Anda di halaman 1dari 11

Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No.

4, Oktober 2016, Halaman 307-317 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716

HAK ATAS RUANG HIDUP SUKU ORANG RIMBA


(ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI HUKUM ADAT) 1
Muhamad Erwin
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Jalan Srijaya Negara, Kampus Bukit Besar, Palembang
Email: erwin_muhamad@ymail.com

Abstract

Indigenous law institution of Orang Rimba tribes is related by the cosmos of Bukit Duabelas forest.
This article explores how the construction of ontology, epistemology, axiology of Indigenous law
Orang Rimba tribes in related with the rights of their living space. This research is an empirical legal
study. Based on the research that is ontology, epistemology and axiology, legal substance tribal
indigenous Orang Rimba located on their own, which occurred on their life situation when dealing
with natural conditions Bukit Duabelas. That understanding is because they feel conscious of their
interaction with Bukit Duabelas as their living space through the principle of humane, holistic,
responsibility and contextualization, where the values are independent from each other.

Keywords: Ontology; Epistemology; Axiology; Indigenous Law; Rights of Living Space

Abstrak

Kelembagaan hukum adat suku Orang Rimba begitu bertalian dengan keberadaan kosmos hutan
Bukit Duabelas. Tulisan ini menelusuri tentang bagaimana konstruksi berpikir ontologi,
epistemologi dan aksiologi hukum adat suku Orang Rimba hubungannya dengan hak atas ruang
hidupnya di Bukit Duabelas. Penelitian ini merupakan penelitian empiris dengan pendekatan
historis-filosofis. Berdasarkan hasil penelitian bahwa secara ontologi, epistemologi dan aksiologi,
substansi hukum adat suku Orang Rimba terletak pada adat mereka sendiri, yang terjadi dari situasi
kehidupan mereka ketika berhadapan dengan kondisi alam Bukit Duabelas. Pemahaman tersebut
terjadi karena mereka merasa sadar atas interaksinya dengan hutan Bukit Duabelas sebagai ruang
hidupnya melalui prinsip humanis, holistik, tanggung jawab dan kontekstualisasi, dimana nilai-
nilai tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain.
Kata Kunci: Ontologi; Epistemologi; Aksiologi; Hukum Adat; Hak atas Ruang Hidup.

A. Pendahuluan Rimba telah hidup di Bukit Duabelas sebagai


1. Latar Belakang Permasalahan persekutuan masyarakat hukum adat.
Hidup adalah pilihan, maka pada Setelah bangsa Indonesia berdiri, pada
hakikatnya tidak diperkenankan adanya pihak salah satu bagian kontrak sosialnya, yakni
mana pun untuk mengatur dan menciderai hak alinea keempat p embukaan U UD 1945 ,
hidup orang lain yang fitrahnya adalah sebuah disebutkan bahwa salah satu tujuan dari
hak asasi. 2 Hukum adat adalah suatu hukum dibentuknya negara Indonesia adalah untuk
yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan “.....melindungi segenap bangsa Indonesia
hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan dan seluruh tumpah darah Indonesia...”.
fitrahnya sendiri, hukum adat terus-menerus Dalam keperluan untuk melindungi segenap
dalam keadaan tumbuh dan berkembang bangsa Indonesia tersebut hanyalah dapat
seperti hidup itu sendiri.3 Jauh sebelum negara didekati dengan pemahaman yang mendalam
Republik Indonesia berdiri, suku Orang terhadap kemajemukan budaya hukum yang
1. Artikel hasil Penelitian Mandiri penulis dari bulan Agustus 2015 s.d. Juni 2016.
2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, article 2 and 6.
3. Sri Sudaryatmi, “Peranan Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Nasional di Era Globalisasi”, Jurnal Masalah-
Masalah Hukum, Vol. 41, No. 4, Oktober 2012, hlm. 575.
307
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 4, Oktober 2016

ada di Indonesia, termasuk dari keberadaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan Bukit
berbagai suku minoritas pribumi, yang Duabelas melalui hukum adatnya
dikenal sebagai suku asli (indigenous tribes), mendapatkan gangguan yang datang dari
orang asli (indigeneous people), seperti suku masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan,
Orang Rimba di Bukit Duabelas. Sebutan atas golongan masyarakat transmigran atau
“Orang Rimba” sendiri, pada dasarnya kelompok investor yang menanamkan modal
merupakan interpretasi dari jati diri hidup besar pada sumber daya hutan ulayat suku
mereka yang memandang hukum adat dan Orang Rimba di sekitar Bukit Duabelas.
hutan Bukit Duabelas sebagai kunci utama Perlakuan semacam ini jelas telah
hidup mereka sejak nenek moyangnya mengabaikan hak atas ruang hidup suku
sebagaimana seloka adatnya adat lamo Orang Rimba beserta kearifan hukum
pesako usang yang berarti hukum adat lama adatnya.
tidak akan berubah, begitu pun dalam Berhadapan dengan kompleksitas
kearifan menjaga Bukit Duabelas sebagai permasalahan yang menerpa kearifan budaya
ruang hidupnya. hukum suku Orang Rimba tersebut, maka
Saat ini, kearifan hubungan antara menjadi penting nilainya untuk menelusuri
hukum adat dan Bukit Duabelas sebagai tentang bagaimana konstruksi berpikir atas
ruang hidup suku Orang Rimba tersebut landasan ontologi, epistemologi, dan
tengah terganggu oleh dialog kepentingan di aksiologi hukum adat suku Orang Rimba
antara positivisme hukum dan globalisasi. dalam hubungannya dengan hak atas ruang
Konteks pengelolaan kehutanan dan sumber hidup suku Orang Rimba di Taman Nasional
daya alam, maka pemerintah cenderung Bukit Duabelas tersebut?
memberlakukan peraturan perundang- 2. Metode Penelitian
undangan sebagai satu-satunya wujud hukum Penelitian ini merupakan penelitian
yang berkenaan dengan filsafat hukum.
negara yang mengatur pengelolaan ruang
Dipandang sedemikian, karena pada
hidup. Oleh karenanya, pengaturan yang
penelitian ini dikaji tentang bagaimana
bertalian dengan hukum adat seringkali
tataran nilai ideal yang terkandung pada
diabaikan dalam proses pembentukan konstruksi berpikir ontologis, epistemologis,
peraturan perundang-undangan. Secara aksiologis hukum adat suku Orang Rimba
substansi, jika dalam undang-undang diatur terhadap hak atas ruang hidupnya di Bukit
mengenai hak-hak masyarakat adat atas Duabelas yang merupakan kajian filsafat
pengelolaan ruang hidup dan sumber daya hukum. Penelitian ini dilakukan dengan
alam selalu disertai kalimat “sepanjang tidak pendekatan historis-filosofis dan dengan
bertentangan dengan kepentingan nasional” kajian empiris secara analitis. Pengumpulan
atau “sepanjang masih ada dan diakui dan data pada penelitian ini dilakukan dengan
seterusnya”. Dengan cara inilah pemerintah metode pengamatan terlibat (participant
menjalankan politik hukum dengan observation) dan dengan wawancara
pengabaian kemajemukan hukum yang mendalam (in-depth interview). Penelitian ini
secara nyata hidup dan berlaku di masyarakat dilakukan pada kelompok-kelompok suku
adat. Begitu pun dalam tataran substansi Orang Rimba yang ruang hidupnya berada di
politik hukum negara yang selalu hendak dalam kawasan suaka alam dan pelestarian
mengeluarkan suku Orang Rimba dari hutan alam Taman Nasional Bukit Duabelas yang
Bukit Duabelas melalui program Pemukiman terletak di Kabupaten Sarolangun, Kabupaten
Kembali Masyarakat Terasing (PKMT), Tebo, dan Kabupaten Batang Hari Provinsi
dikarenakan kawasan Bukit Duabelas adalah Jambi.
berstatus sebagai taman nasional. 3. Kerangka Teori
Pada tataran implementasi, pemerintah Keberadaan suku Orang Rimba di
juga seringkali tidak hadir pada saat kearifan Bukit Duabelas dengan keberlakuan hukum
budaya masyarakat suku Orang Rimba dalam adatnya senantiasa berkelindan sebagaimana

