Anda di halaman 1dari 101

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN


TERAPEUTIK DI RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO
KAB. WONOGIRI

Penulisan Hukum (skripsi) S1

Disusun dan Diajukan untuk


Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh
Dhora Gumilang Indiarsono
NIM. E0008139

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012

commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERNYATAAN

Nama : Dhora Gumilang Indiarsono


NIM : E0008139

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) berjudul :


TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN
TERAPEUTIK DI RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO KAB.
WONOGIRI adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam
penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar
pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi)
dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Juni 2012


yang membuat pernyataan

Dhora Gumilang Indiarsono


NIM. E0008139

commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK
Dhora Gumilang Indiarsono, E0008139.2012. TINJAUAN YURIDIS TENTANG
PELAKSANAAN PERJANJIAN TERAPEUTIK DI RSUD dr. SOEDIRAN
MANGUN SUMARSO KAB. WONOGIRI. Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.

Penelitian dalam penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui


bagaimanakah pelaksanaan perjanjian terapeutik yang terjadi di RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, dan untuk mengetahui permasalahan apa saja yang
muncul serta upaya penyelesaiannya.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif.
Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan kualitatif dengan menggunakan
data primer dan data sekunder yang kemudian dianalisis dengan model analisis
kualitatif. Lokasi penelitian di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri.
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui wawancara, observasi,
dan studi kepustakaan baik buku-buku, peraturan perundang-undangan, makalah-
makalah, jurnal, dokumen-dokumen, dan sebagainya.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa
pelaksanaan perjanjian terapeutik yang terjadi di RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kab. Wonogiri dapat dilakukan setelah tahapan/prosedur dalam proses
penerimaan pasien, baik itu pasien rawat jalan maupun rawat inap dilalui dan pasien
sudah memberikan persetujuan tindakan medik sebagai upaya dalam proses
penyembuhan pasien. Pelaksanaan perjanjian terapeutik sangat terkait dengan
pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak baik itu dokter maupun pasien.
Permasalahan yang muncul yakni hanya sebatas pada permasalahan yang
bersifat teknis dan bukan mengenai permasalahan medis yang dapat menimbulkan
suatu sengketa, sebab sampai saat ini di RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso
Kabupaten Wonogiri, permasalahan yang dapat menimbulkan suatu sengketa belum
pernah terjadi. Permasalahan teknis ini dapat terjadi karena tingkat pemahaman yang
kurang dari pihak pasien/keluarga pasien, tidak tercapainya kesepakatan antara dokter
dengan pasien dalam hal pemberian persetujuan tindakan medik, dan sikap pasif dari
pasien/keluarga pasien yang terlalu menyerahkan semuanya kepada dokter yang
merawat. Upaya penyelesaiannya, dokter harus senantiasa menjalin komunikasi yang
baik dengan memberikan segala macam informasi secara jelas dengan bahasa yang
mudah dimengerti dan dipahami oleh pasien/keluarga pasien.
Implikasi teoritis penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang
pelaksanaan perjanjian terapeutik dan penyelesaian terhadap permasalahan yang
muncul di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, sedangkan implikasi
praktisnya adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
informasi bagi masyarakat agar lebih mengerti tentang konsep perjanjian terapeutik
sehingga nantinya pemberian pelayanan kesehatan dapat lebih optimal.

Kata Kunci : perjanjian terapeutik, permasalahan, penyelesaian

commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Dhora Gumilang Indiarsono, E0008139. 2012. A JURIDICAL REVIEW ON


THE IMPLEMENTATION OF THERAPEUTIC AGREEMENT IN DR.
SOEDIRAN MANGUN SUMARSO LOCAL GENERAL HOSPITAL OF
WONOGIRI REGENCY. Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret University.

The research in this law writing aims to find out the implementation of
therapeutic agreement in dr. Soediran Mangun Sumarso Local General Hospital of
Wonogiri Regency, and to find out the problems rising as well as the solution to
them.
This research was an empirical legal study that was descriptive in nature. In
this study, a qualitative approach was used with primary and secondary data that were
then analyzed using qualitative model of analysis. The research was taken place in dr.
Soediran Mangun Sumarso Local General Hospital of Wonogiri Regency.
Techniques of collecting data used were interview, observation and library study with
books, legislations, articles, journals, documents, and etc.
Based on the result of research conducted, it could be found that the
implementation of therapeutic agreement occurring in dr. Soediran Mangun Sumarso
Local General Hospital of Wonogiri Regency could be done after the procedure in
patient admission process, both inpatient and outpatient, and the patient had given
consent on the medical measure as the attempt in the process of healing patient. The
implementation of therapeutic agreement was closely related to the fulfillment of

The problem rising was limited to the technical problem including that of
communication between physician and patient not the medical problem that could
lead to a dispute because there had been no dispute occurring in dr. Soediran Mangun
Sumarso Local General Hospital of Wonogiri Regency up to now. This technical
ower knowledge, no
consensus between the physician and patient in the term of consent giving to the

of therapeutic
agreement. The solution to these problems was that the physician should always
establish good communication by giving any information clearly with understandable
language to the patients/family.
The theoretical implication of research was to get a description on the
implementation of therapeutic agreement and solution to the problems rising in dr.
Soediran Mangun Sumarso Local General Hospital of Wonogiri Regency, while the
practical implication was that the result of research was expected to give the
community additional information to understand better the concept of therapeutic
agreement so that the health care service could run more optimally.

Keywords: Therapeutic Agreement, Problems, Solution

commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

HALAMAN MOTTO

Jika Allah menolong kamu, maka tidak akan ada orang yang dapat

mengalahkan kamu, jika Allah membiarkan kamu (tidak memberikan

pertolongan) maka siapa gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari

Allah sesudah itu, karena itu hendaklah kepada Allah sajalah orang-orang

mukmin bertawakkal. (QS Ali Imron : 160)

Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan,

sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),

kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.

(QS Insyirah : 5-7)

Hargailah segala sesuatu yang masih kau miliki sebelum ia hilang darimu,

dan kau akhirnya menyadari betapa berharga semua itu bagimu.

(Abu Abdillah Al-Husainy)

commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini Penulis persembahkan untuk :


Bapak dan Ibuku tercinta yang senantiasa
memberikan kasih sayangnya dan mendidikku
dengan tidak kenal menyerah yang selalu
mengajarkan bahwa keberhasilan harus di awali
dengan perjuangan dengan penuh keprihatinan
dan ikhtiar kepada-NYA.
Adikku satu-satunya Rhevika Gurindra Hapsari.
Almameterku Universitas Sebelas Maret, tempat
ku bernaung menuntut ilmu

Para penegak hukum dan keadilan yang masih


bisa diharapkan demi setitik kebenaran yang
mulai luntur dengan
Semua anak bangsa yang masih peduli dengan
martabat dan harga diri bangsa...

commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas


rahmat dan hidayah-Nya, akhirnya Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum
(skripsi) ini dengan judul
PERJANJIAN TERAPEUTIK DI RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN
Adapun penulisan hukum (skripsi) ini disusun
guna memenuhi salah satu persyaratan untuk meraih gelar kesarjanaan S-1 dalam
bidang Ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulisan Hukum ini membahas tentang pelaksanaan perjanjian terapeutik
yang terjadi di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri beserta
permasalahan dan upaya penyelesaiannya, sebab terkadang dalam pelaksanaanya
tentu masih terjadi permasalahan yang sering timbul baik itu berupa permasalahan
yang berujung menjadi sebuah sengketa ataupun hanya yang bersifat teknis semata
yang tidak menimbulkan suatu sengketa. Oleh karena itu, komunikasi yang baik
antara para pihak yang terlibat baik itu dokter maupun pasien akan sangat dibutuhkan
agar tujuan dalam upaya pemberian layanan kesehatan dapat berlangsung secara
optimal.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan Penulisan Hukum
(Skripsi) ini menemui berbagai rintangan, tantangan, dan hambatan yang harus
Penulis lewati dengan penuh kesabaran. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam
menyusun penulisan hukum (skripsi) ini, Penulis dibantu oleh banyak pihak. Tanpa
bantuan dari berbagai pihak tersebut Penulis yakin penyusunan skripsi ini tidak akan
berhasil. Maka dalam kesempatan ini, dengan penuh kerendahan hati dan rasa yang
tulus, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Muh. Jamin, S.H.,M.Hum selaku Pembimbing Akademik (PA) yang
telah memberikan izin melalui untaian tanda tangannya kepada Penulis dalam
setiap proses akademik di fakultas tercinta.

commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3. Ibu Endang Mintorowati, S.H.,M.H dan Ibu Ambar Budi Sulistyowati, S.H.,
M.Hum selaku dosen pembimbing dan co.pembimbing skripsi yang telah
menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan
bagi tersusunnya skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada Penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam Penulisan
Hukum (Skripsi) ini.
5. Ketua Bagian Pengelola Penulisan Hukum (PPH), Ibu Wida Astuti, S.H.,M.H
dan Mas Wawan anggota Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang banyak
membantu Penulis dalam Penulisan Hukum (Skripsi) ini.
6. Direktur RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, Ibu
Dr.Setyarini, M.kes yang telah berkenan memberikan ijin penelitian bagi
Penulis untuk memperoleh data-data di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Kab. Wonogiri guna menyusun Penulisan Hukum (Skripsi) ini.
7. Bapak Suwarsono, SKM.,Msi selaku Ka.sub.bagian Rekam Medik, Bapak Dr.
Adhi Dharma, MM selaku Kepala Bidang Pelayanan Medik, dan Bapak
Warsito, S.H. selaku Ka.Sub Bagian Hukum, Hubungan Masyarakat dan
Perpustakaan di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk bisa bertukar pikiran dan
meminjamkan data yang diperlukan Penulis untuk mempermudah proses
penyusunan Penulisan Hukum (Skripsi) ini.
8. Para Dokter yang bertugas di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.
Wonogiri yakni dr. Tri Budi Astuti selaku Dokter Umum dan dr. Nugroho
Kusumawati, Sp.B selaku Dokter Bedah di RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kab. Wonogiri, terima kasih atas waktunya yang telah diberikan
kepada Penulis untuk bisa sedikit bertukar pikiran mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan Penulisan Hukum (Skripsi) ini.
9. Para pasien maupun mantan pasien di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Kab. Wonogiri yang sempat penulis ajak berdialog yakni Bapak Suswandi dan
Bapak Lukminto, terima kasih atas keterangan yang telah diberikan kepada
Penulis guna melengkapi data dalam Penulisan Hukum (Skripsi) ini.

commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10. Bapak, Ibu, serta keluarga tercinta yang tanpa henti telah memberikan cinta
dan kasih sayang, doa, dukungan, semangat dan segala yang telah diberikan
yang tidak ternilai harganya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan
Hukum (Skripsi) ini.
11. Teman-teman dan Sahabat-sahabatku seperjuangan di Fakultas Hukum UNS,
Alfinus Martyanto, Advent Christiansen, Gangga, Christian Angga, Temon,
Rangga, Antoni Wibowo, Ira Oktafia, Norma Evita, Indah Kurniawati,
Megaria Dhiah, Ira Octapiani, Shinta Ayu, Devi, Umar, Triyono Trexjon, Aaf,
Radit, Ferry, Irwan, Komenk, terima kasih atas suka duka dan semua
kenangan yang telah diberikan kepada Penulis.
12. Seluruh teman-teman di Fakultas Hukum UNS, khususnya angkatan 2008
yang tidak dapat Penulis ungkapkan satu-persatu, terima kasih atas segala
dukungannya.

Pada akhirnya bagi pihak-pihak yang belum bisa penulis ungkapkan di sini,
Penulis ucapkan terima kasih atas segala bantuannya hingga penulisan hukum
(skripsi) ini selesai. Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum atau skripsi ini
masih jauh dari sempurna baik dari segi substansi maupun teknis penulisan. Untuk itu
sumbang saran dari berbagai pihak yang bersifat konstruktif, sangat Penulis harapkan
demi perbaikan atau penyempurnaan penulisan hukum selanjutnya. Demikian semoga
penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, baik untuk
penulisan, akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.

Surakarta, Juni 2012


Penulis,

Dhora Gumilang Indiarsono

commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................... iv

ABSTRAK ............................................................................................................. v

HALAMAN MOTTO ........................................................................................... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... viii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix

DAFTAR ISI .......................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xvi

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian................................................................................ 5
E. Metode Penelitian................................................................................. 5
F. Sistematika Penulisan Hukum.............................................................. 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Kerangka Teori..................................................................................... 13
1. Tinjauan tentang Perjanjian pada Umumnya ................................. 13
2. Tinjauan tentang Pelayanan Kesehatan terhadap Pasien selaku
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Konsumen Jasa dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009


tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Kaitannya dengan
Perjanjian Terapeutik ..................................................................... 22
3. Tinjauan tentang Perjanjian Terapeutik.......................................... 26

B. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 41

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Gambaran Umum Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun
Sumarso Kab. Wonogiri ................................................................... 43
1. Visi, Misi, Motto, Tugas Pokok, dan Fungsi Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri .............. 44
2. Fasilitas Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran
Mangun Sumarso Kab. Wonogiri ............................................... 45
3. Tanaga Profesional Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran
Mangun Sumarso Kab. Wonogiri ............................................... 48
4. Struktur Organisasi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran
Mangun Sumarso Kab. Wonogiri ............................................... 50

B. Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik antara Dokter dan Pasien di


Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.
Wonogiri ........................................................................................... 54
1. Penerimaan Pasien di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Kab. Wonogiri ............................................................................ 54
2. Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) dalam
Perjanjian Terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Kab. Wonogiri ............................................................................ 58
3. Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik dalam Pemenuhan Hak dan
Kewajiban Dokter dan Pasien di RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kab. Wonogiri ............................................................. 64
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. Permasalahan yang Ditemukan dalam Pelaksanaan Perjanjian


Terapeutik di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun
Sumarso Kab. Wonogiri beserta Upaya Penyelesainnya ................... 71
1. Tingkat Pemahaman yang Kurang dari Pihak Pasien/
Keluarganya ................................................................................ 74
2. Tidak Tercapainya Kesepakatan antara Dokter dengan Pasien .. 78
3. Sikap dari Pasien/Keluarga Pasien yang Pasif (Terlalu
Menyerahkan Semuanya kepada Dokter yang Merawat) ........... 80
4. Ketidakberhasilan dalam Perjanjian Terapeutik ......................... 81

BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................................ 83
B. Saran .................................................................................................. 84

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Data PNS RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Skema Model Analisis Interaktif. ....... 1


Gambar 2 Skema Kerangka Pikir ............................................................................ 41
Gambar 3 Bagan Struktur Organisasasi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Kab. Wonogi

commit to user
xvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Persetujuan Tindakan Medik


Lampiran 2 Surat Penolakan Tindakan Medik
Lampiran 3 Surat Ijin Pra Penelitian
Lampiran 4 Surat Ijin Penelitian
Lampiran 5 Surat Rekomendasi Bakesbangpol dan Linmas Kab. Wonogiri
Lampiran 5 Nota Dinas Pelaksanaan Penelitian
Lampiran 6 Surat Keterangan Telah Menyelesaikan Penelitian

commit to user
xvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya, pembangunan bidang kesehatan ditujukan untuk meningkatkan


kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap warga negara agar dapat
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dan hal tersebut sejalan pula dengan
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang
menyatakan dalam memperoleh
akses atas sumber daya di bidang kesehatan Dalam kerangka tersebut dijelaskan
bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk
pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyeleng-
garaan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.
Dalam hal penanganan kesehatan, pengetahuan dan keterampilan seseorang
sangatlah terbatas. Seseorang dalam kondisi kesehatan yang berkurang dan
mengalami keadaan yang sakit, maka tentunya tidak akan terlepas dari kebutuhan
terhadap tenaga medis seperti dokter untuk mengobatinya. Ketika seorang pasien
maupun keluarganya meminta pertolongan kepada dokter maka sudah menjadi
tanggung jawab bagi seorang dokter untuk memberikan tindakan upaya penyembuhan
kepada pasien yang membutuhkan pertolongannya.
Hubungan antara pasien dengan dokter dalam pelayanan medis dilandasi atas
kepercayaan sehingga menimbulkan suatu hubungan hukum. Dalam bidang
kedokteran hubungan hukum ini terjalin di bidang jasa yang disebut dengan
perjanjian terapeutik. Dalam perjanjian ini, pasien telah sepakat diberi pelayanan
medis untuk menanggulangi penderitaannya dan dokter juga sepakat untuk memberi
pelayanan medis berupa pemeriksaan, pengobatan dan pertolongan medis lain,
dengan kemampuan yang sebaik-baiknya.
Dalam setiap upaya pelayanan kesehatan tentunya peran dari sarana kesehatan
sangatlah penting. Adanya sarana kesehatan akan sangat membantu dalam
penyediaan fasilitas yang memadai demi tercapainya pelayanan kesehatan yang
optimal. Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan dianggap mampu untuk
commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

memberikan upaya pelayanan kesehatan yang optimal karena memiliki berbagai


macam fasilitas kesehatan mulai dari tenaga ahli kedokteran hingga peralatan medis
yang memadai. Rumah sakit memiliki tipe dan klasifikasi sendiri-sendiri sesuai
dengan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit. Rumah sakit umum
pemerintah berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit dibagi
menjadi 4 (empat) tipe yakni tipe A,B,C,dan D. Kelengkapan fasilitas maupun
kemampuan pelayanan rumah sakit dengan tipe tertentu tidak menjamin bila di rumah
sakit tersebut tidak ada suatu masalah terutama dalam pelaksanaan perjanjian
terapeutik yang ada di dalamnya. Hal ini juga sama seperti yang ada di RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso merupakan Rumah Sakit tipe B non pendidikan yang berada di Kabupaten
Wonogiri yang menjadi RSUD milik pemerintah daerah satu-satunya yang ada di
Kabupaten Wonogiri. RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso ini diharapkan mampu
memberikan pelayanan kesehatan yang optimal kepada seluruh masyarakat terutama
masyarakat yang ada di sekitar Kabupaten Wonogiri karena di RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso sering menjadi rujukan dari beberapa Puskesmas maupun balai
kesehatan lainnya yang ada di sekitar Kabupaten Wonogiri.
Dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik yang ada di RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso sebenarnya hubungan antara para pihak baik itu dokter maupun
pasien adalah sejajar dan seimbang. Pasien tidak dipandang dalam posisi yang lemah
dan tergantung kepada dokternya sebab pasien juga mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya sendiri, memilih dokternya sendiri maupun memilih metode
yang akan digunakan untuk menyembuhkan penyakitnya. Pasien sebagai pengguna
jasa layanan kesehatan tentu akan dijamin dalam pemenuhan hak-haknya sebab
dokter memberikan pelayanan kepada pasien sebagai konsumen jasa sebagaimana
yang telah diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Perlindungan pasien sebagai konsumen pada dasarnya merupakan kewajiban bagi
para penyelenggara pelayanan kesehatan untuk senantiasa menghormati hak-hak
pasien. Akan tetapi dalam kenyataannya kedudukan para pihak ini terkadang masih
belum seimbang. Hal ini dikarenakan kebanyakan pasien yang berobat di RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso adalah mereka yang berprofesi sebagai petani maupun

