Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkah, rahmat dan karunia yang diberikan-Nya, sehinga makalah yang
berjudul “Kasus 1: Ny.Selly” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu penilaian yang terdapat
di blok Basic Medical Science 4.
Karena banyaknya pihak yang memberikan bantuan secara langsung
maupun tidak langsung dalam makalah ini, kami ingin mengungkapkan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Yth. drg. Anggun Rafisa, M.kes. selaku dosen pembimbing tutorial
blok Basic Medical Science 4 kelompok tutorial 4.
2. Semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung
maupun tidak langsung yang tidak disebutkan secara satu-persatu
oleh kami.
Tugas ini telah kami kerjakan sebaik mungkin yang kami mampu.
Kami memohon maaf sebesar-besarnya jika ternyata masih ada terdapat
kekurangan, dan untuk perhatiannya kami ungkapkan terima kasih.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
2
b. Enzim Ekstraseluler ............................................................................. 36
12. Penjalaran patogenisitas Staphylococcus Aureus .................................. 37
13. Perbedaan Staphylococcus aureus, epidermidis, dan saprophyticus ...... 39
a. Staphylococcus aureus ......................................................................... 39
b. Staphylococcus epidermidis ................................................................. 39
c. Staphylococcus saprophyticus .............................................................. 40
14. Golongan Antalgin............................................................................... 41
BAB III ............................................................................................................. 42
PENUTUP ........................................................................................................ 42
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 43
3
DAFTAR GAMBAR
4
DAFTAR TABEL
5
BAB I
PENDAHULUAN
1. Overview Kasus
2. Identitas Pasien
Nama : Ny.Selly
6
Umur : 32 Tahun
3. Seven Jumps
a. Terminologi
-Abses
-Fistula
-Pus
-Profunda
-Insisi
-Drainase abses
b. Identifikasi Masalah
-Gigi geraham kiri berlubang
c. Hipotesis
Abses buccalis
d. Mekanisme
7
e. More Info
Pemeriksaan EO:
-bengkak
-kemerahan
-keras
Pemeriksaan IO:
-Perkusi +
-Tekan +
-Mobility grade 2
f. I don’t Know
Tidak ada
g. Learning Issues
1. Apa definisi dari inflamasi?
2. Apa etiologi inflamasi?
3. Apa gejala inflamasi
4. Bagaimana mekanisme terjadinya inflamasi?
5. Apa defini abss?
6. Apa bakteri penyebab abses?
7. Bagaimana penjalaran patogenesis abses?
8. Bagaimana karakteristik bakteri S. aureus?
9. Secara makroskopis bagaimana bentuk S. aureus?
10. Bagaimana penangana abses? (insisi + drainase)
11. Kemampuan S. aureus untuk memfermentasi mannitol?
12. Uji patogenitas S. aureus
13. Produk-produk ekstraseluler S. aureus yang berperan pada
8
patogenitasnya?
14. Penjalaran patogenitias S. Aureus
15. Perbedaan staphylococcus aureus, epidirmidis, saprophyticus
16. Apa saja golongan antalgin?
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Inflamasi
Inflamasi adalah respons perlindungan yang ditimbulkan oleh cedera atau
kerusakan jaringan dengan cara menghancurkan, mengurangi, atau mengurung
agen penyebab dari cedera atau kerusangan jaringan tersebut. Ada beberapa
penyebab terjadinya inflamasi, yaitu:
1. Mikroorganisme
2. Trauma mekanis
3. Zat kimia
4. Pengaruh fisika
Tujuan dari inflamasi adalah untuk menarik protein plasma dan fagosit ke
tempat yang mengalami cedera agar dapat menghancurkan agen yang masuk,
sehingga kemudian dapat dilakukan reaksi penyembuhan.
Inflamasi terdiri dari dua fase, yaitu fase akut dan fase kronik. Fase akut
adalah fase jangka pendek, dimana terjadi vasodilatasi lokal dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Fase kronik adalah fase jangka panjang, dimana terjadi
degenerasi dan fibrosis pada jaringan. Gejala proses terjadinya inflamasi adalah
sebagai berikut:
1. Kemerahan (rubor)
10
Pada proses ini terjadi rasa panas dan kemerahan secara bersamaan. Panas
terjadi karena jumlah darah lebih banyak di area peradangan daripada
daerah lainnya.
Rasa sakit yang dirasakan ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
4. Pembengkakan (tumor)
5. Fungsiolaesa
2. Mekanisme Inflamasi
Peradangan dimulai ketika jaringan mengalami infeksi atau cedera sel..
Cedera ini akan memicu perubahan sekunder pada jaringan yang disebut sebagai
inflamasi. Infeksi atau cedera sel terdeteksi melalui reseptor seluler terhadap
mikroba (fagosit, sel dendritik), kemudian sensor kerusakan sel dan protein sirkuler.
