Anda di halaman 1dari 30

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

A. Kepuasan Kerja

1. Definisi Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja didefinisikan sebagai suatu perasaan positif

tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi

karateristiknya (Robbins & Judge, 2008). Kreitner & Kinincki (2008)

menyatakan kepuasan kerja mencerminkan tingkat dimana seseorang

menyukai pekerjaannya dan juga merupakan tanggapan emosional

seseorang terhadap pekerjaanya. Lock (dalam Sopiah, 2008) menyatakan

kepuasan kerja merupakan suatu ungkapan emosional yang bersifat positif

atau menyenangkan sebagai hasil dari penilaian terhadap pekerjaan atau

pengalaman kerja.

Gibson et al (2009) mendefinisikan kepuasan kerja adalah sikap

yang dimiliki oleh seseorang tentang pekerjaan mereka. Sikap tersebut

merupakan hasil dari persepsi mereka terhadap pekerjaan, berdasarkan

faktor-faktor lingkungan dimana karyawan tersebut bekerja seperti gaya

supervisi, kebijakan dan prosedur, afiliasi kelompok kerja, kondisi kerja

dan tunjangan. Sementara itu Rivai & Sagala (2009) menyatakan bahwa

kepuasan kerja merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas


perasaan sikapnya, senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam

bekerja.

Ofili (2009) juga menambahkan bahwa kepuasan kerja telah di

definisikan sebagai ketertarikan dan antusiasme yang ditunjukkan oleh

seseorang terhadap pencapaian seseorang atau kelompok dalam sebuah

situasi pekerjaan yang diberikan. Kepuasan kerja juga digambarkan

sebagai sebuah sikap pandang, perasaan , mental dan sikap emosional.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas maka dapat diambil kesimpulan

bahwa kepuasan kerja adalah perasaan atau ungkapan seseorang tentang

pekerjaannya baik positif maupun negatif, dimana hal tersebut dipengaruhi

oleh faktor-faktor lingkungan kerja seperti supervisi, kebijakan, prosedur,

kondisi lingkungan kerja dan tunjangan.

2. Dimensi Kepuasan Kerja

Rivai & Sagala (2009) menyatakan bahwa faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan pada dasarnya dapat

dibedakan menjadi dua kelompok yaitu faktor intrinsik dan faktor

ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam diri

karyawan dan dibawa oleh setiap karyawan sejak mulai bekerja ditempat

pekerjaannya. Faktor ekstrinsik menyangkut hal-hal yang berasal dari luar

diri karyawan, antara lain kondisi fisik lingkungan kerja, interaksinya

dengan karyawan lain dan sistem penggajian.


Selain itu menurut Job Descriptive Index (JDI) faktor penyebab

kepuasan kerja ialah: 1) bekerja pada tempat yang tepat, 2) pembayaran

yang sesuai, 3) organisasi dan manajemen, 4) supervisi pada pekerjaan

yang tepat dan 5) orang yang berada dalam pekerjaan yang tepat.

Gibson et al, 2009 menjelaskan beberapa dimensi yang berhubungan

dengan kepuasan kerja yaitu:

1. Gaji. Jumlah yang diterima dan ekuitas gaji yang dirasakan

2. Pekerjaan. Sejauh mana tugas-tugas yang dikerjakan dianggap menarik

dan memberikan kesempatan untuk belajar dan untuk menerima

tanggung jawab.

3. Kesempatan promosi. Ketersediaan kesempatan untuk maju.

4. Supervisor/penyelia. Kemampuan penyelia untuk menunjukkan dan

kepedulian terhadap karyawan

5. Rekan kerja. Sejauh mana rekan kerja bersikap ramah, kompeten dan

suportif.

Sementara itu Handayani & Suhartini (2005) menyatakan bahwa

terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan karyawan seperti

faktor sosial yang didalamnya mencakup beberapa komponen seperti,

interaksi sosial antara sesama karyawan, antara karyawan dengan atasan

dan antara karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya. Faktor fisik seperti

kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan. Faktor finansial
yang merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta

kesejahteraan karyawan.

Berdasarkan dimensi–dimensi yang disebutkan maka dapat

disimpulkan bahwa aspek kepuasan kerja yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah 1) supervisi, 2) rekan kerja, 3) kondisi pekerjaan, 4)

organisasi dan manajemen, 5) kesempatan untuk berkembang.

3. Teori Kepuasan Kerja

Beberapa teori mengenai kepuasan kerja yang cukup dikenal adalah

sebagai berikut:

1. Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy Theory)

Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung

selisih antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang

dirasakan Porter (dalam Sopiah, 2008), sehingga apabila kepuasannya

diperoleh melebihi dari apa yang diinginkan, maka orang akan lebih

puas lagi, sehingga terdapat discrepancy (ketidaksesuaian), tetapi

merupakan discrepancy yang positif. Kepuasan kerja seseorang

tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan

dengan apa yang akan dicapai.

