Anda di halaman 1dari 18

Diabets Mellitus Tipe 2 pada Manusia

Yuliana Casandra herera prima jawa

102014104

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

I. Pendahuluan

Diabetes mellitus (DM) mengacu pada sekelompok dari gangguan metabolik umum
yang berbagi fenotipe dengan hiperglikemia. Beberapa tipe DM yang berbeda disebabkan oleh
sebuah interaakssi kompleks dari faktor genetik dan lingkungan. Tergantung dari etiologi DM,
faktor faktor yang menkontribusi kepada giperglikemia termasuk menurunnya sekresi insulin,
berkurangnya pemanfaatan glukosa, dan meningkatnya produksi glukosa. Disregulasi
metabolik yang diasosiasikan dengan DM menyebabkan perubahan patofisiologik sekunder
pada banyak sistem organ yang memaksakan beban berat pada individu dengan diabetes dan
sedang menjalankan perawatan kesehatan.

Di Amerika Serikat, DM adalah penyebab utama dari end-stage renal disease (ESRD),
amputasi ekstremitas bawah nontraumatik, dan kebutaan dewasa. DM juga menjadi faktor
predisposisi terhadap penyakit kardiovaskuler. Dengan peningkatan insidens di seluruh dunia,
DM akan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di masa akan mendatang.1

II. Pembahasan

Anamnesis

Diabetes mellitus merupakan suatu keadaan dimana kadar glukosa di dalam darah
tinggi. Ada beberapa gejala klinis yang dapat timbul pada penderita diabetes yang
membawanya memeriksakan diri kepada dokter. Oleh karena itulah, perlu ditanyakan beberapa
pertanyaan berikut pada anamnesis yang dapat mengarahkan diagnosis kepada diabetes
mellitus, yaitu :
1. Identitas pasien
2. Keluhan yang dialami pasien :
a. Gejala polidipsi, polifagia, dan poliuria
b. Penurunan berat badan
c. Rasa baal pada ekstremitas
d. Luka yang lama masa penyembuhannya
e. Terjadi disfungsi ereksi pada pria / keputihan pada wanita
f. Lemas
g. Gangguan penglihatan
h. Hipertensi
i. Napas cepat dan dalam, takikardia, dehidrasi
3. Riwayat penyakit dahulu :
a. Riwayat terdiagnosa sebagai penderita diabetes
b. Riwayat pernah dirawat inap di rumah sakit dan sebabnya
c. Riwayat pemeriksaan glukosa darah, HbA1C, glukosa urin
d. Riwayat penyakit vascular perifer, neuropati perifer, penyakit jantung,
retinopati
4. Riwayat penyakit keluarga dan pengobatan :
a. Riwayat diabetes mellitus di dalam keluarga
b. Pernah menjalani / sedang menjalani terapi untuk diabetes
c. Alergi terhadap obat tertentu
5. Riwayat sosial :
a. Pola makan dan olahraga sehari-hari
b. Kebiasaan merokok dan konsumsi minuman beralkohol

Hal-hal diatas jika ditanyakan dengan benar dapat mengarahkan kepada diagnosis
diabetes beserta dengan beberapa komplikasinya.2

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum adalah yang paling pertama kita perhatikan dalam melakukan
pemeriksaan fisik. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital, yaitu tekanan
darah, suhu tubuh, frekuensi nadi, dan frekuensi pernapasan. Inspeksi didahului pada daerah
tungkai bawah yaitu melihat apakah terdapat luka ataupun ulkus, lalu dilanjutkan inspeksi
keseluruhan bagian tubuh untuk melihat adakah tanda-tanda dehidrasi akibat hiperglikemia.
Perhatikan juga apakah terdapat tanda takipnea atau pernapasan Kussmaul. Selain itu
pemeriksaan juga dilakukan pada mata yaitu pemeriksaan ketajaman penglihatan dan respons
pupil mata. Pada pemeriksaan fisik di bagian tungkai bawah juga penting untuk mendeteksi
apakah terdapat neuropati dengan tes raba halus menggunakan monofilament dan tes refleks
fisiologis. Palpasi juga dapat dilakukan untuk meraba adanya pulsasi terutama pada tungkai
bagian bawah.2