Setelah terdeteksi, sensor-sensor ini akan memicu terjadinya inflamasi.
Garis pertahanan pertama tubuh yakni makrofag. Hanya dalam beberapa menit
makrofag sudah berada di jaringan dan langsung melakukan aktivitas fagositik
nya. Makrofag akan diaktivasi oleh produk infeksi dan inflamasi dan terjadi
11
pembengkakan sel-sel dengan cepat sebagai efek awal inflamasi. Selanjutnya
makrofag akan membentuk garis pertahanan dan mengalami mobilisasi.
Garis pertahanan kedua tubuh yakni neutrofil. Pada tahap ini dalam satu jam
pertama neutrofil akan menginvasi daerah inflamasi dikarenakan sitokin dan
produk biokimia yang diproduksi jaringan radang yang kemudian akan memicu
beberapa reaksi :
1. Produk jaringan radang akan memicu peningkatan molekul adhesi pada
permukaan sel endotel kapiler dan venula sehingga neutrofil akan
menempel di dinding kapiler dan venula pada daerah peradangan. Efek ini
disebut marginasi.
2. Produk ini juga menyebabkan longgarnya pelekatan interselular antara sel
endotel kapiler dan venula kecil, sehingga terbuka cukup lebar yang
memungkinkan neutrofil untuk bergerak lambat .
3. Terjadi kemotaksis neutrofil ke daerah yang cedera yaitu bergeraknya
neutrophil menuju tempat infeksi atau cedera melalui gradien kimia.
Dalam waktu beberapa jam daerah radang sudah dipenuhi oleh neutrofil dan
sel-sel tersebut sudah siap untuk segera memulai fungsinya untuk membunuh
bakteri dan menyingkirkan benda-benda asing.
Garis pertahanan ketiga adalah invasi makrofag kedua. Bersama dengan invasi
neutrofil, monosit dari darah akan memasuki jaringan yang meradang dan
membesar menjadi makrofag. Namun, jumlah monosit dalam sirkulasi darah
sedikit: tempat penyimpanan monosit di sumsum tulang juga jauh lebih sedikit
daripada neutrofil. Oleh karena itu, pembentukan makrofag di area jaringan
yang meradang jauh lebih lambat daripada neutrofil, dan memerlukan waktu
beberapa hari supaya menjadi efektif. Monosit membutuhkan waktu hingga 8
jam untuk matang dan barulah tercapai kapasitas penuh makrofag jaringan
untuk fagositosis. Dalam beberapa hari hingga beberapa minggu produksi
makrofag sangat meningkat dan mendominasi daerah radang.
Garis pertahanan keempat yakni peningkatan produksi granulosit dan monosit
oleh sumsum tulang. Terjadi peningkatan produksi oleh sumsum tulang yang
12
memerlukan 3-4 hari sebelum granulosit dan monosit dapat meninggalkan
sumsum. Kecepatan produksi sel di sumsum tulang dapat meningkat 20-50 kali
dari keadaan normal tubuh jika terus-menerus terdapat perangsangan dari
jaringan yang meradang (Hall and Guyton, 2014)
Terdapat faktor-faktor yang berpengaruh dominan terhadap respons
makrofag dan neutrofil terhadap peradangan. 5 faktor dominan yang berperan yaitu
:
1. Faktor nekrosis tumor (TNF)
2. Interleukin-1 (IL-1)
3. Faktor perangsang koloni granulosit-monosit (GM-CSF)
4. Faktor perangsang koloni granulosit (G-CSF)
5. Faktor perangsang koloni monosit (M-CSF)
Penyebab peningkatan produksi granulosit dan monosit oleh sumsum tulang
ini terutama adalah tiga faktor perangsang koloni, satu di antaranya, GM-CSF,
merangsang produksi granulosit maupun monosit: dan dua lainnya, G-CSF dan M-
CSF, berturut-turut merangsang granulosit dan monosit. Kombinasi antara TNF,
IL-1, dan faktor perangsang koloni merupakan mekanisme umpan balik yang kuat
yang dimulai dengan peradangan jaringan, kemudian berlanjut membentuk
sejumlah besar sel darah putih pertahanan yang membantu un tuk menghilangkan
penyebab radang.
