NAMA ANGGOTA :
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui peran Pancasila dalam membangun Indonesia yang
lebih maju?
2. Untuk mengetahui konsensus bangsa Indonesia saat ini
3. Untuk mengetahui revitalisasi nilai dasar pancasila dan bela negara
dalam menghadapi globalisasi
4. Untuk mengetahui tantangan-tantangan pancasila dari berbagai segi dan
bentuk kebangsaan Indonesia saat ini
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pancasila
1. Zaman Kerajaan
Pada zaman ini masyarakat juga belum mengenal Pancasila tetapi
mereka sudah mengamalkan unsur-unsur Pancasila, seperti hidup saling
tolong menolong dan mengamalkan kebudayaan-kebudayaan yang ada.
Dimana masyarakat pada zaman ini sudah memiliki sistem pemerintahan
yang kuat.
2. Zaman Kolonial
Pada zaman ini masyarakat belum mengenal Pancasila, karena pada
saat itu belum mengenal rasa persatuan dan kesatuan sehingga mereka
dijajah oleh bangsa asing. Dimana Pancasila dianggap rendah bagi bangsa
asing karena pada saat itu masyarakat Indonesia belum mempunyai rasa
persatuan dan kesatuan yang kokoh.
3. Zaman Kemerdekaan
Pada zaman ini masyarakat sudah mengenal Pancasila dan mereka
sudah mengamalkan unsur-unsur dan prinsip-prinsip Pancasila karena
Pancasila itu merupakan dasar negara Indonesia. Pada zaman ini Pancasila
telah dipandang oleh bangsa asing sebagai dasar negara dan pandangan
hidup di zaman reformasi ini
4. Zaman Orde Lama
Pada masa Orde Lama misalnya, Pancasila menjadi ideologi murni.
Pancasila lebih banyak berada dalam ranah idealisasi. Artinya pemikiran
Pancasila lebih ke ide, gagasan, konsep yang dijadikan pegangan seluruh
aspek kehidupan Pancasila seakan-akan ada di awang – awang karena hanya
berupa dogma yang sulit diterjemahkan.
Pada era tersebut ideologis Pancasila masih didominasi oleh
kehebatan karisma Bung Karno. Apa yang keluar dari pidato bung Karno
adalah selalu dielu-elukan masyarakat yang saat itu sangat eforia dengan
kebebsan setelah masa penindasan Belanda dan jepang. Setiap pidato
tentang Pancasila yang terucap dari mulut Bung karno akan ditelan
masyarakat sebagai harga mati bagi ideologi bangsa
5. Zaman Orde Baru
Pada zaman ini bangsa Indonesia masih bisa mempertahankan
Pancasila sebagai dasar negara karena Pancasila dianggap sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia. Tetapi lebih jauh dipertandingkan dan
digunakan untuk menekan perbedaan. Ia menjadi alat represi ideologi
politik dan memberangus lawan politik di pentas publik. Skrining ideologi
mulai dari partai politik, organisasi massa, hingga ke urusan pribadi menjadi
fenomena yang mencolok selama kekuasaan Orde Baru, terlebih lagi setelah
pada tahun 1978 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan ketetapan
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Tetapi sebagian masyarakat Indonesia telah menyalahgunakan nilai-nilai
Pancasila dan terjadilah KKN. Sehingga bangsa Indonesia mengalami krisis
terutama dibidang ekonomi.
Dan juga Pada masa Orde Baru penguasa menjadikan Pancasila
sebagai Ideologi politik, hal ini bisa dilihat dari berbagai kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan keharusan elemen masyarakat
(orpol dan kemasyarakatan serta seluruh sendi kehidupan masyarakat ) yang
harus berasaskan Pancasila.
Berbeda dengan saat era orde baru yang didominasi karismatik Bung
Karno. Pada era orde Baru Pancasila harus diterima masyarakat melalui
indomtrinasi dan pemaksaan dalam sistem pendidikan nasional yang
membuat Pancasila melekat erat dalam kehidupan bangsa.
Era orde baru itu pemerintah menggunakan Pancasila sebagai “alat”
untuk melegitimasi berbagai produk kebijakan. Dengan berjalannya waktu
muncul persoalan yaitu infrastruktur politik terlalu larut dalam
mengaktualisasi nilai dasar, sehingga mulai muncul wacana adanya
berbagai kesenjangan di tengah masyarakat .
