Anda di halaman 1dari 15

Aidhill tsalsabilla & Mammarella Ra

Syariah dan Ilmu Hukum


UIN Lampung

BAB I
PENDAHULUAN

Allah telah menetapkan aturan main bagi kehidupan manusia di atas dunia ini. Aturan ini
dituangkan dalam bentuk titah atau kehendak Allah tentang perbuatan yang boleh dan tidak
boleh dilakukan oleh manusia. Aturan Allah tentang tingkah laku manusia secara sederhana
adalah syariah atau hukum syara' yang sekarang ini disebut hukum Islam. Hukum Islam
melingkupi seluruh segi kehidupan manusia di dunia, baik untuk mewujudkan kebahagiaan di
atas dunia maupun di akhirat kelak.
Di antara hukum tersebut ada yang tidak mengandung sanksi, yaitu tuntutan untuk patuh
dan ada juga yang mengandung sanksi yang dapat dirasakan di dunia layaknya sanksi hukum
pada umumnya. Ada pula sanksi yang tidak dirasakan di dunia namun ditimpakan di akhırat
kelak dalam bentuk dosa dan balasan atas dosa tersebut Segi kehidupan manusia tidak bisa
terlepas dari kodrat kejadiannya scbagai manusia. Pada diri manusia sebagai makhluk hidup,
terdapat dua naluri yang juga terdapat pada makhluk hidup lainnya, yaitu naluri untuk
mempertahankan hidup dan naluri untuk melanjutkan hidup. Untuk terpenuhinya dua nalun
tersebut, Allah menciptakan dalam setiap diri manusia dua nafsu, yaitu nafsu makan dan nafsu
syahwat. Nafsu makan berpotensi untuk memenuhi naluri memper tahankan hidup, karena ia
memerlukan sesuatu yang dapat dimakannya.
Dari sinilah muncul kecenderungan manusia untuk mendapatkan dan memiliki harta.
Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi naluri melanjutkan kehidupan, untuk itu manusia
memerlukan lawan jenisnya dalam menyalurkan nafsu syahwatnya. Sebagai makhluk yang
berakal, manusia memerlukan sesuatu untuk memperta- hankan dan meningkatkan daya akalnya.
Sebagai makhluk beragama, manusia membutubkan sesuatu untuk mempertahankan dan
menyempurnakan agamanya Dengan demikian, terdapat lima hal yang merupakan syarat bagi
kehidupan manusia, yaitu agama, akal, jiwa, harta dan keturunan Kelima hal ini disebut dengan
darurivat al-khamsah (lima kebutuhan dasar) pada diri manusia, nafsu yang ada dalam diri

1
manusia merupakan sunnatullah, namun nafsu itu sendiri cenderung ke arah keburukan. Nafsu
yang tidak dikontrol dan dikendalikan dapat menimbulkan pertumpahan darah di muka bumi ini
Untuk itulah tujuan darı berbagai aturan yang ditelapkan oleh Allah yang bernama hukum adalah
untuk kebahagiaan dan kemaslahatan hidup manusia. Di antara aturan yang mengatur hubungan
sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan
pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seorang
yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa
jumlahnya, dan bagaimann cara mendapatkannya. Aturan tentang waris tersebut ditetapkan oleh
Allah melalui firman-Nya yang terdapat dalam Alquran, terutama Surah An-Nisaa' ayat 7, 8, I11,
12, dan 176.
Pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan dengan warisan telah jelas maksud, arah
dan tujuannya. Hal-hal yang memerlukan penjelasan, baik yang sifatnya menegaskan ataupun
merinci telah disampaikun olch Rasulullah saw melalui hadisnya. Namun demikian
penerapannya masih menimbulkan wacana pemikiran dan pembahasan di kalangan para pakar
hukum Islam yang kemudian dirumuskan dalam ajaran yang bersifat normatif. Aturan tersebut
yang kemudian diabadikan dalam lembaran kitab figh serta menjadi pedoman bagi umat muslim
dalam menyelesaikan permasalahan tentang kewarisan.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa pengertian Hukum Kewarisan Islam ?
b. Apa saja asas-asas Hukum Kewarisan Islam ?
c. Apa saja rukun-rukun Hukum Kewarisan Islam ?
d. Apa saja syarat-syarat Hukum Kewarisan Islam ?
e. Bagaimana penggolongan ahli waris dalam Hukum Kewarisan Islam ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Kewarisan


