Anda di halaman 1dari 19

[Metodologi Penelitian]

Skala Pengukuran
Juli 24, 2011 4 Komentar
Melanjutkan tulisan sebelumnya, [Metodologi Penelitian]Populasi dan Sampel kali ini saya akan
membahas mengenai skala pengukuran.
Setelah menentukan populasi dan sampel yang akan diteliti, sekarang tinggal menentukan skala
pengukuran yang ingin digunakan. Skala pengukuran ini akan digunakan sebagai acuan untuk
menentukan panjang pendeknya interval yang terdapat pada alat ukur.
Skala pengukuran adalah kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang
pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam
pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif
Sugiyono, 2004, p84.
Ada beberapa jenis skala pengukuran yang dapat digunakan, antara lain :

1. Skala Likert
Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau kelompok orang
tentang sebuah fenomena sosial. Dengan skala likert, maka variable yang akan diukur dijabarkan
menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun
item-item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan.
Setiap jawaban dari item instrumen yang menggunakan skala Likert memiliki gradasi dari sangat positif
hingga sangat negatif, yang dapat berupa kata – kata antara lain : sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak
setuju, sangat tidak setuju; setuju, sering, kadang-kadang, hampir tidak pernah, tidak pernah; dan
sebagainya. Dan untuk keperluan analisis kuantitatif maka jawaban tersebut diberi skor misalnya :
Sangat Setuju (5), Setuju (4), ragu-ragu (3), Tidak setuju (2), Sangat tidak setuju (1).
Skor yang diberikan tersebut akan dianalisis dan diukur lebih lanjut agar dapat menghasilkan sebuah
hipotesa.
2. Skala Guttman
Skala pengukuran dengan tipe ini akan didapat jawaban yang tegas, yaitu “Ya-Tidak”; “Benar-Salah”;
“Pernah-Tidak pernah”; dan lain-lain. Data yang diperoleh dapat berupa data interval atau rasio dua
alternatif. Jika pada skala likert terdapat 3,4,5,6,7 interval (dari kata “Sangat setuju” hingga “Sangat
tidak setuju”) maka dalam skala Guttman hanya ada dua interval yaitu “Setuju” dan “Tidak Setuju”.
Penelitian menggunakan skala guttman dilakukan bila ingin mendapatkan jawaban yang tegas terhadap
suatu permasalahan yang ditanyakan.
3. Rating Scale
Dari kedua skala pengukuran yang telah dikemukakan, data yang diperoleh adalah data kualitatif yang
kemudian dikuantitatifkan. Namun dengan rating scale, data mentah yang diperoleh berupa angka
kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif. Yang penting bagi penyusunan instrumen dengan
rating scale adalah harus dapat mengartikan setiap angka yang diberikan pada alternatif jawaban pada
setiap item instrument.
4. Semantic Differensial
SKala pengukuran ini digunakan untuk mengukur sikap, hanya bentuknya tidak pilihan ganda ataupun
checklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum yang jawabannya sangat positifnya terlektan di
bagian kanan garis, dan jawaban yang sangat negatif terletak di bagian kiri garis. Data yang diperoleh
adalah data interval dan biasanya skala ini digunakan untuk mengukur sikap/karakteristik tertentu yang
dimiliki oleh seseorang.
Penentuan skala pengukuran ini tergantung dari tujuan penelitian yang akan dilakukan, jadi harap
dicermati terlebih dahulu apa yang akan diteliti. Setelah menentukan skala pengukuran, baru kita
memastikan teknik pengumpulan data yang akan digunakan.

VALIDITAS DAN RELIABILITAS

A. Validitas

1. Pengertian Validitas

Menurut Azwar (1986) Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan
dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.

Suatu skala atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila
instrumen tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan
maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sedangkan tes yang memiliki validitas rendah akan
menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran.

Terkandung di sini pengertian bahwa ketepatan validitas pada suatu alat ukur tergantung pada
kemampuan alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Suatu
tes yang dimaksudkan untuk mengukur variabel A dan kemudian memberikan hasil pengukuran
mengenai variabel A, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas tinggi. Suatu tes yang
dimaksudkan mengukur variabel A akan tetapi menghasilkan data mengenai variabel A’ atau bahkan
B, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas rendah untuk mengukur variabel A dan tinggi
validitasnya untuk mengukur variabel A’ atau B (Azwar 1986).

Sisi lain dari pengertian validitas adalah aspek kecermatan pengukuran. Suatu alat ukur yang valid
tidak hanya mampu menghasilkan data yang tepat akan tetapi juga harus memberikan gambaran
yang cermat mengenai data tersebut.

Cermat berarti bahwa pengukuran itu dapat memberikan gambran mengenai perbedaan yang sekecil-
kecilnya mengenai perbedaan yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh, dalam bidang
pengukuran aspek fisik, bila kita hendak mengetahui berat sebuah cincin emas maka kita harus
menggunakan alat penimbang berat emas agar hasil penimbangannya valid, yaitu tepat dan cermat.
Sebuah alat penimbang badan memang mengukur berat, akan tetapi tidaklah cukup cermat guna
menimbang berat cincin emas karena perbedaan berat yang sangat kecil pada berat emas itu tidak
akan terlihat pada alat ukur berat badan.

Menggunakan alat ukur yang dimaksudkan untuk mengukur suatu aspek tertentu akan tetapi tidak
dapat memberikan hasil ukur yang cermat dan teliti akan menimbulkan kesalahan atau eror. Alat ukur
yang valid akan memiliki tingkat kesalahan yang kecil sehingga angka yang dihasilkannya dapat
dipercaya sebagai angka yang sebenarnya atau angka yang mendekati keadaan yang sebenarnya
(Azwar 1986).
Pengertian validitas juga sangat erat berkaitan dengan tujuan pengukuran. Oleh karena itu, tidak ada
validitas yang berlaku umum untuk semua tujuan pengukuran. Suatu alat ukur biasanya hanya
merupakan ukuran yang valid untuk satu tujuan yang spesifik. Dengan demikian, anggapan valid
seperti dinyatakan dalam “alat ukur ini valid” adalah kurang lengkap. Pernyataan valid tersebut harus
diikuti oleh keterangan yang menunjuk kepada tujuan (yaitu valid untuk mengukur apa), serta valid
bagi kelompok subjek yang mana? (Azwar 1986)

Pengertian validitas menurut Walizer (1987) adalah tingkaat kesesuaian antara suatu batasan
konseptual yang diberikan dengan bantuan operasional yang telah dikembangkan.

Menurut Aritonang R. (2007) validitas suatu instrumen berkaitan dengan kemampuan instrument itu
untuk mengukur atu mengungkap karakteristik dari variabel yang dimaksudkan untuk diukur.
Instrumen yang dimaksudkan untuk mengukur sikap konsumen terhadap suatu iklan, misalnya, harus
dapat menghasilkan skor sikap yang memang menunjukkan sikap konsumen terhadap iklan tersebut.
Jadi, jangan sampai hasil yang diperoleh adalah skor yang menunjukkan minat konsumen terhadap
iklan itu.