Dari pemeriksaan fisik, hasil yang didapat adalah:

 Keadaan umum : Baik


 Tekanan darah : 120/80
 Denyut nadi : 88x/menit
 Frekuensi Napas : 16x/menit
 Indeks Massa Tubuh : 22,5
 Lipatan leher dan ketiak : Hiperpigmentasi

Pemeriksaan Penunjang

Kegunaan dari pemeriksaan penunjang adalah untuk keakuratan diagnosis suatu


penyakit. Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk kasus ini adalah.

 Glukosa Darah

Nilai normal glukosa darah puasa bervariasi antara 60 hingga 110 mg/dL (3,3-6,1
mmol/L). Kadar plasma atau serum adalah 10-15% lebih tinggi karena komponen-komponen
struktural sel darah dihilangkan, sehingga akan lebih banyak glukosa perunit volume. Jadi, nilai
normal glukosa plasma atau serum puasa adalah 70-120 mg/dL (3,9-6,7 mmol/L). Penentuan
kadar glukosa darah penuh dilakukan di tempat untuk menguji glukosa pada keadaan-keadaan
darurat dan juga pada prosedur pemantauan sendiri glukosa kapiler. Suatu teknik yang telah
diterima luas dalam penatalaksanaan diabetes melitus.3

Uji Toleransi Glukosa Oral:

Tes ini digunakan untuk mendiagnostik DM awal secara pasti, namun tes ini tidak
dibutuhkan untuk penapisan dan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan manifestasi
klinik DM dan hiperglikemia.3
Pemeriksaan HbA1C

HbA1C merupakan hemoglobin terglikosilasi dan dikenal juga sebagai gliko-


hemoglobin yang terbentuk secara perlahan melalui reaksi non-enzimatik dari hemoglobin dan
glukosa. Reaksi non-enzimatik ini berlangsung terus-menerus sepanjang umur eritrosit
sehingga eritrosit tua mengandung A1C lebih banyak daripada eritrosit muda. Proses
glikosilasi non-enzimatik ini dipengaruhi oleh kadar glukosa di dalam darah. Berdasarkan
waktu paruhnya yaitu sekita setengah dari usia eritrosit maka pemeriksaan kadar A1C
digunakan untuk memantau keadaan glikemik untuk kurun waktu 2-3 bulan yang lalu. Nilai
normal kadar A1C adalah 5-8% dari kadar Hb total. Pemeriksaan A1C digunakan untuk
menilai efek pengobatan 8-12 minggu sebelumnya tetapi tidak dapat dipakai untuk menilai
hasil pengobatan jangka pedek. Pemeriksaan ini dianjurkan sedikitnya dilakukan 2 kali dalam
setahun.4

 Kadar Insulin

Untuk mengukur kadar insulin saat melakukan uji toleransi glukosa, maka serum atau
plasma perlu dipisahkan dalam waktu 30 menit sesudah pengambilam spesimen sebelum
diassay. Kadar insulin imunoreaktif normal berkisar antara 5 - 20µU/mL dalam keadaan puasa,
dan mencapai 50 – 130 µU/mL sesudah satu jam, dan biasanya turun kembali dibawah
30µU/mL sesudah 2 jam. Kadar insulin selama TTGO jarang memiliki manfaat klinis karena
alasan-alasan berikut ini : bila kadar glukosa puasa melampaui 120 mg.dL, hiperinsulinemia
dapat timbul secara terlamabat sebagai akibat resistensi insulin pada penderita DM II; akan
tetapi juga dapat terjadi pada bentuk ringan ataupun fase-fase awal dari DM I dimana pelepasan
insulin dini yang lambat dapat menyebabkan hiperglikemia tertunda yang dapat merangsang
pelepasan insulin berlebihan setelah 2 jam.3

Homeostasis Model of Assessment - Insulin Resistance (HOMA-IR):

