Abstract
Indigenous law institution of Orang Rimba tribes is related by the cosmos of Bukit Duabelas forest.
This article explores how the construction of ontology, epistemology, axiology of Indigenous law
Orang Rimba tribes in related with the rights of their living space. This research is an empirical legal
study. Based on the research that is ontology, epistemology and axiology, legal substance tribal
indigenous Orang Rimba located on their own, which occurred on their life situation when dealing
with natural conditions Bukit Duabelas. That understanding is because they feel conscious of their
interaction with Bukit Duabelas as their living space through the principle of humane, holistic,
responsibility and contextualization, where the values are independent from each other.
Abstrak
Kelembagaan hukum adat suku Orang Rimba begitu bertalian dengan keberadaan kosmos hutan
Bukit Duabelas. Tulisan ini menelusuri tentang bagaimana konstruksi berpikir ontologi,
epistemologi dan aksiologi hukum adat suku Orang Rimba hubungannya dengan hak atas ruang
hidupnya di Bukit Duabelas. Penelitian ini merupakan penelitian empiris dengan pendekatan
historis-filosofis. Berdasarkan hasil penelitian bahwa secara ontologi, epistemologi dan aksiologi,
substansi hukum adat suku Orang Rimba terletak pada adat mereka sendiri, yang terjadi dari situasi
kehidupan mereka ketika berhadapan dengan kondisi alam Bukit Duabelas. Pemahaman tersebut
terjadi karena mereka merasa sadar atas interaksinya dengan hutan Bukit Duabelas sebagai ruang
hidupnya melalui prinsip humanis, holistik, tanggung jawab dan kontekstualisasi, dimana nilai-
nilai tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain.
Kata Kunci: Ontologi; Epistemologi; Aksiologi; Hukum Adat; Hak atas Ruang Hidup.
ada di Indonesia, termasuk dari keberadaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan Bukit
berbagai suku minoritas pribumi, yang Duabelas melalui hukum adatnya
dikenal sebagai suku asli (indigenous tribes), mendapatkan gangguan yang datang dari
orang asli (indigeneous people), seperti suku masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan,
Orang Rimba di Bukit Duabelas. Sebutan atas golongan masyarakat transmigran atau
“Orang Rimba” sendiri, pada dasarnya kelompok investor yang menanamkan modal
merupakan interpretasi dari jati diri hidup besar pada sumber daya hutan ulayat suku
mereka yang memandang hukum adat dan Orang Rimba di sekitar Bukit Duabelas.
hutan Bukit Duabelas sebagai kunci utama Perlakuan semacam ini jelas telah
hidup mereka sejak nenek moyangnya mengabaikan hak atas ruang hidup suku
sebagaimana seloka adatnya adat lamo Orang Rimba beserta kearifan hukum
pesako usang yang berarti hukum adat lama adatnya.
tidak akan berubah, begitu pun dalam Berhadapan dengan kompleksitas
kearifan menjaga Bukit Duabelas sebagai permasalahan yang menerpa kearifan budaya
ruang hidupnya. hukum suku Orang Rimba tersebut, maka
Saat ini, kearifan hubungan antara menjadi penting nilainya untuk menelusuri
hukum adat dan Bukit Duabelas sebagai tentang bagaimana konstruksi berpikir atas
ruang hidup suku Orang Rimba tersebut landasan ontologi, epistemologi, dan
tengah terganggu oleh dialog kepentingan di aksiologi hukum adat suku Orang Rimba
antara positivisme hukum dan globalisasi. dalam hubungannya dengan hak atas ruang
Konteks pengelolaan kehutanan dan sumber hidup suku Orang Rimba di Taman Nasional
daya alam, maka pemerintah cenderung Bukit Duabelas tersebut?
memberlakukan peraturan perundang- 2. Metode Penelitian
undangan sebagai satu-satunya wujud hukum Penelitian ini merupakan penelitian
yang berkenaan dengan filsafat hukum.
