Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN FARMAKOLOGI I

JENJANG SARJANA (S1)

LABORATORIUM
FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI FARMASI & MAKANAN
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
DATA PRIBADI

NAMA : ROHANI

NIM : 1813015043

PRODI : FARMASI

JURUSAN : FARMASI

SEMESTER : 3

KELAS : C1 2018
A. HASIL PENGAMATAN
1. Tabel Hasil Pengamatan Hari Ke-0

Nomor
Obat BB Sebelum Dioralkan
Tikus

Normal
1 278 g Normal, lebih aktif, napas normal, agresif
NaCMC
Normal
2 259 g Normal, lebih aktif, napas normal, agresif
NaCMC
3 Aspirin 273 g Normal, lebih aktif, napas normal, agresif,
4 Aspirin 268 g Normal, lebih aktif, napas normal, agresif
5 Etanol 96% 270 g Normal, lebih aktif, napas normal, agresif
6 Etanol 96% 239 g Normal, lebih aktif, napas normal, agresif

2. Tabel Hasil Pengamatan Hari Ke-1

Nomor
Obat BB Sebelum Dioralkan Sesudah Dioralkan
Tikus

Normal, lebih aktif,


Normal Lebih tenang,, napas
1 278 g napas normal,
NaCMC cepat
agresif
Normal, lebih aktif,
Normal Lebih tenang,, napas
2 259 g napas normal,
NaCMC cepat
agresif
Normal, lebih aktif,
Lebih tenang, shock,
3 Aspirin 273 g napas normal,
napas cepat
agresif, grooming
Normal, lebih aktif,
Lebih tenang, shock,
4 Aspirin 268 g napas normal,
napas cepat
agresif
Mata sayu, napas
Normal, lebih aktif,
cepat, lebih tenang,
5 Etanol 96% 270 g napas normal,
mata berir, detak
agresif, grooming
jantung tidak teratur
Napas cepat, lebih
Normal, lebih aktif,
tenang, detak
6 Etanol 96% 239 g napas normal,
jantung tidak teratur.
agresif
Grooming
3. Tabel Hasil Pengamatan Hari Ke-2

Nomor
Obat BB Sebelum Dioralkan Sesudah Dioralkan
Tikus

Normal, lebih aktif,


Normal Lebih tenang,, napas
1 278 g napas normal,
NaCMC cepat, grooming
agresif
Normal, lebih aktif,
Normal Lebih tenang,, napas
2 274 g napas normal,
NaCMC cepat
agresif
Normal, lebih aktif,
Lebih tenang, napas
3 Aspirin 276 g napas normal,
cepat
agresif, grooming
Normal, lebih aktif,
Lebih tenang,, napas
4 Aspirin 274 g napas normal,
cepat
agresif
napas cepat dan
terengah-engah,
Normal, lebih aktif,
lebih tenang, detak
5 Etanol 96% 275 g napas normal,
jantung tidak teratur,
agresif, grooming
hidung berdarah,
mata sayu
Napas cepat, lebih
Normal, lebih aktif,
tenang, detak
6 Etanol 96% 233 g napas normal,
jantung tidak teratur,
agresif
mata sayu

4. Tabel Hasil Pengamatan Hari Ke-3

Nomor
Obat BB Sebelum Dioralkan Sesudah Dioralkan
Tikus

Hidung berdarah,
Normal Normal, lebih aktif,
1 230 g napas cepat, pupil
NaCMC detak jantung cepat
normal, lebih tenag

Normal Normal, lebih aktif, Lebih tenang,, napas


2 240 g
NaCMC napas normal, agresif cepat, pupil normal

Normal, lebih aktif, Lebih tenang, napas


3 Aspirin 230 g
napas normal, agresif, cepat, detak jantung
cepat
Normal, lebih aktif,
napas normal, agresif, Lebih tenang,, napas
4 Aspirin 230 g
badan sedikit kaku, cepat
hidung berdarah
Etanol
5 - - -
96%
Mual, mata sayu, Tegang, perut
Etanol
6 170 g grooming, lemah, membesar, lebih
96%
suara hilang tenang

5. Tabel Hasil Pengamatan Hari Ke-4

Nomor
Obat BB Sebelum Dioralkan Sesudah Dioralkan
Tikus

Normal, lebih aktif,


Normal detak jantung cepat, napas cepat, pupil
1 250 g
NaCMC fesesnya cair, bulu normal, lebih tenang
sedikit rontok
Normal, lebih aktif,
Lebih tenang,, napas
Normal detak jantung cepat,
2 250 g cepat, detak jantung
NaCMC fesesnya cair, bulu
cepat
sedikit rontok
Normal, lebih aktif,
Lebih tenang, napas
detak jantung cepat,
3 Aspirin 230 g cepat, detak jantung
fesesnya cair, bulu
cepat, tidak agresif
sedikit rontok
Normal, lebih aktif,
detak jantung cepat, Lebih tenang,, napas
4 Aspirin 250 g
fesesnya cair, bulu cepat, tetap agresif
sedikit rontok
Etanol
5 - - -
96%
Etanol
6 - - -
96%

6. Tabel Hasil Pengamatan Hari Ke-5


Nomor
Obat BB Sebelum Dioralkan Sesudah Dioralkan
Tikus

Normal Normal, lebih aktif, napas cepat, pupil


1 230 g
NaCMC detak jantung cepat, melebar, lebih tenang
Cengkraman kuat,
Normal napas cepat, detak
2 250 g lebih aktif, detak
NaCMC jantung cepat
jantung cepat, agresif
lebih aktif, detak napas cepat, detak
3 Aspirin 240 g jantung cepat, agresif, jantung lambat, tidak
hidung berdarah agresif atau lemas
Normal, lebih aktif, Lebih tenang,, napas
4 Aspirin 240 g detak jantung cepat, cepat, tetap agresif,
agresif pupil mata melebar
Etanol
5 - - -
96%
Etanol
6 - - -
96%