2. Teori keadilan (Equity Theory)

Teori ini dikemukakan oleh Adam (1963) dalam Gibson (1996) yang

mengatakan bahwa karyawan atau individu akan merasa puas terhadap


aspek-aspek khusus dari pekerjaan mereka. Rivai & sagala (2009)

menambahkan bahawa teori ini mengemukakan bahwa orang akan

merasa puas atau tidak puas, tergantung ada atau tidaknya keadilan

(equity) dalam suatu situasi, khususnya situasi kerja. Komponen utama

dari teori keadilan ini adalah input, hasil, keadilan dan ketidak adilan.

Input adalah faktor yang bernilai dari karyawan yang dianggap

mendukung pekerjaannya, seperti pendidikan,

pengalamanpekerjaannya. Menurut teori ini, setiap karyawan akan

membandingkan rasio input hasil dirinya dengan orang lain. Bila

perbandingan itu dianggap cukup adil, maka karyawan puas. Bila

perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan bisa

menimbulkan kepuasan, tetapi bisa juga tidak. Tetapi bila

perbandingan itu tidak seimbang akan menimbulkan ketidakpuasan.

3. Teori dua faktor (Two factor theory)

Menurut teori ini kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu

merupakan hal yang berbeda. Frederick Herzberg mengembangkan

teori dua factor (dalam Gibson, 1996). Teori ini memandang kepuasan

kerja berasal dari keberadaan motivator intrinsic dan bahwa

ketidakpuasan kerja berasal dari ketidak-adaaan factor-faktor

ekstrinsik. Hasil penelitian Herzberg adalah: 1) Ada sekelompok

kondisi ekstrensik (konteks pekerjaan) meliputi: gaji atau upah,

keamanan kerja, kondisi pekerjaan, status, kebijakan organisasi,


supervise, dan hubungan interpersonal. Apabila faktor ini tidak ada

maka karyawan akan merasa tidak puas. 2) Ada sekelompok kondisi

intrinsic yang meliputi prestasi kerja, pengakuan, tanggung jawab,

kemajuan, perkejaan itu sendiri dna pertumbuhan.Apabila kondisi

intrinsic ini dipenuhi organisasi atau perusahaan maka karyawan akan

puas.

4. Hal-hal yang menyebabkan kepuasan kerja

Hal-hal yang menyebabkan kepuasan kerja menurut Kreitner &

Kinicki, (2008) adalah:

1. Need fulfillment, model ini menjelaskan bahwa kepuasan ditentukan

oleh karateristik dari sebuah pekerjaan memungkinkan seorang

individu untuk memenuhi kebutuhannya.

2. Dicrepancies, model ini menjelaskan bahwa kepuasan adalah hasil dari

harapan yang terpenuhi mewakili perbedaan antara apa yang

diharapkan oleh seorang individu dari sebuah pekerjaan seperti upah

dan kesempatan, promosi yang baik dan apa yang pada kenyataanya

diterimanya.

3. Value attainment, gagasan yang melandasi pencapaian nilai adalah

bahwa kepuasan berasal dari persepsi bahwa suatu pekerjaan

memungkinkan untuk pemenuhan nilai-nilai kerja yang penting.


4. Equity, kepuasan dalam model ini adalah salah satu fungsi dari

bagaimana seseorang individu diperlakukan secara adil di tempat

kerja. Kepuasan berasal dari persepsi seseorang bahwa output

pekerjaan relatif sama dengan inputnya, perbandingan yang

mendukung output/input lain yang signifikan.

5. Disposition/genetic components, secara khusus model ini didasarkan

pada keyakinan bahwa kepuasan kerja merupakan sebagian fungsi dari

sifat pribadi maupun faktor genetik.

Robbins & Judge (2008), menyatakan bahwa menikmati pekerjaan

merupakan salah satu hal yang berhubungan paling kuat dengan

tingkat kepuasan kerja seseorang. Pekerjaan menarik yang

menyediakan pelatihan, variasi, kebebasan dan control yang membuat

karyawan puas. Dengan kata lain, kebanyakan orang akan memilih

pekerjaan yang menantang dan membangkitkan semangat

dibandingkan pekerjaan yang dapat diprediksi dan rutin. Personaliti

seseorang juga berperan penting dalam menetukan puas atau tidak

puasnya seseorang. Mereka yang bersikap positif akan dirinya akan

menyukai pekerjaan mereka. Mereka yang memiliki core self-

evaluation yang positif-percaya akan kemampuan dirinya dan

kompeten dasar dari dirinya sendiri-lebih puas akan pekerjaan mereka

dibanding yang memiliki core self-evaluation yang negatif. Mereka

tidak hanya melihat pekerjaan mereka menantang, tetapi cenderung


untuk membuat pekerjaan mereka menantang, sedangkan mereka yang

selalu bersikap negatif cenderung tidak berambisi terhadap tujuan yang

akan dicapai dan gampang berputus ada jika mengalami masalah.