Dalam beberapa literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum
Kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum kewarisan. Perbedaan dalam
penamaan ini terjadi karena perbedaan arah yang dilakukan titik utama dalam pembahasan. Fiqh
mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa Arab fiqh dan mawaris. Untuk mengetahui lebih
lanjut maksud dan pembahasannya lebih lanjut, sebaiknya terlebih dahulu kita tahu tentang
pengertian fiqh mawaris itu. Fiqh menurut bahasa mengetahui, memahami, yakni mengetahui
sesuatu atau memahami sesutau sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yang sungguh-
sungguh.1
Sedangkan, kata mawaris diambil dari bahasa Arab. Mawaris bentuk jamak dari (miiraats)
yang berarti harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya. Jadi, fiqh mawaris adalah suatu
disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan,
siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan yang masing-masing adalah masing-masing.
Prof. T M. Hasby As-Shiddiqi dalam bukunya Fiqh Mawaris mendapat informasi tentang
pengertian hukum waris (fiqh mawaris). Fiqh mawaris adalah “ilmu yang dengan dia dapat
diketahui orang-orang yang mewarisi, orang-orang yang tidak dapat mewarisi, kadar yang
diminta oleh masing-masing ahli waris serta cara pengambilannya.”2
Juga dengan istilah Al-Faraidh bentuk jamak dari kata fardh, makna dan bagian terterntu.
Jika disetujui dengan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya adalah “ilmu untuk mengetahui
cara membagi harta peninggalan sereoran yang telah meninggal dunia kepada yang berhak
menerimanya.”3 Di dalam ketentuan kewarisan islam yang ada di dalam Alquran lebih banyak

1
Syafi’I Karim, Fiqh, Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), h.11.
2
Teungku Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Puta, 2001), h.5.
3
Ibnu Rusyid, Analisa Fiqih Para Mujtahid (terjemahan bidayatul mujtahid), Juz III, (Jakarta: Pustaka
Imami, 2002), h.379.

3
ditentukan dan tidak ditentukan dibandingkan yang tidak ditentukan bagiannya. Oleh karena itu,
hukum ini dinamai dengan faraidh.

2.2 Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam


Hukum Kewarisan Islam faraidh adalah salah satu bagian dari seluruh hukum Islam yang
mengatur peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang (keluarga) yang
hidup. Asas-asas kewarisan Islam antara lain:
a. Asas ljbari
Asas ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan
harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut
ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.
Kata ijbari sendiri secara leksikal mengandung arti paksaan (compulsory). Dijalankannya
asas ini dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta tersebut terjadi
dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT tanpa tergantung kepada kehendak dari
pewaris ataupun permintaan dari ahli warisnya, sehingga tidak ada satu kekuasaan manusia pun
dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak.4
Adanya unsur ijbari ini dapat dipahami dari kelompok ahli waris sebagaimana disebutkan Allah
dalam Surah An-Nisaa' ayat 11, 12, dan 176.
Asas ijbari dalam kewarisan Islam, tidak dalam arti yang memberatkan ahli waris. Andai kata
pewaris mempunyai utang yang lebih besar daripada warisan yang ditinggalkannya, ahli waris
tidak dibebani membayar semua utang pewaris itu. Berapa pun besarnya utang pewaris, utang itu
hanya akan dibayar sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris tersebut. Kalau seluruh harta
warisan sudah dibayarkan utang, kemudian masih ada sisa utang, maka ahli waris tidak
diwajibkan membayar sisa utang tersebut. Kalaupun ahli waris hendak membayar sisa utang,
pembayaran itu bukan merupakan sesuatu kewajiban yang diletakkan oleh hukum, melainkan
karena dorongan moralitas/akhlak yang baik.
b. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam Hukum Islam Al-Qur'an berisi makna bahwa warisan beralih ke ahli
warisnya melalui dua arah (kedua belah pihak). Ini berarti bahwa setiap orang menerima hak
waris dari kedua sisi garis keturunan, yaitu garis keturunan pria dan garis keturunan wanita. Pada

