Soraya Prosiding PDF
Soraya Prosiding PDF
BAB 1
PENDAHULUAN
Malaria merupakan masalah kesehatan dunia dengan 207 juta kasus dan lebih
dari 627.000 kematian setiap tahunnya, terutama pada anak dengan usia di bawah 5
tahun di Sub-Sahara Afrika. World Health Organization (WHO) juga mencatat 300 -
500 juta terinfeksi malaria setiap tahunnya. Penyakit malaria juga menjadi masalah
kesehatan di lebih dari 90 negara, yang meliputi 40% dari populasi dunia. Sebanyak
90% kejadian malaria terjadi di wilayah Sub-Sahara, Afrika. Asia menempati urutan
kedua dari Afrika. WHO memperkirakan sekitar 34,8 juta kasus dan 45.600 kematian
akibat malaria di Asia dan dilaporkan lebih dari 85% kejadian malaria dan kematian
terjadi di India, Indonesia, Myanmar, dan Pakistan (WHO, 2011)
Tahun 2010, dilaporkan sebanyak 4.3 juta kasus malaria di Asia Tenggara, di
antaranya tiga negara dengan mayoritas kasus malaria yaitu India (66%), Myanmar
(18%) dan Indonesia (10%), dengan total 2.436 kasus kematian (WHO, 2011).
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia di mana malaria masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang sangat tinggi. Di Indonesia, berdasarkan laporan
Riskesdas 2013 terdapat lima provinsi yang tertinggi dalam mengobati malaria yaitu
Bangka Belitung (59,2%), Sumatera Utara (55,7%), Bengkulu (53,6%), Kalimantan
Tengah (50,5%) dan Papua (50,0%). Prevalensi malaria di Indonesia adalah 6,0%.
Untuk Propinsi Sumatera Utara prevalensinya adalah 5,2% (Riskesdas, 2013).
adalah malaria serebral dan merupakan penyebab utama kematian pada malaria.
Sedangkan P. malariae dapat ditemukan di beberapa Provinsi antara lain Lampung,
Nusa Tenggara Timur, dan Papua. P. ovale pernah ditemukan di Nusa Tenggara
Timur dan Papua. Pada tahun 2010 di Pulau Kalimantan dilaporkan adanya
P. knowlesi yang dapat menginfeksi manusia dimana sebelumnya hanya menginfeksi
hewan primata/monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan sampai saat ini masih
terus diteliti. Kehadiran malaria baru di Asia Tenggara menambah tantangan baru
dalam eliminasi malaria (Hadidjaja P dan Margono S, 2011 ; Ditjen PP & PL, 2011a)
Angka kesakitan dan kematian akibat malaria yang tinggi umumnya terjadi
karena keterlambatan diagnosis dan resistensi antimalaria. Keterlambatan diagnosis
sangat dipengaruhi oleh ketersediaan alat bantu diagnostik yang tersedia di suatu
daerah tertentu (Bendezu J, 2010). Kekurangan tenaga laboratorium kesehatan yang
terampil menggunakan mikroskop untuk menegakkan diagnosis malaria secara tepat
merupakan salah satu penyebab keterlambatan pengobatan dan kesalahan diagnosis
malaria. Sebagai salah satu metode pemeriksaan alternatif yang relatif mudah
digunakan adalah pemeriksaan dengan Rapid Diagnostic Test (RDT) (Elahi R, et al,
2013)
Bendezu, et al. (2010), melakukan penelitian didaerah endemik Peruvian
Amazon Peru terhadap 332 orang suspek malaria dengan umur 16-32 tahun memakai
Tes Rapid Parascreen dibandingkan dengan Mikroskop untuk P. falciparum
didapatkan nilai Sensitivitas 53,5%, Spesifisitas 98,7%, untuk non P. falciparum
didapatkan nilai Sensitivitas 77,1%, Spesifisitas 97,6%. Bahkan, penelitian yang
dilakukan oleh VanderJagt, (2005) mendapatkan hasil sensitivitas Rapid Diagnostic
Test yang kurang dari 50%.
Siahaan L, (2011) melakukan penelitian terhadap 656 suspek malaria di
Kotamadya Sabang dan Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara yang
merupakan daerah endemis malaria sensitivitas adalah 67/105 (63,8%), sedangkan
spesifisitas adalah 551/551 (100%). Afiah N, et al., (2009), melakukan penelitian
didaerah endemik Halmahera Tengah terhadap 240 orang suspek malaria dengan Tes
Paracheck Pf dengan Mikroskop didapatkan nilai Sensitivitas 88% dan Spesifisitas
3
66,6%. Ginting J, dkk (2008) melakukan penelitian terhadap 104 orang suspek
malaria semua golongan umur di puskesmas dan RSU Penyabungan dengan
membandingkan tes Parascreen dengan Pewarnaan Giemsa didapatkan nilai
Sensitivitas 76,47%, Spesifisitas 100%.