7. Tabel Hasil Anestesi Umum


Menit Ke-
No Kelompok
Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4

Normal 12 menit 54 16 menit


1 26 detik -
( Eter) detik 15 detik
Normal 4 menit 30 13 menit 7
2 20 detik -
(Kloroform) detik detik
1 jam 3
Aspirin 2 menit 20
3 1 menit menit 05 -
(Eter) detik
detik
Aspirin 1 menit 4 1 menit 42
4 27 detik -
(Kloroform) detik detik

8. Tabel Hasil Toksisitas Umum


Kelompok 5 6
1 2 3 4
dan Etanol Etanol
NaCMC NaCMC Aspirin Aspirin
Perlakuan 96% 96%

BB Tikus 240 g 230 g 220 g 240 g 275 g 170 g

Berat Hati 10,76 g 11,21 g 11,76 g 12,7 g 4,7 g 7,1 g

Tidak Tidak
Lesi Lambung 3 lesi 2 lesi - 3 lesi
ada ada

9. Tabel Berat Badan Tikus


Berat Badan
Hari Ke- Etanol Etanol
NaCMC NaCMC Aspirin Aspirin
96% 96%

1 278 g 259 g 273 g 268 g 270 g 239 g

2 278 g 274 g 276 g 274 g 275 g 233 g

3 230 g 240 g 230 g 230 g - 170 g

4 250 g 250 g 250 g 250 g - -

5 230 g 250 g 240 g 240 g - -

6 240 g 230 g 240 g 240 g - -


B. PERHITUNGAN DOSIS
 Aspirin 5 g pada manusia ke tikus
Faktor konversi dosis
= 0,018 x 5 gram
=0,09 g/200 g BB
 Etanol 96% 1 ml/200 gBB

1. Dosis Obat Pada Hari ke 1


a) Tikus Nomor 1 (Normal NaCMC)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 278 gram
Volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 278 𝑔
x = 0,69 ml atau X = 0,7 ml
b) Tikus Nomor 2 (Normal NaCMC)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 259 gram
Volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 259 𝑔
x = 0,64 ml atau X = 0,6 ml
c) Tikus Nomor 3 (Aspirin)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 273 gram
Dosis per oral
0.09 𝑔 𝑥
=
200 𝑔 273 𝑔
x = 0,123 g
Volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 273 𝑔
x = 0,68 ml atau X = 0,7 ml

d) Tikus Nomor 4 (Aspirin)


Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 268 gram
Dosis per oral
0.09 𝑔 𝑥
=
200 𝑔 268 𝑔
x = 0,1206 g
Volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 268 𝑔
x = 0,67 ml atau X = 0,7 ml
e) Tikus Nomor 5 ( Etanol 96%)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 270 gram
Volume pemberian 1 ml/200 gBB
1 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 270 𝑔
x = 1.35 ml
f) Tikus Nomor 6 ( Etanol 96%)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 239 gram
Volume pemberian 1 ml/200 gBB
1 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 239 𝑔
x = l,19 ml atau X = 1,2 ml

2. Dosis Obat Pada Hari ke 2


a) Tikus Nomor 1 (Normal NaCMC)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 278 gram
Volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 278 𝑔
x = 0,69 ml = 0,7 ml
b) Tikus Nomor 2 (Normal NaCMC)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 274 gram
Volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 274 𝑔
x = 0,68 ml = 0,7 ml
c) Tikus Nomor 3 (Aspirin)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 276 gram Dosis per oral
0.09 𝑔 𝑥
=
200 𝑔 276 𝑔
x = 0,124 g
Volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 276 𝑔
x = 0,69 ml = 0,7 ml
d) Tikus Nomor 4 (Aspirin)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 274 gram
Dosis per oral
0.09 𝑔 𝑥
=
200 𝑔 274 𝑔
x = 0,123 g
Volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 274 𝑔
x = 0,68 ml = 0,7 ml
e) Tikus Nomor 5 (Etanol 96%)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 275 gram
Volume pemberian 1 ml/200 gBB
1 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 275 𝑔
x = 1,37 ml = 1,4 ml
f) Tikus Nomor 6 (Etanol 96%)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 233 gram
Volume pemberian 1 ml/200 gBB
1 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 233 𝑔
x = 1,16 ml = 1,2 ml

3. Dosis Obat Pada Hari ke 3


a) Tikus Nomor 1 (Normal NaCMC)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 230 gram
Volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 230 𝑔
x = 0,57 ml = 0,6 ml
b) Tikus Nomor 2 (Normal NaCMC)
Jumlah pemberian pada mencit berupa oral
Berat tikus = 240 gram
Volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 240 𝑔
x = 0,6 ml
c) Tikus Nomor 3 (Aspirin)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 230 gram
Dosis per oral
0.09 𝑔 𝑥
=
200 𝑔 230 𝑔
x = 0,103 g
volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 230 𝑔
x = 0,57 ml = 0,6 ml

d) Tikus Nomor 4 (Aspirin)


Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 230 gram
Dosis per oral
0.09 𝑔 𝑥
=
200 𝑔 230 𝑔
x = 0,103 g
volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 230 𝑔
x = 0,57 ml = 0,6 ml
e) Tikus Nomor 6 (Etanol 96%)
-
f) Tikus Nomor 6 (Etanol 96%)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 170 gram
volume pemberian 1 ml/200 gBB
1 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 170 𝑔
x = 0,85 ml
4. Dosis Obat Pada Hari ke 4
a) Tikus Nomor 1 (Normal NaCMC)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 250 gram
Volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 250 𝑔
x = 0,62 ml = 0,6 ml
b) Tikus Nomor 2 (Normal NaCMC)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 250 gram
Volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 250 𝑔
x = 0,62 ml = 0,6 ml
c) Tikus Nomor 3 (Aspirin)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 250 gram
Dosis per oral
0.09 𝑔 𝑥
=
200 𝑔 250 𝑔
x = 0,112 g
volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 250 𝑔
x = 0,62 ml = 0,6 ml
d) Tikus Nomor 4 (Aspirin)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 250 gram
Dosis per oral
0.09 𝑔 𝑥
=
200 𝑔 250 𝑔
x = 0,112 g
volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 250 𝑔
x = 0,62 ml = 0,6 ml
e) Tikus Nomor 5 (Etanol 96 %)
-
f) Tikus Nomor 6 (Etanol 96 %)
-
5. Dosis Obat Pada Hari ke 5
a) Tikus Nomor 1 (Normal NaCMC)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 230 gram
Volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 230 𝑔
x = 0,57 ml = 0,6 ml
b) Tikus Nomor 2 (Normal NaCMC)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 250 gram
Volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 250 𝑔
x = 0,62 ml = 0,6 ml
c) Tikus Nomor 3 (Aspirin)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 240 gram
Dosis per oral
0.09 𝑔 𝑥
=
200 𝑔 240 𝑔
x = 0,108 g
volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 240 𝑔
x = 0,6 ml
d) Tikus Nomor 4 (Aspirin)
Jumlah pemberian pada tikus berupa oral
Berat tikus = 250 gram
Dosis per oral
0.09 𝑔 𝑥
=
200 𝑔 240 𝑔
x = 0,108 g
volume pemberian 0,5 ml/200 gBB
0,5 𝑚𝑙 𝑥
=
200 𝑔 240 𝑔
x = 0,6 ml
e) Tikus Nomor 5 (Etanol 96 %)
-
f) Tikus Nomor 6 (Etanol 96 %)
-
C. PEMBAHASAN

1. UJI TOKSISITAS

Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada
sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari
sediaan uji.Sebelum percobaan toksisitas dilakukan, sebaiknya telah ada data
mengen identifikasi, sifat obat, dan rencana penggunaannya. Data ini dapat
dipakai untuk mengarahkan percobaan toksisitas yang akan dilakukan untuk
meneliti berbagai efek yang berhubungan dengan cara dan waktu pemberian suatu
sediaan obat. Pengujian toksisitas biasanya dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Uji toksisitas akut, Uii ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang
diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam. 2. Uji
toksisitas jangka pendek (subkronis), Uji ini dilakukan dengan memberikan zat
kimia tersebut berulang-ulang, biasanya setiap hari, atau lima kali seminggu,
selama jangka waktu kurang lebih 10% masa hidup hewan, yaitu 3 bulan untuk
tikus 3. Uji toksisitas jangka panjang (kronis),Percobaan jenis ini mencakup
pemberian zat kimia secara berulang selama 3-6 bulan atau seumur hidup hewan,
misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk tikus, dan 7-10 tahun untuk
anjing dan monyet. Memperpanjang percobaan kronis lebih dari 6 bulan tidak
akan bermanfaat, kecuali untuk percobaan karsinogenik. Berbeda dengan
percobaan toksisitas akut yang terutama mencari efek toksik, maksud utama
percobaan toksisitas kronis ialah menguji keamanan obat. Penafsiran keamanan
obat untuk manusia dapat dilakukan melalui serangkaian percobaan toksisitas
terhadap hewan. Dikatakan "penafsiran" karena data dari hewan tidak dapat
diekstrapolasikan begitu saja tanpa mempertimbangkan segala faktor yang
membedakan antara hewan dan manusia (Harmita,2008).

Aspirin atau asam salisilat merupakan obat golongan NSAID, Asam


salisilat adalah suatu asam organik sederhana dengan pKa 3,0. Aspirin (asam
asetilsalisilat, ASA) memiliki pKa 3,5. Salisilat cepat diserap dari lambung dan
usus halus bagian atas menghasilkan kadar salisilat plasma puncak dalam 1-2 jam,
Aspirin diserap secara utuh dan cepat dihidrolisis (waktu-paruh serum 15 menit)
menjadi asam asetat dan salisilat oleh esterase di jaringan dan darah . Salisilat
terikat secara nonlinier ke albumin. Alkalinisasi urin meningkatkan laju ekskresi
salisilat bebas dan konjugat-konjugatnya yang larut air. Mekanisme Kerja Aspirin
secara ireversibel menghambat COX sedemikian sehingga efek anti-trombosit
aspirin menetap 8-10 hari (usia trombosit). Dijaringan lain, sintesis COX baru
menggantikan enzim yang inaktif sehingga dosis biasa menghasilkan lama kerja
6-12 jam. PemakaianKlinis Aspirin menurunkan insidens serangan iskemik
transien (transient ischemic attack, TIA), angina tak-stabil, trombosis arteri
koronaria dengan infark miokardium, dan trombosis setelah tandur pintas arteri
koronaria. Studi-studi epidemiologik menyarankan bahwa pemakaian jangka-
panjang aspirin pada dosis rendah menyebabkan penurunan insidens kanker
kolon, mungkin berkaitan dengan efeknya dalam menghambat COX. Selain efek
samping umum yang tercantum sebelumnya, efek samping utama aspirin pada
dosis antitrombosis adalah gangguan lambung (intoleransi) serta tukak lambung
dan duodenum (Katzung,2012).