4
Amir Syarifudin, op.cit. h.18.

4
prinsipnya, prinsip ini menekankan bahwa gender bukanlah penghalang untuk mewarisi atau
diwarisi.5 Dasar bilateral ini dapat dilihat dengan jelas dari firman Tuhan dalam Surat An-Nisaa
'ayat 7, 11, 12, dan 176. “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya. Baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
c. Asas Individu
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dalam arti bahwa warisan dapat
dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk keperluan perorangan. Dalam pelaksanaannya
masing-masing ahli waris menerima bagiannya sendiri tanpa terikat dengan ahli waris yang lain.
Keseluruhan harta warisan diumumkan dalam nilai tertentu kemudian jumlah tersebut dibagikan
kepada setiap ahli waris yang berhak menerima masing-masing.6
Sifat masing-masing dalam kewarisan yang dapat dilihat dari aturan-aturan Alquran yang
terkait dengan permbagian harta warisan itu sendiri. Firman Allah dalam Surah An-Nisaa 'ayat 7.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa laki-laki juga perempuan berhak mendapatkan warisan dari
orang tua dan kerabat, terlepas dari jumlah harta tersebut dengan bagian yang telah ditentukan.
Pengertian berhak atas warisan bukan berarti warisan yang harus dibagi-bagikan. Bisa saja
warisan itu dibagi-bagikan asal dikehendaki oleh ahli waris yang dimaksudkan, atau
menghindarinya. Misalnya seorang suami meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri
dan anak-anak yang masih kecil. Apa pun alasannya, dalam keadaan seperti ini keadaan
menghendaki warisan tidak dibagi-bagikan. Tidak dibaginya warisan demi kemaslahatan para
ahli waris itu sendiri. Yang lebih penting tidak dibagi-bagikannya warisan itu tidak menghapus
hak mewaris para ahli waris yang bersangkutan.7
d. Asas Keadilan Berimbang
Kata adil merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata al-'adlu. Hubungannya
dengan masalah kewarisan, kata tersebut dapat diartikan keseimbangan antara hak dan
keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. Sebagaimana laki-laki,
perempuan pun mendapatkan hak yang sama kuat untuk mendapatkan warisan. Hal ini secara
jelas diterjemahkan dalam Alquran Surah An-Nisaa ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-
laki dan perempuan dalam hal mendapatkan warisan. Pada ayat I1, 12, 176 Surah An-Nisaa

5
Rahmat Budiono, loc. Cit. h.5
6
Amir Syarifuddin, op.cit, h.21
7
Rahmad Budiono, loc.cit. h.5

5
sepenuhnya diterima diterima atas pertanggungan hak menerima antara anak laki-laki dan anak
perempuan, ayah dan ibu (ayat 11), suarmi dan istri (ayat 12), saudara laki-laki dan saudara
perempuan (ayat 12 dan 176). Asas ini mengandung arti harus senantiasa ada keseimbangan
antara hak dan kewajiban, antara yang diperoleh seseorang dengan yang harus ditunaikannya.
Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yang sebanding dengan yang dipikulnya
masing-masing (kelak) dalam kchidupan keluarga dan masyarakat. Dalam sistem kewarisan
Islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya adalah
pelanjutan. Oleh karena itu perbedaan bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris
dihargai dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap keluarga.
e. Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam mengatur peralihan kekayaan bagi orang lain dengan menggunakan kewarisan
hanya berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti harta seseorang
tidak dapat beralih ke orang lain (keluarga) dengan nama waris selama yang memiliki harta
masih hidup. Juga berarti bahwa semua bentuk peralihan harta orang masih hidup baik langsung
atau terlaksana setelah ia meninggal, tidak termasuk ke dalam persyaratan kewarisan menurut
hukum Islam.8