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pedagang yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga terkadang


pemahaman mereka mengenai bidang kedokteran tidak begitu baik.
Pasien yang datang untuk berobat di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Kabupaten Wonogiri hanya berharap agar penyakitnya segera sembuh dan tidak
terlalu mempermasalahkan terpenuhi atau tidaknya hak-hak mereka. Tujuan utama
bagi mereka adalah dengan biaya yang terjangkau, mereka dapat menikmati sarana
pelayanan kesehatan yang maksimal demi kesembuhan penyakit mereka. Pasien
selaku pengguna jasa layanan kesehatan seolah-olah tetap berada sebagai pihak yang
lemah dalam hubungan perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien sekalipun
dokter sebagai pemberi layanan kesehatan telah berusaha untuk memenuhi hak-hak
dari pasien. Pemikiran yang seperti ini yang selalu ada pada setiap pasien yang
berobat di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri karena
memang tingkat pemahaman mereka tidak bisa disamakan dengan pasien yang berada
di perkotaan yang memiliki pemikiran yang lebih modern. Adanya perbedaan tingkat
pemahaman yang tidak seimbang ini membuat pelaksanaan perjanjian terapeutik yang
ada di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri mengalami suatu
kendala terutama dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Pasien selalu memiliki pola pikirnya sendiri dan pemahaman sendiri untuk
mencapai kesembuhan dan tidak melihat upaya pelayanan kesehatan yang telah
dilakukan sebab terkadang untuk mencapai tingkat kesembuhan, pasien perlu sedikit
pengorbanan dan ternyata hal inilah yang menjadi pertimbangan bagi pasien saat
memutuskan sesuatu. Banyaknya pertimbangan yang harus diambil oleh pasien
seperti masalah biaya, kesiapan mental, risiko yang mungkin timbul, pertimbangan
keluarga, dan pertimbangan lainnya membuat upaya dokter dalam pelayanan
kesehatan tidak dapat mencapai tujuan secara maksimal sebab tidak selamanya
kehendak dokter dalam upaya penyembuhan penyakit pasien bisa sejalan dengan
kehendak pasien itu sendiri. Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa hal-hal
tersebut menarik untuk diteliti dan dikaji lebih lanjut sehingga penulis tertarik untuk
mengangkat suatu penulisan skripsi dengan judul TINJAUAN YURIDIS
TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN TERAPEUTIK DI RSUD dr.
SOEDIRAN MANGUN SUMARSO KAB. WONOGIRI

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis


merumuskan permasalahan untuk dikaji lebih rinci. Adapun beberapa permasalahan
yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian terapeutik yang dilakukan antara dokter
dan pasien di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri?
2. Permasalahan apa saja yang ditemukan dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik
di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri dan bagaimanakah
penyelesaian terhadap permasalahan yang ditemukan tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Dalam suatu penelitian pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu yang
hendak dicapai. Tujuan penelitian juga harus jelas sehingga dapat memberikan arah
dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pelaksanaan dari perjanjian terapeutik yang dilakukan
antara dokter dan pasien di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.
Wonogiri.
b. Untuk mengetahui permasalahan yang ditemui dalam pelaksanaan perjanjian
terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri dan untuk
mengetahui upaya penyelesaian terhadap permasalahan yang timbul tersebut.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan penulis di bidang
Hukum Perdata, khususnya mengenai pelaksanaan perjanjian terapeutik
antara dokter dan pasien.
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Strata-1
(S1) dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

D. Manfaat Penelitian

Salah satu aspek dalam kegiatan penelitian yang tidak dapat diabaikan adalah
mengenai manfaat penelitian. Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam
penulisan hukum ini sedikit banyak bermanfaat, baik bagi Penulis pada khususnya
maupun bagi pembaca pada umumnya karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan
oleh manfaat yang dihasilkan. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan
hukum ini adalah :
1. Manfaat teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum perdata
pada umumnya dan hukum perjanjian pada khususnya yang berkenaan dengan
adanya perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien.
b. Menambah literature dan bahan informasi ilmiah di bidang hukum tentang
perjanjian terapeutik mengingat bahwa peran dan fungsi dokter dan rumah
sakit sangat penting dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran, membentuk
pola pikir ilmiah, sekaligus menerapkan ilmu yang telah diperoleh.
b. Hasil penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi
kepada masyarakat mengenai perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien
sekaligus untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan
kontruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis
berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu
sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam
suatu kerangka tertentu. (Soerjono Soekanto, 2010 :42).
Dengan kata lain pengertian metode penelitian adalah cara yang teratur dan
sistematik secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran maupun ketidakbenaran


dari suatu gejala atau hipotesa. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah
sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah penelitian
hukum empiris. Penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti langsung ke lapangan, yang diteliti pada awalnya adalah data
sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di
lapangan atau terhadap masyarakat (Soerjono Soekanto, 2010 :52).

2. Sifat Penelitian
Penelitian hukum ini bersifat deskriptif, hal tersebut sesuai dengan karakteristik
ilmu hukum. Penelitian hukum yang bersifat deskriptif ini dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-
gejala lainnya (Soerjono Soekanto, 2010 :10). Deskriptif meliputi isi dan struktur
hukum positif yang digunakan penulis untuk menentukan makna aturan hukum
yang dijadikan rujukan dalam menyelesaiakan permasalahan hukum yang menjadi
obyek kajian.

3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah pendekatan kualitatif,
yaitu pendekatan yang digunakan oleh penulis dengan mendasarkan pada apa yang
dinyatakan responden secara tertulis dan/atau lisan dan juga perilaku yang nyata,
diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 2010 :250).

4. Lokasi Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis memilih lokasi di RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso Kab. Wonogiri. Penulis memilih lokasi ini karena RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri merupakan salah satu rumah sakit yang
cukup berkembang sehingga diharapkan akan memudahkan penulis untuk

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penelitian yang akan penulis


lakukan yakni berkaitan dengan perjanjian terapeutik.

5. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumbernya, yakni
pelaku responden di lapangan maupun keterangan yang diberikan secara
lansung mengenai segala hal yang berhubungan dengan obyek penelitian.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang digunakan untuk mendukung data
primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku,
dokumen-dokumen, jurnal, artikel, internet, maupun sumber-sumber lain
yang terkait dengan masalah yang hendak diteliti.

6. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan sumber data yang memberikan informasi
secara langsung mengenai hal yang berkaitan dengan obyek penelitian.
Dalam hal ini data yang diperoleh adalah langsung dari lapangan. Penulis
memperoleh data langsung dari lokasi penelitian yang berasal dari:
1) Keterangan dokter RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
, diantaranya:
dr. Tri Budi Astuti selaku Dokter Umum di RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
dr. Nugroho Kusumawati, Sp.B selaku Dokter Bedah di RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
2) Keterangan pihak RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
, diantaranya:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bapak Warsito, S.H. selaku Ka.Sub bagian hukum RSUD dr.


Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
Bapak Suwarsono, SKK.,Msi selaku Ka.Sub bagian rekam medik
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri.
Bapak Dr. Adhi Dharma MM selaku Ka.Sub bagian Pelayanan
Medik RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri.
3) Keterangan dari pasien RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Kab.
Wonogiri, diantaranya:
Bapak Suswandi selaku mantan pasien yang pernah menjalani rawat
inap di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri.
Bapak Lukminto selaku pasien penderita diabetes yang sedang
menjalani rawat jalan di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.
Wonogiri.

b. Sumber Data Sekunder


Sumber data sekunder merupakan sumber data yang mendukung sumber
data primer. Data tersebut diperoleh dari peraturan perundang-undangan
diantaranya KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait,
buku-buku literatur mengenai perikatan/perjanjian terutama mengenai
perjanjian terapeutik, dokumen-dokumen, artikel, jurnal, internet maupun
sumber-sumber lain yang terkait dengan penelitian penulis.

7. Teknik Pengumpulan Data


Di dalam penelitian pada umumnya, dikenal tiga jenis alat pengumpulan data,
yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan
wawancara atau interview. (Soerjono Soekanto, 2010 :21)
a. Studi Dokumen atau Bahan Pustaka

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Penulis mengumpulkan, membaca, dan mengkaji dokumen, buku-buku,


peraturan perundang-undangan, majalah, dan bahan pustaka lainnya,
berbentuk data tertulis yang diperoleh dari lokasi penelitian atau tempat
lain.
b. Pengamatan atau Observasi
Merupakan teknik pengumpulan data dimana peneliti mengamati secara
langsung obyek yang ada di lapangan yakni mengenai segala sesuatu yang
berkaitan dengan obyek penelitian.
c. Wawancara
Metode ini merupakan suatu kegiatan pengumpulan data dengan cara
mengadakan komunikasi secara langsung guna memperoleh data, baik lisan
maupun tertulis atas sejumlah keterangan dan data yang diperlukan. Penulis
akan menggunakan pedoman wawancara terstruktur sehingga dengan
adanya pedoman maka wawancara yang dilakukan dapat lebih terarah dan
tujuan dari wawancara tersebut dapat tercapai. Wawancara ini akan penulis
lakukan dengan :
1) dr. Tri Budi Astuti selaku Dokter Umum di RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kab. Wonogiri
2) dr. Nugroho Kusumawati, Sp.B selaku Dokter Bedah di RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
3) Bapak Warsito, S.H. selaku Ka.Sub bagian hukum RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
4) Bapak Suwarsono, SKK.,Msi selaku Ka.Sub bagian rekam medik
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri.
5) Bapak Dr. Adhi Dharma MM selaku Ka.Sub bidang Pelayanan Medik
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri.
6) Bapak Suswandi selaku mantan pasien yang pernah menjalani rawat
inap di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri.
7) Bapak Lukminto selaku pasien penderita diabetes yang sedang
menjalani rawat jalan di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.
Wonogiri.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

8. Teknik Analisis Data


Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis kualitatif dengan
interaktif model yaitu komponen reduksi data dan penyajian data dilakukan
bersama dengan pengumpulan data, kemudian setelah data terkumpul maka tiga
komponen tersebut berinteraksi dan bila kesimpulan dirasakan kurang maka perlu
ada verifikasi dan penelitian kembali mengumpulkan data di lapangan. (Heribertus
Sutopo, 2002 :8).
Tahapan dari kegiatan analisis data interaktif adalah sebagai berikut
(Heribertus Sutopo, 2002 :37) :
a. Reduksi Data
Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas, memperpendek, membuat
fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari catatan dan
pengumpulan data. Proses ini berlangsung terus menerus sampai laporan
akhir penelitian selesai.
b. Penyajian Data
Sajian data merupakan sekumpulan informasi yang tersusun dalam suatu
kesatuan bentuk yang disederhanakan, selektif dalam konfigurasi yang
mudah dipakai sehingga memberi kemungkinan kesimpulan riset dapat
dilaksanakan yang meliputi berbagai jenis, diantaranya matrik, gambar,
skema, jaringan kerja, kegiatan, tabel, dan sebagainya.
c. Menarik Kesimpulan
Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai hal yang
ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan peraturan, pernyataan-
pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin alur sebab akibat,
akhirnya peneliti menarik kesimpulan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

Berikut, akan penulis berikan ilustrasi bagan dari tahap analisis data:

Pengumpulan Data

Reduksi Data Penyajian Data

Penarikan Kesimpulan

Gambar 1 : skema model analisis kualitatif

Dengan model analisis ini maka penulis harus bergerak diantara empat
sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya akan bergerak
berputar dan kembali lagi diantara kegiatan reduksi, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan selama sisa waktu penelitian.

F. Sistematika Penulisan Hukum


Sistematika penulisan hukum bertujuan untuk memberikan gambaran secara
keseluruhan tentang isi dari penelitian sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam
penulisan hukum. Sistematika penulisan dalam penelitian ini meliputi :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode
Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai hasil kepustakaan yang meliputi
dua hal yaitu Kerangka Teori dan Kerangka Pemikiran. Kerangka teori
akan diuraikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pokok

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

masalah dalam penelitian ini yang meliputi tinjauan mengenai perjanjian


pada umumnya, perjanjian terapeutik, dan pihak-pihak yang terkait
dalam perjanjian terapeutik. Sedangkan kerangka pemikiran
disampaikan dalam bentuk bagan dan uraian singkat.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan memaparkan tentang hasil dari penelitian yang telah
diperoleh dan dilanjutkan dengan pembahasan yang dilakukan terhadap
hasil penelitian. Dalam bab ini akan menjawab permasalahan yang
diangkat dalam rumusan masalah mengenai bagaimana pelaksanaan dari
perjanjian terapeutik, permasalahan yang timbul dalam perjanjian
terapeutik dan cara penyelesaiannya.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari apa yang telah dibahas
sebelumnya dan juga berisi saran yang ditujukan kepada pihak-pihak
yang terkait dengan permasalahan yang penulis teliti dalam penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Perjanjian pada Umumnya


a. Pengertian Perjanjian
Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanaka
suatu hal (R.Subekti, 2002 :1). Menurut J. Satrio, pengertian perjanjian secara
umum dibagi menjadi dua, yaitu (J Satrio, 1999:52):
1) Perjanjian dalam arti luas
Yaitu suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan
akibat hukum sebagai yang dikehendaki atau (dianggap dikehendaki)
oleh para pihak termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin,
dan lain-lain.
2) Perjanjian dalam arti sempit
Yang dimaksud perjanjian dalam hal ini adalah hanya ditujukan
kepada hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja,
seperti yang tercantum dalam Buku III KUHPerdata.

Dalam Pasal perjanjian


adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
Pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut
dirasa masih belum begitu sempurna dan mengandung banyak kelemahan. Oleh
karena itu beberapa ahli mencoba untuk menyempurnakannya. Dari ketentuan
Pasal tersebut menurut Abdulkadir Muhammad kurang memuaskan karena
mempunyai kelemahan, yaitu (Abdulkadir Muhammad, 1992 :78-79) :
a) Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dengan adanya
p satu

datangnya hanya dari salah satu pihak saja, tidak dari kedua belah

terdapat konsensus antara para pihak.


b) Di dalam p
konsensus, merupakan tindakan tanpa kuasa, tindakan melawan hukum
yang tidak mengandung suatu konsensus. Kata yang lebih tepat

commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

c) Pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut diatas terlalu luas karena


mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin yang sudah
diatur dalam hukum perkawinan. Padahal yang dimaksud adalah
hubungan antara debitur dan kreditur dalam hal harta kekayaan saja.
Perjanjian yang dikehendaki dalam Buku III KUHPerdata sebenarnya
hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang
bersifat personal.
d) Dalam perumusan pengertian mengenai perjanjian tidak dijelaskan
dengan mengenai tujuan mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak
mengikatkan diri itu tidak mempunyai tujuan yang jelas.

Sehubungan dengan alasan-alasan tersebut diatas, maka menurut Abdulkadir


Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau
lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan
hukum harta kekayaan (Abdulkadir Muhammad, 1992 :78).
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai perjanjian tersebut maka
dapat Penulis simpulkan bahwa perjanjian merupakan suatu persetujuan yang
dilandasi dengan hukum dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri
terhadap orang lain/lebih untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum
harta kekayaan.

b. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian


Dalam beberapa Pasal Buku III KUHPerdata terdapat di dalamnya asas-
asas umum hukum perjanjian antara lain :
1) Asas konsesualisme
Bahwa perjanjian itu terjadi sejak tercapainya kata sepakat antara para pihak
mengenai pokok perjanjian. Asas konsesualisme ini berkaitan erat dengan
asas kebebasan berkontrak. Asas ini diatur dalam dalam Pasal 1320
KUHPerdata (Mariam Darus Badrulzaman, 1997: 108).
2) Asas kebebasan berkontrak
Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, mempunyai arti bahwa para pihak dalam perjanjian diberi
kebebasan untuk menentukan isi perjanjian yang diadakan, asal tidak
bertentangan dengan (Mariam Darus Badrulzaman, 1997: 108):
a) Undang-undang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

b) Ketertiban umum
c) Kesusilaan, kesopanan, dan kepatutan (Pasal 1339 KUHPerdata)
d) Tidak diperoleh dengan paksaan dan penipuan (Pasal 1321
KUHPerdata).
3) Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang
akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja (R. Subekti, 2002 : 49). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal
1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan:

untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan


dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata

perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya
sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan:

perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang
lain, mengandung suatu syarat semacam itu
4) Asas Kekuatan mengikat
Asas ini disebut juga asas Pacta Sunt Servanda/asas kepastian hukum. Asas
ini tercantum dalam Pasal
yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang
ula tersebut berarti adanya larangan hukum bagi orang
lain untuk mencampuri isi dari suatu perjanjian, selama pelaksanaan
perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan. Jadi perjanjian yang dibuat oleh para pihak sah
mengikat atau berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. (H. Salim, 2006 : 10).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

5) Asas Itikad Baik


Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan
-tiap orang dalam membuat suatu perjanjian harus dilakukan

Itikad baik ini dapat dibedakan antara Itikad baik yang subyektif
dan itikad baik yang obyektif. Yang dimaksud itikad baik yang
subyektif (subjective goeder trow) yaitu yang bersangkutan sendiri
menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik
sedangkan itikad baik obyektif (Objektive goeder trow) adalah
kalau pendapat umum (jadi obyektif) menganggap tindakan yang
begitu adalah bertentangan dengan itikad baik (J.Satrio, 1999:37).

Dalam pelaksanaan perjanjian itu sendiri, itikad baik yang dipakai yakni
itikad baik obyektif yang didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang
dirasakan sesuai dengan kebiasaan dalam masyarakat.

c. Syarat Sahnya Perjanjian


Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat, yaitu (R.Subekti, 2002:17-19):
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
adalah bahwa
dalam perjanjian mutlak diperlukan adanya kesepakatan sebagai sebuah
landasan adanya perjanjian. Menurut Subekti dengan sepakat atau juga
dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan
perjanjian itu harus bersepakat setuju atau seiya sekata mengenai hal-hal
pokok dari perjanjian yang diadakan.
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Pada hakekatnya seseorang yang cakap untuk membuat suatu
perjanjian adalah orang yang cakap untuk berbuat hukum. Menurut Subekti
orang yang berbuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Seseorang
diperbolehkan membuat suatu perjanjian apabila ia memenuhi persyaratan di
dalam undang-undang. Pada dasarnya, setiap orang yang sudah dewasa atau
akil baligh dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Pada
umumnya menurut KUHPerdata seseorang dikatakan cakap melakukan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21


tahun atau sudah menikah walaupun belum mencapai umur 21 tahun dan
tidak berada di bawah pengampuan.
c. Mengenai suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu adalah segala sesuatu yang diperjanjikan itu harus
jelas terperinci atau sekurang-kurangnya dapat diperinci, sebagaimana diatur
dalam Pasal 1333 KUHPerdata, yang berbunyi
mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya, tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal

Obyek perjanjian berupa suatu prestasi yang harus dipenuhi dan apa
yang diperjanjikan harus jelas, ditentukan jenisnya mengenai jumlah tidak
disebut asal dapat dihitung. Perjanjian harus mengenai hal tertentu artinya
apa yang diperjanjikan harus jelas hak dan kewajibannya bagi para pihak
apabila timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian.
d. Suatu sebab yang halal
Pengertian sebab yang halal dalam Pasal 1337 KUH Perdata yaitu
suatu sebab adalah terlarang, apabila di larang oleh undang-undang atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Pada
hakekatnya undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab
pada pihak dalam mengadakan perjanjian. Undang-undang hanya
memperdulikan isi dari perjanjian tersebut yaitu tidak dilarang oleh undang-
undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subyektif, karena mengenai


orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat
ketiga dan keempat dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya
sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukannya itu.