negara yang mengatur pengelolaan ruang
Dipandang sedemikian, karena pada
hidup. Oleh karenanya, pengaturan yang
penelitian ini dikaji tentang bagaimana
bertalian dengan hukum adat seringkali
tataran nilai ideal yang terkandung pada
diabaikan dalam proses pembentukan konstruksi berpikir ontologis, epistemologis,
peraturan perundang-undangan. Secara aksiologis hukum adat suku Orang Rimba
substansi, jika dalam undang-undang diatur terhadap hak atas ruang hidupnya di Bukit
mengenai hak-hak masyarakat adat atas Duabelas yang merupakan kajian filsafat
pengelolaan ruang hidup dan sumber daya hukum. Penelitian ini dilakukan dengan
alam selalu disertai kalimat “sepanjang tidak pendekatan historis-filosofis dan dengan
bertentangan dengan kepentingan nasional” kajian empiris secara analitis. Pengumpulan
atau “sepanjang masih ada dan diakui dan data pada penelitian ini dilakukan dengan
seterusnya”. Dengan cara inilah pemerintah metode pengamatan terlibat (participant
menjalankan politik hukum dengan observation) dan dengan wawancara
pengabaian kemajemukan hukum yang mendalam (in-depth interview). Penelitian ini
secara nyata hidup dan berlaku di masyarakat dilakukan pada kelompok-kelompok suku
adat. Begitu pun dalam tataran substansi Orang Rimba yang ruang hidupnya berada di
politik hukum negara yang selalu hendak dalam kawasan suaka alam dan pelestarian
mengeluarkan suku Orang Rimba dari hutan alam Taman Nasional Bukit Duabelas yang
Bukit Duabelas melalui program Pemukiman terletak di Kabupaten Sarolangun, Kabupaten
Kembali Masyarakat Terasing (PKMT), Tebo, dan Kabupaten Batang Hari Provinsi
dikarenakan kawasan Bukit Duabelas adalah Jambi.
berstatus sebagai taman nasional. 3. Kerangka Teori
Pada tataran implementasi, pemerintah Keberadaan suku Orang Rimba di
juga seringkali tidak hadir pada saat kearifan Bukit Duabelas dengan keberlakuan hukum
budaya masyarakat suku Orang Rimba dalam adatnya senantiasa berkelindan sebagaimana
308
Muhamad Erwin, Hak Atas Ruang Hidup Suku Orang Rimba
muncul sebagai akibat belum pernah terdapat kehilangan eksistensinya sekalipun terjadi
putusan hukum adat pada perkara yang unik perubahan bentuk. Menurut Dominikus Rato,
dan tertentu sehingga dalam pemutusannya secara substansi hukum adat hanyalah
dilakukan secara bersama-sama dalam bentuk mengalami perubahan bentuk luarnya saja
mufakat oleh seluruh anggota masyarakat ( external form ) atau formatnya saja,
suku Orang Rimba di TNBD. Kemudian sedangkan substansi isinya (internal
untuk keberadaan dari hukum pertamo adalah substance) tidak mengalami perubahan,
bahwa hukum sebagai kebijaksanaan, sebagai sebab hukum adat berisi tentang norma-
contoh apabila suatu perkara dalam norma yang lahir dari pengalaman dari
permasalahannya tidak begitu merugikan, generasi ke generasi dengan perubahan-
maka tidak perlu untuk dihukum. Selanjutnya perubahan yang disesuaikan dengan
terhadap keberadaan dari hukum serenggamo kebutuhan-kebutuhan nyata anggota
adalah dipandang masyarakat suku Orang masyarakat hukum adat itu selama mereka
Rimba sebagai senjata pamungkas, di mana berinteraksi.14
apabila telah diperingatkan masih juga Pemikiran Dominikus Rato tersebut
diperbuat, maka hukum akan diterapkan.10 senada dengan realitasnya dalam cara
Dari bentuk-bentuk hukum adat suku pandang suku Orang Rimba di Taman