Kabupaten Batubara merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Sumatera
Utara yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Asahan. Batubara berada di
kawasan Pantai Timur Sumatera Utara yang berbatasan dengan Selat Malaka. Jumlah
penduduk Batu Bara diperkirakan sebesar 380.570 jiwa. Berdasarkan data Dinas
Kesehatan Sumatera Utara, kejadian malaria di Kabupaten Batubara terjadi 2.382
kasus (1.141 laki-laki, 1.241 perempuan) (Dinkes, 2014). Sebagian besar penduduk
bertempat tinggal di daerah pedesaan yaitu sebesar 77,11 persen dan sisanya 22,89
persen tinggal di daerah perkotaan. Kecamatan Lima Puluh merupakan kecamatan
terluas dari Kabupaten Batubara yang terletak di pesisir pantai timur, tempat yang
sesuai untuk vektor malaria (Riskesdas, 2013)
Tingginya angka kejadian malaria di Kabupaten Batubara dan tuntutan dalam
ketepatan saat menentukan diagnosis malaria serta tingkat sensitivitas dan spesifisitas
pemeriksaan tersebut yang bervariasi di berbagai tempat sehingga merupakan suatu
hal yang menarik dan perlu untuk diteliti.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan akurasi pemeriksaan Rapid
Diagnostic Test (RDT) dengan pemeriksaan mikroskopik sebagai gold standard pada
penderita malaria klinis di Kabupaten Batubara. Hasil yang diperoleh diharapkan
dapat menjadi pertimbangan dalam menegakkan diagnosis penyakit malaria, sehingga
penegakkan diagnosis malaria dapat lebih cepat dan tepat serta memudahkan dalam
menentukan terapi yang akan diberikan pada pasien sesuai dengan jenis malaria yang
dideritanya.
1.3 Hipotesis
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Malaria
Seorang penderita malaria dapat diinfeksi oleh lebih dari satu jenis
Plasmodium yang disebut infeksi campuran (mixed infection). Biasanya paling
banyak dua jenis parasit, yakni campuran antara P. falciparum dengan P. vivax atau
P. malariae. Kadang-kadang dijumpai tiga jenis parasit sekaligus, meskipun hal ini
jarang terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah yang tinggi angka
penularannya (Soedarmo SS, 2008).
Upaya penanggulangan penyakit malaria di Indonesia sejak tahun 2007 dapat
dipantau dengan menggunakan indikator Annual Parasite Incidence (API). Setiap
kasus malaria harus dibuktikan dengan hasil pemeriksaan sediaan darah. API dari
tahun 2008 – 2013 menurun dari 2,47 per 1000 penduduk menjadi 1,38 per 1000
penduduk. Untuk tahun 2013 dapat dilihat per provinsi API yang tertinggi adalah
Papua (42,65 per 1000 penduduk), Papua Barat (38,44 per 1000 penduduk), dan NTT
(16,37 per 1000 penduduk) (Ditjen PP & PL Kemenkes RI 2008 – 2013).
a) Sporogoni (Seksual)
b) Skizogoni (Aseksual)
Hipnozoit ini merupakan suatu fase dari siklus parasit yang nantinya dapat
menyebabkan kekambuhan/rekurensi (long term relapse). P. vivak dapat kambuh
berkali-kali bahkan sampai jangka waktu 3-4 tahun. Sedangkan P. ovale dapat
kambuh sampai bertahun – tahun apabila pengobatannya tidak dilakukan dengan
baik. Kekambuhan P. falciparum disebut rekrudensi (short term relapse), karena
siklus di dalam sel darah merah masih berlangsung sebagai akibat pengobatan yang
tidak teratur. Dalam sel hati parasit tumbuh menjadi skizon (Natadisastra D dan
Agoes S, 2009).
8
Pembelahan inti skizon menghasilkan merozoit di dalam satu sel hati. Siklus
eritrosit dimulai pada waktu merozoit hati memasuki sel darah merah. Merozoit
berubah bentuk menjadi tropozoit. Tropozoit tumbuh menjadi skizon muda yang
kemudian matang menjadi skizon matang dan membelah menjadi banyak merozoit,
pigmen dan residu keluar serta masuk ke dalam plasma darah. Parasit ada yang
masuk sel darah merah lagi untuk mengulangi siklus skizon. Beberapa merozoit yang
memasuki eritrosit tidak membentuk skizon, tetapi membentuk gametosit, yaitu
stadium seksual. Pada waktu masuk ke dalam tubuh manusia, parasit malaria dalam
bentuk sporozoit (Natadisastra D dan Agoes S, 2009).
