Anda di halaman 1dari 10

NAMA : RUMANTIKA

NIM : 180106012

PRODI : DIV keperawatan anestesiologi

A. Tata Laksana Anestesi dan Reanimasi Pada Pasien Laparatomi


1. Evaluasi
a. Penilaian status prabedah
Status pasien prabedah dapat dinilai melalui anamnesis dengan pasien
sendiri atau dengan orang lain (keluarga atau pengantarnya). Anamnesis yang
dilakukan meliputi :
1) Identitas pasien atau biodata
2) Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang mungkin
menimbulkan gangguan fungsi sistem organ.
Anamnesis umum meliputi :
a) Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau sedang menderita
b) Riwayat pemakaian obat yang telah atau sedang digunakan yang mungkin
berinteraksi dengan obat anestesia, misalnya ; kortikosteroid, obat
antihipertensi, obat anti-diabetik, antibiotika golongan aminoglikosida,
digitalis, diuretika, transquilizer, obat penghambat enzim mono-amin
oksidase dan bronkodilator.
c) Riwayat operasi/anestesia terdahulu, misalnya : apakah pasien mengalami
komplikasi anestesia.
d) Kebiasaan buruk, antara lain ; perokok, peminum minuman keras (alkohol),
pemakai obat-obatan terlarang (sedatif dan narkotik).
e) Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain.1
b. evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunujang
1) Pemeriksaan fisik pasien
a) Pemeriksaan TTV seperti RR, TD, suhu tubuh, TB, BB
b) Pemeriksaan fisik umum meliputi 6B
2) Pemeriksaan Penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi, pemeriksaan rutin dll
3) Menentukan satus asa pasien
2. Persiapan pra operatif
a. Persiapan di ruang perawatan
Persiapan pasien di ruang perawatan hampir sama dengan persiapan pasien
rawat
jalan, yang meliputi persiapan psikis dan persiapan fisik.
b. Persiapan di ruang instalasi bedah
Hal-hal yang dilakukan di kamar persiapan IBS antara lain mengevaluasi ulang
status presen dan catatan medik pasien serta kelengkapan lainnya, konsultasi di
tempat apabila diperlukan, memberikan premedikasi, dan memasang infus
c. Persiapan di kamar operasi
Persiapan yang dilakukan di kamar operasi adalah :
1) meja operasi dengan aksesoris yang diperlukan
2) mesin anestesia dengan sistem aliran gasnya
3) alat-alat resusitasi antara lain : alat bantu nafas, laringoskop, pipa jalan nafas, alat
hisap, defibrilator, dan lain-lain
4) obat-obat anestesia yang diperlukan
5) obat-obat resusitasi misalnya adrenalin, atropin, aminofilin, natrium bikarbonat,
dan lain-lain
6) tiang infus dan plester
7) alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, EKG, pulse oxymeter dan kapnografi
8) kartu catatan medik anesthesia
9) selimut penghangat.
d. Persiapan donor
3. Premedikasi
Diberikan secara intramuscular 30-45 menit pra induksi dengan obat-obat
sebagai
berikut:
a. Petidin : 1,0 – 2,0 mg/kgBB
b. Midazolam : 0.04 – 0,10 mg/kgBB
c. Atropin : 0,01 mg/kgBB
Obat-obatan ini bertujuan agar pasien merasa rileks dan nyaman, serta
meningkatkan kerja saraf simpatis sehingga motilitas usus berkurang selama
pelaksanaan operasi.
4. Pilihan anestesi dan reanimasi
Anestesia umum inhalasi (imbang) dengan pemasangan pipa endotrakea dan nafas
kendali,
a. Pasien dipersiapkan
b. Pasang alat-alat monitor
c. Siapkan alat-alat dan obat resusitasi
d. Siapkan mesin anestesi dengan system sirkuit dan gasnya
e. Induksi dengan penthotal
f. Berikan obat pelumpuh otot suksinil kolin/atrakurium untuk fasilitas intubasi
g. Berikan nafas buatan melalui sungkup muka dengan oksigen 100%
h. Lakukan laringoskopi, pasang ETT
i. Fiksasi dan hubungkan dengan mesin