Validitas suatu instrumen banyak dijelaskan dalam konteks penelitian sosial yang variabelnya tidak
dapat diamati secara langsung, seperti sikap, minat, persepsi, motivasi, dan lain sebagainya. Untuk
mengukur variabel yang demikian sulit, untuk mengembangkan instrumen yang memiliki validitas
yang tinggi karena karakteristik yang akan diukur dari variabel yang demikian tidak dapat diobservasi
secara langsung, tetapi hanya melalui indikator (petunjuk tak langsung) tertentu. (Aritonang R. 2007)

Menurut Masri Singarimbun, validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur
apa yang ingin diukur. Bila seseorang ingin mengukur berat suatu benda, maka dia harus
menggunakan timbangan. Timbangan adalah alat pengukur yang valid bila dipakai untuk mengukur
berat, karena timbangan memang mengukur berat. Bila panjang sesuatu benda yang ingin diukur,
maka dia harus menggunakan meteran. Meteran adalah alat pengukur yang valid bila digunakan
untuk mengukur panjang, karena memang meteran mengukur panjang. Tetapi timbangan bukanlah
alat pengukur yang valid bilamana digunakan untuk mengukur panjang.

Sekiranya penelliti menggunakan kuesioner di dalam pengumpulan data penelitian, maka kuesioner
yang disusunnya harus mengukur apa yang ingin diukurnya. Setelah kuesioner tersebut tersusun dan
teruji validitasnya, dalam praktek belum tentu data yang dikumpulkan adalah data yang valid. Banyak
hal-hal lain yang akan mengurangi validitas data; misalnya apakah si pewawancara yang
mengumpulkan data betul-betul mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan dalam kuesioner. (Masri
Singarimbun)

Menurut Suharsimi Arikunto, validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrumen
bersangkutan yang mampu mengukur apa yang akan diukur.

Menurut Soetarlinah Sukadji, validitas adalah derajat yang menyatakan suatu tes mengukur apa yang
seharusnya diukur. Validitas suatu tes tidak begitu saja melekat pada tes itu sendiri, tapi tergantung
penggunaan dan subyeknya.

2. Jenis-jenis Validitas

Ebel (dalam Nazirz 1988) membagi validitas menjadi :


• Concurrent Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan kinerja.
• Construct Validity adalah validitas yang berkenaan dengan kualitas aspek psikologis apa yang diukur
oleh suatu pengukuran serta terdapat evaluasi bahwa suatu konstruk tertentu dapat menyebabkan
kinerja yang baik dalam pengukuran.
• Face Validity adalah validitas yang berhuubungan apa yang nampak dalam mengukur sesuatu dan
bukan terhadap apa yang seharusnya hendak diukur.
• Factorial Validity dari sebuah alat ukur adalah korelasi antara alat ukur dengan faktor-faktor yang
bersamaan dalam suatu kelompok atau ukuran-ukuran perilaku lainnya, di mana validitas ini diperoleh
dengan menggunakan teknik analisis faktor.
• Empirical Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan suatu
kriteria. Kriteria tersebut adalah ukuran yang bebas dan langsung dengan apa yang ingin diramalkan
oleh pengukuran.
• Intrinsic Validity adalah validitas yang berkenaan dengan penggunaan teknik uji coba untuk
memperoleh bukti kuantitatif dan objektif untuk mendukung bhwa suatu alat ukur benar-benar
mengukur apa yang seharusny diukur.
• Predictive Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor suatu alat ukur
dengan kinerj seorang di msa mendatang.
• Content Validity adalah validitas yang berkenaan dengan baik buruknya sampling dari suatu
populasi.
• Curricular Validity adalah validitas yang ditentukan dengan cara menilik isi dari pengukuran dan
menilai seberapa jauh pungukuran tersebut merupakan alat ukur yang benar-benar mengukur aspek-
aspek sesuai dengan tujuan instruksional.

Sementara itu, Kerlinger (1990) membagi validitas menjadi tiga yaitu:


• Content validity (Validitas isi) adalah validitas yang diperhitungkan melalui pengujian terhadap isi
alat ukur dengan analisis rasional. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validitas ini adalah
“sejauh mana item-item dalam suatu alat ukur mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak
diukur oleh alat ukur yang bersangkutan?” atau berhubungan dengan representasi dari keseluruhan
kawasan.

Validitas isi suatu instrumen berkaitan dengan kesesuaian antara karakteristik dari variaabel yang
dirumuskan pada definisi konseptual dan operasionalnya. Apabila semua karakteristik variabel yang
dirumuskan pada definisi konseptualnya dapat diungkap melalui butir-butir suatu instrument, maka
instrument itu dinyatakan memiliki validitas isi yang baik. Sayangnya, hal itu mungkin tidak akan
pernah tercapai karena sulitnya untuk mendefinisikan keseluruhan karakteristik itu. Selain itu, dari
seluruh karakteristik yang dirumuskan pada definisi konseptual suatu variabel seringkali sulit untuk
mengembangkan butir-butir yang valid untuk mengungkap atau mengukurnya.

Validitas isi dapat dianalisis dengan cara memperhatikan penampakan luar dari instrument dan
dengan menganalisis kesesuaian butir-butirnya dengan karakteristik yang dirumuskan pada definisi
konseptual variabel yang diukur. Validitas yang dianalisis dengan memperhatikan penampilan luar
instrument itu disebut validitas tampang (face validity). Validitas tampang dievaluasi dengan membaca
dan menyelidiki butir-butir instrument serta sekaligus membandingkannya dengan definisi konseptual
mengenai variabel yang akan diukur. Validitas yang dianalisis dengan memperhatikan
kerepresentativan butir-butir instrument disebut validitas penyampelan (sampling validity) atau
kuikulum (curriculum validity). Validitas tampang maupun penyampelan disebut juga sebagai validitas
teoritis karena penganalisisannya lazim dilakukan tanpa didasarkan pada data empiris. Alat yang
digunakan untuk menganalisis validitas itu adalah logika dari orang yang menganalisisnya.
Menurut Saifuddin Azwar, validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap
isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgement. Pertanyaan yang dicari
jawabannya dalam validitas ini adalah ”sejauh mana item-item dalam tes mencakup keseluruhan
kawasan ini (dengan catatan tidak keluar dari batasan tujuan ukur) objek yang hendak diukur” atau
”sejauh mana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur”.

Selanjutnya, validitas isi terbagi lagi menjadi dua tipe (Saifuddin Azwar), yaitu:
1. Face Validity (Validitas Muka) adalah tipe validitas yang paling rendah signifikansinya karena hanya
didasarkan pada penilaian selintas mengenai isi alat ukur. Apabila isi alat ukur telah tampak sesuai
dengan apa yang ingin diukur maka dapat dikatakan maka validitas muka telah terpenuhi.
2. Logical Validity (Validitas Logis) disebut juga sebagai Validitas Sampling (Sampling Validity) adalah
validitas yang menunjuk pada sejauh mana isi alat ukur merupakan representasi dari aspek yang
hendak diukur.

Validitas logis sangat penting peranannya dalam penyusunan prestasi dan penyusunan skala, yaitu
dengan memanfaatkan blue-print atu table spesifikasi.
• Construct validity (Validitas konstruk) adalah tipe validitas yang menunjukkan sejauh mana alat ukur
mengungkap suatu trait atau konstruk teoritis yang hendak diukurnya. (Allen & Yen, dalam Azwar
1986).
Pengujian validitas konstruk merupakan prosesyang terus berlanjut sejalan dengan perkembangan
konsep mengenai trait yang diukur.