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, hospes dan
lingkungan. Plasmodium berikatan dengan glikoporin, suatu protein membran
eritrosit. Eritrosit terinfeksi bergantung pada kemampuan Plasmodium dan pengaruh
protein knob. Adanya ikatan antigen dengan glikoporin merangsang antibodi,
antibodi ini bekerja dalam sel. Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya
peningkatan permeabilitas pembuluh darah daripada koagulasi intravaskuler. Invasi
merozoit malaria merupakan proses yang kompleks dan terdapat dalam beberapa
langkah yang dapat dibagi menjadi empat fase:
Interaksi awal antara merozoit dan eritrosit yang mungkin tubrukan secara
random, yang sangat tergantung pada interaksi molekul spesifik antara ligan parasit
pada merozoit dan reseptor host pada membran eritrosit. Protein di permukaan dan
organel apikal merozoit memediasi pengenalan sel dan invasi ke dalam sel darah
merah. Proses invasif ini dilakukan oleh proses Actin-myosin, yang melibatkan empat
komponen ; MCP1 (Merozoit Cap Protein-1), aktin, myosinA dan MTIP (MyosinA
Tail Interacting Protein). MSP1 (Merozoit Surface Protein-1) dan GPI (Glikosil
Phosphatidyl Inositol) juga disebut MSA1, gp195 atau PMMSA bisa terlibat dalam
pengenalan awal pada eritrosit dengan sialic acid. Tiga Protein Permukaan merozoit
P. falciparum lainnya yaitu MSP2, MSP3 dan MSP4 telah diidentifikasi. Sialic acid
10
pada glycophorin terlibat dalam pengenalan reseptor untuk invasi merozoit setelah
perlekatan awal. Microneme yang berasal dari EBA175 (Eritrosit-Binding Antigen-
175) dari P. falciparum juga mengikat sialic acid pada glycophorin. Struktur gen
EBA175 memiliki kesamaan dengan Duffy-Binding Protein P. vivax dan P. knowlesi.
EBA175 tampaknya menjadi ligan yang paling penting untuk mengikat merozoit
dengan glycophorinA pada eritrosit. Namun, beberapa merozoit P. falciparum dapat
memanfaatkan jalur alternatif untuk invasi. GlycophorinB juga dapat bertindak
sebagai reseptor eritrosit. Selanjutnya merozoit malaria dapat memanfaatkan jalur
independen untuk invasi tanpa acid sialic. Protein vacuolar lainnya, seperti ABRA
(Acidic Basic Repeat Antigen) dan SERA (Serine Repeat Antigen) juga ditemukan
pada merozoit. Banyak protein organellar apikal pada micronemes dan rhoptries,
yang meliputi ; AMA1 (Apical Membrane Antigen-1) and MAEBL (in Rodent
Malaria) juga terdapat dalam merozoit. Komponen massa molekul Rhoptry Complex
rendah, RAP1 (Rhoptry-Associated Protein-1), RAP2 dan RAP3, juga terjadi di
merozoit. Massa molekul Rhoptry protein Complex (RhopH), bersama-sama dengan
RESA (Ring-infected Erythrocyte Surface Antigen) yang merupakan komponen dari
granul padat, ditransfer utuh untuk eritrosit baru pada atau setelah invasi dan dapat
berkontribusi pada proses renovasi sel host. Merozoit berkembang dalam eritrosit
melalui tahap cincin, trofozoit dan skizon (erythrocytic schizogony) (Bannister LH,
et al., 2003)
11
endothelium. Demam mulai mucul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang
mengeluarkan bermacam – macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel – sel
makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan bermacam – macam sitokin
diantaranya Tumor Necrosis Factor (TNF). TNF akan dibawa ke hipotalamus yang
merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi demam (Garna H, 2012)
Ada dua macam respon imun yang terjadi apabila ada mikroba yang masuk ke
dalam tubuh, yaitu respon innate dan adaptive. Sel yang berperan dalam innate
response adalah sel fagosit, neutropil, monosit dan makrofag. Innate immunity
(imunitas alamiah) berperan terhadap ekstraselular Plasmodium, dieliminasi dengan
fagositosis dan aktivasi komplemen sitokin Thelper2 (Th2) untuk produksi antibodi
sedangkan intraselular Plasmodium, dieliminasi dengan TC (cytotoxic lymphocytes)
membunuh sel yang terinfeksi, sitokin Thelper1 (Th1) untuk aktivasi makrofag & TC.