Kondisi ini ditambah dengan bergulirnya globalisasi yang
menjadikan tidak adanya lagi sekat-sekat pemisah antarnegara sehingga
pembahasan dan wacana yang mengaitkan Pancasila dengan ideologi atau
pemahaman liberalisasi, kapitalisasi dan sosialisasi tak terelakkan lagi.
Dibandingkan dengan ideologi liberal misalnya maka pemecahan persoalan
yang terjadi akan mudah karena ideologi liberal mempunyai konsep jelas (
kebebasan di bidang ekonomi, ketatanegaraan, agama) demikian juga jika
ideologi sosialis (komunis) menjawab persoalan pasti rumusnya juga jelas
yaitu dengan pemusatan pengaturan untuk kepentingan kebersamaan. Pada
pertengahan Orba mulai banyak wacana yang menginginkan agar Pancasila
nampak dalam kehidupan nyata, konkret, tidak angan-angan semata ( utopia
). Itu berarti Pancasila menjadi ideologi praktis.
Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli
pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan
melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di
era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang
dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim
sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi
ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga
membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.
6. Zaman Reformasi
Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan
mempengaruhi dan menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer
seperti pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan masa bodoh
dalam melakukan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi,
rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya sudah umum kita ketahui,
karena rejim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai
alat kekuasaan yang otoriter.
Penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru,
menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi
mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan
massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk
mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai
“tidak Pancasilais” atau “anti Pancasila”
Pada era reformasi pola pikir masyarakat perlahan bergeser.
Masyarakat menginginkan sinergi antara apa yang ada pada nilai dasar, nilai
instrumen dan nilai praktis dan tidak mau terulang lagi perwujudan bentuk
sebagai ideologi murni, ideologi politik semata. Pancasila Artinya antara
antara falsafah, ideologi, politik dan strategi harus dijalankan secara sinergis
dan kesemuanya ditujukan untuk mewujudkan tujuan yang dikehendaki
seluruh bangsa yaitu mewujudkan civil society, social justice, welfare state.
Sepanjang reformasi Pancasila seakan akan merupakan objek
menarik yang dijadikan acuan pencapaian keseluruhan proses reformasi.
Pancasila harus selalu menjadi acuan pencapaian tujuan Negara Indonesia .
Pertanyaannya, Pancasila dalam konteks yang mana. Harus dibedakan
apakah sebagai pandangan (falsafah)bangsa, ideologi maupun sebagai dasar
negara.
Kerancuan dan perbedaan persepsi yang berkembang di masyarakat
tidak terlepas dari perbedaan pemahaman tentang tatanan nilai dalam
kehidupan bernegara yang belum berjalan secara sinergis, yaitu antara nilai
dasar, nilai instrumental dan nilai praktis. Nilai dasar adalah asas yang kita
terima sebagai dalil yang setidaknya bersifat mutlak. Kita menerima sebagai
sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai instrumental adalah
pelaksanaan umum dari nilai dasar yang biasanya berupa norma sosial
maupun norma hukum yang akan dikonkretkan lagi oleh pemerintah dan
para penentu kebijakan. Sifatnya dinamis dan kontekstual. Nilai ini
sangatlah penting karena merupakan penjabaran dari nilai dasar dalam
wujud konkret sesuai perkembangan masyarakat. Bisa dikatakan nilai ini
merupakan tafsir positif dari nilai dasar. Berikutnya adalah nilai praktis
yaitu nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kehidupan nyata
sehari-hari di masyarakat.
Seharusnya semangat yang ada pada realitas masyarakat sama
dengan yang ada pada nilai dasar dan instrumental, karena dari kajian inilah
akan diketahui apakah nilai dasar dan instrumental telah betul betul ada di
tengah tengah masyarakat. Berangkat dari pemikiran tersebut maka
penataanya bisa diurutkan dengan falsafah, ideologi, politik dan strategi
(mainstream). Falsafah dan ideologi pada nilai dasar, politik dan strategi di
nilai instrumental. Sedang konkretisasi di masyarakat adalah nilai praktis
yang harus diupayakan untuk mengimplementasikan nilai dasar dan
instrumental.
Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan
arah yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila
dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di
tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini. Reaktualisasi Pancasila
semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham
radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan
agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat infrastruktur
demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan
mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi
mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa
yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap
kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa
obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta
menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari
kenyataan.
Dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir ini, kalau
membicarakan Pancasila, rasanya ada orang yang mengernyitkan dahi
sambil berpikir, apakah Pancasila masih relevan. Sepanjang reformasi
Pancasila seakan akan merupakan objek menarik yang dijadikan acuan
pencapaian keseluruhan proses reformasi. Pancasila harus selalu menjadi
acuan pencapaian tujuan Negara Indonesia . Pertanyaannya, Pancasila
dalam konteks yang mana. Harus dibedakan apakah sebagai pandangan
(falsafah)bangsa, ideologi maupun sebagai dasar negara. Kerancuan dan
perbedaan persepsi yang berkembang di masyarakat tidak terlepas dari
perbedaan pemahaman tentang tatanan nilai dalam kehidupan bernegara
yang belum berjalan secara sinergis, yaitu antara nilai dasar, nilai
instrumental dan nilai praktis.
Nilai dasar adalah asas yang kita terima sebagai dalil yang
setidaknya bersifat mutlak. Kita menerima sebagai sesuatu yang tidak perlu
dipertanyakan lagi. Nilai instrumental adalah pelaksanaan umum dari nilai
dasar yang biasanya berupa norma sosial maupun norma hukum yang akan
dikonkretkan lagi oleh pemerintah dan para penentu kebijakan.
Sifatnya dinamis dan kontekstual. Nilai ini sangatlah penting karena
merupakan penjabaran dari nilai dasar dalam wujud konkret sesuai
perkembangan masyarakat. Bisa dikatakan nilai ini merupakan tafsir positif
dari nilai dasar. Berikutnya adalah nilai praktis yaitu nilai yang
sesungguhnya kita laksanakan dalam kehidupan nyata sehari-hari di
masyarakat.
Seharusnya semangat yang ada pada realitas masyarakat sama
dengan yang ada pada nilai dasar dan instrumental, karena dari kajian inilah
akan diketahui apakah nilai dasar dan instrumental telah betul betul ada di
tengah tengah masyarakat. Berangkat dari pemikiran tersebut maka
penataanya bisa diurutkan dengan falsafah, ideologi, politik dan strategi
(mainstream). Falsafah dan ideologi pada nilai dasar, politik dan strategi di
nilai instrumental. Sedang konkretisasi di masyarakat adalah nilai praktis
yang harus diupayakan untuk mengimplementasikan nilai dasar dan
instrumental.
2.4 Pancasila adalah Masa Depan
Menjadikan Pancasila sebagai “realitas” bangsa jelas tidak mudah.
Dinamika politik sangat mempengaruhi bagaimana Pancasila ditafsirkan
dan dijalankan. Di era Presiden Soekarno, penafsiran Pancasila dianggap
sebagai alat mempersatukan bangsa untuk menghantam apa yang
disebutnya bahaya neo-kolonialisme dan neo-imperialisme (Neokolim). Di
zaman Presiden Soeharto, Pancasila dijadikan “ideologi negara” untuk
membenarkan kekuasaan politik otoritarianisme.
Sementara di era reformasi pasca Soeharto (1998), Pancasila seperti
“rumah megah yang kosong” yang ditinggalkan para penghuninya. Lalu,
bagaimana kita menempatkan Pancasila dalam tantangan zaman saat ini?
Dalam konteks global saat ini, banyak ideologi-ideologi seperti komunisme,
liberalisme, sosialisme, nasionalisme bahkan spiritualisme mengalami
krisis dan kehilangan legitimasi. Ketika ideologi-ideologi besar itu
dianggap gagal, maka pencarian ideologi menemukan dirinya pada cara
yang ekstrim, anti kemanusian dan anti peradaban. Masyarakat yang putus
asa lalu menggantungkan harapan dan masa depannya pada “monster
politik” anti peradaban. Seperti ISIS di Suriah dan Irak. Bagi kelompok ini,
masa depan umat manusia jalan keluarnya adalah dengan ekstrimitas dalam
menafsirkan agama, bila perlu dengan membunuh, membasmi umat
manusia yang tak sepaham. Ironisnya, sebagian dari anak bangsa termakan
ideologi ini. Bahkan ada yang mencoba menerapkanya di Indonesia.
