Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

PERSALINAN SECTIO CAESAREA

A. Definisi
Sectio caesarea adalah persalinan melalui sayatan pada dinding
abdomen dan uterus yang masih utuh dengan berat janin lebih dari 1000 gr
atau umur kehamilan > 28 minggu (Manuaba, 2012). Sectio caesarea
merupakan tindakan melahirkan bayi melalui insisi (membuat sayatan)
didepan uterus. Sectio caesarea merupakan metode yang paling umum
untuk melahirkan bayi, tetapi masih merupakan prosedur operasi besar,
dilakukan pada ibu dalam keadaan sadar kecuali dalam keadaan darurat
menurut Hartono (2014).
Persalinan melalui sectio caesarea didefinisikan sebagai pelahiran
janin melalui insisi di dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus
(histerotomi) menurut Norman (2012). Sedangkan Koniak (2011)
menambahkan, pelahiran sesarea juga dikenal dengan istilah sectio caesarea
adalah pelahiran janin melalui insisi yang dibuat pada dinding abdomen dan
uterus, tindakan ini dipertimbangkan sebagai pembedahan abdomen mayor.
B. Etiologi
Manuaba (2009) Ibu hamil dilakukan sectio caesarea karena
mengalami antara lain ruptur uteri iminen, pedarahan antepartum, ketuban
pecah dini, panggul sempit. Tindakan sectio caesarea dilakukan apabila
tidak memungkinkan dilakukan persalinan pervaginal disebabkan adanya
resiko terhadap ibu atau janin, dengan pertimbangan hal-hal yang perlu
tindakan sectio caesarea seperti proses persalinan normal lama atau
kegagalan proses persalinan normal (dystasia) (Saifudin, 2009). Menurut
Mochtar (2011), beberapa indikasi dilakukannya sectio caesaria yaitu:
a. Plasenta previa, terutama plasenta previa totalis dan subtotalis
b. Panggul sempit
c. Rupturi uteri mengancam
d. Partus lama
e. Tumor yang menghalangi jalan lahir
f. Kelainan letak atau bayi besar
g. Keadaan dimana usaha-usaha untuk melahirkan anak pervagina gagal
h. Kematian janin
i. Gemeli
j. Komplikasi pre eklampasia dan hipertensi
k. Distosia jaringan lunak
l. Disproporsi kepala panggul (CPD / FPD)
m. Disfungsi uterus.
C. Klasifikasi Sectio Caesaria
Menurut Oxorn & Forte (2012), tipe-tipe Sectio Caesaria yaitu:
a. Segmen bawah : insisi melintang
Tipe Sectio Caesaria tipe ini memungkinkan abdomen dibuka dan uterus
di singkapkan. Lipatan vesicouterina (bladder flap) yang terletak dengan
sambungan segmen atas dan bawah uterus ditentukan dan disayat
melintang, lipatan ini dilepaskan dari segmen bawah dan bersama-sama
kandung kemih di dorong ke bawah serta ditarik agar tidak menutupi
lapang pandang.
Keuntungan:
1) Insisinya ada pada segmen bawah uterus
2) Otot tidak dipotong tetapi dipisah kesamping, cara ini mengurangi
perdarahan
3) Insisi jarang terjadi sampai placenta
4) Kepala janin biasanya dibawah insisi dan mudah diektraksi
5) Lapisan otot yang tipis dari segmen bawah rahim lebih mudah
dirapatkan kembali dibanding segmen atas yang tebal.
Kerugian:
1) Jika insisi terlampau jauh ke lateral, seperti pada kasus bayi besar.
2) Prosedur ini tidak dianjurkan kalau terdapat abnormalitas pada
segmen bawah.
3) Apabila segmen bawah belum terbentuk dengan baik, pembedahan
melintang sukar dikerjakan.
4) Kadang-kadang vesica urinaria melekat pada jaringan cicatrix yang
terjadi sebelumnya sehingga vesica urinaria dapat terluka.
b. Segmen bawah : insisi membujur
Insisi membujur dibuat dengan skalpel dan dilebarkan dengan gunting
tumpul untuk menghindari cedera pada bayi. Keuntungan tipe ini yaitu
dapat memperlebar insisi keatas apabila bayinya besar, pembentukan
segmen bawah jelek, ada malposisi janin seperti letak lintang atau adanya
anomali janin seperti kehamilan kembar yang menyatu. Kerugiannya
adalah perdarahan dari tepi sayatan yang lebih banyak karena
terpotongnya otot.
c. Sectio Caesaria Klasik
Insisi longitudinal di garis tengah dibuat dengan skalpel kedalam dinding
anterior uterus dan dilebarkan ke atas serta ke bawah dengan gunting
berujung tumpul. Indikasi:
1) Kesulitan dalam menyingkapkan segmen bawah yaitu adanya