Innate immunity dan acquired immunity (imunitas didapat) saling berinteraksi dan
menentukan perjalanan penyakit pada hospes. CD8+ (cytotoxic T cells) membunuh
sel hospes yang terinfeksi parasit (sel hepar yang terinfeksi) (Garna H, 2012)
Respon imun pada infeksi malaria masih belum jelas mekanismenya. Adanya
antibodi serum pada individu yang hidup di daerah endemik malaria menunjukkan
bahwa sistem imun meningkatkan respon humoral terhadap masuknya parasit
malaria. Kekebalan ini bersifat strain – specific dan akan menghilang jika individu
tersebut pindah ke daerah yang non – endemik. Selain itu efektivitas respon humoral
sangat terbatas karena parasit lebih banyak berada intraseluler. Suatu keadaan yang
ada di daerah endemik adalah bahwa imunitas yang efektif terhadap malaria pada
anak memerlukan waktu bertahun – tahun, sedangkan pada orang dewasa imunitas
yang efektif tersebut diperoleh dalam waktu lebih cepat. Selain itu, Plasmodium
mampu mengadakan adaptasi terhadap imunitas hospes melalui berbagai cara, antara
lain :
Hampir semua orang pada infeksi pertama akan bermanifestasi klinis. Faktor
imunitas berperan penting menentukan beratnya infeksi. Di daerah endemis, penderita
telah memiliki imunitas. Pada penduduk daerah endemis ditemukan parasitemia berat
namun asimtomatik, sebaliknya pasien non-imun dari daerah non-endemis lebih
mudah mengalami malaria berat. Hal ini dikarenakan pada individu di daerah
endemis, sudah terbentuk antibodi protektif yang dapat membunuh parasit atau
menetralkan toksin parasit. Dengan demikian tidak semua gejala klasik ditemukan
pada penderita malaria. Imunitas terhadap malaria terbentuk lambat dan
membutuhkan beberapa kali infeksi. Pejamu yang imun gejala klinisnya dapat
menjadi minimal dan tidak khas. Serangan demam yang pertama diawali dengan
masa inkubasi yang bervariasi antara 9 - 30 hari tergantung spesies parasit (Soedarmo
SS, 2008). Pada malaria walaupun telah terbentuk imunitas tetap berpeluang
terinfeksi, imunitas yang terbentuk juga jangka pendek, dengan ketiadaan paparan
maka derajat imunitas menurun sehingga jika terinfeksi lagi dapat menjadi berat
(Langhorne, 2008).
Gejala klinis yang secara spesifik ditemukan di daerah endemis malaria, yang
dapat digunakan sebagai langkah awal menegakkan diagnosis malaria klinis, sangat
membantu dalam penanganan penyakit malaria secara cepat, tepat, dan rasional.
Namun, diagnosis malaria klinis harus dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan
mikroskopik yang masih menjadi gold standard dalam diagnosis malaria (Siahaan L,
2011). Gejala klinis pada penderita malaria menunjukkan bahwa hanya sedikit kasus
malaria di daerah endemis tinggi, sedang, dan rendah yang melaporkan adanya
kombinasi gejala klinis demam, menggigil, sakit kepala, berkeringat, mual, dan
muntah dengan persentase berturut-turut 34,6%, 25%, dan 14,7% (Anastasia H, et al.,
2013). Penelitian yang dilakukan oleh Siahaan L menunjukkan bahwa gejala klinis
yang paling banyak dijumpai pada penderita malaria adalah demam (dengan atau
tanpa gejala lain), yaitu 64,7% di Kabupaten Nias Selatan dan 58,5% di Kotamadya
Sabang (Siahaan L, 2008). Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Anand
et al di daerah endemis dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik sebagai gold
19
standard, dimana gejala demam atau riwayat demam adalah 62,7% (Anand et al.,
2002). Tidak mudah dalam menentukan diagnosis malaria pada orang yang pernah
terkena serangan sebelumnya. Hal ini disebabkan karena tubuh penderita sudah
menyesuaikan dengan penyakit sehingga gejala klinisnya tidak selalu dapat terlihat.
Kondisi demikian dapat juga terjadi pada penderita yang sebelumnya sudah
mengobati dirinya sendiri. Keluhan yang dirasakan mungkin hanya berupa sedikit
demam dan sakit kepala ringan (Kemenkes RI, 2011)
Asimtomatik malaria sering terjadi karena tingginya toleransi terhadap parasit
malaria. Gejala klinis sebagai prediktor kasus malaria hampir selalu bervariasi
tergantung pada prevalensi daerah setempat. Di beberapa wilayah, 80% pasien febrile
(pada semua umur) dengan diagnosis klinis malaria, positif parasit malaria (Graz B,
et al., 2011).
Sebagai contoh :
Bila dijumpai 1500 parasit/200 leukosit (jumlah leukosit 8000/µl),
maka 8000/200 x 1500 = 60.000 parasit/ µl.
Bila dijumpai 50 parasit/1000 eritrosit = 5 % (jumlah eritrosit
450.000), maka 450.000/1000 x 50 = 225.000 parasit/ µl.