2.3 Rukun Mewarisi


Ada tiga unsur yang perlu diperhatkan dalam waris-mewarisi, setiap-tiap unsur ini harus
memenuhi berbagai persyaratan. Unsur-unsur ini dalam kitab fiqh dinamakan rukun, dan
persyaratan itu dinamakan syarat untuk tiap-tiap rukun.
Rukun merupakan bagian dari permasalahan yang menjadi bahasan. Pembahasan ini tidak
sempurna jika salah satu rukun tidak ada. Sehubungan dengan pembahasan hukum waris, yang
menjadi rukun waris-mewarisi ada 3 (tiga), yaitu :
a. Harta peninggalan ( mauruts)
Harta Peninggalan (Mauruts) adalah harta benda yang ditangguhkan oleh si mayit yang akan
dipusakai atau dibagikan oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan,
melunasi hutang dan melaksanakan wasiat.9 Harta Peninggalan dalam kitab fiqh biasa disebut
tirkah, yaitu apa-apa yang dikembalikan oleh orang yang meninggal dunia menjadi harta yang

8
Amir Syarifuddin, op.cit. h.28
9
Fathurrahman, ibid, h.36

6
diterima. Jumhur Fuqaha menganggap sebagai tirkah adalah apa yang menjadi milik seseorang,
baik harta benda maupun hak-hak kebendaan yang diwarisi oleh ahli warisnya setelah ia
menerima dunia. Jadi, di samping harta benda, juga hak-hak, termasuk hak kebendaan juga
bukan kebendaan yang dapat beralih ke ahli warisnya.
Seperti hak menarik hasil dari sumber udara, barang, benda-benda yang digadaikan oleh si
mayit, barang-barang yang dibeli oleh si mayit selama masih hidup yang membutuhkan uang,
tapi barangnya diterima, barang yang dibuat maskawin untuk yang belum menerima sampai ia
meninggal, dan berbaring lain. Di Indonesia, struktur masyarakatnya berbeda dengan masyarakat
Arab di mana kitab-kitab disusun oleh ijtihad ulama pada waktu disusunnya dengan mengisi
komposisi syariat, tentu saja menyediakan perbedaan dalam menentukan harta peninggalan
(tirkah) ini.
Di dalam beberapa literatur yang membahas tentang masalah warisan tidak pernah
disinggung tentang harta mana saja yang termasuk harta suami dan harta istri yang akan dibagi-
bagi oleh ahli warisnya jika ia meninggal dunia. Karena dalam penerapannya di masyarakat
Indonesa, sering menimbulkan kesaan bahwa semua harta adalah milik suami dengan alasan,
yang bertanggung jawab dalam rumah tangga adalah suami, maka semua harta adalah milik
suami dengan dasar Surah An-Nisaa'ayat 34, “Laki-laki bertanggung jawab atas perempuan oleh
Allah melebihkan sebagian besar mereka (laki-laki) atas sebagian lain (wanita) dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian besar harta mereka.”
b. Orang yang Meninggalkan Harta Waris (Muwarrits)
Muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta. Di dalam kamus
Indonesia disebut dengan istilah "pewaris", sedangkan da buku figh disebut muwarist.
Bagi muwarrits berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan milknya dengan sempurna,
dan ia benar-benar telah meninggal dunia, baik menurut kenyataan maupun menurut hukum.
Kematian muwarrits menurut para ulama dibedakan menjadi 3 macam, yaitu mati haqiqy (sejati),
mati hukmy (berdasarkan keputusan hakim), dan mati taqdiry (menurut dugaan).
Mati haqiqy adalah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berwujud
padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan dengan alat
pembuktian. Sebagai akibat dari kematian seluruh harta yang ditinggalkannya setelah dikurangi
untuk memenuhi hak-hak yang bersangkutan dengan harta peninggalannya, beralih dengan
sendirinya kepada ahli waris yang masih hidup di saat kematian muwarrist, dengan syarat tidak

