Anda di halaman 1dari 62

PRESENTASI KASUS

Gravida 1 Para 0 Abortus 0 Usia 23 Tahun Hamil 40 Minggu 4 Hari Inpartu


Kala I Fase Laten dengan Preeklampsia Berat, Congestive Heart Failure dan
Ketuban Pecah Dini 2 hari

Pembimbing :
dr. Daliman, Sp.OG (K) FM

Disusun Oleh:
Firdausa Dwi Ariyanti G4A017044
Dita Yulianti G4A017045
Mia Oktavia M. P. G4A017048

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :


“Gravida 1 Para 0 Abortus 0 Usia 23 Tahun Hamil 40 Minggu 4 Hari
Inpartu Kala I Fase Laten dengan Preeklampsia Berat, Congestive Heart
Failure dan Ketuban Pecah Dini 2 hari”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian


di Bagian Obstetri dan Ginekologi Program Profesi Dokter
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :

Firdausa Dwi Ariyanti G4A017044


Dita Yulianti G4A017045
Mia Oktavia M. P. G4A017048

Purwokerto, Mei 2018

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Daliman, Sp.OG (K) FM

2
I. PENDAHULUAN

Pre eklamsia adalah timbulnya hipertensi disertai dengan proteinuria pada


umur kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera setelah persalinan dan gangguan
multisistem pada kehamilan yang dikarakteristikkan disfungsi endotelial,
peningkatan tekanan darah karena vasokonstriksi, proteinuria akibat kegagalan
glomerolus, dan udema akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (Fauziyah,
2012).
Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di dunia
masih terbilang tinggi, menurut data World Health Organization (WHO) pada
tahun 2013, ada sekitar 800 ibu di dunia meninggal setiap harinya akibat
komplikasi kehamilan dan persalinan. Penyebab utama dari kematian ibu
antara lain sumber daya yang rendah, perdarahan, hipertensi, infeksi, dan
penyakit penyerta lainnya yang diderita ibu sebelum masa kehamilan. Wanita yang
tinggal di negara berkembang memiliki resiko kematian 23 kali lebih besar
dibandingkan dengan wanita yang tinggal di negara maju sehubungan dengan
faktor yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan (WHO, 2013). Di
Indonesia preeklampsia berat dan eklampsia merupakan penyebab kematian ibu
berkisar 1,5 persen sampai 25 persen, sedangkan kematian bayi antara 45 persen
sampai 50 persen.4 Eklampsia menyebabkan 50.000 kematian/tahun di seluruh
dunia, 10 persen dari total kematian maternal.
Kematian preeklampsia dan eklampsia merupakan kematian obsetrik
langsung, yaitu kematian akibat langsung dari kehamilan, persalinan atau akibat
komplikasi tindakan pertolongan sampai 42 hari pascapersalinan.Banyak faktor
yang menyebabkan meningkatnya insiden preeklamsia pada ibu hamil. Faktor
risiko yang dapat meningkatkan insiden preeklampsia antara lain molahidatidosa,
nulipara, usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, janin lebih dari satu,
multipara, hipertensi kronis, diabetes mellitus atau penyakit ginjal.
Preeklampsia/eklampsia dipengaruhi juga oleh paritas, genetik dan faktor
lingkungan (Heritono, 2000).

3
Menurut Sibai, pada keluaran maternal dari penderita preeklamsia dapat
ditemukan juga solusio plasenta (1–4%), disseminated coagulopathy/HELLP
syndrome (10–20%), edema paru / aspirasi (2–5%), gagal ginjal akut (1–5%),
eklamsia (<1%), kegagalan fungsi hepar (<1%). Sibai juga mengemukakan
beberapa hal yang sering ditemukan pada luaran perinatal dari persalinan dengan
preeklamsia antara lain kelahiran premature (12-67%), pertumbuhan janin yang
terhambat (10-25%), cidera hipoksianeurologik (<1%), kematian perinatal (1-
2%), dan morbiditas jangka panjang penyakit kardiovaskular yang berhubungan
dengan BBLR. Pembuatan presentasi kasus ini diharapkan mampu memberikan
informasi serta sebagai bahan edukasi untuk penulis serta pembaca mengenai
Preeklampsia serta komplikasinya mulai dari penegakkan diagnosis hingga
tatalaksana.

4
II. LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Ny. D
Umur : 23 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan Terakhir : SMP
Alamat : Klapasawit RT 06 RW 02 Purwojati
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal masuk RSMS : 30 April 2018 pukul 08.39 WIB
Tanggal periksa : 5 Mei 2018 pukul 13.45 WIB
No.CM : 02051787

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien.
1. Keluhan Utama
Hamil dengan tensi tinggi
2. Keluhan Tambahan
Pengeluaran air ketuban sejak 2 hari yang lalu, kenceng kenceng dan
pengeluaran lendir darah
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Tanggal 30 April 2018 pukul 08.30 WIB pasien datang ke VK IGD
Rumah Sakit Margono Soekarjo rujukan dari Puskesmas Purwojati dengan
G1P0A0 usia 23 tahun hamil 40 minggu 4 hari dengan riwayat PEB. Pasien
mengeluhkan keluar air ketuban sejak 2 hari yang lalu, pengeluaran air
ketuban dirasakan rembes. Pasien juga mengeluhkan adanya kenceng
kenceng namun jarang, dan pernah keluar lendir darah. Pasien tidak
mengeluhkan adanya pusing, pandangan kabur, nyeri ulu hati, mual dan
muntah. Riwayat infeksi dan keputihan sebelumnya juga disangkal oleh

5
pasien. Pasien merasa khawatir terhadap kandungannya sehingga pasien
memutuskan untuk pergi ke Puskesmas Purwojati. Dari Puskesmas Purwojati
pasien sudah mendapat MgSO4 4 gram bolus. Saat ini pasien dalam infus RL
500 ml dengan MgSO4 8 gram drip dan terpasang DC.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Penyakit Jantung : disangkal
b. Penyakit Paru : disangkal
c. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
d. Penyakit Ginjal : disangkal
e. Penyakit Hipertensi : disangkal
f. Riwayat Alergi : disangkal
g. Riwayat penyakit hati : disangkal
h. Riwayat alergi : disangkal
i. Riwayat asma : disangkal
j. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
k. Riwayat tumor kandungan : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Penyakit Jantung : disangkal
b. Penyakit Paru : disangkal
c. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
d. Penyakit Ginjal : disangkal
e. Penyakit Hipertensi : disangkal
f. Riwayat Alergi : disangkal
g. Riwayat penyakit hati : disangkal
h. Riwayat alergi : disangkal
i. Riwayat asma : disangkal
j. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
6. Riwayat Menstruasi
a. Menarche : 13 tahun
b. Lama haid : ± 7 hari
c. Siklus haid : teratur, 1x/bulan

6
d. Dismenorrhea : tidak
e. Jumlah darah haid : normal (sehari ganti pembalut 2-3 kali)
f. HPHT : tidak ingat
7. Riwayat Menikah
Pasien menikah 1 kali selama 1 tahun
8. Riwayat Obstetri
G1P0A0
Anak I : Hamil ini
9. Riwayat KB
Pasien belum pernah menggunakan KB.
10. Riwayat Ginekologi
a. Riwayat Operasi : tidak ada
b. Riwayat Kuret : tidak ada
c. Riwayat Keputihan : tidak ada
d. Riwayat perdarahan pervaginam : tidak ada
11. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Suami pasien bekerja
sebagai wiraswasta di salah satu took bangunan. Pasien masih tinggal
serumah dengan orang tuanya. Pasien mengaku sehari hari makan rutin 3 x
sehari dengan nasi, sayur dan lauk seadanya. Pasien suka mengonsumsi
gorengan dan teh manis. Pasien mengaku jarang minum susu. Riwayat
merokok dan minum minuman beralkohol disangkal oleh pasien

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : GCS E4M6V5
Vital Sign : Tekanan Darah : 160/110 mmHg,
Nadi : 102 x/menit, reguler, kuat
angkat
Laju Pernapasan : 20 x/menit, simetris, reguler
Suhu : 36.6 ºC
Tinggi Badan : 152 cm

7
Berat Badan : 85 kg
Status Gizi : cukup
1. Status Generalis
a. Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala : Mesocephal, simetris
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks
pupil +/+ normal, isokor, diameter 3/3 mm
Telinga : discharge -/- deformitas -/-
Hidung : discharge -/-, nafas cuping hidung -/-
Mulut : sianosis (-), lidah kotor -/-
b. Pemeriksaan leher
Trakea : deviasi trakea (-)
Gld Tiroid : tidak teraba
Limfonodi Colli : tidak teraba
c. Pemeriksaan Toraks
1) Paru
Inspeksi : Dada simetris, ketertinggalan gerak (-), retraksi intercosta
(-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal (-)
Palpasi : Vokal fremitus paru kanan = paru kiri
Ketertinggalan gerak (-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara Dasar vesikuler +/+ , SuaraTambahan -/-
2) Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi : Ictus cordis tampak SIC V 2 jari medial LMCS
ictus cordis kuat angkat (-)
Perkusi : Pekak, Batas jantung kesan melebar
Auskultasi : S1>S2, bising sistolik (+) di SIC V linea midclavicula
sinistra
d. Pemeriksaan ekstermitas
Superior : Edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (-/-), sianosis -/-
Inferior : Edema (+/+), jari tabuh (-/-), pucat (-/-), sianosis -/-

8
2. Status Lokalis
Abdomen
Inspeksi : cembung gravid, venektasi (-), Spider navy (-),
striae
gravidarum (-)
Palpasi : TFU 32 cm
L1 : Bokong
L2 : Punggung kiri
L3 : Kepala
L4 : Divergen
Perkusi :-
Auskultasi : DJJ 136x/menit reguler
His (+) 1 x dalam 1 menit selama 2 detik
3. Pemeriksaan Genitalia
1. Regio Genitalia
Inspeksi :
Rambut pubis tersebar merata, Edema vulva (-), Benjolan (-), Varises
(-), Fluor (-), Perdarahan (-) warna merah kehitaman
2. Vaginal toucher :
a. Dinding vagina : Licin, supel
b. Portio : Konsistensi kaku, posisi medioposterior
c. Pembukaan : 2 cm
d. Kulit ketuban : Tidak ada
e. Janin : Presentasi kepala, penurunan kepala hodge I
f. POD : Belum dapat dinilai
g. STLD :+
h. Air ketuban :+

9
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 2.1. Pemeriksaan Hematologi RS Margono Soekardjo tanggal 30 April
2018
Hematologi Hasil Nilai Rujukan
Hb 12.1 11.7-15.5
Leukosit 15680 H 3600-11.000
Ht 38 35-47
Erit 4.5 3.8-5.2
Trombosit 273.000 150.000-440.000
PT 8.9 L 9.3-11.4
APTT 33.7 29-40.2
Ur 13.8 L 14.38-38.52
Cr 0. 69 0.55-1.02
GDS 65 <=200
SGOT 17 15-37
SGPT 17 14-59
Natrium 138 134-146
Kalsium 4.2 3.4-4.5
Clorida 105 96-108
Kalium 8.5 8.5-10.1

Tabel 2.1. Pemeriksaan Urinalisis RS Margono Soekardjo tanggal 30 April


2018
Urinalisis Hasil Nilai Rujukan
Warna Kuning Kuning muda-tua
Kejernihan Jernih Jernih
Bau Khas Khas
Kimia
Urobilinogen Normal Normal
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Berat Jenis 1.015 1. 010-1. 020
Eritrosit 10 Negatif
PH 6.5 4.6-7.8
Protein Urine Negatif Negatif
Leukosit Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Sedimen
Eritrosit 2-5 Negatif
Leukosit 0-1 Negatif
Epitel 3-5 Negatif
Silinder Hialin Negatif Negatif
10
Silinder Lilin Negatif Negatif
Eritrosit Negatif Negatif
Bakteri 5-10 Negatif
Trikomonas Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif

2. Pemeriksaan EKG

Gambar 2.1. EKG tanggal 30 April 2018


Interpretasi EKG :
- Sinus Takikardi
- Heart rate 130 x/menit irama ireguler
- Setiap gelombang P diikuti QRS-T
- Gelombang P normal dengan durasi 0,08 detik
- Segmen P-R normal dengan durasi 0,12 detik
- Gelombang Q normal dengan amplitudo <25% dari gelombang R
- Kompleks QRS normal dengan durasi 0,06 detik
- Segmen ST normal dengan amplitudo antara 1 – 2,5 mm
- Aksis jantung normal diantara 00 - 900 (normoaksis)
Kesimpulan : EKG Irama sinus takikardi dengan HR 130x/menit iregular