Kerusakan pertahanan mukosa lambung terjadi akibat efek OAINS secara


lokal. Beberapa OAINS bersifat asam lemah, sehingga bila berada dalam lambung
yang lumennya bersifat asam (pH kurang dari 3),akan terbentuk partikel yang
tidak terionisasi. Selanjutnya partikel obat tersebut akan mudah berdifusi melalui
membran lipid ke dalam sel epitel mukosa lambung bersama dengan ion H+ .
Dalam epitel lambung, suasana menjadi netral sehingga bagian obat yang
mengalami difusi akan terperangkap dalam sel epitel dan terjadi penumpukan obat
pada lapisan epitel mukosa. Pada epitel tersebut selanjutnyaterjadi ulserasi,
pembentukan PG terhambat, dan terjadi proses inflamasi. Selain itu, adanya
gangguan proses fosforilasi oksidatif di mitokondriadapat berakibat pada
penurunan produksi adenosine triphosphate (ATP), peningkatan adenosine
monophosphate (AMP), dan peningkatan adenosine diphosphate (ADP) dapat
mengakibatkan kerusakan sel. Perubahan itu diikuti oleh kerusakan mitokondria,
peningkatan produksi radikal oksigen, dan gangguankeseimbangan Na+ /K+
,sehingga menurunkan ketahanan mukosa lambung. Kondisi ini memungkinkan
penetrasi asam, pepsin, empedu, dan enzim proteolitik dari lumen lambung ke
mukosa dan menyebabkan nekrosis sel (Amrullah,2016).

Penghambatan sistemik terhadap pelindung mukosa lambung terjadi


melalui inhibisi aktivitas COX mukosa lambung.Prostaglandin berasal dari proses
esterifikasi asam arakidonat pada membran sel mempunyai peran penting dalam
memperbaiki dan mempertahankan integitas mukosa lambung (Amrullah,2016).
Enzim utama yang mengatur pembentukan prostaglandin adalah COX yang
mempunyai dua bentuk enzim yaitu COX-1 dan COX-2, kedua enzim tersebut
mempunyai karakteristik berbeda berdasarkan struktur dan distribusi
jaringan.Cyclooxygenase-1 yang berada pada lambung, trombosit, ginjal, dan sel
endotelialmempunyai peranan penting dalam mempertahankan integritas fungsi
renal, agregasi trombosit, dan integritas mukosa lambung. Cyclooxygenase-2
yang diinduksi oleh rangsangan inflamasi terekspresi pada leukosit, makrofag, sel
sinovial, dan fibroblast (Katzung,2012).

Hepar bukanlah predileksi utama pada kasus toksisitas aspirin. Aspirin


mempunyai efek antiinflamasi yang dikarenakan kerjanya menghambat COX 1
dan COX 2 yang hasilnya mengurangi produksi prostaglandin. Prostaglandin yang
menjadi target utama aspirin adalah PGE 2, yang bentuknya paling stabil di antara
protaglandin lainnya. Pengaruh aspirin dalam penghambatan proses fosforilasi
oksidatif serupa dengan pengaruh yang ditimbulkan 2,4-dinitrofenol. Dalam dosis
toksik, aspirin bisa menghambat metabolisme aerob dari beberapa enzim
dehidrogenase di hepar dan jaringan lainnya, dengan cara berkompetisi dengan
koenzim nukleotida piridin dan penghambatan beberapa enzim oksidase yang
membutuhkan nukleotida sebagai koenzim, seperti xanthin oksidase
(Irvanda,2007).

Metanol dapat diserap melalui kulit atau dari saluran napas atau cerna lalu
didistribusikan ke air tubuh. Mekanisme utama eliminasi metanol pada manusia
adalah melalui oksidasi menjadi formaldehida, asam format, dan CO2. Metanol
diubah menjadi metabolit formaldehida beracun dan format oleh alkohol
dehidrogenase dan aldehida dehydrogenase (Katzung,2012).

Spesies hewan memperlihatkan variabilitas luas dalam dosis rata-rata


metanol. Kerentanan manusia yang tinggi terhadap toksisitas metanol disebabkan
oleh metabolisme menjadi format dan formaldehida, bukan karena metanol itu
sendiri. Karena perubahan metanol menjadi metabolit-metabolit toksiknya
berlangsung relatif lambat maka sering terjadi keterlambatan 6-30 jam sebelum
gejalagejala toksisitas berat muncul, Temuan fisik pada keracunan metanol dini
sangat tidak spesifik, misalnya mabuk dan gastritis (Katzung,2012).

Metanol dapat menimbulkan kerusakan pada sel hepar disebabkan karena


Radikal bebas, Formaldehid dan Asam format. Formaldehid meningkatkan lipid
peroksidase yang dapat mengakibatkan kerusakan sel membran dan kematian sel.
Asam format menghambat aktifitas oksidasi mitokondrial sitokrom, menghalangi
metabolisme oksidatif dan mengakibatkan hipoksia jaringan (Nabila,2011).

Alkohol dalam hal ini metanol mengubah permeabilitas sawar epitel,


sehingga memungkinkan difusi balik asam klorida yang mengakibatkan kerusakan
jaringan, terutama pembuluh darah. Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi
asam dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap
protein. Mukosa menjadi edema, dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang.
Mukosa kapiler dapat rusak, mengakibatkan terjadinya hemoragi interstitial dan
perdarahan (Primayudha,2010).