Menurut Saifuddin Azwar, validitas konstruk adalah seberapa besar derajat tes mengukur hipotesis
yang dikehendaki untuk diukur. Konstruk adalah perangai yang tidak dapat diamati, yang menjelaskan
perilaku. Menguji validitas konstruk mencakup uji hipotesis yang dideduksi dari suatu teori yang
mengajukan konstruk tersebut.
• Criterion-related validity (Validitas berdasar kriteria). Validitas ini menghendaki tersedianya criteria
eksternal yang dapat dijadikan dasar pengujian skor alat ukur. Suatu kriteria adalah variabel perilaku
yang akan diprediksi oleh skor alat ukur.

Dilihat dari segi waktu untuk memperoleh skor kriterianya, prosedur validasi berdasar kriteria
menghasilkan dua macam validitas (Saifuddinn Azwar), yaitu:
1. Validitas Prediktif. Validitas Prediktif sangat penting artinya bila alat ukur dimaksudkan untuk
berfungsi sebagai predictor bagi kinerja di masa yang akan datang. Contoh situasi yang menghendaki
adanya prediksi kinerja ini antara lain adalah dalam bimbingan karir; seleksi mahasiswa baru,
penempatan karyawan, dan semacamnya.
Menurut Saifuddin Azwar, validitas prediktif adalah seberapa besar derajat tes berhasil memprediksi
kesuksesan seseorang pada situasi yang akan datang. Validitas prediktif ditentukan dengan
mengungkapkan hubungan antara skor tes dengan hasil tes atau ukuran lain kesuksesan dalam satu
situasi sasaran.
2. Validitas Konkuren. Apabila skor alat ukur dan skor kriterianya dapat diperoleh dalam waktu yang
sama, maka korelasi antara kedua skor termaksud merupakan koefisien validitas konkuren.

Menurut Saifuddin Azwar, validitas ini menunjukkan seberapa besar derajat skor tes berkorelasi
dengan skor yang diperoleh dari tes lain yang sudah mantap, bila disajikan pada saat yang sama,
atau dibandingkan dengan criteria lain yang valid yang diperoleh pada saat yang sama.

Asosiasi Psikologi Amerika (APA) (1974; dalam Anastasia, 1982) membedakan tiga tipe validitas,
yaitu validitas isi, yang dikaitkan dengan criteria, dan konnstrak. Ketiga tipe validitas tersebut dapat
diuji dengan dan atau tanpa menggunakan instrument yang telah teruji validitas maupun reabilitasnya.

B. Reliabilitas

1. Pengertian Reliabilitas

Walizer (1987) menyebutkan pengertian Reliability (Reliabilitas) adalah keajegan pengukuran.


Menurut John M. Echols dan Hasan Shadily (2003: 475) reliabilitas adalah hal yang dapat dipercaya.
Popham (1995: 21) menyatakan bahwa reliabilitas adalah "...the degree of which test score are free
from error measurement"

Menurut Masri Singarimbun, realibilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur
dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali – untuk mengukur
gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relative konsisten, maka alat pengukur
tersebut reliable. Dengan kata lain, realibitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam
pengukur gejala yang sama.

Menurut Brennan (2001: 295) reliabilitas merupakan karakteristik skor, bukan tentang tes ataupun
bentuk tes.

Menurut Sumadi Suryabrata (2004: 28) reliabilitas menunjukkan sejauhmana hasil pengukuran
dengan alat tersebut dapat dipercaya. Hasil pengukuran harus reliabel dalam artian harus memiliki
tingkat konsistensi dan kemantapan.

Dalam pandangan Aiken (1987: 42) sebuah tes dikatakan reliabel jika skor yang diperoleh oleh
peserta relatif sama meskipun dilakukan pengukuran berulang-ulang.

Dengan demikian, keandalan sebuah alat ukur dapat dilihat dari dua petunjuk yaitu kesalahan baku
pengukuran dan koefisien reliabilitas. Kedua statistik tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan
keterbatasan (Feldt & Brennan, 1989: 105)
Reliabilitas, atau keandalan, adalah konsistensi dari serangkaian pengukuran atau serangkaian alat
ukur. Hal tersebut bisa berupa pengukuran dari alat ukur yang sama (tes dengan tes ulang) akan
memberikan hasil yang sama, atau untuk pengukuran yang lebih subjektif, apakah dua orang penilai
memberikan skor yang mirip (reliabilitas antar penilai). Reliabilitas tidak sama dengan validitas. Artinya
pengukuran yang dapat diandalkan akan mengukur secara konsisten, tapi belum tentu mengukur apa
yang seharusnya diukur.
Dalam penelitian, reliabilitas adalah sejauh mana pengukuran dari suatu tes tetap konsisten setelah
dilakukan berulang-ulang terhadap subjek dan dalam kondisi yang sama. Penelitian dianggap dapat
diandalkan bila memberikan hasil yang konsisten untuk pengukuran yang sama. Tidak bisa
diandalkan bila pengukuran yang berulang itu memberikan hasil yang berbeda-beda.

Pengukuran reliabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alat statistik (Feldt &
Brennan, 1989: 105)
Berdasarkan sejarah, reliabilitas sebuah instrumen dapat dihitung melalui dua cara yaitu kesalahan
baku pengukuran dan koefisien reliabilitas (Feldt & Brennan: 105). Kedua statistik di atas memiliki
keterbatasannya masing-masing. Kesalahan pengukuran merupakan rangkuman inkonsistensi
peserta tes dalam unit-unit skala skor sedangkan koefisien reliabilitas merupakan kuantifikasi
reliabilitas dengan merangkum konsistensi (atau inkonsistensi) diantara beberapa kesalahan
pengukuran.
Dalam kerangka teori tes klasik, suatu tes dapat dikatakan memiliki reliabilitas yang tinggi apabila skor
tampak tes tersebut berkorelasi tinggi dengan skor murninya sendiri. Interpretasi lainnya adalah
seberapa tinggi korelasi antara skor tampak pada dua tes yang pararel. (Saifuddin Azwar, 2006: 29).
Reliabilitas menurut Ross E. Traub (1994: 38) yang disimbolkan oleh dapat didefinisikan sebagai rasio
antara varian skor murni dan varian skor tampak . Secara matematis teori di atas dapat ditulis :

Reliabilitas alat ukur tidak dapat diketahui dengan pasti tetapi dapat diperkirakan. Dalam
mengestimasi reliabilitas alat ukur, ada tiga cara yang sering digunakan yaitu (1) pendekatan tes
ulang, (2) pendekatan dengan tes pararel dan (3) pendekatan satu kali pengukuran.
Pendekatan tes ulang merupakan pemberian perangkat tes yang sama terhadap sekelompok subjek
sebanyak dua kali dengan selang waktu yang berbeda. Asumsinya adalah bahwa skor yang dihasilkan
oleh tes yang sama akan menghasilkan skor tampak yang relatif sama. Estimasi dengan pendekatan
tes ulang akan menghasilkan koefisien stabilitas. Untuk memperoleh koefisien reliabilitas melalui
pendekatan tes ulang dapat dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi linear antara distribusi
skor subyek pada pemberian tes pertama dengan skor subyek pada pemberian tes kedua.
Pendekatan tes ulang sangat sesuai untuk mengukur ketrampilan terutama ketrampilan fisik.
Misalnya seorang guru hendak melihat reliabilitas tes yang telah dibuatnya. Setelah melakukan dua
kali pengukuran didapatkan skor tes sebagai berikut:

Koefisien reliabilitas test di atas dapat dihitung dengan menggunakan formula korelasi produk momen
dari Pearson sebagai berikut:

Dengan demikian, korelasi sebesar 0,954 menggambarkan bahwa reliabilitas tes cukup tinggi.
Salah satu kelemahan mendasar dari teknik test-retest adalah carry-over effect. Masalah ini
disebabkan oleh adanya kemungkinan pada test yang kedua dipengaruhi oleh test pertama. Misalnya,
jika peserta tes masih ingat dengan soal-soal dan bahkan jawaban ketika dilakukan test pertama. Hal
ini dapat meningkatkan korelasi serta overestimasi terhadap PXX’. Ross E. Traub (1994: 38)

2. Jenis-jenis Reliabilitas
Walizer (1987) menyebutkan bahwa ada dua cara umum untuk mengukur reliabilitas, yaitu:
1. Relibilitas stabilitas. Menyangkut usaha memperoleh nilai yang sama atau serupa untuk setiap
orang atau setiap unit yang diukur setiap saat anda mengukurnya. Reliabilitas ini menyangkut
penggunaan indicator yang sama, definisi operasional, dan prosedur pengumpulan data setiap saat,
dan mengukurnya pada waktu yang berbeda. Untuk dapat memperoleh reliabilitas stabilitas setiap kali
unit diukur skornya haruslah sama atau hampir sama.
2. Reliabilitas ekivalen. Menyangkut usaha memperoleh nilai relatif yang sama dengan jenis ukuran
yang berbeda pada waktu yang sama. Definisi konseptual yang dipakai sama tetapi dengan satu atau
lebih indicator yang berbeda, batasan-batasan operasional, paeralatan pengumpulan data, dan / atau
pengamat-pengamat.
Menguji reliabilitas dengan menggunakan ukuran ekivalen pada waktu yang sama bias menempuh
beberapa bentuk. Bentuk yang paling umum disebut teknik belah-tengah. Cara ini seringkali dipakai
dalam survai.Apabila satu rangkaian pertanyaan yang mengukur satu variable dimasukkan dalam
kuesioner, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut dibagi dua bagian persis lewat cara tertentu.
(Pengacakan atau pengubahan sering digunakan untuk teknik belah tengah ini.) Hasil masing-masing
bagian pertanyaan diringkas ke dalam skor, lalu skor masing-masing bagian tersebiut dibandingkan.
Apabila dalam skor kemudian skor masing-masing bagian tersebut dibandingkan. Apabila kedua skor
itu relatif sama, dicapailah reliabilitas belah tengah.
Reliabilitas ekivalen dapat juga diukur dengan menggunakan teknik pengukuan yang berbeda.
Kecemasan misalnya, telah diukur dengan laporan pulsa. Skor-skor relatif dari satu indikator macam
ini haruslah sesuai dengan skor yang lain. Jadi bila seorang subyek nampak cemas pada ”ukuran
gelisah” orang tersebut haruslah menunjukkan tingkatan kecermatan relatif yang sama bila tekanan
darahnya yang diukur.

3. Metode pengujian reliabilitas


Tiga tehnik pengujian realibilitas instrument antara lain :
a. Teknik Paralel (Paralel Form atau Alternate Form)
Teknik paralel disebut juga tenik ”double test double trial”. Sejak awal peneliti harus sudah menyusun
dua perangkat instrument yang parallel (ekuivalen), yaitu dua buah instrument yang disusun
berdasarkan satu buah kisi-kisi. Setiap butir soal dari instrument yang satu selalu harus dapat
dicarikan pasangannya dari instrumen kedua. Kedua instrumen tersebut diujicobakan semua.
Sesudah kedua uji coba terlaksana, maka hasil instrumen tersebut dihitung korelasinya dengan
menggunakan rumus product moment (korelasi Pearson).
b. Teknik Ulang (Test Re-test)
Disebut juga teknik ”single test double trial”. Menggunakan sebuah instrument, namun dites dua kali.
Hasil atau skor pertama dan kedua kemudian dikorelasikan untuk mengetahui besarnya indeks
reliabilitas.Teknik perhitungan yang digunakan sama dengan yang digunakan pada teknik pertama
yaitu rumus korelasi Pearson.
Menurut Saifuddin Azwar, realibilitas tes-retest adalah seberapa besat derajat skor tes konsisten dari
waktu ke waktu. Realibilitas diukur dengan menentukan hubungan antara skor hasil penyajian tes
yang sama kepada kelompok yang sama, pada waktu yang berbeda.

Metode pengujian reliabilitas stabilitas yang paling umum dipakai adalah metode pengujian tes-
kembali (test-retest). Metode test-retest menggunakan ukuran atau “test” yang sama untuk variable
tertentu pada satu saat pengukuran yang diulang lagi pada saat yang lain. Cara lain untuk
menunjukkan reliabilitas stabilitas, bila kita menggunakan survai, adalah memasukkan pertanyaan
yang sama di dua bagian yang berbeda dari kuesioner atau wawancara. Misalnya the Minnesota
Multiphasic Personality Inventory (MPPI) mengecek reliabilitas test-retest dalam satu kuesionernya
dengan mengulang pertanyaan tertentu di bagian-bagian yang berbeda dari kuesioner yang panjang.
Kesulitan terbesar untuk menunjukkan reliabilitas stabilitas adalah membuat asumsi bahwa sifat/
variable yang akan diukur memang benar-benar bersifat stabil sepanjang waktu. Karena kemungkinan
besar tidak ada ukuran yang andal dan sahih yang tersedia. Satu-satunya faktor yang dapat membuat
asumsi-asumsi ini adalah pengalaman, teori dan/atau putusdan terbaik. Dalam setiap kejadian,
asumsi ini selalu ditantang dan sulit rasanya mempertahankan asumsi tersebut atas dasar pijakan
yang obyektif.

c. Teknik Belah Dua (Split Halve Method)


Disebut juga tenik “single test single trial”. Peneliti boleh hanya memiliki seperangkat instrument saja
dan hanya diujicobakan satu kali, kemudian hasilnya dianalisis, yaitu dengan cara membelah seluruh
instrument menjadi dua sama besar. Cara yang diambil untuk membelah soal bisa dengan membelah
atas dasar nomor ganjil-genap, atas dasar nomor awal-akhir, dan dengan cara undian.
Menurut Saifuddin Azwar, realibilitas ini diukur dengan menentukan hubungan antara skor dua paruh
yang ekuivalen suatu tes, yang disajikan kepada seluruh kelompok pada suatu saat. Karena reliabilitas
belah dua mewakili reliabilitas hanya separuh tes yang sebenarnya, rumus Spearman-Brown dapat
digunakan untuk mengoreksi koefisien yang didapat.

Apa penyebab ketidakandalan?


