Laporan Akhir Praktikum Genetika Ikan Hibridisasi Pada Ikan Mas
Laporan Akhir Praktikum Genetika Ikan Hibridisasi Pada Ikan Mas
Disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas laporan akhir praktikum
Mata Kuliah Genetika Ikan semester genap
Disusun oleh :
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat sehinga penulis dapat menyelesaikan laporan praktikum
mata kuliah Genetika Ikan dengan judul “Hibridisasi pada Ikan Mas (Cyprinus carpio)
dan Ikan Nilem (Osteochilus hasselti C.V)”. Laporan ini dikerjakan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Genetika Ikan, Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas
Padjadjaran. Terwujudnya laporan ini tentunya tidak lepas dari dorongan dan bantuan
berbagai pihak yang telah mengarahkan dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-
ide, maupun pemikiran.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................vi
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah ....................................................................... 1
1.3 Tujuan ............................................................................................ 2
1.4 Kegunaan........................................................................................ 2
II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Ikan Mas ......................................................................................... 3
2.1.1 Klasifikasi Ikan Mas ...................................................................... 3
2.1.2 Morfologi Ikan Mas ....................................................................... 4
2.2 Ikan Nilem ...................................................................................... 5
2.2.1 Klasifikasi Ikan Nilem ................................................................... 5
2.2.2 Morfologi Ikan Nilem .................................................................... 6
2.3 Pemijahan Buatan........................................................................... 7
2.4 Metode Hibridisasi ......................................................................... 7
2.5 Tujuan Hibridisasi ........................................................................... 9
ii
3.6 Analisis Data ................................................................................ 14
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
menentukan tingkat pewarisan trait (heritabilitas). Apabila nilai heritabilitas (h2) lebih
kecil dari 0,15 (15 %), pengubahan VA untuk memperbaiki suatu trait yang
menguntungkan dengan prgram seleksi akan lebih menyulitkan.
Salah satu teknik genetika yang dapat dilakukan apabila nilai V A yang
dieksploitasi kecil adalah aplikasi program hibridisasi untuk menimbulkan kembali
kombinasi baru pasangan alel yang berinteraksi. Jika dalam kombinasi pasangan alel
terdapat alel dominan yang bersifat superior, alel dominan ini dapat diwariskan pada
keturunannya (eksploitasi varian genetik dominan atau VD). Eksploitasi VD pada
program hibridisasi ini akan menghasilkan strain baru yang memiliki efek heterosis
(H) akan memperbaiki suatu trait ikan.
1
2
1.3 Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah mahasiswa dapat menerapkan program hibridisasi
yang mengumpulkan varian genetik dominan apabila program seleksi induk tidak
mencapai hasil yang diharapkan karena nilai SD dan CV suatu trait relatif kecil.
1.4 Kegunaan
Kegunaan praktikum ini adalah praktikan dapat mengetahui, memahami, dan
menerapkan program hibridisasi pada ikan mas dan ikan nilem dengan mengumpulkan
varian genetik dominan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
Ikan mas Punten memiliki sisik berwarna hijau gelap, potongan badan paling
pendek, bagian punggung tinggi melebar, mata agak menonjol, gerakannya gesit,
perbandingan antar panjang dan tinggi badan 2,3 : 1. Ikan mas Majalaya memiliki sisik
berwarna hijau keabu-abuan dengan tepi sisik lebih gelap, punggung tinggi, badan
relatif pendek, gerakan lamban, bila diberi pakan suka berenang di permukaan air,
perbandingan panjang dengan tinggi badan 3,2 : 1. Ikan mas Cangkringan memiliki
sisik berwarna kuning kemerahan, semua sirip berwarna merah, badan bulat
memanjang, mata agak menonjol, perbandingan panjang dengan tinggi badan 2,87 : 1.
Ikan mas Sinyonya memiliki sisik berwarna kuning muda, badan relatif panjang,
matanya pada ikan muda tidak menonjol, sedangkan ikan dewasa bermata sipit,
gerakan lamban, lebih suka berada di permukaan air, perbandingan panjang dengan
tinggi badan 3,6 : 1. Ikan mas Taiwan memiliki sisik berwarna hijau kekuning-
kuningan, badan relatif panjang, penampang punggung membulat, mata agak
menonjol, gerakan lebih gesit dan aktif, perbandingan panjang dengan tinggi badan
3,5 : 1 (Sutanmuda 2007 dalam Vonti, 2008).