Ada begitu banyak hal yang dapat menyebabkan kepuasan kerja

seorang karyawan, mulai dari bentuk pekerjaanya sampai kepada

personaliti karyawan, oleh sebab itu dapat disimpulkan beberapa hal

yang menyebabkan kepuasan kerja adalah: 1)Karatersistik dari sebuah

pekerjaan yang dilakukan, 2) harapan seorang individu terhadap

pekerjaan yang dilakukan , 3)perlakuan yang adil terhadap pekerjaan

yang dilakukan dalam hal ini merupakan keseimbangan antara output

dan input pekerjaan yang dilakukan , 4)Sikap individu dalam menilai

diri sendiri ketika dihadapkan terhadap pekerjaan yang dilakukan.

5. Respon akan kepuasan dan ketidakpuasan karyawan

Robbins & Judge (2008), menyatakan bahwa ada beberapa respon

yang dikeluarkan karyawan terhadap kepuasan dan ketidakpuasan di

tempat kerja yaitu:

1. Keluar (exit) : Perilaku yang ditujukan untuk meninggalkan organisasi,

termasuk mencari posisi baru dan mengundurkan diri.

2. Aspirasi (voice) : Secara aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki

kondisi, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah

dengan atasan, dan beberapa bentuk aktivitas serikat kerja.


3. Kesetiaan (loyalty) : Secara pasif tetapi optimis menunggu

membaiknya kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan

dengan kecaman eksternal dan mempercayai organisasi dan

manajemennya untuk “ melakukan hal yang benar”

4. Pengabaian (neglect) : Secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih

buruk, termasuk ketidakhadiran atau keterlambatan yang terus

menerus, kurangnya usaha, dan meningkatnya angka kesalahan.

Karyawan yang mengalami ketidakpuasan terhadap pekerjaan

akan memiliki sikap negatif terhadap perusahaan antara lain seperti:

produktivitas rendah, perpindahan karyawan, mangkir serta timbulnya

kegelisahan serta terjadinya tuntutan-tuntutan yang berakhir dengan

mogok kerja (Mukhji & Sunarti, 2010). Karyawan yang mengalami

kepuasan cenderung lebih produktif, kreatif dan memiliki komitmen

terhadap perusahaan tempat mereka bekerja (Al-aameri dalam Al-

Hussami, 2008)

B. Budaya Organisasi

1. Definisi Budaya Organisasi

Schein dalam Gibson et al (2009) mendefinisikan budaya

sebagai sebuah pola dasar asumsi-diciptakan, ditemukan dan

dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk

mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi eksternal –yang telah

berjalan dengan cukup baik untuk dianggap sah dan oleh karena itu
diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk melihat,

berfikir dan merasa dalam kaitannya dengan permasalahan. Greenberg &

Baron (2003), menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan sebuah

kerangka kognitif yang terdiri dari sikap, nilai, norma perilaku dan

harapan bersama oleh anggota organisasi.

Budaya organisasi juga dapat didefinisikan sebagai sebuah

kumpulan anggapan dasar, nilai-nilai, sikap dan standar untuk bertingkah

laku/ bertindak yang disampaikan dalam organisasi dan diekspresikan

dalam cara berfikir, perasaaan dan tingkah laku oleh seluruh anggota

organisasi dan dalam artefak yang bersifat nyata dan tidak nyata (Novy et

al dalam Simberova, 2009). Selanjutnya Jones ( 2007) mendefinisikan

budaya organisasi adalah seperangkat nilai-nilai dan norma-norma

bersama yang mengontrol anggota organisasi dalam berinteraksi satu

sama lain dan dengan supplier, pelanggan dan orang-orang lain yang

berada di luar organisasi. Budaya organisasi ini mempengaruhi

bagaimana orang-orang dalam organisasi merespon situasi dan

bagaimana mereka menginterpretasikan lingkungan di sekitar organisasi.

Budaya organisasi merupakan sebuah strategi proses dan

keterlibatan yang menarik, pengembangan dan pemeliharaan tenaga kerja

yang bertalenta dan energik untuk mendukung misi, tujuan dan strategi

organisasi (Murugan, 2009). Menurut Antohny & Govindarajan (2005),

budaya di dalam organisasi meliputi keyakinan bersama, nilai-nilai hidup


yang dianut, norma-norma perilaku serta asumsi-asumsi yang secara

implisit diterima dan yang sangat eksplisit di manifestasikan di seluruh

jajaran organisasi.

Hasil pemaparan dari pendapat beberapa ahli di atas maka dapat

disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah sekumpulan dari nilai dan

norma-norma yang dianut secara bersama-sama oleh seluruh anggota

organisasi untuk mendukung misi dan tujuan perusahaan yang berfungsi

untuk mengontrol anggota organisasi dalam bertingkah laku dan

berinterkasi dengan sesama anggota organisasi dan juga terhadap orang–

orang yang berada diluar organisasi.

2. Peran Budaya dalam organisasi

Budaya memainkan beberapa peran yang sangat penting dalam

organisasi yaitu (Greenberg & Baron, 2003):

1. Budaya memberikan rasa identitas. Semakin jelas sebuah pembagian

persepsi dan nilai organisasi ditetapkan, maka akan semakin kuat

orang-orang dalam berasosiasi dengan misi organisasi dan merasa

menjadi bagian penting dari misi tersebut.

