pengangkutan sekitar 200 mm3 CO2 keluar tubuh umumnya
berlangsung menurut reaksi kimia berikut:
1) O2 +H2O Þ (karbonat anhidrase) H2CO3
Tiap liter darah hanya dapat melarutkan 4,3 cc CO2 sehingga
mempengaruhi pH darah menjadi 4,5 karena terbentuknya asam
karbonat.
Pengangkutan CO2 oleh darah dapat dilaksanakan melalui 3 cara
yakni sebagai berikut.
Karbondioksida larut dalam plasma, dan membentuk asam karbonat
dengan enzim anhidrase (7% dari seluruh C).
2) Karbondioksida terikat pada hemoglobin dalam bentuk karbomino
hemoglobin (23% dari seluruh CO2).
3) Karbondioksida terikat dalam gugus ion bikarbonat (HCO3)
melalui proses berantai pertukaran klorida (70% dari seluruh CO2).
Reaksinya adalah sebagai berikut.
CO2 + H2O Þ H2CO3 Þ H+ + HCO-3
Gangguan terhadap pengangkutan CO2 dapat mengakibatkan
munculnya gejala asidosis karena turunnya kadar basa dalam darah.
Hal tersebut dapat dosebabkan karena keadaan Pneumonia.
Sebaliknya apabila terjadi akumulasi garam basa dalam darah maka
muncul geaja alkalosis.

i. Energi dan Pernafasan


Energi yang dihasilkan oleh proses pernafasan akan digunakan
untuk membentuk molekul berenergi, yaitu ATP (Adenosin Tri
Phospate). Selanjutnya, molekul ATP akan disimpan dalam sel dan
merupakan sumber energi utama untuk aktivitas tubuh. ATP berasal dari
perombakan senyawa organik seperti karbohidrat, protein, dan lemak.

30
Gula (glukosa) dari pemecahan karbohidrat dalam tubuh diubah terlebih
dahulu menjadi senyawa fosfat yang dikatalisis oleh bantuan enzim
glukokinase. Selanjutnya senyawa fosfat diubah menjadi asam piruvat
dan akhirnya dibebaskan dalam bentuk H2O dan CO2 sebagai hasil
samping oksidasi tersebut. Proses respirasi sel dari bahan glukosa secara
garis besar, meliputi tiga tahapan, yaitu proses glikosis, siklus Krebs,
dan tranfer elektron.
Pada pekerja berat atau para atlit yang beraktivitas tinggi,
pembentukan energi dapat dilakukan secara anaerobic. Hal ini
disebabakan bila tubuh kekurangan suplai oksigen makan akan terjadi
proses perombakan asam piruvat menjadi asam laktat yang akan
membentuk 2 mol ATP.

j. Frekuensi Pernafasan
Jumlah udara yang keluar masuk ke paru-paru setiap kali bernafas
disebut sebagai frekuensi pernafasan. Pada umumnya, frekuensi
pernafasan manusia setiap menitnya sebanyak 15-18 kali. Cepat atau
lambatnya frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya:
1) Usia. Semakin bertambahnya usia seseorang makan akan semakin
rendah frekuensi parnafasannya. Hal ini berhubungan dengan
energi yang dibutuhkan.
2) Jenis Kelamin. Pada umumnya pria memiliki frekuensi pernafasan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Kebutuhan akan
oksigen serta produksi karbondioksida pada pria lebih tinggi
dibandingkan wanita.
3) Suhu tubuh. Semakin tinggi suhu tubuh seseorang makan akan
semakin cepat frekuensi pernafasannya, hal ini berhubungan
dengan peningkatan proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh.
4) Posisi atau kedudukan tubuh. Frekuensi pernafasan ketika sedang
duduk akan berbeda dibandingkan dengan ketika sedang

31
berjongkok atau berdiri. Hal ini berhubungan erat dengan energi
yang dibutuhkan oleh organ tubuh sebagai tumpuan berat tubuh.
5) Aktivitas. Seseorang yang aktivitas fisiknya tinggi seperti
olahragawan akan membutuhkan lebih banyak energi daripada
orang yang diam atau santai, oleh karena itu, frekuensi pernafasan
orang tersebut juga lebih tinggi. Gerakan dan frekuensi pernafasan
diatur oleh pusat pernafasan yang terdapat di otak. Selain itu,
frekuensi pernafasan distimulus oleh konsentrasi karbondioksida
(CO2) dalam darah.

D. Klasifikasi Gagal Napas


Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3
tipe. Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi, Tipe II yaitu kegagalan ventilasi,
tipe III adalah gabungan antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi. Karena
sistem pernafasan terdiri dari dua bagian yang merupakan paru-paru dan
pompa yang ventilasi paru-paru, kegagalan pernafasan juga dapat
dikategorikan sesuai yang baik gagal paru-paru atau kegagalan pompa.
Berbicara dengan lebih spesifik lagi, kegagalan paru-paru yang disebabkan
oleh berbagai penyakit paru-paru, misalnya pneumonia, emfisema dan
penyakit paru-paru interstitial, mengarah ke hipoksemia dengan normocapnia
atau hipokapnia (hypoxaemic atau tipe I gagal napas). Tipe kedua adalah
kegagalan pompa, misalnya overdosis obat akan menghasilkan hipoventilasi
alveolar dan hiperkapnia (hiperkapnia atau gagal napas tipe II). Gagal nafas
tipe III menunjukkan gambaran baik hipoksemia dan hiperkarbia (penurunan
PaO2 dan peningkatan PaCO2). Penilaian berdasarkan pada persamaan gas
alveolar menunjukkan adanya peningkatan perbedaan antara PAO2 – PaO2,
venous admixture dan Vd/VT. Dalam teori , setiap kelainan yang menyebabkan
gagal nafas tipe I atau tipe II dapat menyebabkan gagal nafas tipe III.

E. Patofisiologi
Proses pernafasan dibagi menjadi empat proses yaitu ventilasi, difusi, aliran
darah dan kontrol pernafasan, yang masing-masing berfungsi mempertahankan

32
nilai normal PO2 dan PCO2 dalam darah arteri. Kelainan salah satu proses yang
cukup berat menyebabkan gagal pernafasan.

Dua klasifikasi utama pada gagal nafas berdasarkan patofisiologi ABG:


1. Gagal nafas hipoksemia, atau normokapnea, (hipoksemia dengan PaCO2
normal atau rendah).
2. Kegagalan hiperkapnea, atau ventilatorik (hipoksemia dan hiperkapnea).

Hipoksemia dan hipoksia. Istilah hipoksemia paling sering menunjukkan


PO2, yang rendah di dalam darah arteri (PaO2), dan dapat digunakan untuk
menunjukkan PO2, pada kapiler, vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga
dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2, darah atau berkurangnya
saturasi oksigen di dalam hemoglobin.

Hipoksia umumnya berarti penurunan penyampaian (delivery) O2, ke


jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2, ke jaringan.

Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula terjadi


akibat penurunan penyampaian O2, karena faktor rendahnya curah jantung,
anemia, syok septik, atau keracunan karbon monoksida, di mana Po2, arterial
dapat normal atau meningkat.

Mekanisme hipoksemia. Mekanisme fisiologi hipoksemia mempunyai


kegunaan dalam identifikasi tipe penyakit paru dan respons terapi. Mekanisme
ini dibagi dalam dua golongan utama: 1). berkurangnya PO2, alveolar, dan 2).
meningkatnya pengaruh campuran darah vena (venous admixture).

Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan tidak
mendapatkan oksigen selama perjalanan di pembuluh darah paru, maka darah
yang keluar di arter akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial
oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. PO2, darah vena sistemik
(PVO2) menentukan batas bawah PO2, arteri Bila semua darah vena yang
bersaturasi rendah melalu sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan
gas di rongga alveolar, maka PO2, = PAO2, Maka PO2, alveolam (PAO2)

33
menentukan batas atas PO2, arteri. Semua nilai PO2 berada diantara PVO2,
dan PAO2.

F. Mekanisme Hipoksemia dan Hiperkapnia


Pada definisinya, hipoksemia terjadi pada gagal napas. Gagal napas
hipoksemia ditandai dengan adanya hipoksemia dan normocapnia atau
hipokapnia, sedangkan kegagalan ventilasi ditandai dengan adanya
hipoksemia dan hiperkapnia. Perbedaan dalam pengobatan pada dua keadaan
ini akan semakin jelas dalam pembahasan berikut.
Ada beberapa mekanisme pathogenesis yang mengakibatkan hipoksemia
dan hiperkapnia. Namun, hanya tiga mekanisme terakhir dalam daftar ini,
(hipoventilasi alveolar, rasio ventilasi/perfusi [V/Q] rendah, dan pirau)
merupakan penyebab penting hipoksemia. Penyebab primer hiperkapnia
adalah hipoventilasi alveolar, tetapi ketidakseimbangan V/Q umumnya sedikit
memengaruhi PaCO2. Perlu diketahui bahwa hipoventilasi alveolar
mengakibatkan hiperkapnia dan hipoksemia, sedangkan ketidakseimbangan
V/Q umumnya hanya menyebabkan hipoksemia.
Pengaruh PaCO2 pada paru related mudah : PaCO2 berhubungan langsung
dengan produksi CO2 dan hampir berbandinng terbalik dengan ventilasi
alveolar:
𝑉𝐶𝑂2 (𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝐶𝑂2 )
𝑷𝒂𝑪𝑶𝟐 𝛼
𝑉𝐴 (𝑣𝑒𝑛𝑡𝑖𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑙𝑣𝑒𝑜𝑙𝑎𝑟)

Dengan demikian jika ventilasi alveolar (VA) berkurang separuh, PaCO2


akan menjadi dua kali lipat untuk mempertahankan produksi CO2 tetap
konstan. Sebaliknya, jika VA meningkat menjadi dua kali lipat, seperti halnya
pada hiperventilasi, PaCO2 akan menurun menjadi setengahnya. Kegagalan
ventilasi dengan hiperkapnia selalu melibatkan mekanisme hipoventilasi
alveolar. Hipoventilasi murni, meskipun relative jarang, dikaitkan dengan
keadaan ekstrapulmonal yang termuat dalam kontak 41-1, saat paru relative
normal (kecuali pada kifoskoliosis). Hipoventilasi alveolar terjadi pada
keadaan-keadaan ini karena ventilasi semenit menurun, misalnya pada

34
penekanan pusat pernapasan karena penggunaan narkotik yang overdosis, atau
jika ada peningkatan kerja pernapasan yang tidak proporsional atau
metabolisme tubuh total (meningkatkan produksi CO2) pada VA tertentu,
seperti pada obesitas atau deformitas dada.
Hipoksemia yang berkaitan dengan hipoventilasi murni umumnya ringan
(PaO2=50 sampai 80 mmHg) dan langsung disebabkan oleh peningkatan PCO2
alveolar (PaCO2). Kejadian ini dapat dijelaskan dengan mengingat bahwa
tekanan parsial alveolar atau gas-gas darah pada seluruh arteri harus
ditambahkan pada tekanan total (atmosfir). Dengan demikian bila PaCO2
meningkat, PaO2 harus menurun, dan sebaliknya pada tekanan atmosfer total
yang konstan.
Hubungan antara peningkatanya tegangan karbon dioksida (PCO2) dan
menurunnya tegangan oksigen (PO2) yang terjadi pada keadaan hipoventilasi
dapat diprediksikan dengan persamaan gas alveolar bila diketahui komposisi
FIO2 dan rasio pertukaran pernapasan (R atau RQ), seperti di bawah ini:
𝑃𝑎𝐶𝑂2
𝑃𝐴𝑂2 = 𝐹𝐼𝑂2 (𝑃𝐵 − 𝑃𝐻2 𝑂) −
𝑅

PaO2 adalah tekanan parsial O2 dalam alveolus FIO2 adalah fraksi O2 yang
diinspirasi (0,21 ketika bernapas) PB adalah tekanan barometric (760 mmHg
pada permukaan laut), PH2O adalah tekanan parsial uap air dalam trakea (47
mmHg pada suhu tubuh normal), dan PaCO2 adalah tekanan parsial CO2 dalam
darah arteri dan mengambil bagian yang sama dalam alveolus. R atau RQ
ditentukan oleh metabolism tubuh dan sama dengan volume produksi CO2
dibagi dengan volume O2 yang dikonsumsi (VCO2/VO2). Nilai R adalah 0,7
jika lemak murni terbakar, 1,0 jika karbohidrat terbakar, dan kira-kira 0,8 pada
makanan campuran. Ketika seorang yang sehat bernapasan dalam udara
ruangan dengan PaCO2 normal sebesar 40 mmHg dan nilai R yang diambil =
0,8:

40
𝑃𝐴𝑂2 = 0,21 (760 − 47) −
0,8
𝑃𝐴𝑂2 = 𝑃𝐴𝑂2 = 100 𝑚𝑚𝐻𝑔

35
Jika seorang hipoventilasi bernapas dalam udara ruangan dan PaCO2 normal
meningkat dari 40 mmHg menjadi 70 mmHg, PAO2 dan PaO2 seharusnya turun
dari 100 mmHg ke sekitar 62 mmHg:

70
𝑃𝐴𝑂2 = 0,21 (760 − 47) −
0,8
𝑃𝐴𝑂2 = 𝑃𝐴𝑂2 = 62,23 𝑚𝑚𝐻𝑔

(CATATAN : untuk setiap kenaikan PaCO2 10mmHg di atas normal, PaCO2


akan turun 12,5 mmHg).

Pemeriksaan persamaan alveolar gas membuat hipoksemia yang


berkembang dari hipoventilasi murni dapat dikoreksi secara mudah dengan
pemberian O2 dan peningkatan FIO2. Persamaan juga memperlihatkan bahwa
jika menurunan PaO2 lebih besar dari yang diharapkan, maka harus dilakukan
mekanisme lain yang mengakibatkan hipoksemia (pirau atau
ketidakseimbangan V/Q). Meskipun derajat hipoksemia yang berkembang dari
hipoventilasi murni pada contoh tersebut tidak berat (karena kejenuhan O2
sekitar 90% pada PaO2 62 mmHg), namun derajat PaCO2 ini akan menekan
pusat pernapasan dan mengakibatkan asidosis yang serius.

