NIM : 180106012
b. Penanggulangan nyeri
1) Acechetaminophen
2) Opioid
3) Ketamin
c. Kriteria pemulihan
Pada pasien pasca anestesia dan kriteria pengeluaran dari ruang pemulihan
menggunakan Skor Aldrete. Penilaian dilakkukan ketika pasien masuk ke ruang
pemulihan selanjutnya dilakukan pencatatan setiap 5 menit sampai tercapai nilai
dengan total 10 untuk mengembalikan pasien ke ruangan.
1. Persiapan Praanestesi
a. Persiapan Rutin
Selama persiapan preoperatif harus digali secara langsung pada pasien mengenai
penyakit saat ini, penyakit sebelumnya, riwayat operasi sebelumnya, riwayat
anestesia, riwayat alergi, riwayat penggunaan obat, riwayat merokok dan
mengkonsumsi alkohol, dan obstructive sleep apnea serta pada pasien dengan
penyakit kardio-respirasi harus benar-benar dievaluasi terlebih dahulu. Pasien
dengan penyakit dasar kardio-respirasi harus dievalusi gejala dan tingkat keparahan
angina, batuk produktif, orthopnea, ataupun paroxysmal norcturnal dyspnoe. Pada
kasus bedah darurat, pemeriksaan fisik yang harus dilakukan difokuskan adalah
mencari abnormalitas atau disfungsi pada organ kardio-respirasi, karena dapat
menjadi penyulit teknik anestesi saat dilakukan operasi. Apabila ditemukan basal
crepitation pitting edema dan peningkatan tekanana vena jugularis secara signifikan
menunjukkan terjadinya keruskan fungsi ventrikel dan berkurangnya aliran darah ke
jantung. Pemeriksaan EKG dan pemeriksaan fisik yang seksama juga sangat
diperlukan untuk mengekslusi aritmia dan adanya murmur yang mengindikasik
adanya penyakit katup jantung, karena hal tersebut dapat meningkatkan risiko
tindakan anestesi.
b. Persiapan Khusus
Pada pasien bedah darurat dengan trauma multiple lakukan koreksi keadaan
patologis disesuaikan dengan waktu dan kesempatan yang tersedia, terutama koreksi
terhadap masalah-masalah oksigenasi dan stabilisasi hemodinamik yang harus
diutamakan sebelum dilakukan tindakan anestesia dan pembedahan. Persiapan yang
dilakukan pada kasus bedah darurat dengan trauma multiple sangat terbatas
terutama masalah puasa, sehingga diperlukan upaya untuk mencegah terjadinya
aspirasi asam lambung. Muntah atau regurgitasi dari isi lambung dapat dibarengi
dengan aspirasi isi lambung kedalam cabang trakeobronkial, sedangkan reflek
protektif laring menurun sebagai akibat dari obat-obat anestesi. Obat yang dapat
digunakan seperti, golongan antagonis reseptor H2 seperti famotidine, cimetidine,
nizatidine, dan ranitidine yang dapat diberikan secara IV 5-10 menit atau IM 30-45
menit sebelum induksi; selain itu diberikan juga antasid peroral 30-45 menit sebelum
induksi seperti alluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Selain itu,
diperlukan juga pemasangan pipa nasogastrik dan dihisap secara berkala untuk
upaya pengosongan lambung.
d. Infus
Pada pasien dengan status fisik 1 (satu) sampai 2 (dua) yang direncanakan
operasi ringan sampai sedang berikan cairan kristaloid. Pada pasien yang mengalami
dehidrasi atau gangguan hemodinamik berikan koreksi cairan sesuai dengan
kebutuhan pasien. Apabila perlu lakukan pemasangan kateter yang sentral untuk
memantau terapi cairan yang diberikan.
b. Anestesi General
Berikan preoksigenasi dengan fraksi oksigen 100% selama 3 (tiga) sampai 5 (lima)
menit atau sampai volume tidal O2 mencapai >85% sebelum induksi kepada pasien.