2. Budaya organisasi menghasilkan komitmen terhadap misi organisasi.

Ketika ada sebuah budaya yang kuat memayungi, orang akan merasa

bahwa mereka termasuk didalamnya dan secara jelas terlibat di dalam

keseluruhan pekerjaan di dalam organisasi. Lebih besar dari


kepentingan individu, budaya mengingatkan orang mengenai apa saja

mengenai organisasi mereka.

3. Budaya memperjelas dan memperkuat standart perilaku. Budaya

memandu perkataan dan perbuatan karyawan, sehingga menjadi jelas

apa yang harus mereka lakukan dan katakan dalam suatu tertentu, yang

secara khusus sangat berguna bagi karyawan baru. Dalam hal ini

budaya memberikan stabilitas perilaku, baik sehubungan dengan apa

yang dilakukan seorang individu pada waktu yang berbeda dan juga

apa yang dilakukan individu yang berbeda pada waktu yang bersamaan

Robbins & Judge, 2008 menyatakan bahwa budaya melakukan

sejumlah fungsi atau peran dalam suatu organisasi. Pertama budaya

memiliki batas dalam hal peran, yaitu menciptakan perbedaan antara

satu organisasi dengan organisasi lainnya. Kedua, budaya memberikan

rasa indentitas bagi anggota organisasi. Ketiga, budaya memfasilitasi

komitmen organisasi untuk sesuatu yang lebih besar dibanding

kepentingan individu sendiri. Keempat untuk meningkatkan stabilitas

sistem sosial. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu

organisasi tetap bersama dengan menyediakan standart yang tepat

bagaimana dan apa yang harus dikatakan atau dilakukan oleh

karyawan. Terakhir budaya berfungsi dalam membantu dan memandu

tingkah laku karyawan.


3. Tipe budaya organisasional

Menurut Gibson et al (2009) tipe dari budaya organisasi dapat dibagi

menjadi empat tipe yaitu:

1. Bureautic Culture

Sebuah organisasi yang menekankan pada peraturan, prosedur, rantai

komando dan pengambilan keputusan terpusat memiliki buadaya

bureautic. Militer, lembaga pemerintah, dan perusahaan yang dikelola

oleh manajer otokratis adalah contoh budaya bureautic.

2. Clan Culture

Menjadi bagian dari sebuah keluarga yang bekerja, mengikuti tradisi

dan ritual, kerja tim, manajemen diri dan pengaruh sosial merupakan

karateristik dari budaya klan. Para pekerja mempunyai keinginan

dalam bekeja keras untuk kompensasi yang adil dan merata dan juga

untuk bonus. Dalam sebuah clan culture, karyawan mendapat

sosialiasi dari anggota lain. Para anggota perusahaan saling menolong

satu sama lain untuk mendapatkan kesuksesan bersama.

3. Entrepreneurial Culture

Inovasi dan kreativitas, pengambilan resiko dan secara agresif mencari

peluang yang ada menggambarkan budaya kewirausahaan. Karyawan

mengerti bahwa perubahan yang dinamis, inisiatif individu dan

otonomi merupakan praktek standar


4. Market Culture

Penekanan pada pertumbuhan penjualan, peningkatan pangsa pasar,

stabilitas keuangan dan keuntungan adalah atribut dari Market Culture.

Karyawan memiliki hubungan kontrak dengan perusahaan. Ada sedikit

rasa kerjasama dan keterpaduan dalam jenis budaya ini.

Greenberg & Baron (2003) menyatakan empat tipe dasar dari budaya

organisasi, yaitu:

1. Networked Culture. Budaya seperti ini merupakan budaya yang

sangat bersahabat dan bergaya santai. Orang-orang cenderung

untuk selalu terbuka dan berbicara bisnis secara santai, informal

dan menghabiskan banyak waktu untuk bersosialisasi. Dalam

budaya ini, orang-orang cepat untuk saling mengenal satu sama

lain dan merasa kalau mereka bagian dari kelompok.

2. Mercenary Culture. Budaya ini dicirikan dengan rendahnya

socialibility dan tingkat solidaritas yang tinggi. Budaya ini

melibatkan orang-orang yang secara fokus bersama-sama untuk

menyelesaikan suatu pekerjaan. Komunikasi cenderung lebih

cepat, langsung ditangani dengan cara yang sungguh-sungguh.

Kemenangan dianggap segalanya dan orang-orang dianjurkan

untuk terjun dalam waktu kapan saja untuk membuat hal tersebut

terjadi
3. Fragmented Culture. Budaya dari organisasi ini ditandai dengan

solidaritas yang rendah dan keramahan yang juga rendah. Orang-

orang yang bekerja dalam budaya yang seperti ini cenderung

memiliki hubungan yang sedikit dengan rekan-rekan mereka dan

dalam beberapa kasus, mereka bahkan tidak mengenal satu sama

lain. Meskipun para karyawan akan saling berbicara ketika saat

dibutuhkan, tapi secara umum mereka akan saling meninggalkan

satu sama lain. Tidak heran jika anggota-anggota yang menganut

budaya organisasi seperti ini tidak mengidentifikasikan dirinya

terhadap organisasi. Sebaliknya mereka cenderung

mengidentifikasi diri dengan profesi dimana mereka menjadi

bagiannya.