308
Muhamad Erwin, Hak Atas Ruang Hidup Suku Orang Rimba

pemikiran Cicero,4 dalam adagiumnya bahwa kemudian keseimbangan tersebut


“ ubi societas ibi ius ” (di mana ada diterjemahkan melalui asas: 6 rukun, patut,
masyarakat, di situ ada hukum). Kemudian dan laras.
pada perkembangan hukum tersebut, menurut Mengalirnya pemikiran ubi societas ibi
Eugen Erlich 5 begitu bertalian erat dengan ius, living law, dan cara berpikir hukum adat
nilai-nilai yang dianuti masyarakat sehingga sedemikian, maka merupakan suatu
membuat hukum tersebut dapat menjadi kewajaran, jika Satjipto Rahardjo dalam
hukum yang hidup (leben des recht). Begitu pemikiran hukum progresif 7 percaya bahwa
pun dengan bangunan hubungan di antara kekuatan hukum terletak pada masyarakat,
suku Orang Rimba di Bukit Duabelas dengan karena masyarakat memiliki kekuatan
hukum adatnya, di mana hukum adat suku otonom untuk melindungi dan menata dirinya
Orang Rimba memiliki daya kerja yang sendiri.
konstruktif untuk membangun hak atas ruang
hidup dan menyatu dengan kehidupan B. Hasil dan Pembahasan
masyarakat suku Orang Rimba di Bukit 1. Konstruksi Ontologi Hukum Adat
Duabelas itu sendiri. terhadap Hak atas Ruang Hidup
Sebagaimana cara berpikir filsafat Suku Orang Rimba di Taman
hukum adat, hukum adat suku Orang Rimba Nasional Bukit Duabelas
juga lahir dari nilai-nilai yang dipetik dari Ontologi merupakan pertanyaan
nature dan culture, lalu diturunkan ke dalam mengenai bagaimanakah bentuk dan sifat
bentuk ukuran-ukuran etis yang selanjutnya dari realitas, berikut apa yang dapat diketahui
diterangkan dalam kaidah-kaidah yang dari hal tersebut. 8 Substansi hukum adat suku
menjadi dasar untuk tingkah laku yang nyata. Orang Rimba secara ontologis terletak pada
Hukum adat suku Orang Rimba di Bukit “adat” mereka sendiri. Adat suku Orang
Duabelas juga memiliki corak atau Rimba terjadi dari situasi kehidupan suku
karakteristik sebagaimana hukum adat pada Orang Rimba ketika berhadapan dengan
umumnya yakni: tradisional; magis religius; kondisi alam Bukit Duabelas, sehingga adat
komunal; konkrit dan visual (jelas, nyata, dalam ontologi hukum adat suku Orang
berwujud); sederhana; tidak tertulis dan tidak Rimba diartikan bahwa Orang Rimba dan
dikodifikasi; mengutamakan musyawarah alam Bukit Duabelas merupakan peng 'ada'
dan mufakat. (ontos) bagi adat Orang Rimba sendiri. Hal ini
Berdasarkan karakteristik berpikir menunjukan bahwa tidak ada adat Orang
hukum adat yang sedemikian, terdapat tiga Rimba tanpa suku Orang Rimba dan alam
ikatan sebagai asas dalam hukum adat yang Bukit Duabelas.
penulis petik dari natuur dan cultuur sebagai Berdasarkan ajaran turun temurun suku
sumber nilai, lalu diturunkan kepada cara Orang Rimba (tradisional), bentuk-bentuk
berpikir hukum adat yang magis religius, hukum adat mereka diklasifikasikan atas:
komunal, konkrit, dan kontan. Keseluruhan hukum lamo; hukum besamo;9 hukum
cara berpikir tersebut semata-mata bertujuan pertamo; dan hukum serenggamo. Hukum
untuk mengembalikan keseimbangan magis lamo merupakan hukum yang dapat dipakai
religius yang terganggu, sehingga terdapat selama-lamanya dan tidak dapat berubah
hubungan yang harmonis. Berdasarkan (tetap), contohnya dalam penentuan syarat
ketergantungan dari paradigma tersebut, untuk dapat menikah. Sementara, hukum
besamo, diterjemahkan sebagai hukum yang
4. Muhamad Erwin, 2016, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (Dalam Dimensi Ide
dan Aplikasi), Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, hlm. 309.
5. Soetandyo Wignjosoebroto, 2007, Hukum Dalam Masyarakat (Perkembangan dan Masalah), Sebuah Pengantar Ke
Arah Kajian Sosiologi Hukum, Malang, Bayu Media, hlm. 15.
6. Baca: Shidarta, (Posisi Pemikiran Teori Hukum Adat Mohammad Koesnoe Dalam Konfigurasi Aliran Pemikiran
Hukum) dalam Agni Udayati dkk., 2013, Mohammad Koesnoe Dalam Pengembaraan Gagasan Hukum Indonesia,
Jakarta, Epistema Institute dan HUMA, hlm. 40.
7. Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta, Genta Publishing, hlm. 5-
6.
8. Aditya Yuli Sulistyawan, “Mempersoalkan Objektivitas Hukum: Suatu Perbincangan Filsafat Hukum”, Jurnal
Masalah-Masalah Hukum, Vol. 41, No. 4, Oktober 2012, hlm. 511.
9. Hasil wawancara dengan Nggrip, Tumenggung wilayah Kedundung Muda (Bukit Duabelas), Jum'at, 5 Februari
2016.
309
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 4, Oktober 2016