Orang Rimba sedemikian, maka dapat Nasional Bukit Duabelas dalam memandang
dipahami bahwa berdasarkan sifatnya, hukum hukum yang hendak diberlakukan. Menurut
adat suku Orang Rimba tersebut memiliki dua seloka adat suku Orang Rimba, ““Semenjak
sisi kekhasan yang identik dengan tesisnya gagak itam bekuntul putih, nang undut
Snouck Hurgronje, bahwa pada satu sisi, adat besundut, uhat beruhat, adat dipegang,
adalah keseluruhan hukum dan kebiasaan pesako dipakai, tiado boleh ditinggolko”
yang amat tua, yang diadakan oleh nenek (adat yang ditinggalkan nenek moyang itulah
moyang, untuk membedakannya dengan yang hendaknya terus dipegang).15 Dengan
segala sesuatu yang berasal dari generasi, demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum
yang justru lebih peka terhadap perubahan. adat suku Orang Rimba di Taman Nasional
Pada sisi lain, istilah adat ini bukan Bukit Duabelas sifatnya “tradisional”. Selain
merupakan hasil konstruksi nenek moyang, itu secara aksidensi, hukum adat suku Orang
tetapi sesuatu yang notabene merupakan hasil Rimba begitu didasari oleh kepercayaan yang
kesepakatan atau mufakat masyarakat.11 Hal sifatnya magis religius. Apabila hukum adat
ini tidak terlepas dari hakikat hukum adat itu yang disampaikan kepada mereka tidak
sendiri sebagai gejala sosial dalam hidup diikuti, maka mereka akan terkena kutukan.
bersama manusia.12 Fungsi hukum adat dalam Jika dihubungkan dengan keberadaan
hidup bersama tersebut, menurut Moh. hutan Bukit Duabelas sebagai ruang hidup
Koesnoe adalah sebagai dasar kehidupan, suku Orang Rimba, maka secara substansi
yang lazim disebut langgam adat, di mana hukum adat suku Orang Rimba dipandang
adat dipandang sebagai pemberi arah bagi bahwa alam hutan Bukit Duabelas adalah
dasar kehidupan.13 Pada titik ini, yang menjadi pusaka ( pesako ). Pemahaman ini dapat
sifat tertentu dari adat adalah adanya dibuktikan dengan keteguhan Orang Rimba
kepercayaan bahwa individu mengabdi pada memandang seloka adatnya yang berbunyi:
masyarakat sebagai suatu organisme. Ado rimbo, ado bungo; Ado bungo, ado dewo;
Pada sisi lain, hukum adat sebagai Hopi ado rimbo, hopi ado bungo; Hopi ado
bagian dari gejala sosial selalu tumbuh dan bungo, hopi ado dewo. Maknanya: Di mana
berkembang mengikuti perkembangan terdapat hutan, disitu terdapat bunga; Di mana
masyarakat/zaman. Namun walaupun begitu, terdapat bunga, disitu terdapat dewa; Jika
hukum adat tetaplah hukum adat, ia tidak hutan tidak ada lagi, maka tidak terdapat lagi
10. Diolah dari hasil wawancara dengan Meratay, Depati wilayah Kedundung Muda (Bukit Duabelas), Kamis, 26 Mei
2016.
11. Otje Salman Soemadiningrat, 2011, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung, PT Alumni, hlm. 108.
12. M. Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral, & Keadilan: Sebuah Kajian Filsafat, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, hlm. 129.
13. Shidarta, Op.cit., hlm. 28.
14. Dominikus Rato, 2015, Hukum Adat Kontemporer, Surabaya, LaksBang Justitia, hlm. 25.
15. Hasil wawancara dengan Besemen, Mangku adat wilayah Kedundung Muda (Bukit Duabelas), Senin, 23 Mei 2016.
310
Muhamad Erwin, Hak Atas Ruang Hidup Suku Orang Rimba
bunga; Jika bunga tidak ada lagi, maka tidak interaksi kebersamaan di antara mereka
ada lagi dewa yang dapat memberikan sendiri melalui berbagai kegiatan kearifan
keberuntungan.16 budaya hukum adatnya.