4. Communal Culture. Budaya ini dicirikan dengan keramahan dan

solidaritas yang tinggi. Anggota-anggota dari budaya ini sangat

ramah satu sama lain dan bergaul dengan baik secara pribadi

maupun secara professional. Budaya ini secara luas terdapat pada

perusahaan-perusahaan yang berteknologi tinggi, khususnya

internet. Karena individu dalam organisasi ini cenderung untuk

berbagi banyak hal, dan komunikasi mengalir sangat mudah di

semua tingkat organisasi dan dalam semua format. Semua anggota

sangat bersahabat yang berakibat perbedaan antara kerja dan tidak


kerja menjadi kabur dan mereka juga menggunakan logo

perusahaan.

Selain itu berdasarkan konsep CVA ( Competing Values

Approach), Quinn & McGrath dalam Park & Kim, 2009 terdapat

empat tipe budaya yaitu:

1. Budaya konsensual. Budaya ini fokus akan kepedulian terhadap

orang lain, nilai kerja tim, partisipasi dan loyalitas. Dalam budaya

ini, organisasi dapat menjadi tempat yang menyenangkan atau

ramah untuk bekerja di mana orang saling berbagi dan para

pemimpin dianggap sebagai mentor bahkan sebagai orang tua

angkat.

2. Budaya Rasional. Budaya ini menekankan pada hasil dan pekerjaan

yang selesai. Orang-orang berkompetisi dan beorientasi pada

tujuan/goal. Para pemimpin merupakan driver/pengarah yang

keras, produser dan pesaing yang kuat yang menuntut staff

mereka. Organisasi dijalankan bersama dengan penekanan akan

kemenangan dan meningkatkan serta penetrasi pasar.

3. Budaya Pengembangan. Budaya ini dapat digambarkan tempat

kerja yang dinamis, entrepreneurial dan kreatif untuk bekerja.

Orang dianjurkan untuk mengambil resiko, inovatif, inisiatif dan

bebas. Pemimpin diharapkan seorang yang innovator dan suka


mengambil resiko. Komitmen dan untuk bereksperimen dan

berinovasi memegang perusahaan bersama-sama

4. Budaya Hirarki. Perusahaan dalam budaya ini mengambarkan

tempat formal dan terstruktur untuk bekerja. Prosedur dalam

perusahaan mengatur apa yang harus dilakukan oleh karyawan.

Para pemimpin merupakan organizer dan coordinator yang baik

dan peduli akan efisiensi. Peraturan formal dan kebijakan-

kebijakan memegang perusahan tetap bersama. Sukses didefiniskan

dalam hal penjadwalan yang mulus, biaya rendah dan pengiriman

yang dapat diandalkan.

4. Dimensi Budaya Organisasi

Dimensi budaya organisasi menurut Hofstede dalam Sobirin (2009)

adalah sebagai berikut:

1. Process oriented VS Result Oriented

Dimensi ini mengkontraskan organisasi yang berorientasi proses

dengan organisasi berorientasi hasil. Pada Process Oriented, perhatian

organisasi lebih ditujukan pada proses aktivitas yang berjalan selama

ini dan sejauh mana orang-orang yang bekerja pada organisasi tersebut

patuh terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan organisasi.

Sementara itu Result Oriented culture, perhatian organsasi lebih

ditujukan pada hasil kegiatan ketimbang prosesnya sehingga seringkali


organsasi tidak memperdulikan bagaimana proses dilakukan tetapi

yang penting hasilnya cepat didapat.

2. Employee Oriented VS Job Oriented

Dimensi kedua mengkontraskan antara employee oriented VS job

oriented. Employee Oriented Culture, menggambarkan lingkungan

internal organisasi yang dipenuhi oleh para pekerja yang

menginginkan agar pihak organisasi terlebih dahulu memperhatikan

kepentingan-kepentingan mereka sebelum berorentasi pada pekerjaan

yang harus mereka lakukan. Sementara itu, job oriented culture

beranggapan bahwa pada karyawan harus mendahulukan pekerjaan

sebelum menuntut dipenuhinya kepentingan-kepentingan mereka.

Dengan demikian, dengan job oriented karyawan seolah-olah

mendapat tekanan untuk segera menyelesaikan pekerjaan.

3. Parochial VS professional Culture

Parochial culture menjelaskan bahwa tingkat kebergantungan

karyawan pada atasan dan pada organisasi cenderung sangat tinggi.