muncul sebagai akibat belum pernah terdapat kehilangan eksistensinya sekalipun terjadi
putusan hukum adat pada perkara yang unik perubahan bentuk. Menurut Dominikus Rato,
dan tertentu sehingga dalam pemutusannya secara substansi hukum adat hanyalah
dilakukan secara bersama-sama dalam bentuk mengalami perubahan bentuk luarnya saja
mufakat oleh seluruh anggota masyarakat ( external form ) atau formatnya saja,
suku Orang Rimba di TNBD. Kemudian sedangkan substansi isinya (internal
untuk keberadaan dari hukum pertamo adalah substance) tidak mengalami perubahan,
bahwa hukum sebagai kebijaksanaan, sebagai sebab hukum adat berisi tentang norma-
contoh apabila suatu perkara dalam norma yang lahir dari pengalaman dari
permasalahannya tidak begitu merugikan, generasi ke generasi dengan perubahan-
maka tidak perlu untuk dihukum. Selanjutnya perubahan yang disesuaikan dengan
terhadap keberadaan dari hukum serenggamo kebutuhan-kebutuhan nyata anggota
adalah dipandang masyarakat suku Orang masyarakat hukum adat itu selama mereka
Rimba sebagai senjata pamungkas, di mana berinteraksi.14
apabila telah diperingatkan masih juga Pemikiran Dominikus Rato tersebut
diperbuat, maka hukum akan diterapkan.10 senada dengan realitasnya dalam cara
Dari bentuk-bentuk hukum adat suku pandang suku Orang Rimba di Taman
Orang Rimba sedemikian, maka dapat Nasional Bukit Duabelas dalam memandang
dipahami bahwa berdasarkan sifatnya, hukum hukum yang hendak diberlakukan. Menurut
adat suku Orang Rimba tersebut memiliki dua seloka adat suku Orang Rimba, ““Semenjak
sisi kekhasan yang identik dengan tesisnya gagak itam bekuntul putih, nang undut
Snouck Hurgronje, bahwa pada satu sisi, adat besundut, uhat beruhat, adat dipegang,
adalah keseluruhan hukum dan kebiasaan pesako dipakai, tiado boleh ditinggolko”
yang amat tua, yang diadakan oleh nenek (adat yang ditinggalkan nenek moyang itulah
moyang, untuk membedakannya dengan yang hendaknya terus dipegang).15 Dengan
segala sesuatu yang berasal dari generasi, demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum
yang justru lebih peka terhadap perubahan. adat suku Orang Rimba di Taman Nasional
Pada sisi lain, istilah adat ini bukan Bukit Duabelas sifatnya “tradisional”. Selain
merupakan hasil konstruksi nenek moyang, itu secara aksidensi, hukum adat suku Orang
tetapi sesuatu yang notabene merupakan hasil Rimba begitu didasari oleh kepercayaan yang
kesepakatan atau mufakat masyarakat.11 Hal sifatnya magis religius. Apabila hukum adat
ini tidak terlepas dari hakikat hukum adat itu yang disampaikan kepada mereka tidak
sendiri sebagai gejala sosial dalam hidup diikuti, maka mereka akan terkena kutukan.
bersama manusia.12 Fungsi hukum adat dalam Jika dihubungkan dengan keberadaan
hidup bersama tersebut, menurut Moh. hutan Bukit Duabelas sebagai ruang hidup
Koesnoe adalah sebagai dasar kehidupan, suku Orang Rimba, maka secara substansi
yang lazim disebut langgam adat, di mana hukum adat suku Orang Rimba dipandang
adat dipandang sebagai pemberi arah bagi bahwa alam hutan Bukit Duabelas adalah
dasar kehidupan.13 Pada titik ini, yang menjadi pusaka ( pesako ). Pemahaman ini dapat
sifat tertentu dari adat adalah adanya dibuktikan dengan keteguhan Orang Rimba
kepercayaan bahwa individu mengabdi pada memandang seloka adatnya yang berbunyi:
masyarakat sebagai suatu organisme. Ado rimbo, ado bungo; Ado bungo, ado dewo;
Pada sisi lain, hukum adat sebagai Hopi ado rimbo, hopi ado bungo; Hopi ado
bagian dari gejala sosial selalu tumbuh dan bungo, hopi ado dewo. Maknanya: Di mana
berkembang mengikuti perkembangan terdapat hutan, disitu terdapat bunga; Di mana
masyarakat/zaman. Namun walaupun begitu, terdapat bunga, disitu terdapat dewa; Jika
hukum adat tetaplah hukum adat, ia tidak hutan tidak ada lagi, maka tidak terdapat lagi
10. Diolah dari hasil wawancara dengan Meratay, Depati wilayah Kedundung Muda (Bukit Duabelas), Kamis, 26 Mei
2016.
11. Otje Salman Soemadiningrat, 2011, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung, PT Alumni, hlm. 108.
12. M. Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral, & Keadilan: Sebuah Kajian Filsafat, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, hlm. 129.
13. Shidarta, Op.cit., hlm. 28.
14. Dominikus Rato, 2015, Hukum Adat Kontemporer, Surabaya, LaksBang Justitia, hlm. 25.
15. Hasil wawancara dengan Besemen, Mangku adat wilayah Kedundung Muda (Bukit Duabelas), Senin, 23 Mei 2016.