11
E. Diagnosis
G1P0A0 usia 23 tahun hamil 40 minggu 4 hari janin tunggal hidup intrauterine
inpartu kala I fase laten dengan PEB, CHF dan KPD 2 hari

F. Tatalaksana
1. Lanjutkan protap MgSO4
2. PO Nifedipin 3 x 10 mg bila tekanan darah > 160/110 mmHg
3. PO Dopamet 3 x 500 mg bila tekanan darah > 140/90 mmHg
4. Drip oksitosin 5 IU dalam RL 500 ml mulai dari 8 tpm, 12 tpm, 16 tpm, 20
tpm naikkan tiap 30 menit
5. Inj Ampicilin 4 x 1 gram
6. Rawat VK
7. Evaluasi 6 jam

H. Follow Up
Tabel 2.5. Catatan Perkembangan Pasien
Senin, 30 Januari 2018, pukul 08.39 WIB
VK IGD
S A P
Hamil dengan tensi G1P0A0 usia 23
tinggi, kenceng tahun hamil 40 - Lanjutkan protap
kenceng, pengeluaran minggu 4 hari janin MgSO4
air ketuban dari 2 hari tunggal hidup - PO Nifedipin 3 x
yang lalu intrauterine inpartu 10 mg bila tekanan
kala I fase laten darah > 160/110
O dengan PEB, KPD 2 mmHg
KU/Kes: Sedang/CM hari - PO Dopamet 3 x
TD: 160/ 110 mmHg 500 mg bila
N: 102 x/menit, tekanan darah >
RR: 20x/menit, 140/90 mmHg
S: 37 ºC - Drip oksitosin 5
DJJ : 138x/menit IU dalam RL 500
His : 1x / 10’ / 20” ml mulai dari 8
VT: Pembukaan 2 cm, tpm, 12 tpm, 16
KK (-), Kepala turun tpm, 20 tpm
H1 naikkan tiap 30
menit
- Inj Ampicilin 4 x 1
gram
12
- Rawat VK
- Evaluasi 6 jam
Senin, 30 April 2018, pukul 10.20
VK IGD
S A P
Hamil dengan tensi G1P0A0 usia 23 - Induksi persalinan
tinggi, kenceng tahun hamil 40 - KTG Print
kenceng, pengeluaran minggu 4 hari janin - EKG Print
air ketuban sejak 2 hari tunggal hidup - Konsul kardiologi
yang lalu intrauterine inpartu
kala I fase laten
O dengan PEB, KPD 2
KU/Kes: Sedang/CM hari
TD: 160 / 100 mmHg
N: 112 x/menit,
RR: 21x/menit,
S: 36.5 ºC
DJJ: 146 x/menit
His : 1x / 10’ / 20”
VT: Pembukaan 3 cm,
KK (-), Kepala turun
H1
Senin, 30 April 2018, pukul 13.30
VK IGD
S A P
Hamil dengan tensi G1P0A0 usia 23 Instruksi dr. Windy, Sp.
tinggi, kenceng tahun hamil 40 JP:
kenceng, pengeluaran minggu 4 hari janin
air ketuban sejak 2 hari tunggal hidup - Jika kondisi pasien tidak
yang lalu intrauterine inpartu sesak, persalinan
kala I fase laten pervaginam dengan
O dengan PEB, CHF peringan kala II
KU/Kes: dan KPD 2 hari - Inj. Furosemide 1 amp
Lemah/Somnolen saat kala III
TD: 160 / 100 mmHg - Digoxin 1 x ½ tab
N: 122 x/menit, - Metildopa 3 x 500 mg
RR: 22 x/menit, - Nifedipin 3 x 10 mg
S: 36.5 ºC - Ro thoraks setelah
DJJ: 152 x / menit persalinan
His 2x/10’/20” kuat
VT pembukaan 3 cm,
Instruksi dr. Daliman, Sp.
KK (-), kepala H I
OG
- Evaluasi 4 jam
- Digoxin 1 x ½ tab

13
Senin, 30 April 2018, pukul 14.00
VK IGD
S A P
Pasien merasa sesak, G1P0A0 usia 23 - Pro SCTP Cito
kenceng kenceng (+) tahun hamil 40
minggu 4 hari janin
KU/Kes: tunggal hidup
Gelisah/CM intrauterine inpartu
TD: 146/80 mmHg kala I fase laten
N: 130 x/menit, dengan PEB, CHF
RR: 34 x/menit, dan KPD 2 hari
S: 36.5 ºC
DJJ: 165 x / menit
His 3x/10’/35” kuat
VT pembukaan 4 cm,
KK (-), kepala H I,
caput (+), portio kaku

Senin, 30 April 2018, pukul 17.30


ICU
S A P
Pasien pasca melahikan P1A0 usia 23 tahun - Ceftriaxon 2 x 1 gram
post SCTP + IUD a.i. - Ondansentron 3 x 4 mg
O fetal distress dengan - Tramadol 3 x 100 mg
KU/Kes: PEB, CHF dan KPD - Dopamet 3 x 500 mg
Lemah/Somnolen 2 hari dengan anemia - Nifedipin 3 x 10 mg
TD: 138 / 74 mmHg - Digoxin 2 x ½ tab
N: 127 x/menit, - Infus PCT
RR: 21 x/menit, - Cek darah lengkap post
S: 37.1 ºC operasi
Urine output: 200 cc/6
jam

Janin lahir pukul 16.24


Jenis kelamin: laki laki
BB: 3350 gram
PB: 50 cm
LK: 34 cm
LD: 31 cm
Anus (+)
Kelainan (-)

14
Hasil Laboratorium 30 April 2018 pukul 19.47 WIB
Darah Lengkap Hasil Rujukan
Hb 10.7 L 11,7-15,5 g/dl
Leukosit 18910 H 3600-11000 U/L
Ht 34 L 35-47%
Eritrosit 4,1 3,8-5,2 106 /uL
Trombosit 252.000 150.000-440.000
Total protein 5,61 L 6,40-8,20 g/dl
Albumin 1,86 L 3,4-5 g/dl
Globulin 3,75 H 2,7-3,2 g/dl
Ureum 12,1 H 14,98-38,52 mg/dl
Kreatinin 0,63 0,55-1,22 mg/dl
Glukosa sewaktu 124 <= 200 mg/dl
Natrium 137 134-146 mmol/L
Kalium 4,1 3,4-4,5 mmol/L
Klorida 104 96-108 mmol/L
Kalsium 8L 8,5-10 mg/dl

Selasa, 1 Mei 2018


ICU
S A P
Pasien pasca melahikan P1A0 usia 23 tahun - Ceftriaxon 2 x 1 gram
dengan keluhan nyeri post SCTP + IUD a.i. - Ondansentron 3 x 4 mg
bekas operasi fetal distress dengan - Tramadol 3 x 100 mg
PEB, CHF dan KPD - Dopamet 3 x 500 mg
O 2 hari, leukositosis, - Nifedipin 3 x 10 mg
KU/Kes: Sedang/CM anemia (H-1) - Digoxin 2 x ½ tab
TD: 140 / 80 mmHg - DC Balance Cairan
N: 113 x/menit, - Diet Sesuai TS Gizi
RR: 26 x/menit, - Pengawasan KU, PPV,
S: 36.5 ºC TTV, BAK, BAB
SpO2 100%

Diuresis 500 cc/6 jam

Rabu, 2 Mei 2018


ICU
S A P
Pasien pasca melahikan P1A0 usia 23 tahun - Ceftriaxon 2 x 1 gram
dengan keluhan nyeri post SCTP + IUD a.i. - Ondansentron 3 x 4 mg
bekas operasi fetal distress dengan - Tramadol 3 x 100 mg
PEB, CHF dan KPD - Dopamet 3 x 500 mg
O 2 hari, leukositosis, - Nifedipin 3 x 10 mg
KU/Kes: Sedang/CM anemia (H-2) - Digoxin 2 x ½ tab
TD: 128 / 72 mmHg - Amniparen 500 mg
N: 112 x/menit, - Clinoleic 250 mg
RR: 17 x/menit, - Clindamycin 3 x 300
15
S: 36. ºC mg
SpO2 100% - Ranitidine 3 x 1
- DC Balance cairan
Diuresis 500 cc/6 jam - Diet sesuai TS Gizi
- Pengawasan KU, TTV,
PPV, BAK, BAB

Kamis, 3 Mei 2018


HCU Maternal
S A P
Pasien pasca melahikan P1A0 usia 23 tahun - Tramadol 3 x 100 mg
dengan keluhan nyeri post SCTP + IUD a.i. - Dopamet 3 x 500 mg
bekas operasi fetal distress dengan jika TD ≥ 140/90
berkurang PEB, CHF dan KPD mmHg
2 hari, leukositosis, - Nifedipin 3 x 10 mg
O anemia (H-3) jika TD ≥ 160/110
KU/Kes: Sedang/CM mmHg
TD: 126 / 75 mmHg - Digoxin 2 x ½ tab
N: 101 x/menit, - Clindamycin 3 x 300
RR: 23 x/menit, mg
S: 36.3 ºC - Ranitidine 3 x 1
SpO2 100%

Diuresis 500 cc/6 jam

Jumat, 4 Mei 2018


Bangsal Flamboyan
S A P
Pasien pasca melahikan P1A0 usia 23 tahun - Asam folat 3 x 1
dengan keluhan nyeri post SCTP + IUD a.i. - Bicnat 3 x 1
bekas operasi fetal distress dengan - Ferous Sulfat 2 x 1
berkurang PEB, CHF dan KPD - Dopamet 3 x 500 mg
2 hari, leukositosis, jika TD ≥ 140/90
O anemia (H-4) mmHg
KU/Kes: Sedang/CM - Nifedipin 3 x 10 mg
TD: 130 /90 mmHg jika TD ≥ 160/110
N: 102 x/menit, mmHg
RR: 20 x/menit, - Mobilisasi  duduk
S: 36.3 ºC

Sabtu, 5 Mei 2018


Bangsal Flamboyan
S A P
Pasien pasca melahikan P1A0 usia 23 tahun - Asam folat 3 x 1
dengan keluhan nyeri post SCTP + IUD a.i. - Bicnat 3 x 1
bekas operasi fetal distress dengan - Ferous Sulfat 2 x 1
berkurang PEB, CHF dan KPD - Dopamet 3 x 500 mg

16
2 hari, leukositosis, jika TD ≥ 140/90
O anemia (H-5) mmHg
KU/Kes: Sedang/CM - Nifedipin 3 x 10 mg
TD: 130 /90 mmHg jika TD ≥ 160/110
N: 105 x/menit, mmHg
RR: 20 x/menit, - Boleh pulang 
S: 36.5 ºC kontrol ke poli
kebidanan dan
kandungan 1 minggu

17
III. DISKUSI KASUS

A. Apakah diagnosis pasien ini sudah tepat?


Diagnosis pada apsien ini adalah: G1P0A0 usia 23 tahun hamil 40
minggu 4 hari janin tunggal hidup intrauterine inpartu kala I fase laten dengan
PEB, CHF dan KPD 2 hari.
a. G1P0A0: Pasien hamil yang pertama, tidak ada riwayat persalinan atau
riwayat abortus sebelumnya
b. Usia kehamilan: 40 minggu 4 hari didapatkan dari hasil USG. Usia
kehamilan selain dilaihat dari hasil USG, juga dapat dinilai dari HPHT.
Namun pada kasus ini pasien mengatakan lupa terhadap HPHTnya
c. Diagnosis Preeklampsia Berat
Diagnosis pre-eklampsia ditjukan pada kelompok gangguan
hipertensi pada kehamilan. Pre eklampsia ringan ditegakkan dengan
melihat tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau diastolik ≥ 90 mmHg
pada 2 kali pemeriksaan yang berjarak sekitar 4-6 jam, serta adanya
proteinuria pada pemeriksaan dipstick +1 atau ≥ 300 mg dalam 24 jam,
setelahusia kehamilan 20 minggu dengan riwayat tekanan darah normal
sebelumnya (Turner, 2010; ACOG, 2013).
Sedangkan pre eklampsia berat ditegakkan dengan melihat kriteria
(Cunningham, 2014):
- Takanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg
- Usia kehamilan ≥ 20 minggu
- Proteinuria + (Protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin
dipstik > positif 1)
- Jika tidak didapatkan proteinuria, hipertensi dapat diikuti salah satu di
bawah ini:
 Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
 Gangguan ginjal : Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL
atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin serum dari
sebelumnya pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal
lainnya

18
 Gangguan liver ` :Peningkatan konsentrasi
transaminase 2 kali normal dan atau adanya nyeri di daerah
epigastrik / regio kanan atas abdomen
 Edema paru
 Gejala neurologis : Stroke, nyeri kepala, gangguan visus
Tabel 3.1 Perbedaan Preeklampsia dan Preeklampsia Berat
(Cunningham, 2014)

Pada pasien ini, didapatkan tekanan darah pasien yang diukur pada
saat pertana kali sampai di Rumah Sakit adalah 160/110 mmHg dengan
proteinurine negatif. Tekanan darah tinggi ini dterdeteksi pertama kali
pada saat usia kehamilan 32 minggu (> 20 minggu). Hasil laboratorium
dari pasien juga tidak didapatkan kelainan pada kadar trombosit, ureum,
kreatinin, kadar transaminase. Untuk keluhan pandangan mata kabur, nyeri
ulu hati, mual dan muntah juga disangkal pada pasien. Sehingga pada
kasus ini kami tidak setuju pasien didiagnosis sebagai Preeklampsia Berat.