Bangsa Indonesia patut bersyukur, bahwa dimasa lalu para pendiri
bangsa sudah menciptakan Pancasila sebagai “ideologi alternatif” yang
visioner. Dengan Pancasila, ketika ideologi besar bertumbangan dan
mengalami krisis, kita tidak perlu mencari lagi ideologi alternatif. Karena
Pancasila adalah ideologi masa depan yang sudah ada di masa lalu dan di
masa kini.
Dalam menghadapi krisis ideologi besar saat ini, yang perlu
dilakukan adalah mewujudkan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila menjadi
realitas. Perjuangan itu harus dimulai dari dalam diri bangsa kita sendiri.
Seperti disampaikan Presiden Jokowi dalam sebuah kesempatan, “Pancasila
harus menjadi ideologi yang bekerja, yang terlembagakan dalam sistem,
dalam kebijakan baik di bidang ekonomi, politik maupun sosial budaya”.
Oleh karena itu, gagasan Presiden Jokowi menggagas Unit Kerja Presiden
untuk Pemantapan Ideologi Pancasila adalah gagasan yang patut didukung.
Presiden merasa Pancasila semakin menjauh, tidak hanya dalam hati
dan pikiran, tapi juga aktivitas warga negara. Sementara ancaman
intoleransi, kekerasan atas nama agama, terorisme bisa mengganggu
ketertiban sosial. Namun, pemerintah tidak perlu mengulangi cara Orde
Baru menjadikan Pancasila sebagai indokrinisasi untuk mendukung
kekuasaan. Pancasila harus menjadi nilai-nilai kewarganegaraan yang
dijalankan secara kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila harus
bermakna bagi petani, buruh, perempuan, kaum miskin, intelektuil, dan
ekonomi rakyat. Akhirnya, masa depan Pancasila tidak bisa hanya
tergantung pada negara dan pemerintah saja. Pancasila harus menjadi
realitas yang mampu menjawab tantangan kehidupan masyarakat secara
nyata.
2.5 Revitalisasi Nilai Dasar Pancasila dan Bela Negara dalam Menghadapi
Globalisasi
Pada dasarnya semua bangsa di dunia, memiliki latar belakang
sejarah, budaya dan peradaban yang dijiwai oleh sistem nilai dan filsafat,
baik nilai-nilai moral keagamaan (theisme-religious) maupun nilai non
religious (sekular, atheisme). Tegasnya, setiap bangsa senantiasa
menegakkan nilai-nilai peradabannya dengan dijiwai, dilandasi dan dipandu
oleh nilai-nilai religious atau non-religious. Demikian pula halnya dengan
bangsa Indonesia yang majemuk dan multikultur, kehidupan dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diwarnai oleh adanya keyakinan
agama dan kepercayaan yang kuat.
Disisi lain aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi juga mewarnai
kehidupan ketaanegaraan suatu bangsa. Keberadaan peninggalan candi
seperti candi borobudur, prambanan, dan situs peninggalan keagamaan
lainnya merupakan bukti tentang kehidupan bangsa Indonesia yang religius
sejak dulu. Hal ini menunjukkan adanya pedoman hidup dasar bangsa
Indonesia yang berkeTuhanan. Selanjutnya, prinsip yang tertuang dalam
sila kedua Pancasila, merupakan bentuk kesadaran bahwa bangsa Indonesia
sejak dulu telah menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sesuai
budaya bangsa indonesia yang beragam.
Dalam budaya bangsa, manusia senantiasa ditempatkan dan
diperlakukan sesuai dengan kodrat sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Hal ini
dapat dilihat dari berbagai seni budaya bangsa yang mengagungkan manusia
sesuai dengan kultur dan budaya yang beragam. Sementara itu, menyadari
keragaman dan pluralitas yang dimiliki bangsa dan belajar dari pengalaman
masa penjajahan, maka persatuan bangsa Indonesia menjadi tuntunan hidup
bangsa Indonesia yang majemuk. Justru dengan kemajemukan yang
dimiliki, bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat
heterogen. Prinsip persatuan indonesia bukan berarti menghilangkan
eksistensi, ciri dan identitas masing-masing suku bangsa. Eksistensi, ciri
dan identitas masing-masing suku bangsa tetap terpelihara dan terjaga
keberadaannya. Sila keempat merupakan bentuk kesadaran dan
pengejawantahan prinsip-prinsip kehidupan kelembagaan yang didasarkan
pada perilaku kehidupan gotong-royong yang telah mengakar dalam
kehidupan bangsa Indonesia sejak dulu.