Merupakan parameter untuk mengukur kualitas / mutu insulin. Jika Homa IR dibawah
nilai normal, berarti kualitas insulin bagus, maka otomatis HbA1C turun sehingga Gula darah
2 jam PP pasti TURUN. Artinya Homa IR dikatakan baik jika hasilnya < Nilai normal (2,77)

• International Formula: fasting glucose (mmol/L) x fasting insulin (mU/L) / 22.5


• US Formula: fasting glucose (mg/dL) x fasting insulin (µU/mL) / 405
Tabel 1. Diagnosis DM Tipe 2 (ADA, 2011)

State Glukosa Darah Puasa TTGO HbA1C


(GDP)
Normal < 100mg/dL < 140mg/dL < 5.7 %
Pre- 100-125mg/dL 140-199mg/dL 5.7 – 6.4%
diabetes
Diabetes ≥ 126mg/dL ≥ 200mg/dL >6.5%

Selain berdasarkan kriteria dari ADA, DM bisa dilihat dari hasil glukosa darah sewaktu
(GDS) dan glukosa darah puasa (GDP). Kriteria DM tipe 2 ini bisa ditegakan berdasarkan:3

- Gejala klasik DM + GDS ≥ 200mg/dL (cukup u/ menegakan WD)


- Gejala klasik DM + GDP ≥ 126mg/dL (mudah dilakukan)
- TTGO ≥ 200mg/dL (TTGO dilakukan jika gejala klasik tidak terlihat)

Berdasarkan skenario didapatkan hasil pasien sebagai berikut:

 GDS = 252mg/dL
 HbA1C = 10%

Gejala Klinis

PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) membagi diagnosis DM menjadi 2


bagian besar berdasarkan ada dan tidaknya tanda / gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari
:

1. Poliuria
2. Polidipsia
3. Polifagia
4. berat badan yang menurun tanpa sebab yang jelas

Sedangkan gejala yang tidak khas DM adalah lemas, kesemutan, luka yang sulit
sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulva pada wanita.5

Working Diagnosis

Diabetes Mellitus Tipe 2


Resistrensi insulin dan sekresi insulin abnormal adalah pusat dari perkembangan DM
tipe 2. Walaupun kelainan utamanya masih kontroversial, kebanyakan studi mendukung
pandangan bahwa resistensi insulin mendahului kecacatan sekresi insulin tetapi diabetes hanya
berkembang jika sekresi insulin tidak memadai. DM tipe 2 mungkin mencakup sekelompok
kelainan dengan fenotipe mirip dengan hiperglikemia. DM tipe 2 dicirikan dengan kelainan
insulin sekresi, resistensi insulin, produksi glukosa oleh hati yang berlebihan dan kelainan
metabolisme lemak.1

Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,


disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah. Apabila terdapat gejala khas DM dengan pemeriksaan glukosa darah yang
abnormal 1 kali sudah cukup untuk diagnosis diabetes mellitus. Sedangkan jika tidak
ditemukan gejala khas diabetes maka diperlukan lebih dari 1 kali pemeriksaan glukosa darah
yang abnormal hasilnya. Diagnosis terhadap DM dapat ditegakkan dengan kriteria berikut :6,7

1. Gejala khas DM + glukosa darah sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
2. Gejala khas DM + glukosa darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
3. Glukosa plasma 2 jam setelah makan dengan TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)

Differential Diagnosis

Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependent insulin;
namun kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens diabetes tipe 1 sebanyak
30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua subtipe: (a) autoimun, akibat
disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya
autoimun dan tidak diketahui sumbernya. Penderita diabetes mellitus tipe I (diabetes yang
tergantung kepada insulin) menghasilkan sedikit insulin atau sama sekali tidak menghasilkan
insulin. Sebagian besar diabetes mellitus tipe I terjadi sebelum usia 30 tahun. Para ilmuwan
percaya bahwa faktor lingkungan (mungkin berupa infeksi virus atau faktor gizi pada masa
kanak-kanak atau dewasa awal) menyebabkan sistem kekebalan menghancurkan sel penghasil
insulin di pankreas. Untuk terjadinya hal ini diperlukan kecenderungan genetik. Pada
diabetes tipe I, 90% sel penghasil insulin (sel beta) mengalami kerusakan permanen. Terjadi
kekurangan insulin yang berat dan penderita harus mendapatkan suntikan insulin secara teratur.
Biasanya orang yang mengalami DM tipe ini di haruskan menggunakan insulin ( Injeksi
pastinya) sebagai pengobatannya, penggunaan insulin ini, agar jumlah gula yang menumpuk
tadi, jadi berkurang akibat penambahan insulin ini.1

Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY)

MODY merupakan defek primer pada fungsi sel ß yang mengenai transkripsi insulin
atau massa sel ß. MODY ditandai dengan pewarisan autosomal dominan sebagai defek
monogenic dengan penetransi yang tinggi. Onset yang dini biasanya sebelum usia 25 tahun
sehingga berbeda dengan onset sesudah usia 40 tahun pada sebagian besar pasien diabetes
mellitus tipe 2.

Beberapa bentuk Mody menghasilkan hiperglikemia signifikan dan tanda-tanda dan


gejala khas diabetes: meningkatnya rasa haus dan buang air kecil (polidipsia dan poliuria).
Sebaliknya, banyak orang dengan Mody tidak memiliki tanda-tanda atau gejala dan didiagnosis
secara tidak sengaja, ketika glukosa yang tinggi ditemukan selama pengujian karena penyebab
lain, atau pemeriksaan penyaring yang positif pada kerabat dari orang yang ditemukan
memiliki diabetes. Penemuan hiperglikemia ringan selama tes toleransi glukosa rutin untuk
kehamilan juga menjadi sangat khas. Di bawah ini merupakan pembagian tipe-tipe MODY,
yaitu :

- MODY 1
o Pada kromosom 20, HNF4-alfa
o Produksi insulin menurun
o Insulin / Sulfonil urea
- MODY 2
o Pada kromosom 7, glukokinase
o Hiperglikemia puasa ringan sepanjang hidup (peningkatan sedikit kadar
glukosa)
o Olahraga dan pengaturan diet
- MODY 3
o Kromosom 12, HNF1-alfa
o Ambang ginjal rendah terhadap glukosa
o Sulfonil urea
- MODY 4
o Kromosom 13, IPF-1
o Terkait dengan agenesis pancreas
o Insulin
- MODY 5
o Kromosom 17, HNF1-beta
o Atrofi pankreas dan beberapa bentuk penyakit ginjal
o Insulin / sulfonil urea
- MODY 6
o Kromosom 2, Neuro D1-beta 2
o Mutasi dari gen untuk faktor transkripsi disebut sebagai neurogenik diferensiasi
1
o Insulin
- MODY 7-11
o KLF 11, CEL, PAX4, INS, BLK (B-lymphocyte tyrosine kinase)
o Mutasi faktor transkripsi, insufisiensi eksokrin pancreas & DM, mutasi faktor
transkripsi, neonatal diabetes, pancreatic islet cells

Karakteristik seseorang dapat didiagnosis menderita MODY adalah hiperglikemia


ringan-sedang (130-250 mg / dL) ditemukan sebelum usia 30 tahun, riwayat keluarga
menderita MODY, tidak ada riwayat menderita penyakit autoimun pada pasien maupun
keluarga, tidak adanya obesitas atau masalah lain yang terkait dengan diabetes tipe 2 atau
sindrom metabolik (misalnya, hipertensi, hiperlipidemia, sindrom ovarium polikistik), riwayat
penyakit ginjal kistik pada kerabat pasien atau pasien sendiri, diabetes neonatal non-transien /
jelas diabetes tipe 1 dengan onset sebelum usia enam bulan, riwayat adenoma hati atau
hepatocellular carcinoma pada Mody tipe 3. Diagnosis Mody dikonfirmasi dengan tes gen
tertentu yang tersedia melalui laboratorium komersial.7

Diabetes Autoimun Laten pada Dewasa (LADA)

