LABORATORIUM
FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI FARMASI & MAKANAN
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
DATA PRIBADI
NAMA : ROHANI
NIM : 1813015043
PRODI : FARMASI
JURUSAN : FARMASI
SEMESTER : 3
KELAS : C1 2018
A. HASIL PENGAMATAN
1. Tabel Hasil Pengamatan Hari Ke-0
Nomor
Obat BB Sebelum Dioralkan
Tikus
Normal
1 278 g Normal, lebih aktif, napas normal, agresif
NaCMC
Normal
2 259 g Normal, lebih aktif, napas normal, agresif
NaCMC
3 Aspirin 273 g Normal, lebih aktif, napas normal, agresif,
4 Aspirin 268 g Normal, lebih aktif, napas normal, agresif
5 Etanol 96% 270 g Normal, lebih aktif, napas normal, agresif
6 Etanol 96% 239 g Normal, lebih aktif, napas normal, agresif
Nomor
Obat BB Sebelum Dioralkan Sesudah Dioralkan
Tikus
Nomor
Obat BB Sebelum Dioralkan Sesudah Dioralkan
Tikus
Nomor
Obat BB Sebelum Dioralkan Sesudah Dioralkan
Tikus
Hidung berdarah,
Normal Normal, lebih aktif,
1 230 g napas cepat, pupil
NaCMC detak jantung cepat
normal, lebih tenag
Nomor
Obat BB Sebelum Dioralkan Sesudah Dioralkan
Tikus
Tidak Tidak
Lesi Lambung 3 lesi 2 lesi - 3 lesi
ada ada
1. UJI TOKSISITAS
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada
sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari
sediaan uji.Sebelum percobaan toksisitas dilakukan, sebaiknya telah ada data
mengen identifikasi, sifat obat, dan rencana penggunaannya. Data ini dapat
dipakai untuk mengarahkan percobaan toksisitas yang akan dilakukan untuk
meneliti berbagai efek yang berhubungan dengan cara dan waktu pemberian suatu
sediaan obat. Pengujian toksisitas biasanya dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Uji toksisitas akut, Uii ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang
diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam. 2. Uji
toksisitas jangka pendek (subkronis), Uji ini dilakukan dengan memberikan zat
kimia tersebut berulang-ulang, biasanya setiap hari, atau lima kali seminggu,
selama jangka waktu kurang lebih 10% masa hidup hewan, yaitu 3 bulan untuk
tikus 3. Uji toksisitas jangka panjang (kronis),Percobaan jenis ini mencakup
pemberian zat kimia secara berulang selama 3-6 bulan atau seumur hidup hewan,
misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk tikus, dan 7-10 tahun untuk
anjing dan monyet. Memperpanjang percobaan kronis lebih dari 6 bulan tidak
akan bermanfaat, kecuali untuk percobaan karsinogenik. Berbeda dengan
percobaan toksisitas akut yang terutama mencari efek toksik, maksud utama
percobaan toksisitas kronis ialah menguji keamanan obat. Penafsiran keamanan
obat untuk manusia dapat dilakukan melalui serangkaian percobaan toksisitas
terhadap hewan. Dikatakan "penafsiran" karena data dari hewan tidak dapat
diekstrapolasikan begitu saja tanpa mempertimbangkan segala faktor yang
membedakan antara hewan dan manusia (Harmita,2008).
Metanol dapat diserap melalui kulit atau dari saluran napas atau cerna lalu
didistribusikan ke air tubuh. Mekanisme utama eliminasi metanol pada manusia
adalah melalui oksidasi menjadi formaldehida, asam format, dan CO2. Metanol
diubah menjadi metabolit formaldehida beracun dan format oleh alkohol
dehidrogenase dan aldehida dehydrogenase (Katzung,2012).
Data hasil induksi NaCMC sebagai control positif yaitu tidak terdapat lesi
pada tikus pertama dan tikus kedua. Data hasil induksi aspirin terdapat 3 lesi pada
tikus pertama dan tikus kedua 2 lesi. Data hasil induksi metanol 96% tidak
didapatkan lesi pada tikus pertama dan 3 lesi pada tikus kedua.
