Oleh: Putri Amaliyah Sangat menarik ketika membahas tentang filsafat, terlebih pada filsafat pendidikan. Dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat artinya berpikir, olah pikir. Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf. Tegasnya, filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam- dalamnya (Kristiawan, 2016). Adapun filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Filsafat akan menentukan mau dibawa kemana siswa yang kita ajar. John Dewey memandang pendidikan sebagai proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir maupun daya perasaaan, menuju ke arah tabiat manusia. Filsafat dalam hal ini dapat disebut sebagai teori umum pendidikan. Tugas filsafat dan pendidikan adalah seiring yaitu sama-sama memajukan hidup manusia (Hermawan, 2012). Filsafat yang dianut oleh suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu atau yang dianut oleh perorangan (dalam hal ini dosen/guru) akan sangat mempengaruhi tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Falsafah yang dianut oleh suatu Negara bagaimanapun akan mewarnai tujuan pendidikan di negara tersebut. Dengan demikian, tujuan pendidikan suatu negara akan berbeda dengan Negara lainnya, disesuaikan dengan falsafah yang dianut oleh negara-negara tersebut. Tujuan pendidikan pada dasarnya merupakan rumusan yang komprehemsif mengenai apa yang seharusnya dicapai. Tujuan itu memuat pernyataan-pernyataan atau statement mengenai berbagai kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa selaras dengan sistem nilai dan falsafah yang dianut. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara filsafat yang dianut dengan tujuan pendidikan yang dirumuskan (Kristiawan, 2016). Banyak terdapat aliran-aliran dalam filsfat pendidikan, diantaranya aliran idealisme, perenialisme, essensialisme, eksistensialisme, pragmatism, progresivisme, serta rekonstruksionisme. Namun, yang akan ditampilkan pada artikel ini adalah aliran filsafat perenialisme karena menurut penulis aliran ini sangat menarik untuk dibahas. Dimana aliran ini menerapkan untuk tidak maju di zaman yang sudah maju seperti saat ini. Yang menjadi pertannyanan adalah bagaimana implementasi dalam pendidikan dari aliran filsafat pendidikan perenialisme di zaman yang sudah maju ini? Ya, tentu saja ada sekolah di Indonesia yang masih menerapkan aliran perenialisme ini dalam proses belajar mengajar. Sebelum membahasnya lebih lanjut, pembaca mungkin harus tahu terlebih dahulu apa itu aliran perenialisme. Jadi, perenialisme merupakan sutau aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke-20. Perenialisme lahir dari suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekan perubahan dan suatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosikultural. Solusi yang ditawarkan kaum perenialis adalah jalan mundur ke belakang dengan mengunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan pertengahan. Peradaban kuno atau Yunani purba dan abad pertengahaan sebagai dasar budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa dari abad ke abad (Sa’dullah, 2009). Tentang pendidikan, kaum perenialisme memandang education as cultur regression, yaitu pendidikan sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan keadaaan manusia sekarang seperti dalam masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan ideal. Mohammad Noor Syam mengemukakan pandangannya mengenai perenialisme, bahwa pendidkan harus lebih banyak mengerahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal. Perenialisme tidak melihat jalan yang meyakinkan selain kembali pada prinsip-prinsip yang telah sedemikian rupa yang membentuk suatu sikap kebiasaan, bahwa kepribadian manusia yaitu kebudayaan terdahulu atau pada zaman Yunani kuno. Pendukung filsafat perenialisme adalah Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler. Hutchins pada tahun 1963 mengembangkan sutu kurikulum berdasarkan penelitian terhadap Great Books atau buku besar bersejarah dan membahas buku-buku klasik. Perenialis mengunaksn prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquino. Pandangan-pandangan dari Plato dan Aristoteles mewakili peradaban Yunani kuno serta ajaran Thomas Aquino dari abad pertengahan. Filsafat perenialisme terkenal dengan bahasa latinnya Philoshopia Perenis. Pendidri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri, kemudisn didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13. Perenialisme memendang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertemngahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukankah nostalgias atau rindu atas hal-hal yang sudah lampau semata-mata, tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan- kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali kemasa lampau itu merupakan konsep bagi perenialisme dimana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini. Asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang mempunyai dua sayap, yaitu perenialisme yang theologis yang ada dalam pengayoman pada gereja khatolik, khususnya menurut dan intreprestasi Thomas Aquinas, dan perenialisme sekular yakni yang berpegang kepada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang sebagai kebudayaan ideal tersebut. Penganut perenialisme percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat universal dan abadi. Perenialisme menentang pandangan progressivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan. Nah, dari pembahasan itulah saya menyimpulkan bahwa pembelajaran tidak akan efektif apabila menerapkan aliran filsafat pendidikan perenialsme ini. Sebab, perkembangan zaman ini perlu diikuti dan diambil positifnya. Apabila kita menolak perkembangan zaman, maka kita pun akan tertinggal dan tidak akan maju. Disamping itu, setiap yang terbentuk pastilah punya kelebihannya masing masing. Begitu pula dengan aliran perenialisme ini, kelebihan aliran ini adalah: 1. Perenialisme mengangkat kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang menjadi pandangan hidup yang kokoh pada zaman kuno dan abad pertengahan, pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. 2. Kurikulum menekankan pada perkembangan intelektual siswa pada seni dan sains. 3. Perenialisme tetap percaya terhadap asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis, dan berhitung merupakan landasan dasar. 4. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal. 5. Membentuk output yang dihasilkan dari pendidikan di sekolah memilki keahlian dan kecakapan yang langsung dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Seperti yang diketahui bahwa yang berperan aktif pada proses pembelajaran dalam aliran perenialisme ini adalah guru, guru lah yang mempunyai peran yang dominan dalam penyelengaraan kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas. Sekolah, sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempersiapkan anak didik ke arah kematangan akal dengan memberikan mereka pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran atau pengetahuan kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam bidang akalnya sangat tergantung kepada guru. Pengimplementasian inilah yang menurut saya menjadikan aliran perenialisme tidak efektif digunakan dalam proses belajar-mengajar. Seharusnya peserta didiklah yang berperan aktif, sehingga menimbulkan interaksi yang sangat baik dalam proses belajar-mengajar ini. Sedangkan guru hanya mengarahkan dan membenarkan apabila dalam proses belajar-mengajar ini ada kesalahan informasi dan sebagainya. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya menerima “bulat-bulat” informasi yang diberikan oleh guru atau dosen. Selain itu, perkembangan zaman harus diikuti dan diambil positifnya seperti penggunaan teknologi. Pada proses pembelajaran teknologi sangat membantu untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang luas, sehingga peserta didik memiliki wawasan yang luas pula. Hal ini jugalah yang membuat ketidak efektifan penerapan aliran perenialisme dalam proses belajar-mengajar. Padahal banyak sekali manfaat yang dapat diambil dari kita mengikuti zaman dan bukannya mundur seperti aliran perenialisme ini. Maka dari itu, perenialis harus bisa lebih terbuka terhadap perubahan yang terjadi di setiap zaman karena suatu perubahan tidak selalu berdampak buruk atau pengaruh negatif dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosiokultural. Seharusnya kitalah yang harusnya dapat menyaring perubahan-perubahan yang terjadi, bukan malah menolak untuk mengikuti seluruh perkembangan zaman ini. Karena tidak semua perkembangan ini memberikan pengaruh negatif, tentunya ada juga pengaruh positif yang terkandung didalamnya. Kembali lagi kepada individu tersebut dalam menanggapi perkembangan zaman ini dan cara dia memanfaatkannya.