Karyawan merasa bahwa dirinya adalah bagian integral dari

organisasi. Sebaliknya, Professional culture, karyawan merasa bahwa

kehidupan pribadi adalah urusan mereka sendiri sedangkan alasan

sebuah organisasi merekrut mereka adalah semata-mata karena

kompetensi dalam melakukan pekerjaan bukan karena latar belakang

keluarga atau alasan lain. Organisasi seperti ini cenderung


memperlakukan karyawannya secara rasioanal dengan ketentuan-

ketentuan yang serba terukur.

4. Open system vs closed system culture

Dimensi ini terkait dengan hubungan antara organisasi dengan

lingkungannya baik internal maupun eksternal. Open system culture

menjelaskan bahwa organisasi cenderung tidak menutup diri dari

perubahan-perubahan baik yang terjadi pada lingkungan internal

maupun eksternal organisasi. Sedangkan pada closed system culture,

organisasi seolah-olah diperlakukan sebagai sebuah mesin (machine

organization) yang bekerja mengikuti pola yang sudah ada tanpa

banyak melakukan perubahan.

5. Loose control vs tight control

Pada organisasi dengan tingkat pengendalian yang longgar (loose

control), organisasi seolah-olah tidak memiliki alat kendali dan tata

aturan formal yang memungkinkan organisasi tersebut bisa

mengendalikan orang-orang yang bekerja didalamnya. Kebalikan dari

loose control adalah tight control. Organisasi semacam ini cenderung

menerapkan aturan-aturan yang ketat dan bahkan dalam batas-batas

tertentu cenderung kaku.

6. Normative vs Pragmatic

Dimensi ini berkaitan dengan customer orientation, dimana pragmatic

culture adalah organisasi yang berorientasi kepada konsumen.


Bagi organisasi semacam ini, konsumen adalah segalanya. Aturan dan

prosedur bisa saja dilanggar jika hal tersebut menghambat pencapaian

hasil dan pemenuhan kebutuhan konsumen. Sementara organisasi

dengan normative culture menggangap bahwa tugas yang diemban

organisasi terhadap dunia luar merupakan implementasi dari peraturan-

peraturan ,konvensi maupun tertulis, yang tidak boleh dilanggar.

Denison dalam Sobirin (2009) menyatakan bahwa terdapat

empat dimensi organisasi, dimana dimensi-dimensi tersebut adalah:

Involvement consistency, adaptability dan mission. Involvement

merupakan dimensi budaya organisasi yang menunjukkan tingkat

partisipasi karyawan (anggota organisasi) dalam proses pengambilan

keputusan. Consistency adalah dimensi yang menunjukkan tingkat

kesepakatan anggota organisasi terhadap asumsi dasar dan nilai-nilai

inti organisasi. Adabtability adalah dimensi yang menunjukka

kemampuan organisasi dalam merespon perubahan-perubahan

lingkungan eksternal dengan melakukan perubahan internal

organisasi. Dimensi terakhir yaitu mission dimension adalah dimensi

budaya yang menunjukkan tujuan inti organisasi yang menjadikan

anggota organisasi teguh dan fokus terhadap apa yang dianggap

penting oleh organisasi.

Dalam penelitian dimensi yang akan digunakan adalah dimensi

menurut Denison yang terdiri dari empat dimensi organisasi yang


terdiri dari involvement (Keterlibatan), consistency(Konsistensi),

adaptability(Adaptabilitas) dan mission(misi).

C. Lingkungan Kerja Fisik

1. Definisi Lingkungan Kerja Fisik

Nitiserno dalam Lewa & Subowo, 2005 mendefinisikan lingkungan

kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar para karyawan yang

dapat ,mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang

dibebankan kepadanya yang dapat memberi ikesan menyenangkan dan

dapat membuat karyawan betah bekerja dimana lingkungan kerja

tersebut lebih dititik beratkan pada keadaan fisik tempat kerja.

Lingkungan kerja fisik yang baik akan membuat karyawan merasa

betah dalam bekerja, senang dan bergairah yang pada akhirnya akan

mempengaruhi kinerja karyawan (Handini & Suhartini, 2005).

2. Unsur-unsur Lingkungan kerja fisik

Unsur-unsur lingkungan fisik menurut Lewa & Subowo (2005) terdiri

dari pengaturan ruang kerja, suhu udara, pencahayaan, pengaturan tata

warna dan kebisingan. Sedangkan menurut Wahyuni (2005) yang

termasuk dalam lingkungan fisik adalah cahaya, warna, udara, suara

musik yang mempengaruhi karyawan dalam menjalankan

pekerjaannya.
Adapun unsur-unsur dari lingkungan kerja fisik, menurut Moekijat (2002),

dan Liang Gie (2002) adalah :

1. Penerangan

Penerangan merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu kantor

karena dapat memperlancar pekerjaan di kantor. Penerangan yang

cukup akan menambah semangat kerja karyawan, karena mereka dapat

lebih cepat menyelesaikan tugas-tugasnya, tidak mudah lelah karena

cahaya yang terang dan kesalahan-kesalahan dapat dihindari.