Sebagian besar makrofag pada akhirnya akan mati. Sesudah beberapa hari
pada jaringan yang meradang akan terbentuk rongga yang mengandung jaringan
nekrotik, neutrofil mati, makrofag mati, dan cairan jaringan. Campuran ini yang
biasa disebut pus, yang kemudian perlahan akan mengalami autolisis dan diabsorpsi
ke jaringan limfe hingga sebagian besar tanda kerusakan jaringan hilang. Reaksi
inflamasi akhirnya terkontrol dan agen penginfeksi telah tereliminasi. Jaringan
yang rusak akan direparasi dan reaksi inflamasi telah selesai.(Hall and Guyton,
2014)
3. Definisi Abses
Abses merupakan suatu bentuk infeksi akut atau kronis dan proses supuratif
yang dapat terjadi diseluruh tubuh. Abses rongga mulut yang sering dijumpai
13
adalah abses dentoalveolar yang dapat terjadi sebagai akibat masuknya bakteri ke
daerah periapikal baik melalui saturan pulpa, jaringan periodontal maupun jaringan
perikoronal. Mukosa pipi dan palatum merupakan daerah yang senng ditempatinya.
1. Faktor organisme
2. Faktor anatomis
3. Faktor penderita
14
menghasilkan pigmen yang bak pada suhu 25C, pigmen yang dihasilkan berwarna
abu-abu sampai kuning keemasan, dan berwarna ungu pada pengecatan gram.
b. Porphyromonas gingivalis
Porphyromonas gingivalis merupakan bakteri melanogenik, nonsakarolitik,
dan bagian dari koloni bakteri Gram negatif anaerob yang non-motile, berbentuk
cocobasil dan berpigmen hitam. Bakteri ini hidup di gingival sites dan
menyebabkan periodontal disease. Bakteri ini dapat dikultur secara anaerob pada
agar darah dan menghasilkan dark-pigmented pada agar darah.
c. Fusobacterium
Terdapat banyak sekali spesies Fusobacterium, tetapi sebagian besar infeksi
pada manusia disebabkan oleh Fusobacterium nucleatum. Fusobacterium
nucleatum adalah bakteri non spora, non motil, dan Gram negatif.Kebanyakan sel
memiliki panjang 5 sampai 10 µm dan memiliki ujung yang tajam.Bakteri ini
merupakan anaerob, namun tumbuh dengan keberadaan 6% oksigen. Bakteri ini
memproduksi asam butirat sebagai bahan utama fermentasi glukosa dan pepton,
beserta lemak, yang membedakan Fusobacterium dari bakteri anaerob Gram negatif
lainnya.
Karakteristik :
Gram (+)
Spherical/ovalcocci in pairs and chain
15
Diameternya 0,7-0,9 μm
tumbuh dengan baik pada agar darah
Terbagi menjadi 2 :
■ α-hemolisis : hemolisis parsial atau tidak sempurna dan perubahan warna hijau
(viridans) di sekitar koloni, untuk contohnya, viridans streptococci
e. Actinomyces
Bakteri actinomyces merupakan bakteri yang dapat hidup dirongga mulut
manusia maupun hewan dan merupakan bakteri komensal patogenis fakultatif yang
memerlukan kemampuan untuk menembus lapisan mukosa sehingga dapat
menyebabkan penyakit. Bakteri ini merupakan komponen yang menyebabkan plak
gigi dan juga meningkatkan gingivitis. Bakteri ini juga terdapat pada female genital
tract.
Karakteristik :
Gram positif
Berbentuk batang atau panjang
Filament yang bercabang
Non motil
16
Mikroaerofilik atau anaerob
Komponen utama dari plak gigi, terutama pada approximal gigi
Koloninya terlihat seperti “butiran belerang” kekuningan
Abses merupakan rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh
infeksi bakteri campuran. Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan abses
ini yaitu Staphylococcus aureus dan Streptococcus mutans. Staphylococcus aureus
dalam proses ini memiliki enzim aktif yang disebut koagulase yang fungsinya untuk
mendeposisi fibrin. Sedangkan Streptococcus mutans memiliki 3 enzim utama yang
berperan dalam penyebaran infeksi gigi, yaitu streptokinase, streptodornase, dan
hyaluronidase. Hyaluronidase adalah enzim yang bersifat merusak jembatan antar
sel, yang pada fase aktifnya nanti, enzim ini berperan layaknya parang yang
digunakan petani untuk merambah hutan.
17
jaringan ikat, yang dikenal sebagai membran abses. Membran ini melindungi dari
reaksi inflamasi dan terapi antibiotika. Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans
dan produksi membran abses saja yang terjadi pada peristiwa pembentukan abses
ini, tetapi ada pembentukan pus oleh bakteri pembuat pus (pyogenik), salah satunya
adalah S.aureus. pus terdiri dari leukosit yang mati (oleh karena itu pus terlihat putih
kekuningan), jaringan nekrotik, dan bakteri dalam jumlah besar. Secara alamiah,
sebenarnya pus yang terkandung dalam rongga tersebut akan terus berusaha
mencari jalan keluar sendiri, namun pada perjalanannya seringkali menyebabkan
timbulnya gejala-gejala yang cukup mengganggu seperti nyeri, demam, dan
malaise.
