Anda di halaman 1dari 5

REVIEW MATERI KELOMPOK 3

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pungutan atas tanah dan bangunan yang muncul karena
adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi bagi seseorang atau badan yang
memiliki suatu hak atasnya, atau memperoleh manfaat dari padanya.
Jika dilihat dari sifatnya, Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang bersifat
kebendaan. Artinya, besaran pajak terutang ditentukan dari keadaan objek yaitu bumi
dan/atau bangunan. Sedangkan keadaan subjeknya tidak ikut menentukan besarnya barang.

Subjek Pajak Bumi dan Bangunan

Subjek PBB adalah orang pribadi dan badan yang secara nyata memiliki hal-hal berikut ini:

 Mempunyai hak atas bumi.


 Memperoleh manfaat atas bumi.
 Memiliki bangunan.
 Menguasai bangunan.
 Memperoleh manfaat atas bangunan.

Tidak Termasuk Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Ternyata, tidak semua objek bumi bangunan bisa dikenakan PBB. Terdapat juga objek
pajak yang tidak dapat dikenakan PBB. Namun, objek pajak tersebut harus memiliki kriteria
tertentu yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan. Berikut ini daftar kriteria tersebut:

Objek pajak tersebut digunakan semata-mata untuk kepentingan umum dibidang


ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan hal
tersebut.
Objek pajak merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah penggemkbalaan yang dikuasai suatu desa, dan tanah negara yang
belum dibebani suatu hak.
Objek pajak digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultan berdasarkan asas
perlakuan timbal balik.
Objek pajak digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh menteri keuangan.

Pungutan atas PBB didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Tarif pajak bumi dan bangunan yang berlaku sejak dahulu hingga saat ini masih sama,
yakni sebesar 0,5%.
BEA MATERAI
Dasar Hukum Bea Materai
1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Materai.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk, Ukuran, Warna, Dan
Desain Materai Tempel Tahun 2005
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea
Materai dengan Menggunakan Cara Lain.
5. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Materai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan.
6. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122c/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Materai dengan membubuhkan Tanda Bea Materai dengan Teknologi Percetakan.
7. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Materai dengan membubuhkan Tanda Bea Materai dengan Sistem Komputerisasi.
8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea Materai
dengan Cara Pemeteraian Kemudian.
9. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-02/PJ./2003 tentang Tatacara Pemateraian
Kemudian.
10. Surat Edaran Nomor 29/PJ.5/2000 tentang Dokumen Perbankan yang dikenakan Bea
Materai.
Objek Bea Materai
Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan materai adalah dokumen menyatakan
nilai nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang
digunakan di muka pengadilan, antara lain :
1) Surat perjanjian dan surat-surat lainnya (antara lain: surat kuasa, surat hibah, surat
pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
2) Akta-akta notaris termasuk salinannya.
SUBJEK PAJAK BEA MATERAI
Dokumen yang tidak termasuk objek Bea Materai adalah:
1) Dokumen yang berupa:
· surat penyimpanan barang;
· konosemen;
· surat angkutan penumpang dan barang;
· keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan barang,
konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang;
· bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang
· surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
· surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas
Saat dan Pihak yang Terutang Bea Materai
Saat terutang bea materai adalah saat sebelum dokumen yang terutang bea materai
tersebut digunakan. Dalam Pasal 5 UU No. 13 Tahun 1985 disebutkan saat terutangnya bea
materai sebagai berikut :
a. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak
Saat terutangnya bea materai atas dokumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat
dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, misalnya cek.
b. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak
Saat terutangnya bea materai adalah pada saat dokumen tersebut telah selesai dibuat, yang
ditutup dengan tanda tangan dari pihak-pihak yang bersangkutan.
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri
Saat terutangnya bea materai adalah pada saat dokumen tersebut digunakan di Indonesia.
Contoh soal Bea meterai
PT Angin Ribut memiliki dokumen rata-rata 100 buah perhari yang harus bermeterai.
Perusahaan ini biasanya menggunakan mesin teraan untuk
mempermudah pelunasan Bea Meterai. Apabila perusahaan ini lupa memeteraikan 100
dokumen yang merupakan tagihan untuk kliennya yang nilaitagihan untuk masing-masing
dokumen sebesar Rp 1.000.000,00 dan dokumentersebut telah dipergunakan, berapa bea
meterai yang harus dibayar PT Angin Ribut berikut sanksinya?
Jawab:
Dokumen yang belum dimeteraikan = 100
dokumenBea Meterai terutang untuk 1 dokumen = Rp.6.000.00
Bea Meterai Terutang = Rp. 600.000,00
Sanksi 200% = Rp. 1.200.000,00
Bea Meterai yang masih harus dibayar = Rp. 1.800.000,00
Hak Atas Tanah
Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah
yang dimaksud ialah :
1. hak milik;
2. hak guna usaha;
3. hak guna bangunan;
4. hak pakai;
5. hak sewa;
6. hak membuka tanah;
7. hak memungut hasil hutan; dan
8. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.

Objek BPHTB
Dalam Pasal 2 UU BPHTB, yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi :
1. Pemindahan Hak, karena:
a. Jual Beli;
b. Tukar Menukar;
c. Hibah;
d. Hibah Wasiat;
e. Waris dll.

Subjek BPHTB

Yang menjadi subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas
Tanah dan atau Bangunan. Subjek pajak BPHTB sesuai dengan ketentuan tersebut diatas
menjadi wajib pajak BPHTB apabila dikenakan kewajiban membayar pajak.
Dasar Hukum BPHTB
UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
KMK Nomor : 630/KMK.04/1997 Tentang Badan atau Perwakilan Organisasi
Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Tarif Pajak
( Pasal 5 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 ) Tarif pajak yang dikenakan atas
objek BPHTB adalah sebesar 5 % (lima persen).
Contoh soal dari BPHTB
Seorang cucu menerima hibah wasiat dari kakeknya sebidang tanah seluas 300 M2 dengan
nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp300 juta. Terhadap tanah tersebut telah
diterbitkan SPPT PBB pada tahun pendaftaran hak dengan NJOP sebesar Rp250 juta.
Apabila NPOPTKP pada daerah tersebut ditentukan sebesar Rp50 juta maka BPHTB yang
terutang adalah sebesar?
Jawab :
50% x 5% x (Rp300 juta – Rp50 juta) = Rp6.250.000,-

Anda mungkin juga menyukai