Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah gizi yang kurang saat ini masih tersebar luas dinegara-negara
berkembang, termasuk Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh
ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki
fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima di samping penguasaan
terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM.
Pada sisi lain, masalah gizi di Negara maju, yang juga mulai terlihat di Negara-negara
berkembang,termasuk Indonesia sebagai dampak keberhasilan di bidang ekonomi.
Penyuluhan gizi secara luas perlu digerakan bagi masyarakat guna perubahan prilaku
untuk meningkatkan keadaan gizinya.
Kualitas gizi di Indonesia Sangat memprihatinkan, hal ini dapat dilihat dari
rendahnya nilai gizi masyarakat, banyak gizi buruk, busung lapar di daerah-daerah karena
tingginya tingkat kemiskinan. Kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti faktor ekonomi, sosial budaya, kebiasaan dan kesukaan. Kondisi kesehatan
termasuk juga pendidikan atau pengetahuan. Selain tingkat pengetahuan dan tingkat
pendidikan masyarakat, banyak faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang, baik
faktor individu, keluarga maupun masyarakat.
Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang terbentang
dari sabang sampai merauke dengan latar belakang dari etnis,suku dan tata kehidupan
sosial yang berbeda satu dengan yang lainnya hal ini telah memberikan suatu formulasi
struktur sosial masyarakat yang turut memenuhi menu makanan maupun pola makanan.
Banyak sekali penemuan para ahli sosiologi dan ahli gizi menyatakan bahwa faktor
budaya sangat berperan terhadap proses terjadinya kebiasaan makanan dan bentuk
makanan itu sendiri, sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai masalah gizi apabila
faktor makanan itu tidak diperhatikan baik oleh kita yang mengkonsumsi. Kecenderungan
muncul dari suatu budaya terhadap makanan sangat bergantung pada potensi alamnya
atau faktor pertanian yang dominan.

~1~
1.1 Tujuan
1.1.1 Untuk mengetahui determinan kebiasaan dan adat istiadat yang mempengaruhi
pola konsumsi
1.1.2 Untuk mengetahui dampak ketersediaan pangan terhadap gizi
1.1.3 Untuk mengetahui penyelesaian masalah social budaya dan gizi

1.2 Manfaat
1.2.1 Bagi Mahasiswa
Bagi siswa, hasil penulisan makalah ini dapat berfungsi sebagai
pengetahuan yang bisa dijadikan pedoman dalam memahami tentang Gizi dan
Sosial Budaya
1.2.2 Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat, hasil penulisan makalah ini dapat memberi pengetahuan
tentang Gizi dan Sosial Budaya

~2~
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sosial Budaya
1. Pengertian
Secara ringkas, budaya terdiri dari suku kata yakin budi dan daya (akal).
Dalam bahasa inggris disebut culture yang berarti segala upaya dan kegiatan manusia
untuk mengelolah alam. Secara definiti, hakikat budaya memenga kompleks karena
mencakup ideologi, kepeercayaan, moral, hukum, adat dan lain sebaginya.
Kebudayaan jika dimaknai secara bebas adalah hasil cipta manusia, yang
dilandasi dari kebiasaan, kepedulian yang dibangun dengan sentuhan karya seni, yang
bertujuan menunjukan eksitensi sebuah komunitas masyarakat. Kebasaan-kebiasaan
ini berlangsung sejak lama dan diteruskan dari generasi ke generasi hingga sekarang
ini.
Ketika budaya tubuh pada sebuah komunitas masyarakat, maka masing-
masing anggota masyarakan wajib memelihara budaya tersebut agar identitasnya tak
luntur.

2. Sifat Budaya
Berikut ini adalah beberapa hal yang merupakan sifat kebudayaan.
• Terjadi karena perubahan perilaku kebiasaan (habit) manusia.
• Cenderung berkembaang dalam setiap zaman.
• Tradisi tertentu masih perlu melakukan ritual tertentu karena mengan manusia,
menganggap ada kekuatan lebih besar selain dari manusia, yakni tuhan.
• Kebudayaan seperti musik cenderung abadi. Hal ini dibuktikan dengan masih
banyaknya langgam-langgam lawas yang dirilis ulang.
• Hukum dan budaya menghadapi persoalan yang serius. Hal ini sering terjadi
ketika penentuan tanah berdasarkan hukum adat dan ungdang-undang agraria
negara.