Abses juga merupakan tahap akhir dari suatu infeksi jaringan yang dimulai
dari suatu proses yang disebut inflamasi. nfeksi odontogenik dapat berasal dari tiga
jalur, yaitu (1) jalur periapikal, sebagai hasil dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri
ke jaringan periapikal; (2) jalur periodontal, sebagai hasil dari inokulasi bakteri
pada periodontal poket; dan (3) jalur perikoronal, yang terjadi akibat
terperangkapnya makanan di bawah operkulum tetapi hal ini terjadi hanya pada gigi
yang tidak/belum dapat tumbuh sempuna. Dan yang paling sering terjadi adalah
melalui jalur periapikal (Karasutisna, 2001).
Infeksi odontogen biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies
gigi yang sudah mendekati ruang pulpa (Gambar 1), kemudian akan berlanjut
menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa).
Infeksi odontogen dapat terjadi secara lokal atau meluas secara cepat. Adanya gigi
yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai
apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang
terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau
jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut (Cilmiaty,
2009).
18
Gambar 1 Ilustrasi Keadaan Gigi yang Mengalami Infeksi Dapat Menyebabkan Abses Odontogen
Inflamasi purulen berhubungan dengan tulang alveolar yang dekat dengan puncak
bukal atau labial tulang alveolar biasanya akan menyebar ke arah bukal,
sedangkan tulang alveolar yang dekat puncak palatal atau lingual, maka
penyebaran pus ke arah palatal atau ke lingual (Fragiskos, 2007).
19
Akar palatal dari gigi posterior dan lateral gigi seri rahang atas dianggap
bertanggung jawab atas penyebaran nanah ke arah palatal, sedangkan molar ketiga
mandibula dan kadang-kadang dua molar mandibula dianggap bertanggung jawab
atas penyebaran infeksi ke arah lingual. Inflamasi bahkan bisa menyebar ke sinus
maksilaris ketika puncak apeks gigi posterior ditemukan di dalam atau dekat dasar
antrum.
Panjang akar dan hubungan antara puncak dan perlekatan proksimal dan
distal berbagai otot juga memainkan peranan penting dalam penyebaran pus.
Berdasarkan hal ini (Gambar 3), pus di mandibula yang berasal dari puncak akar di
atas otot mylohyoid dan biasanya menyebar secara intraoral, terutama ke arah dasar
mulut. Ketika puncak ditemukan di bawah otot mylohyoid (molar kedua dan
ketiga), pus menyebar ke ruang submandibular dan terjadi pembengkakan
ekstraoral.
Pada fase selular, tergantung pada rute dan tempat inokulasi dari pus, abses
dentoalveolar akut mungkin memiliki berbagai gambaran klinis, seperti: (1)
intraalveolar, (2) subperiosteal, (3) submukosa, (4), subkutan, dan (5) fascia
migratory – cervicofacial (Gambar 4 dan 5). Pada tahap awal fase selular ditandai
dengan akumulasi pus dalam tulang alveolar yang disebut sebgai abses
intraalveolar. Pus kemudian menyebar keluar setelah terjadi perforasi tulang
20
menyebar ke ruang subperiosteal. Periode ini dinamakan abses subperiosteal,
dimana pus dalam jumlah terbatas terakumulasi di antara tulang dan periosteal.
Bakteri ini habitatnya adalah pada kulit manusia, terutama nares anterior
dan perineum. Bakteri ini disebarluaskan melalui udara dan debu dan selalu ada di
21
lingkungan rumah sakit. Rute transmisi dari bakteri ini biasanya adalah melalui
tangan dan ujung jari.
S. aureus berbentuk coccus dengan sifat gram positif yaitu berwarna ungu
pada pewarnaan gram dengan membentuk formasi bergerombol (staphylo).
Staphylococcus aureus adalah mikroorganisme yang tidak memerlukan oksigen,
namun apabila terekspos pada oksigen dapat menghasilkan ATP (Fakultatif
Anaerobic).
22
Pengecatan gram ini merupakan pengecatan diferensial atau pengecatan
majemuk yaitu menggunakan lebih dari satu zat warna dimana zat warna utama
adalah Karbol Gentian Violet dan zat warna pembanding digunakan Air Fukshin.
Pada prosedur pewarnaan gram, seluruh sel akan menangkap warna ungu
dari pewarna utama. Lalu mordant yaitu iodine diaplikasikan, yang berguna untuk
menahan warna primer untuk tetap menempel pada bakteri dengan mengikat KGV
dan menguncinya dalam peptidoglikan.