Latent Autoimmune Diabetes of Adults (LADA) adalah sebuah konsep yang


diperkenalkan pada tahun 1993 untuk menggambarkan slow-onset autoimun DM tipe 1 pada
dewasa. Biasanya individu dewasa yang menderita LADA sering salah didiagnosa menderita
DM tipe 2 karena mungkin pengaruh dari umur tetapi bukan etiologi. Pasien dengan LADA
memiliki gejala lebih sedikit dibanding DM tipe 2. Ciri khas lainnya adalah pada pasien LADA
ada kesulitan untuk mengontrol kadar glukosa darah menggunakan obat standar hipoglikemi
oral.
Pasien LADA memiliki marker autoimmun dalam darahnya seperti marker pada DM
tipe 1 tetapi bisanya pada awal diagnosis, pasien LADA tidak membutuhkan terapi insulin –
bukan insulin dependen. Tetapi ketika kelainan metaboliknya terus berlanjut, maka pasien
dengan LADA akan membutuhkan terapi insulin (insulin dependen) seperti pada DM tipe 1.
Gejala ketoasidosis juga mulai timbul pada keadaan lanjut pasien dengan LADA yang tidak
terkontrol.

Berdasarkan The UK Prospective Diabetes Study menemukan bahwa antibodi spesifik


LADA dapat ditemukan pada 6% - 10% pasien yang didiagnosis menderita DM tipe 2.
Diagnosis LADA ditegakkan ketika ditemukan peningkatan kadar marker autoantibodi dalam
darah pasien seperti pada DM tipe 1.

Karakteristik LADA yang mungkin dapat digunakan pada diferensial diagnosis :

 Onset biasanya umur 25 tahun atau lebih tua.


 Bergejala awal seperti DM tipe 2 pada orang yang bukan obese. (pasien LADA
biasanya memiliki berat badan yang ideal.
 Sering tetapi tidak selalu, pasien LADA jarang memiliki riwayat DM tipe 2 dalam
keluarganya.
 Individu dengan LADA kelihatannya seperti resisten insulin.
 HLA gen berhubungan dengan DM tipe 1 bukan DM tipe 2.
 Biasanya sekitar 12 tahun setelah salah didiagnosa sebagai DM tipe 2, pasien LADA
akan dependen insulin.7

Epidemiologi

Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di seluruh dunia
menderita Diabetes Mellitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi. Insidensnya terus meningkat
dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan bertambah menjadi 366 juta
atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM terdapat di seluruh dunia, namun lebih sering
(terutama tipe 2) terjadi di negara berkembang. Peningkatan prevalens terbesar terjadi di Asia
dan Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup, seperti pola makan
“Western-style” yang tidak sehat. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari 24417 responden berusia >15 tahun, 10,2% mengalami
Toleransi Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa selama 14 jam dan
diberi glukosa oral 75 gram). Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus yang terdiagnosis
dan 4,2% mengalami Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM maupun TGT lebih
banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada golongan dengan
tingkat pendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita DM paling tinggi
yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %, sedangkan kelompok usia penderita
DM terbanyak adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%. Beberapa hal yang dihubungkan dengan risiko
terkena DM adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan konsumsi sayur-
buah kurang dari 5 porsi perhari.

Etiologi

Diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis yang lebih sering terjadi, tetapi jauh lebih
sedikit yang telah dipahami karena bersifat multifaktorial. Defek metabolik karena gangguan
sekresi insulin atau karena resistensi insulin di jaringan perifer. Agaknya, diabetes melitus tipe
2 terjadi ketika gaya hidup diabetogenik (yaitu, asupan kalori berlebihan, pengeluaran tidak
memadai obesitas, kalori) yang ditumpangkan di atas genotipe rentan. Indeks massa tubuh di
mana berat badan berlebih meningkatkan risiko untuk diabetes bervariasi dengan kelompok-
kelompok ras yang berbeda. Sekitar 90% pasien yang mengidap diabetes mellitus tipe 2 adalah
obesitas.8