Ketidakseimbangan, atau ketidakpadanan V/Q, dalam batas-batas tertentu


merupakan mekanisme paling penting yang menyebabkan hipoksemia pada
orang-orang dengan obstruksi saluran napas kronik dan memegang peranan
penting pada gangguan paru instrinsik lainnya. Ketidakseimbangan atau
ketidakpadanan V/Q menyatakan adanya ketidakseimbangan ventilasi regional
dan aliran darah pada unit-unit pertukaran gas paru seperti yang telah dibahas
dalam Bab 35. Beberapa unit pulmonal mempunyai rasio V/Q yang tinggi
(yaitu unit ventilasi sia-sia atau unit mirip ruang mati), sedangkan yang lain
memeliki rasio V/Q yang rendah (perfusi sia-sia, pirau fisiologi, campuran
vena). Jika sebagian alveoli menerima ventilasi yang terlalu sedikit
dibandingkan dengan perfusinya (V/Q rendah), maka terjadi penurunan PaO2
dan peningkatan PaCO2 darah yang meninggalkan alveoli. Akibatnya, darah
dipirau lewat alveoli tanpa pertukaran gas darah yang memadai (efek campuran
vena). Sebaliknya, alveoli yang terlalu sedikit menerima perfusi dibandingkan

36
ventilasinya (V/Q tinggi) mengakibatkan PaO2 yang tinggi dan PaCO2 rendah
dalam darah yang mengalir dari alveoli. Perlu diingat bahwa paru yang sehat
juga mengalami beberapa ketidakseimbangan V/Q akibat efek gravitasi, tetapi
perbedaan ini tidak cukup bermakna untuk mengakibatkan kelainan gas darah.
Rasio V/Q yang rendah dapat menyebabkan hipoksemia yang bermakna pada
penyakit paru tetapi umumnya hanya sedikit memengaruhi PaCO2. Perbedaan
ini ditimbulkan oleh hubungan antara tekanan-tekanan parsial dan kandunngan
dari kedua gas ini.

Prinsip – prinsip pentinng yang perlu diingat dalam pembahasan sampai


sejauh ini adalah (1) factor-faktor yang menentukan oksigenasi dan ventilasi
berbeda dan harus dianalisi secara terpisah, (2) seluruh paru secara
keseluruhan, tanpa memandang ketidakseimbangan local distribusi ventilasi
dan perfusi, (3) PaO2, sebaliknya, tidak hanya bergantung hiperkapnia harus
dipandang sebagai cermin dari maslah yang tidak hanya berhubungan dengan
oksigenasi tetapi juga dengan ventilasi.

Mekanisme pentinng ketiga yang mennyebabkan hipoksemia adalah pirau


darah vena-ke-arteri, atau kanan-ke-kiri, yang tidak melalui unit-unit
pertukaran gas paru. Pirau kanan-ke-kiri anatomikk sejati dapat terjadi pada
penyakit jantung kongenital, yaitu ketika terdapat lubang antara sisi kanan dan
kiri jantung, atau yang lebih jarang, adanya fistula normal juga terdapat pirau
sejati dalam jumlah yang kecil, yaitu sebesar kira-kira 2,5% dari aliran darah
paru. Selain kelainan vascular anatomic yang jarang dan pirau normal dalam
jumlah kecil ini, pirau juga dapat terjadi jika ruang alveolar tidak berfungsi,
seperti pada edema paru atau pneumonia. Pirau jenis ini dapat dianggap sebagai
jenis ketidakpadanan V/Q yang berat karena ventilasi dari unit-unit yang
terkena adalah nol sedangkan perfusinya terus berlangsung. Jika cukup
banyyak unit-unit pertukaran gas terlibat dalam pirau ini, dapat timbul
hipoksemia yang berat. Namun PaCO2 umumnya normal atau rendah karena
orang tersebut biasanya mampu meningkatkan ventilasi pada sisa paru normal
untuk membuang CO2 secara memadai. Jika terjadi hiperventilasi secara
keseluruhan akibat hipoksemia yang ekstrim, dapat timbul hipoksemia yang
berat. Namun PaCO2 umumnya normal atau rendah karena orang tersebut

37
biasanya mampu meningkatkan ventilasi pada sisa paru normal untuk
membuang CO2 secara memadai. Jika terjadi hiperventilasi secara keseluruhan
akibat hipoksemia yang ekstrim, dapat timbul hipokapnia dan alkalosis
respiratori. Gagal napas hipoksemia yang terutama disebabkan oleh pirau sulit
diatasi karena hipoksemia tidak segera diatasi dengan terapi O2.

Jenis lain dari ketidakseimbangan V/Q yang ekstrem dapat dicontohkan


dengan unit paru yang memounyai ventilasi tetapi tidak mengalami perfusi
(ruang mati). Contoh klasik pennyakit ruang mati alveolaris adalah embolus
paru akut. Penyebab lain yang sering adalah perfusi paru yang menurun secara
akut , atau hipertensi paru akut yang disertai peningkatan resistensi paru akut
yang disertai peningkatan resistensi vasluler paru. Kerusakan dinding septum
alveolaris pada emfisema sehingga sejumlah alveoli diganti oleh rongga udara
yang besar, mengakibatkan berkurangnya daerah permukaan untuk pertukaran
gas. Ruang mati anatomis dapat sangat bertambah pada pola pernapasan yang
cepat dan dangkal.

Hipoksemia yang disebabkan oleh ketinggiann lokasi umumnya dapat


diabaikan dalam pengobatan gagal napas karena merupakan hal yang tetap bagi
penduduk setempat. Pada permukaan laut, tekanan barometer (PB) adalah 760
mmHg. Dengan bertambahnya ketinggian, PB total dan PO2 dari udara inspirasi
menurun meskipun presentasi O2 dalam udara tetap konstan pada 20,93%.
Contohnya, di Boston yaitu setinggi permukaan laut, PB sebesar 760 mmHg
dengan PO2 inspirasi sebesar 159 mmHg, sementara di Denver PB sebesar
632,3 mmHg dan PO2 inspirasi sebesar 1332,3 mmHg.

Kebanyakan para ahli kini tidak lagi menganggap gangguan dalam difusi
merupakan factor yang bermakna dalam menimbulkan hipoksemia, meskipun
gangguan itu dapat sedikit berperan jika terdapat penebalan membrane kapiler-
alveolar, seperti pada fibrosis paru dan sarcoidosis. Dalam keadaan istiraha,
lama kontak yang normal dari udara alveolus dengan darah pulmonal adalah
0,75 detik, dan keseimbangan tercapai dalam waktu 0,25 detik. Jadi dengan
demikian tersedia cukup waktu untuk terjadi proses difusi. Bila selama berlatih

38
lama difusi agak berkurang, maka keterbatasan difusi ini mungkin akan ikut
menyokong terjadinya hipoksemia.

Ringkasnya, jika terdapat gagal napas hipoksemia, mekanisme utama yang


terlibt adalah rasio V/Q yang rendah atau pirau, secara sendiri-sendiri ataupun
Bersama-sama. Gangguan difusi mungkin sedikit berperan dalam
menimbulkan hipoksemia, tetapi pandangan ini masih kontroversial.
Insufisiensi atau gagal napas biasanya disebabkan oleh penyakit paru vascular
atau restriktif. Meskipun kerja pernapasan meningkat pada keadaan-keadaan
itu (mengakibatkan peningkatan produksi CO2 dan pemakaian O2 untuk kerja
ventilasi), seseorang masih cukup kuat untuk meningkatkan ventilasi secara
memadai untuk mempertahankan PaCO2 normal. Sedikit kenaikan pada PaCO2
akan merangsang peningkatan ventilasi. Jika PaO2 turun sampai 50 atau 60
mmHg, maka ini juga merangsang ventilasi. Akibatnya dapat timbul
hiperventilasi, sehingga PaCO2 turun dibawah batas normal (alkalosis
respiratorik atau hipokapnia). Hiperventilasi dalam udara ruangan umumnya
tidak efektif untuk memperbaiki hipoksemia karena bentuk sigmoid dari kurva
disosiasi oksihemoglobin. Terapi oksigen cukup efektif dalam memperbaiki
hipoksemia yang disebabkan oleh ketidakseimbangan V/Q atau gangguan
difusi, tetapi tidak efektif jika disebabkan oleh pirau.