310
Muhamad Erwin, Hak Atas Ruang Hidup Suku Orang Rimba

bunga; Jika bunga tidak ada lagi, maka tidak interaksi kebersamaan di antara mereka
ada lagi dewa yang dapat memberikan sendiri melalui berbagai kegiatan kearifan
keberuntungan.16 budaya hukum adatnya.
Begitu pun dengan seloka adatnya yang 2. Hubungan antara persekutuan dan
menyebutkan: ruang hidupnya diartikan oleh Ter Haar Bzn,
Rimbo Bukit Duobelay sebagai pesako, bahwa anggota-anggota persekutuan di dalam
sebagai rimbo dewo, untuk umo, untuk totalitasnya, menyelenggarakan hak
belindung supayo ngon hujan lebat, hopi ulayatnya dalam memanfaatkan dan
terlalu teraso, ngon hutan rimbo tejago, memperoleh keuntungan dari ruang hidupnya
angin dak terlalu kencang, rimbo untuk tersebut termasuk binatang-binatang dan
pasohon (makam). (Hutan Bukit Duabelas tetumbuhan yang hidup dengan liar di
sebagai pusaka adalah sebagai tempatnya atasnya.18 Dalam hubungan antara hukum
dewa, tempat hidup mereka, tempat adat suku Orang Rimba dengan ruang
berlindung agar supaya jika terjadi hujan hidupnya di Bukit Duabelas begitu mengikat
lebat, maka tidak akan begitu terasa dan jika tingkah laku Orang Rimba dan begitu ditaati,
hutan Bukit Duabelas terjaga, maka terjadi bagaimanapun kerasnya aturan hukum
angin kencang, maka tidak akan begitu terasa, mereka, namun interaksi di antara mereka
dan hutan Bukit Duabelas adalah juga sebagai begitu lancar. Artinya, selain tradisional dan
tempat bermakam).17 magis religius, sifat khas (aksidensi ontologi)
Dalam memaknai hutan Bukit Duabelas dari hukum adat suku Orang Rimba yang
sebagai pesako (ontologi substansi) , bersifat komunal dan juga menaruh
masyarakat suku Orang Rimba memandang penghargaan yang mendalam kepada ikatan-
keberadaan hutan Bukit Duabelas tersebut ikatan hukum adatnya sehingga dapat
adalah sebagai “keseimbangan kosmos dan menggugah sikap hormat dan melahirkan
keseimbangan sosial budaya”, di mana perilaku perlindungan dan perawatan
gugusan Bukit Duabelas yang didiami terhadap ruang hidupnya. Berikut gambaran
masyarakat suku Orang Rimba telah menjadi konstruksi ontologi hukum adat terhadap hak
ruang hidup suku Orang Rimba di mana atas ruang hidup suku orang rimba di Taman
dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya Nasional Bukit Duabelas sebagaimana di
sehari-hari dipenuhi melalui interaksi dengan dalam Gambar 1.
alam hutan Bukit Duabelas dan dengan
SUBSTANSI: Rimba Bukit
Dalam cara pandang adat
Lapisan terdalam suku Orang Rimba terhadap Duabelas sebagai
Hukum Adat Suku “pesako, sebagai
Hak atas RuangHidupnya
Orang Rimba: rimbo dewo , untuk
di Rimba Bukit Duabelas : Rimba Bukit
Suku Orang Rimba hidupdi umo, untuk
Pola Perilaku Duabelas
belindung (supayo
Rimba Bukit Duabelas sebagai ruang Keseimbangan
ngon ujan lebat
dengan “Beatap cikai , hidup suku Kosmos dan Budaya
hopi terlalu teraso.
Pola Budaya bedindingbanner , betikor Orang Rimba
Ngon hutan rimbo
gambut , melerahkan buah adalah
petatai, minumaek di tejago, angin dak
“PESAKO”
terlalu kencang ),
bungkul kayu, bekebau
“ADA” dalam rimbo untuk
ADAT ruso, bekambingkijang,
hubungan suku beayam kuaow” pasohon (makam)”
OrangRimba
Pencaharian dengan Tuhan
h bÇh [ h DL
Hukum Adat hakikat
Hukum Adat
(Bahelo) antar
sesama suku “ADA” “KESADARAN”
Suku OrangRimba
Suku Orang
Orang RImba Rimba dan antara suku
OrangRimba
Dalam cara pandang adat
dengan Rimba AKSIDENSI:
suku Orang Rimba terhadap
Bukit Duabelas Sifat khas Hukum
Hak atas Ruang Hidupnya
Adat Orang Rimba:
di Rimba Bukit Duabelas : Diresapi dengan keyakinan
Tradisional dan Dilekati Sifat Khas Ketaatan Spontan
“Ado rimbo, adobungo. - Kausalitas
Penghargaan “MAGISH RELIGIUS”
Ado bungo, ado dewo . - Komunal
Mendalam terhadap
Hopi adorimbo, hopi ado
ikatan-ikatan
bungo. Hopi ado bungo,
Hukum Adat Suku
hopi ado dewo”
Orang Rimba

Gambar 1. Konstruksi Ontologi Hukum Adat terhadap Hak atas Ruang Hidup Suku orang rimba
di Taman Nasional Bukit Duabelas

16. Hasil wawancara dengan Tarib, Tumenggung wilayah Kedundung Muda (Bukit Duabelas), Sabtu, 22 Agustus 2016.
17. Hasil wawancara dengan Besemen, Mangku adat wilayah Kedundung Muda (Bukit Duabelas), Senin, 25 Agustus
2015.
18. Ter Haar Bzn., 2011, Asas-asas dan Tatanan Hukum Adat, Bandung, CV Mandar Maju, hlm. 50.