Genus : Ostheochilus
Species : Ostheochilus hasselti C.V
nilem dipelihara dengan baik pada daerah dengan ketinggian 150 – 1000 m dari
permukaan laut, tapi ketinggian optimumnya 800 m dari permukaan laut. Ikan nilem
akan melakukan pemijahan pada kondisi oksigen berkisar antara 5-6 mg/L,
karbondioksida bebas yang optimum untuk kelangsungan hidup ikan yaitu ≤ 1 ppm
(Willoughby 1999). Suhu yang optimum untuk kelangsungan hidup ikan nilem berkisar
antara 18 - 28°C (Asmawi 1983) dan untuk pH berkisar antara 6 - 8,6 ppm, serta
kandungan ammonia yang disarankan adalah < 0,5 mg/L (Susanto 2001).
yang berbeda untuk menghasilkan keturunan yang memiliki sifat unggul. Berdasarkan
hal tersebut para ahli genetika perikanan membagi hibridisasi ke dalam tiga macam
yaitu:
1. Hibridisasi intraspesifik yaitu perkawinan antara spesies yang sama tetapi
berasal dari populasi yang berbeda.
2. Hibridisasi interspesifik yaitu perkawinan dalam genus yang sama tetapi
berbeda spesies.
3. Hibridisasi intergenerik yaitu perkawinan dalam genus yang berbeda.
Hibridisasi merupakan persilangan antara varitas atau spesies yang secara
morfologis memiliki perbedaan. Prinsip dasar hibridisasi adalah menimbulkan kembali
kombinasi-kombinasi baru pasangan alel-alel yang berinteraksi. Bilamana dalam
pasangan alel-alel yang berinteraksi terdapat alel dominan yang bersifat superior maka
akan memperbaiki produktivitas. Kombinasi persilangan induk ikan harus diperbanyak
untuk memperoleh keturunan hibrid superior.
Program hibridisasi ini dilakukan dengan cara mengawinkan secara silang
induk ikan mas strain Majalaya (berwarna hijau gelap)/ikan koi dengan induk mas
strain Si Nyonya (berwarna kuning)/ikan komet dengan teknik fertilisasi buatan pada
persilangan tersebut. Fertilisasi buatan tersebut dilakukan menurut program hibridisasi
sebagai berikut :
Tabel 1. Program Hibridisasi
Program Hibridisasi
Telur : Sperma :
Majalaya Si Nyonya
Si Nyonya Majalaya
Majalaya Majalaya
Si Nyonya Si Nyonya
Komet Koi
9
Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan praktikum, sebagai berikut.
3.2.1 Alat – Alat Praktikum
Adapun alat-alat yang digunakan dalam praktikum, sebagai berikut :
Tabel 2. Alat yang digunakan dalam praktikum
No. Nama Alat Fungsi
Tangki Fiberglass
1. Sebagai wadah pemeliharaan induk ikan
(volume 1 m3)
2. Aerator Sebagai suplai oksigen
3. Serok Untuk mengambil induk ikan
Mistar dan Untuk mengukur panjang dan berat tubuh
4.
Timbangan induk ikan
Akuarium kecil Untuk pemeliharaan larva dan benih ikan
5.
dan besar
6. Heater Sebagai alat stabilisasi suhu air
Sebagai tempat sementara ikan yang akan di
7. Ember
suntik dan di streaping
10
11
3.4 Metode
Metode yang digunakan dalam praktikum ini berupa eksperimental dengan
menggunakan beberapa perlakuan. Perlakuan yang diberikan diantaranya adalah
penyuntikan hormon ovaprim, stripping dan pengenceran.
𝑃𝑜
FR (%) = x 100%
𝑃
Keterangan :
FR : derajat fertilisasi telur (%)
P : jumlah telur sampel
Po : jumlah telur yang dibuahi
3.5.2 Perhitungan HR
HR atau hatching rate adalah derajat penetasan telur. Pengamatan derajat
penetasan telur dilakukan ketika embrio menetas menjadi larva. HR yang di hitung
adalah telur yang menetas dalam akuarium.
Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat penetasan telur
ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
𝑃𝑡
HR (%) = 𝑃𝑜 x 100%
Keterangan :
HR : derajat penetasan telur
Pt : jumlah telur yang menetas
Po : jumlah telur yang dibuahi
3.5.3 Perhitungan SR
SR atau survival rate adalah derajat kelangsungan hidup ikan. Pengamatan
derjat kelangsungan hidup ikan dilakukan hanya untuk proses ginogenesis, hibridisasi,
dan triploidisasi setelah larva ikan berumur tujuh hari.
Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat kelangsungan
hidup ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
14
𝑁𝑡
SR (%) = 𝑁𝑜 x 100%
Keterangan:
SR : kelangsungan hidup ikan selama praktikum
Nt : jumlah ikan pada akhir praktikum
No : jumlah ikan pada awal praktikum
FR (%) = 50,80%
Perhitungan HR
𝑃𝑡
HR (%) = 𝑃𝑜 x 100%
0
HR (%) = 155 x 100%
HR (%) = 0%
Perhitungan SR
𝑁𝑡
SR (%) = 𝑁𝑜 x 100%
0
SR (%) = 0 x 100%
SR (%) = 0%
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.1 FR
Berdasarkan hasil pengamatan mengenai FR (fertilization rate), hibridisasi
yang dilakukan kelas C diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 4. Data FR Hasil Hibridisasi Kelas C
Ulangan
Perlakuan
1 2 3
57% 34,55% 52%
50,80% 62% 68%
Hibridisasi
79,16% 73% 72%
72% 63% 50 %
Rata-rata 64,74% 58,13% 60,5%
4.1.2 HR
Berdasarkan hasil pengamatan mengenai HR (hacting rate) Hibridisasi yang
dilakukan kelas C diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 5. Data HR Hasil Hibridisasi Kelas C
Ulangan
Perlakuan
1 2 3
0% 0% 0%
0% 0% 0%
Hibridisasi
0% 0% 0%
0% 0% 0%
Rata-rata 0% 0% 0%
15
16
4.1.3 SR
Berdasarkan hasil pengamatan mengenai SR (survival rate) Hibridisasi yang
dilakukan kelas C diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 6. Data SR Hasil Hibridisasi Kelas C
Ulangan
Perlakuan
1 2 3
0% 0% 0%
0% 0% 0%
Hibridisasi
0% 0% 0%
0% 0% 0%
Rata-rata 0% 0% 0%
4.2.1 FR
𝑃𝑜
FR (%) = x 100%
𝑃
155
FR (%) = x 100%
305
FR (%) = 50,80%
4.2.2 HR
𝑃𝑡
HR (%) = 𝑃𝑜 x 100%
0
HR (%) = 305 x 100%
HR (%) = 0%
4.2.3 SR
𝑁𝑡
SR (%) = 𝑁𝑜 x 100%
0
SR (%) = 0 x 100%
SR (%) = 0%
4.3.1 FR
FR atau fertilization rate adalah derajat pembuahan. Pengamatan derajat
pembuahan telur (FR) yang dilakukan setelah pembuahan telur pada proses hibridisasi,
selesai dilakukan. Telur yang terbuahi adalah telur yang berwarna cerah, sedangkan
telur yang mati adalah telur yang berwarna kusam. FR yang dihitung adalah telur yang
terdapat dalam akuarium. Telur yang telah menetas, dapat dihitung nilai FR dengan
mengetahui jumlah telur sampel yang akan diamati dan mengetahui jumlah telur yang
dibuahi. Pengamatan yang telah dilakukan oleh kelompok 2 yaitu menggunakan
sampel telur (P) sebanyak 305 butir dan telur yang terbuahi (Po) sebanyak 155 butir.
Berdasarkan data yang digunakan maka diperoleh nilai FR 50,80%. Nilai FR tersebut
tergolong rendah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Effendie (1997) bahwa derajat
pembuahan yang mencapai diatas 70% dikategorikan tinggi.