7
sesuai dengan satu halangan mempusakai.
Mati hukmy, merupakan kematian yang disebabkan oleh keberadaan vonis hakim. baik pada
hakikatnya, sescorang benar-benar masih hidup, juga dalam dua antara hidup dan mati. Sebagai
contoh orang yang telah mati, padahal ia benar-benar masih hidup. Vonis ini dijatuhkan terhadap
orang murtad yang ikut serta bergabung dengan musuh. Vonis mengharuskan demikian karena
menurut syariat selama tiga hari dia tiada bertaubat, harus dibunuh. Demikian juga vonis
kematian terhadap mafqud, yaitu orang yang dikenal sebagai kabar beritanya, tidak diketahui
domisilinya dan tidak diketahui hidup dan matinya. Jika hakim telah menjatuhkan vonis mati
terhadap dua jenis orang ini maka berlakunya laporan termuat dalam vonis hakim, walaupun
larinya si murtad atau kepergiannya si mafqud sudah 15 tahun sebelum vonis, dan harta
peninggalannya baru dapat diwarisi oleh ahli warisnya sejak tanggal yang termuat dalam vonis
itu. Karena itu, para ahli waris yang masih hidup sejak vonis kematiannya berhak mempusakai,
karena orang yang mewariskan sebagai-olah telah mati sejati di saat vonis dijatuhkan dan ahli
waris yang mati mendalhului vonis telah diperuntukkan bagi harta peninggalannya.
Mati taqdiry ialah suatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan huukmy tetapi semata-mata
hanya berdasarkan dugaan keras. Misalnya kematian seorang bayi yang baru saja dilahirkan
akibat pemukulan terhadap perut atau pemaksaan agar dapat minum racun. Kematian ini
hanyalah semata-mata pada dugaan keras, dapat juga disebabkan oleh yang lain, namun kuatnya
perkiruan atas akibat tindakan semacam itu.10
c. Ahli Waris atau Waarits
Waarits adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si muwarrits lantaran
mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi. Pengertian ahli waris di sini adalah orang yang
mendapat harta waris karena si muwarrits memang haknya dari lingkungan keluarga pewaris.
Namun, tidak semua keluarga dari pewaris dinamakan (termasuk) ahli waris. Demikian pula
orang yang berhak menerima (menerima) harta waris mungkin saja di luar ahli waris.

2.4 Syarat-Syarat Mewarisi


Waris-mewarisi pekerjaan sebagai pergantian kedudukan dalam memiliki harta benda antara
orang yang telah melahirkan dunia dengan orang yang masih hidup yang ditinggalkannya (ahli
waris). Oleh karena itu, waris-mewarisi memerlukan syarat-syarat tertentu, yaitu meninggalnya

10
Fathurrahman, op.cit. h.80

8
miwarrits (orang yang mewariskan). Kematian seorang muwarrits menurut ulama dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu mati haqiqy, mati hukmy (mati menurut putusan hakim), mati taqdiry
(mati menurut dugaan).
Hidupnya warits (orang-orang yang mewarisi) di saat kematian muwarrits. Para ahli waris
yang benar-benar masih hidup di saat kematian muwarrits, baik matinya itu adalah haqiqy,
hukmy, atau taqdiry berhak mewarisi harta peninggalannya. Meskipun dua persyaratan mewarisi
harus ada pada muwarrits dan warits, namun salah satu dari mereka tidak dapat mewarisi harta
peninggalannya kepada yang lain selama terdapat salah satu dari empat penghalang mewarisi,
yaitu perbudakan, pembunuhan, perbedaan negara (kafir) dan perbedaan negara.