Selanjutnya bahan dekoloran yaitu ethanol 95% yang merupakan lipid solvent akan
melarutkan membrane bagian luar dari bakteri gram negative yang menyebabkan
dekolorasi pada sel bakteri gram negative.
23
7. Staphylococcus aureus Secara Makroskopis
Organisme ini tumbuh dengan mudah dalam media cair sederhana terutama
kaldu nutrisi dan air pepton. Dalam kedua media ini, pertumbuhan mejadi terlihat
sebagai kekeruhan yang seragam. Mereka tumbuh paling baik pada suhu 37°C
tetapi membentuk pigmen terbaik pada suhu ruang (20-25°C).
24
Isolasi primer (pertumbuhan) paling baik dan paling banyak
dilakukan adalah pada media agar darah di mana sebagian besar strain S.
aureus menghasilkan pigmen karotenoid kuning keemasan (aureus). Pigmen
ini tidak berdifusi ke dalam medium. Produksi pigmen optimal pada suhu
22°C di lingkungan yang memiliki oksigen (aerobic). Pada media agar
darah, tampilan dan ukuran koloni serupa dengan yang ada pada agar
nutrien. Hanya saja pada agar darah koloni ini biasanya dikelilingi oleh zona
beta-hemolisis (bening), terutama pada media yang mengandung darah
domba, sapi, kelinci, atau manusia.
Pada agar ini, koloni berukuran kecil hingga medium dan berwarna
pink karena fermentasi laktosa.
25
Agar ini adalah indikator serta media yang selektif. Agar ini
mengandung 1% manitol, 7,5% natrium klorida (NaCl), dan 0,0025% fenol
merah dalam agar nutrien. Strain S. aureus membentuk koloni yang
dikelilingi oleh zona kuning karena fermentasi manitol. NaCl berguna untuk
menghambat pertumbuhan bakteri lain.
1. Agar susu
2. Agar gliserol monoasetat 1%
3. Agar ekstrak glukosa-pepton-ragi yang diinkubasi pada suhu
30°C selama 5 hari.
8. Penanganan Abses
a. Definisi Insisi dan Drainase
26
b. Tujuan Insisi dan Drainase
Insisi tajam yang cepat pada mukosa oral yang berdekatan dengan tulang
alveolar biasanya cukup untuk menghasilkan pengeluaran pus yang banyak, sebuah
ungkapan abad ke-18 dan 19 yang berupa deskriptif dan seruan. Ahli bedah yang
dapat membuat relief instan dan dapat sembuh dengan pengeluaran pus dari abses
patut dipuji dan oleh sebab itu lebih dikenal daripada teman sejawat yang kurang
terampil yang menginsisi sebelum waktunya atau pada tempat yang salah (Peterson,
2003).
Melakukan insisi pada kulit dan mukosa yang sehat. Insisi yang ditempatkan
pada sisi fluktuasi maksimum di mana jaringannya nekrotik atau mulai
27
perforasi dapat menyebabkan kerutan, jaringan parut yang tidak estetis
(Gambar 10)
Insisi pada titik-titik berikut ini digunakan untuk drainase infeksi pada spasium
yang terindikasi: superficial dan deep temporal, submasseteric, submandibular,
submental, sublingual, pterygomandibular, retropharyngeal, lateral pharyngeal,
retropharyngeal (Peterson, 2003)
Tempatkan insisi pada daerah yang dapat diterima secara estetis, seperti di
bawah bayangan rahang atau pada lipatan kulit alami (Gambar 11).
Gambar 11 Garis Langer wajah. Laserasi yang menyilang garis Langer dari kulit bersifat tidak
menguntungkan dan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. Insisi bagian fasia
ditempatkan sejajar dengan ketegangan kulit. (Pedersen, 1996).
28
Apabila memungkinkan tempatkan insisi pada posisi yang bebas agar
drainase sesuai dengan gravitasi.
Lakukan pemotongan tumpul, dengan clamp bedah rapat atau jari, sampai
ke jaringan paling bawah dan jalajahi seluruh bagian kavitas abses dengan
perlahan-lahan sehingga daerah kompartemen pus terganggu dan dapat
diekskavasi. Perluas pemotongan ke akar gigi yang bertanggung jawab
terhadap infeksi
Tempatkan drain (lateks steril atau catheter) dan stabilkan dengan jahitan.
Pertimbangkan penggunaan drain tembus bilateral, infeksi ruang
submandibula.
Jangan tinggalkan drain pada tempatnya lebih dari waktu yang ditentukan;
lepaskan drain apabila drainase sudah minimal. Adanya drain dapat
mengeluarkan eksudat dan dapat menjadi pintu gerbang masuknya bakteri
penyerbu sekunder.