Alkohol merupakan salah satu senyawa yang menyebabkan abnormalitas


metabolisme. Hal ini dikarenakan oleh jumlah nikotinamida adenin dinukleotida
hidrogen (NADH) yang berlebihan hasil dari oksidasi alkohol oleh enzim alkohol
dehidrogenase (ADH). Akibatnya, reaksi reduksi-oksidasi menjadi tidak
seimbang, mengubah proses metabolisme lipid dan merusak membran hepatosit.
Pemberian alkohol yang berlebihan dalam jangka waktu yang lama akan
menurunkan jumlah enzim aldehida dehidrogenase (ALDH) dan alkohol
dehidrogenase (ADH), sehingga menghambat proses metabolisme asetaldehida.
Senyawa asetaldehida merusak mikrotubula sitoskeleton dan menyebabkan
hepatosit mengalami degenerasi bengkak keruh. Proses sekresi protein pada
hepatosit tersebut menjadi terganggu yang berdampak pada perubahan sifat
permeabilitas membran hepatosit. Proses pemompaan ion Na+ /K+ menjadi
terganggu sebagai akibat dari perubahan permeabilitas membran yang memicu
masuknya air ke dalam hepatosit, sehingga hepatosit membengkak (Hendri,2017).

Uji toksisitas pada percobaan ini merupakan uji toksisitas subkronik


karena Uji ini dilakukan dengan memberikan zat uji berulang-ulang setiap hari,
yaitu selama 6 hari. Uji yang dilakukan adalah uji toksisitas aspirin dan methanol
96% terhadap tikus putih. Data hasil induksi NaCMC sebagai control positif
didapatkan berat hati tikus pertama yaitu 10,76 gram dan tikus kedua 11,21 gram.
Data hasil induksi aspirin didapatkan berat hati pada tikus pertama yaitu 11,76
gram dan tikus kedua 12,7 gram. Data hasil induksi etanol 96% didapatkan berat
hati tikus pertama 4,7 gram dan berat hati tikus kedua yaitu 7,6 gram.

Data hasil induksi aspirin dibandingkan dengan kontrol positif tidak


menunjukkan penurunan atau kenaikan yang signifikan. Dalam dosis toksik,
aspirin bisa menghambat metabolisme aerob dari beberapa enzim dehidrogenase
di hepar dan jaringan lainnya, dengan cara berkompetisi dengan koenzim
nukleotida piridin dan penghambatan beberapa enzim oksidase yang
membutuhkan nukleotida sebagai koenzim, seperti xanthin oksidase. Tidak
adanya efek toksisitas yang terlihat pada hati dapat disebabkan karena dosis yang
diberikan pada tikus belum mencapai dosis toksik aspirin pada hati.

Data hasil induksi methanol 96% dibandingkan dengan kontrol positif


menunjukkan penurunan. Hal ini sesuai dengan teori dimana metanol dapat
menimbulkan kerusakan pada sel hepar disebabkan karena radikal bebas,
Formaldehid dan Asam format. Formaldehid meningkatkan lipid peroksidase
yang dapat mengakibatkan kerusakan sel membran dan kematian sel. Asam
format menghambat aktifitas oksidasi mitokondrial sitokrom, menghalangi
metabolisme oksidatif dan mengakibatkan hipoksia jaringan.

Data hasil induksi NaCMC sebagai control positif yaitu tidak terdapat lesi
pada tikus pertama dan tikus kedua. Data hasil induksi aspirin terdapat 3 lesi pada
tikus pertama dan tikus kedua 2 lesi. Data hasil induksi metanol 96% tidak
didapatkan lesi pada tikus pertama dan 3 lesi pada tikus kedua.

Data hasil induksi aspirin dibandingkan dengan kontrol positif didapatkan


adanya lesi pada kedua tikus yang diinduksi aspirin, hal ini sesuai dengan teori
dimana aspirin merupakan NSAID memiliki mekanisme kerja menghambat COX.
Prostaglandin berasal dari proses esterifikasi asam arakidonat pada membran sel
mempunyai peran penting dalam memperbaiki dan mempertahankan integitas
mukosa lambung. Enzim utama yang mengatur pembentukan prostaglandin adalah
COX yang mempunyai dua bentuk enzim yaitu COX-1 dan COX-2.

Data hasil induksi methanol 96% dibandingkan dengan kontrol positif


menunjukkan adanya lesi pada tikus kedua yang diinduksi methanol 96%. Hal ini
sesuai teori dimana alkohol dalam hal ini metanol mengubah permeabilitas sawar
epitel, sehingga memungkinkan difusi balik asam klorida yang mengakibatkan
kerusakan jaringan, terutama pembuluh darah. Histamin dikeluarkan, merangsang
sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler
terhadap protein. Mukosa menjadi edema, dan sejumlah besar protein plasma
dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak, mengakibatkan terjadinya hemoragi
interstitial dan perdarahan.

Hasil yang diperoleh saat pengamatan berat badan tikus yang diberi NaCMC
kelompok pertama adalah hari ke-1 278 g, hari ke-2 278 g, hari ke-3 230 g, hari ke
4 250 g, hari ke-5 230 g dan hari ke-6 240 g. BB tikus yang diberi NaCMC
kelompok kedua pada hari ke-1 memiliki berat badan 259 g, hari ke-2 274 g, hari
ke-3 230 g, hari ke-4 250 g, hari ke-5 250 g dan hari ke-6 230 g. Tikus yang diberi
aspirin keompok pertama pada hari ke-1 memiliki berat badan 273 g, hari ke-2
276 g, hari ke-3 230 g, hari ke-4 235 g, hari ke-5 230 g, dan hari ke-6 220 g. Tikus
yang diberi aspirin kelompok kedua pada hari pertama memiliki berat badan pada
hari ke-1 268 g, hari ke-2 274, hari ke-3 230 g, hari ke-4 250 g, hari ke-5 240 g
dan hari ke -6 240 g. Tikus yang diberi etanol 96% kelompok pertama pada hari
ke-1 memiliki berat badan m270 g dan hari ke-2 275 g, namun pada hari ke-3
tikus sudah mati. Dan tikus yang diberi etanol 96% kelompok kedua pada hari ke-
1 memiliki berat badan 239 g, hari ke-2 233 g dan hari ke-3 170 g, namun pada
hari ke-4 tikus sudah mati.