Ada beberapa sumber ketidakandalan (unreliability), beberapa di antaranya telah dituangkan. Satu
sumber ketidakandalan yang terbesar adalah ketidaksahihan (invalidity). Berikut ini adalah daftar
periksa (check list) sumber-sumber yang menyebabkannya (Walizer ,1987) :
1. Orang atau unit yang diukur mungkin telah berubah sejak pengukuran pertama dan kedua. (Tentu
saja perubahan dalam skor, haruslah ditafsirkan bukan sebagai ketidakandalan.)
2. Selama wawancara unit yang sedang diukur berubah, karena:
a. Pewawancara memperoleh pengalaman
b. Kelelahan pewawancara
c. Subyek mengalami hal-hal yang menyebabkan penafsiran mereka terhadap pertanyaan-
pertanyaan berubah (sebagai kebalikan dari perubahan seharusnya dari apa yang sedang diukur).
d. Kesalahan-kesalahan diperbuat.
3. Aspek situasi tempat pengukuran berlangsung mungkin berubah sejak pengukuran pertama dan
yang kedua. Hal-hal seperti waktu (pagi, siang, sore), tempat berlangsungnya pengukuran, orang-
orang yang berada dekat di sekitar yang mungkin mempengaruhi respon mereka dan sebagainya
mungkin berbeda.
4. Pertanyaan-pertanyaan mungkin mendua artinya, sehingga ditafsirkan secara berbeda pada saat
pengisian kuesioner yang berbeda.
5. Pengkode dan/atau pengamat mungkin membuat penafsiran sendiri-sendiri.
6. Apa yang nampak sebagai satu teknik ekivalen sebenarnya tidaklah demikian karena pemilihan
pembandingan yang kurang baik.
7. Terjadi kekeliruan dalam mencatat hasil pengamatan atau memberi kode-kodenya.
8. Atau mungkin kombinasi penyebab-penyebab terdahulu.

Reliabel : Haruskah Ajeg? (Feldt & Brennan, 1989: 105)


Sering kita dengar baik dalam kuliah atau dalam ruang ujian, jawaban mahasiswa terhadap
pertanyaan "Apa yang dimaksud reliabilitas?" seperti ini : "Taraf Kepercayaan, yaitu seberapa besar
tes dapat dipercaya. Tes yang reliabel akan menghasilkan skor yang relatif sama jika diteskan
beberapa kali pada subjek yang sama . Dengan kata lain seberapa ajeg sebuah tes jika diteskan
beberapa kali pada subjek yang sama di waktu yang berbeda."
Jika demikian adanya, maka secara logis, satu-satunya cara untuk mengestimasi reliabilitas adalah
dengan melakukan pengetesan paling tidak dua kali pada sekelompok subjek yang sama. Tapi
benarkah begitu?
Pada prakteknya kita mengenal paling tidak ada 3 pendekatan terhadap estimasi reliabilitas. Dan
orang yang memberikan jawaban seperti di atas juga memilih metode estimasi reliabilitas yang hanya
melakukan 1 kali administrasi tes. Jadi mana tingkat keajegannya?
Baiklah, mungkin beberapa orang tidak terlalu peduli dengan hal ini. Yang penting ada angka
reliabilitasnya, habis perkara. Tapi ijinkan kami mencoba berbagi pemikiran mengenai hal ini.
Kita mulai dari konsep reliabilitas dulu. Reliabilitas seperti yang sering diucapkan atau ditulis di buku,
memiliki arti tingkat kepercayaan. Kita coba pilah kata ini menjadi Rely dan Ability atau dapat
dipercaya. Tapi apa maksud dari dapat dipercaya ini? Yang dimaksud dapat dipercaya disini adalah
seberapa besar kita bisa mempercayai hasil tes yang kita dapatkan, atau juga seberapa besar tingkat
kesalahan yang muncul ketika seseorang mengerjakan suatu tes. Semakin besar tingkat kesalahan
yang muncul ketika seseorang mengerjakan suatu tes, hasil yang diperoleh dari tes tersebut makin
tidak dapat dipercaya, makin tidak reliabel.
Misalnya: seseorang dites (tes apa saja, karena reliabilitas tidak terlalu peduli dengan isu materi yang
diteskan) kemudian memperoleh hasil sebesar 100. Nah jika tes tersebut reliabel, maka kita bisa yakin
bahwa kapasitas orang tersebut memang 100. Atau dengan kata lain, angka 100 itu diperoleh bukan
karena faktor lain selain kapasitas orang tersebut. Jika angka 100 ini diperoleh lebih banyak karena
faktor lain (faktor lain ini yang disebut error), maka kita akan berkata bahwa tes tersebut tidak reliabel.
Konsep reliabilitas didasarkan pada asumsi bahwa dalam tiap pengetesan selalu ada
 X, skor yang kita peroleh dari hasil pengetesan (skor Tampak)
 T, skor yang menggambarkan kapasitas seseorang yang sesungguhnya (skor Murni)
 e, faktor lain selain kapasitas yang juga menyumbang terhadap perolehan X yang disebut juga
error.
Dan ketiganya terkait satu sama lain dalam persamaan seperti ini :
X = T + e

Ini dapat dibaca seperti berikut : dalam setiap pengetesan, hasil tes yang kita peroleh merupakan
fungsi penjumlahan dari skor Murni dan error. Tes dapat dikatakan reliabel jika Tes menghasilkan
error yang kecil, sehingga hasil tes makin mencerminkan kapasitas yang sebenarnya (atau X = T ).

Lalu dari mana ide "keajegan" muncul?

Diasumsikan bahwa nilai T memiliki sifat ajeg dalam beberapa kali pengukuran pada subjek yang
sama. Tapi keajegan ini hanya ada dalam abstraksi teoretik saja, karena keajegan yang dimaksud di
sini adalah keajegan T jika memenuhi syarat tertentu :
 Tiap pengetesan bersifat saling independen, pengukuran pertama tidak mempengaruhi pengukuran
berikutnya. Jadi anggaplah seseorang dites lalu dihipnotis untuk membuatnya lupa dengan jawaban
dan soal yang telah diberikan.
 Kapasitas orang itu sendiri belum berubah. Jadi keajegan ini hanya mungkin jika setelah dites,
orang ini dimasukkan dalam mesin waktu dan dikembalikan ke keadaannya saat dites pertama kali.

Mustahil? Ya jelas! maka dari itu ide mengenai keajegan ini hanya ada dalam abstraksi teoretik.

Namun demikian tentu saja kita tetap dapat mengestimasi reliabilitas dengan cara melakukan tes
berulang lalu mengkorelasikan hasil tes pertama dengan tes kedua. Dengan mempertimbangkan
beberapa kelemahan dan persyaratannya.

Pendekatan-Pendekatan Estimasi Reliabilitas (Feldt & Brennan, 1989: 105)