Sifat kegotongroyongan dan musyawarah mufakat telah menjadi
pilar kehidupan dalam kehidupan bermasyarakat secara turun temurun.
Menyadari tantangan sebagai bangsa yang majemuk dan pentingnya
persatuan bangsa, maka prinsip-prinsip kelembagaan yang didasarkan pada
musyawarah untuk mufakat merupakan tuntunan bagi bangsa Indonesia
dalam menjalankan kehidupan kelembagaan negara yang menentukan masa
depan bangsa yang berkeadilan. Dengan demikian prinsip-prinsip keadilan
merupakan kristalisasi keinginan dan cita-cita bangsa untuk mewujudkan
suatu masyarakat yang adil dan makmur.
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan
pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu
mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela dan
melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu,
Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: Negara Pancasila adalah suatu
negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan
untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua
warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-
masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan
mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan
kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan
mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).
Menurut pendapat Harol H. Titus :
Definisi dari ideologi adalah: Aterm used for any group of ideas
concerning various political and aconomic issues and social philosophies
often applied to a systematic scheme of ideas held by groups or classes,
artinya suatu istilah yang digunakan untuk sekelompok cita-cita mengenai
bebagai macam masalah politik ekonomi filsafat sosial yang sering
dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematis tentang suatu cita-cita yang
dijalankan oleh kelompok atau lapisan masyarakat. Bila kita terapkan
rumusan ini pada Pancasila dengan definisi-definisi filsafat dapat kita
simpulkan, maka Pancasila itu ialah usaha pemikiran manusia Indonesia
untuk mencari kebenaran, kemudian sampai mendekati atau menanggap
sebagai suatu kesanggupan yang digenggamnya seirama dengan ruang dan
waktu. Apabila Pancasila tidak menyentuh kehidupan nyata, tidak kita
rasakan wujudnya dalam kehidupan sehari-hari, maka lambat laun
kehidupannya akan kabur dan kesetiaan kita kepada Pancasila akan luntur.
Mungkin Pancasila akan hanya tertinggal dalam buku-buku sejarah
Indonesia. Apabila ini terjadi maka segala dosa dan noda akan melekat pada
kita yang hidup di masa kini, pada generasi yang telah begitu banyak
berkorban untuk menegakkan dan membela Pancasila. Padahal, seharusnya,
periode reformasi yang sudah berlangsung hampir 14 tahun ini kita gunakan
untuk menarik pelajaran berharga dari periode sebelumnya‖, selain itu juga
terbukti dengan bayaknya pelnggran-pelangaran HAM yang terjadi dari
zaman orde lama hingga sekarang ini. Akan tetapi di balik masalah-masalah
yang yang di hadapi pancasila dalam proses imlpementasinya pancasila bagi
perkembangan hidup bangsa Indonesia masih memiliki suatu keyakinan
bahwa krisis multidimensional itu dapat ditangani sehingga kehidupan
masyarakat akan menjadi lebih baik.
Ada beberapa kenyataan yang dapat menjadi landasan bagi bangsa
Indonesia dalam memperbaiki kehidupannya, seperti:
1. Adanya nilai-nilai luhur yang berakar pada pandangan hidup bangsa Indonesia
2. Adanya kekayaan yang belum dikelola secara optimal
3. Adanya kemauan politik untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN).
Banyaknya permasalahan yang muncul secara bergantian di seluruh
sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dampak
demokratisasi yang tidak terkendali dan tidak didasari dengan pemahaman
nilai-nilai pancasila telah memunculkan sikap individualistis yang sangat
jauh berbeda dengan nilai-nilai Pancasila yang lebih mementingkan
keseimbangan, kerjasama, saling menghormati, kesamaan, dan
kesederajatan dalam hubungan manusia dengan manusia. Hal ini juga
dirasakan dan diungkapkan oleh mantan Presiden BJ Habibie dan Ibu
Megawati dalam sambutannya di depan sidang MPR RI pada tanggal 1 Juni
2011 dalam rangka memperingati Pidato Bung Karno 1 Juni 1945.