Induksi dilakukan dengan teknk Rapid sequence induction (RSI), dimana teknik ini
memerlukan waktu yang sangat minimal pada saat pasien mengalami penurunan
kesadaran dan dilakukannya intubasi. Teknik RSI ini dilakukan pada pasien-pasien
dengan keadaan kasus bedah darurat dimana pasien tidak atau melakukan puasa
minimal sehingga dapat mencegah aspirasi asam lambung. Selain itu, pada saat
dilakukan induksi, posisikan kepala pasien lebih tinggi untuk mencegah terjadinya
regurgitasi isi lambung. Berikan obat penurun kesadaran secara cepat kepada pasien
sebelum melakukan intubsi trakea berupa thiopental 4-5 mg/kg IV sebagai salah satu
contoh agen RSI. Obat lain yang dapat digunakan sebagai alternatif adalah etomidate
0,1-0,3 mg/kg dan ketamine 1,5 mg/kg, akan tetapi ketamine ini dapat menekan
sistem kardiovaskular namun sangat dianjurkan digunakan pada pasien dengan
keadaan syok berat. Setelah pasien tertidur, lakukan manuver sellick dengan cara
memberikan penekanan pada tulang krikoid ke arah posterior untuk mencegah
terjadinya regurgitasi. Manuver sellick ini dilakukan sampai PET terpasang dan
balonnya sudah dikembangkan dengan udara. Selanjutnya berikan suksinikholin 1-2
mg/kgBB IV secara cepat, dimana suksinikholin ini digunakan sebagai agen
neuromuskular blok untuk RSI yang mempunyai tujuan yang sama yaitu onset yang
cepat sehingga dapat melakukan intubasi dengan cepat dan mengurangi risiko
terjadinya aspirasi. Penggunaan rukorunium dosis tinggi 0,9-1,2 mg/kg dapat
digunakan sebagai pengganti agen RSI akan tetapi memerukan onset yang lebih
lama.
Lanjutkan pemberian oksigenasi sampai pasien henti nafas dan tidak boleh
melakukan ventilasi tekanan positif dan lakukan laringoskopi dan dilanjutkan dengan
intubasi PET. Kembangkan segera balon/kaf PET dan lepaskan manuver sellick, lalu
hubungkan PET yang telah terpasang dengan mesin anestesia dan berikan nafas
buatan. Pemerliharaan anestesia dilakukan dengan inhalasi atau balans dan nafas
terkendali. Ekstubasi PET dilakukan apabila pasien sudah sadar dan mampu bernafas
spontan secara adekuat dan jalan nafas pasien bersih. Harus tetap diwaspadai
kemungkinan terjadinya regurgitasi atau muntah pasca dilakukan ekstubasi, apabila
hal tersebut terjadi lakukan suction segera. Pada kasus-kasus dengan risiko tinggi
tidak dilakukan ekstubasi PET, melainkan pasien langsung dikirim ke ruang terapi
intensif untuk mendapatkan terapi lebih lanjut.
4. Pasca Anestesia
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan rawat inap, harus diberikan secara tepat
analgesia dan terapi cairan. Penanganan nyeri pasca operasi dapat diberikan NSAIDs,
asetaminophen, dan gapapetin. Pada keadaan nyeri ringan sampai sedang pasca operasi
dapat diberikan asetaminophen, ibuprofen, hidrokordon atau oxykodon secara oral.
Untuk pemberian secara IV dapat diberikan ketolorac tromethamine 15-30 mg pada
orang dewasa atau asetaminophen 15 mg/kg atau 1 gram pada pasien dengan BB> 50
kg.
Pada pasien dengan status fisik ASA 1-2 dapat dirawat di ruang pulih sesuai dengan
tatalaksana pasca anestesia, lakukan pemantauan secara rutin untuk kemungkinan
terjadinya muntah atau regurgitasi yang dapat menimbulkan aspirasi. Pasien pasca blok
subarakhnoid lakukan pemantauan hemodinamik secara rutin. Pasien dapat dikirim
atau dikembalikan ke ruangan apabila sudah memenuhi kriteria pemulihan diantaranya
pasien dengan orientasi baik penuh, kemampuan untuk mempertahankan pernafasan
dengan baik dan tidak ada komplikasi pasca bedah.
Sebelum pasien dikirim ke ruangan pasien harus diobservasi selama 20-30 menit
setelah pemberian opioid parenteral terakhir. Sedangkan pasien dengan risiko tinggi
yang disertai dengan koma, keadaan hemodinamik yang tidak stabil, dan ancaman gagal
nafas maka pasien dirawat di ruang terapi intensif untuk perawatan dan terapi lebih
lanjut. Pada saat dirawat di ruang terapi intesif beberapa masalah yang dihadapi ialah
keadaan nyeri akut pasca operasi, hipotermia, koagulopati, ketidakseimbangan kadar
kalsium, fresh forezen plasma (FFP), fibrinogen dan crypresipitate, antifibrinolitik,
sindrom kompartemen abdominal, stress ulcer, asidosis, acute respiratory distress
syndrome (ARDS) dan acute lung injury (ALI), dan sepsis.