~3~
3. Budaya dan Kebudayaan
Budaya dan kebudayaan adalah hasil dari Perbuatan sehari-hari yang
kemudian tumbuh menjadi kebiasaan. Ingat, setiap budaya memiliki standar logika
dan etika yang berbeda-beda. Budaya orang sunda, jawa dan sumatera, berbeda
dengan budaya orang kalimantan, sulawesi atau papua. Budaya tidak melulu produk
kebiasaan atau kesenian. Tetapi juga melahirkan teknologi digdaya yang berguna bagi
kehidupan orang banyak.

2.2 Gizi
1. Pengertian
Istilah gizi berasal dari bahasa Arab “Giza“ yang berarti zat makanan, dalam
bahasa Inggris dikenal dengan istilah nutrition yang berarti bahan makanan atau zat
gizi. Lebih luas diartikan sebagai suatu proses organisme menggunakan makanan
yang dikonsumsi secara normal melalui proses pencernaan, penyerapan, transportasi,
penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat gizi untuk mempertahankan
kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal organ tubuh serta untuk menghasilkan
tenaga.
2. Fungsi dari Gizi
Gizi memiliki beberapa fungsi yang berperan dalam kesehatan tubuh makhluk
hidup, yaitu:
1. Memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan/perkembangan serta mengganti
jaringan tubuh yang rusak
2. Memperoleh energi guna melakukan kegiatan sehari-hari
3. Mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral dan
cairan tubuh yang lain
4. Berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit
(protein)

3. Status Gizi
Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak
yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi juga
didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara
kebutuhan dan masukan nutrien.

~4~
2.3 Hubungan Sosial Budaya dan Gizi
Malnutrisi erat kaitannya dengan kemiskinan dan kebodohan serta adanya faktor
budaya yang memengaruhi pemberian makanan tertentu. Banyaknya penderita
kekurangan gizi dan gizi buruk di sejumlah wilayah di Tanah Air disebabkan
ketidaktahuan akan pentingnya gizi seimbang.
Faktor budaya sangat berperan penting dalam status gizi seseorang. Budaya
memberi peranan dan nilai yang berbeda terhadap pangan dan makanan.Misalnya tabu
makanan yang masih dijumpai di beberapa daerah. Tabu makanan yang merupakan
bagian dari budaya menganggap makanan makanan tertentu berbahaya karena alasan-
alasan yang tidak logis. Hal ini mengindikasikan masih rendahnya pemahaman gizi
masyarakat dan oleh sebab itu perlu berbagai upaya untuk memperbaikinya. Pantangan
atau tabu adalah suatu larangan untuk mengonsumsi suatu jenis makanan tertentu karena
terdapat ancaman bahaya atau hukuman terhadap yang melanggarnya. Dalam ancaman
bahaya ini terdapat kesan magis yaitu adanya kekuatan supernatural yang berbau mistik
yang akan menghukum orang-orang yang melanggar pantangan atau tabu tersebut.
Di Bogor masih ada yang percaya bahwa kepada bayi dan balita laki-laki tidak
boleh diberikan pisang ambon karena bisa menyebabkan alat kelamin/skrotumnya
bengkak. Balita perempuan tidak boleh makan pantat ayam karena nanti ketika mereka
sudah menikah bisa diduakan suami. Sementara di Indramayu, makanan gurih yang
diberikan kepada bayi dianggap membuat pertumbuhannya menjadi terhambat. Untuk
balita perempuan, mereka dilarang untuk makan nanas dan timun. Selain itu balita
perempuan dan laki-laki juga tidak boleh mengonsumsi ketan karena bisa menyebabkan
anak menjadi cadel. Mereka menganggap bahwa tekstur ketan yang lengket menyebabkan
anak tidak bisa menyebutkan aksara ‘r’ dengan benar.
Selain itu unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan
penduduk yang kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Kebiasaan makan
adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya
akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan (Khumaidi, 1989).
Suhardjo (1989) menyatakan bahwa kebiasaan makan individu atau kelompok individu
adalah memilih pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis,
psikologis, sosial dan budaya.
Tiga faktor terpenting yang mempengaruhi kebiasaan makan adalah ketersediaan
pangan, pola sosial budaya dan faktor-faktor pribadi (Harper et al., 1986). Hal yang perlu
diperhatikan dalam mempelajari kebiasaan makan adalah konsumsi pangan (kuantitas dan
~5~
kualitas), kesukaan terhadap makanan tertentu, kepercayaan, pantangan, atau sikap
terhadap makanan tertentu (Wahyuni, 1988). Khumaidi (1989) menyatakan bahwa dari
segi gizi, kebiasaan makan ada yang baik atau dapat menunjang terpenuhinya kecukupan
gizi dan ada yang buruk (dapat menghambat terpenuhinya kecukupan gizi), seperti
adanya pantangan atau tabu yang berlawanan dengan konsep-konsep gizi. Menurut
Williams (1993), masalah yang menyebabkan malnutrisi adalah tidak cukupnya
pengetahuan gizi dan kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang baik.
Kebiasaan makan dalam rumahtangga penting untuk diperhatikan, karena kebiasaan
makan mempengaruhi pemilihan dan penggunaan pangan dan selanjutnya mempengaruhi
tinggi rendahnya mutu makanan rumahtangga.
Makanan yang dihindari, atau yang sering disebut food taboo, memainkan peran
penting dalam berbagai budaya ketika akan menentukan apa itu makanan dan apa yang
dianggap dapat dimakan. Di bidang pangan dan gizi, food taboo tidak hanya berhubungan
dengan praktek magis / religius, tetapi juga terkait dengan keengganan karena
ketidakbiasaan, penentuan preferensi selera budaya, atau konsep kesehatan.
Makanan yang paling sering dihindari berhubungan dengan daging hewan, karena
dalam kebanyakan budaya manusia memiliki hubungan emosional dengan binatang yang
harus mereka bunuh untuk mereka makan. Alasan mereka untuk menghindari makanan
yang berasal dari non-hewani adalah sama dengan larangan mengkonsumsi alkohol untuk
orang Muslim dan beberapa orang Kristen. Praktik menahan diri dari makan daging babi
tidak hanya soal identitas agama, tetapi juga menunjukkan salah satu komunitas budaya
yang spesifik.
Food Taboo dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Permanent Food Taboo
Makanan yang dihindari secara permanen selalu dilarang untuk kelompok
khusus. Contoh klasik dari food taboo permanen adalah larangan mengkonsumsi
daging babi yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Muslim. Larangan bagi orang
Yahudi untuk mengkonsumsi babi ditemukan dalam Kitab Imamat. Beberapa ahli
antropologi menunjukkan bahwa food taboo yang berdasarkan klasifikasi ini tidak
cocok untuk konsumsi, atau najis. Menurut Alquran, umat Islam seharusnya tidak
hanya menghindari daging babi, tetapi juga darah, hewan yang disembelih tanpa ada
do’a / ritual , mayat, dan alkohol. Konsep food taboo yang berbeda ditemukan dalam
agama Hindu. Hindu berpantang makan daging sapi karena sapi dianggap suci.