Dari beberapa asumsi yang mendasari pemikiran mengenai reliabilitas, kemudian diturunkanlah
beberapa pendekatan untuk mengestimasi reliabilitas.
 Pendekatan Tes-Retes. Pendekatan ini mengestimasi reliabilitas tes dengan melakukan tes ulang,
kemudian mengkorelasikan hasil tes pertama dengan hasil tes kedua. Hasil korelasi ini yang
merupakan estimasi reliabilitasnya, sering juga disebut sebagai koefisien stabilitas atau keajegan.
Jadi definisi reliabilitas =keajegan hanya berlaku untuk pendekatan ini. Tapi tentu saja karena tidak
mungkin memenuhi persyaratan di atas, pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan
o Hanya dapat diterapkan pada tes yang mengukur konstruk yang bersifat cenderung ajeg, misalnya
kepribadian.
o Estimasi reliabilitas akan dipengaruhi oleh adanya carry over effect. Maksudnya, jika jarak
pengetesan pertama dan kedua sangat dekat, maka subyek akan cenderung mengingat jawaban
yang diberikan pada pengetesan pertama. Ini membuat makin besarnya kemungkinan subyek akan
memberikan jawaban pada pengetesan kedua yang cenderung sama dengan jawaban yang diberikan
pada pengetesan pertama.Hal ini akan menyebabkan overestimasi reliabilitas, tes terkesan/ terlihat
lebih reliabel daripada yang sebenarnya.
o Estimasi reliabilitas juga dipengaruhi adanya practice effect. Ini terjadi ketika subyek, dalam rentang
waktu antara tes pertama dan kedua, belajar atau berlatih untuk meningkatkan kapasitasnya, ini terjadi
khususnya dalam estimasi reliabilitas tes performansi maksimal seperti tes prestasi. Practice effect
akan menyebabkan underestimasi reliabilitas, tes terkesan tidak ajeg karena adanya pembelajaran,
sehingga hasil tes kedua akan cenderung lebih baik dari hasil tes pertama.
 Pendekatan Tes Paralel, pendekatan ini mengestimasi reliabilitas dengan menggunakan dua tes
paralel, dua tes yang mengukur hal /konstruk yang sama, kemudian mengkorelasikan hasil
pengetesan dari tes pertama dengan hasil tes paralelnya. Koefisien korelasi yang didapatkan disebut
juga koefisien ekuivalensi. Namun demikian pendekatan ini sangat jarang (kalaupun ada) dilakukan
karena sulitnya menghasilkan dua tes yang benar-benar paralel.
 Pendekatan Konsistensi Internal, pendekatan ini mengestimasi reliabilitas dengan membelah tes
menjadi beberapa bagian, lalu "mengkorelasikan" bagian-bagian tersebut. "Korelasi" di sini
sebenarnya tidak benar-benar mengkorelasikan bagian-bagian secara harafiah, tapi menggunakan
formula-formula yang dikembangkan untuk mengestimasi reliabilitasnya. Koefisien yang diperoleh
dinamai juga koefisien konsistensi internal. Pendekatan inilah yang paling sering digunakan selama
ini karena lebih praktis dan ekonomis. Meskipun demikian pendekatan ini tidak dapat mengestimasi
error yang diakibatkan oleh keadaan temporer karena hanya dilakukan satu kali. Jadi pendekatan ini
memang bukan "jawaban terhadap segala masalah" dalam hal mengestimasi reliabilitas.

Kesimpulan
Jadi, reliabilitas apakah sama dengan keajegan?
Jika kita melihat permasalahan ini dari kacamata asumsi yang mendasari pemikiran reliabilitas di atas,
maka reliabel = ajeg. tentu saja dengan persyaratan yang mustahil untuk dipenuhi tadi.
Tapi jika dilihat dalam konteks aplikasinya, reliabilitas tidak selalu sama dengan keajegan, tergantung
dari pendekatan mana yang digunakan untuk mengestimasinya.

Mungkin akan lebih aman jika kita menyebut reliabilitas sebagai "tingkat kepercayaan, seberapa jauh
error yang dihasilkan dari tes, dan seberapa jauh hasil tes dapat dipercaya". (Feldt & Brennan, 1989:
105)

TAHAPAN MENGELOLA DATA


METODE PENGELOLAAN DATA PENELITIAN
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah untuk menjawab hasrat keingintahuan
manusia yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara
metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau
cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Dengan
demikian penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk
memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan.
Sebagai kegiatan ilmiah, maka suatu penelitian telah dimulai, apabila peneliti berusaha
untuk memecahkan masalah secara sistematis dengan metode tertentu, yakni metode ilmiah untuk
menemukan kebenaran. Adalah langkah yang tepat untuk mengetahui strategi menentukan
permasalahan dalam penulisan karya ilmiah, karena sebagai awal peneliti merencanakan
mengadakan suatu penelitian yang dipikirkannya adalah masalah yang ditelitinya. Namun “di atas
kertas”, peneliti yang bersangkutan memulai dengan judul penelitian. Kegiatan ini kemudian
dilanjutkan dengan tujuan penelitian yang menjawab permasalahan penelitian. Jawaban terhadap
tujuan penelitian ini menjadi bobot dari sebuah penelitian. Untuk menjawab tujuan penelitian
tersebut, peneliti melaksanakan tahap-tahap penelitian yaitu: penyusunan latar belakang
permasalahan dan tujuan penelitian, penyusunan kerangka teoritis dan konsepsional, perumusan
hipotesa penelitian (bila diperlukan), pengumpulan data, selanjutnya melaksanakan pengolahan
data yang kemudian secara bersamaan maupun berkesinambungan melakukan analisa data, dan
pada akhirnya menyusun sebuah laporan penelitian. Dalam menyusun laporan penelitian, pada
akhirnya membuat kesimpulan yang merupakan jawaban dari tujuan penelitian dan menyusun
saran atau rekomendasi berdasarkan pada pengolahan data hasil penelitian.
Berkenaan dengan “Metode pengolahan data penelitian”, dalam ilmu-ilmu sosial pada
umumnya terpengaruh oleh dua perspektif: aliran positivisme dan aliran fenomenologi. Hal ini
mengindikasikan bahwa pada dasarnya pengolahan data, dapat dilakukan dengan pendekatan
kuantitatif dan kualitatif. Berikut ini secara ringkas perbedaaan dari dua aliran perspektif tersebut:

Aliran Positivisme Fenomenologi


Perspektif
Substansi
Fokus penelitian Meneliti fakta atau sebab-sebab Memahami perilaku manusia
terjadinya gejala-gejala sosial dari sudah pandangan orang
tertentu. ybs itu sendiri yang menjadi
sasaran
Cara pengumpulan Melalui daftar pertanyaan yang Terutama mempergunakan
data berstruktur dan alat-alat pengamatan terlibat, pedoman
pengumpulan data lainnya pertanyaan, dan mungkin
meneliti dokumen pribadi
Pendekatan Pengolahan Pengolahan
Pengolahan data data kuantitatif(memungkinkan data kualitatif,bertujuan untuk
melakukan korelasi antara mengerti atau memahami
gejala-gejala dengan data gejala yang ditelitinya
statistik)

Pendekatan pengolahan data kuantitatif, pada dasarnya berarti penyorotan terhadap


masalah serta usaha pemecahannya, yang dilakukan dengan upaya-upaya yang banyak didasarkan
pada pengukuran. Dalam hal ini memecahkan obyek penelitian ke dalam unsur-unsur tertentu yang
dapat dikuantifikasi sedemikian rupa. Kemudian ditarik suatu generalisasi yang seluas mungkin
ruang lingkupnya. Penelitian kuantitatif menggunakan alat-alat matematika dan statistika yang
rumit-rumit sehingga terkesan canggih.
Pendekatan kuantitatif ini memulai pekerjaan dengan membuat berbagai tabulasi, yakni
yang paling sederhana adalah tabulasi sederhana, tabulasi frekuensi sampai dengan tabulasi silang
yang berisi hubungan dari variabel yang banyak (multi-variable). Penerapan pendekatan
kuantitatif ini, mempunyai fungsi yang sekaligus membatasi keuntungan yang dapat diperoleh dari
penggunaan metode tersebut, antara lain:

1. Secara efisien menghimpun, mengolah dan menganalisa data penelitian terutama


didalam penerapan perencanaan penelitian survey.

2. Dengan mengadakan kuantifikasi, secara relatif lebih mudah untuk mengadakan


studi perbandingan dan menarik generalisasi.