d. Akibat Hukum Perjanjian


1) Akibat hukum perjanjian yang sah

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

Menurut ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, dinyatakan bahwa


perjanjian yang sah mempunyai akibat hukum sebagai berikut :
a) Berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
Pihak-pihak yang mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati undang-
undang. Jika ada yang melanggar, maka dianggap sama dengan
melanggar undang-undang dan mempunyai akibat hukum yang berupa
sanksi yang telah di tetapkan oleh undang-undang
b) Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak
Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak dan perjanjian
tersebut tidak dapat ditarik kembali, dapat di tarik kembali apabila ada
persetujuan dari pihak lain atau ada alasan yang cukup kuat menurut
undang-undang.
c) Pelaksanaan dengan ikhtikad baik
Itikad baik dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
(1) Ikhtikad baik subyektif, dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang
dalam melakukan perbuatan hukum yaitu apa yang terletak dalam
sikap batin seseorang pada saat melakukan perbuatan hukum.
(2) Ikhtikad baik obyektif merupakan pelaksanaan suatu perjanjian
harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan
sesuai dengan kebiasaan dalam masyarakat.
Dalam pelaksanaan perjanjian dengan ikhtikad baik, kebiasaan tidak
boleh menyampingkan atau menyingkirkan undang-undang dan apabila ia
bertentangan dengan undang-undang maka undang-undang yang dipakai.
Ini berarti bahwa undang-undang tetap berlaku meskipun sudah ada
kebiasaan yang mengatur.
2) Akibat hukum perjanjian yang tidak sah
Menurut R.Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian dapat Penulis
simpulkan bahwa perjanjian yang tidak sah dapat terjadi karena perjanjian
tersebut tidak memenuhi syarat subyektif dan obyektif. Dengan demikian
akibat hukum dari perjanjian yang tidak sah, yaitu :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

a) Perjanjian dapat dibatalkan dan batalnya suatu perjanjian harus


dimintakan pembatalan kepada pengadilan negeri yang berwenang.
Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian,
misalnya karena perjanjian itu dibuat dengan paksaan atau para
pihaknya masih di bawah umur maka. Oleh karena itu apabila tidak
dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap mengikat para
pihak.
b) Perjanjian batal demi hukum dan batalnya suatu perjanjian tidak perlu
lagi dimintakan pembatalan karena tanpa adanya pembatalan perjanjian
tersebut akan di anggap batal dengan sendirinya/perjanjian dianggap
tidak pernah ada. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, misalnya
obyek perjanjian tidak ada atau perjanjian tidak didasari dengan itikad
baik.

e. Jenis Perjanjian Menurut Bentuknya


Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk
perjanjian. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum
dalam KUHPerdata maka perjanjian menurut bentuknya dapat dibagi menjadi
dua macam, yaitu (H. Salim. 2008 : 19):
1) Perjanjian Lisan
Perjanjian lisan adalah perjanjian atau perjanjian yang dibuat oleh
para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320
BW). Dengan adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi.
Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil.
Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada
kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian
yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata.
2) Perjanjian Tertulis
a) Perjanjian formal, adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan
formalitas tertentu, misalnya : perjanjian hibah harus dibuat dengan
akta (Pasal 1682 BW). Perjanjian ini dibagi menjadi dua macam, yaitu

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta autentik. Akta autentik
terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak. Akta yang dibuat oleh
Notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya, berita acara Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT.
b) Perjanjian standar/perjanjian baku.
Istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal
dari bahasa Belanda, yaitu standaart contract atau standaart
voorwarden. Hukum Inggris menyebut perjanjian baku sebagai standa
dized contrac, standaart form of contract. Adapun definisi yang
diberikan oleh Darus Mariam Badrulzaman mengenai perjanjian baku
yang isinya baku dan diberikan dalam bentuk
(Mariam Darus Badrulzaman, 1996: 35). Dari pengertian
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian baku mengandung
pengertian yang lebih sempit dari perjanjian pada umumnya atau
merupakan bentuk perjanjian tertulis yang isinya telah dibakukan atau
distandarisasi dan umumnya telah dituangkan dalam bentuk formulir
atau bentuk perjanjian lain yang sifatnya tertentu.
Perjanjian baku mempunyai ciri-ciri yang membedakannya
dengan bentuk-bentuk perjanjian bernama lainnya, yakni (Mariam
Darus Badrulzaman, 1996: 47):
a) Isinya ditetapkan sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif lebih
kuat dari debitur.
b) Debitur sama sekali tidak menentukan isi perjanjian.
c) Terdorong oleh kebutuhan, debitur terpaksa menerima perjanjian
itu.
d) Bentuknya tertulis
e) Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan individu.

Pada prakteknya, perjanjian baku tumbuh sebagai perjanjian


tertulis dalam bentuk formulir. Pembuatan perjanjian sejenis yang
selalu terjadi berulang-ulang dan teratur serta melibatkan banyak

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

orang, menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian


terlebih dahulu dan kemudian dibakukan lalu dicetak dalam jumlah
banyak sehingga setiap saat mudah didapat jika dibutuhkan. Perjanjian
baku isinya dibuat secara sepihak, dalam arti salah satu pihak telah
menentukan isi dan bentuk perjanjian pada satu bentuk pembuatannya,
sehingga dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian baku ada ketidak
seimbangan kedudukan para pihak, karena pihak yang tidak membuat
perjanjian baku ini biasanya hanya bisa bersikap menerima atau
menolak keseluruhan isi perjanjian dan tidak dimungkinkan untuk
merubah isi perjanjian tersebut.

f. Berakhirnya Perjanjian
Pada umumnya, suatu perjanjian akan berakhir bilamana tujuan perjanjian
itu telah dicapai, dimana masing-masing pihak telah saling menunaikan prestasi
yang diperlukan sebagaimana yang mereka kehendaki bersama-sama dalam
perjanjian tersebut. Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat juga berakhir
karena hal-hal berikut ini (R. Setiawan, 1999 : 68) :
1) Lama waktu perjanjian yang ditentukan oleh para pihak telah terlewati;
2) Batas maksimal berlakunya suatu perjanjian ditentukan oleh undang-
undang;
3) Ditentukan di dalam perjanjian oleh para pihak atau oleh undang-undang,
bahwa dengan suatu peristiwa tertentu, maka perjanjian akan berakhir;
4) Adanya pernyataan penghentian oleh salah satu pihak. Misalnya, perjanjian
sewa-menyewa yang waktunya tidak ditentukan di dalam perjanjian.
Pernyataan penghentian ini harus dengan memperhatikan tenggang waktu
pengakhiran menurut kebiasaan-kebiasaan setempat;
5) Karena putusan hakim;
6) Adanya kesepakatan para pihak karena yang menjadi tujuan bersama telah
tercapai.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

2. Tinjauan tentang Pelayanan Kesehatan terhadap Pasien selaku Konsumen


Jasa dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dalam Kaitannya dengan Perjanjian Terapeutik
a. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan
dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien sebab
pelayanan kesehatan ini terkait dengan tujuan dari perjanjian terapeutik itu
sendiri yakni untuk memberikan upaya semaksimal mungkin terhadap
penyembuhan penyakit pasien. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan yang untuk selanjutnya disebut UU Kesehatan
secara umum pelayanan kesehatan mencakup Pelayanan kesehatan promotif
(kegiatan yang bersifat promosi kesehatan), Pelayanan kesehatan preventif
(kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/ penyakit),
Pelayanan kesehatan kuratif (penyembuhan penyakit), dan Pelayanan
kesehatan rehabilitatif (pemulihan kesehatan).
Masyarakat selaku pihak yang menggunakan sarana kesehatan
tentunya juga diberikan hak guna menjamin mendapatkan pelayanan
kesehatan yang maksimal. Oleh karena itu perlu adanya kesadaran dan
pemahaman, baik dari pelaku medis maupun dari pasien itu sendiri tentang
hak dan kewajibannya, khususnya mengenai hak pasien.
Healthcare shall be considered free from discrimination if, in the
course of delivering healthcare services, patients are not discriminated
against on grounds of their social status, political views, origin,
nationality, religion, gender, sexual preferences, age, marital status,
physical or mental disability, qualification or on any other grounds not
related to their state of health. (James Macinko, International Journal
for Equality in Health, 2002: Vol. IV).

Terjemahannya adalah sebagai berikut :


Kesehatan akan dianggap bebas dari diskriminasi jika dalam rangka
memberikan layanan kesehatan, pasien tidak didiskriminasikan atas dasar
status sosial mereka, pandangan politik, asal-usul, kebangsaan, agama, jenis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

kelamin, preferensi seksual, usia, status perkawinan , cacat fisik atau mental,
kualifikasi atau alasan lain yang tidak terkait dengan kondisi kesehatan
mereka.
Dalam UU Kesehatan telah diatur di dalam Pasal 4, 5 ayat (1), (2), (3),
7, dan Pasal 8, yang dapat disimpulkan bahwa Setiap orang berhak :
Atas kesehatan
Mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya
di bidang kesehatan, memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau
Berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang
dan bertanggung jawab.
Memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk
tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya
dari tenaga kesehatan.
Dalam kaitannya dengan perjanjian terapeutik, UU Kesehatan telah
memberikan dasar pengaturan mengenai Tenaga Kesehatan. Berdasarkan
Pasal
diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis

Kewenangan lainnya mengenai tenaga kesehatan diatur dalam Pasal 23


ayat (1), (2) yakni Tenaga Kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
Kewenangan yang dimaksud disini adalah kewenangan yang diberikan
berdasarkan pendidikannya setelah melalui proses registrasi dan pemberian
izin dari pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Pasal
24 ayat (1), (2), yakni, Tenaga Kesehatan dalam menyelenggarakan
pelayanan kesehatan harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur


operasional.
Selain itu, dalam UU Kesehatan juga memberikan perlindungan
terhadap pasien yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1), 57 ayat (1), dan 58 ayat
(1) yakni:
Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh
tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah
menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut
secara lengkap.
Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang
telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan
yang diterimanya.

b. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik


Kedokteran
Dibentuknya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran yang untuk selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran adalah
untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima
pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi yang pada dasarnya tentu untuk
memberikan jaminan pelayanan kesehatan yang baik kepada masyarakat.
Bila dikaitkan dengan perjanjian terapeutik, di dalam UU Praktik
Kedokteran ini telah memberikan landasan hukum yang pasti tentang
penyelenggaraan Praktik Kedokteran, diantaranya disebutkan dalam Pasal 36
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di

selaku pihak penerima layanan kesehatan terjamin hak-haknya dalam


mendapatkan layanan kesehatan dari orang yang tepat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

Dalam pelaksanaan praktik, disebutkan dalam Pasal


Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara
dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit dan pemulihan kesehatan. Dalam hal ini perjanjian terapeutik yang
terjadi harus timbul berdasarkan kesepakatan dari pihak-pihak yang terkait
yakni dokter dan pasien itu sendiri.

c. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yang untuk selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen
Pasal 1 butir (2), dijelaskan bahwa "Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain, ntaupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan". Sedangkan butir (5) menyatakan bahwa "Jasa
adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. "
Dalam UU Perlindungan Konsumen memang tidak diatur dengan jelas
mengenai pasien, tetapi pasien dalam hal ini juga merupakan seorang
konsumen. Hal ini dikarenakan hubungan tenaga kesehatan/dokter dan
pasien adalah hubungan dalam jasa pemberian pelayanan kesehatan. Tenaga
kesehatan sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan pasien sebagai
konsumen jasa pelayanan kesehatan. Dengan kata lain bahwa pengertian
pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan adalah "Setiap orang
pemakai jasa layanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter melalui suatu
sarana kesehatan yang disediakan bagi masyarakat."
Dibentuknya UU Perlindungan Konsumen, didasari pemikiran bahwa
kedudukan konsumen yang lebih lemah dari pelaku usaha, di samping itu
konsumen tidak mengetahui hak-haknya. Sebagaimana pasien sebagai
konsumen jasa pelayanan kesehatan yang pada dasarnya memerlukan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

perlindungan agar para penyelenggara pelayanan kesehatan bisa senantiasa


menghormati hak-hak pasien.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tetap berlaku pada jasa
pelayanan kesehatan dengan dasar hukum sebagai berikut:
1) Penjelasan UU Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa undang-
undang tersebut adalah payung yang mengintegrasikan dan memperkuat
penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen (an umbrella act);
2) Ketentuan peralihan, Pasal 64 Undang UU Perlindungan Konsumen
-undangan yang
bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang
ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara
khusus dan atau tidak bertentangan dalam undang-
3) Menganut asas lex specialis derogat lex generalis artinya ketentuan
khusus mengesampingkan ketentuan umum. UU Kesehatan sebagai lex
specialis, UU Perlindungan Konsumen sebagai lex generalis. Artinya jika
kedua-duannya mengatur, maka yang berlaku adalah yang bersifat
khusus, yaitu UU Kesehatan. Namun jika dalam UU Kesehatan tidak
mengatur sendiri, maka undang-undang tentang kesehatan tidak mengatur
tersendiri, maka undang-undang tentang konsumen berlaku untuk jasa
pelayanan kesehatan.
Oleh karena itu diharapkan bahwa UU Kesehatan dapat berfungsi
sebagai alat untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna penyelenggaraan
pembangunan kesehatan yang meliputi upaya kesehatan dan sumber daya,
penjangkau perkembangan yang semakin kompleks yang akan terjadi dalam
kurun waktu mendatang dan pemberi kepastian dan perlindungan hukum
terhadap pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan.

3. Tinjauan tentang Perjanjian Terapeutik


a. Pengertian Perjanjian Terapeutik
Terapeutik adalah terjemahan dari therapeutic yang berarti dalam bidang
pengobatan atau penyembuhan. Perjanjian terapeutik merupakan perjanjian

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan antara dokter dan pasien.
Persetujuan yang terjadi antara dokter dengan pasien, bukan di bidang
pengobatan saja tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostic kuratif,
preventif, rehabilitatif, maupun promotif maka persetujuan ini disebut
persetujuan terapeutik atau transaksi terapeutik. (Endang Kusuma Astuti,
20079: 39)
Dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan
dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 434/Men.Kes/X/1983 tentang
Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia bagi Para Dokter di Indonesia,
disebutkan bahwa terapeutik adalah
hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling
percaya (konfidensial) serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan, dan

Isfandyarie yang mengatakan bahwa, perjanjian terapeutik adalah perjanjian


antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter
untuk melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien
berdasarkan keahlian dan ketrampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut (Any
Isfandyarie, 2006:57).
Pada umumnya hubungan perjanjian terapeutik dimulai saat seorang
pasien meminta pertolongan kepada dokter untuk mengobati penyakitnya dan
dokter menyanggupinya. Dalam hubungan perjanjian terapeutik tersebut
timbulah hak dan kewajiban bagi pihak yang terikat di dalamnya, yaitu dokter
dan pasien. Hal tersebut menunjukkan adanya perikatan yang diatur dalam
hukum perdata tentang perikatan yang lahir karena perjanjian. Hak dan
kewajiban dokter dan pasien menimbulkan prestasi dan kontraprestasi yang
wajib dipenuhi oleh masing-masing pihak. Dengan demikian, perjanjian
terapeutik timbul karena adanya hubungan hukum antara dokter dengan pasien
dalam bidang pelayanan medik secara profesional didasarkan kompetensi yang
sesuai dengan keahlian dan ketrampilan tertentu dibidang kedokteran.
Perjanjian terapeutik memiliki sifat dan ciri khusus yang terletak pada
obyek yang diperjanjikan. Obyek dari perjanjian ini adalah berupa upaya/terapi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

untuk penyembuhan pasien. Dokter akan berusaha semaksimal mungkin untuk


menyembuhkan pasien dari penderitaan sakitnya, dimana dalam hal ini yang
dituntut bukan perjanjian berdasarkan hasil (resultaats verbitenis) namun yang
dituntut adalah suatu upaya yang maksimal yang dilakukan dokter atau usaha
yang maksimal atau yang lazim disebut perjanjian inspannings verbitenis.
Dalam bidang pengobatan, para dokter dan masyarakat menyadari bahwa
tidak mungkin dokter menjamin upaya pengobatan akan selalu berhasil sesuai
keinginan pasien/keluarga, yang dapat diberikan dokter adalah upaya maksimal.
Apabila seorang dokter telah melakukan upaya dengan hati-hati dan penuh
kesungguhan, tetapi hasilnya tidak memuaskan pasien atau keluarganya maka
pasien atau keluarga pasien tidak dapat serta merta menyalahkan dokter.
(Norma Sari, 2010: 12). Dalam hal ini pasien sebagai pihak yang menerima
pelayanan medis juga harus berdaya upaya maksimal untuk mewujudkan
kesembuhan dirinya. Tanpa bantuan pasien, maka upaya dokter tidak akan
mencapai hasil yang diharapkan.
Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah diuraikan di atas maka
penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan mengenai konsep perjanjian
terapeutik. Pertama, perjanjian terapeutik merupakan suatu bentuk perjanjian
atau perikatan antara dokter dengan pasiennya, sehingga berlaku semua
ketentuan hukum perdata. Dalam perjanjian terapeutik, dokter maupun pasien
sama sekali tidak diperbolehkan untuk bersepakat melakukan tindakan atau
perbuatan yang dilarang ataupun melanggar hukum, misalnya aborsi. Kedua,
dokter maupun pasien seharusnya benar-benar mengerti tentang objek/isi dari
perjanjian tersebut, yakni usaha yang maksimal (inspanninsverbintenis) dalam
hal pemberian pelayanan kesehatan untuk melakukan penyembuhan terhadap
pasien. Pada akhirnya, pemahaman secara benar atas perjanjian terapeutik oleh
dokter maupun pasien akan berdampak positif dengan terwujudnya iklim
hubungan dokter-pasien yang harmonis.
b. Syarat Sahnya Perjanjian Terapeutik

baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan hukum umum yang termuat dalam
leh karena perjanjian terapeutik merupakan
perjanjian, maka terhadap perjanjian terapeutik juga berlaku hukum perikatan
yang timbul dalam Buku III KUHPerdata. (Veronica Komalawati, 2002 :139).
Hal yang sama juga di ungkapkan oleh Bader Johan Nasution, untuk sahnya
perjanjian terapeutik sebagaimana perjanjian pada umumnya, maka harus
dipenuhi unsur-unsur yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata sebagai
berikut (Bader Johan Nasution, 2005:12) :
1) Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya
2) Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3) Mengenai suatu hal tertentu
4) Untuk suatu sebab yang halal/diperbolehkan
Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian terapeutik tersebut harus
dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan akibat
yang ditimbulkannya di atur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang mengandung
asas pokok hukum perjanjian.
1) Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya
Dalam Pasal 1321 KUHPerdata dapat diartikan bahwa secara yuridis,
yang dimaksud dengan kesepakatan adalah tidak adanya kekhilafan atau
paksaan dan penipuan dari salah satu pihak yang mengikatkan dirinya.
Sepakat ini merupakan persetujuan yang dilakukan oleh kedua belah pihak
dimana masing-masing pihak mempunyai persesuaian kehendak yang
dalam perjanjian terapeutik dapat diartikan sebagai pihak pasien setuju
untuk diobati dan dokter pun setuju untuk mengobati pasiennya. Agar
kesepakatan ini sah menurut hukum, maka di dalam kesepakatan ini para
pihak harus sadar terhadap kesepakatan yang dibuat. Untuk itulah
diperlukan adanya informed consent atau yang juga dikenal dengan istilah
persetujuan tindakan medik (Endang Kusuma Astuti, 2009 : 116).
2) Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Mengenai syarat adanya kecakapan untuk membuat perjanjian di atur
dalam Pasal 1329 KUHPerdata

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak di nyatakan


dan dalam Pasal 1330 KUHPerdata sebagai berikut :
Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
(1) Orang-orang yang belum dewasa
(2) Mereka yang ditaruh dalam pengampuan
(3) Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh
undang-undang (sebagaimana perkembangan hukum terkini, ayat
ini sudah tidak berlaku lagi karena dengan berlakunya Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka kaum
perempuan saat ini cakap untuk melakukan perbuatan hukum
sendiri).

Dalam perjanjian terapeutik, pihak penerima pelayanan medik dapat


meliputi berbagai macam golongan umur dan berbagai jenis pasien yang
terdiri dari yang cakap bertindak maupun yang tidak cakap bertindak. Hal ini
harus disadari oleh dokter sebagai salah satu pihak yang mengikatkan
dirinya dalam perjanjian terapeutik, agar tidak menimbulkan masalah
dikemudian hari. Pihak penerima pelayanan medik yang tidak cakap untuk
bertindak (tidak boleh membuat kesepakatan atau kesepakatan yang dibuat
bisa di anggap tidak sah ) antara lain (Any Isfandyarie, 2006 : 61):
a) Orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak (misalnya orang gila,
pemabuk atau orang tidak sadar), maka diperlukan persetujuan dari
pengampunya dengan kata lain yang boleh membuat perikatan dengan
dokter adalah pengampunya.
b) Anak dibawah umur maka diperlukan persetujuan dari walinya atau orang
tuanya.
Adapun yang dimaksud dengan dewasa menurut Pasal 13 ayat (1)
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 Tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah Persetujuan diberikan oleh pasien
yang kompeten atau keluarga terdekat. Pasien yang kompeten adalah pasien
dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau
telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu
berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan
(retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

membuat keputusan secara bebas. Oleh karena itu untuk seseorang yang
berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah, maka perjanjian terapeutik
harus ditandatangani oleh orang tua atau walinya yang merupakan pihak
yang berhak memberikan persetujuan.