~6~
Berbagai argumen telah digunakan untuk menjelaskan asal-usul food taboo tersebut,
termasuk agama, budaya, dan kebersihan.
Food taboo bukan bagian dari cara berpikir orang Kristen tentang apa yang
harus makan dan tidak makan. Namun, orang Kristen Ortodoks di Timur Tengah serta
Koptik Ethiopia menahan diri dari makan daging babi karena mengacu pada
Perjanjian Lama. Kucing dan anjing tidak dikonsumsi di masyarakat Barat karena
hubungan emosional yang terjadi dengan hewan peliharaan. Hewan peliharaan
menjadi "manusiawi" sehingga jika memakan hewan peliharaan dipandang sebagai
tindakan kebiasaan makan manusia atau kanibalisme. Sebaliknya, daging anjing yang
populer dikonsumsi terdapat di banyak bagian Cina, Vietnam Utara, dan daerah
pegunungan Filipina.
2. Temporary Food Taboo
Beberapa makanan dihindari hanya untuk jangka waktu tertentu (temporary).
Pantangan ini sering berlaku untuk wanita dan berhubungan dengan siklus reproduksi.
Pantangan makanan ini terkait dengan periode tertentu dari siklus kehidupan yang
meliputi: kehamilan, kelahiran, menyusui bayi, dan inisiasi.
Dari sudut pandang gizi, makanan yang termasuk temporary food taboo adalah
sangat penting karena menyangkut kelompok rentan tertentu, seperti wanita hamil,
wanita menyusui, bayi dan anak selama periode penyapihan dan pertumbuhan.
Peraturan makanan dan penghindaran makanan selama periode tersebut sering
mengakibatkan kehilangan nilai gizi pada makanan individu seperti daging, ikan,
telur, atau sayuran. Wanita hamil di sejumlah negara Afrika menghindari sayuran
hijau dan ikan. Wanita – wanita disana mengatakan bahwa anak yang belum lahir
mungkin akan mengalami perkembangan kepala dengan penampilan seperti bentuk
ikan. Beberapa pantangan mungkin tampak aneh dari sudut pandang ilmiah, tetapi
sering ada logika yang tak tampak di belakang itu.
Gizi dan pendidikan kesehatan telah mengurangi temporary food taboo di
antara kelompok rentan di sejumlah besar negara. Di negara-negara tropis di Afrika
dan Asia, di mana pemeliharaan hewan susu kurang baik, penolakan susu sebagai
makanan telah berkurang. Di Inggris dan negara lainnya dengan tradisi Anglo-Saxon,
daging kuda bukan bagian dari budaya makanan. Ini berbeda dengan di benua Eropa,
khususnya di Perancis, di mana daging kuda adalah makanan terkenal dan dihargai.