311
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 4, Oktober 2016

3. Konstruksi Epistemologi Hukum Duabelas sebagai ruang hidupnya. Artinya,


Adat terhadap Hak atas Ruang pengetahuan atas kebenaran tersebut
Hidup Suku Orang Rimba di Taman dibentuk oleh sikap dan lingkungan yang
Nasional Bukit Duabelas mempengaruhinya.
Terdapat dua pendekatan ketika Apabila pengetahuan atas kebenaran
memahami bagaimana sumber pengetahuan tersebut dikaji melalui teori kebenaran
dari masyarakat suku Orang Rimba tersebut, korespondensi, dapat dibuktikan dari fakta
yaitu: pertama, datang dari alam (natuur) bahwa pohon buah-buahan peninggalan
yang diringi dengan sifat magis religius, atau leluhur mereka di hutan Bukit Duabelas yang
yang disebut dengan fenomena yang ada, sampai dengan saat ini keberadaannya begitu
kedua, diproses dari hubungan di antara nyata dan dapat dinikmati oleh mereka.
masyarakat suku Orang Rimba itu sendiri Kebenaran korespondensi merupakan
(kultur) yang dilekati dengan sifat tradisional. kebenaran yang timbul apabila terdapat
Sumber pengetahuan hukum adat suku kesesuaian antara makna yang dimaksudkan
Orang Rimba terhadap hak atas ruang oleh suatu pernyataan dengan apa yang
hidupnya di Bukit Duabelas adalah berangkat sungguh-sungguh merupakan faktanya.20 Dari
dari penghayatan terhadap alam nilai kebenaran sedemikian telah memperlihatkan
hidupnya bersama 'halom rimbo' (hutan Bukit bahwa epistemologi yang muncul dari pikiran
Duabelas) yang menjadi ruang hidupnya suku Orang Rimba yang terbentuk dari
secara tradisional. Artinya, pengetahuan tangkapan panca indera terhadap alam hutan
Orang Rimba tentang ruang hidupnya di Bukit Duabelas tersebut telah menimbulkan
Bukit Duabelas itu merupakan proses yang pola pikir hukum adat untuk membangun
melibatkan keyakinan yang berupa kehidupannya dengan melestarikan hutan
kesadaran, di mana terdapat hubungan antara Bukit Duabelas.
subjek yang sadar (suku Orang Rimba) Sementara itu, kebenaran koherensi
dengan objek yang dikenali (hutan Bukit terjadi apabila suatu proposisi atau makna
Duabelas). Kesadaran tersebut terlihat dari pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai
berbagai upaya mengatasi krisis terhadap benar, jika proposisi itu mempunyai
ruang hidupnya di Bukit Duabelas, yang hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang
mana dalam mereka menghambat laju terdahulu adalah benar.21 Secara teori
pergerakan perladangan dan illegal logging kebenaran koherensi, dapat diuji dari
lebih jauh ke dalam hutan, yakni dengan pemahaman suku Orang Rimba di Taman
penanaman karet sebagai hompongon yaitu Nasional Bukit Duabelas yang memandang
pagar di kawasan yang berbatasan langsung bahwa keberadaan magis religius Orang
dengan desa. Rimba dalam hal ini dewa-dewa mereka ada
Sementara dalam perihal pencaharian di hutan Bukit Duabelas. Dari pemahaman
konstruksi berpikir epistemologi “kebenaran tersebut, maka Orang Rimba memandang
pengetahuan” hukum adat suku Orang Rimba bahwa hutan Bukit Duabelas adalah sebagai
terhadap hak atas ruang hidupnya di Bukit ruang hidupnya.
Duabelas, di mana “kebenaran” itu sendiri Kebenaran pragmatis menunjukkan
dipandang oleh Orang Rimba di Taman bahwa suatu pengertian itu hanya dapat
Nasional Bukit Duabelas adalah sebagai menjadi benar kalau saja dapat dimanfaatkan
sesuatu yang dirindukan, karena menurut secara praktis. 22 Secara teori kebenaran
Orang Rimba: benor itu beik (benar itu adalah pragmatis, dapat dibuktikan dari bahwa
baik). 19 Pengetahuan tersebut terjadi karena mereka selama ini telah mampu untuk
masyarakat suku Orang Rimba merasa sadar mengurus hutan Bukit Duabelas secara benar
atas interaksinya dengan hutan Bukit dengan segala norma hukum adat dalam
19. Diolah dari hasil wawancara dengan Meratay, Depati wilayah Kedundung Muda (Bukit Duabelas), Kamis, 26 Mei
2016.
20.Abbas Hamami Mintaredja, Dasar-dasar Epistemologi, Makalah pada Internship Dosen-dosen Filsafat Ilmu
Pengetahuan se-Indonesia tanggal 21 September s.d. 5 Oktober 1997 yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, hlm.
13.
21. Ibid, hlm. 14
22.Ibid, hlm. 15.

312
Muhamad Erwin, Hak Atas Ruang Hidup Suku Orang Rimba

pengelolaannya secara arif dan dengan menempatkan lokasi-lokasi tertentu untuk


pantangan yang keras. keperluan yang sifatnya humanis seperti
Dalam kebenaran semantik, proposisi dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber
itu mempunyai nilai kebenaran bila proposisi daya di hutan Bukit Duabelas, Orang Rimba
itu memiliki arti yang menunjuk kepada ciri mengatur kedudukannya dalam bentuk
yang khas dari sesuatu yang ada.23 Melalui wilayah yang terdiri atas rimbo, tempat
teori kebenaran semantik, dapat dibuktikan beumo (beladang), kemudian yang menjadi
dari kekhasan yang terkandung pada seloka sesap, lalu menjadi belukor, setelah itu
adat suku Orang Rimba dengan cara hidup
menjadi benuaron. Selain itu, terdapat pula
berikut ini:
kawasan magis religius yang berupa tanoh
Orang Rimba tinggal di rimba, “Beatap
cikai, bedinding banner, betikar gambut, peranokan dan tanoh pasaron.
melerahkan buah petatal, minum aek di Kedua, prinsip holistik terhadap
bungkul kayu, bekebau ruso, bekambing konteks hukum adat suku Orang Rimba dalam
kijang, beayam kuaow”. Sedangkan yang hubungannya dengan Bukit Duabelas sebagai
tinggal di dusun berpola hidup: “Bepadang ruang hidupnya dapat dibuktikan dari
pinang bepadang kelapo, besunat bagaimana kearifannya pada sistem
bebersihan, mengaji dan besekoloh, beternak pembagian dari hasil berburu, di mana setiap
kambing, beritik berangso, belamun bedusun, kali mendapatkan hewan buruan yang besar,
berumah betetanggo”.24 seperti babi atau rusa, bagian kepala diberikan
Selain itu, yang juga menjadi ciri khas kepada tumenggung (wujud pengakuan),
kebenaran semantik suku Orang Rimba sementara bagian dalam seperti jantung/hati
terhadap hak atas ruang hidupnya di hutan diberikan kepada ayah mertua dari Orang
Bukit Duabelas dapat dibuktikan dengan Rimba yang berhasil mendapatkan hewan
adanya kerifan budaya untuk melindungi buruan tersebut (wujud penghormatan).
hutan larangan yang dikenal dengan istilah Sebab kedua bagian itu hanya satu dan tidak
hompongon, yakni dengan mengadakan dapat dibagi-bagi. Sisanya baru dibagi-
jajaran kebun pembatas yang dibuat bagikan rata kepada mereka yang ikut serta
memanjang di bagian luar kawasan Taman dalam berburu (wujud toleransi), dan kepada
Nasional Bukit Duabelas yang berfungsi anggota kelompok mereka secara adil (wujud
untuk melindungi kawasan dalam TNBD dari tolong menolong).26
perambahan liar. Ketiga , prinsip tanggung jawab
Selanjutnya kebenaran pengetahuan tercermin pada hukum adat suku Orang
epistemologi hukum adat suku Orang Rimba Rimba dalam hubungannya dengan
tersebut kemudian dihubungkan dengan kelestarian hutan Bukit Duabelas sebagai
prinsip-prinsip kebenaran epistemologi yang ruang hidup mereka. Keempat , prinsip
dalam hal ini terkandung pada empat prinsip kontekstualisasi, dalam hubungan antara
dalam pengembangan kebenaran hukum adat suku Orang Rimba dengan Bukit
pengetahuan, yaitu: prinsip humanitas, Duabelas sebagai ruang hidupnya dapat
prinsip holistik, prinsip tanggung jawab, dan dibuktikan dari bagaimana kearifannya pada
prinsip kontekstualisasi.25 berbagai ritual kepercayaan Orang Rimba
Prinsip humanis yang pada prinsipnya yang hanya dapat dilakukan di dalam hutan.
menekankan bahwa pengetahuan yang benar Berikut gambaran konstruksi epistemologi
terhadap konteks hukum adat suku Orang hukum adat terhadap hak atas ruang hidup
Rimba dalam hubungannya dengan Bukit suku orang rimba di Taman Nasional Bukit
Duabelas sebagai ruang hidupnya dapat Duabelas sebagaiamana di dalam Gambar 2.
dibuktikan dari bagaimana kearifannya
23. Ibid, hlm. 16
24.Hasil wawancara dengan Besemen, Mangku adat wilayah Kedundung Muda (Bukit Duabelas), Minggu, 22 Mei
2016.
25.Aholiab Watloly, 2007, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi Secara Kultural,
Yogyakarta, Kanisius, hlm. 183-227.
26.Hasil wawancara dengan Nggrip, Tumenggung wilayah Kedundung Muda (Bukit Duabelas), Selasa, 9 Februari
2016.
313
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 4, Oktober 2016