(Ditjen PP & PL, 2011)
ICT merupakan uji yang cepat, lebih sederhana dan mudah diinterpretasikan
tidak memerlukan pelatihan khusus seperti mikroskopik dan variasi dari
interpretasinya adalah kecil antara pembaca yang satu dengan yang lainnya. Uji ini
lebih praktis digunakan di lapangan, hanya membutuhkan sedikit keahlian dan hasil
sudah diperoleh dalam waktu berkisar 15 - 30 menit (Kakkilaya BS, 2012). ICT dapat
mendeteksi P. falciparum dan non falciparum, tetapi tidak dapat membedakan antara
P.vivax, P.ovale dan P. Malariae, maupun membedakan infeksi falciparum murni
dari infeksi campuran yang termasuk P. falciparum (WHO, 2011).
Saat ini metode ICT dapat mendeteksi tiga kelompok utama antigen yang
tersedia secara komersial oleh RDT yaitu Histidine Rich Protein 2 (HRP 2), khusus
untuk P. falciparum, parasit Plasmodium Laktat Dehidrogenase (pLDH) dan aldolase
(pan-spesifik) (Ditjen PP & PL, 2008). Pada eritosit yang terinfeksi Plasmodium akan
terbentuk knob yaitu knob positif dan negatif pada permukaan membran yang
disebabkan oleh Pf Erythrocyte Membrane Protein 1 (PfEMP 1). Ada tiga HRP yang
telah diidentifikasi pada P. falciparum pada saat menginfeksi eritrosit dinamakan
PfHRP 1, PfHRP 2 dan PfHRP 3. PfHRP 1 (Mr 80.000 - 115.000) hanya
diekspresikan pada knob positif pada membran eritrosit yang terinfeksi sehingga
jumlahnya sedikit. PfHRP 2 (Mr 60.000 - 105.000) diekspresikan pada kedua knob
positif dan negatif dan jumlahnya sangat banyak, dan merupakan antigen pertama
26
yang digunakan untuk RDT. Sintesa PfHRP 2 dimulai pada saat berbentuk cincin dan
berlanjut hingga stadium trofozoit. HRP 2 adalah protein yang larut air yang
diproduksi oleh bentuk aseksual dan gametosit muda dari P. falciparum. Rangkaian
DNA telah membuktikan bahwa PfHRP 2 mengandung 35% histidine dan juga
kandungan alanine dan aspartat yang relatif tinggi masing – masing 40% dan 12%.
PfHRP 3 (Mr 40.000 - 55.000) merupakan protein yang paling sedikit di produksi
oleh P. falciparum di bandingkan dengan PfHRP 1 dan PfHRP 2 (Moody A, 2002 ;
Joel C.M and Goldring J.P, 2013).
Meningkatnya densitas elektron, protein parasit yang kaya histidine dijumpai
di bawah knob ini. Knob merupakan suatu rangkaian spesifik, jenis protein yang
adhesif dengan berat molekul yang tinggi dimana knob menghubungkan sel darah
merah dengan reseptor-reseptor pada lapisan endothelium vena dan kapiler, yang
menyebabkan cytoadherence. P. falciparum menginfeksi sel darah merah juga
menarik sel darah yang tidak terinfeksi menjadi bentuk rossete (Srabasti J, et al.,
2008). Cytoadherence dan bentuk rossete (rose) ini merupakan patogenesis utama
dari infeksi malaria P. falciparum, menghasilkan bentuk agregasi dari sel darah
merah dan penumpukan sel darah merah intravaskuler dalam organ- organ vital
seperti dalam otak dan hati (Claire L, et al., 2004). PfEMP1 muncul di permukaan sel
darah merah yang terinfeksi P. falciparum sekitar 16 jam setelah invasi
cytoadherence tersebut. PfEMP 1 dapat mengikat beberapa reseptor adhesi yang
diekspresikan pada sel-sel endotel seperti ; thrombospondin, CD36, ICAM-1
(vascular cell adhesion molecule 1), platelet / adhesion molecule / CD31, neural cell
adhesion molecule, P-selektin dan E-selektin, integrin αvβ3, globular reseptor C1q
(gC1qR) / hyaluronan binding protein 1 / P32, chondroitin sulfate A (CSA), dan
hemagglutinin. ICAM-1 dan CD36 lebih umum digunakan, CSA sebagai reseptor
untuk mengikat dalam plasenta. Perbedaan pengikatan reseptor ini (CD36 dan
ICAM-1) dapat menentukan virulensi dari P. falciparum dari berbagai belahan dunia.
Aktivasi sel endotel oleh sitokin serta sel darah merah yang terinfeksi meningkatkan
ekspresi molekul adhesi sehingga menyebabkan sel ini sulit untuk melewati kapiler
dan filtasi limpa. Hal ini berpengaruh terjadinya cytoadherence. Adanya perlekatan
27
1. Sensitivitas biasanya mencapai > 90% pada level parasitemia > 100 /μL darah,
tetapi akan menurun pada parasitemia yang rendah.