Kegagalan hiperkapnia atau ventilasi dapat disebabkan oleh hipoventilasi


saja atau gabungan dengan salah satu atau semua mekanisme hipoksemia-
ketidakseimbangan V/Q, pirau, atau mungkin gangguan difusi. Kegagalan
ventilasi murni terjadi pada gangguan ekstrapulmonal yang melibatkan
kegagalan kendali saraf atau otot-otot pernapasan, contoh klasik gagal napas
hiperkapnia adalah COPD dan melibatkan ketidakseimbangan V/Q dan
hipoventilasi. Jika pada pasien ini, gagal napas dicetuskan oleh secret yang
tertahan dan pneumonia, dapat terbentuk pirau yang cukup besar. Walaupun
gangguan obstruktif saluran napas umumnya mengakibatkan gagal napas
hiperkapnia, namun terdapat pengecualian pada penyakit saluran napas yang
reversible, seperti pada asma. Serangan asma akut biasanya ditandai dengan
hipoksemia dan hipokapnia karena pasien biasanya dapat melakukan
hiperventilasi. Peningkatan PaCO2 meskipun sampai batas-batas normal pada

39
serangan asma yang berkepanjangan dapat merupakan tanda bahwa fungsi paru
telah menurun. Focus primer dari kegagalan ventilasi adalah tindakan untuk
memperbaiki ventilasi, dan pada waktu yang bersamaan mencegah terjadinya
hipoksia jaringan yang serius. Cara-cara untuk membedakan mekanisme
penyebab hipoksemia dan hiperkapnia akan dibicarakan lebih lanjut.

G. Prognosis
Tingkat mortalitas bervariasi tetapi umumnya pasien yang masuk ICU
dengan diagnosis ini memiliki tingkat mortalitas yang hampir 50%. Masalah
medis ini mengakibatkan lamanya opname lebih dari 1 minggu di ICU.

H. Manifestasi Klinis
Manifestasi gagal napas akut mencerminkan gabungan dari gambaran klinis
penyakit penyebab, factor-faktor pencetus, srerta manifestasi hipoksemia dan
hiperkapnia. Dengan demikian gambaran klinisnya cukup bervariasi karena
berbagai factor dapat menjadi pencetus. Ada atau tidaknya insufiensi
pernapasan kronik yang mendahului, juga merupakan factor lain yang dapat
memberikan perbedaan dalam gambaran klinisnya.
Tanda dan gejala hipoksemia merupakan akibat langsung dari hipoksia
jaringan. Tanda dan gejala yang sering dicari untuk menentukan adanya
hipoksemia seringkali baru timbul setelah PaO2 mencapai 40 sampai 50
mmHg. Jaringan yang sangat peka terhadap penurunan O2 paling banyak
terpengaruh, termasuk otak, jantung, dan paru. Tanda dan gejala yang paling
menonjol adalah neurologic: sakit kepala, kekacauan mental, gangguan dalam
penilaian, bicara kacau, asteriksis, gangguan fungsi motoric, agitasi, dan
gelisah yang dapat berlanjut menjadi delirium dan tidak sadar. Pada beberapa
kasus, tanda dan gejala neurologic dari orang yang mengalami hipoksia
disalahtafsirkan sebagai mabuk karena alcohol. Respon awal kardiovaskular
terhadap hipoksemia adalah takikardia dan peningkatan curah jantung serta
tekanan darah. Jika hipoksia menetap, bardikarida, hipotensi, penurunan curah
jantung, dan aritmia dapat terjadi. Hipoksemia menyebabkan vasokontriksi
pada pembuluh darah paru. Efek metabolic hipoksia jaringan adalah

40
metabolism anaerobic yang mengakibatkan asidosis metabolic. Meskipun
sianosis sering dianggap sebagai salah satu tanda hipoksia, tetapi tanda ini tidak
dapat diandalkan. Gejala klasik dyspnea nungkin tidak ada, terutama bila ada
penekanan pusat pernapasan seperti pada gagal napas akibat kelebihan dosis
narkotik.
Hiperkapnia yang terjadi dalam udara ruangan selalu disertai hipoksemia.
Akibatnya tanda dari gejala gagal nafas mencerminkan efek-efek dari
hiperkapnia dan hipoksemia. Efek utama dari PaCO2 yang meningkat adalah
penekenan system saraf pusat (CNS). Itulah sebabnya mengapa hiperkapnia
yang berat kadang-kadang disebut sebagai narcosis CO2. Hiperkapnia
mengakibatkan vasodilatasi serebral peningkatan aliran darah serebral, dan
peningkatan tekanan intracranial. Akibatnya timbul gejala yang khas, yaitu
sakit kepala, yang bertambah berat sewaktu bangun tidur pada pagi hari (karena
PaCO2 sedikit meningkat sewaktu tidur). Tanda dan gejala yang lain adalah
edema papil, iritabilitas neuromuscular (asteriksis), suasana hati yang berubah-
ubah, dan rasa mengantuk yang terus bertambah yang akhirnya akan menuju
koma yang ringan. Meskipun peningkatan PaCO2 merupakan rangsangan yang
paling kuat untuk bernapas, tetapi peningkatan PaCO2 juga menimbulkan efek
yang menekan pernapasan jika kadarnya melebihi 70 mmHg. Selain itu, pasien
dengan COPD dan hiperkapnia kronik akan menjadi tidak peka terhadap
peningkatan PaCO2 dan menjadi bergantung pada dorongan hipoksia.
Hiperkapnia menyebabkan konstriksi pada pembuluh darah paru, sehingga
dapat memperberat hipertensi arteria pulmonalis. Jika retensi CO2 sangat berat,
dapat terjadi penurunan kontraktilitas miokardium, vasodilatasi sistemik, gagal
jantung, dan hipotensi. Hiperkapnia menyebabkan asidosis respiratorik, yang
sering bercampur dengan asidosis metabolic jika terjadi hipoksia. Campuran
ini dapat menagkibatkan penurunan pH darah yang serius. Respon
kompensatorik ginjal terhadap asidosis respiratorik adalah reabsorpsi
bikarbonat untuk mempertahankan pH darah agar tetap normal. Respons ini
memerlukan waktu sekitar 3 hari, sehingga asiodis respiratorik akan jauh lebih
berat jika awitannya cepat.

41
I. Tanda dan Gejala Khusus
1. Awal
a. Perubahan neurologik: resah, gelisah, pusing, cemas.
b. Tanda-tanda vital akan meningkat yang menyebabkan takipnea,
takikardia, dan hipertensi.
c. Oksimetri nadi akan turun dibawah normal.
d. Sesak nafas dan dispnea saat istirahat (paling umum).
e. Penggunaan otot aksesoris dan interkostal.
f. Suara nafas abnormal: crackles, gurgles.
g. Perubahan pada jumlah dahak (sputum), warna, dan perlu dilakukan
suction.
h. Disritmia jantung.
i. Seluruh kulit pucat.
2. Akhir
a. Perubahan-perubahan neurologi: letargi, rasa kantuk berat, koma.
b. Tanda-tanda vital turun yang menyebabkan bradipnea, bradikardi, dan
hipotensi.
c. Sianosis/warna kulit tubuh terlihat bercak (mottling) dan usaha
pernafasan yang lemah.
d. Henti jantung