~7~
Contoh food taboo di Indonesia terkait kehamilan :

Taboo Alasan Penjelasan

Makan kangkung Sebabkan rematik Kangkung kaya zat besi

Makan kemangi Ari-ari lengket Ari-ari lengket biasanya disebabkan


riwayat ibu hamil dengan anak
banyak

Makan pedas Mempercepat Terlalu banyak makan pedas


persalinan mengakibatkan perut mulas

Makan nanas Keguguran Kadar asam dalam nanas tinggi,


berisiko memicu sakit maag. Apalagi
dalam kondisi hamil, asam lambung
juga meningkat

Makan pisang Anak kembar siam Kembar dempet terjadi karena proses
dempet pembelahan sel telur tidak sempurna

Contoh food taboo pada ibu menyusui

~8~
Contoh food taboo pada balita

Sumber : Dadang Sukandar, Makanan Tabu Di Rokan Hulu, Riau

2.4 Dampak Ketersediaan Pangan Terhadap Gizi


Ketersediaan pangan merupakan kondisi penyediaan pangan yang mencakup
makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, tanah, ikan, serta turunannya bagi
penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu. Ketersediaan pangan
merupakan suatu sistem yang berjenjang mulai dari Nasional, provinsi, kabupaten/kota,
rumah tangga.
Komponen ketersediaan pangan meliputi kemampuan produksi, cadangan,
maupun impor pangan setelah dikoreksi dengan ekspor dan berbagai penggunaan seperti
untuk bibit, pakan industri makanan/non pangan yang tercecer. Komponen produksi
pangan dapat dipenuhi dari produksi pertanian dan atau industri pangan.
 Ketersediaan pangan bergantung pada:
1. Cukupnya lahan untuk menanam tanaman pangan.
2. Penduduk untuk menyediakan tenaga.
3. Uang untuk menyediakan modal pertanian yang dibutuhkan.
4. Tenaga ahli yang trampil untuk membantu meningkatkan hasil produksi maupun
pertanian, distribusi merata..

 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan secara umum:


1. Jenis dan banyaknya pangan yang diperlukan dan tersedia.
2. Tingkat pendapatan masyarakat.
3. Pengetahuan gizi.

~9~
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannnya adalah hak
asasi manusia. Pangan harus aman, bermutu, bergizi, beragam dan tersedia
serta berimbang sebagai prasyarat utama dalam pembahasan pangan (sistem pangan),
untuk perlindungan kesehatan, kemakmuran dan kesejahteraan. Pangan sebagai
komoditas dagang yang dalam sistem perdagangan dapat dijangkau oleh daya beli
masyarakat
Pangan adalah bahan makanan yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
di olah maupun yang tidak di olah. Pangan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku pangan dan bahan
lainnya. Digunakan melalui proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan
atau minuman dengan cara yang baik dan benar.
Ketersediaan pangan dalam hal ini ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga
adalah kondisi tersedianya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata dan
terjangkau oleh daya beli keluarga.
Saat ini di Indonesia terdapat dua kelompok gizi akibat pengaruh dari pola
konsumsi dan ketersediaan pangan yang ada. Kelompok Gizi pertama adalah Gizi kurang
(malnutrisi) disebabkan karena mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang kurang,
masalah malnutrisi ini juga bisa disebabkan oleh ketersediaan pangan yang belum
tercapai baik karena faktor distribusi yang kurang merata, produksi pangan yang menurun
maupun dikarenakan pendapatan masyarakat yang rendah, sehingga masyarakat tidak
mampu memenuhi kebutuhan gizinya dengan baik. Pada kelompok gizi kurang ini
biasanya didominasi oleh masyarakat dengan pendapatan golongan menengah ke bawah
dan masyarakat yang tempat tinggalnya jauh dari pusat kota atau di daerah-daerah
terpencil.
Kelompok gizi yang kedua adalah kelompok gizi lebih (Obesitas), masalah
Obesitas ini ditandai dengan pola konsumsi makanan yang kurang seimbang dan
berlebihan. Sebagaian besar masyarakat Indonesia yang mengalami Gizi lebih ini diderita
oleh kelompok masyarakat dengan pendapatan golongan menengah ke atas. Biasanya
pada kelompok gizi lebih ini diikuti dengan kemunculan penyakit-penyakit seperti
Diabetes, Hipertensi, Kolesterol, dan Jantung koroner.
Pada kelompok gizi pertama yaitu Gizi kurang (malnutrisi) permasalahan yang
biasa terjadi adalah Kurang Energi protein (KEP), Kurang Vitamin A, Kurang Iodium dan
Kurang Zat Besi. Protein merupakan unsur pembangun sel sel tubuh, selain itu protein
~ 10 ~
juga berperan dalam proses regenerasi dan pertumbuhan sel. Protein pada umumnya
terdapat pada sumber pangan hewani misalnya susu, daging, telur dan keju serta Sumber
protein nabati berupa tempe dan tahu. Sumber protein yang sebagaian besar berasal dari
hewani inilah yang membuat sebagaian masyarakat golongan menengah ke bawah
mengalami KEP. Sumber sumber protein Hewani ini ada dan tersedia di pasaran namun
karena masyarakat memiliki pendapatan yang rendah sehingga tidak mampu membeli
sumber-sumber protein hewani tersebut. Dalam hal ini peran pemerintah sangatlah
diperlukan dalam upaya penyediaan pangan yang bergizi, mudah diperoleh dan dapat
dijangkau (secara ekonomi ) oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pada kelompok gizi kedua yaitu kelompok gizi lebih, permasalahan yang biasa
terjadi adalah obesitas. Pada kondisi ini tubuh manusia mendapatkan asupan gizi yang
lebih besar dari kebutuhan. Hal ini dikarenakan Pola konsumsi pangan yang salah. Akibat
dari Obesitas ini diantaranya menderita penyakit seperti Diabetes, Jantung koroner,
kolesterol dan tekanan darah tinggi hingga stroke. Pada kelompok gizi jenis ini biasanya
diderita oleh kelompok masyarakat dari golongan menengah ke atas dimana memiliki
pendapatan yang tinggi sehingga daya belinya tinggi dan mengkonsumsi makanan secara
tidak berimbang dan cenderung berlebihan. Pola konsumsi pangan yang terjadi pada
sebagaian besar kelompok gizi lebih adalah mengkonsumsi lemak dalam jumlah tinggi
sehingga mengakibatkan naiknya berat badan.