j. Berikan inhalasi N2O +O2 dan narkotik(analgetik sedative) ditambah obat
sedative/hipnotik serta pelumpuh otot non depolarisasi intravena.
k. Dosis ulangan atau pemeliharaan diberikan intravena intermitten atau tetes ulang
konyinyu
l. Kendalikan nafas pasien secara manual atau mekanin dengan volume dan frekuensi
yang sesuai.
m. Pantau tanda vital
5. Pemantauan selama anestesi dan reanimasi
a. Rutin
Dalam pemantauan rutin pasien yang menjalani anestesia dan reanimasi,
disepakati dua standar yang berlaku untuk setiap pemberian anestesia dan atau
analgesia yang dilakukan di dalam ruangan yang telah disediakan untuk itu, dengan
tujuan untuk meningkatkan kualitas penatalaksanaan pasien.
1) Standar I
Tenaga anestesia yang berkualifikasi harus berada di dalam kamar bedah selama
pemberian anastesia/analgesia. Hal ini bertujuan agar tenaga anestesia yang
berkualifikasi harus selalu ada untuk memantau pasien dan memberi antisipasi
segera terhadap perubahan abnormal yang terjadi. Pada keadaan khusus (adanya
bahaya langsung terhadap tenaga anestesi misalnya radiasi) dan pasien perlu
diawasi dari darak jauh, maka beberapa cara/teknik pemantauan tertentu tetap
harus dilakukan. Pada keadaan-keadaan darurat di tempat lain, yang
memerlukan kehadiran ahli anestesi yang bertanggung jawab, maka keputusan
untuk meninggalkan pasien didasarkan pada tingkat kedaruratan tersebut,
keadaan pasien yang ditinggalkan dan kualifikasi tenaga anestesia yang tinggal.
2) Standar II
Selama pemberian anestesia/analgesia, jalan nafas, oksigenasi, ventilasi, dan
sirkulasi pasien harus dievaluasi secara teratur dan sering bahkan pada kasus
kasus tertentu dilakukan secara kontinyu.
b. Khusus
1) Waspadai kemungkinan terjadinya reflex vagal akibat manipulasi organ visceral
2) Kalau perlu dilakukan pemantauan tekanan vena sentral
6. Terapi cairan dan transfuse darah selama operasi
Pada perdarahan yang terjadi <20% dari perkiraan volume darah pasien yang diberikan,
cairan pengganti kristaloid atau koloid dengan perbandingan 3:1, tetapi apabila terjadi
perdarahan>20% dari perkiraan volume pasien, berikan transfuse darah. Berikan IV: 14-
16 ga x 1-2, antisipasi kehilangan cairan dalam jumlah besar, cairan hangat.
7. Pemulihan anesthesia
a. Segera setelah operasi selesai, hentikan aliran obat anesthesia, berikan oksigen 100%
b. Berikan obat penawar pelumpuh otot seperi neostigmine secara bertahap mulai
dosis 0,5 mg iv dan dapat diulang hingga dosis total 5 mg
c. Bersihkan jalan nafas
d. Ekstubasi dilakukan setelah nafas spontan dan adekuat serta jalan napas bersih
Pasca bedah:
a. Pasien dirawat di ruang pulih, sesuai dengan tata laksana pasca anesthesia
b. Pada pasien yang akan diantisipasi akan mengalami depresi nafas, langsung dikirim
ke ruang terapi intensif
c. Masalah pasca bedah, khususnya kasus bedah digestif adalah nyeri abdomen dan
nutrisi
d. Nyeri pasca laparotomy tinggi akan mengganggu mekanisme batuk dan menurunkan
kapasitas vital paru diatasi dengan cara:
1) Pada pasien tanpa problem pernapasan praoperatif, berikan analgesia epidural
dengan morfin atau dengan analgesia balans melalui infus tetes kontinyu
2) Pada kasus dengan problem pernapasan praoperatif, diberikan ventilasi emkani
disertai obat sedative dan analgetik yang adekuat Komplikasi yang dapat terjadi
adalah perdarahan, atelectasis (biasanyapada lobus inferior sistra), PONV(Post
operative nausea and vomiting), VTE(Venous thromboembolism), nutrisi diberikan
secara parenteral sesuai dengan pedoman nutrisi parenteral di unit terapi intensif.