pembuluh-pembuluh darah besar pada dinding anterior, vesica
urinaria yang letaknya tinggi dan melekat dan myoma segmen
bawah.
2) Bayi yang tercekam pada letak lintang
3) Beberapa kasus placenta previa anterior
4) Malformasi uterus tertentu.
Kerugian:
1) Myometrium harus dipotong, sinus-sinus yang lebar dibuka, dan
perdarahannya banyak
2) Bayi sering diekstraksi bokong dahulu sehingga kemungkinan
aspirasi ciran ketuban lebih besar
3) Apabila placenta melekat pada dinding depan uterus, insisi akan
memotongnya dan dapat menimbulkan kehilangan darah dari sikulasi
janin yang berbahaya
4) Insidensi pelekatan isi abdomen pada luka jahitan uterus lebih tinggi
5) Insiden ruptur uteri pada kehamilan berikutnya lebih tinggi.
d. Sectio Caesaria Extraperitoneal
Pembedahan ini dikerjakan untuk menghindari perlunya histerektomi
pada kasus-kasus yang mengalami infeksi luas dengan mencegah
peritonitis generalisata yang sering bersifat fatal. Tehnik pada prosedur
ini relatif sulit, sering tanpa sengaja masuk ke dalam cavum peritonei dan
insidensi cedera vesica urinaria meningkat.
e. Histerektomi Caesaria
Pembedahan ini merupakan sectio caesaria yang dilanjutkan dengan
pengeluaran uterus.
Indikasi:
1) Perdarahan akibat atonia uteri setelah terapi konservatif gagal
2) Perdarahan yang tidak dapat dikendalikan pada kasus-kasus plasenta
previa dan abruptioplacenta tertentu
3) Pada kasus-kasus tertentu kanker servik atau ovarium
4) Rupturi arteri yang tidak dapat diperbaiki
5) Cicatrix yang menimbulkan cacat pada uterus.
Komplikasi :
1) Angka morbiditasnya 20 persen
2) Darah lebih banyak hilang
3) Kerusakan pada traktus urinarius dan usus termasuk pembentukan
fistula
4) Trauma psikologis akibat hilangnya rahim.
Sedangkan menurut Mochtar (2011), jenis-jenis Sectio Caesaria meliputi:
a. Sectio Caesaria Transperitoneal
1) Sectio Caesaria klasik atau korporal yaitu dengan melakukan sayatan
vertikal sehingga memungkinkan ruangan yang lebih baik untuk
jalan keluar bayi.
2) Sectio Caesaria ismika atau profunda yaitu dengan melakukan
sayatan atau insisi melintang dari kiri kekanan pada segmen bawah
rahim dan diatas tulang kemaluan.
b. Sectio Caesaria ektra peritonalis yaitu tanpa membuka peritoneum
parietalis, dengan demikian tidak membuka kavum abdominal.
D. Patofisiologi
Sectio Cesarea merupakan salah satu cara melahirkan janin dengan
jalan pembedahan. Faktor yang berpengaruh antra lain: faktor ibu, janin dan
plasenta. Dari faktor ibu dipengaruhi oleh penyakit pada ibu, pembedahan
rahim, sumbatan pada jalan lahir maupun panggul sempit. Faktor janin
dipengaruhi oleh mal presentasi janin, prolaps tali pusat dan gangguan pada
janin. Faktor plasenta dipengaruhi abrusio plasenta. Oleh karena itu
tindakan section secaria dapat dilakukan.
Sectio Cesarea dilakukan dengan pembedahan yang menyebabkan
kontinuitas jaringan terputus sehingga luka yang terjadi bisa menjadi tempat
masuk kuman yang bisa menyebabkan resiko infeksi, luka juga dapat
menyebabkan nyeri akut akibat penekanan terhadap ujung-ujung syaraf.
Selain itu luka juga bisa menyebabkan perdarahan sehingga kekuatan fisik
menurun atau lemah yang menjadikan perawatan untuk diri sendiri kurang.
Luka juga bisa menyebabkan perdarahan yang membuat cairan dalam tubuh
kurang. Perdarahan pada ibu post partum juga bisa terjadi dikarenakan tidak
adanya kontraksi uterus (atonia uteri).
Pada pasien yang dilakukan sectio cesarea menyebabkan beberapa
perubahan peran dalam adaptasi fisiologi dan psikologi ibu. Dan jika ibu
kurang peka terhadap perubahan peran dalam dirinya maka akan
menyebabkan defisit pengetahuan.
Sectio cesarea dilakukan dengan memberikan anesthesi, dari anesthesi
tersebut dapat menimbulkan efek terhadap otot abdomen sehingga motilitas
usus menurun, yang bisa menyebabkan konstipasi. Efek anesthesi lainnya
berpengaruh terhadap penekan saraf spinger uri, sehingga eliminasi urine
terjadi perubahan.
E. Pathway (Mochtar, 2014)
Ibu Janin