Yh b { ÇwÜ Y{ L 9 t L{ Ç9 a h [ h DL I Ü YÜ a ! 5 ! Ç Ç9 w I ! 5 ! t I ! Y ! Ç! { wÜ! b D I L5 Üt
SUK U O RANG RI MB A DI TAM AN N ASI ON AL B UK IT DUA BE LAS

ALAM Hubungan Dia nt ara Sesa ma Suku O ra ng Rimba


(Rimba Bukit Duabela s) di Rimba Bukit D ua be las

MAGISH RELIGIUS TRA DISIONA L


(T anah peranoka n, subon (te mpat bedew o), (Adat l amo, pesa ko urang)
tengge low (te mpat gaib), pasahon (makam)

F ILSAFA T HIDUP/ KEBIJAKSA NAAN HID UP


Ma y be jingok nga n l embago, ma y be tumang ngan adat, sengga n se lutut SUMBER
arungan darah, senggan pinggang labuhan ba ngkai, idup mat i, adat pe sako PENGETAHUA N
Hukum Adat O ra ng Rimba
terhadap Hak at as Ruang
Hidupnya di Rimba Bukit
JIW A HUKU M :
Duabela s
Me mandang Ri mba Bukit D ua be las se ba gai “P ESAK O”

HUKUM AD AT :
S ebagai pedoman ta ta kel akua n t entang bagaima na be rsi ka p t inda k
te rha da p rimba Bukit Duabel as

Me nghad irkan:

KEBEN AR AN MA GISH REL IGIU S :


A da rimbo, ado bungo . A do bungo , ado dew o . Hopi ado rimbo, hopi ado bungo . H opi ado bungo , hopi ado dew o

KEBEN AR AN KOMU NA L:
H alom rimbo mia, ma tempat ber anak pinak , beradat bepesako

KEBEN AR AN KON KRIT :


K alu Bukit D uabelay idak pas at dimato , idak gentoh ditelingo , hukum adat O rang Rimba dak belaku

KEBEN AR AN KON TAN : KEBENA RAN


U ntuk menjaga Bukit Duabelas , maka “A dat tiado boleh kupak , memakai tiado boleh s umbing P ENGETAHUA N
KEBEN AR AN S EMAN TIK (KHA S) :
S uku O rang Rimba hidup di Bukit D uabelas dengan “beatap cikai , bedinding banner , betikar gambut,
melerahkan buah petatai , minum aek di bungkul kayu , bekebau ruso , bekambing kijang , beayam kuaow”

KEBEN AR AN KOR ESPOND ENS I (FA KT A) : Me lahir kan


P ohon buah -buahan peninggalan leluhur suku Orang R imba masih dinikmati bersama sampai dengan s ekarang KES ADAR AN
da lam:
KEBEN AR AN KOHER ENS I (SE JAR AH) :
Leluhur suku Or ang Rimba telah lampau berada di Bukit D uabelas
KEBEN AR AN PR AGMA TIS :
S uku O rang Rimba telah mampu untuk mengur us hutan Bukit Duabelas secara benar dengan norma hukum adatnya

PRI NSI P HUMA NI S :


Kear ifan Hukum Adat S uku O rang Rimba dalam
menempatkan lokas i -lokas i ter tentu untuk keper luan yang
sifatnya humanis

PRIN SI P HOLISTI K :
KESA DARA N ATAS K earifan H ukum A dat Suku Orang R imba dalam sistem
P ENGETAHUAN perbur uan (r elasional untuk s aling merangkul )
H ukum Adat Orang Rimba
t erha da p H ak ata s Rua ng PRI NS IP TA NGGU NG JA WA B :
Hi dupnya di Ri mba Bukit Kearifan H ukum A dat Suku O rang Rimba dalam hubungannya dengan keles tarian Bukit Duabelas
Duabela s melalui pertanggungjawaban atas penebangan pohon sialang , pohon sengiris , pohon setubung .

PR IN SIP KON TEKSTU ALI SA SI (Pros es Im ajinasi Kreatif ) :


Kear ifan Hukum Adat S uku O rang Rimba pada ber bagai kegiatan ritual
yang harus diselenggarakan di bagian hutan Bukit D uabelas yang lebat .

Gambar 2. Konstruksi Epistemologi Hukum Adat Terhadap Hak Atas Ruang Hidup Suku Orang
Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas

4. Konstruksi Aksiologi Hukum Adat berbungannya buah-buahan dan syukuran


terhadap Hak atas Ruang Hidup telah masaknya buah-buahan di hutan Bukit
S u k u O r a n g R i m b a d i Ta m a n Duabelas.
Nasional Bukit Duabelas Berangkat dari paradigma aksiologi
Dalam konstruksi aksiologi hukum adat hukum adat suku Orang Rimba dalam
suku Orang Rimba dalam memandang ruang hubungannya dengan hak atas ruang
hidup hutan Bukit Duabelas terletak pada hidupnya di hutan Bukit Duabelas pada nilai
fungsi-fungsi tertentu (nilai kegunaan) untuk fungsi sakral yang sedemikian, kemudian
mencapai nilai sebagai tujuan. P ola telah menghadirkan nilai keberhargaan
pemanfaatan yang dimaksud pada ruang sebagai tujuan dalam wujud “nilai
hidup suku Orang Rimba di hutan Bukit ketuhanan”. Nilai ketuhanan dalam hukum
Duabelas tersebut, terdapat pada ruang hidup adat suku Orang Rimba telah memberikan
dalam fungsi sakral, fungsi sosial, dan fungsi kesadaran dan sekaligus mendasari dan
pribadi. Keberhargaan alam hutan Bukit mewarnai hak atas ruang hidupnya dalam
Duabelas sebagai ruang hidup suku Orang hubungan antara sesama mereka sendiri,
Rimba pada konstruksi berpikir nilai Orang Rimba dengan Bukit Duabelas, dan
kegunaan aksiologi hukum adat suku Orang Orang Rimba dengan Tuhan ( Bahelo ).
Rimba dalam fungsi sakral dikenal sebagai Artinya, bagi masyarakat suku Orang Rimba
ruang untuk bedewo. Upacara bedewo pada hubungan-hubungan ini menjadi prioritas
dasarnya adalah memanggil dewa, ziarah dalam seluruh sikap tindak hidupnya dan hak
memanjatkan doa, syukuran awal mulai atas ruang hidupnya di hutan Bukit Duabelas.