3) Mengenai suatu hal tertentu


Dalam perjanjian terapeutik, mengenai hal tertentu yang
diperjanjikan adalah upaya penyembuhan (ispaningverbintenis) terhadap
penyakit yang tidak di larang oleh undang-undang karena dokter tidak
mungkin menjanjikan kesembuhan kepada pasien, yang dilakukan dokter
adalah melakukan pelayanan kesehatan sebagai upaya untuk
menyembuhkan pasien. Dalam melakukan upaya ini, dokter harus
melakukan dengan penuh kesungguhan dengan mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimilikinya dengan berpedoman kepada standar profesi.
Upaya penyembuhan ini tentu saja tidak hanya bergantung pada
kesungguhan dan keahlian dokter dalam melakukan tugas profesionalnya,
tapi banyak faktor lain yang ikut berperan, diantaranya peran dari pasien itu
sendiri. (Endang Kusuma Astuti, 2009 : 121)
Pasien sebagai pihak lainnya yang menerima pelayanan medis harus
juga berdaya upaya maksimal untuk mewujudkan kesembuhan dirinya
sebagai hal yang diperjanjikan. Tanpa bantuan pasien , maka upaya dokter
tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Pasien yang tidak kooperatif
merupakan bentuk perbuatan yang tidak bisa di pertanggungjawabkan oleh
dokter. Berikut kutipan contoh perilaku pasien yang tidak kooperatif (Anny
Isfandyarie, 2006 :63):
1) Pasien tidak menjelaskan tentang penyakitnya secara jelas (masih
ada yang disembunyikan oleh pasien), misalnya : pasien seorang
gadis, datang kepada dokter dengan keluhan terdapat benjolan di
perut. Pada waktu dilakukan anamnesa, pasien mengaku kalau dia
mengalami menstrulasi secara teratur. Dia tidak mengaku kalau
pernah melakukan hubungan seksual. Disini ada kemungkinan
dokter dapat keliru melakukan diagnose dan terapi, kehamilan dapat
disangka dengan tumor rahim. Maka diperlukan pemeriksaan USG
untuk membedakan hal tersebut. Pemeriksaan USG yang dilakukan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

oleh dokter dalam hal ini, bukan sesuatu hal yang berlebihan yang
melanggar etik atau dianggap sebagai suatu hal yang tidak sesuai
dengan kebutuhan medis pasien. Hal ini memang perlu dilakukan
karena pasien tidak berterus terang mengenai keadaan sakitnya.
2) Pasien seorang gadis mengeluh nyeri perut sebelah kanan bawah,
memeriksakan diri kepada dokter ahli bedah. Setelah diperiksa,
dokter ahli bedah memutuskan untuk melakukan tindakan
pembedahan , karena dokter ahli bedah menduga adanya Apenddix
Perforasi (usus buntu yang berlubang). Setelah dibuka ternyata
ditemukan adanya kehamilan diluar kandungan, sehingga tindakan
pembedahan berjalan lebih lama karena harus di konsultasikan dulu
kepada dokter ahli kandungan. Dalam hal demikian pasien juga
turut bersalah sehingga perpanjangan waktu operasi juga tidak dapat
dipersalahkan kepada dokter yang merawat saja.
3) Pasien yang tidak meminum obat karena resepnya tidak di beli.

Contoh-contoh diatas merupakan kesalahan pasien yang bila


dikemudian hari terjadi faktor penghambat kesembuhan pasien atau bahkan
pasien tidak sembuh tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai kesalahan
dokter semata. Hal-hal inilah yang harus dipertimbangkan oleh dokter agar
bisa dijadikan alasan pembenar, tatkala dokter harus menghadapi tuntutan
pasien.

4) Sebab yang halal


Dalam obyek perjanjian sebelumnya, perjanjian akan dinyatakan sah
kalau yang diperjanjikan adalah sebab yang halal atau diperbolehkan yaitu
sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang atau sebab yang tidak
berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Sedangkan yang
dimaksud dengan sebab ini dapat dianalogikan dengan tujuan dilakukannya
perjanjian.
Dalam perjanjian terapeutik, tujuan kesembuhan pasien merupakan
sebab yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk diperjanjikan,
sedangkan tindakan pengguguran kandungan tanpa indikasi medis dan
euthanasia adalah salah satu contoh sebab yang tidak diperbolehkan
(dilarang) oleh undang-undang untuk diperjanjikan, sehingga bila hal ini
diperjanjikan maka perjanjian terapeutik yang dibuat tidak sah karena tidak
memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

c. Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Perjanjian Terapeutik


Jika perjanjian terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka
semua kewajiban timbul mengikat bagi para pihak, baik pihak dokter maupun
pihak pasien. Akibat hukum dari dilakukannya perjanjian di tuangkan dalam
Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata sebagai berikut :
Pasal 1338
(1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.
(2) Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-
undang dinyatakan cukup untuk itu.
(3) Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan ikhtikad baik.

Pasal 1339
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang.

Dari kedua Pasal diatas, dalam kaitannya dengan perjanjian terapeutik


dapat diambil pengertian sebagai berikut :
1) Perjanjian terapeutik berlaku sebagai undang-undang bagi pihak pasien
maupun pihak dokter, dimana undang-undang mewajibkan para pihak
memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan hal yang di
perjanjikan.
2) Perjanjian terapeutik tidak dapat ditarik kembali tanpa kesepakatan pihak
lain, misalnya : karena dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien atau
kondisi pasien memburuk setelah ditanganinya, dokter tidak boleh lepas
tanggung jawab dengan mengalihkan pasien kepada dokter lain tanpa
indikasi medis yang jelas. Oleh karena itu, untuk mengalihkan pasien kepada
dokter lain, dokter yang bersangkutan harus minta persetujuan pasien atau
keluarganya.
3) Kedua belah pihak, baik dokter dan pasien harus sama-sama berikhtikad baik
dalam melaksanakan perjanjian terapeutik. Mengenai itikad baik dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu itikad baik subyektif dan itikad baik

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

obyektif. Itikad baik subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang


dalam melakukan perbuatan hukum yaitu apa yang terletak dalam sikap
batin seseorang pada saat melakukan perbuatan hukum. Sedangkan itikad
baik obyektif merupakan pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada
norma kepatutan atau apa yang dirasakan sesuai dengan kebiasaan dalam
masyarakat. Wawancara dalam pengobatan harus dilakukan berdasarkan
ikhtikad baik dan kecermatan yang patut oleh dokter dan pasien harus
membantu menjawab dengan ikhtikad baik pula agar hasil yang dicapai
sesuai dengan tujuan di buatnya perjanjian terapeutik.
4) Perjanjian hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan di buatnya
perjanjian yaitu upaya pengobatan secara maksimal demi kesembuhan
pasien, dengan mengacu kepada kebiasaan yang berlaku, dalam bidang
pelayanan medis maupun dari kemampuan pasien itu sendiri. Dokter harus
menjaga mutu pelayanan dengan berpedoman kepada standar medik yang
telah disepakati bersama dengan rumah sakit maupun dengan organisasi
profesi. Sebagai contoh misalnya : untuk pasien kelas 3 dokter bisa
memilihkan obat dengan harga yang terjangkau yang mempunyai efek
terapeutik yang cukup baik sedang untuk kelas VIP pemilihan obat mungkin
bisa hanya dengan mengacu kepada potensi obat saja.
Berdasarkan perjanjian terapeutik itulah lahir hak dan kewajiban antara
pasien dan dokter secara timbal balik. Dokter di satu pihak dan pasien di pihak
lain dalam satu hubungan perjanjian terapeutik ialah berkedudukan sama
sebagai subyek hukum dan dalam menanggung hak dan kewajiban.

d. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Perjanjian Terapeutik


1) Dokter
Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan
kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat signifikan
karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu
pelayanan yang diberikan. Dokter dengan perangkat ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dimilikinya hanya berupaya untuk menyembuhkan dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

kegagalan penerapan ilmu kedokteran tidak selalu identik dengan kegagalan


dalam tindakan.
Pengertian dokter termuat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang- Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran , yang be Dokter
dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik didalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian landasan utama bagi dokter untuk dapat melakukan
tindakan medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan
kompetensi yang dimiliki melalui pendidikan dan pelatihan. Dokter dengan
perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai karakteristik yang khas.
Kekhasannya itu terlihat dari pembenaran yang diberikan oleh hukum yaitu
diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam
upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan.
Dokter mempunyai kewajiban baik diminta maupun tidak diminta
untuk memberikan informasi dan penjelasan yang cukup kepada pasien atau
pihak lain yang berwenang sebelum melakukan tindakan medis. Dokter juga
wajib memberikan kesempatan untuk bertanya bagi pasien atau pihak lain
yang berwenang mengenai segala sesuatu yang di rasa belum jelas. Kecuali
dalam kondisi pasien yang gawat darurat atau dengan pertimbangan khusus
bahwa informasi dan penjelasan tersebut akan merugikan kepentingan
kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi maka dokter tidak
perlu memberikan informasi, sebagaimana dikatakan oleh Bailey dalam
International Journal of Caring Sciences. January-April.Vol.3 bahwa:
in a true life threatening emergency there is no problem with the
obtaining of an informed concent. In the absence of a valid consent
from a sane and sober adult patient, or from the parent orcommittee of
a minor of incompetent person, consent is implied and physician has a
positive duty to proceed with any reasonable effort to savage life or
limb.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

Dalam keadaan darurat memang tidak diperlukan adanya persetujuan


tindakan medik. Namun dengan tidak adanya persetujuan yang sah tersebut
dokter memiliki sebuah kewajiban yang harus dilakukannya yakni untuk
memberikan upaya pengobatan yang maksimal demi kesembuhan pasien.
Dalam perjanjian terapeutik, khususnya mengenai pelaksanaan
tindakan medis selain dokter, perawat atau tenaga medis lain juga berperan
dalam perjanjian terapeutik. Peran perawat atau tenaga kesehatan lainnya
adalah memastikan bahwa persetujuan tindakan sudah tersedia dan
ditandatangani oleh para pihak yang berwewenang sebelum tindakan medis
dilakukan. Apabila ternyata persetujuan tindakan medis belum ada maka
kewajiban perawat atau tenaga kesehatan lainnya untuk memberi informasi
ke dokter yang bersangkutan agar segera memproses persetujuan tindakan
medis. Terkadang perawat atau tenaga kesehatan lainnya bisa juga berperan
sebagai saksi.

2) Pasien
Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran, Pasien adalah setiap orang yang melakukan
konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan yang
diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
dokter/dokter gigi. Dengan kata lain pasien adalah merupakan orang sakit
yang dirawat oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya ditempat praktek atau
rumah sakit. (Soerjono Soekanto, 2006 :63)
Pasien merupakan orang yang menjadi fokus ataupun sasaran dalam
usaha-usaha penyembuhan yang dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan
lainnya, pasien menjadi pihak yang paling berkepentingan dalam perjanjian
terpeutik sebab pasienlah yang menentukan keberlangsungan perjanjian
terapeutik ini, terutama dalam hal persetujuan tindakan medis. Sebagai
subjek hukum, pasien mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipahami
baik oleh pasien, dokter maupun rumah sakit sebagai salah satu tempat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

diselenggarakannya profesi kedokteran demi tercapainya tujuan upaya


kesehatan.
Dalam keadaan pasien tidak mampu secara hukum seperti yang diatur
dalam ketentuan perundang-undangan, maka peran keluarga atau pihak lain
yang berwewenang adalah sebagai pengganti pasien untuk memperoleh
informasi dan penjelasan serta memberikan/menolak persetujuan atas
tindakan yang disarankan oleh dokter. Termasuk dalam keluarga di sini
adalah suami atau istri si pasien, orang tua pasien, dan keluarga dekat pasien
yang lain yang memenuhi syarat dan ketentuan perundang-undangan
sehingga yang bersang- kutan berwenang untuk memberikan atau menolak
persetujuan tindakan medis yang di anjurkan oleh dokter

3) Rumah Sakit
Rumah sakit, dapat diartikan sebagai sarana pelayanan kesehatan.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, menyebutkan bahwa : Rumah Sakit
adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat .
Pengertian rumah sakit juga di atur dalam Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor : 157/Men.Kes/SK/III/1999 Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 159b/Men. Kes/Per/II/1988
tentang Rumah Sakit. Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1)

menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan

Pada dasarnya rumah sakit digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu rumah


sakit pemerintah dan rumah sakit swasta. Rumah sakit umum pemerintah
dibagi menjadi 4 (empat) tipe :
a) Tipe A, tersedia fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik
dan sub spesialistik yang luas.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

b) Tipe B, pelayanan spesialistik luas dan sub spesialistik terbatas.


c) Tipe C, pelayanan spesialistik minimal untuk 4 vak besar yaitu
penyakit dalam, kesehatan anak, bedah dan obsteteriginekologi.
d) Tipe D, minimal pelayanan medik dasar oleh dokter umum.
Sedangkan untuk rumah sakit swasta dibagi menjadi 3 (tiga) tipe :
a) Rumah Sakit Umum Swasta Pratama, pelayanan medik umum
b) Rumah Sakit Umum Swastas Madya, pelayanan spesialistik
c) Rumah Sakit Umum Swasta Utama, pelayanan spesialistik dan sub
spesialistik.
Mengenai standarisasi ketenagaan rumah sakit diatur oleh Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 262/Men.Kes/Per/VII/2004 tentang
Ketenagaan Rumah Sakit. Ketenagaan rumah sakit dibedakan atas empat
kelompok yaitu :
a) Tenaga medis : yakni lulusan Fakultas Kedokteran antara lain dokter
umum, dokter gigi dan lain sebagainya.
b) Tenaga paramedik : yakni lulusan sekolah atau Akademi Perawatan
Kesehatan
c) Tenaga para medis non keperawatan : yakni lulusan sekolah atau
Akademi Kesehatan lainnya.
d) Tenaga Non Medis : yakni di luar butir 1. 2 dan 3 seperti Apoteker,
Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Dalam perjanjian terapeutik, peran Rumah Sakit atau sarana pelayanan


kesehatan lain adalah menyediakan formulir persetujuan tindakan medis
(perjanjian standart/perjanjian baku) dan menyimpan serta memelihara
dokumen persetujuan tindakan medis yang sudah ditandatangani para pihak
yang berwewenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. (Endang Kusuma Astuti, 2009 : 53)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

e. Berakhirnya Perjanjian Terapeutik


Untuk menentukan kapan berakhirnya hubungan dokter-pasien sangatlah
penting, karena segala hak dan kewajiban dokter juga akan ikut berakhir.
Dengan berakhirnya hubungan ini, maka akan menimbulkan kewajiban bagi
pasien untuk membayar pelayanan pengobatan yang diberikannya. Berakhirnya
hubungan ini dapat disebabkan karena :
1) Sembuhnya pasien
Kesembuhan pasien dari keadaan sakitnya dan menganggap dokter sudah
tidak diperlukannya lagi untuk mengobati penyakitnya dan pasien
maupun keluarganya sudah mengganggap bahwa penyakit yang
dideritanya sudah benar-benar sembuh, maka pasien dapat menghkiri
hubungan perjanjian terapeutik dengan dokter atau Rumah Sakit yang
merawatnya.
2) Dokter mengundurkan diri
Seorang dokter boleh mengundurkan diri dari hubungan dokter pasien
dengan alasan sebagai berikut :
a) Pasien menyetujui pengunduran diri tersebut.
b) Kepada pasien diberi waktu dan informasi yang cukup, sehingga ia
bisa memperoleh pengobatan dari dokter lain.
c) Karena dokter merekomendasikan kepada dokter lain yang sama
kompetensinya untuk menggantikan dokter semula itu dengan
persetujuan pasiennya.
d) Karena dokter tersebut merekomendasikan (merujuk) kedokter lain
atau Rumah Sakit lain yang lebih ahli dengan fasilitas yang lebih baik
dan lengkap.
3) Pengakhiran oleh pasien
Merupakan hak pasien untuk menentukan pilihannya akan meneruskan
pengobatan dengan dokternya atau memilih pindah kedokter lain atau
Rumah Sakit lain. Dalam hal ini sepenuhnya terserah pasien karena
kesembuhan dirinya juga merupakan tanggungjawabnya sendiri.
4) Meninggalnya pasien

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

5) Sudah selesainya kewajiban dokter seperti ditentukan didalam kontrak.


6) Di dalam kasus gawat darurat, apabila dokter yang mengobati atau dokter
pilihan pasien sudah datang, atau terdapat penghentian keadaan kegawat
daruratan.
7) Lewat jangka waktu
8) Apabila kontrak medis itu ditentukan untuk jangka waktu tertentu.
9) Persetujuan kedua belah pihak antar dokter dan pasiennya bahwa
hubungan dokter-pasien itu sudah diakhiri.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

B. Kerangka Pemikiran

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

Perjanjian secara umum (KUH Perdata, Pasal 1319 dan


1320)
UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen

Pelayanan Kesehatan

Pasien Informasi Dokter

Sepakat

Perjanjian Terapeutik

Hak dan kewajiban Pasien Hak dan kewajiban Dokter

Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik

Permasalahan yang muncul dan Cara Penyelesaiannya

Gambar 2 : Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan Kerangka Pemikiran :


Kerangka berpikir merupakan gambaran bagaimana hubungan antara
konsep-konsep yang akan di teliti sehingga membentuk runtutan cara berpikir

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

42

dari adanya rumusan permasalahan hingga berhasil ditemukannya solusi dari


permasalahan yang diteliti. Kerangka berpikir dari penelitian ini akan di
uraikan sebagai berikut. Perjanjian terapeutik berawal dari suatu upaya
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh sebuah sarana kesehatan yang dalam
hal ini adalah rumah sakit kepada setiap pasien sebagai konsumen jasa
pelayanan kesehatan yang didasarkan pada KUH Perdata dan peraturan
perundang-undangan terkait yakni UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan UU
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perjanjian terapeutik
timbul dari adanya kesepakatan antara pasien dengan dokter, yang
memberikan kewenangan terhadap dokter untuk melakukan tindakan medis
terhadap diri pasien. Tindakan medis tersebut bisa dilakukan di rumah sakit
atau di tempat praktik pribadi dokter, namun dalam penelitian ini hanya
terbatas pada perjanjian terapeutik yang terjadi di RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kab. Wonogiri.
Akibat hukum dari perjanjian terapeutik adalah timbulnya hak dan
kewajiban bagi dokter dan pasien. Dokter berkewajiban untuk mengupa-
yakan penyembuhan pasien melalui pencarian terapi yang paling tepat
berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, sedangkan
pasien berkewajiban secara jujur menyampaikan apa yang dikeluhkannya
agar dapat ditemukan beberapa alternatif pilihan terapi untuk akhirnya pasien
memilih terapi yang paling tepat untuk penyembuhannya. Dengan adanya hak
dan kewajiban yang dapat dilihat dari perbedaan kepentingan tersebut
munculah permasalahan-permasalahan yang mungkin terjadi yang berkaitan
dengan pelaksanaan perjanjian terapeutik tersebut. Bisa jadi dalam
pelaksanaannya ada pihak-pihak yang belum memahami mengenai isi atau
obyek dari perjanjian tersebut. Permasalahan yang di kaji dalam penelitian ini
hanya terbatas pada isi perjanjian terapeutik yang dibuat antara dokter dan
pasien yang kemungkinan dalam pelaksanaannya menimbulkan permasalahan
permasalahan dan tentunya diperlukan suatu solusi/cara untuk menyelesai-
kannya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran


Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
Rumah sakit merupakan institusi pelayanan publik di bidang kesehatan,
salah satunya adalah RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri yang
terletak di Jalan Jend. A. Yani Nomor 40 Wonogiri yang ditetapkan ijin
operasionalnya oleh Departemen Kesehatan pada tanggal 13 Januari 1956 sebagai
rumah sakit tipe D. Seiring dan sejalan dengan perkembangan masyarakat yang
menghendaki adanya peningkatan kualitas pelayanan publik maka RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri dituntut untuk mampu melakukan
penyesuaian secara berkesinambungan terhadap segala paradigma dan tuntutan
yang timbul, termasuk tuntutan perbaikan dalam hal pelayanan kesehatan.
Pembenahan pun dilakukan dengan kerja keras oleh keluarga besar RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri yang membawa peningkatan tipe
menjadi rumah sakit tipe C pada tanggal 11 Juni 1983. Pada tahun 1993, RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri mendapat penghargaan dari organisasi
kesehatan dunia (WHO) sebagai rumah sakit sayang bayi.
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri berusaha
mengembangkan profesionalisme dengan menggunakan penerimaan operasional-
nya dalam meningkatkan mutu pelayanan dan sumber daya manusianya. Tahun
1996 keluarlah SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 554/MENKES
/SK/IV/1996 tanggal 5 Juni 1996 tentang Peningkatan Kelas Rumah Sakit yang
membuat RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri yang merupakan
rumah sakit milik pemerintah daerah tinggkat II Wonogiri menjadi rumah sakit
kelas B non pendidikan. Hal ini membuat Menteri Kesehatan Republik Indonesia
di tahun 1998 menerbitkan kembali Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.TM.02.03.3.5.5751 tentang pemberian status akreditasi penuh
kepada Rumah Sakit Umum Daerah Tingkat II Wonogiri karena telah memenuhi
standar pelayanan rumah sakit yang meliputi : administrasi manajemen, pelayanan

commit to user
43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

44

medis, pelayanan gawat darurat, pelayanan keperawatan dan rekam medik. Pada
tahun 2002 terbitlah sertifikat akreditasi penuh tingkat lanjut dari Departemen
Kesehatan Republik Indonesia No. YM.00.03.2.2.993 untuk rumah sakit Wonogiri
yang telah memenuhi standar pelayanan yang meliputi administrasi manajemen,
pelayanan medis, pelayanan gawat darurat, pelayanan keperawatan, rekam medik,
farmasi, K3, Radiologi, Laboratorium, Kamar Operasi, Pengendalian Infeksi di
rumah sakit, dan perinat risiko tinggi.
Tahun 1998, RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
mengajukan penilaian mutu terhadap 5 bidang yang kemudian pada tahun 2001
disempurnakan dengan mengajukan penilaian mutu 12 bidang pelayanan yang
disetujui oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, meliputi:
1. Administrasi dan manajemen
2. Pelayanan medis
3. Gawat Darurat
4. Keperawatan
5. Rekam medik
6. Farmasi
7. Keselamatan kerja, kebakaran, dan kewaspadaan bencana
8. Radiologi
9. Laboratorium
10. Kamar operasi
11. Pengendalian Infeksi nosokomial
12. Perinat risiko tinggi
Upaya ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas
pelayanan bagi pasien maupun masyarakat di Kabupaten Wonogiri dan sekitarnya.
Keinginan. Keinginan terhadap perbaikan mutu pelayanan merupakan kebutuhan
mutlak bagi institusi pelayanan publik seperti rumah sakit

a. Visi, Misi, Motto, Tugas Pokok dan Fungsi Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
a. Visi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

45

Rumah sakit unggulan yang diminati masyarakat

b. Misi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri


1) Meningkatkan dan mengembangkan kompetensi Sumber Daya
Manusia yang sesuai dengan standar kompetensi unggulan
2) Meningkatkan sarana dan prasarana pelayanan sesuai dengan standar
mutu pelayanan dan tuntutan kebutuhan masyarakat.
3) Memberikan pelayanan yang bermutu, efisien, efektif, adil, dan
terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
4) Mengelola keuangan secara rasional dan proporsional dalam rangka
efektifitas dan efisiensi dengan penerapan sistem akuntabilitas publik
yang bisa dipertanggungjawabkan secara profesioanal.

c. Motto RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri


Melayani dengan Hati

d. Tugas Pokok RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri


RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri mempunyai tugas
pokok menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan upaya
penyembuhan, pemulihan, peningkatan, pencegahan, pelayanan rujukan,
penelitian dan pengembangan serta pelayanan masyarakat.

e. Fungsi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri


1) Perumusan kebijakan teknis bidang pelayanan kesehatan.
2) Pelayanan penunjang dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di
bidang pelayanan kesehatan.
3) Penyusunan rencana dan program, monitoring, evaluasi, dan pelaporan
bidang pelayanan kesehatan.
4) Pelayanan medik
5) Pelayanan penunjang medik
6) Pelayanan keperawatan
7) Pelayanan rujukan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

46

8) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan


9) Pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta pengabdian
masyarakat.
10) Pengelolaan keuangan dan akuntansi
11) Pengelolaan urusan kepegawaian, hukum, hubungan masyarakat,
organisasi dan tata laksana, serta rumah tangga, perlengkapan dan
umum.
12) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya.

2. Fasilitas Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun


Sumarso Kab. Wonogiri
Di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, mempunyai
berbagai fasilitas pelayanan yang ditujukan guna memberikan pelayanan
kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Fasilitas pelayanan yang ada di
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri adalah sebagai berikut:
a. Pelayanan rawat jalan, terdiri dari :
1) Klinik anak
2) Klinik bedah umum
3) Klinik kebidanan dan kandungan
4) Klinik kulit dan kelamin
5) Klinik mata
6) Klinik penyakit dalam
7) Klinik saraf
8) Klinik THT
9) Klinik paru
10) Klinik fisioterapi
11) Klinik gigi dan mulut
12) Klinik umum
13) Klinik orthopedi
b. Pelayanan penunjang, terdiri dari:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

47

1) Laboratorium
2) Farmasi/apotik
3) Radiologi
4) Gizi
5) Pemulasaraan jenazah
6) Laundry
7) Sterilisasi
8) Kerohanian
9) Kasir
10) Pelayanan informasi
11) Rekam medik
12) Ambulance
c. Pelayanan Emergency, yakni berupa Instalasi Gawat Darurat (IGD) 24
jam
d. Instalansi bedah sental
e. Ruangan khusus, terdiri dari:
1) Ruang ICU
2) Ruang perinatal risiko tinggi
3) Kamar bersalin
4) Ruang isolasi
5) Ruang intermediate care
f. Pelayanan rawat inap, terdiri dari:
1) Ruang Pavilium
2) Ruang VIP
3) Ruang kelas I
4) Ruang kelas II dan III
g. Peralatan penunjang kesehatan, terdiri dari:
1) EKG (Rekam Jantung)
2) EEG (Rekam Otak)
3) USG
4) Slit lamp (Pemeriksaan dalam bola mata)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

48

5) Audiometri fungsi (Pemeriksaan fungsi pendengaran)


6) Elektro Cauteriasi
7) Brain Mapping dan EMG
8) Treadmill
9) Infant Incubator
10) Mobile X Ray
11) Ventilator
12) Mammografi
13) DC Shock
14) Respiator
15) Fluroscopy
16) Dan peralatan lainnya yang memadai

3. Tenaga Profesional Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun


Sumarso Kab. Wonogiri
Tenaga profesional yang ada di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Kab. Wonogiri, terdiri dari tenaga kerja dalam jabatan struktural, dokter baik
itu dokter umum maupun dokter spesialis, tenaga kerja berstatus Pegawai
Negeri Sipil dan Tenaga kontrak yang kesemuanya akan dijabarkan sebagai
berikut:
a. Jabatan Struktural, terdiri dari:
1) Direktur
2) Wakil Direktur Umum dan Keuangan
3) Wakil Direktur Pelayanan dan Penunjang Medik
b. Dokter, terdiri dari:
1) Dokter Umum yang berjumlah 12 orang
2) Dokter Spesialis yang berjumlah 23 orang
c. Pegawai Negeri Sipil, yang sesuai pangkat dan golongan secara umum
berjumlah 437 orang yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

49

Tabel 1
Data PNS RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Kab. Wonogiri Tahun 2011

No. PANGKAT/GOLONGAN JUMLAH


1. Pembina Muda/IVc 3
2. Pembina Tingkat I/IVb 10
3. Pembina/Iva 10
4. Penata Tingkat I/IIId 46
5. Penata/IIIc 50
6. Penda Tingkat I/IIIb 58
7. Penda/IIIa 40
8. Pengatur Tingkat I/IId 50
9. Pengatur/Iic 95
10. Pengatur Tingkat I/IIb 14
11. Pengatur Muda/IIa 36
12. Juru Tingkat I/Id 1
13. Juru/Ic 12
14. Juru Muda Tingkat I/Ib -
15. Juru Muda/Ia 12
Jumlah 437

Sumber Data : RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

d. Tenaga kontrak yang berjumlah 94 orang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

50

4. Struktur Organisasi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun


Sumarso Kab. Wonogiri
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri mempunyai
struktur organisasi yang rapi dan terorganisir sehingga dapat terwujud tertib
administrasi. Hal ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap pelayanan
kesehatan di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri yang akan
senantiasa menjadi lebih lancar, profesional, bermutu, dan terjangkau oleh
segenap lapisan masyarakat.
Dasar dari dibentuknya struktur organisasi RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kab. Wonogiri, yaitu:
1. Kep. Menkes RI No. 1747/Menkes/SK/XII/2000 , tentang : Pedoman
Standar Pelayanan Minimal dalam Bidang Kesehatan di Kab / Kota.
2. Kep. Menkes RI No. 1045/Menkes/PER/XI/2006, Tentang : Pedoman
Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan
3. Lampiran XXV Peraturan Daerah Kabupaten Wonogiri Nomor 11 tahun
2008 tanggal 27 Oktober 2008 tentang Struktur Organisasi RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

commit to user
DIREKTUR

Dr.SETYARINI,MKes.

WAKIL DIREKTUR WAKIL DIREKTUR


UMUM DAN KEUANGAN PELAYANAN DAN PENUNJANG MEDIK
SRI REDJEKI UTAMI, SH,MH Dr. BAMBAMG ESW
perpustakaan.uns.ac.id

KA. BAGIAN UMUM KA. BAGIAN KA. BAGIAN KEUANGAN KA. BIDANG KA. BIDANG KA. BIDANG
KELOMPOK JABATAN PERENCANAAN PROGRAM PERAWATAN PELAYANA N MEDIK PENUNJANG MEDIK
SUYONO,S.IP,MM Dra. RHODIYAH, MM. SUTOPO, SH.MM. Dr. ADHI DHARMA, MM Dr. HERI TRIYONO,MM.
FUNGSIONAL
HARYONO, SKM.SKep

KA. SUB BAGIAN KA. SUB BAGIAN KA. SUB BAGIAN SEKSI
TATA USAHA PENYUSUNAN ANGGARAN INFEKSI NOSOKOMIAL
PROGRAM, PELAPORAN KA. SEKSI ASUHAN DAN LOUNDRY
NURDIYATMI, SE DAN EVALUASI ( PPE ) NUNIK HARYUNI, KEPERWTN DAN KEBID. JHONY BUNTORO, SKM
S.STP.MM
ESTERIA RINI SITI MAWARNI, S.Kep
PUDYASTUTI,SKM.MM.

KA. SUB BAGIAN KA. SUB BAGIAN SEKSI


KEPEGAWAIAN KA. SUB BAGIAN PERBENDAHARAAN ALAT KESEHATAN
JOKO SUGIYANT O, SE,MM HUKUM, HUBUNGAN SEKSI ETIKA, MUTU

commit to user
MASYARAKAT DAN ISBANDIAH KEPERAWATAN DAN SUTIYONO, Amd.KL
PERPUSTAKAAN HASTUTI, S.Sos KEBIDANAN
WARSITO,SH
AGUS SUTART O, S.Kep
KA. SUB BAGIAN KA. SUB BAGIAN
RUMAH TANGGA DAN KA.SUB BAGIAN VERIF IKASI DAN
PELAPORAN
PERLENGKAPAN REKAM MEDIK
SULARNO, S.Sos. Dra. SRI REJEKI
SUWARSONO, SKM.MSi.

INSTALASI
BEDAH
DASAR : CENTRAL
1. Kep. Menkes RI No. 1747/Menkes/SK/XII/2000 , tentang : Pedoman Standar INSTALASI INSTALASI
Pelayanan Minimal dalam Bidang Kesehatan di Kab / Kota.
2. Kep. Menkes RI No. 1045/Menkes/PER/XI/2006, Tentang : Pedoman
Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan

Gambar 2: BAGAN ORGANISASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SOEDIRAN MANGUN SOEMARSO

Sumber data: RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri


digilib.uns.ac.id

51
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

52

Keterangan:
Berdasarkan gambar struktur organisasi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.
Wonogiri, secara umum dapat dijelaskan bahwa Direktur membawahi:
1. Wakil Direktur Umum dan Keuangan
a) Bagian Umum
b) Bagian Perencanaan Program
c) Bagian Keuangan
2. Wakil Direktur Pelayanan dan Penunjang Medik
a) Bidang Perawatan
b) Bidang Pelayanan Medik
c) Bidang Penunjang Medik
3. Kelompok Jabatan Fungsional
Berikut pemaparan tugas dan wewenang masing-masing :
1. Tugas dan Wewenang Direktur RSUD, yaitu :
a) Memimpin dan mengurus RSUD sesuai dengan tujuan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK BLUD) RSUD dengan
senantiasa berusaha meningkatkan daya guna dan hasil guna
b) Memelihara, menjaga, dan mengelola kekayaan Badan Layanan Umum
Daerah (BLUD) RSUD.
c) Mewakili Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD di dalam dan di
luar pengadilan, dan menetapkan peraturan, pedoman, petunjuk teknis,
dan prosedur tetap Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD
d) Melaksanakan kebijakan pengembangan usaha dalam mengelola Badan
Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD sebagaimana digariskan oleh
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK BLUD)
RSUD
e) Menetapkan kebijakan operasional Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD) RSUD.
f) Menyiapkan Rencana Strategis Bisnis (RBS) dan Rencana Bisnis
Anggaran (RBA) Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

53

g) Mengadakan dan memelihara pembukuan serta administrasi sesuai


ketentuan yang berlaku bagi RSUD yang melaksanakan Badan Layanan
Umum Daerah (BLUD)
h) Menetapkan oraganisasasi pendukung dan organisasi pelaksana dengan
uraian tugas masing-masing
i) Mendelegasikan sebagian kewenangan kepada jajaran di bawahnya
j) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian PNS sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku
k) Menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban pegawai
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku
l) Menyiapkan laporan tahunan dan laporan berkala
m) Mendatangkan ahli, profesional, konsultan, atau lembaga independen
manakala diperlukan
n) Menandatangani perjanjian dengan pihak lain untuk jenis perjanjian yang
bersifat teknis operasional pelayanan
o) Meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dari semua wakil
direktur Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD
p) Menyampaikan dan mempertanggungjawabkan kinerja operasional serta
keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD
q) Memberikan penghargaan pegawai, karyawan, dan profesional yang
berprestasi tanpa atau dengan uang yang besarnya tidak melebihi
ketentuan yang berlaku
r) Memberikan sanksi yang bersifat mendidik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. Tugas dan Kewenangan Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSUD, yaitu:
a) Pengkoordinasian perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan dan
pelayanan administrasi dan teknis di bidang umum
b) Pengkoordinasian perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan dan
pelayanan administrasi dan teknis di bidang perencanaan program

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

54

c) Pengkoordinasian perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan dan


pelayanan administrasi dan teknis di bidang keuangan
d) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Direktur sesuai dengan tugas
dan fungsinya
3. Tugas dan Kewenangan Direktur Pelayanan dan Penunjang Medik RSUD,
yaitu :
a) Pengkoordinasian perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan dan
pelayanan administrasi dan teknis di bidang perawatan
b) Pengkoordinasian perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan dan
pelayanan administrasi dan teknis di bidang pelayanan medik
c) Pengkoordinasian perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan dan
pelayanan administrasi dan teknis di bidang penunjang medik
d) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Direktur sesuai dengan tugas
dan fungsinya
4. Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas sesuai dengan jabatan
fungsional masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku

B. Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik antara Dokter dan Pasien di Rumah


Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
Sebelum perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien dilaksanakan,
tentunya setiap pasien yang hendak berobat di RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kab. Wonogiri harus melalui tahap-tahap/prosedur yang ada di RSUD.
Hal ini dimaksudkan demi kelancaran dalam proses pelayanan kesehatan terhadap
pasien. Dalam menjalankan tugasnya sebagai sarana kesehatan, setiap rumah sakit
mempunyai prosedur-prosedur tersendiri dalam penanganan terhadap setiap pasien
yang datang untuk berobat termasuk juga yang ada di RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kab. Wonogiri.
1. Penerimaan Pasien di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
Berdasarkan hasil penelitian di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.
Wonogiri, prosedur dalam penanganan terhadap pasien yang datang untuk berobat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

55

yakni setiap pasien yang datang ke RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.
Wonogiri diwajibkan untuk melakukan pendaftaran. Pada tahap inilah
pasien/keluarga pasien telah bersepakat untuk memulai hubungan perjanjian
terapeutik dengan dokter yang akan merawat nantinya. Bahwa pasien/keluarga
pasien yang mendaftar telah bersepakat untuk dilakukan tahap selanjutnya yaitu
tahap penyembuhan dimana pada tahap ini pasien nantinya akan berhubungan
dengan dokter sebagai pihak yang melayani dalam upaya penyembuhan atas suatu
penyakit yang diderita pasien. Saat pasien bertemu dengan dokter dalam upaya
untuk penyembuhan penyakit pasien dan dokter telah bersedia untuk memberikan
upaya pelayanan kesehatan kepada pasien, maka saat itulah perjanjian terapeutik
terjadi. Guna memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pelaksanaan
perjanjian terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri,
maka penulis akan menjelaskan mengenai prosedur pasien rawat jalan dan pasien
rawat inap.
Berikut penjelasan mengenai prosedur pasien rawat jalan di RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri:
a. Setiap pasien yang datang sendiri atau atas dasar rujukan wajib mendaftar
terlebih dahulu. Dari tahap pendaftaran inilah dapat diketahui bahwa
pasien/keluarga pasien telah bersedia melakukan pengobatan di RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso. Melalui pendaftaran tersebut, pasien/keluarga
pasien juga telah mengikatkan dirinya dalam sebuah instansi sebelum
melakukan tahap penyembuhan yang dilakukan oleh dokter. Melalui proses
mendaftar pula pihak rumah sakit telah bersedia memberikan pelayanan
kepada pasien dengan menunjuk dokter sesuai dengan keluhan penyakit
pasien dan memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur-prosedur
yang ada di rumah sakit sehingga pasien bisa bertemu langsung dengan dokter
untuk melakukan pemeriksaan terhadap penyakit yang diderita pasien dan saat
itulah perjanjian terapeutik terjadi. Apabila pasien menggunakan kartu
Asuransi Kesehatan (Askes) atau dengan kartu Asuransi Keluarga Miskin
(Askin), pendaftaran perlu menggunakan syarat-syarat dengan menyertakan :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