Bersihkan tepi luka setiap hari dalam keadaan steril untuk membersihkan
bekuan darah dan debris.
(2) Anestesi dilakukan pada daerah sekitar drainase abses yang akan
dilakukan dengan anestesi infiltrasi.
29
(3) Untuk mencegah penyebaran mikroba ke jaringan sekitarnya maka
direncanakan insisi:
(5) Penembatan drain karet di dalam rongga abses dan distabilasi dengan
jahitan pada salah satu tepi insisi untuk menjaga insisi menutup dan
drainase.
30
asam yang nantinya dapat mengubah warna dari Mannitol salt agar. Pada pH
normal, Mannitol salt agar berwarna merah dikarenakan adanya phenol red sebagai
indikator. Pada pH cenderung basa, warna merah pada Mannitol salt agar berubah
menjadi merah jambu (pink) dan ketika cenderung asam berubah warna menjadi
kuning. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketika adanya stafilokokus aureus pada
bakteri yang sedang di kultur, maka warna pada medium berubah menjadi kuning
dikarenakan kemampuan stafilokokus aureus untuk memfermentasi Mannitol
sehingga menghasilkan keadaan asam yang mengubah indikator red phenol menjadi
kuning.
Faktor patogenitas dari Staphylococcus aureus dilihat dari ada atau tidaknya
produksi enzim koagulase. Koagulase merupakan protein mirip enzim yang dapat
menggumpalkan plasma yang mengandung oksalat atau sitrat. Uji patogenitas ini
dilakukan dengan mencampurkan plasma darah kelinci dengan isolat biakan
bakteri. Prinsip dari uji koagulase ini adalah fibrinogen pada darah kelinci diubah
menjadi fibrin oleh koagulase.
31
besar toksin dan enzim ekstraseluler yang terkait dengan dinding sel, yang
berkontribusi terhadap kemampuan organisme untuk mengatasi pertahanan tubuh,
menyerang, menyebarkan, bertahan, dan menghasilkan penyakit di inang.
Berikut merupakan berbagai macam toksin dan enzim ekstraseluler yang
diproduksi oleh Staphylococcus aureus.
a. Toksin Ekstraseluler
32
- Inaktivasi pada suhu 60 derajat Celcius, namun aktivitasnya dapat kembali terjadi
apabila dipanaskan kembali sampai pada suhu 80-100 derajat Celcius. Hal ini
disebabkan oleh fakta bahwa toksin tersebut bergabung dengan inhibitor heat-labile
pada suhu 60 derajat Celcius. Namun, pada suhu yang lebih tinggi (80-100 derajat
Celcius) inhibitornya tidak aktif sehingga toksin mendapatkan kembali
aktivitasnya.
- Di atas 100 derajat Celcius, toksin menjadi terinaktivasi
- Dapat mengakibatkan rusaknya otot halus, beracun bagi makrofag dan trombosit
manusia, dan menyebabkan degranulasi leukosit polimorfo-nuklir melalui
gangguan pada licyn mereka.
- Dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan manusia.
b. β-hemolisin / β-toxin
- β-hemolisin adalah toksin yang terutama dihasilkan Staphylococcus yang diisolasi
dari hewan
- Menyebabkan lisis pada sel darah merah
- Sangat aktif pada domba
- Lemah pada sel kelinci dan sel darah merah
- Merupakan fosfolipase C yang bekerja secara khusus pada sphingomyelin dan
lysolecithin. Oleh karena itu, kerentanan sel dara merah dari spesies yang berbeda
bergantung pada kandungan sphingomyelinnya.
- Lysin menimbulkan “hot-cold-haemolysis”
- Sel-sel yang telah terpapar lysin dalam 37 derajat Celcius, hanya akan lyses
apabila diturunkan suhunya sampai 4 derajat Celcius
- Tidak memiliki aktivitas leucocidal.
c. γ–hemolisin / γ–toxin
- Bekerja pada sel darah merah manusia, kelinci, dan domba
- Tidak berkeja pada sel darah merah kuda
33
d. δ-hemolisin / δ-toxin
- Merupakan polipeptida dengan berat molekul 1600 dalton
- Toksin yang dapat melisiskan sel darah merah domba, kelinci, kuda, dan manusia.
- Memiliki aktivitas lethal, dermonekrotik, dan leucocidal.
2. Leukocidin
Leucocidin merupakan suatu toksin yang dapat mematikan sel-sel darah
putih dari berbagai binatang. Tetapi perannya dalam patogenesis pada manusia
tidak jelas, karena kelompok Staphilococcus patogen tidak dapat mematikan sel-sel
darah putih manusia dan dapat difagositosis. Namun bakeri tersebut mampu
berkembangbiak sangat aktif secara intraseluler, sedangkan organisme tidak
patogen cenderung untuk mati bila berada di dalam sel.
Toksin ini terdiri dari dua komponen protein. Pada basis dari migrasinya di
kolom karboksimetilselulosa mereka diberi nama komponen F (Fast/cepat) dan
komponen S (Slow/lambat). Kedua komponen ini bekerja secara sinergis untuk
merusak leukosit polimolfonuklear dan makrogaf, serta untuk menghasilkan
dermonekrosis
.
3. Epidermolytic Toxins (Toksin Exfoliatif)
Banyak strain S.aureus, terutama milik kelompok fag II yang memiliki dua
jenis toksin epidermolitik (tipe A dan tipe B). Masing-masing protein tersebut
memiliki berat 30.000 dan 29.500 dalton. Epidermolitik toksin tipe A adalah heat
stable yang produksinya ditentukan oleh gen kromosom. Sedangkan tipe B adalah
heat labil dan plasmid controlled.
4. Enterotoxin
Sekitar 40% dari semua isolat klinis S.aureus menghasilkan enterotoksin
yang menyebabkan keracunan makanan pada manusia. Enterotoksin juga berperan
dalam beberapa kasus enterocolitis pseudomembran yang terlihat pada pasien
setelah terapi antibiotik.
Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana
34
basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan
makanan, terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein.
Enterotoksin adalah protein dengan berat molekul 26.000-30.000 dalton.
Enterotoksin bersifat heat stable sehingga tahan dalam air mendidih selama 30
menit. Oleh karena itu, apabila enterotoksin sudah terbentuk maka akan sulit sekali
hancur meskipun makanan sudah dipanaskan untuk membunuh staphylococcus
yang viable. Enterotoksin juga tidak dapat dihancurkan dengan enzim usus.
Sembilan jenis antigenik (A, B, C, D, E, F, G, H, I, dan J) dari enterotoksin telah
diidentifikasi. Enterotoksin F sekarang diketahui sebagai penyebab toxic shock
syndrome-toxin 1 dan beberapa strain dapat membentuk lebih dari satu jenis toxin.
Masa inkubasi berkisar 2-6 jam setelah konsumsi makanan yang telah ada
staphylococci dan telah menghasilkan enterotoksin. Pasien akan mengalami
muntah, mual, dan diare. Durasi gejala akut biasanya terjadi kurang dari 24 jam dan
keadaan ini jarang berakibat fatal.
Selain kemampuan untuk menyebabkan muntah, enterotoksin juga bersifat
pirogenic dan mitogenic, dapat menyebabkan trombositopenia dan hipotensi.
6. Tokxin Eksfoliatif
Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks
mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepithelial
35
pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif menyebabkan desquamasi
kulit dan penyebab Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai dengan
melepuhnya kulit.
b. Enzim Ekstraseluler
2. Staphylokinase
Banyak strain S.aureus yang tidak dapat menhasilkan β-hemolisin / β-toxin
36
dapat menghasilkan staphylokinase. Staphylokinase merupakan protein dengan
berat molekul 13.000-15.000 dalton dan memiliki aktivitas fibrinolitik.
Fibrinolysin dapat menghancurkan gumpalan fibrin dan memungkinkan
penyebaran fibrin ke contigous tissue. Staphylokinase yang menyebabkan
fibrinolisis bekerja jauh lebih lambat daripada streptokinase, proteinase, lipase dan
beta laktamase.
3. Hyalurodinase
Lebih dari 90% strain S.aureu menghasilkan enzim hyaluronidase, namun
jumlahnya yang sangat bervariasi. Hyaluronidase akan menghasilkan asam
hialuronat yang ada di dasar interseluler dari jaringan ikat, sehingga memudahkan
penyebaran organisme ke daerah yang berdekatan.
4. Katalase
Staphylococcus menghasilkan katalase yang mengubah hidrogen peroksida
menjadi air dan oksigen. Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan
bakteri terhadap proses fagositosis. Tes adanya aktivtias katalase menjadi pembeda
genus Staphylococcus dari Streptococcus.
5. Enzim Lain
- Deoxyribonuclease untuk mendegradasi DNA
- Lipase untuk mendegradasi lipid
- Phospolipase untuk mendegradasi fosfolipid
- Protease menyebabkan proteoslisis
37
selama beberapa hari atau minggu. Penyakit stapylococcal dapat terjadi pada infeksi
endogen atau eksogen. Cara penularannya mungkin melalui kontak, langsung atau
melalui fornites atau tetesan airbone.
Staphylococcus aureus adalah patogen oportunistik karena menyebabkan
infeksi paling sering terjadi pada host perawatan immunosupresi. Mereka yang
memiliki infeksi virus saluran pernapasan bagian bawah, seperti influena dan
campak, dan pasien diabetes juga lebih rentan terhadap infeksi stafilokokus.