J. Diagnosis
Ada beberapa keadaaan yang timbul selama setiap orang dapat mengenali
adanya gagal napas. Contohnya adalah henti jantung, obstruksi total saluran
napas atas, misalnya, oleh sepotong daging, cedera kepala serius yang cukup
untuk menghentikan mekanisme pernapasan, atau kesulitan bernapas pada
orang yang slanotik. Namun demikian, pada banyak pasien, gagal napas dapat
tidak jelas terlihat. Awitan gagal napas terjadi perlahan-lahan pada banyak
pasien dengan insufisiensi pernapasan kronik. Tanda dan gejala mungkin tidak
khas dan sangat tidak sesuai dengan beratnya gangguan pernapasan sampai
keadaan menjadi sangat gawat. Sikap yang sangat waspada diperlukan untuk
mengenali setiap kasus gagal napas. Dengan demikian, klinisi perlu untuk

42
sangat mencurigai adanya gagal napas dan siap untuk melakukan analisa gas-
gas darah arteri (ABG) yang merupakan satu-satunya jalan untuk membuat
diagnosis pasti. Pada umumnya PaCO2 yang mencapai 50 mmHg atau lebih
atau PaO2 mencapai 50 sampai 60 mmHg atau kurang pada ketinggian
permukaan laut diterima sebagai petunjuk adanya gagal napas.

K. Interpretasi Hasil Tes


ABG diperiksa dengan teliti untuk menentukan ARF. Pada pasien dengan
nilai ABG normal, ARF didiagnosis ketika PO2 kurang dari 60 mm Hg dan
PCO2 lebih besar dari 45 mm Hg. Pada pasien dengan tahanan PCO2 kronis pH
juga harus ikut diperiksa, dengan nilai kurang dari 7,35 yang mengindikasikan
ARF. CO2 tidal akhir juga akan tinggi.
Rontgen dada akan berubah dari bersih ke putih dan buram (infiltrat
bebercak) jika ARF karena aspirasi, gagal jantung, atau cairan dalam rongga
dada.
Nilai hemoglobin dan hematokrit yang rendah dapat menyebakan
hipoksemia jika tidak ada zat besi pada molekul hemoglobin untuk menatu
dengan oksigen yang tersedia.

L. Penanganan
1. Pengenalan dini dan perawatan penyebab yang mendasari
2. Intubasi sebelum pasien lelah bernafas
3. Ventilasi mekanis dengan PEEP dan FiO2 yang tinggi ditambahkan jika
hipoksia berat.
4. Pemasukan pipa nasogastrik dengan dukungan nutrisi
5. Pasang kateter arteri pulmonalis jika cairan dan status jantung belum jelas
6. Transfusi sel darah merah jika pasien menderita anemia
7. Pengobatan:
a. Biokarbonat untuk mengoreksi asidosis sesuai dengan nilai ABG
b. Blokade neuromuskular untuk meminimalkan kebutuhan oksigen dan
mempermudah pasien istirahat

43
c. Analgesik jika pasien mendapatkan blokade neuromuskular untuk
mencegah rasa sakit akibat imobilitas
d. Diuretik seperti furosemid untuk menghilangkan cairan pada gagal
jantung
e. Bronkodilator atau steroid untuk mendilatasi saluran pernafasan dan
mengurangi peradangan pada COPD akut.
f. Pemblokir asam lambung untuk mencegah tukak lambung.

M. Penatalaksanaan

Prioritas dan Prinsip Penanganan Gagal Nafas Hiperkapnea


No Prioritas Masalah Penanganan
1 Secret yang tertahan (batuk tidak Hidrasi yang memadai,
efektif) ekspektoran, aerosol
Batuk yang dibantu dengan
kateter (penyedotan yang dalam)
Penyedotan bronkoskopik
Aspirasi dengan siang
endotrakeal
2 Hipoksemia Terapi oksigen yang bertahap
dengan pemantauan gas darah
yang sering
3 Hiperkapnea Perangsang respiratorik
(overdosis obat)
Hindari sedasi
Ventasi buatan melalui slang
endotrakeal atau trakeostomi
4 Infeksi saluran nafas antibiotik
5 Bronkospasme Obat-obat bronkodilator
(isoproterenol dengan terapi
inhalasi; aminofilin

44
Intravena, oral, atau per rektal;
obat-obat kartikosteroid)
6 Gagal Jantung Diuretik
Digoksin (hati-hati jika
diberikan)

Tabel di atas memuat daftar prioritas dan tujuan penanganan gagal napas
Hiperkapnia. Pendekatan tertuhap Permasalahan sekresi paru yang tertahanan
meliputi tindakan untuk mencairkan dan mengeluarkan secret itu. Pencairan
paling baik dilakukan Hidrasi yang memadai untuk pasien. Obat-obatkan
seperti kalium iodida yang diberikan per oral atau pemberian Air secara erosol
juga dapat membatu mobilisasi seputum. Secret paling baik dikeluarkan
dengan mengusahakan supaya pasien batuk dan membantu usaha pasien dengn
perkusi, pibrasi, dan drainase postural. Jika pasien terlalu lemah untuk batuk,
secret dapat keluar dengan aspirasi melalui selang endotrakeal atau
bronkoskopi. Jika metode metode ini gagal mungkin diperlukan trakeostomi.

Jika terdapat bronkospasme pada gagal ginjal napas, obat-obat


bronkodilator atau kortikosteroid dapat digunakan. infeksi respiratorik, yang
sering menjadi penyebab napas hipoksemia, ditangani antibiotik yang sesuai.

Akhirnya, pemeriksaan yang teliti dilakukan untuk mengatasi faktor-faktor


lain yang dapat menyebabkan gagal napas, seperti emboli paru atau gagal
ventrikel kiri.

N. Pengkajian
1. Diagnosis (Anamnesis)
a. Keluhan awal
Keluhan awal akut mungkin disebabkan adanya gangguan fisiologis
akut, seperti serangan asma bronkial, emboli paru, pneumothoraks atau
infark miokard. Serangan berkepanjangan selama berjam-jam hingga
berhari-hari lebih sering akibat eksaserbasi penyakit paru yang kronik

45
atau perkembangan proses sedikit demi sedikit seperti pada efusi pleura
atau gagal jantung kongestif.
b. Gejala yang menyertai
1) Nyeri dada yang disertai dengan sesak kemungkinan disebabkan
oleh emboli paru, infark miokard atau penyakit pleura
2) Batuk yang disertai dengan sesak, khususnya sputum purulen
mungkin disebabkan oleh infeksi napas atau proses radang kronik
(misalnya bronkitis atau radang mukosa saluran napas lainnya)
3) Demam dan menggigil mendukung adanya suatu infeksi
4) Hemoptisis mengisyarakatkan adanya ruptur kapiler/vaskular,
misalnya karena emboli paru, tumor atau radang saluran nafas.
c. Terpajan keadaan lingkungan atau obat tertentu
1) Alergen seperti serbuk, jamur atau zat kimia mengakibatkan
terjadinya bronkospasme dengan bentuk keluhan sesak. Anamnesis
harus mencakup riwayat terpapar penyebab alergi.
2) Debu, asap, dan bahan kimia yang menimbulkan iritasi jalan napas
berakibat terjadinya bronkospasme pada pasien yang sensitif.
Menghindari penyebab alergi tersebut mencegah terjadinya
penyakit ini.
3) Obat-obatan yang dimakan atau injeksi dapat menyebabkan reaksi
hipersensitivitas yang menyebabkan sesak.
d. Riwayat gangguan yang sama
Riwayat gangguan yang sama dapat menyingkat daftar penyebab
penyakit, khususnya bila pasien tahu nama penyakitnya dan dapat
menceritakan bentuk pengobatan terdahulu. Riwayat penyakit pada
tabel berikut sebaiknya otomatis ditanyakan karena mungkin pasien
tidak khusus menceritakan kecuali bila dokter menanyakannya.