56

1) Kartu Askes atau Askin yang mencantumkan nama pasien yang


dikeluarkan dengan Surat Keputusan (SK) Bupati atau Walikota.
2) Surat keterangan tidak mampu, legalisir sampai tingkat kecamatan.
3) Surat rujukan dari puskesmas
4) Kartu keluarga
b. Pasien/keluarga pasien kemudian mendapat pengarahan dari pihak rumah
sakit yakni apabila sebelumnya pasien pernah berobat di RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso, maka akan diambilkan rekor medik (RM) yang lama.
Apabila pasien belum pernah berobat maka akan dibuatkan nomor register
rekam medik untuk dibuatkan rekor medik yang baru. Rekor medik
merupakan catatan kesehatan pasien yang disimpan di bagian rekam medik
yang digunakan sewaktu-waktu apabila pasien atau dokter membutuhkan.
c. Setelah mendapat penjelasan dari pihak rumah sakit, pasien akan diantarkan
ke bagian poliklinik (Poli) atau Instalasi Gawat Darurat (IGD) tergantung dari
jenis penyakit pasien. Di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.
Wonogiri, ada berbagai Poli yang dipisahkan sesuai dengan jenis penyakit dan
tiap Poli sudah disediakan dokter yang menangani jenis penyakit tertentu
sesuai dengan bidangnya masing-masing.
d. Di Poliklinik atau di UGD, pasien ditangani langsung oleh dokter dengan
dibantu perawatnya kemudian dokter akan menanyakan kondisi atau keluhan
penyakit yang diderita oleh pasien dan pasien wajib memberikan penjelasan
mengenai penyakit maupun keluhan yang dirasakannya secara jelas dan
lengkap, baru kemudian dokter berkewajiban memberikan infomasi yang jelas
dan lengkap juga mengenai ihwal penyakit yang diderita pasien tersebut
dengan segala akibat yang dapat diperhitungkan menurut ilmu kedokteran
dalam perawatannya. Dalam mengambil keputusan, pasien/keluarga pasien
memerlukan informasi yang lengkap mengenai diagnosisnya, perawatannya,
risiko yang mungkin terjadi dan ramalan tentang penyakitnya dengan istilah-
istulah yang dapat dimengerti oleh pasien sehingga memudahkan pasien/
keluarga pasien untuk menentukan sikap. Apabila pasien menerima/memberi
ijin untuk dirawat, maka suatu persetujuan medis akan timbul dan kedua belah

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

57

pihak telah sepakat untuk dilanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu tahap


pengobatan dan dokter akan segera melaksanakan pemeriksaan/pengobatan
terhadap penyakit pasien. Apabila pasien menolak maka proses pengobatan
tidak terjadi. Proses pengobatan juga tidak terjadi apabila dokter tidak
sanggup menangani penyakit pasien sehingga pasien bisa di rujuk ke rumah
sakit lain.
e. Pasien/keluarga pasien yang setuju untuk dilakukan tahap pengobatan oleh
dokter nantinya akan menerima informasi dari hasil anamnesa atas
penyakitnya dan harus mengikuti saran dokter mengenai obat dan pasien
boleh pulang dalam keadaan sembuh total atau mungkin perlu berobat ulang.
Sebagai contohnya yakni : Pasien X datang ingin berobat, Pasien X harus
mendaftarkan dirinya terlebih dahulu yang artinya siap untuk melakukan
pengobatan di Rumah Sakit. Pasien X mendaftar untuk mencabut giginya yang
sakit. Dari pihak rumah sakit, pasien akan dibawa ke Poli gigi. Pasien kemudian
bertemu dengan dokter dan menjelaskan bahwa giginya sedang sakit. Dokter
kemudian memeriksa penyebab gigi yang sakit tersebut dan menurut hasil
pemeriksaan ternyata giginya berlubang sehingga agar menghilangkan rasa sakit
tersebut maka giginya harus dicabut. Dokter bersedia mencabut gigi pasien X
apabila keduanya sudah melakukan kesepakatan. Pasien X sepakat untuk dicabut
maka dokter pun mencabut gigi dari pasien X tersebut. Sakit gigi pasien X sudah
hilang maka pasien pun diperbolehkan pulang dalam keadaan sembuh.
Prosedur pasien rawat inap di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.
Wonogiri dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Tahap alur pasien rawat inap berlangsung setelah dokter bertemu dengan
pasien/keluarga pasien dan memeriksa penyakit pasien yang setelah diperiksa,
pasien dinyatakan harus mendapat perawatan yang intensif sehingga pasien
harus dirawat di rumah sakit.
b. Pasien/keluarga pasien akan menerima surat permintaan untuk dirawat dari
pihak rumah sakit. Dalam melakukan rawat inap diperlukan persetujuan dari
pasien/keluarga pasien dan dokter yang bersangkutan, dimana sebelumnya
pihak pasien/keluarga pasien akan diberikan penjelasan mengenai prosedur

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

58

dan biaya-biaya serta peraturan-peraturan yang terkait yang ada di RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri. Setelah pasien/keluarga pasien
menyetujui untuk dilakukan rawat inap maka pasien/keluarga pasien akan
menandatangani surat permintaan untuk dirawat dan menyerahkannya di
tempat penerimaan pasien rawat inap kemudian oleh pihak rumah sakit akan
dibuatkan rekor medik (RM) rawat inap.
c. Setelah terjadi kesepakatan antara pihak pasien/keluarga pasien dengan pihak
rumah sakit maka pasien dibawa ke ruang perawatan untuk mendapat
pengobatan selanjutnya. Apabila pasien tidak bersedia dirawat di RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, maka pasien bisa dirujuk ke
rumah sakit lain. Selama perawatan, bila kondisi pasien segera membaik maka
pasien diperbolehkan pulang dalam keadaan sembuh total atau perlu berobat
ulang.
Dari keterangan mengenai pelaksanaan perjanjian terapeutik yang terjadi
melalui proses penerimaan pasien dari pasien rawat inap maupun yang rawat jalan,
dapat diketahui bahwa hubungan perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien
dilakukan sebagai upaya pelayanan medis terhadap pasien atas segala keluhan
penyakit yang diderita dimana dokter akan berupaya semaksimal mungkin untuk
menemukan terapi yang paling tepat terhadap penyakit pasien. Perjanjian
terapeutik terjadi saat pasien/keluarga pasien bertemu dengan dokter dan sepakat
untuk melakukan tindakan medis atau pengobatan. Kesepakatan diantara kedua
belah pihak tersebut dinyatakan dalam suatu persetujuan tindakan medik (informed
consent)

2. Persetujuan Tindakan Medik (informed consent) dalam Perjanjian


Terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
Persetujuan tindakan medik (informed consent) dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan disebut dengan istilah persetujuan tindakan kedokteran.
Istilah ini dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes
/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Dalam Permenkes
tersebut

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

59

yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan
secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
am pengertian umum Persetujuan tindakan medik
(informed consent) adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan
kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan ini bisa dalam bentuk
lisan maupun tertulis. Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses
komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang
akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter).
Ada 2 (dua) bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu (Endang Kusuma Astuti,
2009 : 141-142) :
a. Implied Consent (dianggap diberikan)
1) Dalam Keadaan Normal
Implied Consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat,
tanpa pernyataan tegas. Umumnya tindakan dokter yang membutuhkan
implied consent ini adalah tindakan yang biasa dilakukan atau sudah
diketahui umum biasanya diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter
dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang
diberikan/dilakukan pasien. Misalnya pasien yang akan disuntik atau
diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai
tanda persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya
2) Dalam Keadaan Darurat (emergency)
Demikian pula dalam keadaan darurat (emergency) sedangkan dokter
memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa
memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter
dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter. Hal ini
didasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/
Menkes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, bahwa
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau
mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
Seperti kasus sesak nafas, henti nafas atau henti jantung maupun akibat
kecelakaan. Jenis persetujuan ini disebut sebagai presumed consent, artinya

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

60

bila pasien dalam keadaan sadar dianggap akan menyetujui tindakan medis
yang akan dilakukan dokter.
b. Expressed Consent (dinyatakan)
Expressed Consent adalah adalah persetujuan yang dapat dinyatakan secara
lisan maupun tertulis. Persetujuan lisan biasanya diperlukan untuk tindakan
medis yang tidak mengandung risiko tinggi yang diberikan oleh pihak pasien,
misalnya : pengambilan darah untuk laboratorium. Dalam tindakan medis
yang bersifat invasive dan mengandung risiko, seperti tindakan pembedahan
dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan tindakan medik secara tertulis.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suwarsono, SKM.,Msi selaku


Ka.sub.bagian Rekam Medik RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.
Wonogiri pada hari Selasa tanggal 27 Maret 2012 Pukul 10.25 WIB, bahwa semua
tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Persetujuan ini bisa tertulis maupun lisan tergantung dari risiko tindakan medis
yang diambil. Untuk pemberian persetujuan tindakan medik (informed consent)
secara tertulis di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri hanya
diberikan kepada para pasien yang menjalani rawat inap yang mana dalam upaya
pengobatan terhadap penyakit yang dideritanya pihak dokter setempat harus
mengambil tindakan yang berisiko tinggi karena harus dioperasi maupun dengan
pemasangan alat bantu kesehatan yang lainnya sehingga keberadaan persetujuan
tindakan medis sangat diperlukan. Persetujuan tindakan medik terhadap pasien di
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri dilakukan dalam bentuk
tertulis dan sudah dibakukan dalam bentuk formulir. Hal ini dimaksudkan demi
kelancaran pelaksanaan persetujuan tindakan medik, memudahkan pengarsipan
atas catatan medik seorang pasien dan untuk keperluan administrasi. Dengan
adanya bentuk baku ini, tentu akan menghemat waktu sebab antara dokter dan
pasien tidak perlu terjadi proses tawar menawar yang berkepanjangan selain itu
dalam kondisi-kondisi tertentu memang dibutuhkan persetujuan tindakan medik
dari pasien dengan cepat sehingga dengan bentuk baku ini akan mempercepat
dalam upaya dokter untuk segera melakukan tindakan medik terhadap pasien.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

61

Tujuan dari persetujuan tindakan medik ini adalah untuk memberikan


kepastian hukum bagi pasien maupun dokter/tenaga kesehatan lainnya. Bagi pasien
adanya persetujuan tindakan medik berguna untuk melindungi pasien terhadap segala
tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien dan agar pasien mendapat
pelayanan kesehatan secara optimal dari dokter/tenaga kesehatan yang menanganinya.
Bagi pihak dokter, adanya persetujuan tindakan medik berguna sebagai alat bukti
terhadap setiap tindakan medik yang telah dilakukan bila dikemudian hari ada
tuntutan dari pasien. Selain itu, dibuatnya bentuk baku dalam formulir persetujuan
maupun penolakan tindakan medik tentu dimaksudkan agar didalamnya dimuat suatu
klausula atau syarat eksonerasi yakni syarat-syarat yang membatasi atau
membebaskan tanggung jawab salah satu atau perseorangan dalam melaksanakan
perjanjian. Adanya klausula atau syarat eksonerasi ini tentu akan sedikit
menguatkan kedudukan dokter sebab di dalam formulir persetujuan tindakan
medik, pasien bersedia menanggung segala risikonya sehingga bila apabila dalam
tindakan medik yang dilakukan terjadi risiko medik yang timbul maka pasien tidak
akan menuntut pihak dokter. Begitu pula dalam formulir penolakan persetujuan
tindakan medik, atas penolakan tersebut pasien tidak akan menuntut siapapun bila
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Persetujuan tindakan medik (informed consent) yang berwujud baku ini
isinya dibuat oleh pihak rumah sakit sendiri sehingga pasien/keluarga pasien
tinggal menandatanganinya saja untuk memperoleh persetujuan dilakukan
tindakan medis atau tidak. Walaupun konsep dari perjanjian baku cinderung tidak
menguntungkan salah satu pihak karena telah dibuat dan ditetapkan oleh pihak
yang kuat dan di dalamnya terdapat klausula atau syarat eksonerasi, namun dalam
hal pemberian upaya pelayanan kesehatan, maka pihak pasien/keluarga pasien
tetap harus menerima konsekuensi ini demi kelancaran dalam upaya penyembuhan
penyakit pasien.
Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya
merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Formulir ini
juga merupakan suatu tanda bukti yang akan disimpan di dalam arsip rekam medis
pasien yang bisa dijadikan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi perjanjian

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

62

terapeutik antara dokter dengan pasien. Pembuktian tentang adanya perjanjian


terapeutik dapat dilakukan pasien dengan menunjukkan kartu berobat, mengajukan
arsip rekam medis atau dengan persetujuan tindakan medis (informed consent)
yang diberikan oleh pasien.
Menurut penjelasan dari Bapak Suwarsono, SKM.,Msi bahwa prosedur
pemberian persetujuan tindakan medis (informed consent) di RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso Kab. Wonogiri berdasarkan pada Standart Prosedur Operasional
Tetap Tindakan Medik RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
tertanggal 17 Juni 2011. Pemberlakuan Petunjuk Pelaksanaan Tindakan Medik
(infomed consent) di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Realisasi persetujuan tindakan medik harus selalu didahului dengan suatu
perjanjian yaitu perjanjian terapeutik yang merupakan hubungan kontrak
antara dokter dengan pasien yang berawal dari hubungan kepercayaan dimana
nantinya akan melewati tahapan-tahapan sebagai proses dalam upaya
pelayanan medik yang akan dilakukan oleh dokter. Dalam setiap tahapnya
dibutuhkan adanya komunikasi antara pasien dengan dokter yang pada
hakekatnya didasarkan pada moral dan etik, baik oleh pasien maupun dokter.
Artinya bahwa komunikasi tersebut pasien harus dengan jujur menjelaskan
sejarah penyakit yang dideritanya, karena kesemuanya itu akan membantu
dokter dalam melakukan diagnosa sebelum tindakan terapi dilaksanakan.
b. Dokter memberikan informasi dan penjelasan secara lisan kepada pasien dan/
atau pihak keluarga dihadapan para saksi sesuai dengan penjelasan dari pasien
mengenai keluhan/penyakit yang dideritanya. Apabila berhalangan, informasi
dan penjelasan yang harus diberikan dapat diwakilkan kepada dokter
lain/perawat yang dianggap mampu dengan sepengetahuan dokter yang
bersangkutan. Adapun isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan
dianggap cukup, jika paling sedikit ada enam hal pokok, yaitu :
1) Diagnosis penyakit dan penjelasan tentang tata cara tindakan medis
yang akan dilakukan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

63

2) Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek keberhasilan


tindakan medis yang akan dilakukan
3) Informasi dan penjelasan tentang risiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi
4) Informasi dan penjelasan tentang alternatif tindakan medis lain yang
tersedia dan serta risikonya masing-masing
5) Informasi dan penjelasan tentang Prognosis (kemungkinan hasil
perawatan) terhadap tindakan yang dilakukan
6) Perkiraan pembiayaan
c. Cara penyampaian informasi harus sesuai dengan tingkat pengetahuan pasien.
Seorang dokter harus menjaga agar penjelasan yang diberikan bisa mudah
dimengerti / dipahami pasien dan penjelasan yang diberikan tidak
menimbulkan rasa takut. Jika pasien dihinggapi rasa takut atau shock maka
informasi harus diberikan kepada keluarga terdekat.
d. Setelah pasien/pihak keluarganya mengerti betul tentang penjelasan yang
diberikan, pasien dan/atau keluarga menandatangani formulir persetujuan
tindakan medis atau penolakan tindakan medis. Cara pasien/pihak keluarga
menyatakan persetujuan dapat secara tertulis maupun lisan. Persetujuan secara
tertulis mutlak diperlukan pada tindakan medis yang mengandung risiko
tinggi, sedangkan persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan medis
yang tidak mengandung risiko.
e. Pihak yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak
tindakan medis, pada dasarnya yakni pasien sendiri jika ia dewasa dan sadar
sepenuhnya. Menurut Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/Menkes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut
peraturan perundang-undangan (diatas 21 tahun) atau telah/pernah menikah,
tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak
mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak
mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

64

bebas. Namun, apabila pasien sendiri berada di bawah pengampuan,


persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga
terdekat, antara lain wali, kurator, suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak
kandung atau saudara-saudara kandung. Dalam keadaan gawat darurat, untuk
menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah
pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan
penjelasan dan dibuat persetujuan.
f. Dokter (atau yang mendapat pelimpahan wewenang) maupun pasien/keluarga
dan para saksi dari kedua belah pihak yaitu dari pihak keluarga dan pihak
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri memberikan tanda
tangan baik itu menerima ataupun menolak tindakan medis ke dalam formulir
persetujuan tindakan medik ataupun penolakan tindakan medik setelah pihak
pasien/keluarga benar-benar memahami dan mengerti maksud dari penjelasan
yang telah diberikan oleh dokter. Pemberlakuan persetujuan ataupun
penolakan tindakan medik di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.
Wonogiri adalah berlaku sejak tanggal ditetapkan yang disaksikan oleh para
pihak terkait.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Lukminto selaku salah
seorang pasien rawat jalan di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
pada hari Selasa tanggal 27 Maret 2012 Pukul 11.35 WIB, bahwa sebagai salah
satu pasien rawat jalan, beliau sudah pernah memberikan suatu persetujuan
tindakan medik dan semuanya dirasa sudah sesuai dengan ketentuan. Pihak dokter
selalu memberikan segala informasi yang dibutuhkan terkait dengan tindakan
medik yang akan dilakukan disertai dengan segala macam alternatif tindakan yang
mungkin dilakukan. Semuanya hanya tinggal dari pasien itu sendiri, apakah mau
menunda, menolak, atau melanjutkan.

3. Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik dalam Pemenuhan Hak dan Kewajiban


Dokter dan Pasien di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
Setelah tahapan/prosedur dalam proses penerimaan pasien di RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, baik itu pasien rawat jalan maupun

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

65

rawat inap dilalui dan pasien sudah memberikan persetujuan tindakan medik
sebagai upaya dalam proses penyembuhan pasien maka perjanjian terapeutik dapat
dilaksanakan. Dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik, tentu akan menimbulkan
hak dan kewajiban bagi pihak yang terikat di dalamnya, yaitu dokter dan pasien.
Hal tersebut menunjukkan adanya perikatan yang diatur dalam hukum perdata
tentang perikatan yang lahir karena perjanjian. Hak dan kewajiban dokter dan
pasien menimbulkan prestasi dan kontraprestasi yang wajib dipenuhi oleh masing-
masing pihak. Hak dan kewajiban dokter maupun pasien ini dapat dilihat dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Hak dan
kewajiban dokter dapat dilihat dalam Pasal 50 dan 51. Dalam Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, mengatur bahwa
seorang dokter mempunyai hak yakni :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya;
dan
d. menerima imbalan jasa.
Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran, dokter mempunyai kewajiban yaitu:
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

66

e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran


atau kedokteran gigi.
Mengenai hak dan kewajiban pasien, dapat dilihat dalam pasal 52 dan 53
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yakni
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;
meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
menolak tindakan medis; dan
mendapatkan isi rekam medis.
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
kewajiban :
memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

a. Pemenuhan Hak dan Kewajiban Dokter dalam Pelaksanaan Perjanjian


Terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
Pelaksanaan perjanjian terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kab. Wonogiri dalam kaitannya dengan pemenuhan kewajiban
dokter sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilihat saat
dokter bertemu dengan pasien dalam upayanya untuk memberikan jasa
pelayanan kesehatan terhadap pasien. Berdasarkan hasil wawancara Penulis
dengan dua orang dokter di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.
Wonogiri yakni dr. Nugroho Kusumawati, Sp.B selaku dokter bedah umum
dan dr. Tri Budi Astuti selaku dokter umum pada hari Selasa tanggal 11 April
2012 pukul 12.23 WIB bahwa menurut penjelasan dari dr. Nugroho
Kusumawati, Sp.B pelaksanaan perjanjian terapeutik di klinik bedah umum
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri sudah dilaksanakan
dengan baik. Saat pasien bertemu dokter dengan segala keluhan penyakitnya,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

67

dokter telah memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Dokter senantiasa
membangun komunikasi dengan mengadakan tanya jawab terhadap pasien
guna memperoleh informasi yang lengkap dan jelas mengenai keluhan
penyakitnya, setelah itu, dokter akan melakukan pemeriksaan terhadap pasien.
Apabila dokter dirasa mampu untuk memberikan pengobatan secara maksimal
terhadap penyakit pasien maka dokter akan merawat pasien dengan berbagai
upaya pengobatan yang ada sesuai dengan keahlian dan kemampuannya.
Namun apabila dokter dirasa tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan/pengobatan maka dalam hal ini dokter tidak akan memaksakan
untuk terus merawat pasien sebab dokter tentunya harus melaksanakan
kewajibannya untuk merujuk pasien ke dokter/rumah sakit lain yang
mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik.
Hal yang sama juga disampaikan oleh dr. Tri Budi Astuti bahwa secara
keseluruhan dokter telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat
memenuhi hak-hak pasien. Seperti misalnya bila dalam keadaan darurat,
dokter juga telah memberikan pelayanan kesehatan secara maksimal dengan
langsung memberikan pertolongan sesuai dengan situasi maupun kondisi yang
ada. Dokter akan langsung segera melakukan berbagai upaya tindakan medik
tanpa perlu menunggu persetujuannya, demi kelangsungan hidup si pasien.
Dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik di RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, terkait dengan pemenuhan hak dokter, pada
dasarnya semua sudah terpenuhi. Namun terkadang yang menjadi kendala
menurut penjelasan dari dr. Tri Budi Astuti yakni dalam hal hak dokter untuk
memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya
sebab terkadang pasien/keluarga pasien bersikap pasif dan terlalu meyerahkan
sepenuhnya kepada dokter yang merawat. Hal ini menurut beliau tidak hanya
dialami di klinik Umum semata tetapi mungkin juga dialami oleh Poliklinik
lainnya di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri. Selain itu,
pasien/keluarga pasien terkadang ada yang tidak jujur dan tidak jelas dalam
memberikan informasi mengenai keluhan penyakitnya sehingga dalam

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

68

pelaksanaannya dokter harus mampu menjalin komunikasi yang baik dengan


pasien agar dokter dalam menjalankan kewajibannya tidak salah dalam
mendiagnosa penyakit maupun salah melakukan terapi.

b. Pemenuhan Hak dan Kewajiban Pasien dalam Pelaksanaan Perjanjian


Terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
Pelaksanaan perjanjian terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kab. Wonogiri dalam kaitannya dengan pemenuhan hak dan
kewajiban pasien ini sudah berjalan sebagaimana mestinya. Berdasarkan
penjelasan dari dr. Nugroho Kusumawati, Sp.B selaku dokter bedah umum
bahwa dalam setiap tindakan medik yang dilakukan, dokter sudah memenuhi
hak-hak yang dimiliki pasien dan ini dirasa sudah dilakukan oleh seluruh
dokter yang bertugas di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri.
Hal ini dapat dilihat saat dokter meminta persetujuan tindakan medik kepada
pasien, dimana dokter sudah memberikan penjelasan yang lengkap mengenai
tindakan medik yang dilakukan, berupa informasi dan penjelasan mengenai
diagnosis penyakit, tata cara tindakan medik yang akan dilakukan, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, alternatif tindakan medik lain, kemungkinan
hasil perawatan, maupun perkiraan biayanya. Dokter tidak pernah
memaksakan kepada pasien untuk harus menuruti kehendak/keinginannya
sebab dokter juga harus menghargai adanya hak menolak dari pasien. Hal ini
juga telah dilakukan oleh pihak rumah sakit dengan memberikan formulir
penolakan tindakan medik apabila pasien/keluarganya tidak bersedia
melakukan tindakan medik. Selain itu dokter juga telah memberikan
kesempatan kepada pasien bila ingin meminta pendapat dari dokter lain
(second opinion) terkait dengan pengobatan yang akan dilakukan. Dalam
setiap prosedur pelayanan maupun tindakan medik yang telah dilakukan di
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, semuanya telah dicatat
dalam suatu catatan rekam medis, dimana saat pasien dinyatakan sembuh atau
perlu dirujuk ke dokter/rumah sakit lain, pasien akan mendapatkan isi rekam
medis tersebut.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

69

Berdasarkan pejelasan tersebut, Penulis mencoba mengkonfirmasi


dengan keterangan pihak pasien melalui hasil wawancara pada hari Kamis
tanggal 12 April 2012 pukul 12.20 WIB dengan Bapak Suswandi selaku
mantan pasien yang pernah menjalani rawat inap di RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, bahwa menurut pengalamannya menjalani
rawat inap selama satu minggu ternyata dokter sudah memenuhi hak-hak dari
pasien. Dokter di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri selalu
mengkomunikasikan segala sesuatunya dengan pasien/keluarga pasien mulai
dari pemilihan obat, pemasangan alat, maupun tahap terapi yang harus
dijalani. Hal yang menjadi permasalahannya menurut Bapak Suswandi yakni
tingkat pemahaman dari pasien ini yang masih relatif rendah sehingga
membuat pasien hanya selalu menyetujui apapun tindakan medik yang
dilakukan karena menganggap bila tidak dituruti akan membuat semakin
lamanya kesembuhan pasien padahal sebenarnya pasien memiliki hak untuk
memilih alternatif lain bila ia menghendaki.
Guna mencapai tujuan dari perjanjian terapeutik itu sendiri, tentunya
dalam pelaksanaanya, pasien harus menjalankan kewajibannya agar hubungan
timbal balik dalam perjanjian terapeutik itu dapat berjalan dengan baik. Hal
ini penting karena semaksimal apapun upaya penyembuhan yang telah
dilakukan oleh dokter akan sangat percuma bila pasien sendiri tidak
melaksanakan kewajibannya dalam perjanjian terapeutik. Pada saat pasien
bertemu dengan dokter untuk berobat, pasien harus memberikan informasi
yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, kemudian setelah
dokter melakukan pemeriksaan, pasien juga harus mematuhi nasihat dan
petunjuk dokter. Apalagi bila pasien harus di rawat di rumah sakit, maka
pasien juga harus mematuhi ketentuan yang berlaku di rumah sakit dan
memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik di RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso Kab. Wonogiri secara keseluruhan, dokter sebenarnya telah
berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan kesembuhan dari pasien,
begitu juga sebaliknya. Pasien juga telah berupaya semaksimal mungkin untuk

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

70

mewujudkan kesembuhannya dengan senantiasa memenuhi kewajiban yang


harus dilakukan. Akan tetapi terkadang pasien dalam memberikan informasi
mengenai masalah kesehatannya tidak begitu lengkap dan cinderung bersikap
tertutup atau mungkin tidak menjelaskan dengan sejujurnya tentang riwayat
penyakit yang telah dideritanya. Hal inilah yang membuat upaya pelayanan
kesehatan yang diberikan sedikit mengalami kendala sehingga dokter harus
melakukan diagnosa dan pemeriksaan secara lebih teliti berdasarkan
kemampuan, keahlian dan pengalamannya. Selain itu terkadang pasien juga
sering lupa dalam melaksanakan nasihat dokter sehingga memperlama proses
penyembuhan penyakit pasien. Hal ini dapat dilihat pada saat pasien harus
mengkonsumsi beberapa jenis obat dengan dosis yang berbeda-beda dimana
pasien seringkali lupa untuk meminum obat tersebut.
Menurut penjelasan dari dr. Nugroho Kusumawati, Sp.B bahwa dalam
proses pengobatan, apabila pasien beserta keluarga telah memberikan
persetujuan tindakan medis, dokter tidak dibenarkan untuk memutuskan
hubungan secara sepihak sebelum hubungan terapeutik berakhir kecuali
dengan alasan yang benar-benar selektif sekali. Sedangkan untuk pasien,
berdasarkan asas kepatutan dan kebiasaan dapat sewaktu-waktu memutuskan
hubungan secara sepihak. Hal ini dapat dilakukan karena tujuan yang hendak
dicapai dari perjanjian terapeutik adalah untuk kepentingan pasien itu sendiri
sehingga apabila dalam upaya dokter untuk menyembuhkan penyakit dari
pasien ternyata pasien sudah tidak percaya lagi terhadap kemampuan dokter
maka tidak ada gunanya jika memaksakan pasien untuk terus ditangani oleh
dokter yang bersangkutan sebab kondisi yang seperti itu akan menyebabkan
pasien tidak lagi bersikap kooperatif. Padahal keberhasilan pengobatan sangat
dipengaruhi oleh keyakinan/kepercayaan pasien terhadap dokter dan sikap
kooperatif dari pasien itu sendiri. Meski dokter sudah tidak percaya lagi,
namun dokter tetap mempunyai kewajiban moral untuk mengingatkan pasien
akan pentingnya meneruskan pengobatan ke dokter atau rumah sakit lain serta
menyerahkan catatan yang penting (rekam medis) kepada pasien agar dapat
diteruskan kepada dokter atau rumah sakit yang baru.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

71

C. Permasalahan yang Ditemukan dalam Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik di


RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri beserta Upaya
Penyelesaiannya
Dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kab. Wonogiri tentunya tidak terlepas dari adanya suatu permasalahan yang
bisa saja terjadi. Adanya permasalah inilah yang patut untuk dikaji dan dicari
penyebabnya agar dapat segera diupayakan penyelesaiannya. Hal ini sangat penting
guna memperlancar pelaksanaan dari perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien
hingga tercapai tujuan dari perjanjian tersebut yakni memberikan pelayanan
kesehatan yang optimal melalui usaha semaksimal mungkin dalam upaya
penyembuhan penyakit pasien.
Sebelum mengkaji lebih lanjut mengenai permasalahan yang ditemui dalam
pelaksanaan perjanjian terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.
Wonogiri, maka untuk memantapkan konsep dan pengertian, terlebih dahulu penulis
akan menjelaskan mengenai arti permasalahan itu sendiri. Permasalahan menurut

uatu yang bisa menjadikan masalah dalam


suatu kegiatan sehingga dapat menghambat proses dari kegiatan tersebut. Dalam
konteks penulisan ini yakni segala sesuatu yang bisa menjadikan masalah dalam
pelaksanaan perjanjian terapeutik.
Segala sesuatu yang bisa menjadikan masalah ini dapat berupa sengketa
maupun nonsengketa. Bila diartikan menurut arti katanya berdasar Kamus Besar

gga maksud dari


sengketa disini lebih bersifat kompleks karena dapat memicu konflik antar pihak-
pihak yang bersengketa. Sedangkan maksud dari nonsengketa disini merupakan
kebalikan dari sengketa dimana adanya perbedaan pendapat yang terjadi tidak
menyebabkan adanya pertengkaran maupun konflik yang berkepanjangan sehingga
permasalahan yang timbul lebih bersifat ringan. Dengan demikian konsep
permasalahan yang dimaksud dalam penulisan skripsi ini bukanlah permasalahan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

72

dalam arti yang sempit melainkan segala bentuk permasalahan yang timbul baik yang
bisa menjadikan sengketa maupun yang bersifat non sengketa.
Menurut penjelasan dari Bapak Warsito, S.H. selaku Ka.Sub Bagian Hukum,
Hubungan Masyarakat dan Perpustakaan di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Kab. Wonogiri pada hari Selasa tanggal 10 April 2012 pukul 10.45 WIB, bahwa di
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, sampai saat ini masih belum
ditemukan permasalahan yang menimbulkan suatu sengketa dalam pelaksanaan
perjanjian terapeutik apalagi permasalahannya sampai berimbas pada gugatan
ataupun tuntutan hukum dari pasien. Permasalahan yang ada sampai saat ini hanya
sebatas permasalahan yang mencakup segala sesuatu yang harus disempurnakan
mulai dari prosedur penerimaan pasien maupun dalam pemenuhan hak dan kewajiban
dari dokter dan pasien. Permasalahan ini tentu hanya sebatas permasalahan teknis
yang bersifat non sengketa yang masih bisa diselesaikan dengan peningkatan kinerja
dan pelayanan kepada pasien.
Semua permasalahan yang memicu terjadinya sengketa dapat diselesaikan
secara baik oleh pihak manajemen rumah sakit melalui jalur kekeluargaan. Hal ini
memang selalu diupayakan karena di Rumah sakit sendiri memang belum ada
Keputusan Direktur RSUD mengenai pembentukan tim penyelesaian sengketa medik
di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri. Harapan dari pihak rumah
sakit sendiri agar permasalahan yang menimbulkan suatu sengketa ini tidak terjadi di
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri untuk saat ini maupun di masa
yang akan datang. Kebanyakan permasalahan yang sering terjadi biasanya hanya
terkait dengan pelanggaran-pelanggaran yang bersifat teknis (indisipliner) semata,
tidak sampai pada permasalahan-permasalahan yang bersifat kompleks hingga
berakhir menjadi suatu sengketa, seperti dokter tidak datang pada waktunya yang
membuat pasien harus menunggu terlalu lama. Hal ini mungkin bisa terjadi karena
kesibukan dokter di luar jadwal praktek Rumah Sakit. Mengenai permasalahan ini,
pihak rumah sakit akan menyelesaikannya secara internal, biasanya pihak rumah sakit
akan memberikan teguran secara lisan ataupun tertulis agar dokter yang bersangkutan
dapat lebih bisa membagi waktu sehingga kepentingan pasien tetap terpenuhi. Selain

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

73

itu, tidak adanya permasalahan yang menimbulkan suatu sengketa dalam pelaksanaan
perjanjian terapeutik juga dapat disebabkan karena:
a) Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Pihak Rumah Sakit sudah sesuai
dengan Standart Operasional Prosedur sehingga setiap tindakan medis yang
dilakukan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Hal inilah yang membuat pasien merasa nyaman dan yakin dengan
setiap tindakan medis yang akan dilakukan sehingga timbul tingkat
kepercayaan yang tinggi antara pihak dokter dan pasien yang tentunya akan
meminimalisir suatu permasalahan yang berakhir menjadi suatu sengketa.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh dr. Tri Budi Astuti bahwa dokter dalam
setiap menjalankan setiap tindakan kedokteran tidak terlepas dari aturan-
aturan yang ada yakni selalu berdasar pada standar profesi dan standar
prosedur operasional. Dokter tidak bisa semena-mena melakukan suatu
tindakan diluar ketentuan yang ada atau diluar kemampuannya karena
setiap tindakan dokter dalam upaya penyembuhan tentu harus bisa
dipertanggungjawabkan.
b) Sikap pasien itu sendiri yang bersikap pasif dan lebih pasrah terhadap
segala risiko yang timbul, sekalipun bila hal itu dipermasalahkan mungkin
akan menimbulkan suatu sengketa.
Hal ini bisa disebabkan karena kebanyakan pasien yang berobat
memiliki profesi sebagai petani ataupun pedagang yang terkadang memiliki
tingkat pendidikan pasien yang masih rendah yang membuat mereka tidak
mau mempermasalahkan sesuatu bila terjadi hal yang tidak dikehendaki.
Menurut penjelasan dari Bapak Suswandi selaku salah satu mantan pasien
rawat inap di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri bahwa
sebagai pasien tentu harus memiliki banyak pertimbangan bila memang
ingin mempermasalahkan tindakan dokter yang dianggap telah
menyimpang atau menimbulkan kerugian yang besar bagi pasien.
Pertimbangan yang mungkin diambil diantaranya dilihat dari segi
proses, biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk mengangkat suatu
permasalahan cinderung berbelit-belit, mahal dan lama. Dalam hal ini

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

74

pasien harus mempertimbangkan tuntutan itu sebanding atau tidak dengan


proses, biaya, dan waktu yang dibutuhkan. Biasanya banyak pasien yang
enggan untuk bersengketa dan lebih memilih jalan damai/kekeluargaan.
Walaupun demikian tentunya dari pihak Rumah sakit juga tidak akan
seenaknya dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada setiap pasien
yang berobat dan tetap akan memberikan pelayanan yang optimal demi
kesembuhan pasien.

Permasalahan dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik yang menimbulkan


suatu sengketa di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri memang tidak
ada, tetapi tentunya permasalahan teknis yang bersifat non sengketa biasanya pasti
terjadi dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik sebab hal ini sangat terkait langsung
dengan kendala yang sering terjadi dan permasalahan teknis seperti ini biasanya dapat
langsung segera diselesaikan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak
Dr. Adhi Dharma, MM selaku Kepala Bidang Pelayanan Medik di RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri pada hari Rabu tanggal 11 April 2012
pukul 11.10 WIB bahwa permasalahan yang sering timbul (non sengketa) dalam
perjanjian terapeutik dapat terjadi karena:

1. Tingkat pemahaman yang kurang dari pihak pasien/keluarganya.


Biasanya sangat terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan pasien/
keluarganya. Kurangnya pemahaman dari pasien ini bisa disebabkan karena:
a. Faktor bahasa
Bahasa seringkali menjadi masalah dalam penyampaian informasi sebab banyak
pasien yang masih awam dengan bahasa kedokteran dan tidak semua istilah-
istilah kedokteran dapat diterima dan diterjemahkan dengan mudah ke dalam
bahasa orang awam. Kesenjangan pengetahuan antara pasien selaku penerima
jasa layanan kesehatan dengan dokter selaku pemberi jasa layanan kesehatan
dapat dikatakan relatif cukup besar dan hal ini dapat menyebabkan informasi
yang disampaikan kurang efektif dimengerti oleh pihak pasien.
b. Faktor penyampaian informasi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

75

Informasi yang diberikan menyangkut segala sesuatu mengenai tindakan medis


yang akan dilakukan terkadang membuat pasien merasa bingung dan takut akan
risiko maupun komplikasi yang mungkin terjadi. Namun dalam hal ini dokter
harus memberikan informasi yang jelas, lengkap, dan jujur menyangkut hal
tersebut. Terkadang dokter sebenarnya telah memberikan informasi dengan cara
penyampaian yang mudah dimengerti dan dipahami oleh pasien/keluarganya
tapi pasien/keluarga menganggapnya sebagai angin lalu dan langsung
mengambil keputusan tanpa mengerti betul maksud dari tindakan medis yang
akan dilakukan.
Permasalahan kurangnya pemahaman dari pasien karena faktor bahasa
dan faktor penyampaian informasi ini juga pernah dialami oleh Bapak
Lukminto salah satu pasien rawat jalan di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Kab. Wonogiri yang sedang menderita diabetes, bahwa memang pasien
mengalami kendala pada waktu komunikasi dengan dokter karena tingkat
pemahaman yang kurang mengenai bidang kedokteran, namun sebenarnya
sebagai pasien haruslah bersikap kritis dan selalu bertanya karena jika pasien
tidak mencoba bertanya maka tentunya dokter akan menganggap bahwa pasien
telah mengerti.
Adanya kedua faktor tersebut membuat pasien terkadang terpaksa untuk
mengatakan bahwa mereka telah mengerti akan tindakan medis yang dilakukan
beserta segala risiko yang mungkin bisa timbul maupun dengan tingkat
kesembuhan yang bisa dicapai, walaupun sebenarnya penjelasan yang telah
diberikan masih dirasa belum begitu dimengerti. Dalam hal ini ada 2 (dua)
contoh permasalahan yang pernah terjadi di RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kab. Wonogiri terkait dengan permasalahan tersebut, yaitu:
1) Kasus kurangnya pemahaman pasien mengenai risiko yang mungkin
terjadi dalam setiap tindakan medis yang dilakukan dapat dilihat dari
contoh berikut: Nyonya S usia 45 tahun penderita tumor jinak rahim,
untuk menyembuhkan timor jinak tersebut tindakan medis yang harus
dilakukan adalah tindakan operasi pengangkatan tumor jinak. Dokter
yang merawat telah memberikan penjelasan mengenai tindakan medis