Faktor risiko utama untuk diabetes mellitus tipe 2 adalah sebagai berikut:
 Umur lebih dari 45 tahun (meskipun, seperti disebutkan di atas, diabetes mellitus tipe
2 terjadi dengan frekuensi yang meningkat pada orang muda)
 Bobot yang lebih besar dari 120% dari berat badan yang diinginkan
 Riwayat keluarga diabetes tipe 2 pada seorang saudara tingkat pertama (misalnya,
orang tua atau saudara)
 Sejarah toleransi glukosa terganggu sebelumnya (IGT) atau glukosa puasa terganggu
(IFG)
 Hipertensi (> 140/90 mm Hg) atau dislipidemia (high-density lipoprotein [HDL]
tingkat kolesterol <40 mg / dL atau tingkat trigliserid> 150 mg / dL)
 Sejarah diabetes mellitus gestasional atau melahirkan bayi dengan berat lahir ≥ 4000
gram
 Sindrom ovarium polikistik (yang mengakibatkan resistensi insulin)

Patofisiologi
Diabetes mellitus tipe 2 tampaknya terjadi karena sekumpulan cacat genetic yang
masing-masing menimbulkan risiko predisposisinya sendiri dan dimodifikasi oleh faktor-
faktor lingkungan. Berbeda dengan tipe 1, pada diabetes tipe 2 tidak ada bukti yang
menunjukkan dasar autoimun. Dua defek metabolic utama yang menandai diabetes tipe 2
adalah resistensi inslin dan disfungsi sel ß.

Resistensi Insulin

Resistensi insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan jaringan perifer untuk


berespons terhadap hormone insulin. Sejumlah penelitian fungsional pada orang-orang dengan
resistensi insulin memperlihatkan sejumlah kelainan kuantitatif dan kualitatif pada lintasan
penyampaian sinyal insulin yang meliputi penurunan jumlah reseptor insulin, penurunan
fosforilasi reseptor insulin serta aktivitas tirosin kinase, dan berkurangnya kadar zat-zat antara
yang aktif dalam lintasan penyampaian sinyal insulin. Resistensi insulin diakui sebagai sebuah
fenomena yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor genetic serta lingkungan.
Sebagian besar faktor genetic yang berkaitan dengan resistensi insulin masih menjadi misteri
karena mutasi pada resptor insulin itu sendiri sangat sedikit menyebabkan seseorang mengidap
diabetes tipe 2. Diantara faktor-faktor lingkungan, obesitas memiliki korelasi yang paling kuat.
Korelasi obesitas dengan DM tipe 2 telah dikenali selama beberapa decade dan resistensi
insulin menjadi kelainan yang mendasarinya. Risiko terjadinya diabetes meningkat seiring
indeks massa tubuh yang meningkat, dan keadaan ini mennunjukkan korelasi dosis-respons
antara lemak tubuh dan resistensi insulin. Faktor-faktor yang mempengaruhi resistensi insulin
pada obesitas meliputi kadar asam lemak bebas yang tinggi di dalam darah yang beredar dan
intrasel. Kadar asam lemak bebas yang tinggi di dalam darah dan sel ini dapat mempengaruhi
fungsi insulin (lipotoksisitas) dan sejumlah sitokin yang dilepaskan oleh jaringan adipose
(adipokin); sitokin ini meliputi leptin, adiponektin dan resistin, PPAR-ɣ (suatu reseptor
nukleusadiposit yang diaktifkan oleh kelas preparat antidiabetik baru yang dinamakan
thiazolidinedion dapat memodulasi ekspresi gen dalam adiposity dan hal ini akhirnya akan
mengurangi resistensi insulin.

Disfungsi sel ß

Disfungsi sel ß bermanifestasi sebagai sekresi insulin yang tidak adekuat dalam
menghadapi resistensi insulin dan hiperglikemia. Disfungsi sel ß bersifat kualitatif (hilangnya
pola sekresi insulin normal yang berayun/osilasi dan pulsatil serta pelemaan fase pertama
sekresi insulin cepat yang dipicu oleh peningkatan glukosa plasma) maupun kuantitatif
(berkurangnya massa sel ß, degenerasi pulau Langerhans, dan pengendapan amiloid dalam
pulau Langerhans).7

Gambar 1. Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2

Penatalaksanaan

Pengobatan dibagi atas atas medicamentosa (menggunakan obat–obat yang di minum)


dan juga non-medicamentosa (tidak mengonsumsi obat).