2. Pemeriksaan Fisis
Tanda vital. Tekanan darah, temperatur, frekuensi nadi dan
frekuensi napas mementukan tingkat keparahan penyakit. Seorang pasien
sesak dengan tanda-tanda vital normal biasanya hanya menderita penyakit

46
kronik atau ringan, sementara pasien yang memperlihatkan adanya
perubahan nyata pada tanda-tanda vital biasanya menderita gangguan akut
yang memerlukan evaluasi dan pengobatan segera.
a. Temperatur dibawah 35°C (95°F) atau di atas 41°C (105.8°F) atau
tekanan darah sistolik dibawah 90 mm Hg menandakan keadaan gawat
darurat.
b. Pulsus paradoksus pada fase inspirasi terjadi peningkatan tekanan
arterial lebih besar daripada 10 mm Hg-tanda ini bermanfaat dalam
menentukan adanya kemungkinan udara terperangkap (air trapping)
pada keadaan asma dan PPOK eksaserbasi akut. Ketika obstruksi
saluran napas memburuk, variasi itu meningkat; dan ketika obstruksi
membaik, pulsus paradoxus menurun.
c. Frekuensi napas kurang dari 5 kali/menit mengisyaratkan
hipoventilasi dan kemungkinan besar respiratory arrest. Bila lebih dari
35 kali/menit menunjukkan gangguan yang parah, frekuensi yang lebih
cepat dapat terlihat beberapa jam sebelum otot-otot napas menjadi lelah
dan terjadi gagal napas.

3. Pemeriksaan Umum
a. Tampilan umum
Pasien dapat memberikan isyarat atas diagnosis tersebut. Seorang
pasien yang mengantuk dengan napas yang lambat dan pendek bisa
disebabkan; obat tertentu, retensi CO2 atau gangguan sistem saraf pusat
(misalnya stroke, edema serebral, pendarahan subaraknoid). Seorang
pasien yang gelisah dengan napas yang cepat dan dalam bisa
disebabkan hipoksemia berat karena primer penyakit paru/saluran
napas, jantung atau bisa juga serangan cemas (anxiety attack), histerical
attack.
b. Kontraksi otot bantu napas
Dapat mengungkapkan adanya tanda obstruksi saluran napas. Otot
bantu pernapasan (accesory muscles) di leher dan otot-otot interkostal
akan berkontraksi/digunakan pada keadaan adanya obstruksi saluran

47
napas moderat hingga parah. Asimetri gerakan dinding dada atau
deviasi trakeal dapat pula dideteksi selama pemeriksaan otot-otot
napas. Pada tension pneumothorakx- suatu keadaan gawat darurat- sisi
yang terkena akan membesar pada setiap inspirasi dan trakea akan
terdorong ke sisi yang sebelahnya.
c. Tekanan vena jugularis harus dicatat
Peninggiannya menandakan adanya peningkatan tekanan atrium
kanan.
d. Palpasi
1) Tertinggalnya pengembangan suatu hemithoraks yang dirasakan
dengan palpasi bagian lateral bawah rib cage paru bersangkutan
menunjukkan adanya gangguan pengembangan pada hemithoraks
tersebut. Hal ini bisa akibat obstruksi salah satu bronkus utama,
pneumothoraks atau efusi pleura.
2) Fremitus taktil. Menurunnya fremitus taktil yang diperoleh dengan
memerintahkan pasien menyebutkan tujuh puluh tujuh (77)
berulang-ulang terpalpasi pada area yang mengalami atelektasis
seperti yang terjadi pada bronkus yang tersumbata atau area yang
ada efusi pleura. Meningkatnya fremitus disebabkan oleh
konsolidasi parenkim pada suatu area yang mengalami inflamasi.
e. Perkusi
1) Hipersonor akan ditemukan pada hiperinflasi paru seperti terjadi
selama serangan asma akut, emfisema juga pada pneumothoraks.
2) Redup (dullness) pada perkusi menunjukkan konsolidasi paru atau
efusi pleura.
f. Auskultasi
1) Berkurangnya intensitas suara napas pada kedua bidang paru
menunjukkan adanya obstruksi saluran napas. Keadaan ini dapat
terdengar pada konsolidasi, efusi pleura atau pneumothoraks.
2) Ronki kasar dan nyaring (coarse rales and wheezing) sesuai dengan
obstruksi parsial atau penyempitan saluran napas

48
3) Ronki basah halus (fine, moist rales) terdengar pada parenkim paru
yang berisi cairan. Ronki bilateral (bilateral rales) disertai dengan
irama gallop sesuai dengan gagal jantung kongestif. Ronki setempat
sesuai dengan adanya konsolidasi paru di tempat itu.
4) Adanya egofoni (diucapkan huruf “i” seperti “e” datar menandakan
konsolidasi.
5) Pada pasien dengan sesak dan rasa sakit di dadaharus dipikirkan
kemungkinan adanya friction rub, bila 2 komponen merupakan ciri
pleuritis dan suara 3 komponen seperti perikarditis.

O. Pemeriksaan Fungsi Respirasi


Pemeriksaan fungsi pernapasan tidak boleh diabaikan dalam perawatan
pernapasan yang adekuat, tidak hanya untuk keperluan mendapatkan diagnosis
yang tepat tetapi juga untuk penilaian respons terhadap pengobatan.
Pemeriksaan ABG memberikan informasi yang berharga bukan hanya untuk
menentukan berat dan jenis gagal napas tetapi juga untuk mengenali
mekanisme yang terlibat.ssejumlah pemeriksaan fungsi ventilasi di samping
tempat tidur juga sering dilakukan untuk menilai cadangan ventilasi dan
perlunya ventilasi mekanis. Status ventilasi dan status asam-basa juga dinilai
dengan memeriksa PaCO2 bikarbonat (HCO3-) dan pH.

Pemeriksaan Makna Nilai Normal Nilai Kritis

1. Pemeriksaan Fungsi Respirasi


a. Frekuensi a. Petunjuk umum a. 12- a. >35x/menit
pernafasan (f) distress 20x/menit atau
per menit pernafasan dan <10x/menit
kerja
pernafasan
b. Volume tidal b. Volume udara b. 500-700 b. <350 ml
(VT), ml yang ml
mengalami

49
pertukaran
dalam keadaan
istirahat
c. Ventilasi c. Petunjuk umum c. 5-10 L c. >10 L
semenit (VE), L ventilasi
d. Kapasitas vital d. Menunjukkan d. 65-70 d. <15 ml/kg
paksa (FVC), cadangan ml/kg BB BB ideal
ml/kg BB ideal ventilasi: ideal
petunjuk
terbaik
menentukan
perlunya
bantuan
ventilasi
e. Volume e. Volume e. 50-60 e. <10 ml/kg
ekspirasi paksa ekspirasi detik ml/kg
dalam satu detik pertama FVC:
(FEV1), ml/kg berguna dalam
menilai
cadangan
ventilasi pada
pasien dengan
COPD dan juga
untuk menilai
efek tindakan
untuk
mengatasi
obstruksi jalan
nafas
f. Daya inspirasi f. Menunjukkan f. 75-100 cm f. <50-60 cm
maksimum cadangan usaha H2O H2O
(MIF), cm H2O ventilasi