- Plasenta previa - Malpresentasi janin


sentralis dan - Prolaps tali pusat
lateralis - Gangguan pada
- Panggul sempit janin
- Pre eklampsi dan
hipertensi

SECTIO CESAREA

Trauma pembedahan / Kelahiran anak Efek anesthesia spinal Tidak ada


insisi
kontraksi

Terputusnya uterus
Perubahan peran Bedrest Vaskuler
kontinuitas jaringan PK Perdarahan
efek pembedahan

Luka Kurang pengetahuan Penurunan Menekan saraf


motilitas usus spingter uri

Tempat masuk Menekan ujung


kuman syaraf Konstipasi Perubahan
eliminasi urine

Resiko infeksi Nyeri akut


Perdarahan

Penurunan kekuatan / kelemahan fisik Cairan kurang dari


kebutuhan tubuh

Kurang perawatan diri


Kekurangan volume
cairan
F. Pemeriksaan Diagnostik
a. Jumlah darah lengkap, hemoglobin/hematokrit, golongan darah, HBsAg,
masa pembekuan, masa perdarahan dan pencocokan silang: mengkaji
perubahan dari kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan
darah pada pembedahan
b. Urin analisis: menentukan kadar albumin/glukosa
c. Kultur: mengidentifikasi adanya virus herpes, simpleks type II
d. Pelumetri: menentukan CPD
e. Amniosentesis: mengkaji maturitas janin
f. USG: melokalisasi plasenta, menentukan pertumbuhan, kedudukan dan
presentsi janin
g. EKG: mengetahui adanya kelainan jantung pada ibu.
G. Perubahan Fisiologi
Perubahan fisiologi post sectio cesarea ini mencakup semua sistem sebagai
berikut:
a. Sistem Reproduksi
1) Involusi uteri adalah perubahan yang merupakan proses kembalinya
uterus setelah bayi dilahirkan hingga mencapai keadaan sebelum
hamil.
2) Perubahan fundus uteri.
Waktu Posisi Fundus Uteri

1 – 2 jam PP Antara umbilicus sympisis pubis.

12 jam PP Pada umbilicus atau 1 jari di atasnya.

3 hari PP 3 Jari di bawah umbilicus.

10 hari PP Tidak dapat diraba di atas sympisis.

3) Kontraksi uterus atau afterpain terjadi 2 sampai 3 hari pertama post


partum.
a) Endometrium / luka bekas placenta.
Setelah persalinan pemulihan endometrium kasar tidak rata sebesar
telapak tangan. Epitelisasi endometrium akan siap dalam 10 hari
dan akan pulih kembali setelah 3 minggu.
b) Servix
Beberapa hari setelah persalinan, ostium uteri externum dapat
dilalui oleh dua jari; pinggirnya tidak dapat rata, tetapi retak-retak
karena robekan dalam persalinan. Akhir minggu I hanya dapat
dilalui 1 jari saja dan lingkaran retraksi berhubungan dengan
bagian atas dari canalis servikalis.
4) Vagina dan Perinium
Segera setelah lahir vagina terlihat oedem dan memar dan intoritis
vagina akan membuka ketika tekanan abdominal meningkat. Rugae
timbul pada minggu ke 3 post partum.
5) Lochea
Lochea adalah sekret yang berasa dari covum uteri dan keluar melalui
vagina pada masa nifas.
Adapun keluarnya lochea dapat dibagi menjadi:
a) Rubra
Keluarnya pada hari 1 – 3 post partum. Bentuknya darah dan
bekuan, baunya agak amis, meningkat bila meneteki atau bangun.
Warnanya merah muda isi sel darah merah, sisa selaput ketuban,
sel deridua, sel vernikcaseosa, sisa tropoblast, leukosit.
b) Serosa
Keluar hari ke 4 – 9 post partum, warna merah mudah sampai
coklat, bau agak anyir, jumlah mulai sedikit, isinya sel darah tua,
serum leukosit dan sisa jaringan.
c) Alba
Keluar hari ke-10 post partum, warnanya kuning atau putih, isinya
leukosti, sel epitel, selaput lendir dan kuman penyakit yang telah
mati.
b. Sistem Urinari
1) Peningkatan kapasitas kandung kemih.
2) Sekitar urinari menjadi oedem dan trauma.
3) Penurunan sensitifitas akan menurunkan keinginan untuk buang air
kecil.
Diurisis mulai terjadi 12 jam post partum, setiap hari dapat mencapai
3000 ml.
1) Ibu harus BAK spontan 6 jam post partum, bila bleder penuh dan tidak
dapat BAK harus di kateter.
2) Protein uria yang ringan dapat terjadi, karena pemecahan protein
uterus sehingga test urine positif untuk aseton.
c. Sistem Gastro Intestinal
Wanita post partum sering merasa lapar dan haus karena penggunaan
energi dalam persalinan dan pembatasan intake per oral / puasa.
Konstipasi selama post partum terjadi karena:
1) Penurunan peristaltik (efek dari progesteron dan anestesi)
2) Kurangnya makanan padat.
3) Pembatasan intake cairan.
4) Ketakutan akan nyeri episiotomy dan hemoroid.
5) Pada hari ke 3 post partum, ibu belum bisa BAB dapat diberikan
laktasi.
6) Fungsi usus kembali normal pada minggu ke I post partum.
d. Sistem Integument
MSH (Melanosit Stimulating Hormon) yang menyebabkan
hiperpigmentasi selama kehamilan menurun dengan cepat setelah
melahirkan.
1) Cloasma gravidarum dan lintanigra sebagian menghilang.
2) Strike gravidanum di abdomen dan payudara berkurang tetapi belum
hilang secara sempurna.
e. Sistem Cardiovaskuler
1) Pada periode post partum perubahannya dramatis cepat.
2) Selama kehamilan sirkulasi darah meningkat 50 % (hidraemia) tapi
ibu dapat beradaptasi terhadap kehilangan darah saat persalinan tanpa
efek.
3) Volume darah kembali normal pada minggu ke 3 – 4.
f. Sistem Endokrin
Setelah placenta lahir estrogen dan prosgesteron akan menurun.
1) Bila ibu tidak menyusui estrogen akan meningkat dan mencapai
tingkat faziculer pada 3 minggu post partum sehingga memungkinkan
kembalinya proses menstruasi.
2) Ibu yang menyusui proses kembalinya hormon estrogen dan
progesteron lebih lambat.
3) Hormon prolaktin meningkat.
4) Perubahan hormonal pada sistem indokrin yaitu laktasi dan
kembalinya siklus menstruasi.
5) Lactasi yaitu pembentukan dan pengeluaran asi. Colostrum keluar
pada kehamilan trimester III sampai minggu pertama post partum, asi
lancar.
Isapan bayi merangsang hipotalamus

Hipofise
Anterior Posterior

Prolaktin Oxitoksin

Sel epitel alvioli Kontraksi elyo epitel

Sekresi Asi Siklus lactarus

Sekresi Asi
6) Ovulasi dan Menstruasi
Ibu yang tidak menyusui, menstruasi antara 7 – 9 minggu sesudah
melahirkan dan terjadi ovulasi. Ibu menyusui, menstruasi terjadi 3
bulan sesudah persalinan tidak terjadi ovulasi.
7) Penurunan berat badan
Wanita post partum mengalami total penurunan berat badan 9 – 11 kg
yang terdiri dari:
a) Fetus, placenta : cairan annion 4,5 – 5,6 kg
b) Diaporisis dan diurisis 2,3 kg
c) Kebutuhan laktasi : 2,3 – 3,2 kg
g. Sistem Muskulo Sekletal
1) Pada periode menjadi lunak, lembut dan lemah.
2) Abdomen menjadi lunak, lembut dan lemah.
3) Otot rectus abdominalis sering terpisah sehingga mengalami diastosis
rectius abdominal.
4) Ekstremitas bawah.
5) Tanda homan’s positif yaitu jika betis belakang di dorseflesikan secara
tiba-tiba akan terasa sakit, hal ini merupakan tanda tromboplebitis.
h. Adaptasi Psikologis
Menurut beberapa penelitian, menerima peran sebagai orang tua adalah
suatu proses yang terjadi dalam tiga tahap:
1) Tahap 1: Ketergantungan. Bagi beberapa ibu baru tahap ini terjadi
pada hari ke-1 dan ke-2 setelah melahirkan. Rubin (1961)
menjelaskan bahwa hari tersebut merupakan fase “taking-
in” (menerima), waktu dimana ibu membutuhkan
perlidungan dan pelayanan. Ia memfokuskan energinya
pada bayinya yang baru. Ia mungkin selalu membicarakan
pengalaman melahirkannya berulang-ulang, “taking-in”
merupakan fakta bagi perannya yang baru. Preokupasi ini
mempersempit persepsinya dan mengurangi kemampuannya
untuk berkonsentrasi pada informasi baru. Perawat mungkin
harus mengulang-ulang instruksi yang berikan pada tahap
ini.
2) Tahap 2: Ketergantungan-ketidaktergantungan. Tahap kedua mulai
pada sekitar hari ketiga setelah melahirkan dan berakhir
pada minggu ke-4 sampai ke-5. Rubin menyebutkan sebagai
fase “taking-hold”. Sampai hari ketiga ibu siap untuk
menerima peran barunya dan belajar tentang semua hal-hal
baru. Namun demikian, tubuhnya mengalami perubahan
yang signifikan. Sebagai akibat pengaruh hormonal yang
sangat kuat, keluarlah Asi. Uterus dan perineum terus dalam
proses penyembuhan. Pasien menjadi keletihan. Ketika ia
kembali ke rumah, ia mungkin merasakannya lebih buruk
lagi.
Selama fase ini sistem pendukung menjadi sangat bernilai
bagi ibu muda yang membutuhkan sumber informasi dan
penyembuhan fisik sehingga ia dapat istirahat dengan baik.
Mekanisme pertahanan diri pasien merupakan sumber
penting selama fase ini karena post partum blues merupakan
hal yang biasa terjadi. Layanan kunjungan rumah oleh
perawat sangat dianjurkan, terutama bagi ibu muda.
3) Tahap 3: Saling ketergantungan. Dimulai sekitar minggu ke-5 sampai
ke-6 setelah kelahiran, sistem keluarga telah menyesuaikan
diri dengan anggotanya yang baru. Tubuh pasien telah
sembuh, perasaan rutinnya telah kembali, dan kegiatan
hubungan seksualnya telah dilakukan kembali. Keluarga
besar (Extended family) dan teman-teman, walaupun sangat
membantu sebagai sistem yang memberikan dukungan pada
awalnya, tidak lagi turut campur dalam interaksi keluarga
dan kegiatan sehari-hari telah kembali dilakukan. Secara
fisik ibu mampu untuk menerima tanggung jawab normal
dan tidak lagi menerima “peran sakit”. Tahap saling
ketergantungan ini berlanjut terus sampai terganggu oleh
periode ketergantungan lain.

Anda mungkin juga menyukai