Pasca bedah orthopedic

a. Tata laksana pasca anestesi

Tatalaksana pasca anesthesia yaitu evaluasi kesadaran, respirasi, sirkulasi, fungsi


ginjal dan saluran kemih, fungsi saluran cerna, fungsi motorik, suhu tubuh, nyeri.

b. Penanggulangan nyeri

Manajemen nyeri pada pasien trauma orthopedi membutuhkan pendekatan


multmodal. Analgesia yang tidak adekuat dapat menimbulkan komplikasi terkait
dengan kesembuhan, fungsi imum dan disfungsi otonom. Nyeri berkepanjangan dapat
berkembang menjadi nyeri kronis yang lebih sulit untuk diobati dan dapat
menurunkan kualitas hidup pasien. Tujuan dari manajemen nyeri pada pasien trauma
adalah untuk menurunkan respon stres dan meredakan nyeri dengan mempertahankan
stabilitas kardiovaskular dan hemostasis jaringan. Beberapa pilihan obat ananlgesik
pada pasien post-operatif dengan trauma ortopedi :

1) Acechetaminophen

2) Opioid

3) Ketamin

c. Kriteria pemulihan

Pada pasien pasca anestesia dan kriteria pengeluaran dari ruang pemulihan
menggunakan Skor Aldrete. Penilaian dilakkukan ketika pasien masuk ke ruang
pemulihan selanjutnya dilakukan pencatatan setiap 5 menit sampai tercapai nilai
dengan total 10 untuk mengembalikan pasien ke ruangan.

B. Tata laksana anestesi dan reanimasi pada pasien cyto

1. Persiapan Praanestesi
a. Persiapan Rutin
Selama persiapan preoperatif harus digali secara langsung pada pasien mengenai
penyakit saat ini, penyakit sebelumnya, riwayat operasi sebelumnya, riwayat
anestesia, riwayat alergi, riwayat penggunaan obat, riwayat merokok dan
mengkonsumsi alkohol, dan obstructive sleep apnea serta pada pasien dengan
penyakit kardio-respirasi harus benar-benar dievaluasi terlebih dahulu. Pasien
dengan penyakit dasar kardio-respirasi harus dievalusi gejala dan tingkat keparahan
angina, batuk produktif, orthopnea, ataupun paroxysmal norcturnal dyspnoe. Pada
kasus bedah darurat, pemeriksaan fisik yang harus dilakukan difokuskan adalah
mencari abnormalitas atau disfungsi pada organ kardio-respirasi, karena dapat
menjadi penyulit teknik anestesi saat dilakukan operasi. Apabila ditemukan basal
crepitation pitting edema dan peningkatan tekanana vena jugularis secara signifikan
menunjukkan terjadinya keruskan fungsi ventrikel dan berkurangnya aliran darah ke
jantung. Pemeriksaan EKG dan pemeriksaan fisik yang seksama juga sangat
diperlukan untuk mengekslusi aritmia dan adanya murmur yang mengindikasik
adanya penyakit katup jantung, karena hal tersebut dapat meningkatkan risiko
tindakan anestesi.

b. Persiapan Khusus
Pada pasien bedah darurat dengan trauma multiple lakukan koreksi keadaan
patologis disesuaikan dengan waktu dan kesempatan yang tersedia, terutama koreksi
terhadap masalah-masalah oksigenasi dan stabilisasi hemodinamik yang harus
diutamakan sebelum dilakukan tindakan anestesia dan pembedahan. Persiapan yang
dilakukan pada kasus bedah darurat dengan trauma multiple sangat terbatas
terutama masalah puasa, sehingga diperlukan upaya untuk mencegah terjadinya
aspirasi asam lambung. Muntah atau regurgitasi dari isi lambung dapat dibarengi
dengan aspirasi isi lambung kedalam cabang trakeobronkial, sedangkan reflek
protektif laring menurun sebagai akibat dari obat-obat anestesi. Obat yang dapat
digunakan seperti, golongan antagonis reseptor H2 seperti famotidine, cimetidine,
nizatidine, dan ranitidine yang dapat diberikan secara IV 5-10 menit atau IM 30-45
menit sebelum induksi; selain itu diberikan juga antasid peroral 30-45 menit sebelum
induksi seperti alluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Selain itu,
diperlukan juga pemasangan pipa nasogastrik dan dihisap secara berkala untuk
upaya pengosongan lambung.

c. Premedikasi, sesuai dengan kebutuhan


Tujuan dari pemberian obat premedikasi adalah menimbulkan rasa nyaman,
mengurangi seksresi kelenjar dan menekan refleks vagus, memperlancar atau
memudahkan induksi, mengurangi dosis anestesia, dan mengurangi rasa sakit dan
kegelisahan pasca bedah. Pasien dengan keadaan koma tidak perlu diberikan obat
premedikasi. Pasien dengan kasus trauma multiple biasanya mengalami stress dan
kesakitan sehingga diberikan obat sedatif dan analgetik golongan seperti golongan
benzodiazepine seperti midazolam yang diberikan secara IM atau IV dengan dosis 1-
2, mg atau dengan dosis yang disesuaikan. Midazolam mempunyai efek sedasi 2
(dua) sampai 3 (tiga) kali lebih poten dibandingkan dengan diazepam. Antikolinergik
diberikan apabila pasien tidak memiliki demam dan takikardi.

d. Infus
Pada pasien dengan status fisik 1 (satu) sampai 2 (dua) yang direncanakan
operasi ringan sampai sedang berikan cairan kristaloid. Pada pasien yang mengalami
dehidrasi atau gangguan hemodinamik berikan koreksi cairan sesuai dengan
kebutuhan pasien. Apabila perlu lakukan pemasangan kateter yang sentral untuk
memantau terapi cairan yang diberikan.

2. Pilihan Anestesia dan Reanimasi


a. Anestesia Regional
Anestesia regional digunakan pada kasus bedah darurat pada bagian ekstremitas
misalnya pasien dengan reduksi fraktur atau dislokasi. Pendekatan anestesia pada
operasi ekstremitas atas dengan melakukan blok pada plexus brakialis melalui aksila
atau supraklavikula. Terdapat efek minimal pada sistem kardiovaskular serta efek
analgesia yang lebih panjang pada saat post operatif. Pada ekstremitas bawah
dilakukan teknik blok subararachnoid, epidural dan blok femur. Penggunaan blok
spinal dan epidural kontraindikasi terhadap cairan atau volume ekstraselular yang
tidak adekuat. Penggunaan regional anestesia lebih berbahaya dibandingkan
anestesia umum pada keadaan truma intraabdominal.

b. Anestesi General
Berikan preoksigenasi dengan fraksi oksigen 100% selama 3 (tiga) sampai 5 (lima)
menit atau sampai volume tidal O2 mencapai >85% sebelum induksi kepada pasien.
Induksi dilakukan dengan teknk Rapid sequence induction (RSI), dimana teknik ini
memerlukan waktu yang sangat minimal pada saat pasien mengalami penurunan
kesadaran dan dilakukannya intubasi. Teknik RSI ini dilakukan pada pasien-pasien
dengan keadaan kasus bedah darurat dimana pasien tidak atau melakukan puasa
minimal sehingga dapat mencegah aspirasi asam lambung. Selain itu, pada saat
dilakukan induksi, posisikan kepala pasien lebih tinggi untuk mencegah terjadinya
regurgitasi isi lambung. Berikan obat penurun kesadaran secara cepat kepada pasien
sebelum melakukan intubsi trakea berupa thiopental 4-5 mg/kg IV sebagai salah satu
contoh agen RSI. Obat lain yang dapat digunakan sebagai alternatif adalah etomidate
0,1-0,3 mg/kg dan ketamine 1,5 mg/kg, akan tetapi ketamine ini dapat menekan
sistem kardiovaskular namun sangat dianjurkan digunakan pada pasien dengan
keadaan syok berat. Setelah pasien tertidur, lakukan manuver sellick dengan cara
memberikan penekanan pada tulang krikoid ke arah posterior untuk mencegah
terjadinya regurgitasi. Manuver sellick ini dilakukan sampai PET terpasang dan
balonnya sudah dikembangkan dengan udara. Selanjutnya berikan suksinikholin 1-2
mg/kgBB IV secara cepat, dimana suksinikholin ini digunakan sebagai agen
neuromuskular blok untuk RSI yang mempunyai tujuan yang sama yaitu onset yang
cepat sehingga dapat melakukan intubasi dengan cepat dan mengurangi risiko
terjadinya aspirasi. Penggunaan rukorunium dosis tinggi 0,9-1,2 mg/kg dapat
digunakan sebagai pengganti agen RSI akan tetapi memerukan onset yang lebih
lama.
Lanjutkan pemberian oksigenasi sampai pasien henti nafas dan tidak boleh
melakukan ventilasi tekanan positif dan lakukan laringoskopi dan dilanjutkan dengan
intubasi PET. Kembangkan segera balon/kaf PET dan lepaskan manuver sellick, lalu
hubungkan PET yang telah terpasang dengan mesin anestesia dan berikan nafas
buatan. Pemerliharaan anestesia dilakukan dengan inhalasi atau balans dan nafas
terkendali. Ekstubasi PET dilakukan apabila pasien sudah sadar dan mampu bernafas
spontan secara adekuat dan jalan nafas pasien bersih. Harus tetap diwaspadai
kemungkinan terjadinya regurgitasi atau muntah pasca dilakukan ekstubasi, apabila
hal tersebut terjadi lakukan suction segera. Pada kasus-kasus dengan risiko tinggi
tidak dilakukan ekstubasi PET, melainkan pasien langsung dikirim ke ruang terapi
intensif untuk mendapatkan terapi lebih lanjut.