Penerangan atau cahaya yang cukup merupakan pertimbangan yang

penting dalam fasilitas fisik kantor. Penerangan yang baik membantu

karyawan melihat dengan cepat, mudah dan senang. Cahaya matahari

tidak dapat diatur dengan sempurna menurut keinginan orang. Lebih-

lebih dalam gedung yang luas dan kurang jendelanya, cahaya alam

tidak dapat menembus sepenuhnya. Jika ditata dengan baik maka akan

memberikan penerangan yang sempurna untuk ruang kerja yang gelap

maupun bekerja pada malam hari.

b. Warna

Warna dapat mempengaruhi penerangan kantor, serta dapat juga

mempengaruhi perasaan kita serta dapat juga mempercantik kantor.

Warna juga dapat mempengaruhi emosi dan menimbulkan perasaan

senang maupun tidak senang. Penggunaan warna yang tepat pada

dinding dan alat-alat dapat memberi kesan gembira, ketenangan bekerja


juga mencegah kesilauan yang ditimbulkan oleh cahaya yang

berlebihan.

c. Udara

Pertukaran udara yang cukup terutama dalam ruangan sangat

diperlukan, apalagi dalam ruangan tersebut penuh dengan karyawan.

Pertukaran udara yang cukup dalam ruangan akan menyebabkan

kesegaran fisik karyawan dalam melaksanakan tugas-tugasnya

d. Suara

Suara bising dan keras, tajam dan tidak terduga adalah penyebab

gangguan yang kerap dialami pekerja tulis menulis. Sebagian besar dari

pekerjaan kantor merupakan pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi

pikiran, oleh karena itu diusahakan agar jangan banyak terjadi suara-

suara gaduh. Suara yang gaduh menyebabkan kesulitan memusatkan

fikiran dalam menggunakan telepon dan dalam melaksanakan pekerjaan

kantor dengan baik. Kondisi suara yang baik adalah kondisi suara yang

tidak gaduh atau tenang, tidak terganggu dari alat-alat kantor itu sendiri

maupun dari luar kantor sehingga pegawai dapat bekerja sebaik

mungkin. Kebisingan dapat dikurangi dengan pengaturan maupun

pengendalian sumber suara, isolasi dari suara, penggunaan peredam

suara,penggunaan sistem akuistik dan pemakaian alat pelindung telinga.


e. Musik

Musik dipergunakan untuk membangun pekerjaan, karena musik

mempunyai kekuatan psikologis untuk menghasilkan pola tingkah laku

yang baik. Musik yang diperdengarkan harus sesuai dan

menyenangkan. Musik jangan terlampau lambat atau terlalu keras,

tetapi musik harus dapat menimbulkan suasana gembira yang mana

akan dapat mengurangi kelelahan dalam bekerja.

Lewan dan Subowo (2005) menyatakan bahwa yang termasuk dalam

indikator lingkungan kerja fisik adalah 1) kualitas pengaturan ruang

kerja; 2) kualitas pengaturan suhu udara; 3) kualitas pencahayaan;

4)kualitas pengaturan tata warna dan 5) pengendalian kebisingan.

Berdasarkan hasil dari pemaparan teori di atas maka yang

digunakan untuk mengukur keadaaan lingkungan kerja fisik yang akan

dipakai dalam penelitian ini meliputi : Penerangan (cahaya), suara,

udara, warna dan musik.


D. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian antara

lain :

Table 2.1

Review Penelitian Terdahulu

No Nama Variabel Judul Hasil

Mukti Lingkungan Pengaruh Hasil menunjukan

1 Wibowo, Kerja Fisik Lingkungan Kerja bahwa Lingkungan

Mocham (X1),Lingkunga terhadap Kepuasan kerja fisik dan

mad Al n Kerja non Kerja Karyawan PT lingkungan kerja

Musadie Fisik (X2) Telekomunikasi non fisik

q, terhadap Indonesia Tbk berpengaruh secara

Gunawan Kepuasan Kandatel Malang positif terhadap

Eko Kerja kepuasan kerja

Nurtjahjo Karyawan (Y) karyawan

no (2014)
Novi Budaya Pengaruh Budaya Hasil menunjukan

2 Permata Organisasi Organisasi dan bahwa Budaya

Sari (X1), Lingkungan Kerja Organisasi dan

(2013) Lingkungan Fisik terhadap Lingkungan Kerja

Kerja Fisik (X2), Kinerja Pegawai Fisik berpengaruh

terhadap PDAM Kabupaten positif terhadap

Kinerja Kudus Kinerja Pegawai

Pegawai (Y) Organisasi

E. Hubungan antar Variabel

1. Budaya organisasi dan kepuasan karyawan

Setiap organisasi pasti mempunyai budaya organisasi yang dianut

oleh seluruh anggota organisasi mulai dari karyawan yang jabatannya

paling rendah sampai kepada yang paling tinggi. Budaya ini berisi nilai-

nilai atau norma-norma yang akan menjadi pedoman bagi seluruh anggota

dalam bertingkah laku dalam perusahaan. Budaya organisasi yang baik dan

dapat diterima oleh anggota dari organisasi dapat memacu karyawan

dalam bekerja yang pada akhirnya dapat membuat karyawan merasa puas

akan pekerjaannya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kesmono (2005)

pada beberapa perusahaan di Indonesia diketahui bahwa terdapat


pengaruh tidak langsung antara budaya organisasi dan kepuasan kerja

karyawan. Hal tersebut dikarenakan bahwa perusahaan di Indonesia

banyak yang belum mengenal tentang budaya organisasi dan hal ini

diperjelas bahwa belum adanya pedoman perilaku yang baku dalam

melaksanakan segala aktivitas yang ada dalam perusahaan, tetapi yang ada

hanya peraturan tata tertib kerja yang merupakan bagian terkecil dari

budaya organisasi.