2. ANESTESI UMUM

Anestesi umum adalah ketidaksadaran yang dihasilkan oleh medikasi (Torpy,


2011). Anestesi umum adalah keadaan fisiologis yang berubah ditandai dengan
hilangnya kesadaran reversibel, analgesia dari seluruh tubuh, amnesia, dan
beberapa derajat relaksasi otot (Morgan et al., 2006).

Mekanisme kerja obat anestetik memengaruhi neuron di berbagai lokasi di


dalam sel, tetapi fokus primer adalah di sinaps. Suatu efek prasinaps mungkin
mengubah pelepasan neurotransmiter, sementara efek pascasinaps dapat berupa
perubahan frekuensi atau amplitudo impuls yang keluar dari sinaps. Di tingkat
organ, efek obat anestetik mungkin. terjadi karena penguatan inhibisi atau
berkurangnya eksitasi di dalam SSP. Studi-studi pada isolat jaringan korda
spinalis memperlihatkan bahwa obat anestetik lebih menimbulkan gangguan pada
transmisi eksitatorik daripada menguatkan efek inhibitorik. Saluran klorida
(reseptor asam γ-aminobutirat-A [GABAA] dan glisin) dan saluran kalium
(saluran K2P, mungkin KV, dan KATP) masih merupakan saluran ion inhibitorik
utama yang dianggap sebagai kandidat efek anestetik. Saluran ion eksitatorik yang
merupakan sasaran mencakup saluran yang diaktifkan oleh asetilkolin (reseptor
nikotinik dan muskarinik), oleh asam amino eksitatorik (reseptor asam amino-3-
hidroksi-5-metil-4-isoksazol-propionat [AMPA], kainat, dan N-metil-D-aspartat
[NMDA]), atau oleh serotonin (reseptor 5- HT2 dan 5-HT3) (Katzung,2012).

Secara tradisional, efek anestetik pada otak menimbulkan empat stadium atau
tingkat kedalaman depresi SSP (tanda Guedel, berasal dari pengamatan efek
inhalasi dietil eter): Stadium I-analgesia: Pasien awalnya mengalami analgesia
tanpa anestesia. Kemudian pada stadium I, terjadi baik analgesia maupun amnesia.
Stadium IIexcitement: Selama stadium ini, pasien tampak delir, mungkin bersuara
tetapi sama sekali amnesik. Pernapasan cepat, dan kecepatan jantung dan tekanan
darah meningkat. Durasi dan keparahan stadium ringan anestesia ini dipersingkat
oleh peningkatan cepat konsentrasi obat. Stadium 111-anestesia bedah: Stadium
ini dimulai dengan melambatnya pernapasan dan kecepatan jantung serta meluas
hingga ke penghentian total pernapasan spontan (apnu). Berdasarkan perubahan
pada gerakan mata, refleks mata, dan ukuran pupil terdapat empat bidang stadium
III yang dikenal yang menunjukkan kedalaman anestesia. Stadium IV-depresi
medula: Stadium dalam anestesia ini mencerminkan depresi berat SSP, termasuk
pusat vasomotor di medula dan pusat pernapasan di batang otak. Tanpa bantuan
sirkulasi dan pernapasan, pasien cepat meninggal (Katzung,2012).

Tahapan-tahapan anestesi umum yaitu, tahap 1 (amnesia) dimulai dengan


induksi anestesi dan berakhir denganhilangnya kesadaran (hilangnya reflex
kelopak mata). Ambang persepsi sakit selama tahap ini tidak diturunkan. Tahap 2
(delirium) ditandai dengan eksitasi yang tidak terinhibisi. Agitasi,delirium,
respirasi yang ireguler dan menahan nafas. Pupil dilatasi dan mata yang
divergensi. Respons terhadap stimuli berbahaya dapat terjadi selama tahap ini
mungkin termasuk muntah, spasme laring, hipertensi, takikardia, dan gerakan
yang tidak terkendali. Tahap 3 (anestesi bedah) ditandai dengan tatapan terpusat,
pupil konstriksi, dan respirasi teratur. Target kedalaman anestesi cukup ketika
stimulasi yang menyakitkan tidak menimbulkan reflex somatic atau mengganggu
respon otonom. Tahap 4 (kematian yang akan datang / overdosis) adalah ditandai
dengan timbulnya apnea, pupil yang berdilatasi dan tidak reaktif, dan hipotensi
(Morgan, 2006).

Cara kerja yang dilakukan pada percobaan anestesi umum tikus putih ini
adalah dengan menyiapkan alat dan bahan terlebih dahulu seperti pipet tetes,
toples, kapas, dan eter serta kloroform. Pertama dimasukkan kapas ke dalam
toples, ditambahkan eter dan kloroform sebnayak 25 tetes menggunakan pipet
tetes. Lalu, tutup sebentar toples dengan rapat biarkan eter dan kloroform
menguap di dalamnya. Diamati tikus putih sebelum dilakukan anestesi baik
perilaku maupun fisiknya. Setelah itu, dimasukkan tikus putih yang telah diamati
ke dalam toples dan segera dititup toples tersebut. Diamati tahap anestesi yang
terjadi pada tikus putih, dicatat waktu yang dibutuhkan pada menit keberapa
tahapan anehstesi berlangsung. Setelah tahapan anestesi selesai, dikeluarkan
kembali tikus putih tersebut.