Begitu pun dengan seloka adatnya yang 2. Hubungan antara persekutuan dan
menyebutkan: ruang hidupnya diartikan oleh Ter Haar Bzn,
Rimbo Bukit Duobelay sebagai pesako, bahwa anggota-anggota persekutuan di dalam
sebagai rimbo dewo, untuk umo, untuk totalitasnya, menyelenggarakan hak
belindung supayo ngon hujan lebat, hopi ulayatnya dalam memanfaatkan dan
terlalu teraso, ngon hutan rimbo tejago, memperoleh keuntungan dari ruang hidupnya
angin dak terlalu kencang, rimbo untuk tersebut termasuk binatang-binatang dan
pasohon (makam). (Hutan Bukit Duabelas tetumbuhan yang hidup dengan liar di
sebagai pusaka adalah sebagai tempatnya atasnya.18 Dalam hubungan antara hukum
dewa, tempat hidup mereka, tempat adat suku Orang Rimba dengan ruang
berlindung agar supaya jika terjadi hujan hidupnya di Bukit Duabelas begitu mengikat
lebat, maka tidak akan begitu terasa dan jika tingkah laku Orang Rimba dan begitu ditaati,
hutan Bukit Duabelas terjaga, maka terjadi bagaimanapun kerasnya aturan hukum
angin kencang, maka tidak akan begitu terasa, mereka, namun interaksi di antara mereka
dan hutan Bukit Duabelas adalah juga sebagai begitu lancar. Artinya, selain tradisional dan
tempat bermakam).17 magis religius, sifat khas (aksidensi ontologi)
Dalam memaknai hutan Bukit Duabelas dari hukum adat suku Orang Rimba yang
sebagai pesako (ontologi substansi) , bersifat komunal dan juga menaruh
masyarakat suku Orang Rimba memandang penghargaan yang mendalam kepada ikatan-
keberadaan hutan Bukit Duabelas tersebut ikatan hukum adatnya sehingga dapat
adalah sebagai “keseimbangan kosmos dan menggugah sikap hormat dan melahirkan
keseimbangan sosial budaya”, di mana perilaku perlindungan dan perawatan
gugusan Bukit Duabelas yang didiami terhadap ruang hidupnya. Berikut gambaran
masyarakat suku Orang Rimba telah menjadi konstruksi ontologi hukum adat terhadap hak
ruang hidup suku Orang Rimba di mana atas ruang hidup suku orang rimba di Taman
dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya Nasional Bukit Duabelas sebagaimana di
sehari-hari dipenuhi melalui interaksi dengan dalam Gambar 1.
alam hutan Bukit Duabelas dan dengan
SUBSTANSI: Rimba Bukit
Dalam cara pandang adat
Lapisan terdalam suku Orang Rimba terhadap Duabelas sebagai
Hukum Adat Suku “pesako, sebagai
Hak atas RuangHidupnya
Orang Rimba: rimbo dewo , untuk
di Rimba Bukit Duabelas : Rimba Bukit
Suku Orang Rimba hidupdi umo, untuk
Pola Perilaku Duabelas
belindung (supayo
Rimba Bukit Duabelas sebagai ruang Keseimbangan
ngon ujan lebat
dengan “Beatap cikai , hidup suku Kosmos dan Budaya
hopi terlalu teraso.
Pola Budaya bedindingbanner , betikor Orang Rimba
Ngon hutan rimbo
gambut , melerahkan buah adalah
petatai, minumaek di tejago, angin dak
“PESAKO”
terlalu kencang ),
bungkul kayu, bekebau
“ADA” dalam rimbo untuk
ADAT ruso, bekambingkijang,
hubungan suku beayam kuaow” pasohon (makam)”
OrangRimba
Pencaharian dengan Tuhan
h bÇh [ h DL
Hukum Adat hakikat
Hukum Adat
(Bahelo) antar
sesama suku “ADA” “KESADARAN”
Suku OrangRimba
Suku Orang
Orang RImba Rimba dan antara suku
OrangRimba
Dalam cara pandang adat
dengan Rimba AKSIDENSI:
suku Orang Rimba terhadap
Bukit Duabelas Sifat khas Hukum
Hak atas Ruang Hidupnya
Adat Orang Rimba:
di Rimba Bukit Duabelas : Diresapi dengan keyakinan
Tradisional dan Dilekati Sifat Khas Ketaatan Spontan
“Ado rimbo, adobungo. - Kausalitas
Penghargaan “MAGISH RELIGIUS”
Ado bungo, ado dewo . - Komunal
Mendalam terhadap
Hopi adorimbo, hopi ado
ikatan-ikatan
bungo. Hopi ado bungo,
Hukum Adat Suku
hopi ado dewo”
Orang Rimba
Gambar 1. Konstruksi Ontologi Hukum Adat terhadap Hak atas Ruang Hidup Suku orang rimba