19
Diagnosis yang tepat seharusnya pada pasien adalah Hipertensi
Gestasional Berat.

d. Diagnosis Congestive Heart failure (CHF)


Diagnosis CHF dapat ditegakkan berdasarkan kriteria
Frammingham dengan beberapa gejala klinis mayor dan minor. Gejala
khas dari CHF yang bisa didapatkan dari anamnesis di antaranya adalah
sesak napas terutama di malam hari, bengkak di area ekstremitas, dan
batuk di malam hari. Berikuta dalah kriteria mayor dan minor berdasarkan
kriteria Framingham:
Tabel 3.2 Kriteria Framingham
Kriteria mayor Kriteria Minor
Distensi vena jugularis Edem ekskremitas
Orthopnea atau nocturnal dispnea Batuk malam hari
Ronkhi paru (>10 cm diatas basis Sesak pada aktivitas
paru)
Kardiomegali Hepatomegali
Gallop S3 Efusi pleura
Tekanan vena sentral >12mmHg Takikardi (>120x/menit)
Disfungsi ventrikel kiri pada
pemeriksaan ekokardiografi
Edem paru akut
Pada kasus ini, selama kehamilan dan sebelum kehamilan pasien
tidak pernah merasa sesak. Sesak hanya dirasakan saat di VK IGD yang
tiba tiba diikuti dengan peningkatan RR. Kardiomegali juga didapatkan
pada pemeriksaan fisik pasien. Selian itu, juga didapatkan suara abnormal
pada auskultasi jantung berupa bising sistolik. Pada pemeriksaan EKG
didapatkan kelainan berupa sinus takikardi, infark di area septal dan
inferior. Sehingga berdasarkan temuan temuan tersebut, pasien
didiagnosis dengan CHF suspek regurgitasi katup mitral.
Kami kurang setuju dengan diagnosis tersebut, karena berdasarkan
hasil Ro thoraks didapatkan gambaran Cor dan pulmo dalam batas normal
20
tidak terdapat cardiomegali. Sehingga dalam kasus ini, kami mengusulkan
untuk tetap memasukkan adanya suspek edema pulmo. Apabila diagnosis
edema pulmo ternyata
B. Bagaimana penanganan pada pasien berdasarkan diagnosis yang telah
ditegakkan?
C. Bagaimana Penegakan Diagnosis Fetal Distress pada Kasus Berdasarkan
Hasil KTG?
Kardiotokografi adalah suatu alat yang bertujuan untuk dilakukannya
pengawasan janin saat kelahiran dengan cara menganalisis denyut jantung
janin dan kontraksi miometrium secara kontinyu. Dengan cara ini diharapkan
dapat mendeteksi tanda-tanda yang menunjukkan kejadian potensial
merugikan sehingga dapat dilakukan intervensi tepat waktu. Kardiotokografi
diindikasikan bila ditemukan denyut jantung janin dan kontraksi uterus yang
abnormal pada pemeriksaan secara intermiten (Cunningham, 2014) .
Kardiotokografi dikatakan reaktif apabila didapatkan tanda tanda sebagai
berikut (Cunningham, 2014):
- Didapatkan gerakan janin minimal 2 kali dalam 20 menit
- Variabilitas janin normalnya 5-25 bpm
- Akselerasi normal 10-15 bpm
- Frekuensi dasar denyut jantung janin 120-160 bpm
- Tidak didapatkan deselerasi
Pada kasus ini didapatkan gambaran hasil kardiotokografi yang tidak
reaktif ditandai dengan gambaran sinusoidal pattern. Gambaran ini
menunjukkkan variabilitas dari denyut jantung janin yang kurang dari 5 bpm.
Selain itu, didapatkan pula denyut jantung janin melebihi 160 bpm. Untuk
gerakan janin juga didapatkan kelainan, dimana tidak didapatkan gerakan janin
sebanyak minimal 2 kali dalam 20 menit. Sehingga berdasarkan gambaran
tersebut hasil dari kardiotokografi dapat dikatakan non reaktif dengan
diagnosis fetal berupa fetal distress.
D. Bagaimana Komplikasi dari CHF yang ada pada pasien?

21
IV. TINJAUAN PUSTAKA

PREEKLAMSIA DAN EKLAMSIA


A. Definisi Preeklamsia dan Eklamsia
Preeklamsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada
kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ.
Gangguan organ ditandai berupa gejala seperti nyeri kepala, gangguan
penglihatan atau skotoma, nyeri epigastrik. Temuan laboratorium yang abnormal
pada pemeriksaan ginjal, hepar, hematologi akan semakin memastikan diagnosis
preeklamsia (Cunningham, dkk., 2014).
B. Etiologi
Etiologi preeklamsia sampai saat ini masih belum sepenuhnya difahami,
masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya penyakit ini sering disebut
“the disease of theories”. Pada saat ini hipotesis utama yang dapat diterima
untuk menerangkan terjadinya preeklamsia adalah : faktor imunologi, genetik,
penyakit pembuluh darah dan keadaan dimana jumlah trophoblast yang
berlebihan dan dapat mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap
arteri spiralis pada awal trimester satu dan trimester dua. Hal ini akan
menyebabkan arteri spiralis tidak dapat berdilatasi dengan sempurna dan
mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta. Berikutnya akan terjadi stress
oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi endotel, agregasi dan
penumpukan trombosit yang dapat terjadi diberbagai organ.
Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai etiologi preeklamsia yang dapat
berlanjut menjadi eklamsia antara lain sebagai berikut (Cunningham, dkk.,
2014):
1. Invasi Trofoblastik Abnormal
Pada proses implantasi trofoblas normal akan terjadi proses remodeling
arteriola spinalis karena diinvasi oleh trofoblas endovascular. Sel ini akan
menggantikan lapisan otot dan endotel untuk memperlebar diameter
pembuluh darah. Vena-vena hanya akan diinvas secara superfisial. Namun,
pada perempuan yang memiliki faktor resiko preeklamsia dapat terjadi invasi
trofoblastik inkomplet yang dangkal dan dapat menyebabkan pembuluh

22
desidua dilapisi oleh trofoblas endovaskuler. Arteriola myometrium yang
lebih dalam tidak kehilangan lapisan endotel dan jaringan muskuloelastik
mereka, dan rerata diameter eksternal mereka hanya setengah dari diameter
pembuluh pada plasenta normal (Fisher, dkk., 2009).
Oleh karena adanya hal tersebut, lumen arteriola spinalis yang terlalu
sempit menjadi mengganggu aliran darah plasenta dan menyebabkan
berkurangnya perfusi serta menyebabkan kondisi lingkungan yang hipoksik
kemudian menyebabkan pelepasan debris plasenta yang mencetuskan respons
inflamasi sistemik (Redmant & Sargent, 2008).

Gambar 3.1 Implantasi plasenta pada (a) kehamilan fisiologis dan (b)
dengan faktor resiko preeklamsia (Cunningham, dkk., 2014).

2. Faktor imunologis
Redman dkk., (2009) mengulas tentang kemungkinan peran
maladaptasi imunitas dalam patofisiologi preeeklamsia. Pada awal
kehamilan yang ditakdirkan untuk mengalami komplikasi preeklamsia,
trofoblas ekstravilus mengekspresikan antigen leukosit manusia yaitu HLA-
G yang bersifat imunosupresif dalam jumlah yang berkurang. Ekspresi yang
rendah ini mungkin berperan dalam kecacatan vaskularisasi plasenta di
tahap I. Normalnya selama kehamilan dihasilkan limfosit T-helper sehingga
aktivitas tipe 2 meningkat dibandingkan tipe 1, dinamakan bias tipe 2.

23
Sel-sel Th2 berfungsi memicu imunitas humoral sedangkan sel Th1
merangsang sekresi sitokin peradangan. Sejak awal masa kehamilan di
trimester kedua pada perempuan yang selanjutnya mengalami preeklamsia,
kerja Th1 meningkat dan terjadi perubahan dari rasio normal Th1/Th2.
Faktor-faktor yang berperan terhadap reaksi radang yang dipacu secara
imunologis ini dirangsang oleh mikropartikel plasenta serta oleh jaringan
adiposit (Redmant & Sargent, 2008).
3. Faktor Endotel
Dalam beberapa hal, perubahan karena mekanisme inflamasi
dipercaya menjadi sebuah kelanjutan dati perubahan tahap pertama karena
kerusakan plasenta yang telah dibahas sebelumnya. Untuk merespon faktor-
faktor plasenta yang rilis karena perubahan iskemik atau penyebab lain,
dimulailah kaskade mekanisme preeklamsia. Demikianlah antiangiogenik
dan faktor metabolic dapat memprovokasi kerusakan sel endotel (Davidge,
2014).
4. Faktor nutrisi
Pada tahun 2002, John dkk memperlihatkan bahwa pada populasi
umum, diet tinggi buah dan sayuran yang memiliki aktivitas antioksidan
berkaitan dengan penurunan tekanan darah. Zhang, dkk., (2002)
melaporkan bahwa insiden preeklamsia meningkat dua kali lipat pada
perempuan yang memiliki asupan asam aksorbat kurang dari 85 mg/ hari.
Penelitian-penelitian ini diikuti dengan uji teracak untuk meneliti
suplementasi diet. Villar, dkk., (2006) memperlihatkan bahwa suplementasi
kalsium pada populasi yang memiliki asupan kalsium yang diet rendah
memiliki hanya sedikit efek dalam menurunkan angka kematian perinatal,
tetapi tidak berdampak pada insiden preeklamsia. Pada sejumlah penelitian
suplementasi antioksidan vitamin C dan E tidak menunjukkan manfaat.
5. Faktor genetik
Dalam suatu ulasan yang komprehensif, Ward & Lindheimer (2009)
mengutip resiko insiden preeklamsia sebesar 20-40% pada anak dari ibu
yang pernah mengalami preeklamsia, 11-37% pada saudara perempuan
seorang penderita preeklamsia, & 22-47% pada kembar. Terdapat sebuah

24
daftar yang panjang berisi variabel-variabel yang mempengaruhi ekspresi
genotip dan fenotip sindrom preeklamsia. Beberapa diantaranya adalah
sebagai berikut (Ward & Lindheimer, 2009) :
a. Genotipe ganda : maternal & paternal (fetal dan plasental )
b. Subkelompok : penyakit yang terkait, seperti diabetes dan sifat-sifat lain
seperti paritas
c. Etnisitas genomic: frekuensi polimorfisme, genetic drift, efek founder,
dan seleksi
d. Interaksi antar gen : alel spesifik atau produk dari 2/lebih gen yang
saling memengaruhi sehingga memengaruhi fenotip
e. Fenomena epigenetic : variasi dalam ekspresi gen stabil yang fungsional
misalnya perbedaan kembar monozigotik
f. Interaksi gen lingkungan, hal ini berifat tidak terbatas.