Rendahnya nilai FR atau derajat pembuahan pada ikan koi dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Faktor yang paling menentukan dari keberhasilan pembuahan adalah
berhasilnya spermatozoa menembus lubang mikropil sel telur, dalam kondisi hibrid
ukuran telur dan sperma bisa jadi tidak sama karena keduanya berasal dari spesies yang
berbeda. Selain itu, hal yang sangat juga sangat mempengaruhi pembuahan adalah
kondisi fisiologis dari telur dan sperma yang dihasilkan oleh ikan uji. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Chervas - dalam Azwar (1994) bahawa beberapa faktor yang
mempengaruhi nilai FR adalah faktor genetik, faktor fisiologis (seperti kualitas sperma
individu jantan), dan faktor morfologis/struktur (seperti kesesuaian lubang mikrofil
telur dengan kepala spermatozoa).
4.3.1 HR
HR atau hatching rate adalah derajat penetasan telur. Pengamatan derajat
penetasan telur dilakukan ketika embrio menetas menjadi larva. HR yang di hitung
adalah telur yang menetas dalam akuarium. Jumlah sampel telur yang digunakan untuk
menghitung nilai FR yaitu (P) 305 butir dan jumlah telur yang terbuahi (Po) sebanyak
155 butir. Nilai FR yang diperoleh yaitu 50,80%. Berdasarkan nilai FR tersebut maka
19
dapat dihitung nilai HR dengan cara jumlah telur yang menetas (Pt) dibagi dengan
jumlah telur yang terbuahi (Po).
Derajat penetasan yang diperoleh oleh kelompok 2 yaitu 0% yang menunjukkan
bahwa tidak adanya telur yang menetas. Nilai HR ini dapat dibilang sangat rendah dan
menunjukkan terjadinya kematian pada telur sehingga tidak menetas. Menurut Richter
dan Rustidja (1985) yang menyatakan bahwa pada umumnya persentase penetasan ikan
berkisar antara 50 - 80%. Effendie (1979) mengungkapkan hal yang dapat
mempengaruhi proses penetasan telur adalah suhu dan intensitas cahaya yang akan
menimbulkan gerakan – gerakan yang merupakan bagian penting dari penetasan.
Rendahnya angka penetasan disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah
mortalitas yang terjadi pada zigot, hal ini didukung oleh pendapat Woynarovich dan
Horvart (1980) bahwa kematian telur selama pengeraman disebabkan oleh kekurangan
oksigen terlarut, temperature yang tidak cocok, gangguan mekanik seperti goncangan
dan gesekan atau pergeseran serta serangan parasite seperti bakteri, fungi, larva insekta
dan binatang lainnya.
4.3.1 SR
SR atau survival rate adalah derajat kelangsungan hidup ikan. Pengamatan
derjat kelangsungan hidup ikan dilakukan hanya untuk proses ginogenesis, hibridisasi,
dan triploidisasi setelah larva ikan berumur tujuh hari. Kelangsungan hidup adalah
persentase ikan yang hidup pada akhir pemeliharaan dari jumlah seluruh ikan awal
yang dipelihara dalam suatu wadah. Berdasarkan data yang digunakan oleh kelompok
2, maka diperoleh nilai SR 0%. Hal ini terjadi karena sampel yang digunakan yaitu
telur yang sudah menetas dan tidak menunjukkan jumlah ikan yang digunakan. Begitu
pun dengan jumlah ikan pada akhir kegiatan praktikum tidak diketahui juga. Sehingga
jumlah ikan awal dan ikan akhir yaitu 0 dan hal tersebut mempengaruhi nilai SR yang
menjadi 0%.