Medikamentosa

A. Macam-macam Obat Hipoglikemik Oral:


1) Golongan Insulin Sensitizing3
o Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.
o Glitazone
Golongan Thiazolidinediones atau glitazone adalah golongan obat yang juga
mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin.

2) Penghambar Alfa Glukosidase3


Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di
dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan
glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen
usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar
insulin.
3) Golongan Sekretagok Insulin3
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi
insulin oleh sel beta pancreas. Golongan ini meliputi sulfonylurea dan glinid.
o Sulfonilurea
Sulfonylurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya
untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin.
o Glinid
Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa
paruh yang singkat karena lama menempel pada kompleks sulfonylurea
sehingga dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU. Sedang nateglinid
mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa
darah puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok yang khusus
menurunkan glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal.
B. Insulin

Insulin diberikan melalui subkutan dan digunakan pada semua pasien dengan diabetes
tipe 1 dan sebagian pasien dengan diabetes tipe 2. Obat hipoglikemik oral (misalnya
metformin) terkadang diberikan bersama terapi insulin untuk penderita diabetes tipe 2 untuk
memperbaiki sensitivitas terhadap insulin.

Non-medica mentosa

Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari: terapi non
farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan
yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai
masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus. kedua
terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat ati diabetes oral dan injeksi insulin.

- Terapi Gizi
Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang
didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual.3

Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain:

1. menurunkan berat badan


2. menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik
3. menurunkan kadar glukosa darah
4. memperbaiki profil lipid
5. meningkatkan sensitivitas reseptor insulin
6. memperbaiki system koaguasi darah

Gambar 2. Rekomendasi nutrisi untuk pasien diabetes dewasa.

Komplikasi

Komplikasi akut sebagai penyulit pada diabetes melitus adalah :

1. Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang
ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi
akut diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat.
Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat
sampai menyebabkan syok. Pada pasien KAD dijumpai pernapasan cepat dan dalam
(Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering),
kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak
terlalu mudah tercium. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab
penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi
merupakan faktor pencetus yang paling sering.5
2. Hiperosmolar Hiperglikemik non ketotik
Sindrom HHNK ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya
ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali
disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis
HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai
beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri,
polidipsi dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus.
HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit
penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan.5
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia pada pasien diabetes tipe 1 (DMT 1) dan diabetes tipe 2 (DMT 2)
merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah
normal atau mendekati normal. Tidak ada definisi kendali glukosa darah yang baik dan
lengkap tanpa menyebutkan bebas dari hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul
akibat ketidaksempurnaan terapi saat ini, di mana kadar insulin di antara dua makan
dan pada malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis
tubuh gagal melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman. Faktor paling utama
yang menyebabkan hipoglikemia sangat penting dalam pengelolaan diabetes adalah
ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan.5

Prognosis

Sasaran pengelolaan diabetes mellitus bukan hanya glukosa darah saja tetapi juga profil
lipid, berat badan, tekanan darah, dan sebagainya seperti dibawah ini yang telah ditetapkan
oleh PERKENI :

1. DM Terkendali Baik
a. GDP 80-100 mg/dL
b. GD2jPP 80-144 mg/dL
c. HbA1C < 6.5%
d. Kolesterol Total < 200 mg/dL
e. K-LDL < 100 mg/dL
f. K-HDL > 45 mg/dL
g. Trigliserida < 150 mg/dL
h. IMT 18.5-23 kg/m2
i. Tekanan darah ≤ 130/80 mmHg
2. DM Terkendali Sedang
a. GDP 100-125 mg/dL
b. GD2jPP 145-179 mg/dL
c. HbA1C < 6.5-8%
d. Kolesterol Total 200-239 mg/dL
e. K-LDL 100-129 mg/dL
f. Trigliserida 150-199 mg/dL
g. IMT 23-25 kg/m2
h. Tekanan darah 130-140/80-90 mmHg
3. DM Terkendali Buruk
a. GDP ≥ 126 mg/dL
b. GD2jPP ≥ 180 mg/dL
c. HbA1C ≥ 8%
d. Kolesterol Total ≥ 240 mg/dL
e. K-LDL ≥ 130 mg/dL
f. Trigliserida ≥ 200 mg/dL
g. IMT > 25 kg/m2
h. Tekanan darah > 140/90 mmHg