C. Faktor Risiko
Primigravida, kehamilan ganda, diabetes melitus, hipertensi essensial
kronik, mola hidatidosa, hidrops fetalis, bayi besar, obesitas, riwayat pernah
menderita preeklamsia atau eklamsia, riwayat keluarga pernah menderita
preeklamsia atau eklamsia, lebih sering dijumpai pada penderita preeklamsia dan
eklamsia (Cunningham, dkk., 2014). Selain itu, multipara dengan riwayat
preeklampsia sebelumnya, multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru,
jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih dan penyakit ginjal juga
termasuk dalam faktor risiko terjadinya preeklamsia (POGI, 2016).
Hasil penelitian Nursal (2015) menyatakan ibu hamil yang berumur 35
tahun berisiko 4,88 kali berisiko untuk terkena preeklampsia dibandingkan
dengan ibu hamil yang berumur antara 20-35 tahun. Umur berkaitan dengan
peningkatan atau penurunan fungsi tubuh sehingga mempengaruhi status
kesehatan seseorang. Umur yang baik untuk hamil adalah 20-35 tahun. Wanita
usia remaja yang hamil untuk pertama kali dan wanita yang hamil pada usia >35
tahun akan mempunyai risiko yang sangat tinggi untuk mengalami preeklampsia.
Selain itu, ibu hamil yang obesitas berisiko 4,06 kali untuk terkena preeklampsia
dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak obesitas. Obesitas disebabkan oleh

25
banyak faktor seperti faktor genetik, gangguan metabolik, dan konsumsi
makanan yang berlebihan.

D. Patogenesis
Berbagai teori yang menjelaskan mengenai etiopatogenesis preklamsia-
eklamsia haruslah dapat menjelaskan hasil pengamatan bahwa penyakit
hipertensi dalam kehamilan lebih mungkin timbul pada perempuan yang
(Cunningham, dkk., 2014) :
1. Terpajan vili korionik untuk pertama kalinya
2. Terpajan vili korionik dalam jumlah berlebihan seperti pada kehamilan ganda
atau mola hidatidosa
3. Telah memiliki riwayat penyakit ginjal atau kardiovaskular
4. Secara genetis beresiko untuk mengalami hipertensi selama kehamilan
Ada atau tidaknya janin bukan merupakan syarat diagnosis preeklamsia,
begitu juga dengan vili korionik, yang meski berperan sangat penting, namun
tidak harus selalu berada dalam uterus. Worley, dkk., (2008) melaporkan insiden
preeklamsia sebesar 30% pada perempuan dengan kehamilan ekstrauteri dengan
usia lebih dari 18 minggu masa gestasi. Apapun etiologic pencetusnya, rangkaian
peristiwa yang menyebabkan sindrom preeklamsia ditandi dengan sejumlah
kelainan yang menimbulkan kerusakan endotel pembuluh darah dan selnjutnya,
vasospasme, transudasi plasma, serta komplikasi iskemik dan trombotik.
Vasokonstriksi dan vasospasme merupakan dasar patogenesis preeklamsia.
Vasokonstriksi dan vasospasme menimbulkan peningkatan total perifer resisten
dan menimbulkan hipertensi. Adanya vasokonstriksi dan vasospasme juga akan
menimbulkan hipoksia pada endotel setempat, sehingga terjadi kerusakan
endotel, kebocoran arteriole disertai perdarahan mikro pada tempat endotel.
Selain itu, adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan menyebabkan terjadinya
penurunan perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan menimbulkan
maladaptasi plasenta. Hipoksia/ anoksia jaringan merupakan sumber reaksi
hiperoksidase lemak, sedangkan proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan
peningkatan konsumsi oksigen, sehingga dengan demikian akan mengganggu
metabolisme di dalam sel (Staff,dkk., 2007).

26
Peroksidase lemak adalah hasil proses oksidase lemak tak jenuh yang
menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak merupakan radikal
bebas. Apabila keseimbangan antara peroksidase terganggu, dimana peroksidase
dan oksidan lebih dominan, maka akan timbul keadaan yang disebut stress
oksidatif. Pada preeklamsia, serum anti oksidan kadarnya menurun dan plasenta
menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak. Sedangkan pada wanita hamil
normal, serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan sulfhidril yang
berperan sebagai antioksidan yang cukup kuat. Peroksidase lemak beredar dalam
aliran darah melalui ikatan lipoprotein. Peroksidase lemak ini akan sampai ke
semua komponen sel yang dilewati termasuk sel-sel endotel yang akan
mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel tersebut.
Rusaknya sel-sel endotel tersebut akan mengakibatkan antara lain
(Karumanchi,dkk., 2009) :
a. Adhesi dan agregasi trombosit.
b. Gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma.
c. Terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat dari
rusaknya trombosit.
d. Produksi prostasiklin terhenti.
e. Terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan.
f. Terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase lemak

E. Patofisiologi Preeklamsia dan Eklamsia


Preeklamsia dapat menyebabkan perubahan kardiovaskular pada ibu hamil
yaitu terjadi peningkatan afterload akibat hipertensi, peningkatan preload dan
aktivasi endotel sehingga akan terjadi ekstravasasi cairan ke ekstravaskular dapat
menimbulkan gejala edema paru (Cunningham FG, 2014).
Selain itu terjadi perubahan hematologi yaitu trombositopenia (<100.000/
uL) yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Kelainan platelet lain,
trombositopenia neonatal. Sindrom HELLP terjadi 10-20% dari kasus pre
eklamsia. Istilah HELLP diperkenalkan pertama sekali oleh Weinstein (1982)
yang merupakan singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver Enzymes dan Low
Platelet Counts. Sindroma ini merupakan kumpulan dari gejala multisistem pada

27
preeklamsia berat dengan karakteristik trombositopenia, hemolisis (anemia
hemolisis mikroangiopatik) dan enzym hepar yang abnormal.Sebagai parameter
terjadinya hemolisis digunakan hasil gambaran hapusan darah tepi, yaitu adanya
burr cell dan atau schistocyte, dan atau helmet cell. Menurut Weinstein (1982)
dan Sibai (2004) hasil ini merupakan gambaran yang spesifik terjadinya
hemolisis pada sindroma HELLP. Hemolisis terjadi karena kerusakan dari sel
darah merah intravaskuler, yang menyebabkan hemoglobin keluar dari
intravaskuler. Lepasnya hemoglobin ini akan terikat dengan haptoglobin, dimana
kompleks hemaglobin-haptoglobin akan dimetabolisme di hepar dengan cepat.
Hemoglobin bebas pada sistim retikuloendotel akan berubah menjadi bilirubin.
Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan terjadinya hemolisis. Pada wanita
hamil normal kadar bilirubin berkisar 0,1 –1,0 mg/ dL. Dan pada sindroma
HELLP kadar ini meningkat yaitu >1,2 mg/dL (Sibai BM., 2004; Martin JN,
1999).
Perubahan Endokrin dimana pada wanita hamil normal akan terjadi
peningkatan angiotensin II, angiotensin 1-7, aldosterone dan atrial natriuretic
peptic. Deoxycoricosterone (DOC) adalah mineralocorticoid potent yang juga
meningkat pada kehamilan normal. Ini terjadi akibat konversi dari progesterone
plasma menjadi DOC lebih meningkat pada sekresi adrenal maternal. Karena hal
ini, sekresi DOC tidak dikurangi retensi Natrium atau hipertensi. Hal ini dapat
menjelaskan mengapa wanita dengan preeklamsia dapat terjadi retensi Natrium.
Pada kehamilan, reseptor mineralocorticoid menjadi kurang sensitif pada
aldosterone. Peptida natriuretik atrium dilepaskan peregangan di dinding atrium
dari ekspansi volume darah, dan merespon kontraktilitas jantung. Tingkat serum
meningkat pada kehamilan, dan sekresinya semakin meningkat pada wanita
dengan preeklamsia (Borghi, 2000; Luft, 2009). Tingkat precursor - proatrial
natriuretic peptide- juga meningkat pada preeklamsia (Sugulle, 2012).
Kemudian terjadi perubahan cairan dan elektrolit yang mengakibatkan
peningkatan ekstraseluler (edema) akibat kerusakan endotel. Penurunan tekanan
onkotik juga menyebabkan ketidakseimbangan filtrasi dan perpindahan cairan
(Cunningham FG, 2014).

28
Ginjal akan mengalami penurunan perfusi dan filtrasi pada glomerulus
sehingga menyebabkan penurunan volume plasma yang akan bermanifestasi
glomerular endoteliosis, penurunan filtrasi yang mengakibatkan peningkatkan
creatinine, dan peningkatan proteinuria (>300/tampung 24 jam). Perubahan
anatomi pada ginjal akan mengakibatkan pelebaran glomerulus kemudian terjadi
dilatasi dan kontraksi yang menyebabkan sel endotel bengkak sehingga
memblok lumen. Kerusakan ginjal akut akan berdampak terjadinya akut
tubularnekrosis (Cunningham FG, 2014).
Lesi pada hepar di daerah periportal atau terjadi hemoragic pada hepar akan
mengakibatkan infark pada sel hepar yang menyebabkan terjadinya peningkatan
enzim hati yaitu ALT dan AST. Selain itu dapat menyebabkan nyeri pada perut
bagian kanan. Akibat infark pada hepar akan menimbulkan subcapsular
hematoma dan dapat terjadi ruptur. Hal ini dapat diketahui dengan CT-scan atau
MRI. Preeklamsia dapat menyebabkan inflamasi pada pancreas (Cunningham
FG, 2014).
Disfungsi endotel pada otak akan menyebabkan vasospasme dan
menurunkan cerebral blood flow yang dapat menimbulkan iskemik , edema
sitotoksik, peningkatan TIK dan infark. Peningkatan tekanan darah
menyebabkan edema vasogenik dan penurunan cerebral blood flow. Manifestasi
neurologis akan mengakibatkan nyeri kepala, kejang dan gangguan visual akibat
adanya lesi di otak seperti ICH, cortical /subcortical ptekie hemorragie. Apabila
terjadi lesi pada lobus occipital dapat menimbulkan gangguan visual (scotoma)
yaitu pandangan menjadi kabur atau diplopia. Kebutaan dapat terjadi akibat
kerusakan pada retina atau infark pada retina namun jarang terjadi, biasa disebut
Purtschern Retinophaty. Pada kejang saat eklamsipa terjadi penurunan PH dan
bikarbonat karena adanya asidosis laktat dan kompensasi CO2 yang menurun
(Cunningham FG, 2014).
Dampak hipertensi pada janin ialah pertumbuhan janin terhambat atau fetal
growth restriction, intra uterine growth restriction (IUGR). Insidens fetal growth
restriction berbanding langsung dengan derajat hipertensi yang disebabkan
menurunnya perfusi uteroplasenta, sehingga menimbukan insufisiensi plasenta.

29
Dampak lain pada janin ialah peningkatan persalinan preterm (Cunningham FG,
2014).

F. Penegakan Diagnosis Preeklamsia dan Eklamsia


Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada
kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya adanya proteinuria.
Jika proteinuria tidak didapatkan, maka preeklamsia dapat ditegakkan bila
didapatkan gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Salah satu
gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
preeklampsia, yaitu:
1. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
3. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau
adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
4. Edema Paru
5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

Dari anamnesis, banyak ibu hamil yang mengalami preeklamsia tidak


mengeluhkan keluhan apapun. Sebanyak 40%-90% ibu dengan preeklamsia
sering mengeluh nyeri epigastrik atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen,
selain itu gejala klinis yang sering muncul adalah nyeri kepala, pusing dan
penglihatan kabur (POGI, 2016).
Pada pemeriksaan tekanan darah didapatkan sistolik 160 mmHg atau lebih,
atau tekanan darah diastolik 110 mmHg atau lebih pada dua kali pengukuran
berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama. Pada pemeriksaan mata
dapat ditemukan gejala penurunan visus yang menyebabkan pandangan kabur.
Pemeriksaan thorax dapat ditemukan rokhi (+) yang menandakan adanya edem
pulmo. Pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri epigastrik (+), atau nyeri pada
region kanan atas abdomen (POGI, 2016).
30
Pemeriksaan Penunjang darah lengkap dapat ditemukan trombositopenia
yaitu trombosit < 100.000 / mikroliter. Gangguan ginjal yaitu kreatinin serum
>1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi
dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya. Gangguan liver terjadi peningkatan
konsentrasi transaminase 2 kali normal. Pada urinalisis lengkap ditemukan
protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik > positif 1
(POGI, 2016). Pada pemeriksaan USG dapat ditemukan gangguan sirkulasi
seperti oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan pada
uteroplasenta adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV).