Selain itu hasil penelitian Renyowijoyo, 2003 menegaskan bahwa

budaya organisasi mempunyai pengaruh untuk mengubah perilaku dengan

memberi anggota organisasi rasa indentitas, membangun pengakuan, yang

berujung pada kepuasan kerja karyawan. Arishanti, 2009 juga menyatakan

bahwa dari hasil penelitiannya terhadap salah satu perusahaan di Jakarta

menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari budaya

organisasi terhadap kepuasan kerja.

Hasil dari beberapa penelitian diatas mengungkapkan bahwa

budaya organisasi memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja,oleh

karenaitu hipotesis pertama yang diajukan adalah bahwa budaya

organisasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja .

H1 : budaya organisasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja

2. Lingkungan kerja fisik dan kepuasan karyawan

Ada begitu banyak yang hal yang mempengaruhi karywan dalam

bekerja dan salah satunya lingkungan kerja fisik tempat dimana karyawan
tersebut bekerja. Lewa & Subowo, 2005 menyatakan dengan lingkungan

kerja yang baik, para karyawan akan bekerja dengan baik,aman, nyaman

tanpa adanya gangguan misalnya temperature yang tidak tepat, suara yang

bising, penerangan yang kurang atau lebih dan gangguan lainnya. Brill et

al dalam Newsham et al (2009), menyatakan bahwa keseluruhan aspek

dari lingkungan kerja fisik secara bersama-sama, dengan rata-rata sekitar

24% mempengaruhi kepuasan kerja.

Newsham et al (2009) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa

kepuasan akan lingkungan kerja secara keseluruhan akan memberikan

sebuah contributor yang penting terhadap kepuasan kerja meskipun aspek

kepuasan kerja yang lain ikut diperhitungkan.

Beberapa penelitian memberikan hasil bahwa lingkungan kerja fisik

mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, oleh karena itu hipotesis kedua

yang diajukan adalah lingkungan kerja fisik berpengaruh terhadap

kepuasan kerja.

H2: Lingkungan kerja fisik berpengaruh terhadap kepuasan kerja

3. Pengaruh Budaya organisasi, lingkungan kerja fisik dan kepuasan

kerja

Banyak hal yang mempengaruhi budaya organisasi diantaranya

adalah budaya organisasi dan lingkungan kerja fisik tempat karyawan

tersebut bekerja. Jika budaya dapat dipahami dengan baik dan ditanamkan

dalam sehari-hari maka dan didukung dengan lingkungan yang nyaman


untuk bekerja tentu saja akan membuat karyawan menjadi semangat

bekerja yang pada akhirnya akan menimbulkan kepuasan dalam diri

karyawan. Newsham et al, 2009 menyatakan bahwa lingkungan kerja fisik

yang disediakan oleh management perusahaan untuk para karyawannya,

merupakan bentuk perlakuan management perusahaan terhadap

karyawannya, maka dapat disimpulkan apabila karyawan puas akan

lingkungan kerjanya akan mempengaruhi kepuasan kerja. Bentuk

perlakuan management terhadap karyawan merupakan cara perusahaan

memperlakukan karyawannya yang merupakan budaya organisasi dari

perusahaan itu sendiri. Budaya organisasi dalam hal ini salah satu

perlakuan organisasi dalam menyediakan lingkungan kerja fisik yang

nyaman memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Oleh

karena itu hipotesis ketiga yang diajukan adalah budaya organisasi dan

lingkungan kerja fisik berpengaruh terhadap kepuasan kerja.

H3 : Budaya organisasi dan lingkungan kerja fisik berpengaruh

terhadap kepuasan kerja

F. Rerangka Pemikiran

Budaya
Organisasi
Kepuasan
Kerja
Lingkungan
Kerja
Fisik

G. Hipotesis

Menurut Sugiyono (2009) hipotesis merupakan jawaban atau dugaan

sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya masih harus

diuji secara empiris. Hipotesis dalam penelitian ini antara lain :

1. H1 : Terdapat pengaruh positif dan signifikan budaya organisasi

terhadap kepuasan kerja

2. H2 : Terdapat pengaruh positif dan signifikan Lingkungan kerja fisik

terhadap kepuasan kerja

3. H3 : Terdapat pengaruh positif dan signifikan Budaya organisasi dan

lingkungan kerja fisik terhadap kepuasan kerja

Anda mungkin juga menyukai