314
Muhamad Erwin, Hak Atas Ruang Hidup Suku Orang Rimba

Dengan kelestarian Bukit Duabelas, berarti Duabelas”, yang dengan sendirinya dapat
memelihara kerukunan hidup dengan sesama memunculkan sikap menjaga keselarasan,
Orang Rimba, dan menjunjung tinggi Tuhan keserasian, keharmonisan hubungan tersebut.
sebagai yang pencipta Orang Rimba dan Adapun konstruksi berpikir dari hukum adat
Bukit Duabelas. suku Orang Rimba di Taman Nasional Bukit
Cara pandang aksiologi hukum adat Duabelas terhadap nilai keadilan
suku Orang Rimba terhadap alam (halom) diterjemahkan dalam cara pandang
hutan Bukit Duabelas yang berada pada sebagaimana seloka adat suku Orang Rimba
fungsi sosial yaitu sebagai ruang hidup untuk berikut ini: 27
keperluan bersama, terutama untuk upacara- Ular dipalu jangan mati;pemalu jangan
upacara adat seperti perkawinan, pemberian patah;tanah dipalu jangan lemban;narik
nama untuk anak yang baru lahir, adanya rambut dalam tepung;tepung jangan
anggota masyarakat suku Orang Rimba yang tebayak;rambut jangan putuy;dijual jangan
sakit parah, ataupun dalam upacara tolak jauh; dibunuh jangan mati.
balak. Selain itu, yang termasuk pula dalam Pelaksanaan hukum yang sedemikian, maka
keberadaan hutan Bukit Duabelas sebagai hukum akan menjadi paksaan sosial yang
ruang hidup yang mengandung fungsi sosial efektif dan dapat pula membantu untuk
bagi suku Orang Rimba juga terdapat pada menjamin kekuatan ikatan hukum itu sendiri.
peranannya sebagai ruang tempat bepekat Keadilan di antara anggota masyarakat
berunding (bermusyawarah). Melalui cara suku Orang Rimba merupakan obsesi dari
pandang terhadap keberadaan hutan Bukit seluruh masyarakat suku Orang Rimba. Cita
Duabelas sebagai ruang hidup suku Orang keadilan senatiasa ditekankan untuk nilai
Rimba dalam konstruksi aksiologi hukum kerukunan, sebab dengan begitu suasana
adatnya pada fungsi sosial telah menyadarkan kebersamaan, kehangatan dalam komunitas
bahwa nilai utama yang hendak dituju berada dapat dipertahankan, sehingga nilai rukun itu
pada nilai kebersamaan, nilai kerukunan, dan benar-benar dapat menyanggah keselarasan.
nilai keadilan. Sementara, pada keberhargaan Bukit
Secara umum, masyarakat suku Orang Duabelas sebagai ruang hidup suku Orang
Rimba memahami nilai kerukunan sebagai Rimba dalam fungsi pribadi pada konstruksi
suatu bentuk situasi yang dalam keadaan aksiologi hukum adat suku Orang Rimba
selaras, tenang, tentram, tanpa perselisihan dimaksudkan pada kegunaan hutan Bukit
dan pertentangan. Lebih sederhananya lagi, Duabelas sebagai tempat rumah (ghumah)
nilai kerukunan diterjemahkan oleh dan ladang (umo) suku Orang Rimba.
masyarakat suku Orang Rimba sebagai upaya Hubungan antara penghormatan
pencegahan konflik diantara mereka. Artinya, terhadap ruang hidup pada ghumah ini dengan
rukun harus dipahami bukan sebagai sikap hukum adat suku orang Rimba di Bukit
batin, melainkan merupakan penjagaan Duabelas berlaku seloka adat berikut:28
keselarasan dalam pergaulan di antara Ghumah kito bagi beradat; Tepian kito
masyarakat suku Orang Rimba. Oleh karena bagi bebaso.Terjemahannya: Berkunjung ke
itulah, perumusan norma hukum seloka- rumah Orang Rimba di Bukit Duabelas harus
seloka adat adat masyarakat suku Orang memiliki pengertian dengan aturan
Rimba tersebut senatiasa dirumuskan dengan rumah/hutan Bukit Duabelas.
menggunakan bahasa yang halus agar supaya Apabila norma seloka adat tersebut dilanggar,
keselarasan hidup di antara sesama Orang maka akan berlaku denda sejumlah 60 lembar
Rimba dan di antara Orang Rimba dengan kain dan bahkan 120 lembar kain jika
Bukit Duabelas dapat terjaga. pelanggaran itu dilakukan di rumah
Cara pandang aksiologi hukum adat tumenggung.
tersebut, pada dasarnya begitu mencerminkan Fungsi ruang yang bersifat pribadi juga
adanya perumusan norma secara kausalitas terdapat pada ladang ( umo ). Dalam
relasi antara “Orang Rimba”-“Bukit hubungannya dengan ladang dalam fungsi
27. Hasil wawancara dengan Besemen, Mangku adat wilayah Kedundung Muda (Bukit Duabelas), Senin, 25
28. Februari 2016.
Hasil wawancara dengan Besemen, Mangku adat wilayah Kedundung Muda (Bukit Duabelas), 22 Mei 2016.
315
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 4, Oktober 2016