50
g. VD/VT g. Rasio ruang g. 0,25-0,40 g. >0,60
mati atau
volume tidal:
memberikan
perkiraan
ventilasi pada
perfusi yang
berlebihan:
membutuhkan
pengambilan
sampel udara
ekspirasi untuk
mengukur
PECO2 dan
PaCO2: VD/VT
= PaCO2 –
(PECO2/
PaCO2)

h. PaCO2, mm Hg h. Mencerminkan h. 35-45 mm h. >55 mm Hg


kemampuan Hg
paru untuk
membuang
CO2,
kecenderungan
harus diikuti
pada pasien
dengan
hiperkapnea
kronik sejalan
dengan pH
darah arteri:

51
asidemia yang
serius jika pH
7,2 atau kurang

2. Pemeriksaan Status Oksigen


a. PaO2 (udara a. Memadainya a. 80-100 a. <50-60
pernafasan), mm tegangan mm Hg mm Hg
Hg oksigen dalam
darah arteri;
PaO2 yang
diharapkan
dihitung dari
persamaan gas
alveolar ketika
pasien
bernafas
dengan FiO2
yang lebih
tinggi dari
pada udara
(terapi O2)
b. P (A-a)O2, mm b. Perbedaan b. 30-50 mm b. >450 mm
Hg (bernafas tekanan Hg Hg
dengan O2 oksigen
100%) alveolar-
arterial;
menunjukkan
cadangan
oksigenasi
c. QS/QT, % c. <5 % c. >20 %

52
c. Proporsi
jantung yang
dipirau
melalui alveoli
3. Pemeriksaan Status Asam-Basa
a. PaCO2 mm Hg a. 40 -+ 5
b. pH dara arteri b. 7,35-7,45
c. HCO3-, mEq/L c. 24 -+ 3

4. Evaluasi Laboratorium
a. Pemeriksaan dahak
Pemeriksaan dahak harus mencakup pemeriksaan bilasan sputum gram
(gram-stained smear) untuk membuktikan adanya radang saluran napas
bawah dan penentuan jenis gram patogen.
b. Analisis gas darah arterial
Pengukuran gas darah arterial dilakukan pada evaluasi awal seluruh
pasien sesak yang memperlihatkan tekanan darah sistolik kurang dari
90 mm Hg, suatu frekuensi napass lebih dari 35 kali/menit atau kurang
dari 10 kali/menit atau sianosis. Apabila gas darah arterial tidak diukur
pada tahap awal dan kondisi pasien memburuk di bawah perawatan;
analisis gas darah tersebut harus tetap perlu diperiksa. Nilai ini berguna
sebagai petunjuk penggunaan suplemen oksigen dan keputusan untuk
penggunaan ventilasi mekanis.
c. Spirometri/Peak Flow Meter (Peak Expiratory Flow Rate-PEFR).
Pada pasien yang mengalami eksaserbasi asma atau PPOK. Spirometri
memberi kita informasi beratnya obstruksi dan dapat digunakan untuk
menentukan seriusnya keadaan penyakit tersebut. Pengukuran PEFR
bisa menggantikan pengukuran siprometri untuk menentukan berat
ringannya obstruksi, hasilnya ditanyakan dalam liter per menit. Nilai
normal ditentukan untuk setiap individu menurut jenis kelamin, usia
dan tinggi badan. Nilai kurang dari 50% dari yang diperkirakan

53
menunjukkan obstruksi yang parah. Pemeriksaan PEFR ini harus
diulangi setiap 30 menit untuk menentukan perjalanan penyakit.

5. Pencitraan (Imaging)
Pembuatan foto thoraks posterior-anterior dan lateral dilakukan apabila
dicurigai adanya kelainan pada pleura, parenkim paru atau jantung. Adanya
bula, kista, paru emfisematus atau diafragma yang mendatar (flattened
diagraph) mendukung diagnosis PPOK. Adanya kardiomegali mendukung
kemungkinan penyebab sesak yang berkaitan dengan jantung.

6. Tatalaksana Sesak Napas


Penanganan sesak pada dasarnya mencakup tatalaksana yang tepat atas
penyakit yang melatarbelakanginya. Akan tetapi, apabila kondisi pasien
memburuk hingga mungkin terjadi gagal napas akut, maka lebih baik
perhatian ditujukan pada keadaan daruratnya dulu sebelum dicari penyebab
yang melatar belakanginya. Diagnosis gagal napas akut dengan analisis gas
darah ditentukan ketika PaO2 kurang dari 50 mm Hg atau PaCO2 lebih
besar dari 50 mm Hg dengan pH di bawah normal.

7. Saluran Napas
Periksalah orofaring untuk memastikan saluran napas tidak tersumbat
karena pembengkakan (edema) atau suatu benda asing. Intubasi
endotrakeal dapat dilakukan apabila pasien mengalami henti napas atau
mengarah kepada gagal napas progresif.

8. Oksigen
Oksigen harus diberikan kecuali apabila ada bukti bahwa retensi CO2 yang
akan memburuk karena tingginya oksigen yang diberikan (FIO2). Sistem
Venturi mask delivery dengan FIO2 sebesar 24% atau 28% biasanya aman.
Tujuan terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 sebesar 60-70 mm Hg
dengan kenaikan minimal pada PaCO2.

54
Ventilasi mekanis. Pasien yang diintubasi untuk sementara dapat diberikan
oksigen melalui Ambu bag sambil mempersiapkan suatu ventilator sebagai
kelanjutannya.

P. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


1. Gangguan Pertukaran Gas

Gangguan Pertukaran gas

Definisi : Kelebihan atau kekurangan dalam oksigenasi dan atau pengeluaran


karbondioksida di dalam membran kapiler alveoli

Batasan karakteristik :

- Gangguan penglihatan

- Penurunan CO2

- Takikardi

- Hiperkapnia

- Keletihan

- Somnolen

- Iritabilitas

- Hypoxia

- Kebingungan

- Dyspnoe

- Nasal faring

- AGD Normal

55
- Sianosis

- Warna kulit abnormal (pucat, kehitaman)

- Hipoksemia

- Hiperkarbia

- Sakit kepala ketika bangun

- Frekuensi dan kedalaman nafas abnormal

Faktor faktor yang berhubungan :

- Ketidakseimbangan perfusi ventilasi

- Perubahan membran kapiler-alveolar

Tujuan dan Kriteria Hasil :

NOC :

- Respiratory Status : Gas exchange

- Respiratory Status : ventilation

- Vital Sign Status

Kriteria Hasil :

- Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat

- Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari tanda tanda distress pernafasan

- Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis
dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah,
tidak ada pursed lips)

56
- Tanda tanda vital dalam rentang normal

Intervensi Keperawatan :

NIC :

Airway Management

- Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu

- Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi

- Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan

- Pasang mayo bila perlu

- Lakukan fisioterapi dada jika perlu

- Keluarkan sekret dengan batuk atau suction

- Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan

- Lakukan suction pada mayo

- Berika bronkodilator bial perlu

- Barikan pelembab udara

- Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.