Tingkat kelangsungan hidup pada ikan nilem dapat dikategorikan sangat rendah
dan dapat dibilang tidak adanya kelangsungan hidup pada larva – larva ikan nilem. Hal
20
ini disebabkan terdapatnya larva hasil dari proses hibrid ada beberapa yang abnormal
dan tidak ada larva yang menetas. Inilah yang menyebabkan rendahnya angka
kelulusanhidup, karena larva yang abnormal tidak mampu merespon pakan dengan
baik. Hal ini didukung oleh pendapat Effendie (1979),pergerakan larva atau tingkah
laku larva untuk mendapatkan makanan serta persediaan makanan yang baik
merupakan faktor yang mempengaruhi kelulushidupan larva.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil pengamatan yang dilakukan olek kelompok 2 setelah pembuahan telur
pada proses hibridisasi memperoleh jumlah telur sampel (P) sebanyak 305 butir,
jumlah telur yang dibuahi (Po) sebanyak 155 butir dengan diperoleh nilai FR sebesar
50,80%, dan jumlah telur yang menetas (Pt) sebanyak 0 butir. Sehingga diperoleh nilai
HR 0% dan SR 0%. Rendahnya nilai FR karena faktor gentik dan fisiologis (kualitas
sperma induk jantan) serta faktor struktur/morfologi. Sedangkan kegagalan yang
terjadi dalam derajat penetasan telur dan tingkat kelangsungan hidup karena adanya
mortalitas yang terjadi pada larva. Selain itu hal tersebut dipengaruhi oleh faktor dalam
seperti gen, hormon, dan faktor luar seperti kondisi lingkunga, DO, kualitas air, pH,
dan aerasi yang tidak berjalan dengan baik.
5.2 Saran
Praktikan lebih memahami lagi materi hibridisasi sebelum dilaksanakannya
kegiatan praktikum hibridisasi. Agar kegiatan praktikum dapat berjalan dengan lancar
dan tidak adanya kekeliruan. Selain itu, praktikan lebi memperhatikan pada saat asisten
menjelaskan prosedur praktikum sehingga kegiatan praktikum berlangsung dengan
baik dan benar serta dapat meminimalisir faktor-faktor yang mungkin akan menjadi
penyebab kegagalan dalam praktikum.
21
DAFTAR PUSTAKA
Amri, K dan Khairuman.2008. Buku Pintar Budidaya 15 Ikan Konsumsi. Penerbit Agro
Media Pustaka. Jakarta.
Asmawi, S. 1983. Pemeliharaan Ikan dalam Karamba. PT Gramedia, Jakarta.
Cholik, F. et al. 2005. Akuakultur. Masyarakat Perikanan Nusantara. Taman Akuarium
Air Tawar. Jakarta.
Djajadiredja, R.S. Hatimah dan Z. Arifin.1997. Buku Pedoman Pengenalan Sumber
Perikanan Darat. Jenis-Jenis Ikan ekonomis Penting. Direktorat Jendral
Perikanan. Departemen jakarta. Hal 96.
Effendie, M.I.1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri.
Effendi, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Bogor
Hardjamulia A. 1979. Budidaya Perikanan. Budidaya Ikan Mas (Cyprinus carpioL.),
Ikan Tawes (Puntius javanicus), Ikan Nilem (Ostheochilus hasselti). Sekolah
Ilmu Perikanan. SUPM. Bogor. Badan Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan
Pertanian. Dept. Pertanian. Hal 19. Harris GP. 1986.
http://www.semuaikan.com/cara-membedakan-ikan-mas-jantan-dan-betina-yang-
matang-gonad/ (Diakses pada 9 Mei 2018, pukul 21.00 WIB).
http://www.agrowindo.com/peluang-usaha-budidaya-ikan-nilem-dan-analisa-
usahanya.htm (Diakses pada 9 Mei 2018, pukul 21.22 WIB).
Huet, M. 1971. Textbook of Fish Culture. Fishing News Book Ltd., London. 436 hlm.
Jakarta. 83 hal. Inc. London.
Khairuman dan K. Amri. 2011. Buku Pintar Budidaya 15 Ikan konsumsi. Agromedia
Pustaka, Jakarta.
Retno D. 2002. Pengaruh Aromatase Inhibitor Terhadap Nisbah Kelamin Ikan Nilem
(Ostheochilus hasselti C.V) Hasil Ginogenesis. Skripsi. Jurusan Budidaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bina Cipta.
Bandung
22
23
24
25
B. Tahap Pelaksanaan
Handcounter Toples
Beaker glass
28
C. Kegiatan Praktikum