Dalam sambutannya Bapak BJ Habibie manyampaikan bahwa sejak
reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah
masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi.
Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin
jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan
ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan.
Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah
denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk pikuk dengan
demokrasi dan kebebasan berpolitlk, Ibu Megawati juga menyampaikan
bahwa dalam kurun 13 tahun reformasi, menunjukkan kealpaan kita semua
terhadap dokumen penting sebagai rujukan Pancasila dalam proses
ketatanegaraan kita. Ekspresi dan kegundahan kedua tokoh nasional
tersebut, tentu merupakan bentuk kegelisahan yang harus dijadikan tolok
ukur memudarnya pemahaman masyarakat terhadap nilai – nilai luhur
Pancasila. Hingga saat ini, Pancasila masih tampak kokoh berdiri
mempersatukan berbagai komponen bangsa, suku bangsa, golongan dan
etnik di bawah NKRI. Namun, bangsa ini harus berani jujur untuk mengakui
bahwa Pancasila sebagai dasar negara mulai kehilangan roh dan jiwa anak
bangsanya.
Bagi generasi penerus bukan suatu hal yang mudah
mempertahankan komitmen para pemuda pendahulu dan pendiri bangsa
dalam memperjuangkan nilai-nilai luhur pancasila. Dinamika
perkembangan lingkungan strategis, baik global, regional maupun nasional
setiap jaman dan era kepemimpinan, sangat mempengaruhi tumbuh
kembangnya pola pikir, pola sikap dan pola tindak generasi penerus dalam
menyikapi berbagai permasalahan mendasar yang dihadapi bangsa. Di satu
sisi, trauma generasi muda terhadap sikap politik pemerintahan orde baru,
telah melahirkan generasi muda era reformasi yang cenderung apatis dan
tidak peduli terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila.
Sementara disisi lain, era globalisasi beserta implikasinya telah merubah
persepsi ancaman terhadap eksistensi suatu negara. Ancaman bagi bangsa
dan negara, tidak lagi diwujudkan dalam bentuk ancaman secara fisik,
melainkan ancaman tampil dalam wujud dan bentuk ancaman yang lebih
kompleks dan mencakup seluruh dimensi kehidupan nasional. Revitalisasi
Pancasila dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali sebagai
public discourse, wacana publik. Dengan menjadikan Pancasila sebagai
wacana publik, sekaligus dapat dilakukan reassessment, penilaian kembali
atas pemaknaan Pancasila selama ini, untuk kemudian menghasilkan
pemikiran dan pemaknaan baru. Dengan demikian, menjadikan Pancasila
sebagai wacana publik merupakan tahap awal krusial untuk pengembangan
kembali Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara
terus menerus, sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara
Indonesia.
Revitalisasi Bela Negara dalam Menghadapi Globalisasi
Bela Negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai
oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin
kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya. Dengan
melaksanakan kewajiban bela bangsa tersebut, merupakan bukti dan proses
bagi seluruh warga negara untuk menunjukkan kesediaan mereka dalam
berbakti pada nusa dan bangsa, serta kesadaran untuk mengorbankan diri
guna membela negara. Kesadaran bela negara perlu lebih ditingkatkan atau
dengan kata lain perlu dilakukan revitalisasi, karena adanya pengaruh
globalisasi disegala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara asumsinya diantaranya adalah :
3) Pengawasan yang ketat terhadap eksploitasi sumber daya alam nasional serta
terciptanya suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa (legitimate, bebas
KKN, dan konsisten melaksanakan peraturan/undang-undang).
(1) http://stiebanten.blogspot.com/2011/06/hambatan-dan-tantangan-dalam.html.
(Diakses pada 14 Mei 2019)
(2) http://dianhardiantii.blogspot.com/2014/12/makalah-pkn-pancasila-sebagai-
sumber.html. (Diakses pada 14 Mei 2019)
(3) https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/mkwu/8-PendidikanPancasila.pdf .
(Diakses pada 14 Mei 2019)
(4) http://andisarai.blogspot.com/2016/10/makalah-pendidikan-pancasila-
tantangan.html. (Diakses pada 14 Mei 2019)
(8) http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/10/pembelajaranberbasismultikultur
al/. (Diakses pada 16 Mei 2019)