2.5 Solusi Permasalahan Sosial Budaya & Gizi


Sebagai sistem budaya, makanan bukan hanya dipandang sebagai hasil organik
dengan kualitas biokimia yang secara fisiologis berfungsi untuk mempertahankan hidup.
Makanan juga mempunyai makna sosial budaya yang diakui, dianut, dan dibenarkan oleh
masyarakat setempat.
Beberapa mitos dan fakta mengenai makanan dan gizi menjadi salah satu faktor
penghambat dalam proses perbaikan gizi keluarga. Sebagai contoh, ada mitos yang
mengatakan bahwa ibu hamil tidak boleh makan ikan karena bayinya bisa bau amis. Di
daerah lain ada juga mitos yang melarang anak balita makan telur karena bisa bisulan.
“Itu merupakan dua contoh mitos yang keliru karena telor dan ikan justru merupakan
sumber makanan dan gizi yang baik untuk ibu hamil dan anak balita”.
Contoh lain, mitos yang mengatakan anak laki-laki harus makan lebih banyak dari
anak perempuan. Anak menangis dianggap pertanda lapar sehingga harus diberi porsi
makan lebih. Atau, ibu hamil harus meningkatkan porsi makannya dua kali lipat. “Semua
~ 11 ~
itu hanyalah mitos yang tidak didukung oleh bukti ilmiah dan harus dihilangkan dari
kepercayaan masyarakat”. Padahal masa emas perkembangan anak adalah sejak lahir
hingga usia 2 tahun. Bahkan menurut ilmu gizi terkini, diketahui bahwa kualitas anak
ditentukan sejak terjadinya konsepsi hingga masa balita. Kecukupan gizi ibu selama
hamil hingga anak berusia dibawah 5 tahun hingga pola pengasuhan yang tepat,
berkontribusi nyata mencetak generasi unggul.
Solusinya, tak lain persebaran informasi yang merata soal permasalahan gizi.
Selain itu, pemberian pemahaman yang benar tentang asupan gizi yang tepat bagi ibu
hamil dan balita. Singkatnya, perlu didorong pengembangan pemahaman budaya makan
yang tepat bagi tumbuh kembang balita. Tujuannya: demi mengikis budaya dan mitos
yang dianggap mengganggu upaya perbaikan gizi masyarakat.
Akar masalah dan solusi sudah ditemukan. Siapa yang memulai langkah nyata?
Pemerintah, industri farmasi, pakar medis dan tenaga kesehatan, LSM, dan masyarakat
umum, harus berjalan seiring nan sinergis. Betapapun hal ini tak semudah membalik
telapak tangan. Sebab, jika tidak demikian, risikonya tak main-main: Indonesia terancam
kehilangan satu generasi karena masalah gizi buruk di masa mendatang.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan status gizi masyarakat


dalam kaitannya dengan ketersediaan pangan dan pola konsumsi diantaranya:
1. Memperluas Lahan Pertanian dan sektor sektor lain yang mampu menunjang produksi
pangan Indonesia (Peternakan, perikanan)
2. Memperbanyak Jumlah Petani, peternak dan tenaga ahli di bidang pangan dan gizi
3. Memperbaiki Pola konsumsi masyarakat
4. Pemerintah harus mampu menyediakan pangan yang bergizi dan mudah dijangkau,
baik secara fisik maupun ekonomis
5. Distribusi pangan yang baik
6. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang gizi.

Menurut Hadi (2005), solusi yang bisa kita lakukan adalah berperan bersama-
sama. Peran Pemerintah dan Wakil Rakyat (DPRD/DPR). Kabupaten Kota daerah
membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat, misalnya kebijakan yang mempunyai
filosofi yang baik “menolong bayi dan keluarga miskin agar tidak kekurangan gizi dengan
memberikan Makanan Pendamping (MP) ASI”.

~ 12 ~
Peran Perguruan Tinggi. Peran perguruan tinggi juga sangat penting dalam
memberikan kritik maupun saran bagi pemerintah agar pembangunan kesehatan tidak
menyimpang dan tuntutan masalah yang riil berada di tengah-tengah masyarakat,
mengambil peranan dalam mendefinisikan ulang kompetensi ahli gizi Indonesia dan
memformulasikannya dalam bentuk kurikulum pengetahuan tinggi yang dapat memenuhi
tuntutan zaman.
Menurut Azwar (2004). Solusi yang bisa dilakukan adalah :
1. Upaya perbaikan gizi akan lebih efektif jika merupakan bagian dari kebijakan
penangulangan kemiskinan dan pembangunan SDM. Membiarkan penduduk
menderita masalah kurang gizi akan menghambat pencapaian tujuan pembangunan
dalam hal pengurangan kemiskinan. Berbagai pihak terkait perlu memahami problem
masalah gizi dan dampak yang ditimbulkan begitu juga sebaliknya, bagaimana
pembangunan berbagai sektor memberi dampak kepada perbaikan status gizi. Oleh
karena itu tujuan pembangunan beserta target yang ditetapkan di bidang perbaikan
gizi memerlukan keterlibatan seluruh sektor terkait.
2. Dibutuhkan adanya kebijakan khusus untuk mempercepat laju percepatan peningkatan
status gizi. Dengan peningkatan status gizi masyarakat diharapkan kecerdasan,
ketahanan fisik dan produktivitas kerja meningkat, sehingga hambatan peningkatan
ekonomi dapat diminimalkan.
3. Pelaksanaan program gizi hendaknya berdasarkan kajian ‘best practice’ (efektif dan
efisien) dan lokal spesifik. Intervensi yang dipilih dengan mempertimbangkan
beberapa aspek penting seperti: target yang spesifik tetapi membawa manfaat yang
besar, waktu yang tepat misalnya pemberian Yodium pada wanita hamil di daerah
endemis berat GAKY dapat mencegah cacat permanen baik pada fisik maupun
intelektual bagi bayi yang dilahirkan. Pada keluarga miskin upaya pemenuhan gizi
diupayakan melalui pembiayaan publik.
4. Pengambil keputusan di setiap tingkat menggunakan informasi yang akurat dan
evidence base dalam menentukan kebijakannya. Diperlukan sistem informasi yang
baik, tepat waktu dan akurat. Disamping pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang
baik dan kajian-kajian intervensi melalui kaidah-kaidah yang dapat dipertanggung
jawabkan.
5. Mengembangkan kemampuan (capacity building) dalam upaya penanggulangan
masalah gizi, baik kemampuan teknis maupun kemampuan manajemen. Gizi bukan
satu-satunya faktor yang berperan untuk pembangunan sumber daya manusia, oleh
~ 13 ~
karena itu diperlukan beberapa aspek yang saling mendukung sehingga terjadi
integrasi yang saling sinergi, misalnya kesehatan, pertanian, pengetahuan
diintegrasikan dalam suatu kelompok masyarakat yang paling membutuhkan.
6. Meningkatkan upaya penggalian dan mobilisasi sumber daya untuk melaksanakan
upaya perbaikan gizi yang lebih efektif melalui kemitraan dengan swasta, LSM dan
masyarakat.