2. Tidak dapat mengukur densitas parasit (secara kuantitatif)
29
3. Hasil positif palsu dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu adanya resistensi
obat dan reaksi silang dengan autoantibody seperti rheumatoid factor (RF). Hasil
positif palsu terjadi dalam beberapa persen dari tes. Reaktivitas silang dengan RF
dalam darah menghasilkan garis tes positif palsu, tetapi penggantian tempat
(replacement) IgG dengan IgM dalam produk terbaru mengurangi masalah ini.
4. Hasil negatif palsu dapat dijumpai pada malaria berat atau parasitemia yang
sangat tinggi yaitu > 40000 parasit / µl dan hasil negatif palsu yang jarang terjadi
dapat disebabkan oleh delesi atau mutasi dari gen hrp-2
5. Biaya tes ini masih cukup mahal serta kelembapan dan temperatur yang tinggi
(penyimpanan) dapat dengan cepat merusak reagen (tidak stabil pada suhu ruang
di atas 30ºC)
4) Untuk mendeteksi P. falciparum (P.f), keempat spesies (Pan) dan P. vivak (P.v)
a. Core Malaria
Alat diagnostik ini untuk mendeteksi P.f HRP2 spesifik P. falciparum, pLDH
spesifik P. vivak dan pLDh spesifik pan di dalam spesimen darah, juga sensitif
dan spesifik untuk mendeteksi keempat spesies malaria.
BAB 3
METODE PENELITIAN
- Usia
- Spesies
Tanda dan gejala klinis
- Wilayah
- Imunitas tubuh
- Laboran terlatih
Pemeriksaan
- Kepadatan parasit Mikroskopik (Gold
standard)
- Biaya
Pemeriksaan Diagnosis
- Teknik sentrifugasi Quantitative Buffy Malaria
Coat (QBC)
- Biaya Pemeriksaan
- Laboran terlatih Polymerase Chain
Reaction (PCR)
- Peralatan khusus
Pemeriksaan
Mikroskopik
(gold standard)
Diagnosis Malaria
Pemeriksaan Rapid
Diagnostic Test (RDT)
d = presisi penelitian
α = tingkat kesalahan
P = prevalensi penyakit
n = __________________ = 100
(0,30)2 . 0,06
1) Infeksi Malaria
2) Pemeriksaan Mikroskopik
4) Akurasi
+ - + -
Keterangan :
- Hasil pemeriksaan RDT (+) dan mikroskopik (+) ; RDT (-) dan mikroskopik (+),
maka akan diberikan terapi antimalaria
43
- Hasil pemeriksaan RDT (+) dan mikroskopik (-) ; RDT (-) dan mikroskopik (-),
maka akan diberikan terapi sesuai klinis
- Hasil pemeriksaan RDT (+) dan mikroskopik (-), maka tidak diberikan terapi
BAB 4
HASIL PENELITIAN
yaitu di tiga desa yaitu Perupuk, Gambus Laut dan Titi Putih. Penelitian berlangsung
selama bulan Desember 2015 sampai Januari 2016 yang diikuti oleh sebanyak 100
Pengisian Kuesioner
Analisa Sampel
Gambar 4.1 Profil Penelitian
45
Pada gambar 4.1 terlihat bahwa pada pemeriksaan Rapid Diagnostic Test
(RDT) diperoleh hasil yaitu jumlah non P. falciparum (Pan) 64 orang, P. falciparum
(P.f) 1 orang, campuran (P. falciparum dan non P. falciparum) 14 orang dan negatif
9 orang dan negatif sebanyak 29 orang. Penelitian ini dilakukan pada penduduk yang
Lima Puluh dengan keluhan demam dengan atau riwayat demam dalam 48 jam.
Gambar 4.2 Diagram Lingkaran Persentase Subjek Berdasarkan Jenis Infeksi Malaria
Pada Pemeriksaan Rapid Diagnostic Test (RDT)
Chart Title
1,41 % 19,72 %
90,14 %
hasil positif yang terbesar dengan pemeriksaan Rapid Diagnostic Test (RDT) adalah
Non P. falciparum 64 orang (90,14 %), P. falciparum 1 orang (1,41 %) dan campuran
DHP 4 (4,0)
Tidak 78 (78,0)
Demam, n (%)
Tidak (riwayat demam) 21 (21,0)
Ada 79 (79,0)
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa jumlah laki – laki sebesar 53% lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan sebesar 47%. Dari sebaran kelompok umur
terbanyak adalah 5 – 14 tahun (65%). Pekerjaan orang tua paling banyak adalah
nelayan dimana Ayah (45%) dan Ibu sebagai ibu rumah tangga sebesar (59%),
sedangkan pendidikan orangtua paling banyak jenjang SMA/SMU/SLTA dimana
ayah (60%) sedangkan Ibu (58%). Pada penelitian ini gejala klinis yang paling
banyak dijumpai pada penderita malaria adalah demam (tanpa gejala lain), yaitu 79%
dan adanya riwayat demam dalam 48 jam yaitu 21 %.