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

76

yang harus dilakukan, tatacara tindakan medis, maupun risiko yang


mungkin terjadi. Pasien/keluarga saat itu mengaku telah memahami
segala konsekuensi dan risiko dari tindakan medis yang akan dilakukan
dan telah sepakat untuk melakukan operasi pengangkatan tumor dengan
menandatangani formulir persetujuan tindakan medik. Namun ternyata
setelah tindakan operasi dilakukan, pihak pasien merasa tidak puas
terhadap tindakan medis yang telah dilakukan dan pihak keluarga pasien
mengadu kepada dokter yang merawat bahwa memang setelah
dilakukan tindakan medis tidak dirasakan rasa sakit/nyeri pada perut
paska operasi tapi setelah itu pasien mengaku merasa sakit dan nyeri
yang berkepanjangan pada bagian perut. Pihak pasien/keluarga mengaku
kalau penjelasan yang telah diberikan tidak menerangkan efeknya bisa
sebesar ini dan hanya menjelaskan kalau kemungkinan bisa timbul rasa
nyeri sewaktu-waktu dan itupun bila diminumkan obat maka efek nyeri
akan segera reda tapi ternyata efek sakit dan nyeri itu masih dirasakan
oleh pasien yang membuat pasien merasa tersiksa.
Upaya penyelesaian terhadap permasalahan tersebut adalah dari
pihak Rumah Sakit berupaya mempertemukan dokter yang merawat
dengan paisen/keluarga agar bisa terjalin komunikasi yang baik
mengenai tingkat risiko yang timbul dari tindakan medis yang telah
dilakukan. Dokter yang merawat berusaha melakukan pendekatan
persuasif dengan memberikan penjelasan-penjelasan yang lebih
komprehensif secara detail dari awal tentang dampak/risiko yang akan
timbul. Mengenai keluhan perasaan nyeri pada perut yang dialami oleh
Nyonya S pasca operasi ini dapat diatasi oleh dokter yang merawat
dengan selalu melakukan observasi secara intensif terhadap pasien
selama 1 jam berturut-turut secara rutin dengan terus memperhatikan
asupan obat-obatan yang wajib dikonsumsi. Setelah upaya penyelesaian
itu dilakukan, pihak pasien/keluarga sudah merasa puas dan lebih
mengerti akan risiko tindakan medis yang diambil. Dengan penanganan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

77

yang tepat melalui observasi intensif dan penambahan asupan obat,


keluhan itupun mulai berkurang dan kondisi Nyonya S mulai membaik.
2) Kasus kurangnya pemahaman pasien mengenai tingkat kesembuhan
yang bisa dicapai dapat dilihat dari contoh berikut : Tuan R adalah
korban kecelakaan yang mengalami patah kaki kiri. Saat itu
pasien/keluarga telah sepakat untuk melakukan tindakan operasi pada
bagian kaki guna memperbaiki kondisi tulang yang sempat patah
tersebut. Setelah mengalami perawatan selama 2 bulan di RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri kondisi Tuan R sudah
membaik dan sudah bisa berjalan. Namun yang menjadi kendala dalam
hal ini adalah pasien/keluarga merasa bahwa kondisinya itu masih
belum bisa dikatakan sembuh total sebab kondisi kakinya tidak seperti
semula dan pada waktu berjalan pun masih terasa pincang. Hal inilah
yang membuat ketika pihak dokter menyatakan kalau kondisi pasien
sudah bisa dinyatakan sembuh namun dari pasien/keluarga masih
mengharapkan tindakan medis kembali dari dokter agar memulihkan
kondisi kaki kiri pasien seperti semula. Pihak dokter tidak bisa
melakukan upaya penyembuhan lagi karena kondisi kakinya sudah
membaik dan bila dilakukan tindakan medis lagi dikawatirkan
menyebabkan kelumpuhan.
Upaya penyelesaian terhadap permasalahan tersebut adalah dari
pihak dokter harus mengkomunikasikan mengenai kriteria sembuh yang
maksimal dalam kondisi sebelum dilakukan tindakan dan setelah
dilakukan tindakan dengan segala risiko yang akan terjadi, termasuk
juga mempertimbangkan berbagai faktor dalam mengembalikan fungsi
tulang, seperti faktor usia, kelenturan tulang, maupun asupan nutrisinya.
Dokter perlu menjelaskan bahwa kondisi kaki tuan R tersebut yang
mungkin menurutnya masih belum dikatakan sembuh tapi melihat dari
perkembangan kondisi tulangnya sudah dirasa membaik dan kondisi
yang menurut Tuan R dirasa tidak seperti semula adalah suatu proses
penyembuhan yang maksimal mengingat faktor-faktor diluar dari

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

78

tindakan medik yang telah dilakukan seperti faktor usia maupun


kelenturan tulangnya. Hal ini agar pasien/keluarganya lebih memahami
dan mengerti bahwa pengertian sembuh tidak selamanya kembali seperti
sedia kala, karena itu dalam setiap tindakan medik kemungkinan bisa
meninggalkan jejak permanen sehingga tidak dimungkinkan kondisinya
kembali seperti semula. Untuk itu perlu dibangun komunikasi yang baik
dan mendalam mengenai kriteria kesembuhan yang bisa dicapai agar
pasien pun lebih bisa mengerti dan menerima kondisinya sekarang.

2. Tidak tercapainya kesepakatan antara dokter dengan pasien.


Dalam perjanjian terapeutik, kesepakatan yang ada haruslah tidak
mengalami cacat kehendak antara dokter dan pasien agar dalam upaya pemberian
pelayanan kesehatan dapat dilakukan secara maksimal. Akan tetapi dalam
pelaksanaan perjanjian terapeutik bisa terjadi adanya cacat kehendak. Hal ini dapat
terjadi karena adanya hak menolak dari pasien. Adanya hak menolak dari pasien
ini membuat kesepakatan yang ada antara dokter dan pasien dalam hal pemberian
pelayanan kesehatan tidak tercapai. Dokter yang berkepentingan untuk dapat
memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal guna kesembuhan pasien,
namun karena pertimbangan risiko yang timbul, biaya yang harus dikeluarkan, dan
pertimbangan-pertimbangan lainnya, pasien memberikan penolakan atas tindakan
medis yang dilakukan. Di satu sisi dokter berkewajiban secara moral untuk
menolong pasien namun di sisi lain dokter juga harus menghormati hak menolak
dari pasien. Permasalahan ini yang terkadang membuat tujuan dari pelaksanaan
perjanjian terapeutik sulit untuk dicapai sebab perbedaan kepentingan ini membuat
upaya maksimal dokter dalam penyembuhan penyakit pasien tidak berjalan dengan
baik. Sebagai salah satu contoh kasus yang pernah terjadi di RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso Kab. Wonogiri terkait dengan permasalahan tersebut yaitu:
Tuan J, usia 24 tahun dengan diagnosis leukemia akut (kanker darah akut).
Salah satu tindakan untuk menolong pasien, adalah memasang DC (Dower
Cateter) yang digunakan untuk memantau produksi urine pasien selama dilakukan
pemberian cairan tertentu untuk menyelamatkan pasien. Agar dokter dapat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

79

mengetahui apakah tindakan pemberian cairan tersebut sudah cukup, kurang atau
berlebih. Pemasangan dower cateter ini merupakan tindakan yang sangat penting
agar produksi urine dapat dinilai dengan pasti.
Kepada pihak pasien sudah berusaha dijelaskan dengan gamblang rencana
tindakan medik yang akan dilakukan, prosedur tindakan medik secara mendetail,
kegunaan pemasangan Dower Cateter, risiko yang mungkin terjadi, akan tetapi
pihak pasien menolak pemasangan Dower Cateter tersebut dengan alasan pasien
merasa tidak nyaman dan takut dengan pemasangan Dower Cateter dan sudah
pasrah dengan segala akibatnya apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
dengan tidak dipasangnya Dower Cateter. Akhirnya dokter menyodorkan formulir
penolakan tindakan medis setelah dokter memberi penjelasan. Pihak pasien
menyetujui untuk menandatangani formulir penolakan tersebut dan bersedia
menanggung segala risiko yang mungkin terjadi apabila tindakan medik yang
disarankan tersebut tidak dilakukan. Pihak dokter/Rumah Sakit menghormati
keputusan pihak pasien dengan tetap merawat/memberi pelayanan terbaiknya.
Dokter menyarankan menampung urine pasien didalam botol untuk
memperkirakan jumlah urine yang diproduksi. Hal ini sangat jauh dari pemantauan
yang seharusnya.
Upaya penyelesaian dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara dokter
dengan pihak pasien terhadap tindakan medis yang akan dilakukan, yakni pada
prakteknya dokter telah menyadari sepenuhnya akan hak pasien untuk menentukan
nasibnya sendiri (the right of self determination), melalui hak menolak pasien dan
bahwa dokter hanyalah sebagai fasilitator yang mengupayakan kesembuhan bagi
diri si pasien itu sendiri. Oleh karenanya apabila dokter menyarankan suatu
tindakan medis tertentu sedangkan pasien tidak menyetujuinya meskipun sudah
mendapatkan penjelasan yang cukup, maka dokter akan menghargai pendapat
pihak pasien tersebut karena pasien memiliki hak untuk menentukan sendiri
keputusannya sesuai dengan pilihannya sendiri. Guna untuk melindungi dokter
dari risiko tuntutan hukum dikemudian hari kalau ternyata pilihan pasien
merugikan dirinya sendiri maka kepada pihak pasien yang menolak dilakukan
tindakan medis yang direncanakan atau akan dilakukan oleh dokter ini harus

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

80

memberikan pernyataan secara tertulis dengan mengisi dan menandatangani


formulir penolakan tindakan medis.

3. Sikap dari pasien/keluarga pasien yang pasif (terlalu menyerahkan semuanya


kepada dokter yang merawat)
Dalam hal ini terkadang hanya terjalin komunikasi satu arah, yakni dari
pihak dokter semata, sedangkan dari pihak pasien/keluarga tidak berupaya untuk
memberikan masukan/saran terhadap tindakan medis yang akan dilakukan
sehingga dokter pun mengalami kendala dalam upaya pemberian pelayanan
kesehatan. Pihak pasien/keluarga terlalu menyerahkan semuanya kepada dokter
yang merawat. Permasalahan ini biasanya dapat di lihat dalam kasus yang sering
terjadi di klinik anak, yang kebanyakan pasiennya masih kecil sehingga sulit untuk
mengetahui maupun memperoleh informasi yang jelas mengenai gejala ataupun
keluhan yang dirasakan. Hal ini belum lagi ditambah dari sikap keluarga pasien
yang mengantarkan yang terkadang juga bersikap pasif terhadap gejala/keluhan
penyakit yang dirasakan si anak.
Sebagai contohnya pasien anak yang sedang demam tinggi ditemani oleh
kakek/nenek si anak yang ternyata dari pihak orang yang mengantarkan si anak
yang dianggap mampu untuk memberikan penjelasan mengenai gejala yang
dialami si anak ternyata hanya bersikap pasif dan terlalu menyerahkan sepenuhnya
kepada dokter yang merawat. Hal ini membuat dokter harus bersikap aktif untuk
terus menjalin komunikasi yang baik dengan pihak keluarga dalam upayanya
untuk mencari informasi yang lengkap mengenai gejala/keluhan penyakit yang
diderita si anak. Sikap pasif dari pasien yang masih kecil disini mungkin dapat
dibenarkan karena pasien masih dianggap belum cakap secara hukum sehingga
tentu segala sesuatunya akan diserahkan kepada pihak keluarga, tapi bila dari
pihak keluarga sendiri juga bersikap pasif maka tentunya akan menjadi kendala
dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik. Oleh karena itu upaya penyelesaian yang
bisa dilakukan adalah dari pihak dokter yang merawat harus bersikap sabar dan
senantiasa aktif untuk terus menjalin komunikasi dengan pihak keluarga sehingga
nantinya pihak keluarga akan lebih mengerti dan memahami tentang segala

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

81

tindakan medik yang akan dilakukan tanpa terlalu menyerahkan sepenuhnya


kepada pihak dokter, sebab tentunya yang mengetahui baik dan buruk nantinya
juga adalah dari pihak keluarga. Selain itu, guna memperoleh hasil diagnosa yang
akurat, dokter juga harus mencari sendiri gejala penyakit dari si anak menurut
pengetahuan maupun keahlian yang dimiliki dan bisa juga menurut pengalaman
dari dokter terhadap gejala penyakit yang sama.

4. Ketidakberhasilan dalam perjanjian terapeutik


Pemahaman masyarakat yang masih awam tentang konsep perjanjian
terapeutik terutama mengenai obyeknya, membuat pasien/keluarga pasien sering
salah dalam mengartikan berhasil atau tidaknya perjanjian terapeutik. Berhasil atau
tidaknya perjanjian terapeutik yang dilakukan selalu dikaitkan dengan sembuh
atau tidaknya pasien. Bahwa obyek dari perjanjian terapeutik adalah berupa upaya
atau terapi semaksimal mungkin untuk menyembuhkan penyakit pasien. Jadi
menurut hukum, obyek perjanjian terapeutik bukan kesembuhan pasien, melainkan
upaya semaksimal mungkin dari dokter untuk kesembuhan pasien. Dalam konsep
ini, dokter tidak mungkin menjanjikan kesembuhan kepada pasien tetapi dokter
menjanjikan suatu upaya dalam memberikan pelayanan kesehatan yang
semaksimal mungkin untuk menyembuhkan penyakit pasien. Dalam melakukan
upaya ini, dokter harus memberikan jasa perawatan medis dengan benar, teliti,
penuh pertimbangan, dan kehati-hatian tinggi. Dokter harus melakukannya dengan
penuh kesungguhan, mengerahkan seluruh kemampuan dan keterampilan yang
dimilikinya sesuai dengan standar profesi. Oleh karena itu, upaya penyembuhan
yang dilakukan oleh dokter tentu harus diimbangi juga dengan sikap pasien yang
kooperatif dan berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan kesembuhan
dirinya sebab keberhasilan dari perjanjian terapeutik juga ditentukan dari sikap
pasien itu sendiri. Tanpa bantuan pasien, maka upaya dokter tentu tidak akan
mencapai hasil yang diharapkan.
Dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik, selama dokter telah berusaha
semaksimal mungkin dimana dokter telah memberikan jasa perawatan medis
dengan benar, teliti, penuh pertimbangan, dan kehati-hatian tinggi, telah

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

82

melakukan dengan penuh kesungguhan, mengerahkan seluruh kemampuan dan


keterampilan yang dimilikinya sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional akan tetapi hasilnya ternyata pasien tidak sembuh, maka dokter tidak
bisa dipersalahkan atas tidak sembuhnya pasien. Ketidakberhasilan dalam upaya
penyembuhan pasien terjadi bukan karena kesalahan pihak dokter namun harus
dilihat juga sebagai kehendak dan takdir dari Tuhan. Namun lain halnya bila
dalam upaya penyembuhan penyakit pasien ternyata dokter melakukan
penyimpangan-penyimpangan terhadap standar profesi maupun standar prosedur
operasional, maka secara hukum dokter dapat digugat melalui wanprestasi atau
perbuatan melawan hukum bahkan bisa saja dokter dituntut secara pidana apabila
dokter terbukti melakukan tindakan malpraktik kedokteran. Dalam hal ini, pasien
dituntut juga untuk bisa membuktikan bahwa dalam upaya penyembuhan penyakit
pasien, dokter telah melakukan penyimpangan-penyimpangan tersebut.
Permasalahan yang terjadi, kebanyakan pasien/keluarga pasien sering
menyalahkan dokter bila penyakit pasien tidak bisa disembuhkan. Padahal dokter
sudah berupaya semaksimal mungkin melalui berbagai macam tindakan medik
yang dilakukan. Pasien/keluarga pasien seolah-olah tidak mau tahu upaya apa
yang telah dilakukan dan lebih menuntut hasil dari upaya medik itu yakni
kesembuhan pasien. Oleh karena itu, upaya penyelesaian yang bisa dilakukan
yakni dari pihak dokter yang merawat harus selalu memberikan penjelasan yang
sejelas-jelasnya agar bisa dimengerti oleh pasien/keluarga pasien bahwa dalam
pelayanan kesehatan ini dokter tidak bisa menjanjikan kesembuhan penyakit
pasien. Dalam hal ini dokter hanya dituntut untuk memberikan upaya pelayanan
kesehatan yang semaksimal mungkin terhadap pasien guna memperoleh hasil
berupa sembuhnya pasien sebab hasil suatu pengobatan sangat tergantung kepada
banyak faktor yang berkaitan (usia, tingkat keseriusan penyakit, macam penyakit,
komplikasi dan lain-lain) dan selebihnya bila hasil dari upaya yang telah dilakukan
dokter dirasa tidak berhasil maka dalam hal ini dokter tidak bisa dipersalahkan.
Pasien/keluarga pasien harus bisa menerima dan mengerti akan hasil dari upaya
pelayan kesehatan yang telah dilakukan, bahwa kesembuhan pasien bukanlah hal
yang dijadikan dasar keberhasilan dari perjanjian terapeutik.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, penulis dapat
menyimpulkan beberapa hal, yaitu:
1. Pelaksanaan perjanjian terapeutik yang terjadi di RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kab. Wonogiri dapat dilakukan setelah tahapan/prosedur dalam proses
penerimaan pasien di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, baik
itu pasien rawat jalan maupun rawat inap dilalui dan pasien sudah memberikan
persetujuan tindakan medik (informed consent) sebagai upaya dalam proses
penyembuhan pasien. Pelaksanaan perjanjian terapeutik sangat terkait dengan
pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak baik itu dokter maupun
pasien. Perjanjian terapeutik ini terjadi saat pasien/keluarga pasien bertemu
dengan dokter dan telah sepakat untuk melakukan tindakan medis atau
pengobatan.
2. Permasalahan yang ditemukan dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik di RSUD
dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri beserta upaya penyelesaiannya
yakni dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kab. Wonogiri, permasalahan yang ditemukan hanya sebatas pada
permasalahan yang bersifat teknis yang mencakup permasalahan komunikasi
antara dokter dan pasien dan bukan mengenai permasalah medis yang dapat
menimbulkan suatu sengketa sebab di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Kab. Wonogiri sampai saat ini belum pernah terjadi dan diharapkan agar jangan
sampai terjadi. Permasalahan teknis tersebut dapat terjadi karena tingkat
pemahaman yang kurang dari pihak pasien/keluarganya, tidak tercapainya
kesepakatan antara dokter dengan pasien dalam hal pemberian persetujuan
tindakan medis, sikap dari pasien/keluarga pasien yang pasif yang terlalu
menyerahkan semuanya kepada dokter yang merawat, dan pemahaman
pasien/keluarga pasien, kaitannya dengan ketidakberhasilan dalam perjanjian
terapeutik. Upaya penyelesaian untuk mengatasi permasalahan yang muncul

commit to user
83
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

84

tersebut yakni dokter harus senantiasa menjalin komunikasi yang baik dengan
memberikan segala macam informasi secara jelas dengan bahasa yang mudah
dimengerti dan dipahami oleh pasien/keluarga pasien sehingga nantinya pasien
/keluarga pasien dapat lebih mengerti terhadap setiap tindakan medis yang
dilakukan dan upaya pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien dapat lebih
optimal.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis kemukakan tersebut, maka penulis
hendak menyampaikan beberapa saran, yaitu:
1. Hendaknya di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri perlu
dibentuk suatu komite yang bertugas untuk memberikan bantuan hukum baik itu
kepada dokter maupun kepada pasien. Hal ini dimaksudkan untuk
mengantisapasi adanya suatu permasalahan yang dapat menimbulkan suatu
sengketa yang bisa berujung pada tuntutan hukum sebab sampai saat ini memang
di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri belum diketemukan
permasalahan medis yang menimbulkan sengketa. Selain itu juga untuk
memberikan perlindungan bagi masing-masing pihak terutama dari pihak pasien
selaku penerima jasa layanan kesehatan yang selalu diposisikan sebagai pihak
yang lemah.
2. Bagian rekam medik RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri
hendaknya mengakaji ulang mengenai format dari perjanjian terapeutik yang ada
antara dokter dan pasien yakni dalam formulir persetujuan maupun penolakan
tindakan medis sebab bentuk format perjanjian yang ada tersebut hanya berupa
suatu pernyataan semata dan bukan sebagai suatu perjanjian antara dokter dan
pasien. Hendaknya bagian rekam medik RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Kab. Wonogiri mengadakan perubahan dalam substansi isi dari formulir
persetujuan maupun penolakan tindakan medis dengan lebih mendasarkan pada
format perjanjian pada umumnya dimana didalamnya perlu dicantumkan
kedudukan masing-masing pihak.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai