Anda di halaman 1dari 7

Nama : Tjut Farahiya Hadi

NIM : 1407101030373

Pembimbing dr.Mujahidin Sp.An M.Sc

Studi Retrospektif tentang Kesuksesan, Kegagalan, dan Durasi


untuk Melakukan Intubasi pada Pasien yang Sadar
Abstrak

Pendahuluan: Intubasi pada pasien yang sadar adalah standar manajemen untuk
mengantisipasi gangguan jalan nafas. Untuk melakukan intubasi pada pasien
sadar dirasakan sangat kompleks dan memakan waktu yang lama yang
menyebabkan klinisi menghindari teknik intubasi ini. Studi retrospektif ini
dilakukan pada rumah sakit pendidikan yang melakukan intubasi pada pasien
yang sadar termasuk durasi waktu, efek terhadap hemodinamik, insidensi,
komplikas dan kegagalan.

Metode: Data dikumpulkan dari tahun 2007 hingga 2014. Terdapat 1.085
intubasi pada pasien yang sadar, dan 1.055 lainnya menggunakan bronkoskopi.
Setiap intubasi pada pasien sadar dipasangkan dengan 2 kontrol (rasio 1:2),
dengan komorbid yang sama dan intubasi setelah induksi dengan obat anestesi (
n: 2.170). Waktu pasien dari pertama masuk ke ruang operasi sampai dilakukan
intubasi dibandingkan pada kedua grup. Rekam medik pada saat dilakukannya
intubasi pada pasen sadar ditinjau komplikasi dan kegagalan.

Hasil: Waktu rata-rata intubasi pada pasien post induksi obat anestesi adalah 16
menit. Waktu rata-rata intubasi pada pasien sadar adalah 24 menit. Komplikasi
pada intubasi pasien sadar terjadi pada 1.6% (17 dari 1.085 kasus). Komplikasi
tersering adalah mukus plug, kelemahan cuff dari endotracheal tube, dan
ekstubasi tidak sengaja oleh pasien. Kegagalan pada intubasi pada pasien sadar
adalah 1%.

Kesimpulan: Intubasi pada pasien sadar memiliki tingkat kesuksesan yang tinggi.
Dan risiko komplikasi dan kegagalan yang rendah. Intubasi pada pasien sadar
dapat dilakukan secara aman dan cepat.
Pendahuluan

Intubasi pada pasien yang sadar adalah standar manajemen untuk


mengantisipasi gangguan jalan nafas. Intubasi ini dapat dilakukan dengan
bantuan bronkoskopi dan laringoskopi. Kesulitan dan ketidakmampuan ventilasi
dan intubasi trakea dapat dilakukan pada pasien dengan kondisi myriad( contoh:
penyakit atlantooccipital, space mandibular yang sempit, malignansi pada leher
dan kepala, obesitas dengan sleep apneu) dan induksi anestesi pada pasien
tersebut dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas yang mengancam jiwa. Maka
daripada itu pada penyakit seperti diatas sangat baik dilakukan intubasi pada
saat pasien masih dalam kondisi sadar. Walaupun angka kegagalan pada intubasi
seperti ini masih memiliki angka yang bervariasi, tetapi 98% intubasi ini sukses
dilakukan oleh Canadian tertiary care center.

Walaupun intubasi pada pasien sadar memiliki tingkat kesuksesan tinggi


dan lebih aman, pengalaman ahli anestesi sangat diperlukan dalam melakukan
intubasi ini. Alasan untuk menolak intubasi pada pasien yang sadar masih belum
jelas, tetapi ada beberapa penjelasan. Pertama, ahli anestesi khawatir akan
kecemasan dan ketidaknyamanan pasien selama intubasi pada saat pasien sadar.
Kedua, kesuksesan intubasi pada pasien sadar, jalan nafas harus dalam keadaan
dibius. Proses ini diperlukan skill dan memakan waktu yang lama. Ketiga, skill
untuk melakukan bronkoskopi sangat penting untuk melakukan intubasi pada
pasien sadar, terkadang ahli anestesi mengalami kesulitan dan ketidaknyamanan
mengintubasi dengan bantuan bronkoskopi apabila tidak dilakukan terus
menerus. Alasan terakhir adalah, intubasi pada pasien sadar dapat meningkatkan
efek simpatis.

Terdapat data untuk mengevaluasi berbagai sedasi dan teknik topikalisasi


jalan nafas untuk memfasilitasi intubasi pada pasien sadar. Informasi ini sangat
penting untuk menghilangkan persepsi ahli anestesi untuk menghindari intubasi
pada apsien yang sadar yang merupaka intubasi yang paling aman. Pada studi ini
kami berusaha untuk menentukan (1) waktu yang dibutuhkan untuk
mengintubasi pasien yang sadar (dan kemudian dibandingkan pada pasien post
induksi) (2) efek terhadap hemodinamik (3) kompilkasi dan penyebab kegagalan
(4) apakah ahli anestesi dan ahli bedah menggunakan waktu yang baik pada
prosedur tersebut.

Material dan Metode

Penelitian retrospektif ini telah disetujui oleh Mount Sinai Institutional


Review Board/Program for Protection of Human Subjects. Informed consent tidak
diperlukan. Seluruh rekam medik intraoperatif yang menggunak general anestesi
dengan endotracheal tube dikumpulkan antara 1 Januari 2007 hingga 20 Februari
2014. Sampel pada penelitian ini adalah pasien dengan usia diatas 18 tahun.
Kriteria eksklusi termasuk data yang tidak lengkap, prosedur preintubasi seperti
pemasangan arteri line dan neuraxial anestesi.

Kemudian penelitian ini membentuk dua grup, grup yang menjalani


intubasi pada saat pasien sadar dan intubasi pada pasien yang tidak sadar post
induksi obat anestesi. Setiap 1 kasus intubasi pada pasien sadar terdapat 2 kasus
intubasi pada pasien yang tidak sadar post induksi anestesi.

Outcome primer pada penelitian ini adalah durasi waktu yang dihitung dengan
menit dimulai dari pasien masuk ke ruang operasi hingga intubasi selesai yang
dihitung oleh ahli anestesi . Outcome sekunder dari penelitian ini adalah mean
arterial pressure dan nadi selama proses intubasi.

Grup studi dilihat secara detail satu persatu dengan chart apakah
terdapat faktor yang mengeksklusikan kasus dari analisis atau apakah ada
komplikasi yang berhubungan dengan prosedur intubasi. 4 dari penulis melihat
secara detail chart setiap kasus intubasi pada pasien sadar berupa (a) menilai
apakah terdapat kriteria ekskulsi (b) menilai komplikasi

Sebagai tambahan, survey juga dikirimkan melalui email kepada


department anestesi, bedah, residen, dan spesialis yang melakukan tindakan
intubasi pada saat pasien sadar. Para partisipant survey ditanyakan berapa lama
waktu tambahan yang ditambahkan indukasi anestesi ketika pasien
membutuhkan paten jalan nafas dengan teknik fiberoptik pada saat pasien sadar.
Jawaban akan dikumpulkan menggunakan REDCap software versi 5.7.3.

Analisa Statistik

Karakteristik pasien dan penyakit dideskripsikan sebagai persentil(n),


median(IQR) atau rata-rata(SD). Sebagain pembanding antara intubasi pada
pasien sadar dan tidak sadar, chi square atau fisher test dilakukan untuk
mengkategorikan variabel dan student test atau mann-whitney test digunkan
untuk variabel yang kontinu. Nilai P pada penelitian ini adalah 0,05. Kami
berusah amengendalikan berbagai faktor yang mempengaruhi wkatu intubasi
dan periintubasi hemodinamik. Secara spesifik, kami mencocokan nilai regresi
logistik untuk memprediksi kecenderungan untuk menerima intubasi pada saat
pasien sadar dengan menggunakan variabel peroperatif seperti jenis kelamin,
umur, BMI, ASA, kegawatdaruratan, dan apakah pasien memiliki obstrusive sleep
apnea, CKD, penyakit ginjal end stage, hipertensi, CHF, PPOK, CAD, dan atrial
fibrilation. Kemudian kami pasangkan intubasi pasien sadar dan tidak sadar
dengan ratio 1:2.

Pada grup pasien yang diintubasi pada saat sadar, kami mengambil
hipotesis bahwa beberapa faktor dapat mempengaruhi waktu intubasi. Faktor
yang mempengaruhinya adalah CHF, CAD, OSA, dan BMI ataupun faktor
prosedural seperti injeksi untuk blokade saraf.

Hasil

Sebelum dimasukkan ke data, 272 dari 1.357 intubasi pada pasien sadar
dieksklusikan(20%) dan 55.640 dari 133.703(41%) dieksklusikan. Penyebab
eksklusi tersebut adalah data yang tidak lengkap. Median waktu intubasi pada
kasus ini adalah 24 menit pada intubasi pada pasien sadar dan 16 menit pada
pasien yang diitubasi pada saat tidak sadar.

Median laju jantung preintubasi adalah 87 kali per menit pada intubasi
pada pasien sadar dan 81 kali per menit pada pasien tidak sadar. Median MAP
pada intubasi pasien sadar adalah 122 mmHg dan 96 mmHg pada pasien tidak
sadar.

Intubasi pada pasien yang sadar paling banyak dilakukan pada pasien
dengan keganasan kepala leher, OSA dan angioedema. 85 intubasi pada pasien
sadar dilakukan pada pasien dengan obesitas morbid.

Waktu median pada pasien yang dintubasi post induksi adalah 16 menit
dimulai dari masuk ke kamar operasi. Sedangkan pada pasien yang diintubasi
pada saat sadar adalah 24 menit. Hal ini dikarenakan obat sedasi lokal yang
disemprotkan ke jalan nafas bekerja setalah 8 menit.

Terdapat 3 kasus yang diberikan anestesi topical sebelum masuk ke ruang


operasi. Glycopyrrolate adalah obat topikal pada 100 dari 1.085 kasus. Tidak ada
perbedaan antara waktu intubasi via oral dan nasal.

Pada saat intubasi nilai median laju jantung yang diintubasi secara sadar
adalah lebih tinggi 13 kali per menit dari pasien yang diintubasi post induksi (88
vs 75 p<0,0001). MAP pada pasien yang diintubasi pada saat sadar lebih tinggi
7mmHg (107 vs 100 p<0.0001).

Obat yang paling sering dipakai sebagai sedasi sebelum dilakuakn intubasi
pada saat pasien sadar adalah midazolam (74%), fentanyl (44,7%), dan kombinasi
keduanya (29,5%). Infus remifentanil dilakukan pada 14% kasus dan infus
dexmedetomidine pada 7.3% kasus. Infus propofol dilakukan pada 9 kasus.

Terdapat 1.6% komplikasi(17 dari 1.085 kasus) yang diobervasi. Angka


kegagalan intubasi pada saat sadar dengan bantuan bronkoskopi adalah
1%(n:10). 8 dari kasus gagal dikarenakan sulitnya ETT menembus pita suara. Dan
2 dari kasus dikarenakan sulit mengenal laring.

Sebagian besar intubasi pada pasien sadar menggunakan fleksibel


bronkoskopi. 22 intubasi dilakukan dengan VL. Pada 2 kasus, dengan
menggunakan fleksibel bronkoskopi pasien sukses diintubasi yang dimana
sebelumnya menggunakan VL.

Diskusi

Ketika menghadapai pasien dengan masalah airway, ahli anestesi harus


memiliki management perencanaan untuk memaksimalkan tindakan dengan
aman dan efisien. Training, pengalaman, budaya lokal dari bagian tersebut, dan
sumberdaya manusia dan teknologi berperan dalam hal ini. Kebanyakan dari ahli
anestesi memilih intubasi pada saat pasien sadar pada pasien yang mengalami
gangguan airway. Intubasi pada pasien tidak sadar harus dipertimbangkan
apabila ahli anestesi kurang percaya diri untuk melakukan intubasi, kemampuan
untuk mendapatkan ventilasi atau pasien yang sulit diintubasi dengan bantuan
laringoskopi, sehingga dapat meningkatkan kemampuan aspirasi isi lambung.