Tentu saja yang diharapkan dengan penatalaksanaan non-farmakologis seperti diet dan
latihan fisik yang dipatuhi dan dijalankan secara teratur, serta patuh mengkonsumsi obat yang
telah diberikan oleh dokter maka status DM pasien haruslah terkendali baik.6

Pencegahan

Pencegahan primer memiliki sasaran yaitu masyarakat yang masih sehat. Semua pihak
di dalam masyarakat harus mengembangkan dan membudayakan pola hidup sehat dan
menghindari pola hidup yang meningkatkan risiko DM. Mengkampanyekan makanan sehat
yang mengandung lemak dengan kadar yang rendah atau pola makan seimbang harus
ditanamkan sejak usia dini. Juga menganjurkan olahraga agar tetap dapat menjaga berat badan
agak tidak berlebihan.

Pencegahan sekunder adalah ditujukan kepada para penderita DM untuk mencegah


terjadinya komplikasi dengan mengingatkan pentingnya kepatuhan minum obat dan latihan
fisik secara teratur serta menjaga pola makan. Penyuluhan tentang diabetes dan cara mencegah
komplikasinya perlu diberikan bagi para penderita DM dan keluarga ataupun kerabat dekatnya.
Terakhir pencegahan tersier dengan sasaran pada penderita DM yang sudah maupun belum
mengalami komplikasi dengan tujuan mencegah terjadinya komplikasi ataupun kecacatan yang
diakibatkannya. Upaya ini terdiri dari 3 tahap :9

1. Pencegahan komplikasi diabetes yang pada consensus dimasukkan sebagai pencegahan


sekunder
2. Mencegah berlanjutnya progresi komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit
organ
3. Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ tubuh atau
jaringan.
III. Kesimpulan

Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit yang penderitanya terus menerus meningkat
dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh gaya hidup dan pola makan setiap orang yang
kurang sehat. Banyaknya orang yang obese juga menjadi faktor penyebab DM. DM juga telah
menjadi penyebab terbanyak penyakit kardiovaskuler dan juga dapat menyebabkan penyakit
ginjal seperti end-stage renal desease (ESRD). Pada kasus yang didapat, laki-laki berusia 35
datang dengan keluhan semakin lemas sejak 2 minggu yang lalu. Hal ini diperkuat dengan hasil
laboratorium yang didapat, yaitu kadar gula darah sewaktu : 252 mg/dL, HbA1C : 10%. Hasil
laboratorium tersebut dapat menegakan diagnosis yaitu DM tipe 2.

IV. Daftar Pustaka


1. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s
Principle of Internal Medicine. 18th ed. USA: McGraw-Hill; 2012.p.2968-75.
2. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;
2007.h.138-9.
3. Karam JH, Forsham PH. Hormon-hormon pankreas dan diabetes melitus. Dalam:
Greenspan FS, Baxter JD, editor. Endokrinologi dasar dan klinis. Edisi ke-4.
Jakarta: EGC; 2008.h.754-72.
4. Halim SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Patologi klinik: Kimia
klinik. Edisi kedua. Jakarta: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Ukrida;
2013.h.51-62.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar penyakit
dalam jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.1880-3.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar penyakit
dalam jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.1880-3.
7. Mitchell RN. Buku saku dasar patologis penyakit Robbin & Cotran. Edisi ketujuh.
Jakarta: RGC; 2009.h.669-78.
8. Achmad T, Sutisna H, Kurniawan A.N. Diabetes melitus. Buku saku dasar patologi
penyakit. Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2004.h.557- 8.
9. Suherman SK. Insulin dan antidiabetika oral. Dalam: Farmakologi dan terapi. Edisi
kelima. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2011.h.481-95.

Anda mungkin juga menyukai