G. Penatalaksanaan
1. Pencegahan
a. Modifikasi masukan makanan dan gaya hidup
1) Diet rendah garam
Beberapa penelitian pendahuluan mengatakan bahwa salah satu
yang dapat mencegah preeklamsia adalah pengurangan konsumsi
garam. Meskipun berdasarkan penelitian terbaru ditemukan bahwa
pengurangan garam tidak lagi efektif dalam mencegah preeklamsia
(Cunningham, 2014).
2) Suplemen kalsium
Wanita yang kekurangan kalsium memiliki risiko lebih tinggi
untuk mengalami hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, 2014).
3) Suplemen minyak ikan
Minyak ikan berfungsi sebagai asam lemak pelindung jantung.
Minyak ikan mengandung EPA (eicosapentaenoic acid), ALA
(alphalinoleic acid), dan DHA (docosahexaenoic acid). Zat-zat
tersebut dapat mencegah inflamasi aterogensis sehingga dapat
mencegah preeklamsia (Cunningham, 2014).
b. Aktifitas fisik
Beberapa penelitian menemukan bahwa aktifitas fisik memiliki efek
protektif untuk mencegah preeklamsia (Kasawara, 2012).
c. Obat antihipertensi

31
Indikasi utama pemberian obat antihipertensi pada kehamilan adalah
untuk keselamatan ibu dalam mencegah penyakit serebrovaskular.
Pemberian antihipertensi berhubungan dengan pertumbuhan janin
terhambat sesuai dengan penurunan tekanan arteri rata – rata. Terdapat
beberapa obat yang dapat dengan cepat menurunkan tekanan darah pada
wanita dengan hipertensi dalam kehamilan. Beberapa obat tersebut adalah
nifedipin, hidralazin, dan labetolol. Saat ini nifedipin yang digunakan
sebagai obat lini pertama yang digunakan pada hipertensi dalam
kehamilan. Nifedipin termasuk ke dalam golongan calcium channel
blocker (Cunningham, 2014).
Berdasarkan penelitian acak yang melibatkan 7000 ibu hamil,
ditemukan bahwa ibu hamil yang diberikan diuretik memiliki insiden yang
rendah untuk mengalami edem dan hipertensi, tetapi tidak dengan
preeklamsia (Churchill, 2007). Menghindari pemberian diuretik kecuali
terdapat edem pulmo, pembatasan cairan kecuali terdapat pengeluaran
cairan yang berlebihan, dan menghindari agen hiperosmotik. Pemberian
cairan Ringer Laktat sebaiknya diantara 60 – 125 cc / jam kecuali terdapat
pengeluaran cairan berlebihan seperti muntah, diare, diaforesis, dan
perdarahan (Cunningham, 2014).
d. Antioksidan
Ketidakseimbangan aktivitas oksidan dan antioksidan berpengaruh
terhadap patogenesis dari preeklamsia. Antioksidan alami seperti vitamin
C, D, dan E dapat menurunkan oksidasi. Wanita dengan preeklamsia
memiliki kadar antioksidan yang rendah dalam darah (De-Regil, 2012).
e. Agen antitrombosis
Agen antitrombosis dapat menurunkan kejadian vasospasme
pembuluh darah, disfungsi endotel, inflamasi, aktivitas platelet, dan
gangguan koagulasi. Dengan dosis oral 50-150 mg per hari, aspirin dosis
rendah dapat menghambat biosintesis tromboksan A2, tetapi memiliki efek
minimal terhadap produksi prostasiklin pembuluh darah. Wanita yang
mendapat obat antitrombosis menurunkan kemungkinan terjadi
preeklamsia sebanyak 10% (Roberge, 2012).

32
2. Manajemen Ekspektatif
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki
luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta
memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan ibu. Manajemen
ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas maternal seperti gagal
ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesar, atau solusio plasenta. Sebaliknya
dapat memperpanjang usia kehamilan, serta mengurangi morbiditas perinatal
seperti penyakit membran hialin, necrotizing enterocolitis, kebutuhan
perawatan intensif dan ventilator serta lama perawatan. Berat lahir bayi rata
– rata lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun insiden pertumbuhan
janin terhambat juga lebih banyak. Pemberian kortikosteroid untuk
membantu pematangan paru janin, dapat mengurangi kejadian sindrom gawat
napas, perdarahan intraventrikular, infeksi neonatal serta kematian neonatal.
Managemen ekspektatif preeklamsia dapat diamati pada bagan 1 dan
bagan 2

33
Bagan 1. Managemen Ekspektatif Preeklamsia tanpa Gejala Berat

34
Bagan 2. Managemen Ekspektatif Preeklamsia dengan Gejala Berat

3. Pencegahan Kejang
a. Kontrol kejang melalui intravena menggunakan dosis awal magnesium
sulfat, dilanjutkan dengan dosis rumatan.
Magnesium sulfat berfungsi untuk memproteksi sistem syaraf pusat
ibu dan juga fetus. Magnesium sulfat biasanya diberikan saat persalinan
dan 24 jam post partum. Pasien akan berhenti mengalami kejang setelah
diberikan dosis awal 6 gram. Setelah 1 atau 2 jam, pasien akan kembali
sadar dan memahami orientasi waktu dan tempat. Dosis rumatan
magnesium sulfat dilanjutkan hingga 24 jam setelah melahirkan. Untuk
eklamsia yang berlangsung post partum, magnesium sulfat diberikan
35
hingga 24 jam dari onset terjadinya kejang. Magnesium sulfat memiliki
mekanisme menurunkan pengeluaran glutamat dari presinaps, blokade
reseptor gulatamatergic N metil aspartat (NMDA), pengaktian adenosin,
peningkatan penyangga kalsium oleh mitokondi, dan blokade kanal
kalsium (Wang, 2012).
Pemberian magnesium sulfat melalui intravena dibagi menjadi 2
pemberian. Dosis awal 4-6 gram magnesium sulfat dan 100 mL cairan
infus diberikan melalui intravena dalam 15-20 menit. Dosis rumatan
diberikan 2 gram/jam dalam 100 cc cairan rumatan infus, beberapa
sumber merekomendasikan 1 gram/jam (Cunningham, 2012).
4. Pengakhiran kehamilan
Terminasi kehamilan merupakan satu-satunya tatalaksana
preeklamsia. Apabila janin kurang bulan, cenderung dilakukan penundaan
terminasi kehamilan dengan harapan akan mengurangi risiko kematian
neonatal. Oleh karna itu dilakukan penilaian kesejahteraan janin dan fungsi
plasenta khususnya pada janin imatur.
Pada preeklamsia berat atau moderat yang tidak membaik setelah
rawat inap, biasanya dianjurkan terminasi kehamilan untuk kesejahteraan
ibu dan janin. Induksi persalinan dilakukan dengan pematangan serviks
prainduksi. Bila induksi tampaknya tidak akan berhasil, atau usaha induksi
telah gagal, pelahiran dengan bedah caesar diindikasikan untuk kasus-kasus
berat (Cunningham, 2014).

H. Komplikasi
Menurut Sibai, pada keluaran maternal dari penderita preeklamsia dapat
ditemukan juga solusio plasenta (1–4%), disseminated coagulopathy/HELLP
syndrome (10–20%), edema paru / aspirasi (2–5%), gagal ginjal akut (1–5%),
eklamsia (<1%), kegagalan fungsi hepar (<1%). Sibai juga mengemukakan
beberapa hal yang sering ditemukan pada luaran perinatal dari persalinan dengan
preeklamsia antara lain kelahiran premature (12-67%), pertumbuhan janin yang
terhambat (10-25%), cidera hipoksianeurologik (<1%), kematian perinatal (1-

36
2%), dan morbiditas jangka panjang penyakit kardiovaskular yang berhubungan
dengan BBLR.
Menurut Cunningham terjadinya kecil masa kehamilan (KMK) pada
preeklamsia oleh karena terjadinya iskemia uteroplasenta pada kehamilan
trimester kedua sehingga terjadi pertumbuhan janin terhambat. Sofoewan (2001)
melaporkan pada kelompok PEB didapati perkembangan janin terhambat 1,1 %,
kematian janin intra uterin 7,4% dan gawat janin 5,6%. Morikawa dkk (2001)
pada penelitiannya mendapatkan perkembangan janin terhambat 23,8 %, luaran
bayi yang jelek ( kematian janin dan gawat janin yang berat) 2,4% pada
kelompok PEB.
Selain itu, komplikasi preeklamsia yakni kemungkinan terjadinya
eklamsia/kejang. Berikut ini beberapa komplikasi dari eklamsia (Warrington,
2015) :
1. Kerusakan permanen neurologis, dapat berupa kejang berulang atau
perdarahan intrakranial.
2. Insufisiensi renal dan gagal ginjal akut.
3. Perubahan pada janin seperti IUGR (Intrauterine growth restriction),
abrupsio plasenta, dan oligohidramnion.
4. Kerusakan hepar dan ruptur hepar.
5. Perubahan hematologi, DIC (Disseminated Intravascular Coagulation).
6. Peningkatan risiko terjadinya preeklamsia atau eklamsia pada kehamilan
selanjutnya.
7. Kematian ibu atau janin.

J. Prognosis
Preeklamsia menyebabkan sekitar 63.000 kematian ibu per tahun di dunia.
Berdasarkan penelitian, pasien memiliki risiko tinggi untuk mengalami kematian
pada usia kehamilan 20-28 minggu (Mackay, 2001). Kematian janin mencapai
13-30% yang disebabkan karena kondisi prematur dan komplikasi lainnya
seperti infark plasenta, abrupsio plasenta, IUGR, dan hipoksia janin (Gabbe,
2007).

37
Ketuban Pecah Dini (KPD)

A. Definisi KPD
Ketuban pecah dini atau Premature Rupture of the Membranes(PROM)
adalah keadaan pecahnya selaput ketuban secara spontan sebelum proses
persalinan atau pada saat belum inpartu yang terjadi pada akhir kehamilan atau
jauh sebelumnya dan ditunggu satu jam belum inpartu (Wiknyosastro, 1999).
Berdasarkan usia kehamilan Ketuban Pecah Dini dibagi menjadi dua, yaitu
Premature Rupture of the Membranes (PROM) apabila KPD terjadi pada usia
kehamilan ≥ 37 minggu dan Preterm Premature Rupture of the Membranes
(PPROM) apabila KPD terjadi pada usiakehamilan < 37 minggu (Cunningham,
2000).

B. Etiologi
Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan
membran atau meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut.
Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat
berasal dari vagina dan serviks. Adapun penyebab lain terjadinya KPD adalah
sebagai berikut (Sualman, 2003):
1. Infeksi yang menyebabkan terjadinya biomekanik pada selaput ketuban
dalam bentuk preteolitik sel sehingga memudahkan ketuban pecah seperti
pada amnionitis atau korioamnionitis.
2. Ketegangan rahim berlebihan yang menyebabkan tekanan intra uterin
meningkat secara berlebihan atau overdistensi uterus, seperti pada keadaan
trauma, kehamilan ganda, hidramnion.
3. Serviks inkompeten, yaitu kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena
kelainan pada servik uteri. Hal ini bias terjadi akibat persalinan, kuretase, atau
tindakan bedah obstetri lainnya (Devlieger, 2006).
4. Kelainan letak janin dan Rahim misalnya: letak sungsang dan letak lintang,
sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu ataspanggul (PAP)
yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.
5. Kemungkinan kesempitan panggul dimana bagian terendah belum masuk
PAP misalnya pada Cephalo Pelvic Disproportion (CPD).
38
6. Multiparitas, yaitu seorang wanita yang telah mengalami kehamilan dengan
usia kehamilan minimal 28 minggu dan telah melahirkan 2 kali atau lebih
Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan pernah mengalami KPD pada
kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat diyakini
lebih beresiko akan mengalami KPD pada kehamilan berikutnya (Helen,
2008).
7. Usia ibu yang lebih tua yang akan menyebabkan ketuban kurang kuat dari
pada ibu usia muda. Usia reprosuksi optimal bagi seorang ibu adalah antara
umur 20-35 tahun (Depkes, 2013). Usia dibawah atau diatas dari rekomendasi
tersebut akan mempengaruhi system reproduksi, karena organ reproduksinya
sudah mulai berkurang kemampuan dan keelastisannya dalam menerima
kehamilan.
8. Riwayat KPD sebelumnya dua kali atau lebih. Wanita yang pernah
mengalami KPD pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada
kehamilan berikutnya akan lebih beresiko dari pada wanita yang tidak pernah
mengalami KPD sebelumnya karena komposisi membran yang menjadi rapuh
dan kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya.
9. Merokok selama kehamilan. Rokok mengandung lebih dari 2.500 zat kimia
yang teridentifikasi termasuk karbonmonoksida, amonia, aseton, sianida
hidrogen, dan lain-lain. Merokok pada masa kehamilan dapat menyebabkan
gangguan gangguan seperti kehamilan ektopik, ketuban pecah dini, dan resiko
lahir mati yang lebih tinggi.
10. Riwayat hubungan seksual baru baru ini
11. Faktor keturunan

C. Patofisiologi
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi
uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah
tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior
rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh (Wiknyosastro, 1999).
Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi
matriks ekstraselular. Perubahan struktur, jumlah sel dan katabolisme kolagen

39
menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban
pecah. Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase (MMP)
yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease. Mendekati
waktu persalinan, terjadi ketidakseimbangan antara MMP dan tissue inhibitors
metalloproteinase-1 (TIMP-1) mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks
ekstraselular dan membran janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat
menjelang persalinan (Wiknyosastro, 1999).
Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen, sampai
infeksi. Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai
65%). Termasuk diantaranya; high virulensi yaitu Bacteroides, dan low virulensi
yaitu Lactobacillus. Berdasarkan penyebab tersering dari KPD yaitu infeksi
genital.
Infeksi yang terjadi pada genital akan menyebabkan respon inflamasi pada
ibu atau janin. Respon inflamasi ini akan mengaktifkan makrofag dan
melepaskan mediator inflamasi seperti sitokin (IL-1, IL-6 dan TNFα, Matriks
metallo proteinase (MMP) yang terdiri dari kolagenase, gelatinase, stromelysin
dan produk lipooxygenase dan jalur siklooksigenase. Sitokin sitokin tersebut
akan menstimulasi prostaglandin untuk meningkatkan kontraksi uterus dan
menginduksi MMP, yang akan menyebabkan melemahnya selaput ketuban dan
mematangkan serviks serta mengganggu pembentukan matrix kolagen pada
cervix sehingga cervix menjadi lembek. Cutokine dan eicosanoid akan
mempercepat produksi dari masing masing. Selain itu, TNF α juga menginduksi
terjadinya apoptosis yang juga akan mempercepat terjadinya KPD (Sunil, 2013).