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa gejala demam pada penderita malaria sebesar
69% dan yang memiliki riwayat demam 48 jam sebesar 2%. Sedangkan gejala
demam yang bukan penderita malaria sebesar 11% dan riwayat demam 18%.
48
Gejala klinis P
Parasitemia (/mm3 darah)
N
Demam 69 2329,13 (1417,30) 0,444
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa rerata densitas parasit pada kelompok pasien
yang mengalami demam adalah 2329,13/mm3 darah sedangkan pada pasien yang
tidak demam adalah 1500 /mm3 darah. Hasil analisis menggunakan uji Mann
Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan rerata densitas parasit yang
signifikan antara subjek yang mengalami demam dan tidak demam (p=0,444).
Tabel 4.5 Distribusi umur dan jenis kelamin dengan hasil pemeriksaan RDT dan
mikroskopik yang positif
RDT Jumlah Mikroskopik Jumlah
Kelompok
Umur Laki- Laki-
Perempuan N % Perempuan n %
laki laki
< 5 tahun 4 4 (50) 8 10,1 3 4 (57,1) 9,9
7
(50) (42,9)
5-14 34 16 (32) 50 63,6 29 15 (34,1) 62
45
tahun (68) (65,9)
15-20 5 5 (23,8) 21 26,6 5 (25) 15 (75) 28,2
19
tahun (23,8)
Total 43 25 79 100 37 24 71 100
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa laki-laki pada pemeriksaan RDT yang positif
sebanyak 43 orang. Sementara pada pemeriksaan mikroskopik sebanyak 37 orang.
Pada perempuan jumlah yang positif dengan RDT 25 orang dan mikroskopik
sebanyak 24 orang. Apabila dilihat dari segi umur disini terlihat, umur 5 – 14 tahun
lebih banyak yang positif baik pada pemeriksaan RDT maupun mikroskopik
49
(63,6% : 62%). Kemudian diikuti umur 15 – 20 tahun (21% : 28,2%) dan umur di
bawah 5 tahun (10,1% : 9,9%).
Mikroskopik
BAB 5
PEMBAHASAN
Friaraiyatini, dkk (2006) menemukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
jenis pekerjaan (berkebun, nelayan dan buruh yang bekerja pada malam hari) dengan
kejadian malaria.
Gambaran Plasmodium malaria yang dijumpai pada tempat penelitian ini
adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivak. Infeksi yang terjadi dapat saja
berupa infeksi tunggal ataupun infeksi gabungan keduanya (campuran). Kasus yang
terbanyak muncul di Kecamatan LimaPuluh Kabupaten BatuBara adalah malaria oleh
karena Plasmodium vivak. Hal ini sesuai dengan laporan Dinas Kesehatan (Dinkes,
2014).
Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium
mempunyai gejala utama yaitu demam. Demam yang terjadi oleh karena proses
skizogoni (pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI (Glycosyl
Phosphatidylinositol) atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya (Harijanto PN,
2000). Penelitian ini didapatkan gejala demam pada penderita malaria sebesar 69%
dan riwayat demam sebesar 2%. Penelitian ini hampir sejalan dengan yang dilakukan
oleh Anand et al di daerah endemis dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik
sebagai gold standard, dimana gejala demam atau riwayat demam adalah 62,7%
(Anand et al., 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Siahaan L menunjukkan bahwa
gejala klinis yang paling banyak dijumpai pada penderita malaria adalah demam
(dengan atau tanpa gejala lain), yaitu 64,7% di Kabupaten Nias Selatan (Siahaan L,
2008). Hal ini disebabkan karena tubuh penderita sudah menyesuaikan dengan
penyakit sehingga gejala klinis lainnya tidak selalu dapat terlihat. Kondisi demikian
dapat juga terjadi pada penderita yang sebelumnya sudah mengobati dirinya sendiri.
Keluhan yang dirasakan hanya berupa sedikit demam dan sakit kepala ringan
(Kemenkes RI, 2011)
Pemeriksaan RDT (Rapid Diagnostic Test) menggunakan metode
Immunochromatography Test (ICT) yang digunakan untuk mendeteksi antigen
malaria (Harijanto, 2009). RDT yang digunakan pada penelitian ini adalah
Parascreen (Zephyr Biomedical Systems, India) Pan/P.f berbentuk dipstik terdiri dari
dua antibodi monoklonal berbentuk dua garis yang terpisah pada permukaan kit tes.