ruang pribadi menurut keyakinan Orang C. Simpulan


Rimba pada dasarnya tidak dapat dilepaskan Hakikat hak atas ruang hidup suku
dengan keberadaan hutan Bukit Duabelas Orang Rimba di hutan Bukit Duabelas pada
sebagai tanah adat (hak ulayat) atau milik dasarnya terletak di antara (sintesis)
bersama. Oleh karena itu, dalam pemahaman pemahaman terhadap substansi di satu pihak
suku Orang Rimba di Bukit Duabelas , dengan pemahaman terhadap sifat khas
perladangan dalam fungsi pribadi yaitu dalam (aksidensi) pola hubungan di pihak lain.
fungsi yang tersembunyi yang maknanya Pemahaman tersebut didukung dengan cara
bukanlah atau tidak berperan sebagai pemilik pandang suku Orang Rimba terhadap hutan
lahan, akan tetapi hanya bertindak sebagai Bukit Duabelas yang tidak hanya dipandang
penggarap. Penggarapan lahan yang sebagai materi yang menjadi bahan dasar
dimaksud mulai dari mencari lokasi, terbentuknya kosmos, namun juga dipandang
membuka lahan, mengerjakan lahan, 'ada' yang memungkinkannya menjadi
menanam tanaman (umbi-umbian, jagung, sebagaimana adanya.
karet, dan sebagainya), memelihara, sampai Sumber pengetahuan hukum adat suku
memungut hasilnya, sampai diwariskan. Sifat Orang Rimba terhadap hak atas ruang
pemilikan dalam fungsi pribadi pada hidupnya di Bukit Duabelas adalah berangkat
perladangan bukan pada lahannya, melainkan dari penghayatan terhadap alam nilai
tanamannya (khususnya tanaman keras). hidupnya bersama 'halom rimbo' (hutan Bukit
Setiap anggota keluarga, laki-laki maupun Duabelas) yang menjadi ruang hidupnya
perempuan, ikut berperan serta dalam secara tradisional. Sementara dalam
mengelola ladangnya. konstruksi berpikir epistemologi “kebenaran
5. Dari gambaran tentang bagaimana pengetahuan” hukum adat suku Orang Rimba
hubungan antara suku Orang Rimba dengan terhadap hak atas ruang hidupnya di Bukit
hutan Bukit Duabelas sebagai ruang hidupnya Duabelas, di mana menurut Orang Rimba:
dalam nilai sebagai fungsi pribadi tersebut, benor itu beik (benar itu adalah baik).
pada akhirnya kemudian menghadirkan nilai Pengetahuan tersebut terjadi karena
sebagai tujuan yang hendak dituju dalam masyarakat suku Orang Rimba merasa sadar
bentuk nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan atas interaksinya dengan hutan Bukit
pada konstruksi berpikir aksiologi hukum Duabelas sebagai ruang hidupnya melalui
adat suku Orang Rimba dalam memandang prinsip humanis, holistik, tanggung jawab
hubungan antara keberadaan Orang Rimba dan kontekstualisasi.
dengan Bukit Duabelas sebagai ruang Dari segenap gambaran konstruksi
hidupnya pada dasarnya begitu dihubungkan aksiologi hukum adat suku Orang Rimba,
dengan etika dan moral. Berikut gambaran baik dalam konteks nilai sebagai fungsi
konstruksi aksiologi hukum adat terhadap hak maupun nilai sebagai tujuan dalam
atas ruang hidup suku orang rimba di taman memandang bagaimana hubungan antara
nasional bukit duabelas sebagaimana di suku Orang Rimba dengan hak atas ruang
dalam Gambar 3. hidupnya di hutan Bukit Duabelas tersebut,
K O N ST R U K S I A K SIO L O G I H U K U M A D A T T E R H A D A P H A K A T A S R U A N G H ID U P
SU K U O R A N G R IM B A D I BU K IT D U A B E L A S maka dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya di antara kedudukan nilai sebagai
B U K IT D U A B E L A S kegunaan dan nilai sebagai tujuan dari
C ĵ ■┼ℓ╜
S a k ra l
U n tuk
k e p e rl u a n
iba d a h :
“ B e d e w o”
N ilai
K e tuh a na n
kearifan hukum adat suku Orang Rimba di
Taman Nasional Bukit Duabelas tersebut
U n tu k k e p e rl u a n
N ilai
se b a g a i
F un gs i
F u ngs i
S os ia l
b e r sa m a :
- B e ba la i
- B e rb u ru
N i la i K e ru k u n a n
N i la i K e b e r sa m a a n
N il a i
s e ba g a i
T uju a n
pada dasarnya memiliki keterkaitan antara
- M e ra m u N i la i K e a d i l a n
- B e la n g u n
- B e p e k a t B e ru n d i n g
- dll
satu nilai dengan nilai lainnya.
F un gs i
P ri b a d i
U n t u k k e p e rlu a n
R u m a h T a ngg a :
B e r te m p a t t i n g g a l
N ilai
K e m a nus ia a n
Daftar Pustaka
(g h u m a h ) d a n
b e rl a d a n g (u m o )

S U K U O R A N G R IM B A
Bzn Ter Haar, 2011, Asas-asas dan Tatanan
Hukum Adat, Bandung, CV Mandar
Gambar 3. Konstruksi Aksiologi Hukum Adat terhadap Hak atas Ruang Maju.
HidupSuku Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas Erwin Muhamad, 2016, Filsafat Hukum:
316
Muhamad Erwin, Hak Atas Ruang Hidup Suku Orang Rimba

Refleksi Kritis Terhadap Hukum dan


Hukum Indonesia (Dalam Dimensi Ide
dan Aplikasi), Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada.
Hamami Mintaredja Abbas, Dasar-dasar
Epistemologi, Makalah pada Internship
Dosen-dosen Filsafat Ilmu
Pengetahuan se-Indonesia tanggal 21
September s.d. 5 Oktober 1997 yang
diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada bekerja sama
dengan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Rahardjo Satjipto, 2009, Hukum Progresif:
Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,
Yogyakarta, Genta Publishing.
Rato Dominikus, 2015, Hukum Adat
Kontemporer, Surabaya, LaksBang
Justitia.
Santoso M. Agus, 2012, Hukum, Moral, &
Keadilan: Sebuah Kajian Filsafat,
Jakarta, Kencana Prenada Media
Group.
Salman Soemadiningrat Otje, 2011,
Rekonseptualisasi Hukum Adat
Kontemporer, Bandung, PT Alumni.
Sudaryatmi Sri, “Peranan Hukum Adat dalam
Pembangunan Hukum Nasional di Era
Globalisasi”, Jurnal Masalah-Masalah
Hukum, Vol. 41, No. 4, Oktober 2012.
Udayati Agni, dkk., 2013, Mohammad
Koesnoe Dalam Pengembaraan
Gagasan Hukum Indonesia, Jakarta,
Epistema Institute dan HUMA.
Watloly Aholiab, 2007, Tanggung Jawab
Pengetahuan: Mempertimbangkan
Epistemologi Secara Kultural,
Yogyakarta, Kanisius.
Wignjosoebroto Soetandyo, 2007, Hukum
Dalam Masyarakat (Perkembangan
dan Masalah), Sebuah Pengantar Ke
Arah Kajian Sosiologi Hukum, Malang,
Bayu Media.
Yuli Sulistyawan Aditya, “Mempersoalkan
Objektivitas Hukum: Suatu
Perbincangan Filsafat Hukum”, Jurnal
Masalah-Masalah Hukum, Vol. 41, No.
4, Oktober 2012.
International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights

317

Anda mungkin juga menyukai