40
Gambar 2.1 Mekanisme Inflamasi dalam Menyebabkan KPD

Selain itu, KPD juga dapat terjadi karena adanya aktivasi maternal/fetal
HPA axis lebih dini. Bias disebabkan karena stress yang terjadi pada ibu atau
janin. Tekanan fisik dan psikologis ibu akan menyebabkan aktivasi aksis HPA
dan menginduksi pelepasan CRH yang kemudian akan memicu terjadinya KPD
dan persalinan preterm (Sunil, 2013).

41
Gambar 2.2 Mekanisme HPA Axis dalam Menyebabkan KPD

Mekanisme selanjutnya adalah karena adanya perdarahan pada desidua.


Perdarahan pada desidua akan menghasilkan thrombin, yang merupakan agen
uterotonik yang kuat. Pelepasan thrombin ini akan merangsang myometrium
untuk berkontraksi oleh inositol fosfatidil yang diaktifkan melalui signaling jalur
dan juga meningkatkan ekspresi activator plasminogen yangkemudian memicu
peningkatan dari MMP dan menginduksi terjadinya KPD (Sunil, 2013).

Gambar 2.3 Mekanisme Perdarahan Decidua dalam Menyebabkan KPD

D. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis KPD dapat dilakukan dengan berbagai cara yang
meliputi (Sualman, 2009):
1. Anamnesis
Berdasarkan hasil anamnesis pasien akan merasakan basah pada
vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba tiba dari jalan lahir
atau “ngepyok”. Cairan yang keluar dari vagina perlu dipastikan apakah

42
benar benar cairan ketuban atau bukan dengan memperhatikan bau khasnya
dan warnanya.
2. Inspeksi
Berdasarkan pemeriksaan inspeksi dapat dilihat secara langsung air
ketuban yang keluar dari vagina adanya cairan yang berisi mekonium, vernik
kaseosa, rambut lanugo dan kadang-kadang bau kalau ada infeksi
3. Pemeriksaan inspekulo
Pemeriksaan dengan speculum pada KPD akantampak keluar cairan
dari Orifisium Uteri Eksternum (OUE), kalau belumjuga tampak keluar,
fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk,mengejan, ataubagian terendah
digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostiumuteridan terkumpul pada
fornik anterior.
4. Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketubansudah tidak ada
lagi.Pemeriksaan Vaginal Toucher (VT) erludipertimbangkan,terutama pada
kehamilan yang kurang bulan yang belum dalampersalinan sangat dibatasi
dilakukan pemeriksaan dalam (VT), karena pada waktupemeriksaan dalam,
jari pemeriksa akan mengakumulasi segmenbawahrahim dengan flora vagina
yang normal. Mikroorganismetersebut bisadengan cepat menjadi
pathogen.Pemeriksaan dalamvagina hanya dilakukanpada kasus KPD yang
sudah dalam persalinanatau yang dilakukan induksipersalinan.
5. Pemeriksaan Penunjang
a) Tes laksmus (Nitrazin)
Tes lakmus (tes Nitrazin) digunakan untuk mengetahui apakah
cairan yang keluar benar benar berasal dari air ketuban atau bukan. Tes
laksmus dikatakan positif yaitu jika kertas lakmus merah berubah
menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). Normalnya pH
air ketuban berkisar antara 7-7,5. Akan tetapi pada pemeriksaan ini, darah
dan infeksi vagina dapat menghasilkan tes yang positif palsu (Parry,
2008).
b) USG

43
Pemeriksaan ini dimaksudkan untukmelihat jumlah cairanketuban
dalam kavum uteri.Dikenal tiga cara pengukuran cairan ketuban, yaitu
secara subyektif, semikuantitatif (pengukuran satu kantong), dan
pengukuran empat kuadran menurut Phelan (Weber, 2005).
Penilaian subyektif volume cairan ketuban berdasarkan atas
pengalaman subyektif pemeriksa didalam menentukan volume tersebut
berdasarkan apa yang dilihatnya pada saat pemeriksaan. Dikatakan
normal bila masih ada bagian janin yang menempel pada dinding uterus,
dan bagian lain cukup terisi cairan ketuban. Bila sedikit, maka sebagian
besar tubuh janin akan melekat pada dinding uterus, sedangkan bila
hidramnion, maka tidak ada bagian janin yang menempel pada dinding
uterus (Weber, 2005).
Pengukuran semikuantitatif dilakukan melalui pengukuran dari
satu kantong (single pocket)ketuban terbesar yang terletak antara dinding
uterus dan tubuh janin, tegak lurus terhadap lantai.Tidak boleh ada
bagian janin yang terletak didalam area pengukuran tersebut.
Klasifikasinya adalah sebagai berikut (Weber. 2005).
Tabel 2.1. Pengukuran Semikuantitatif (Satu Kantong) Volume Cairan
Ketuban
HASIL PENGUKURAN INTERPRETASI
3-7 cm Volume cairan ketuban normal
>8 cm Polihidramnion
8 – 12 cm - Polihidramnion Ringan
12 – 16 cm - Polihidramnion Sedang
>16 cm - Polihidramnion Berat
1 – 2 cm Volume cairan ketuban
meragukan (borderline)
< 1 cm Oligohidramnion
Sumber : Weber G, Merz E. Amniotic Fluid. Ultrasound in Obstetrics and Gynecology.
2005:409-414

Pengukuran volume cairan ketuban selanjutnya adalah empat


kuadran atau indeks cairan amnion (ICA)/amnion fluid index (AFI)
diajukan oleh Phelan, dkk (1987) lebih akurat dibandingkan cara lainnya.
Pada pengukuran ini, abdomen ibu dibagi atas empat kuadran.Garis yang

44
dibuat melalui umbilikus vertikal ke bawah dan transversal. Kemudian
transduser ditempatkan secara vertikal tegak lurus lantai dan cari
diameter terbesar dari kantong ketuban, tidak boleh ada bagian janin atau
umbilikus didalam kantong tersebut. Setelah diperoleh empat
pengukuran, kemudian dijumlahkan dan hasilnya ditulis dalam
millimeter atau sentimeter (Weber, 2005).
Tabel 2.2. Indeks CairanKetubanBerdasarkan Pengukuran Empat
Kuadran (Phelan)
HASIL PENGUKURAN INTERPRETASI
5 - 25 cm Volume cairan ketuban normal
>250 cm Polihidramnion
<5 cm Oligohidramnion
Sumber : modifikasi dari Weber G, Merz E. Amniotic Fluid. Ultrasound in Obstetrics and
Gynecology. 2005:409-414
c) Pemeriksaan Lab
Untuk menentukan ada atau tidaknya infeksi, kriteria laboratorium yang
digunakan adalah adanya Leukositosis maternal (WBC yang lebih dari
16.000/uL), adanya peningkatan C-reactive protein cairan ketuban dan
gas-liquid chromatography, serta Amniosentesis untuk mendapatkan
bukti yang kuat (misalnya cairan ketuban yang mengandung leukosit
yang banyak atau bakteri pada pengecatan gram maupun pada kultur
aerob maupun anaerob) (Parry, 2008).

E. Tata Laksana
Penatalaksanaan KPD memerlukan pertimbangan usia kehamilan, adanya
infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan.
Penanganan ketuban pecah dini menurut Sarwono (2010), meliputi :
a. Konservatif
Pengelolaan konserpatif dilakukan bila tidak ada penyulit (baik pada ibu
maupun pada janin) dan harus di rawat dirumah sakit dengan cara:
1) Berikan antibiotika (ampicilin 4 x 500 mg atau eritromicin bila tidak
tahan ampicilin) dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari.
2) Jika umur kehamilan 32-34 minggu, dirawat selama air ketuban masih
keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi
45
3) Jika usia 27-32 minggu, belum inpartu tidak ada infeksi, beri
dexametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin,
terminasi pada kehamilan 37 minggu
4) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi,
berikan tokolitik (salbutamol), deksametason, dan induksi sesudah 24
jam.
5) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan
lakukan induksi.
6) Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intra uterin).
7) Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memicu
kematangan paru janin, dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin
dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis
tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4
kali.
b. Aktif
1) Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio
sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50 mg intravaginal tiap 6
jam maksimal 4 kali.
2) Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi. Dan
persalinan diakhiri.
3) Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan servik, kemudian induksi.
Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea
4) Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam

46
Gambar 2.3 Algoritme Tata Laksana KPD

47
FETAL DISTRESS
A. Definisi Fetal Distress
Fetal Distress atau Gawat Janin Gawat janin (fetal distress) didefinisikan
sebagai keadaan hipoksia atau asidosis janin intrauterine yang dapat
menyebabkan kematian janin bila tidak dilahirkan. Gawat janin juga merupakan
istilah yang sangat luas menggabarkan beberapa keadaan yang mungkin ditemui
sebelum terjadinya hipoksia janin. Beberapa pemeriksaan dapat digunakan
untuk mengetahui keadaan hipoksia janin seperti, neonatal stress test (NST),
monitoring denyut jantung janin, profil biofisik janin, dan kardiotocografi
(KTG) (Dastur, 2005)

B. Etiologi
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan gawat janin (Pashte dan
Choudari, 2016) :
1. Penghantaran oksigen yang rendah oleh karena anemia berat
2. Perdarahan akut, seperti pada plasenta previa dan solusio plasenta
3. Obstruksi aliran utero-plasenta
4. Disfungsi plasenta
5. Malformasi sistem kardiovaskular
6. Infeksi pada ibu maupun infeksi intrauterin
7. Ibu dengan hipertensi kronik, diabetes, asma, dan serangan kejang
Gawat janin juga bisa terjadi intrapartum yang disebabkan oleh (Pashte
dan Choudari, 2016):
1. Persalinan prematur
2. Persalinan yang lama
3. Efek anestesi
4. Ketuban Pecah Dini (KPD) > 24 jam
5. Maternal hipoventilasi
6. Maternal hipoksia

48
C. Patofisiologi Fetal Distress
Gawat janin akut terjadi terjadi saat intapartum dikarenakan kurangnya
aliran oksigen ke janin yang menyabkan terjadinya glikolisis anaerob dan
penumpukan asam laktat sehingga timbul asidosis pada janin. Metabolisme
asidosis dapat melemahkan denyut jantung janin dan tidak regular. Pada gawat
janin yang kronis, hipoksia dan asidosis disebabkan oleh aliran utero-plasenta
yang inadekuat dikarenakan beberapa etiologi diatas. Hipoksia janin yang
kronis dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan organ janin, seperti otak,
jantung dan ginjal (Dastur, 2005).