53
Antibodi monoklonal pertama (test line P.f) spesifik terhadap HRP2 P. falciparum,
dan antibodi monoklonal kedua (test line Pan) spesifik terhadap lactate
dehidrogenase spesies Plasmodium (falciparum, vivak, ovale, malariae). Berdasarkan
penelitan ini Parascreen mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas 72,4% dengan
nilai prediksi positif 89,9% dan nilai prediksi negatif 100%, likelihood ratio negatif
adalah 0 dan likelihood ratio positif 27,6. Hasil yang didapat sedikit berbeda dengan
penelitian Ginting J dkk (2008) pada 104 sampel di penyabungan (Sumatera Utara)
yang menggunakan Parascreen dengan sensitivitas dan spesifisitas masing – masing
76,47% dan 100%. Penelitian mirip dengan Arum I dkk (2005) pada penelitiannya
yang membandingkan RDT jenis lain yaitu ICT Pf/Pv dengan pemeriksaan
mikroskopik di Nusa Tenggara Barat memperoleh hasil sensitivitas sebesar 100% dan
spesifisitas 96,99%. Penelitian lainnya yaitu Batwala dkk (2010) dilakukan di Sub-
Sahara Afrika dengan membandingkan mikroskopik dengan Paracheck diperoleh
hasil sensitivitas 91% sedangkan spesifisitas 86,3%. Penelitian Khabis dkk (2010)
membandingkan mikroskopik dengan BIOTEC Pv/Pf di Sistan dan Balouchestan
(Iran) dan diperoleh sensitivitas 98,2 % dan spesifisitas 100%. Di Maesod Thailand,
Wongsrichanalai C, Iracema, Arevalo dkk menggunakan uji Now® ICT pf/pv dan
menemukan sensitivitas dan spesifisitas untuk Plasmodium falciparum masing-
masing 100% dan 96,2%; sensitivitas dan spesifisitas untuk Plasmodium vivak adalah
87,3% dan 97,7%.
Penelitian ini dilakukan pada 100 sampel dimana didapatkan hasil RDT 79
positif sedangkan pada pemeriksaan mikroskopik didapatkan hasil 71 yang positif.
Hal ini disebabkan oleh karena pemeriksaan RDT mampu mengetahui antigenemia
dalam bentuk fragmen yang masih berlangsung beberapa hari setelah parasitemia
hilang akibat pemberian terapi (Harijanto PN, 2000). Menurut Sutanto, reaksi positif
palsu bisa terjadi karena penderita mengandung faktor reumatoid dalam darahnya,
karena bereaksi silang dengan monoklonal IgG dalam kit rapid test. Namun hal ini
diatasi dengan menggunakan kit yang mengandung monoklonal IgM. Selain itu,
adanya stadium gametosit muda dan stadium aseksual P. falciparum yang
54
bersekuestrasi dalam kapiler alat dalam, persistensi antigen setelah pengobatan dan
adanya free antigen atau kompleks antigen antibodi pada penderita infeksi kronis di
daerah endemis tinggi. Lebih lanjut Sutanto menjelaskan bahwa prosedur
penyimpanan kit rapid test juga dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan (Sutanto I,
2010). Di samping itu juga dapat disebabkan karena jumlah parasit yang relatif
rendah, sehingga tidak dapat ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik dan
pemeriksaan RDT positif tidak selalu menunjukkan infeksi malaria aktif (Garna H,
2012). Hal ini disebabkan juga oleh karena ditemukan antibodi terhadap antigen
malaria pada tubuh penderita selama masa pengobatan tersebut (Huong NM., 2002).
Efektifitas penegakan diagnosis masih tergantung pada banyak faktor yang
mempengaruhinya. Adanya empat spesies Plasmodium penyebab malaria yang
berbeda morfologinya, perbedaan stadium pada tahapan skizogoni eritrositik
(erythrocytic schizogony), sifat endemis dari spesies yang berbeda, hubungan yang
terjadi dengan derajat penyebaran malaria dengan imunitas, parasitemia yang tidak
bisa terdeteksi dan terdapatnya parasit yang memasuki jaringan organ – organ dalam
(Soedarto, 2011)
Berdasarkan perhitungan hasil uji diagnosis Rapid Diagnostic Test tersebut,
diperoleh hasil kemampuan uji rapid diagnostic test untuk menentukan diagnosis
malaria secara benar (sensitivitas) adalah 71/71 (100%), sedangkan kemampuan uji
rapid diagnostic test untuk menegakkan diagnosis bukan malaria secara benar
(spesifisitas) adalah 21/29 (72,4%). Selain itu, kemampuan untuk memprediksi
penderita malaria secara benar atau positive predictive value (PPV) adalah 71/79
(89,9%), sedangkan kemampuan untuk memprediksi bukan penderita malaria secara
benar atau negative predictive value (NPV) adalah 21/21 (100%). Dari hasil uji
diagnostik yang diperoleh dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan Parascreen
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi.
55
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
6.2 SARAN