Bagaimanapun intubasi pada saat pasien sadar tidak tanpa risiko, waktu
yang lama, stress pasien, dan memiliki potensi ketidaknyamanan. Hampir 49%
ahli anestesi dan 76% ahli bedah memiliki perkiraan berlebihan terhadap durasi
intubasi pada saat pasien sadar. Pada penelitian retrospektif ini lebih dari 1.000
intubasi , kami menemukan bahwa intubasi ada saat sadar dilakukan rata-rata 8
menit. Durasi waktu intubasi tidak meningkat seiring pengalaman dari ahli
anestesi. Pada studi ini hanya 7 residen yang melakukan intubasi pada pasien
yang sadar. Pada penelitian ini, kami menemukan komplikasi yang rendah(1.6%)
dan angka kegagalan 1%, dengan komplikasi tersering adalah plak mukus,
kelemahan cuff, dan ekstubasi yang tidak disengaja.

Komplikasi dan kegagalan pada penelitian ini sesuai dengan studi kohor
dari Canadian tertiary care center. Penulis melaporkan insidensi dari intubasi
pasien sadar adalah 1,06%. Hasil penelitian kami adalah 1,01%. Angka kegagalan
pada pasien yang dilakukan intubasi secara sadar hampir sama dengan penelitian
yang kami lakukan (canadian 2%, penelitian ini 1%). Pada canadian komplikasi
terjadi sebanyak 15,7% sedangkan pada penelitian ini 1.6%. Perbedaan ini
disebabkan oleh pada studi canadian terjadi batuk pada saat intubasi. Hal ini
merupakan kriteria eksklusi pada penelitian. Studi canadian melaporkan bahwa
kegagalan dikarenakan pasien yang tidak koperatif dan pasien yang batuk serta
muntah. Kami tidak menemukan kegagalan akibat batuk karena kami
mengeksklusikan kriteria tersebut. Kegagalan pada kasus kami adalah kesulitan
memasukan ETT dengan bantuan fiberscope. Dari 10 itubasi yang gagal , 4
dilakukan pembedahan emergency pada jalan nafas dan 6 lainnya dilakukan
dengan VL.
Pasien dengan komorbid seperti OSA, CAD, CHF, PPOK dan hipertensi
tidak selalu sukses dilakukan intubasi pada saat sadar. Bagaimanapun,
peningkatan BMI berhubungan dengan peningkatan durasi intubasi. Secara
statistik hal ini sangat signifikan dimana setiap kenaikan BMI 1 kg/m 2 maka
terjadi peningkatan waktu 7 detik.

Pada penelitian ini kami menemukan bahwa tidak terdapat gangguan


hemodinamik yang signifikan. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara
intubasi pasien yang sadar dan yang tidak sadar. Kenaikan laju jantung 13 kali per
menit pada intubasi pada pasien sadar disebabkan efek dari glycopyrrolate yang
merupakan sedasi pada pasien yang diintubasi secara sadar.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Studi retrospektif ini


hanya dilakukan pada satu rumah sakit pendidikan. Hasil penelitian tidak bersifat
general. Lokasi dilakukan intubasi hanya di ruang operasi tidak seperti penelitian
lain lokasi pemasangan intubasi dapat dilakukan di IGD. Keterbatasan lain pada
penelitian ini adalah kelemahan dokumentasi.

Sedasi topikal dimulai dari ruang operasi kecuali pada 3 kasus yang
dilakukan sedasi topikal pada ruang observasi. Ada kemungkinan pasien
mendapatkan sedasi topikal sebelum masuk ke ruang operasi tetapi mungkin
tidak didokumentasikan. Sedasi harus dilakukan pada ruangan yang dengan
ketersediaan monitor.

Pada penelitian ini kami mengeksklusikan pasein dengan arteri line


karena hal ini dapat menyebabkan bias pada hemodinamik. Karena penilaian
tekanan darah non invasif dinilai per 3-5 menit. Sedangkan pasien dengan
tekanan darah invasif tekanan darah berubah sewaktu-waktu.

Kesimpulannnya adalah fleksibel bronkoskopi adalah alat yang sangat


baik digunakan saat melakukan intubasi pada pasien yang sadar yang memiliki
risiko tinggi aspirasi dan kesulitan menggunakan face mask. Pada zaman
sekarang, kita dapat memprediksi tambahan waktu pada saat melakukan
intubasi pada pasien yang sadar. Intubasi pada pasien sadar memiliki tingkat
kesuksesan tertinggi dan teraman saat ini.

Anda mungkin juga menyukai