D. Penegakan Fetal Distress


Pengegakkan diagnosis gawat janin dapat melalui (Comert, 2016) :
1. Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan ibu merasakan gerakan janin yang
berkurang dan melemah
2. Pemeriksaan Denyut Jantung Janin
Janin dapat mengalami takikardi diatas 160 kali perdetik atau brakikardi
dibawah 120 kali perdetik. Perlu diperhatikan juga adanya deselerasi
denyut jantung janin. Pada saat kontraksi akan terjadi deselerasi denyut
jantung janin, deselerasi yang lambat dapat menurunkan aliran oksigen ke
janin. Jika deselerasi lambat ini disertai abnormalitas denyut jantung janin
maka perlu diwaspadai adanya gawat janin.
3. Pemeriksaan USG
Pada USG perlu dilakukan pemeriksaan biofisik janin yang digunakan
untuk menilai meliputi: gerakan pernafasan fetus, gerakan fetus, tonus
fetusindeks cairan amnion dan NST.
4. Non Stress Test (NST)
NST dilakukan dengan menggunakan eksternal kardiotokografi (KTG).
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menilai keadaan janin dan kesediaan
oksigen saat terjadi kontraksi. Bila hasilnya reaktif maka ketersediaan
oksigen ke janin cukup, bila nonreaktif perlu diwaspadai adanya gawat
janin.

49
E. Penatalaksanaan
Beberapa tatalaksana yang dapat dilakukan pada gawat janin (Pashte dan
Choudari, 2016) :
1. Atur posisi ibu
Posisi supine atau terlentang dapat menyebabkan penurunan volume balik
vena karena banyaknya vasodilatasi pembuluh darah perifer. Hal ini akan
semakin mengurangi aliran utero-plasenta, sehingga pada kasus gawat
janin, ibu disarankan untuk miring ke kiri.
2. Hidrasi dan Oksigenasi
Hidrasi bertujuan untuk menjaga volum intravascular yang adekuat
sehingga diharapkan dapat memperbaiki aliran utero-plasenta. Pada
beberapa kasus, hipoksia janin berhubungan dengan kurangnya aliran
oksigen maternal, sehingga oksigenisasi perlu diberikan untuk memastikan
ketersediaan oksigen cukup untuk janin.
3. Tokolitik
Gawat janin juga berhubungan dengan adanya peningkatan kontraksi
uterus, sehingga pemberian tokolitik dipertimbangkan. Selain untuk
mengurangi kontraksi uterus, pemberian bolus tokolitik juga diharapkan
dapat meningkatkan curah jantung ibu melalui peningkatan denyut jantung
dan vasokontriksi, sehingga diharapkan dapat memperbaiki aliran utero-
plasenta.
4. Persalinan
Pada kasus gawat janin yang semakin memburuk, perlu dilakukan
persalinan untuk mencegah kematian janin. Persalinan pervaginam menjadi
pilihan utama selama syarat pervaginam memenuhi. Pada kasus gawat janin
dengan kehamilan premature, persalinan dapat memperbaiki kondisi
hipoksia janin namun meningkatkan risiko yang berhubungan dengan
prematuritas.

50
Congestive Heart Failure (CHF)
A. Definisi CHF
Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis yang kompleks yang dapat
berasal dari gangguan struktural maupun fungsional jantung yang dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan ventrikel dalam pengisian dan ejeksi
darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sindrom gagal jantung kongestif
ditandai dengan dispnea, fatique, dan kelebihan cairan yang dapat berdampak
pada edem perifer dan edem pulmo (Figueroa et al, 2016)

B. Etiologi CHF
Gagal jantung dapat disebabkan oleh berbagai penyakit yang mengganggu
kemampuan otot jantung dalam memompa darah. Penyakit jantung koroner
merupakan penyebab utama gagal jantung, yang diikuti oleh hipertensi,
gangguan katup jantung dan Diabetes Mellitus. Secara umum, etiologi gagal
jantung dapat dibagi menjadi dua :
1. Disfungsi sistolik
Disfungsi sistolik dapat disebabkan oleh penyakit jantung koroner,
infark miokard, regurgitasi, konsumsi alkohol, kekurangan gizi, deplesi
kalsium dan kalium, induksi obat, dan idiopatik
2. Disfungsi diastolik
Disfungsi diastolik dapat disebabkan oleh penyakit jantung koroner,
infark miokard, hipertensi, stenosis aorta, regurgitasi, perikarditis, dan
pembesaran septum ventrikel.

C. Gejala dan Tanda Klinis


Gejala dan tanda klinis yang terlihat pada gagal jantung merupakan akibat
dari berkurangnya curah jantung, hipoperfusi jaringan dan kongestif. Secara
umum terdapat 3 gejala dan tanda klinis gagal jantung, yakni (Arrol et al, 2010):
1. Kelebihan cairan
Tanda dari kelebihan cairan pada gagal jantung dapat dilihat dari adanya
dispnea, peningkatan berat badan lebih dari 2 kg dalam 3 hari,

51
peningkatan tekanan vena jugularis, krepitasi pada auskultasi,
hepatomegali dan edem perifer.
2. Keterbatasan aktivitas fisik
Keterbatasan aktivitas fisik menggambarkan keparahan dari sindrom
gagal jantung. Hal ini menjadai dasar dari klasifikasi gagal jantung
menurut New York Heart Association (NYHA).
3. Gagngguan fraksi ejeksi ventrikel kiri
Pada sekitar 50% pasien gagal jantung mengalami gangguan fraksi
ejeksi ventrikel kiri setelah menjalani pemeriksaan ekokardiografi.
Ejeksi ventrikel kiri yang rendah dapat berakibat ada hipoperfusi
jaringan akibat menurunnya aliran darah menuju jaringan.
Gejala dan tanda klinis gagal jantung juga dapat dibagi menjadi kriteria
mayor dan minor menurut kriteria Framingham seperti yang terdapat pada tabel
dibawah ini
Tabel 2.2. Kriteria Framingham
Kriteria mayor Kriteria Minor
Distensi vena jugularis Edem ekskremitas
Orthopnea atau nocturnal dispnea Batuk malam hari
Ronkhi paru (>10 cm diatas basis Sesak pada aktivitas
paru)
Kardiomegali Hepatomegali
Gallop S3 Efusi pleura
Tekanan vena sentral >12mmHg Takikardi (>120x/menit)
Disfungsi ventrikel kiri pada
pemeriksaan ekokardiografi
Edem paru akut

D. Patofisiologi CHF
Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu
gangguan mekanik (beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal
atau bersamaan yaitu beban tekanan, beban volume, tamponade jantung atau

52
kontriksi perikard, jantung tidak dapat diastole, obstruksi pengisian ventrikel,
aneurisme ventrikel, disenergi ventrikel, restriksi endokardial atau miokardial)
dan abnormalitas otot jantung yang terdiri dari primer (kardiomiopati,
miokarditis metabolic (DM, gagal ginjal kronik, anemia) toksin, dan sekunder
(iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltrative, dan korpulmonal) ((Figueroa
et al, 2016).
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya
gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri
menurun dengan akibat tekanan akhir diastole dalam ventrikel kiri dan volume
akhir diastole dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban
atrium kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolic,
dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan rata-rata dalam atrium kiri (Figueroa
et al, 2016).
Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi ini menyebabkan hambatan
aliran masuknya darah dari vena-vena pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut,
maka bendungan akan terjadi juga dalam paruparu dengan akibat terjadinya
edema paru dengan segala keluhan dan tanda-tanda akibat adanya tekanan dalam
sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir ini merupakan hambatan bagi
ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk sirkuit paru (sirkulasi kecil).
Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah, maka akan meransang
ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan mengalami hipertropi dan
dilatasi sampai batas kemempuannya, dan bila beban tersebut tetap meninggi
maka dapat terjadi gagal jantung kanan, sehingga pada akhirnya terjadi akhirnya
terjadi gagal jantung kiri-kanan (Arrol et al, 2010).
Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan
pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan tanpa
didahului oleh gagal jantung kiri. Dengan menurunnya isi sekuncup ventrikel
kanan, tekanan dan volume akhir diastole ventrikel kanan akan meningkat dan
ini menjadi beban atrium kanan dalam kerjanya mengisi ventrikel kanan pada
waktu diastole, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan dalam atrium kanan.
Tekanan dalam atrium kanan yang meninggi akan menyebabkan hambatan aliran
masuknya darah dalam vena kava superior dan inferior ke dalam jantung

53
sehingga mengakibatkan kenaikan dan adanya bendungan pada vena-vena
sistemik tersebut (bendungan pada vena jugularis dan bendungan hepar) dengan
segala akibatnya (tekanan vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bila
keadaan ini terus berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik yang lebih berat
dengan akibat timbulnya edema tumit atau tungkai bawah dan asites (Arrol et al,
2010).

E. Penegakan Diagnosis CHF


Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada
dan penemuan klinis dari anamesis dan pemeriksaan fisik disertai dengan
pemeriksaan penunjang antara lain foto toraks, EKG, ekokardiografi,
pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker(Figueroa et al,
2016).
Pada anamnesis Pasien dengan gagal jantung akan mengeluhkan sesak
napas, toleransi aktifitas fisik yang berkurang, bengkak pergelangan kaki, cepat
lelah, berat badan bertambah, maupun perasaan kembung dan begah. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemui tanda spesifik yaitu peningkatan JVP, refluks
hepatojugular, S3 gallop, bising jantung, dan apex jantung yang bergeser ke
lateral. Tanda yang kurang spesifik pada pemeriksaan fisik gagal jantung adalah
edem perifer, krepitasi pulmonal, takikardi, nadi ireguler, nafas cepat,
hepatomegali, asites, dan suara pekak di basal paru saat perkusi. Secara umum
diagnosis gagal jantung dapat diteggakan jika terdapat dari Kriteria Framingham,
yaitu terdapat 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dengan 2 kriteria
minor(Figueroa et al, 2016).
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien yang diduga gagal jantung
adalah darah lengkap, elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus, tes fungsi hati
dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain dipertimbngkan sesuai tampilan
klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai
pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum diterapi, meskipun
anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia, dan penurunan fungsi ginjal sering
dijumpai terutama pada pasien dengan terapi diuretic dan/atau Angiotensin

54
Converting Enzym Inhibitor (ACEI), Angiotensin Resptor Bloker (ARB), atau
antagonis aldosterone (King et al, 2012).
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) harus dilakukan pada semua
pasien curiga gagal jantung. Beberapa abnormalitas yang dapat ditemui dari
EKG adalah sinus takikardi, sinus bradikardi, atrial takikardi, aritmia ventrikel,
iskemik/infark, dan hipertrofi ventrikel kiri. Foto thoraks juga dapat menjadi
penunjang diagnosis gagal jantung, diantaranya dapat ditemui kardiomegali,
hipertrofi ventrikel tampak paru normal, kongesti vena paru, edem intertisial,
dan efusi pleura. Adapun enzim petanda yang khas pada gagal jantung adalah
peningkatan CKMB (King et al, 2012).

F. Penatalaksanaan
Tatalaksana farmakologis gagal jantung dapat dilihat dari bagan dibawah
ini (PERKI, 2015).

55
1. Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI)
ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal dengan fraksi
ejeksi ventrikel ≤40% dengan atau tanpa gejala kecuali bila terdapat
kontraindikasi. ACEI memperbaiki fungsi ventrikel (kelas rekomendasi
I, tingkat bukti A) namun kadang menyebabkan perburukan fungsi
ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedem, oleh
sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal yang
baik. Adapun kontraindikasi pemberian ACEI adalah riwayaat
angioedem, stenosis renal bilateral, kadar kalium >5,0 mmol/L, serum
kreatinin >2,5mg/dL, stenosis aorta berat.
2. β blocker
Indikasi pemberian β blocker adalah : fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%,
gejala ringan-berat (kelas fungsional NYHA II-IV), ACEI/ARB (dan
antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan, dan pasien stabil
secara klinis. Adapaun kontraindikasi pemberian β blocker adalah :
asma, blok antrioventrikular derajat 2 dan 3, dan sinus bradikardi.
3. Antagonis aldosteron
Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel
≤35% dan gagal jantung simtomatik berat (kelas NYHA III-IV) tanpa
hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron
diberikan setalah pemberian dosis optimal kombinasi β blocker dengan
ACEI atau ARB. Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron adalah
konsentrasi kalium >5,0 mmol/L, serum kreatinin >2,5 mg/dL,
bersamaan dengan diuretic hemat kalium atau suplemen kalium, dan
kombinasi ACEI dan ARB.
4. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
ARB dirokemendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
ventrikel ≤40% yang tetap simptomatik walaupun sudah diberikan
ACEI dan β blocker dalam dosis optimal, kecuali juga mendapat

56
antagonis aldosteron. Adapun kontraindikasi ARB adalah pasien yang
mendapat terapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
5. Hydralazine dan Isosorbide Dinitrat (H-ISDN)
H-ISDN diberikan sebagai terapi alternatif jika pasien intoleran
terhadap ACEI dan ARB. Adapun kontraindikasi H-ISDN yakni
hipotensi simtomatik, sindroma lupus dan gagal ginjal berat. Dosis awal
hydralazine adalah 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2-3 kali sehari.
6. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat
diberikan untuk memperlambat laju ventrikel, walaupun β blocker lebih
diutamakan. Kontraindikasi pemberian digoksin, yaitu, blok AV derajat
2 dan 3, sindroma pre-eksitasi, dan riwayat intoleransi digoksin.
7. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda
klinis atau gejala kongesti. Tujuan pemberian diuretik adalah mencapai
status euvolemia dengan dosis serendah mungkin dan sesuai kebutuhan
pasien untuk menghindari dehidrasi.