2.5 Penggolongan Ahli Waris


Dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yakni ashabul furudh atau dzawil furudh,
ashabah, dan dzawil arham.
a. Ashabul Furudh
Ashabul furudh adalah orang yang mempunyai bagian harta peninggalan yang sudah
ditentukan oleh Alquran, sunnah, dan ijma. Adapun bagian yang sudah ditentukan adalah 1/2,
1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6. Orang-orang yang dapat mewarisi harta peninggalan dari yang sudah
meninggal dunia berjumlah 25 orang yang terdiri atas 15 orang laki-laki dan 10 orang dari pihak
perempuan.11 Ahli waris dari lakı-laki adalah scbagai berikut:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
3) Ayah
4) Kakek (ayah dari ayah)

5) Saudara laki-lakı sekandung

6) Saudara laki-laki seayah


7) Saudara laki-laki seibu
8) Keponakan laki-laki (anak laki-laki dari no.5)
9) Keponakan laki-laki (anak laki-laki dari no. 10)
10) Saudara seayah (paman) yang seibu seayah

11
Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Juz II, Kifayatul Ahyar, (Bandung: Syirkatul Ma’arif,
1983), h.31.

9
11) Saudara seayah (paman) yang scayah
12) Anak paman yang seibu seayah.
13) Anak paman yang seayah
14) Suami
15) Orang laki-laki yang memerdekakannya.
Bila ahli waris di atas ada semuanya maka hanya 3 (tiga) ahli waris yang mendapatkan
warisan, yaitu sebagai berikut :
1) Suami
2) Ayah
3) Anak
Sementara ahli dari pihak perempuan ada 10 (sepuluh) orang, seperti yang berikut ini :
1) Anak perempuan
2) Cucu perempuan dan anak laki-laki
3) Ibu
4) Nenek perempuan (ibu)
5) Nenek perempuan
6) Saudara perempuan yang seibu seayah
7) Saudara perempuan yang seayah
8) Saudara perempuan yang seibu
9) Istri
10) Orang perempuan yang memerdekakannya.
Bila ahli waris di atas semuanya, maka yang mendapatkan harta waris hanya 5 orang, yaitu :
1) Anak Perempuan
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki
3) Ibu
4) Saudara perempuan seayah dan seibu
5) Istri
Andaikata ahli waris yang memenangkan 25 orang yang berhak mendapatkan yang berhak
mendapatkan harta warisan, adalah sebagai berikut :
1) Ayah
2) Ibu

10
3) Anak laki-laki
4) Anak perempuan
5) Suami / istri

b. Ashabah
Ashabah secara bahasa (etimologi) adalah pembela, penolong, pelindung atau kerabat dari
jurusan ayah. Menurut istilah faradhiyun adalah ahli waris yang dalam penerimaannya tidak ada
ketentuan bagian yang pasti, bisa menerima seluruhnya atau menerima sisa atau tidak mendapat
lain, ahli waris ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan sama sekali. Dengan
kata lain bisa mendapat semua harta atau sisa harta setelah dibagi kepada ahli waris.
Yang termasuk ahh waris ashabah, yaitu sebagai berikut:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki Sampai ke bawah
3) Bapak
4) Kakek

5) Saudara lakı-laki kandung

6) Saudara laki-laki seayah


7) Anak laki-laki saudara laki-laki (keponakan)
8) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak (keponakan)
9) Paman kandung
10) Paman sebapak
11) Anak laki-laki paman sekandung
12) Anak laki-laki paman sebapak
Ahli waris ashabah dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan sebagai berikut:
a. Ashabah Binnafsihi (dengan sendirinya)
b. Ashabah Bilghairi (bersama orang lain)
c. Ashabah Ma al ghairi (karena orang lain)

c. Dzawil Arham

11
Dzawil arham adalah setiap kerabat yang bukan dzawil furudh dan bukan pula ashabah12 atau
ahli waris yang tidak termasuk ashabul furudh dan tidak pula ashabah. Mereka dianggap kerabat
yang jauh pertalian nasab-nya, yaitu sebagai berikut :
1) Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan
2) Anak laki-laki dan anak perempuan dari cucu perempuan
3) Kakek pihak ibu (bapak dari ibu)
4) Nenek dari pihak kakek (ibu knkek)
5) Anak perempuan dari saudara laki-laki (yang sekandung sebapak juga seibu)
6) Anak laki-laki dan saudara laki-laki seibu
7) Anak laki-laki dan perempuan saudara laki-laki (sekandung sebapak atau seibu)