Data hasil pengamatan tikus nomor 1 sebelum anestesi mulai dilakukan,


didapatkan data jenis pernafasan dada, frekuensi pernafasan normal, terjadi reflex
pupil mengecil, pergerakan aktif, detak jantung normal, respon nyeri
(mengeluarkan suara), urinasi. Pada fase 1 detik ke-26 terjadi perception
distortion (kebingungan), detik ke-30 pernafasan lambat, pada 2 menit 19 detik
tikus grooming, dan menggunakan pernfasan perut. Pada menit ke-3 mulai hilang
kesadaran, refelks pupil mengecil dan memasuki fase 2, pada awal fase 2 sampai
12 menit 54 detik tikus menggunakan pernafasan perut tidak teratur, reflex pupil
mata, menit ke-14 tikus terbaring diam hingga memasuki fase 3. Pada fase 3 yaitu
pada 18 menit 37 detik tikus sadar kembali, hilang keseimbangan, kelumpuhan
pada bagian belakang, detak jantung cepat dan kebingungan.

Data hasil pengamatan tikus nomor 2 sebelum anestesi dengan kloroform


mulai dilakukan, didapatkan data pernafasan normal, detak jantung normal, dan
pupil mata normal (mengecil). Saat memasuki fase 1 tikus hilang keseimbangan,
dan pasif hingga memasuki fase 2. Fase 2 yaitu pada 2 menit 12 detik tikus
menggunakan pernafasan dada, otot kontraksi secara tiba-tiba, detak jangtung
lambat. Fase 3 yaitu pada 10 menit 37 detik detak jantung melambat, kehilangan
kesaadaran, pada 13 menit 7 detik tikus sadar kembali.

Data hasil pengamatan tikus nomor 3 sebelum anestesi dengan eter mulai
dilakukan, didapatkan data aktif bergerak, reflex pupil menngecil, nafas sedikit
cepat sampai normal, dan pernafasan dada. Saat memasuki fase 1 yaitu pada menit
ke 1 didapatkan data tikus menggunakan pernafasan perut, pasif, dan sedikit
grooming hingga memasuki fase ke 2 pada menit ke 2. Pada 2 menit 20 detik
didapatkan tikus hilang kesadaran dan pernafasan cepat. fase 3 yaitu pada 4 menit
10 detik tikus sadar kembali.

Data hasil pengamatan tikus nomor 4 sebelum anestesi dengan kloroform


mulai dilakukan, didapatkan data aktif bergerak, pupil mengecil, pernafasan dada,
dan nafas normal-cepat. Pada fase 1 didapatkan tikus masih aktif bergerak, nafas
melambat, reflex pupil mengecil, dan mulai diam saat memasuki fase 2 pada 1
menit 14 detik. Fase 2 pada 1 menit 42 detik tikus tidak sadar. Pada fase 3 tikus
masih tidak sadar dan denyut jantung melambat, pada 7 menit 18 detik tikus sadar
kembali, lemah, lakrimasi, dan pupil melebar.
D. SOAL
1. Data apa aja saja yang anda target di uji toksisitas khusus yang anda kerjakan
di praktikum ini? Bagaimana cara mendapatkannya?
Jawab:
Data yang ditargetkan dalam uji toksisitas ini adalah efek toksisitas , aspirin
dan Etanol 96% terhadap tingkat kerusakan pada lambung dan berat akhir
organ hati serta penurunan berat badan tikus. Cara mendapatkannya adalah
dengan mengamati perilaku hewan coba selama 5 hari dan diinduksi obat-
obat tersebut selama 5 hari dan menyesuaikan dosisnya dengan berat badan
masing-masing tikus. Kemudian apabila mati sebelum 5 hari ataupun setelah
5 hari selanjutnya dibedah untuk diambil lambung untuk diamati lesi lambung
dan hatinya untuk ditimbang dan dibandingkan dengan organ yang normal

2. Jelaskan mengenai analisis data deskriptif dan cara pengambilan


kesimpulannya
Jawab:
Analasisi data deskriptif diambil melalui perbandingan antara tikus yang
menjadi control (yang diberi NaCMC) dan dihubungkan melalui teori yang
ada mengenai efek samping dari penggunaan Aspirin dan etanol yang
berlebih dalam jumlah yang besar.

3. Apakah semua stadium pada anestesi umum dengan eter dapat terlihat pada
percobaan?
Jawab :
Tidak, stadium yang terlihat pada anestesi umum dengan eter hanya terlihat
stadium 1 sampai 3, stadium 4 tidak terlihat karena setelah mengalami stadium
3 tikus sadar kembali seperti semula sebelum di anestesi. Tahapan-tahapan
anestesi umum yang terlihat yaitu, tahap 1 (amnesia) dimulai dengan induksi
anestesi dan berakhir dengan hilangnya kesadaran (hilangnya reflex kelopak
mata). Ambang persepsi sakit selama tahap ini tidak diturunkan. Tahap 2
(delirium) ditandai dengan eksitasi yang tidak terinhibisi. Agitasi,delirium,
respirasi yang ireguler danmenahan nafas. Pupil dilatasi dan mata yangd
ivergensi. Respons terhadap stimuli berbahaya dapat terjadi selama tahap ini
mungkin termasuk muntah, spasme laring, hipertensi, takikardia, dan
gerakanyang tidak terkendali. Tahap 3(anestesi bedah) ditandai dengan tatapan
terpusat, pupil konstriksi, dan respirasi teratur. Target kedalaman anestesi
cukup ketika stimulasi yang menyakitkan tidak menimbulkan reflex somatic
atau mengganggu respon otonom (Morgan, 2006).