G. Gangguan Jantung dan Kehamilan


Gangguan jantung dapat menjadi komplikasi dari kehamilan pada 1-4%
wanita hamil tanpa gangguan jantung sebelum kehamilan. Hal ini disebabkan
karena perubahan hemodinamik yang terjadi pada masa kehamilan. Pada
kehamilan normal, dibutuhkan perubahan sistem kardiovaskular untuk
memenuhi kebutuhan perkembangan janin-plasenta (Pushpalata , 2010).
PARAMETER KEHAMILAN PERSALINAN POST
HEMODINAMIK PARTUM
Volume darah Meningkat 40- meningkat Menurun
50%
Denyut jantung Meningkat 10-15 Meningkat Menurun
denyut/menit
Curah jantung Meningkat 30- Meningkat 50% Menurun
50%
Tekanan darah Menurun 10 Meningkat Menurun
mmHg

57
Stroke Volume Meningkat pada Meningkat 300- Menurun
trimester 1 dan 2, 500mL dalam
menurun pada satu kontraksi
trimester 3
Resistensi vaskular menurun meningkat Menurun

Pada kehamilan terjadi peningkatan curang jantung 30-50% yang diikuti


peningkatan denyut jantung seiringan dengan penurunan resistensi vaskular dan
tekanan darah, meskipun volume darah meningkat 50%. Hal ini memungkinkan
terjadinya hipertrofi ventrikel dalam kehamilan. Stroke volume meningkat pada
trimester 1dan 2 namun menurun pada trimester 3 dikarenakan uterus yang
menekan vena cava inferior (Pushpalata, 2010).
Perubahan hemodinamik dalam kehamilan dapat memunculkan gejala dan
tanda yang hampir serupa dengan gangguan jantung. Kehamilan normal
biasanya akan dikaitkan kelelahan, dispnea, intoleransi aktivitas fisik dan edem
perifer yang menjadi perancu dalam mendiagnosis gangguan jantung. Sebagaian
besar wanita hamil dapat ditemui murmur sistolik fisiologis yang disebabkan
oleh peningkatan aliran darah. Terkadang dapat ditemui suara S3 jantung yang
mencerminkan peningkatan volume darah (Pushpalata, 2010)
Hal yang dapat mengganggu hemodinamik dalam kehamilan salah
satunya adalah hipertensi kehamilan, termasuk pre ekalamsia. Hipertensi
merupakan keadaan yang menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler.
Keadaan ini dapat memperberat kerja jantung wanita hamil karena peningkatan
volume darah yang diikuti dengan peningkatan resistensi vaskular, akibatnya
terjadi hipertrofi ventrikel. Preeklampsia akan mengganggu kontraktilitas
jantung yang mengganggu fungsi sistolik dan diastolic ventrikel kiri jantung. Hal
ini memungkinkan berkurangnya kemampuan jantung dalam memenuhi
kebutuhan oksigen jaringan (Orabona et al, 2017).
Resiko gagal jantung pada wanita hamil dengan preeclampsia meningkat
12 kali lebih besar. Edem pulmo akut terjadi pada 3% kasus preeclampsia yang
menyebabkan 30% wanita hamil dengan hipertensi mengalami kematian. 70%
kasus preeclampsia dapat menjadi gagal jantung post partum (Orabona et al,
2017).

58
IV. KESIMPULAN

1. Diagnosis dari pasien pada kasus ini adalah G1P0A0 usia 23 tahun hamil 40
minggu 4 hari janin tunggal hidup intrauterine inpartu kala I fase laten dengan
PEB, CHF dan KPD 2 hari.
2. Ditegakkan dignosis PEB pada pasien karena Tekanan darahpada pasien adalah
160/110 mmHg dan pasien memiliki penyulit lainnya yaitu CHF suspek Mitral
Regurgitasi dengan cardiomegali.
3. Ditegakkan diagnosis CHF karena pada pemeriksaan ditemukan cardiomegali,
bising sistolik pada SIC V linea midclavicula sinistra sehingga dicurigai
regurgitasi katup mitral.
4. Ditegakkan diagnosis KPD karena pada pasien terdapat riwayat pengeluaran air
ketuban sejak 2 hari yang lalu yang dirasakan rembes oleh pasien dan didukung
dengan pemeriksaan VT yang menunjukkan bahwa kulit ketuban sudah pecah

59
DAFTAR PUSTAKA

Arrol, Bruce., Robert Doughty., Victoria Andersen. 2010. Investigation and


Management of Congestive Heart Failure. BMI Vol. 341.

Comert, Zafer. 2016 Evaluation of Fetal Distress Diagnosis. Research Gate Vol.
16 No. 4.

Cunningham, F. G., K. J. Leveno, S. L. Bloom, J. C. Hauth, D. J. Rouse, and C.


Y. Spong. 2014. Pregnancy Hypertension. In : Williams Obstetrics. 24th
Edition. USA : The McGraw-Hil Companies. Cunningham F., Kenneth
J., Steven L., Catherine Y., Jodi S., Barbara L., et al. 2014. Williams
Obstetrics 24th Edition. McGraw Hill Education.

Dastur, Adi. E. 2005. Intrapartum Fetal Distress. Journal Obstetry and


Gynecology India Vol. 55 No.2

Davidge S, de Groot C, Taylor RN. 2014. Endothelial cell dysfunction and


oxidative stress. In Taylor RN, Roberts JM, Cunningham FG (eds):
Chesley’s Hypertensive Disorders in Pregnancy, 4th ed. Amsterdam,
Academic Press.

Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Devlieger R, Millar LK, Bryant G, Lewi L, Deprest JA. 2006. Fetal Membrane
Healing After Spontaneous and Iatrogenic Membrane Rupture: A Review
of Current Evidence. American Journal of Obstetrics and Gynecology.
195, 1512–20.
De-Regil, L., Palacios C., dan Ansary, A. 2012. Vitamin D supplementation for
during pregnancy. Cochrane Database Syst Rev 2 : CF008873.

Figueroa, Michael., Jay., Peters. 2016. Congestive Heart Failure:Diagnosis,


Pathophysiology,Therapy, and Implications for Respiratory Care. Journal
Respiratory Care Vol. 51 No. 4

Fisher SJ, McMaster M, Roberts JM. 2009. The Placenta in normal pregnancy
and preeclampsia. In Lindheimer MD, Roberts JM, Cunningham FG (eds)
: Chelsey’s Hypertensive Disorders of Pregnancy. 3rd edition. New York,
ELseviier, In Press, p 73.
Heriyono dan Dasuki D, 2000. Faktor-faktor dan Risiko Kematian Maternal
pada Preeklampsia-Eklampsia. Berita Kedokteran Masyarakat XIV(1),
Jakarta.

60
JH, Ziebland S, Yudkin P, et al. 2002. Low relaxin concentrations on plasma
antioxidant concentrations and blood pressure. A randomized clinical trial.
Lancet 359 : 1969.

Karumanchi SA, Srillman IE, Lindheimer MD. 2009. Angiogenesis and


preeclampsia. In Lindheimer MD, Roberts JM, Cunningham FG (eds) :
Chelsey’s Hypertensive Disorders of Pregnancy. 3rd edition. New York,
ELseviier, In Press, p87.

King, Michael., Joe Kingery., Baretta Casey. 2012. Diagnosis and Evaluation
of Heart Failure. American Family Physician Vol. 85 No.12

Martin JN, May WL, Magann EF, etal. 1999. Early risk assesment of severe
preeclampsia: admission baterry of symptom and laboratory test to predict
likelihood of subsequent significant maternal morbidity. AmJ Obstet
Gynecol ; 180 : 1407 –14.

Morikawa H, Umikage H, Yamasaki M. 2001. Clinical Difference Between


HELLP Syndrome and Partial HELLP Syndrome. Dalam: AUFOG
Accredited Ultrasound and Workshop. Bandung.

Nusal, D.G.A., Prawtiwi, T., Fitrayeni. 2015. Faktor Risiko Kejadian


Preeklampsia Pada Ibu Hamil Di Rsup Dr. M. Djamil Padang Tahun 2014.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas. 10(1)38-44.

Orabona, Rossana., Edoardo., Federico. 2017. Preeclamsia and Heart Failure :


A Close Relationship. Research Gate.

Parry S, Struss JF. 2008. Premature Rupture of Fetal Membranes: a review


article. NEJM ;338:663-670.

Pashte, Sayali., Choudari SS. 2016. Diagnosis and Management Fetal Distress.
European Journal of Biomedical and Phamaceutical Science Vol. 3 No.12

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung


(http://www.inaheart.org/upload/file/Pedoman_TataLaksana_Gagal_Jant
ung_2015.pdf, diakses pada 10 Mei 2018).

POGI, 2016. Diagnosis dan Tatalaksana pada Preeklamsia. Perkumpulan


Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Himpunan Kedokteran Feto Maternal
POGI; Semarang.

Pushpalata. 2010. Cardiac Disease in Pregnancy. JIMSA Vol. 34 No. 4

Redmant CWG , Sargent IL. 2008. Circulating microparticels in normal


pregnancy and preeclampsia. Placenta 22 (Suppl A): S73.

61
Sibai, B. M. 2004. Syndrome of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and Low
Platelet Count. The American College of Obstetricians and Gynecologists,
103(5) : 981-91.

Sofoewan S. 2001. Pregnancy Outcome of Women with Severe Preeclampsia


With and Without HELLP Syndrome. Dalam: AUFOG Accredited
Ultrasound and Workshop. Bandung

Sualman K.Penatalaksanaan KetubanPecah Dini pada Kehamilan Preterm.


2009. Universitas Riau, Pekanbaru, 27-43.

Sunil K. Kota, Kotni Gayatri1, Sruti Jammula2, Siva K. Kota3, S. V. S. Krishna,


Lalit K. Meher4, Kirtikumar D. Modi. 2013. Endocrinology of Parturition.
Indian Journal of Endocrinology and Metabolism, 17 (1): 50-58.

Staff AC, Braekke K, Johnsen GM. 2007. Circulating concentration of soluble


endoglin (CD 105) in fetal and maternal serum and in amniotic fluids in
preeclampsia. Am J Obstet Gynecol 197 (2): 176.

Villar J, Hany AA, Merialdi M, et al. 2006. World Health Organization


randomized trial of calcium supplementation among low calcium intake
pregnant women. Am J Obstet Gynecologi 194: 639.

Ward K, Lindheimer MD, 2009. Genetic factors in the etiology of preeclampsia/


Eclampsia. In Lindheimer MD, Roberts JM, Cunningham FG (eds) :
Chelsey’s Hypertensive Disorders of Pregnancy. 3rd edition. New York,
ELseviier, In Press, p 51.

Weinstein L. 1982. Syndrome of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low


Trombosit counts : A Severe Consequence of Hypertension in Pregnancy.
AmJ Obstet Gynecol ; 142 : 159 –67.

Weber G, Merz E. Amniotic Fluid. 2005. Ultrasound in Obstetrics and


Gynecology, 409-414

Wiknyosastro, H, Saiffudin A.B, Rachimhadi T. 1999. Ilmu Kebidanan,


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 85-86.

Worley LC, Hnat MD, Cunningham FG. 2008. Advanced extrauterine


pregnancy: Diagnostic and Therapeutic Challenges. Am J Obstet Gynecol
198 (3): 297.

Zhang C, Williams MA, King IB, et al. 2002. Vitamin C and the risk
preeclampsia-results from dietary questionnaire and plasma assay.
Epidemiology 13 : 382.

62

Anda mungkin juga menyukai