8) Bibi (saudara perempuan dari baņak) dan saudara perempuan dari kakek

9) Paman yang seibu dengan bapak dan kakak laki-laki yang seibu dengan kakek
10) Saudara laki-laki dan laki-laki perempuan dari ibu
11) Anak perempuan dari paman
12) Bibi pihak ibu (saudara perempuan dari ibu)

12
Sayid Sabiq, op.cit. h.446.

12
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan dengan warisan telah jelas maksud, arah dan
tujuannya. Hal-hal yang memerlukan penjelasan, baik yang sifatnya menegaskan ataupun
merinci telah disampaikun olch Rasulullah saw melalui hadisnya. Namun demikian
penerapannya masih menimbulkan wacana pemikiran dan pembahasan di kalangan para pakar
hukum Islam yang kemudian dirumuskan dalam ajaran yang bersifat normatif. Aturan tersebut
yang kemudian diabadikan dalam lembaran kitab figh serta menjadi pedoman bagi umat muslim
dalam menyelesaikan permasalahan tentang kewarisan.
Arti dari fiqh mawaris atau hukum kewarisan islam itu sendiri adalah suatu disiplin ilmu
yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja
yang berhak menerima harta peninggalan yang masing-masing adalah masing-masing. Prof. T
M. Hasby As-Shiddiqi dalam bukunya Fiqh Mawaris mendapat informasi tentang pengertian
hukum waris (fiqh mawaris). Fiqh mawaris adalah “ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-
orang yang mewarisi, orang-orang yang tidak dapat mewarisi, kadar yang diminta oleh masing-
masing ahli waris serta cara pengambilannya.
Dalam hukum kewarisan memuat beberapa asas, seperti asas ijbari, asas bilateral, asas
individual, asas keadilan berimbang, dan asas semata akibat kematian. Adapun rukun dalam
Hukum Kewarisan Islam meliputi tiga unsure yaitu adanya harta peninggalan, adanya pewaris
atau orang yang meninggalkan harta waris, dan juga adanya ahli waris.
Waris-mewarisi berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam memiliki harta benda antara
orang yang telah melahirkan dunia dengan orang yang masih hidup yang ditinggalkannya (ahli
waris). Oleh karena itu, waris-mewarisi memerlukan syarat-syarat tertentu, yaitu meninggalnya

13
miwarrits (orang yang mewariskan). Kematian seorang muwarrits menurut ulama dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu mati haqiqy, mati hukmy (mati menurut putusan hakim), mati taqdiry
(mati menurut dugaan).
Hidupnya warits (orang-orang yang mewarisi) di saat kematian muwarrits. Para ahli waris
yang benar-benar masih hidup di saat kematian muwarrits, baik matinya itu adalah haqiqy,
hukmy, atau taqdiry berhak mewarisi harta peninggalannya. Meskipun dua persyaratan mewarisi
harus ada pada muwarrits dan warits, namun salah satu dari mereka tidak dapat mewarisi harta
peninggalannya kepada yang lain selama terdapat salah satu dari empat penghalang mewarisi,
yaitu perbudakan, pembunuhan, perbedaan negara (kafir) dan perbedaan negara.
Adapun golongan orang-orang yang menjadi ahli waris yaitu ashabul furudh, ashabah, dan
dzawil arham.

14
DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin Amir, op.cit


Fathurrahman, op.cit
Rusyid Ibnu, Analisa Fiqih Para Mujtahid (terjemahan bidayatul mujtahid), Juz III, Pustaka
Imami, Jakarta, 2002.
Budiono Rahmad, loc.cit
Karim Syafi’I, Fiqh, Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Abi Bakar Taqiyuddin bin Muhammad Al-Husaini, Juz II, Kifayatul Ahyar, Syirkatul Ma’arif,
Bandung, 1983.
Muhammad Teungku Habsi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Pustaka Rizki Puta, Semarang 2001.

15

Anda mungkin juga menyukai