4. Bila dapat terlihat dengan jelas, apakah tanda-tanda stadium dapat diperoleh?
Tanda apa aja saja yang tidak didapatkan atau tidak terlihat dengan jelas?
Jawab:
Tanda- tanda yang terlihat dengan jelas pada stadium adalah 1 (amnesia)
dimulai dengan dengan hilangnya kesadaran (hilangnya reflex kelopak mata).
Ambang persepsi sakit selama tahap ini tidak diturunkan. Tahap 2 (delirium)
ditandai dengan eksitasi yang tidak terinhibisi. Agitasi,delirium, respirasi yang
ireguler dan menahan nafas. Pupil dilatasi dan mata yang divergensi. Respons
terhadap stimuli berbahaya termasuk takikardia, dan gerakan yang tidak
terkendali. Tahap 3(anestesi bedah) ditandai dengan tatapan terpusat, pupil
konstriksi, dan respirasi teratur. Target kedalaman anestesi cukup ketika
stimulasi yang menyakitkan tidak menimbulkan reflex somatic atau
mengganggu respon otonom. Yang tidak terlihat adalah tahap 4 (kematian yang
akan datang / overdosis) yang seharusnya ditandai dengan timbulnya apnea,
pupil yang berdilatasi dan tidak reaktif, dan hipotensi (Morgan, 2006).

5. Pada auskultasi, apakah yang didapatkan? Mengapa hal tersebut dapat terjadi?
Jelaskan !
Jawab:
Tidak ada hasil yang didapatkan, pada percobaan ini, karena pada percobaan
tersebut kami tidak melakukan auskultasi atau pemeriksaan menggunakan
stetoskop.

6. Pada stadium keberapa rasa nyeri mulai hilang?


Jawab:
Rasa nyeri mulai hilang pada stadium 4, tahap 4 (kematian yang akan datang /
overdosis) adalah ditandai dengan timbulnya apnea, pupil yang berdilatasi
dantidak reaktif, danhipotensi. Sedangkan hasil yang diperoleh tikus mulai
sadar kembali setelah melewati stadium 3 (Morgan, 2006).
E. KESIMPULAN
1. Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada
sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari
sediaan uji
2. Data hasil induksi NaCMC sebagai control positif yaitu tidak terdapat lesi
pada tikus pertama dan tikus kedua. Data hasil induksi aspirin terdapat 3
lesi pada tikus pertama dan tikus kedua 2 lesi. Data hasil induksi metanol
96% tidak didapatkan lesi pada tikus pertama dan 3 lesi pada tikus kedua.
3. Data hasil induksi aspirin dibandingkan dengan kontrol positif didapatkan
adanya lesi pada kedua tikus yang diinduksi aspirin, hal ini sesuai dengan
teori dimana aspirin merupakan NSAID memiliki mekanisme kerja
menghambat COX. Prostaglandin berasal dari proses esterifikasi asam
arakidonat pada membran sel mempunyai peran penting dalam
memperbaiki dan mempertahankan integitas mukosa lambung. Enzim
utama yang mengatur pembentukan prostaglandin adalah COX yang
mempunyai dua bentuk enzim yaitu COX-1 dan COX-2.
4. Data hasil induksi methanol 96% dibandingkan dengan kontrol positif
menunjukkan adanya lesi pada tikus kedua yang diinduksi methanol 96%.
Hal ini sesuai teori dimana alkohol dalam hal ini metanol mengubah
permeabilitas sawar epitel, sehingga memungkinkan difusi balik asam
klorida yang mengakibatkan kerusakan jaringan
5. Anestesi umum adalah keadaan fisiologis yang berubah ditandai dengan
hilangnya kesadaran reversibel, analgesia dari seluruh tubuh, amnesia, dan
beberapa derajat relaksasi otot
6. Stadium I-analgesia: Pasien awalnya mengalami analgesia, Stadium II-
excitement: Selama stadium ini, pasien tampak delir, mungkin bersuara
tetapi sama sekali amnesik. Pernapasan cepat, dan kecepatan jantung dan
tekanan darah meningkat. Stadium III-anestesia bedah: Stadium ini
dimulai dengan melambatnya pernapasan dan kecepatan jantung serta
meluas hingga ke penghentian total pernapasan spontan (apnu). Stadium
IV-depresi medula: Stadium dalam anestesia ini mencerminkan depresi
berat ssp, tanpa bantuan sirkulasi pernafasan pasien dapat kehilangan
nyawa dengan cepat.
.
DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, Fathan Muhi dkk. 2016. Hubungan Konsumsi OAINS terhadap


Gastritis,Jurnal Major 5 (5) : 18-1

Harmita, dan Radji, M., 2008, Buku Ajar Analisis Hayati, Edisi 3, pp. 125-9,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Henri, dkk. 2017. Tingkat Kerusakan Hepatosit Mencit yang Diinduksi Alkohol
40%, Jurnal Protobiont, 6 (1) : 15-19

Irvanda, Rizal. 2007. Oral Aspirin Effect In Level Dosage to Liver Histopatology
Pattern of Wistar. Semarang : Universitas Diponegoro

Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. EGC :
Jakarta

Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., 2006. Geriatri Anesthesia. Dalam :
Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. Clinical Anesthesiology, 4th
Edition. New York: McGraw Hill

Nabila, Norma. 2011. Pengaruh Pemberian Metanol Dan Etanol Terhadap Tingkat
Kerusakan Sel Hati Tikus Wistar. Semarang : Universitas Diponegoro

Primayudha, Bangkit. 2010. Pengaruh Pemberian Metanol 50% per Oral dengan
Dosis Bertingkat Terhadap Tingkat Kerusakan Gaster Tikus Wistar. Semarang
: Universitas Diponegoro

Torpy, Janet M., 2014. Ovarian Cancer. The Journal of the American Medical
Association. vol. 305 (23)

Anda mungkin juga menyukai