- Monitor respirasi dan status O2

Respiratory Monitoring

- Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi

- Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, retraksi


otot supraclavicular dan intercostal

- Monitor suara nafas, seperti dengkur

57
- Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul, hiperventilasi, cheyne
stokes, biot

- Catat lokasi trakea

- Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan paradoksis)

- Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan suara
tambahan

- Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles dan ronkhi pada


jalan napas utama

- Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya

2. Pola Nafas Tidak Efektif

Ketidakefektifan Pola Nafas

Definisi : Pertukaran udara inspirasi dan/atau ekspirasi tidak adekuat

Batasan karakteristik :

- Penurunan tekanan inspirasi/ekspirasi

- Penurunan pertukaran udara per menit

- Menggunakan otot pernafasan tambahan

- Nasal flaring

- Dyspnea

- Orthopnea

- Perubahan penyimpangan dada

- Nafas pendek

58
- Assumption of 3-point position

- Pernafasan pursed-lip

- Tahap ekspirasi berlangsung sangat lama

- Peningkatan diameter anterior-posterior

- Pernafasan rata-rata/minimal

- Bayi : < 25 atau > 60

- Usia 1-4 : < 20 atau > 30

- Usia 5-14 : < 14 atau > 25

- Usia > 14 : < 11 atau > 24

- Kedalaman pernafasan

- Dewasa volume tidalnya 500 ml saat istirahat

- Bayi volume tidalnya 6-8 ml/Kg

- Timing rasio

- Penurunan kapasitas vital

Faktor yang berhubungan :

- Hiperventilasi

- Deformitas tulang

- Kelainan bentuk dinding dada

- Penurunan energi/kelelahan

- Perusakan/pelemahan muskulo-skeletal

- Obesitas

- Posisi tubuh

59
- Kelelahan otot pernafasan

- Hipoventilasi sindrom

- Nyeri

- Kecemasan

- Disfungsi Neuromuskuler

- Kerusakan persepsi/kognitif

- Perlukaan pada jaringan syaraf tulang belakang

- Imaturitas Neurologis

Tujuan dan Kriteria Hasil :

NOC :

- Respiratory status : Ventilation

- Respiratory status : Airway patency

- Vital sign Status

Kriteria Hasil :

- Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis
dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah,
tidak ada pursed lips)

- Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)

- Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)

Intervensi Keperawatan :
NIC :
Airway Management
- Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
- Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
- Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
- Pasang mayo bila perlu
- Lakukan fisioterapi dada jika perlu

60
- Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
- Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
- Lakukan suction pada mayo
- Berikan bronkodilator bila perlu
- Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
- Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
- Monitor respirasi dan status O2

Oxygen Therapy
- Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
- Pertahankan jalan nafas yang paten
- Atur peralatan oksigenasi
- Monitor aliran oksigen
- Pertahankan posisi pasien
- Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi
- Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi

Vital sign Monitoring


- Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
- Catat adanya fluktuasi tekanan darah
- Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri
- Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
- Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas
- Monitor kualitas dari nadi
- Monitor frekuensi dan irama pernapasan
- Monitor suara paru
- Monitor pola pernapasan abnormal
- Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
- Monitor sianosis perifer
- Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
- Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign

3. Penurunan Curah Jantung

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan


Hasil

Penurunan curah jantung NOC NIC

 Cardiac Pump Cardiac Care


effectiveness
Definisi : Ketidakadekuatan darah  Evaluasi adanya nyeri dada (
yang dipompa oleh jantung untuk Circulation Status intensitas, lokasi, durasi)

61
memenuhi kebutuhan metabolik  Vital Sign Status  Catat adanya disritmia
tubuh. jantung

 Catat adanya tanda dan


Kriteria Hasil : gejala penurunan cardiac
Batasan Karakteristik : output
 Tanda Vital dalam
Perubahan Frekuensi Irama rentang normal  Monitor status
Jantung (Tekanan darah, Nadi, kardiovaskuler
respirasi)
 Aritmia  Monitor status pernafasan
 Dapat mentoleransi yang menandakan gagal
 Bradikardi, Takikardi aktivitas, tidak ada jantung
kelelahan
 Monitor abdomen sebagai
 Perubahan EKG
 Tidak ada edema paru, indicator penurunan perfusi
 Palpitasi perifer, dan tidak ada
asites  Monitor balance cairan
Perubahan Preload
 Tidak ada penurunan  Monitor adanya perubahan
kesadaran tekanan darah
 Penurunan tekanan vena central
(central venous pressure, CVP)
 Monitor respon pasien
terhadap efek pengobatan
 Peneurunan tekanan arteri paru
antiaritmia
(pulmonary artery wedge
pressure, PAWP)
 Atur periode latihan dan
istirahat untuk menghindari
 Edema, Keletihan
kelelahan
 Peningkatan CVP
 Monitor toleransi aktivitas
pasien
 Peningkatan PAWP
 Monitor adanya dyspneu,
 Distensi vena jugular fatigue, tekipneu dan
ortopneu
 Murmur
 Anjurkan untuk menurunkan
 Peningkatan berat badan stress

Perubahan Afterload Vital Sign Monitoring

 Kulit Lembab  Monitor TD, nadi, suhu, dan


RR
 Penurunan nadi perifer

62
 Penurunan resistansi vascular  Catat adanya fluktuasi
paru (pulmunary vascular tekanan darah
resistence, PVR)
 Monitor VS saat pasien
 Penurunan resistansi vaskular berbaring, duduk, atau
sistemik (sistemik vascular berdiri
resistence , SVR)
 Auskultasi TD pada kedua
 Dipsnea lengan dan bandingkan

 Peningkatan PVR  Monitor TD, nadi, RR,


sebelum, selama, dan setelah
 Peningkatan SVR aktivitas

 Oliguria  Monitor kualitas dari nadi

 Pengisian kapiler memanjang  Monitor adanya pulsus


paradoksus
 Perubahan warna kulit
 Monitor adanya pulsus
 Variasi pada pembacaan tekanan alterans
darah
 Monitor jumlah dan irama
Perubahan kontraktilitas jantung

 Batuk, Crackle  Monitor bunyi jantung

 Penurunan indeks jantung  Monitor frekuensi dan irama


pernapasan
 Penurunan fraksi ejeksi
 Monitor suara paru
 Ortopnea
 Monitor pola pernapasan
 Dispnea paroksismal nokturnal abnormal

 Penurunan LVSWI (left  Monitor suhu, warna, dan


ventricular stroke work index) kelembaban kulit

 Penurunan stroke volume index  Monitor sianosis perifer


(SVI)
 Monitor adanya cushing
 Bunyi S3, Bunyi S4 triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
Perilaku/Emosi peningkatan sistolik)

63
 Ansietas, Gelisah  Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign

Faktor Yang Berhubungan :

 Perubahan afterload

 Perubahan kontraktilitas

 Perubahan frekuensi jantung

 Perubahan preload

 Perubahan irama

 Perubahan volume sekuncup

64
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Gagal pernafasan merupakan kegagalan fungsi system pernafasan dalam
mempertahankan oksigenasi arteri dan pengeluaran CO2 yang adekuat,
sehingga menyebabkan hipoksemia arteri, hiperkapnia atau keduanya. Gagal
pernapasan dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yang langsung atau tidak
langsung mempengaruhi fungsi pernafasan.

B. Saran
Diharapkan dosen pembimbing dapat lebih sabar dan lebih inovatif dalam
mengajarkan mata kuliah terkait. Dan diharapkan kepada para mahasiswa
untuk lebih aktif bertanya dan menyampaikan pendapatnya selama kuliah
berlangsung. Diharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan
makalah ini selanjutnya.

65
DAFTAR PUSTAKA

LeMone, Priscilla, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.

Manurung, Santa. dkk. 2008. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Pernafasan


Akibat Infeksi. Jakarta: Trans Info Media.

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: EGC.
Setiati, Siti, dkk. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing.
Terry, Cynthia Lee, and Aurora Weaver. 2016. Keperawatan Kritis. Jakarta: Rapha
Publishing.
Wahid, Abd., dan Imam Suprapto. 2013. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan
Keperawatan Pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta: Trans Info Media.

66

Anda mungkin juga menyukai