~ 14 ~
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara ringkas, budaya terdiri dari suku kata yakin budi dan daya (akal). Dalam
bahasa inggris disebut culture yang berarti segala upaya dan kegiatan manusia untuk
mengelolah alam. Secara definiti, hakikat budaya memenga kompleks karena mencakup
ideologi, kepeercayaan, moral, hukum, adat dan lain sebaginya.
Istilah gizi berasal dari bahasa Arab “Giza“ yang berarti zat makanan, dalam
bahasa Inggris dikenal dengan istilah nutrition yang berarti bahan makanan atau zat gizi
Malnutrisi erat kaitannya dengan kemiskinan dan kebodohan serta adanya faktor
budaya yang memengaruhi pemberian makanan tertentu. Banyaknya penderita
kekurangan gizi dan gizi buruk di sejumlah wilayah di Tanah Air disebabkan
ketidaktahuan akan pentingnya gizi seimbang.

3.2 Saran
Masalah gizi yang ada dimasyarakat tidak hanya beberapa saja karena malash
tersebut terjadi karena beberapa fakto, maka kami meminta bantuan kepada segenap
masyarakat untuk dapat memberikan informasi tentang masalah tersebut dan dapat
mengevaluasi dan menanggapainya serta mencegah masalah tersebut secara bersama-
sama, karena dalam penyusunan makalah ini kami juga belum bisa mengupas secara
tuntas masalah gizi yang terjadi karena budaya dan pengetahuan.
Adabaiknya jika masyarakat lebih memperhatikan sumber daya masyarakat
sehingga masyarakat dapat lebih selektif dalam pemilihan bahan makanan dan dapat
menyusun menu makanan dengan baik, sedangkan untuk intansi kesehatan dapat
memberikan pelayanan kesehatan dan penyuluhan kesehatan khususnya tentang gizi dan
bahan makanan.

~ 15 ~
DAFTAR PUSTAKA

Suhardjo, 1985. Pangan gizi dan pertanian Terjemahan. Jakarta : UI Press


Yuniastuti, Ari. 2008. Gizi dan kesehatan. Graha Ilmu
Anonym, 2013. Web: http://intisari.grid.id/Techno/Science/Masalah-Gizi-Bisa-Karena-
Faktor-Budaya-Lo
Foster , George M & Barbara G. Anderson, Antropologi Kesehatan. Penerjemah Priyanti
pakan suryadarma, Meutia F. Hatta Swasono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
(UI Press), 1986.
Kalangi, Nico S. “makanan sebagai suatu system Budaya: Beberapa Pokok Perhatian
Antropologi Gizi” dalam Koentjaraningrat dan AA Loedin (eds) Ilmu-Ilmu Sosial
dalam Pembangunan Kesehatan, Jakarta : PT Gramedia, 1985 (42-53)

~ 16 ~

Anda mungkin juga menyukai