Hasil yang diperoleh saat pengamatan berat badan tikus yang diberi NaCMC
kelompok pertama adalah hari ke-1 278 g, hari ke-2 278 g, hari ke-3 230 g, hari ke
4 250 g, hari ke-5 230 g dan hari ke-6 240 g. BB tikus yang diberi NaCMC
kelompok kedua pada hari ke-1 memiliki berat badan 259 g, hari ke-2 274 g, hari
ke-3 230 g, hari ke-4 250 g, hari ke-5 250 g dan hari ke-6 230 g. Tikus yang diberi
aspirin keompok pertama pada hari ke-1 memiliki berat badan 273 g, hari ke-2
276 g, hari ke-3 230 g, hari ke-4 235 g, hari ke-5 230 g, dan hari ke-6 220 g. Tikus
yang diberi aspirin kelompok kedua pada hari pertama memiliki berat badan pada
hari ke-1 268 g, hari ke-2 274, hari ke-3 230 g, hari ke-4 250 g, hari ke-5 240 g
dan hari ke -6 240 g. Tikus yang diberi etanol 96% kelompok pertama pada hari
ke-1 memiliki berat badan m270 g dan hari ke-2 275 g, namun pada hari ke-3
tikus sudah mati. Dan tikus yang diberi etanol 96% kelompok kedua pada hari ke-
1 memiliki berat badan 239 g, hari ke-2 233 g dan hari ke-3 170 g, namun pada
hari ke-4 tikus sudah mati.
2. ANESTESI UMUM
Secara tradisional, efek anestetik pada otak menimbulkan empat stadium atau
tingkat kedalaman depresi SSP (tanda Guedel, berasal dari pengamatan efek
inhalasi dietil eter): Stadium I-analgesia: Pasien awalnya mengalami analgesia
tanpa anestesia. Kemudian pada stadium I, terjadi baik analgesia maupun amnesia.
Stadium IIexcitement: Selama stadium ini, pasien tampak delir, mungkin bersuara
tetapi sama sekali amnesik. Pernapasan cepat, dan kecepatan jantung dan tekanan
darah meningkat. Durasi dan keparahan stadium ringan anestesia ini dipersingkat
oleh peningkatan cepat konsentrasi obat. Stadium 111-anestesia bedah: Stadium
ini dimulai dengan melambatnya pernapasan dan kecepatan jantung serta meluas
hingga ke penghentian total pernapasan spontan (apnu). Berdasarkan perubahan
pada gerakan mata, refleks mata, dan ukuran pupil terdapat empat bidang stadium
III yang dikenal yang menunjukkan kedalaman anestesia. Stadium IV-depresi
medula: Stadium dalam anestesia ini mencerminkan depresi berat SSP, termasuk
pusat vasomotor di medula dan pusat pernapasan di batang otak. Tanpa bantuan
sirkulasi dan pernapasan, pasien cepat meninggal (Katzung,2012).
Cara kerja yang dilakukan pada percobaan anestesi umum tikus putih ini
adalah dengan menyiapkan alat dan bahan terlebih dahulu seperti pipet tetes,
toples, kapas, dan eter serta kloroform. Pertama dimasukkan kapas ke dalam
toples, ditambahkan eter dan kloroform sebnayak 25 tetes menggunakan pipet
tetes. Lalu, tutup sebentar toples dengan rapat biarkan eter dan kloroform
menguap di dalamnya. Diamati tikus putih sebelum dilakukan anestesi baik
perilaku maupun fisiknya. Setelah itu, dimasukkan tikus putih yang telah diamati
ke dalam toples dan segera dititup toples tersebut. Diamati tahap anestesi yang
terjadi pada tikus putih, dicatat waktu yang dibutuhkan pada menit keberapa
tahapan anehstesi berlangsung. Setelah tahapan anestesi selesai, dikeluarkan
kembali tikus putih tersebut.
Data hasil pengamatan tikus nomor 3 sebelum anestesi dengan eter mulai
dilakukan, didapatkan data aktif bergerak, reflex pupil menngecil, nafas sedikit
cepat sampai normal, dan pernafasan dada. Saat memasuki fase 1 yaitu pada menit
ke 1 didapatkan data tikus menggunakan pernafasan perut, pasif, dan sedikit
grooming hingga memasuki fase ke 2 pada menit ke 2. Pada 2 menit 20 detik
didapatkan tikus hilang kesadaran dan pernafasan cepat. fase 3 yaitu pada 4 menit
10 detik tikus sadar kembali.
3. Apakah semua stadium pada anestesi umum dengan eter dapat terlihat pada
percobaan?
Jawab :
Tidak, stadium yang terlihat pada anestesi umum dengan eter hanya terlihat
stadium 1 sampai 3, stadium 4 tidak terlihat karena setelah mengalami stadium
3 tikus sadar kembali seperti semula sebelum di anestesi. Tahapan-tahapan
anestesi umum yang terlihat yaitu, tahap 1 (amnesia) dimulai dengan induksi
anestesi dan berakhir dengan hilangnya kesadaran (hilangnya reflex kelopak
mata). Ambang persepsi sakit selama tahap ini tidak diturunkan. Tahap 2
(delirium) ditandai dengan eksitasi yang tidak terinhibisi. Agitasi,delirium,
respirasi yang ireguler danmenahan nafas. Pupil dilatasi dan mata yangd
ivergensi. Respons terhadap stimuli berbahaya dapat terjadi selama tahap ini
mungkin termasuk muntah, spasme laring, hipertensi, takikardia, dan
gerakanyang tidak terkendali. Tahap 3(anestesi bedah) ditandai dengan tatapan
terpusat, pupil konstriksi, dan respirasi teratur. Target kedalaman anestesi
cukup ketika stimulasi yang menyakitkan tidak menimbulkan reflex somatic
atau mengganggu respon otonom (Morgan, 2006).
4. Bila dapat terlihat dengan jelas, apakah tanda-tanda stadium dapat diperoleh?
Tanda apa aja saja yang tidak didapatkan atau tidak terlihat dengan jelas?
Jawab:
Tanda- tanda yang terlihat dengan jelas pada stadium adalah 1 (amnesia)
dimulai dengan dengan hilangnya kesadaran (hilangnya reflex kelopak mata).
Ambang persepsi sakit selama tahap ini tidak diturunkan. Tahap 2 (delirium)
ditandai dengan eksitasi yang tidak terinhibisi. Agitasi,delirium, respirasi yang
ireguler dan menahan nafas. Pupil dilatasi dan mata yang divergensi. Respons
terhadap stimuli berbahaya termasuk takikardia, dan gerakan yang tidak
terkendali. Tahap 3(anestesi bedah) ditandai dengan tatapan terpusat, pupil
konstriksi, dan respirasi teratur. Target kedalaman anestesi cukup ketika
stimulasi yang menyakitkan tidak menimbulkan reflex somatic atau
mengganggu respon otonom. Yang tidak terlihat adalah tahap 4 (kematian yang
akan datang / overdosis) yang seharusnya ditandai dengan timbulnya apnea,
pupil yang berdilatasi dan tidak reaktif, dan hipotensi (Morgan, 2006).
5. Pada auskultasi, apakah yang didapatkan? Mengapa hal tersebut dapat terjadi?
Jelaskan !
Jawab:
Tidak ada hasil yang didapatkan, pada percobaan ini, karena pada percobaan
tersebut kami tidak melakukan auskultasi atau pemeriksaan menggunakan
stetoskop.
Harmita, dan Radji, M., 2008, Buku Ajar Analisis Hayati, Edisi 3, pp. 125-9,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Henri, dkk. 2017. Tingkat Kerusakan Hepatosit Mencit yang Diinduksi Alkohol
40%, Jurnal Protobiont, 6 (1) : 15-19
Irvanda, Rizal. 2007. Oral Aspirin Effect In Level Dosage to Liver Histopatology
Pattern of Wistar. Semarang : Universitas Diponegoro
Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. EGC :
Jakarta
Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., 2006. Geriatri Anesthesia. Dalam :
Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. Clinical Anesthesiology, 4th
Edition. New York: McGraw Hill
Nabila, Norma. 2011. Pengaruh Pemberian Metanol Dan Etanol Terhadap Tingkat
Kerusakan Sel Hati Tikus Wistar. Semarang : Universitas Diponegoro
Primayudha, Bangkit. 2010. Pengaruh Pemberian Metanol 50% per Oral dengan
Dosis Bertingkat Terhadap Tingkat Kerusakan Gaster Tikus Wistar. Semarang
: Universitas Diponegoro
Torpy, Janet M., 2014. Ovarian Cancer. The Journal of the American Medical
Association. vol. 305 (23)