Penyakit stafilokokus dapa diklasifikasikan sebgain infeksi kuan dan infeksi
dalam, penyakit eksfoliatif, keracunan makanan dan sindrom syok toksik.
1) Infeksi kutaneous L yaitu
Infeksi yang terjadi di dalam kulit. Contohnya luka bakar, pustula (abses
kutaneous kecil), furuncles atau bisul (abses kutaneous besar), carbuncles, sytes,
impertigo dan pemfigus neonatorum.
2) Infeksi dalam
Yaitu osteomilitis, periostitis, tonsilitis, faringitis, sinusitis,
bronkopneumonia, empiema, septikemia, meningitis, endokarditis, abses payudara,
abses ginjal dan abses pada organ lain.
3) Penyakit eksfoliatif
Lesi ini dihasilkan oleh strain staphylococcus aureus yang mengahsilkan
racun epidermolitik. Racun ini memisahkan lapisan luar epidermis dari jaringan d
bawahnya yang menyebabkan blistering disease
a. Scaled skin syndrome atau penyakit ritter dimana toksin menyebar
secara sistemik pada individu yang tidak memiliki antitoksin untuk
menetralisir. Melibatkan area kulit yang luas. Pasien mengalami ruam
yang menyakitkan yang pecah hingga permukaan kulit membentuk
scalding.
b. Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) terjadi terutama pada
bayi baru lahir dan anak2 muda yang sebelumnya sehat. Pada orang
dewasa, sering terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronis dan
mereka yang memiliki sistem kekebalan yang terganggu. Meski angka
kematiannya rendah (0-7%) dalam kasus yang terlihat di klangan anak-
38
anak, tingkat pada orang dewasa setinggi 50%.
4) Keracunan makanan
Keracunan makanan stafilokokkus (mual, muntah,dan diare) dapat
berlangsung 2-6 jam setelah konsumsi makanan dimana jumlah S. Aureus telah
berlipat ganda dan membentuk enterotoksin. Jenis makanan yang biasanya jadi
penyebab adalah daging, ikan, susu dan produk susu.
5) Toxic shock syndrome (TSS)
Penyakit multissitem ditandai dengan demam tinggi , sakit kepla,
kebingungan, kemerahan konjungtiva, edema subkutan, muntah, diare,
scarlatiniform rash dan deskuamasi tangan dn kaki. Kasus parah yang pernah
berkembang menjadi gagal ginjal akut, disseminated koagulasi intravaskular,
perpheral gangren, hypotenisve shock dan kematian. Awalnya penyakit ini paling
sering ditemukan pada wanita, biasanya onset terjadi saat menstruasi. Investigasi
awal kasus ditemukan adanya hubungan antara onset penyakit dan penggunaaan
tampon hiperabsorbable. Selanjutnya, TSS telah dilaporkan pada laki-laki dan
perempuan sebagai komplikasi abses tafilokokkus, osteomilitis dan infeksi luka
pasca operasi.
b. Staphylococcus epidermidis
39
menyebabkan infeksi, oleh karena itu S. epidermidis disebut sebagai
patogen oportunis. Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi parah pada pasien
imunosupresi (immunosuppressed patients).
c. Staphylococcus saprophyticus
Persamaan:
1. Gram stain: Gram positif (berwarna ungu)
2. Bentuk: Coccus (bulat)
3. Formasi: Bergerombol seperti anggur (grape-like clusters)
4. Uji katalase: Positif
40
14. Golongan Antalgin
41
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ny. Selly (perempuan, 32 tahun) mengalami abses buccalis gigi 36
sehingga diberikan clindamisin 3x300mg selama lima hari dan analgetik
diklofenak 3x50 mg selama tiga hari dan dilakukan pencabutan terhadap gigi 36.
42
DAFTAR PUSTAKA
Hall, J. E. and Guyton, A. C. (2014) Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran, Elsevier, Singapore.
copyright:dentistalit@yahoo.co.id (2011)
Anief, M.. 1990. Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan
Penggunaan.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Dorland 2016. Dorland’s Dictionary of Medical Acronyms and
Abbreviations. 7th ed. Philadelphia: Elsevier.
Kayser, F.H., Bienz, K. a, Eckert, J. & Zinkernagel, R.M.
2005. Medical Microbiology. 10th ed. New York: Thieme Medical
Publisher Inc.
Samaranayake, L. 2012. Essential Microbiology for Dentistry. 4th
ed. Edinburgh: Churchill Livingstone.
Widodo, U. 1993. Kumpulan data klinik farmakologik. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Ganiswara. 1981. Farmakologi dan Terapi. Edisi 2.
Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
43