3. Lebih mudah menerapkan metode induksi, terhadap hasil-hasil penelitian.

4. Metode kuantitatif lebih tetap diterapkan untuk menguji hipotesa, terutama di


dalam penelitian-penelitian yang bersifat eksplanatoris.
Pendekatan kualitatif, merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan deskriptif
analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau
lisan, dan perilaku nyata. Yang diteliti dan dipelajari adalah obyek penelitian yang utuh.
Tidaklah sepantasnya untuk mempertentangkan ke dua pendekatan tersebut di atas,
keduanya merupakan suatu pasangan dan saling melengkapi. Tidak ada suatu
kemutlakan untuk menekankan pada salah satu cara, hal ini berpulang pada
kemampuan peneliti dan sponsor yang menghendaki format tertentu.
Pengolahan data, dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu
a. Kepentingan atau interest penelitian yang tercantum dalam perumusan tujuan dan
permasalahan yang menjadi ruang lingkup penelitian
b. Format keinginan sponsor penelitian
c. Kemampuan peneliti termasuk di dalamnya keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya
penelitian
Dalam penelitian hukum normatif, maka pengolahan data pada hakekatnya berarti
kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi
berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan
pekerjaan analisa dan konstruksi.
Pengolahan, analisa dan konstruksi data penelitian hukum normatif:

1. Menarik asas-asas hukum

2. Menelaah sistematika peraturan perundang-undangan

3. Penelitian terhadap taraf sinkhronisasi dari peraturan perundang-undangan.

4. Perbandingan hukum

5. Sejarah hukum
Penelitian dengan tujuan untuk menarik asas-asas hukum, dapat dilakukan terhadap hukum
positif tertulis dan tidak tertulis. Permasalahan yang muncul berkisar pada dari manakah asas-asas
hukum tersebut berasal, atau hal-hal apa yang mempengaruhi adanya asas-asas hukum tersebut.
Sebagai contoh dalam hukum pidana, dikenal suatu asas secara eksplisit, yakni asas tanpa
kesalahan, tidak ada hukum atau tidak ada pertanggungan jawab pidana, tanpa kesalahan. Masuk
dalam kategori ini adalah Penelitian yang menelaah asas-asas hukum di dalam Undang-Undang
No.1 tahun 1974, mempergunakan metode dogmatik hukum, yang didasarkan pada hukum logika,
dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Memilih pasal-pasal yang berisikan kaedah hukum yang mengatur masalah tertentu
sesuai dengan subyek penelitian.
b. Membuat sistematik dari pasal-pasal tersebut, yang menghasilkan klasifikasi-
klasifikasi tertentu.
c. Menganalisas pasal-pasal, dengan mempergunakan asas-asas hukum yang ada.
d. Menyusun konstruksi, dengan ketentuan:
1) Mencakup semua bahan yang diteliti
2) Konsisten
3) Memenuhi syarat-syarat estetis
4) Sederhana di dalam merumuskan.
Untuk pengolahan data penelitian menelaah sistematika peraturan perundang-undangan,
yang dilakukan adalah mengumpulkan peraturan di bidang tertentu, atau beberapa bidang yang
saling berkaitan yang menjadi pusat perhatian penelitian. Selanjutnya diadakan analisa dengan
mempergunakan, pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum, yang mencakup: a. Subyek
hukum, b. Hak dan kewajiban, c. Peristiwa hukum, d. Hubungan hukum, dan e. Obyek hukum.
Pengolahan data penelitian taraf sinkhronisasi dari peraturan perundang-undangan, dapat
dilakukan dengan dua titik tolak taraf sinkhronisasi vertikal (berdasarkan hierarki) dan horisontal
(peraturan setara yang mempunyai hubungan fungsional), adalah konsisten. Asas dari
perundangan yang dapat dipergunakan adalah:
a. Undang-undang tidak berlaku surut
b. Undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi
c. Undang-undang yang bersifat khusus mengenyampingkan undang-undang bersifat
umu, jika pembuatnya sama
d. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yang
berlaku terdahulu
e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat
f. Undang-undang sebagai sarana untuk semakimal mungkin dapat mencapai
kesejahteraan spirituil dan materiil bagi masyarakat
g. Dlsb
Sebagai contoh dari pengolahan penelitian perbandingan hukum, dilakukan oleh van
Vollenhoven di dalam mengisi apa yang disebut dengan lingkungan hukum, yang merupakan
daerah hukum adat. Setiap daerah hukum adat dianalisa untuk kemudian diidentifikasi ciri-ciri
khas, kemudian mengklasifikasikan daerah-daerah hukum adat. Metode ini menghasilkan 19
lingkungan hukum adat. Disini metode pengolahan data perbandingan hukum terutama
dipergunakan dengan tujuan untuk mendapatkan abstraksi atau generalisasi. Kegunaan dari
penerapan perbanding hukum antara lain akan memberikan pengetahuan persamaan dan perbedaan
antara pelbagai bidang tata hukum dan pengerti dasar sistem hukum, sehingga memudahkan
dilakukannya unifikasi, kepastian hukum maupun penyederahaan hukum.
Metode pengolahan penelitian sejarah hukum, menelaah hubungan antara hukum dengan
gejala sosial lainnya, dari sudut sejarah. Peneliti dapat menjelaskan perkembangan dari bidang
hukum yang diteliti. Kegunaan dari penggunaan metode ini adalah mengungkapkan fakta hukum
masa lampau dan hubungannnya fakta hukum pada masa kini. Hukum masa kini, merupakan hasil
perkembangan dari salah satu aspek kehidupan manusia pda masa lampau, dan hukum masa kini
merupakan dasar bagi hukum pada masa mendatang. Pada sejarah hukum yang penting adalah
gejala-gejala hukum yang unik dalam proses khronologis, serta sebab-musabab terjadinya gejala-
gejala tersebut.

Pengolahan, analisa dan konstruksi data penelitian hukum sosiologis atau empiris:

1. Pencatatan hasil pengumpulan data secara kuantitatif

2. Analisa dan konstruksi data secara kuantitatif (nilai rata-rata, nilai tengah, nilai
terbesar, korelasi, dlsb)
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengolahan data adalah:

a. Variabel

b. Skala pengukuran (Skala Nominal, Skala Ordinal, Skala Interval, Skala Ratio)

c. Tipe skala (Skala Likert, Skala Guttman, Semantic Differensial, Rating Scale)

d. Instrumen penelitian

e. Validitas dan Reliabilitas instrumen.

Tahap-tahap pengolahan data, pada umumnya adalah:


• Pemeriksaan/Validitas data lapangan
• Pengkodean
• Pemasukan data (entry data)
• Pengolahan Data
• Hasil Pengolahan Data  analisis data

Daftar Bacaan:
Nasir, Mohammad. Metode Penelitian. Cet.3. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES, 1987.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), 1986
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metoda Teknik. Bandung:
Tarsito, 1980.
Sugiyono. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Penerbit Alfabeta, 1994

Cara pengolahan data


- Manual

data proses manual itu dilakukan dengan pena dan kertas dengan metode
pengolahan data tradisional sulit dan rumit karena mengkonsumsi halaman dan
mengisinya membuat pekerjaan pengolahan data yang lebih membosankan dan
melelahkan

- Elektronik Data Processing/EDP (Komputer)

Electronic Data Processing (EDP) dapat mengacu pada penggunaan


metode otomatis untuk memproses data komersial. Biasanya, ini
menggunakan relatif sederhana, kegiatan berulang-ulang untuk proses
volume besar informasi yang sama. Misalnya: update stok diterapkan pada
inventaris, transaksi perbankan diterapkan ke file induk rekening dan
pelanggan, pemesanan dan tiketing transaksi untuk sistem pemesanan sebuah
perusahaan penerbangan, tagihan untuk pelayanan.