di Taman Nasional Bukit Duabelas
16. Hasil wawancara dengan Tarib, Tumenggung wilayah Kedundung Muda (Bukit Duabelas), Sabtu, 22 Agustus 2016.
17. Hasil wawancara dengan Besemen, Mangku adat wilayah Kedundung Muda (Bukit Duabelas), Senin, 25 Agustus
2015.
18. Ter Haar Bzn., 2011, Asas-asas dan Tatanan Hukum Adat, Bandung, CV Mandar Maju, hlm. 50.
311
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 4, Oktober 2016
312
Muhamad Erwin, Hak Atas Ruang Hidup Suku Orang Rimba
Yh b { ÇwÜ Y{ L 9 t L{ Ç9 a h [ h DL I Ü YÜ a ! 5 ! Ç Ç9 w I ! 5 ! t I ! Y ! Ç! { wÜ! b D I L5 Üt
SUK U O RANG RI MB A DI TAM AN N ASI ON AL B UK IT DUA BE LAS
HUKUM AD AT :
S ebagai pedoman ta ta kel akua n t entang bagaima na be rsi ka p t inda k
te rha da p rimba Bukit Duabel as
Me nghad irkan:
KEBEN AR AN KOMU NA L:
H alom rimbo mia, ma tempat ber anak pinak , beradat bepesako
PRIN SI P HOLISTI K :
KESA DARA N ATAS K earifan H ukum A dat Suku Orang R imba dalam sistem
P ENGETAHUAN perbur uan (r elasional untuk s aling merangkul )
H ukum Adat Orang Rimba
t erha da p H ak ata s Rua ng PRI NS IP TA NGGU NG JA WA B :
Hi dupnya di Ri mba Bukit Kearifan H ukum A dat Suku O rang Rimba dalam hubungannya dengan keles tarian Bukit Duabelas
Duabela s melalui pertanggungjawaban atas penebangan pohon sialang , pohon sengiris , pohon setubung .
Gambar 2. Konstruksi Epistemologi Hukum Adat Terhadap Hak Atas Ruang Hidup Suku Orang
Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas
314
Muhamad Erwin, Hak Atas Ruang Hidup Suku Orang Rimba
Dengan kelestarian Bukit Duabelas, berarti Duabelas”, yang dengan sendirinya dapat
memelihara kerukunan hidup dengan sesama memunculkan sikap menjaga keselarasan,
Orang Rimba, dan menjunjung tinggi Tuhan keserasian, keharmonisan hubungan tersebut.
sebagai yang pencipta Orang Rimba dan Adapun konstruksi berpikir dari hukum adat
Bukit Duabelas. suku Orang Rimba di Taman Nasional Bukit
Cara pandang aksiologi hukum adat Duabelas terhadap nilai keadilan
suku Orang Rimba terhadap alam (halom) diterjemahkan dalam cara pandang
hutan Bukit Duabelas yang berada pada sebagaimana seloka adat suku Orang Rimba
fungsi sosial yaitu sebagai ruang hidup untuk berikut ini: 27
keperluan bersama, terutama untuk upacara- Ular dipalu jangan mati;pemalu jangan
upacara adat seperti perkawinan, pemberian patah;tanah dipalu jangan lemban;narik
nama untuk anak yang baru lahir, adanya rambut dalam tepung;tepung jangan
anggota masyarakat suku Orang Rimba yang tebayak;rambut jangan putuy;dijual jangan
sakit parah, ataupun dalam upacara tolak jauh; dibunuh jangan mati.
balak. Selain itu, yang termasuk pula dalam Pelaksanaan hukum yang sedemikian, maka
keberadaan hutan Bukit Duabelas sebagai hukum akan menjadi paksaan sosial yang
ruang hidup yang mengandung fungsi sosial efektif dan dapat pula membantu untuk
bagi suku Orang Rimba juga terdapat pada menjamin kekuatan ikatan hukum itu sendiri.
peranannya sebagai ruang tempat bepekat Keadilan di antara anggota masyarakat
berunding (bermusyawarah). Melalui cara suku Orang Rimba merupakan obsesi dari
pandang terhadap keberadaan hutan Bukit seluruh masyarakat suku Orang Rimba. Cita
Duabelas sebagai ruang hidup suku Orang keadilan senatiasa ditekankan untuk nilai
Rimba dalam konstruksi aksiologi hukum kerukunan, sebab dengan begitu suasana
adatnya pada fungsi sosial telah menyadarkan kebersamaan, kehangatan dalam komunitas
bahwa nilai utama yang hendak dituju berada dapat dipertahankan, sehingga nilai rukun itu
pada nilai kebersamaan, nilai kerukunan, dan benar-benar dapat menyanggah keselarasan.
nilai keadilan. Sementara, pada keberhargaan Bukit
Secara umum, masyarakat suku Orang Duabelas sebagai ruang hidup suku Orang
Rimba memahami nilai kerukunan sebagai Rimba dalam fungsi pribadi pada konstruksi
suatu bentuk situasi yang dalam keadaan aksiologi hukum adat suku Orang Rimba
selaras, tenang, tentram, tanpa perselisihan dimaksudkan pada kegunaan hutan Bukit
dan pertentangan. Lebih sederhananya lagi, Duabelas sebagai tempat rumah (ghumah)
nilai kerukunan diterjemahkan oleh dan ladang (umo) suku Orang Rimba.
masyarakat suku Orang Rimba sebagai upaya Hubungan antara penghormatan
pencegahan konflik diantara mereka. Artinya, terhadap ruang hidup pada ghumah ini dengan
rukun harus dipahami bukan sebagai sikap hukum adat suku orang Rimba di Bukit
batin, melainkan merupakan penjagaan Duabelas berlaku seloka adat berikut:28
keselarasan dalam pergaulan di antara Ghumah kito bagi beradat; Tepian kito
masyarakat suku Orang Rimba. Oleh karena bagi bebaso.Terjemahannya: Berkunjung ke
itulah, perumusan norma hukum seloka- rumah Orang Rimba di Bukit Duabelas harus
seloka adat adat masyarakat suku Orang memiliki pengertian dengan aturan
Rimba tersebut senatiasa dirumuskan dengan rumah/hutan Bukit Duabelas.
menggunakan bahasa yang halus agar supaya Apabila norma seloka adat tersebut dilanggar,
keselarasan hidup di antara sesama Orang maka akan berlaku denda sejumlah 60 lembar
Rimba dan di antara Orang Rimba dengan kain dan bahkan 120 lembar kain jika
Bukit Duabelas dapat terjaga. pelanggaran itu dilakukan di rumah
Cara pandang aksiologi hukum adat tumenggung.
tersebut, pada dasarnya begitu mencerminkan Fungsi ruang yang bersifat pribadi juga
adanya perumusan norma secara kausalitas terdapat pada ladang ( umo ). Dalam
relasi antara “Orang Rimba”-“Bukit hubungannya dengan ladang dalam fungsi
27. Hasil wawancara dengan Besemen, Mangku adat wilayah Kedundung Muda (Bukit Duabelas), Senin, 25
28. Februari 2016.
Hasil wawancara dengan Besemen, Mangku adat wilayah Kedundung Muda (Bukit Duabelas), 22 Mei 2016.
315
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 4, Oktober 2016
S U K U O R A N G R IM B A
Bzn Ter Haar, 2011, Asas-asas dan Tatanan
Hukum Adat, Bandung, CV Mandar
Gambar 3. Konstruksi Aksiologi Hukum Adat terhadap Hak atas Ruang Maju.
HidupSuku Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas Erwin Muhamad, 2016, Filsafat Hukum:
316
Muhamad Erwin, Hak Atas Ruang Hidup Suku Orang Rimba
317