3. Pemantauan selama anestesi


Pada saat ditemukan tanda-tanda kembalinya transmisi neuromuskular akibat
terdegradasinya suksinilkolin maka berikan non depolarisasi neuromuskular. Pemilihan
obat yang digunakan tergantung dari kondisi pasien dan efek dari induksi pasien pada
keadaan kardiovaskular. Obat yang digunakan secara rutin berupa rukoronium dan
antrakuranium, akan tetapi secara farmakokinetik antakuranium pada pasien geriatri
harus digunakan secara rasional dan dalam pengawasan ketat. Sebagai analgesia selama
operasi dapat diberikan morfin 1-5 mg atau fentanyl 25-100 µg secara intravaskular.
Pada kasus bedah darurat penggunana morfin lebih dianjurkan secara berulang
dibandingkan fentanyl sebab penggunaan fentanyl yang berulang akan menimbulkan
penimbunan dan memerlukan waktu eliminasi yang lebih lama. Obat lain yang dapat
digunakan pada kasus bedah darurat dengan trauma multiple adalah penggunaan
ketamin dosis rendah 0,15 mg/kg dan parasetamol intravaskular. NSAIDs dapat
digunakan pada pasien usia muda dengan ASA 1 dan 2, penggunaan NSIDs tidak
dianjurkan pada pasien dengan acute kidney injury atau pasien dengan perdarahn pasca
operasi.

4. Pasca Anestesia
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan rawat inap, harus diberikan secara tepat
analgesia dan terapi cairan. Penanganan nyeri pasca operasi dapat diberikan NSAIDs,
asetaminophen, dan gapapetin. Pada keadaan nyeri ringan sampai sedang pasca operasi
dapat diberikan asetaminophen, ibuprofen, hidrokordon atau oxykodon secara oral.
Untuk pemberian secara IV dapat diberikan ketolorac tromethamine 15-30 mg pada
orang dewasa atau asetaminophen 15 mg/kg atau 1 gram pada pasien dengan BB> 50
kg.
Pada pasien dengan status fisik ASA 1-2 dapat dirawat di ruang pulih sesuai dengan
tatalaksana pasca anestesia, lakukan pemantauan secara rutin untuk kemungkinan
terjadinya muntah atau regurgitasi yang dapat menimbulkan aspirasi. Pasien pasca blok
subarakhnoid lakukan pemantauan hemodinamik secara rutin. Pasien dapat dikirim
atau dikembalikan ke ruangan apabila sudah memenuhi kriteria pemulihan diantaranya
pasien dengan orientasi baik penuh, kemampuan untuk mempertahankan pernafasan
dengan baik dan tidak ada komplikasi pasca bedah.
Sebelum pasien dikirim ke ruangan pasien harus diobservasi selama 20-30 menit
setelah pemberian opioid parenteral terakhir. Sedangkan pasien dengan risiko tinggi
yang disertai dengan koma, keadaan hemodinamik yang tidak stabil, dan ancaman gagal
nafas maka pasien dirawat di ruang terapi intensif untuk perawatan dan terapi lebih
lanjut. Pada saat dirawat di ruang terapi intesif beberapa masalah yang dihadapi ialah
keadaan nyeri akut pasca operasi, hipotermia, koagulopati, ketidakseimbangan kadar
kalsium, fresh forezen plasma (FFP), fibrinogen dan crypresipitate, antifibrinolitik,
sindrom kompartemen abdominal, stress ulcer, asidosis, acute respiratory distress
syndrome (ARDS) dan acute lung injury (ALI), dan sepsis.

Anda mungkin juga menyukai