Validitas dan reliabilitas


1. 1. VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMEN Disusun Oleh: 1. Della Rihani (1312016-)
2. Khoiriyah (13120173) 3. Winanda Raynadi (13120176) 4. Bintarii (13120----)
2. 2. PENGERTIAN Instrumen penelitian sebagai alat ukur harus memenuhi dua syarat yaitu
validitas dan reliabilitas. Validitas menunjuk sejauh mana suatu instrumen mengukur apa
yang ingin (harus) diukur. Misalnya: mengukur berat dengan meter kubik, suhu dengan
termometer, dll.
3. 3. Reliabilitas menunjuk sejauh mana pengukuran tersebut konsisten dalam
pengukurannya. Misalnya pengukuran itu dilakukan beberapa kali oleh orang yang berbeda,
atau oleh orang yang sama dalam waktu dan tempat yang berbeda, hasilnya tetap sama.
4. 4. Valid adalah reliabel, tetapi reliabel belum tentu valid, misalnya mengukur panjang
menggunakan tongkat, hasilnya dapat konsisten tetapi tidak valid; dan mengukur panjang
menggunakan udil, kilan, hasta, depa, pecak, dan langkah, hasilnya tidak konsisten (tidak
reliabel) maka juga tidak valid.
5. 5. Para ahli menyebut empat bentuk validitas penting, yaitu: validitas isi, validitas prediktif,
validitas konkuren (yang terjadi bersamaan), dan validitas konstruk (konsepsi, gagasan).
6. 6. 1. VALIDITAS ISI  Validitas Isi (content validity) menunjuk tingkat keterwakilan kawasan
isi (substansi, materi, masalah, topik) yang diukur.  Validitas isi disebut juga dengan
validitas kurikuler yaitu kecocokan butir-butir tes dengan kurikulum.
7. 7. SUB BAGIAN DARI VALIDITAS ISI 1. Validitas muka Disebut validitas penampilan,
tampang atau validitas lahiriah. 2. Validitas sampling Bila validitas isi dari instrumen
berdasarkan pada suatu sampling (cara penarikan sampel) yang memadai tentang
pertanyaan potensial dari keseluruhan butir yang ditentukan, hal itu dapat dikatakan telah
memiliki validitas sampling.
8. 8. 2. VALIDITAS PREDIKTIF Atau ramalan, menunjuk pada sejauh mana suatu tes dapat
memprediksi penampilan individu untuk masa datang. Menunjukkan bagaimana seseorang
akan melakukan tugas selanjutnya, seperti digunakan untuk seleksi dan klasifikasi.
9. 9. 3. VALIDITAS KONKUREN Atau validitas bandingan, menunjuk pada hubungan antara
skor pada suatu alat ukur dan suatu kriteria yang telah ada pada waktu yang sama
(konkuren= yang terjadi bersamaan)
10. 10. 4. VALIDITAS KONSTRUK Menunjuk kepada sejauh mana sebuah tes mencerminkan
konstruk yang diperkirakan mendasari tampilan tes dan juga sejauh mana hal itu didasarkan
pada teori mengenai konstruk tersebut.
11. 11. ADA 2 PENDEKATAN DASAR TERHADAP VALIDITAS 1. Analisis logis Orang berusaha
memutuskan secara tepat apa yang diukur tes tersebut. Contoh: validitas isi 2. Analisis
empiris Orang berusaha menghubungkan tes dengan suatu kriteria yang dikenal atau
diasumsikan mengukur suatu karakteristik. Hubungan tes dan kriteria. Contoh: validitas
konkuren dan validitas prediktif
12. 12. Kedua, analisis logis dan empiris digunakan dalam validitas konstruk. Contohnya, untuk
membentuk validitas konstruk dalam sebuah tes intelegensi, orang dapat membandingkan
butir-butir yang terkandung dalam tes dengan suatu definisi teoretis tentang intelegensi
(analisis logis), atau mencari bukti tentang sejauh mana tes tersebut memprediksi
penampilan yang kita asumsikan menunjukkan pencapaian kelompok yang dipertentangkan
(anak-anak sekolah normal dan anak- anak gangguan mental)terhadap tes untuk melihat
bahwa hal itu berbeda jelas antara keduanya (analisis empiris)
13. 13. RELIABILITAS Terkait dengan kepercayaan, kehandalan, konsistensi (keajegan),
stabilitas, dapat dipertanggung jawabkan, ketepatan (presisi), dan kecermatan (akurasi),
serta dapat diramalkan (diprediksi).
14. 14. ADA DUA MACAM KESALAHAN Kesalahan random Kesalahan konstan
15. 15. 1. TEORI RELIABILITAS • X= skor hasil observasi • t = komponen yang benar • e =
komponen yang salah X= t + e
16. 16. Varian dan skor pengamatan terhadap suatu kelompok besar subyek adalah sama
dengan varian skor yang benar ditambah varian dari kesalahan pengukuran mereka, atau:
Qx² = varian skor pengamatan Qt² = varian skor yang benar Qe² = varian kesalahan
pengukuran (skor yg salah) Qx² = Qt² + Qe²
17. 17. 1. Secara teoritis, reliabilitas dapat didefinisikan sebagai rasio (perbandingan) dari varian
skor yang benar terhadap varian skor pengamatan. 2. Reabilitas adalah proporsi (ukuran,
bagaian) dari varian dalam skor pengamatan yang bebas dari kesalahan. 3. Suatu ekivalen
(persamaan) untuk reliabilitas adalah: 4. Sejauh adanya kesalahan pengukuran itulah
sebuah alat ukur tidak reliabel, sebaliknya bila relatif tidak ada kesalahan pengukuran, alat
ukur tersebut reliabel. r = 1 - Qe² Qt²
18. 18. 2. KESALAHAN PENGUKURAN Adalah kesalahan random, yaitu yang menyebabkan
peningkatan beberapa skor dan penurunan skor lain. Kesalahan sistematik menurunkan
validitas tes; kesalahan random menurunkan reliabilitasnya
19. 19. 3. INDEKS RELIABILITAS  Realibilitas tes-ulang  Realibilitas bentuk-sepadan
prosedur korelasional  Realibilitas bela-dua  Realibilitas kuder-Richarsdon
20. 20. INTERPRETASI KOEFISIEN RELIABILITAS Faktor yang mempengaruhi, yaitu: 1.
Reliabilitas suatu tes sebagian menjadi fungsi panjangnya tes 2. Reliabilitas adalah sebagian
dari fungsi heterogenitas kelompok 3. Reliabilitas tes adalah sebagian fungsi dari
kemampuan individu responden 4. Reliabilitas tes adalah sebagian dari fungsi teknik khusus
yang digunakan mengestiminasi
21. 21. SIMPANGAN BAKU PENGUKURAN Simpangan baku dan pengukuran memberi suatu
estimasi tentang lingkup variasi dalam serangkaian pengukuran yang diulang-ulang dari hal
yang sama.
22. 22. HUBUNGAN ANTARA RELIABILITAS DAN VALIDITAS  Bila sebuah tes untuk
memprediksi suatu kriteria tertentu, validitas prediktif atau validitas terhubung dengan kriteria
adalah lebih penting dari reliabilitas. Bila validitas prediktif memuaskan, reliabilitas yang
rendah tidak merupakan masalah yang serius  Tes dengan reliabilitas yang lebih tinggi akan
memiliki koefisien validitas yang lebih tinggi pula.  Aturan bagi reliabilitas yang terbatas
berada pada validitas
23. 23. Sekian dan Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai