Anda di halaman 1dari 6

Resume Bab 4 Bagian 5,6 dan 7 Tentang Gerabah, Alat Pemukul Kulit

Kayu dan Perhiasan Pada Masa Bercocok Tanam

1. Gerabah

Gerabah merupakan perkakas yang terbuat dari tanah liat atau lempung yang dibentuk
kemudian dibakar untuk dijadikan alat- alat yang berguna membantu kehidupan manusia--
biasanya berbentuk wadah. Untuk memenuhi kebutuhannya maka gerabah ini dibuat dalam
berbagai macam. Ada pun macam-macam gerabah adalah celengan, kendi, tempayan, dan
gerabah hiasan.

Gerabah telah dikenal di nusantara sejak zaman prasejarah. Gerabah ini digunakan sebagai
alat rumah tangga dan sebagai bagian mas kawin pada upacara pernikahan. Untuk
mendapatkan gerabah yang menarik, maka salah satu yang dilakukan oleh pembuat gerabah
adalah dengan memberikan motif hias pada gerabah. Pada gerabah yang digunakan untuk
kepentingan rumah tangga biasanya bermotif sederhana atau polos, sedangkan gerabah-
gerabah untuk kepentingan lain tentunya memerlukan motif yang lebih baik, sebagai contoh
motif hias untuk gerabah pernikahan ternyata ditentukan oleh martabat pengantin, semakin
tinggi martabatnya maka hiasan pada gerabahnya pun semakin banyak dan sulit. Untuk
membuat gerabah tentunya memerlukan bahan-bahan yang bisa digunakan. Alat dan bahan
yang dapat digunakan untuk membuat gerabah adalah berbagai jenis yang tersedia di alam
seperti tanah liat, kayu, bambu dan rotan.

Penemuan gerabah merupakan suatu bukti adanya kemampuan manusia dalam


menciptakan teknologi bagi pembuatan gerabah itu sendiri. Hal ini dikarenakan fungsi
gerabah di antaranya sebagai tempat menyimpan makanan. Dalam perkembangan
berikutnya gerabah tidak hanya berfungsi sebagai tempat menyimpan makanan, tetapi
beraneka ragam, bahkan menjadi salah satu barang yang memiliki nilai tinggi.

Cara Pembuatan gerabah


Pembuatan gerabah ternyata berkembang dari mulai yang sederhana ke tingkat yang lebih
kompleks, dalam bentuk yang sederhana dibuat dengan menggunakan tangan, bahkan yang
digunakan berupa campuran tanah liat dan langsung diberi bentuk dengan menggunakan
tangan. Teknik pembuatan gerabah semakin berkembang, pencetakan menggunakan
dengan menggunakan teknik cetak untuk jumlah masal dalam perkembangan ini,
pencetakan telah memiliki nilai seni, sisi gerabah sudah mulai dihias dengan menggunakan
warna.

Penemuan Gerabah
Berdasarkan hasil penyelidikan arkeologi, membuktikan bahwa benda gerabah mulai di
kenal pada masa bercocok tanam. Bukti-bukti tersebut berasal dari Kadenglebu
(Banyuwangi), Kalapadua (Bogor), Serpong (Tangerang), Kalumpang dan Minanga Sepakka
(Sulawesi), sekitar bekas Danau Bandung, Timur Leste, dan Poso (Minahasa). Dari temuan-
temuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa teknik pembuatan gerabah dari masa
bercocok tanam masih sederhana. Segala sesuatunya dikerjakan dengan tangan, sedangkan
penggunaan tatap batu dan roda pemutar pada umumnya dikenal masa perundagian pada
tingkat permulaan, ini belum banyak bukti-buktinya kecuali beberapa temuan dari
Tangerang dan di sekitar Danau Bandung. Temuan yang berasal dari kedua tempat yang
disebut terakhir ini akan mendekati sebuah hipotesis yang mungkin dapat berlaku di
kalangan kelompok-kelompok masyarakat bertani di Indonesia yang cendrung untuk
menggabungkan teknik tatap batu dengan teknik tangan pada tingkat permulaan.
Selanjutnya barulah berkembang pemakaian roda pemutar yang sederhana.

Perlu dicatat bahwa teknik pembuatan gerabah juga dikenal di Daratan Asia Tenggara
lainnya, misalnya Malaysia, Muang Thai, Cina, Taiwan, dan Jepang. Perkebangan gerabah di
tempat-tempat tersebut diperkirakan sejaman dengan perkembangan gerabah yang ada di
Indonesia.

Tempat-tempat Penemuan Gerabah


a. Kadenglembu (Jawa Timur)
Penelitian terhadap situs Kadenglembu dilakukan oleh Heekeren pada tahun 1941 dan
Soejono pada tahun 1969 menemukan sejumlah kereweng tidak berhias, di antaranya ada
yang memperlihatkan warna merah yang dipoleskan pada permukaan luarnya. Dalam
lapisan yang mengandung kereweng ini ditemukan sejumlah fragmen beliung setengah jadi,
batu asahan berfaset dan sejumlah besar pecahan batu. Di atas lapisan ini terdapat lapisan
yang lebih muda yang mengandung beberapa pecahan porselin, beberapa uang kepeng, dan
pecahan bata.

Bentuk gerabah yang ditemukan di Kedenglembu ini masih sederhana, karena sebagian
besar temuan berupa fragmen tepian dan badan dari periuk yang pada umumnya bentuknya
membulat. Periuk dengan bada bergigir sangat jarang dijumpai. Dari data yang terkumpul,
dapat kita ketahui tentang bentuk-bentuk periuk yang umumnya kebulat-bulatan dengan
tepian melipat ke luar. Dari bentuk semacam itu dapat pula kita duga bahwa gerabah seperti
itu dibuat oleh kelompok masyarakat petani yang selalu terikat dalam hubungan sosial-
ekonomi dan kegiatan ritual. Sifat-sifat individual tidak dapat berkembang pada pembuatan
gerabah di Kadenglembu.

b. Jawa Barat
Situs penemuan Kalapadua terletak di atas daratan di tebing kanan Sungai Ciliwung.
Sebagian gerabah yang ditemukan di tempat ini berada di permukaan tanah, hal
kemungkinan di akibat oleh erosi dan kegiatan pertanian penduduk setempat.

Dari daerah Kalapadua, ditemukan gerabah yang lebih banyak daripada yang ditemukan di
Kadenglembu. Dari hasil pengkajian ternyata gerabah yang ditemukan di Kalapadua lebih
baik dalam pembuatannya, akan tetapi memiliki kekurangan dalam hal pembakaran, dimana
pembakarannya kurang sempurna sehingga mengakibatkan gerabah yang ada di Klapadua
tidak bisa bertahan lama. Gerabah ditemukan dalam keadaan rapuh dan mudah pecah.
Hampir sebagian gerabah yang ditemukan di Klapadua telah terkikis sehingga
mengakibatkan pola hias yang pasti tidak bisa diketahui.

Dari hasil penemuan kita dapat memperkirakan bahwa kebudayaan yang berkembang di
Kalapadua berasal dari masa bercocok tanam. Hal ini diperkuat oleh beberapa temuan lain
yang berkaitan dengan masa bercocok tanam, seperti; pecahan beliung, batu asahan, gelang
dan alat-alat logam.

Ditinjau dari hasil penemuan yang ada di Klapadua, dapat diperkirakan kalu daerah ini
pernah menjadi tempat tinggal masyarakat yang menghasilkan kebudayaan kapak persegi.
Dari hasil temuan dapat diketahui bahwa gerabah yang dibuat di tempat itu berupa; periuk,
cawan, dan pedupaan (cawan berkaki).

a. Periuk
Temuan-temuan gerabah pada umumnya fragmentaris itu, kita kenal dua macam jenis
periuk yang memiliki tepian melekuk dan melipat keluar.
• Bentuk badan yang kebulat-bulatan,
• Jenis periuk dengan bergigir
Setelah di kumpulkan ternyata bentuk periuk ke bulat-bulatan ditemukan lebih banyak dari
bentuk yang bergigir. Kedua jenis periuk ini tidak di hias serta mempunyai alas cekung.

b. Cawan
Setelah di kumpulkan dan dikategorikan ternyata jenis cawan ada tiga macam, yaitu:
• Cawan beralas bulat dengan tepian langsung yang agak melengkung ke dalam.
• Cawan beralas rata dengan tepian langsung
• Cawan yang sama dengan yang pertama namun perbedaannya terletak pada diberi kaki
sehingga bentuknya seperti pedupaan.

Ketiga jenis cawan tersebut tidak memiliki hias. Yang menarik dari cawan-cawan tersebut
ialah cawan jenis ketiga yang mirip dengan pedupaan. Kaki dibuat terpisah dari badannya.
Bekas-bekas sambungannya masih tampak dan sering kali kedua bagian ini ditemukan dalam
keadaan terpisah. Untuk memperkuat sambungan itu, dibuat goresan pendek sedalam ½-1
mm pada bagian yang akan disambungkan dengan badan yang telah disiapkan terlebih
dahulu. Teknik menyambung seperti ini bukti-buktinya lebih terang terlihat pada jenis
pedupaan yang ditemukan di Buni (Bekasi).

Sekitar Danau Bandung


Gerabah yang ditemukan di sekitar Danau Bandung dikumpulkan oleh Jong dan Koenigswald
pada tahun 1941-1947. Adapun tempat-tempat penemuan gerabah di sekitar danau
Bandung yaitu dataran tinggi Dago Timur. Di dataran tinggi Dago Timur ini Rothpletz telah
mengumpulkan kereweng-kereweng yang jumlahnya banyak bersama-sama pecahan
obsidian, pecahan batu api, kuarsa, dan sisa-sisa tuangan besi.

Gerabah dari Bandung umumnya tebal-tebal (antara 5-20 mm), dan berwarna merah.
Tanda-tanda hiasan masih tampak, yaitu berupa goresan-goresan pola sisir dan pola tali,
tetapi pada umumnya polos dipoles dengan warna merah pada permukaan luarnya. Dari
fragmen-fragmen yang ditemukan dapat diperkirakan bentuk gerabah Dago Timur itu. Di
antaranya ada periuk yang badannya kebulat-bulatan dan ada pula yang memiliki puncak
bersudut dengan tepian melipat ke luar, ada juga fragmen alas yang rata, tetapi tidak banyak
jumlahnya.

c.Sulawesi Tengah
Peninggalan gerabah yang ditemukan di Sulawesi Tengah diperkirakan berasal dari masa
bercocok tanam, karena ditemukan bersama unsur-unsur beliung dan kapak yang diupam.
Situs penemun yang ada di Sulawesi Tenggara yaitu di daerah Minanga Sipakka yang terletak
di pinggir Sungai Karama.

Stein Callenfels yang pernah mengadakan penggalian di bukit Kamasi mengatakan bahwa
diantara gerabah yang ditemukan itu ada yang berasal dari masa protoneolitik, jadi
menjelang masa bercocok tanam. Heekeren membedakan gerabah kelumpang atas periode,
yaitu periode bercocok tanam ialah kereweng-kereweng polos dan beberapa kereweng
berhias bergores dengan pola garis pendek sejajar dan pola lingkaran. Kereweng yang
berpola geometris digolongkan ke dalam masa perundagian yang banyak persamaannya
dengan gerabah kompleks Sahuynh di Vietnam.

Gerabah yang ditemukan di Minanga Sepakka di temukan bersama dengan unsur kapak
lonjong dan alat pemukul kulit kayu dari batu. Gerabah dari tempat ini ada yang polos ada
juga yang berhias gores dengan pola lingkaran, segitiga (tumpal), belah ketupat, dan sering
di susun dalam komposisi pita-pita horizontal sekeliling badan. Menurut Heekeren, gerabah
dari Minanga Sepakka lebih tua dari gerabah yang berasal dari Kalumpang. Pendapat ini di
dasarkan pada nihilnya unsur beliung persegi di Minanga Sepakka. Namun apabila dilihat
dari pola lukisan yang ada dalam gerabah yang ditemukan dapat diperkirakan seusia atau
sejaman.

2. Alat Pemukul Kulit Kayu

Beberapa dari alat pemukul kulit kayu yang dibuat dari batu ditemukan di
Kalimantan (Ampah) dan Sulawesi Tengah (Kalumpang, Minanga Sipakka,
Langkoka, dan di Poso). Sebuah tipe dari alat ini berbentuk persegi panjang dengan
(panjang sekitaran 20 cm) dan terdiri dari gagang dan bagian pemukul. Bagian untuk
memukul kulit kayu ini memuat jalur – jalur cekung yang sejajar. Alat yang
ditemukan di Ampah dan Minanga Sipakka termasuk tipe tersebut yang ujung bagian
pemukulnya meruncing ke atas menyerupai tanduk. Sebuah tipe lain di temukan di
Kalumpang. Tipe ini berbentuk persegi panjang (panjang sekitaran 10 cm) serta tidak
adanya gagang. Permukaan bawahnya sebagai bagian pemukul berjalur – jalur cekung
sejajar. Bagian sisinya dicekungkan untuk memudahkan pengikatan pada tangkai
rotan. Tipe ini ditemukan di dalam dan di luar kalamba pada waktu ekskavasi yang
dilakukan oleh Haris Sukendar pada tahun 1976. Selain di Kalimantan dan Sulawesi,
Pemukul kulit kayu juga ditemukan di Kepulauan Filipina.
Sekarang, pemukul kulit kayu masih digunakan di Sulawesi dan Irian Jaya atau
Papua diantaranya ada yang bagian pemukulnya memuat cekung garis – garis silang.
Kegunaan alat ini adalah menyiapkan bahan pakaian dengan cara memukul – mukul
kulit kayu sampai halus.

Pada zaman ini, mereka telah mengenal dapat membuat pakaiannya dari kulit
kayu yang sederhana yang telah diperhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini dilakukan
oleh kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan dan
pantangan yang harus ditaati oleh si pembuatnya. Sebagai contoh di Kalimantan dan
Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu.
Hal ini menunukkan bahwa orang – orang zaman neolithikum sudah berpakaian.

3. Perhiasan

1) Pada masa awal bercocok tanam manusia pada masa itu sudah mengenal dan
mengenakan perhiasan seperti gelang dari batu dan juga perhiasan dari kulit
kerang. Perhiasan pada zaman prasejarah itu diketemukan di Jawa Barat, Jawa
Tengah dan daerah lainnya. Berdasarkan hasil temuan dan peneliatn para
arkeolog, kita dapat mengetahui bagaimana bentuk bahkan bisa sampai
mendeskripsikan cara pembuatan perhiasan zaman prasejarah tersebut.

Manusia dalam kehidupannya tidak terlepas dari yang namanya keindahan.


Pehiasan merupakan salah satu benda yang dipergunakan untuk menghias
atau memperindah tubuh manusia.

2) Dari beberapa temuan yang ada dapat kita ketahui sedikit cara pembuatan
benda-benda itu. Untuk membuat gelang ini, pertama-tama bahan batu
dipukul-pukul sehingga diperoleh bentuk bulatan gepeng. Permukaan bawah
dan alas yang rata kemudian di-cekung-kan dan bertemu menjadi sebuah
lubang. Dengan cara menggosok dan mengasah, diperoleh gelang yang
dikehendaki.

Pengupaman lebih lanjut dari sisi-sisi gelang dengan batu asah. Alat
pengupamnya berbentuk lonjong meruncing dibuat dari batuan fosil kayu.
Pembuatan gelang seperti ini terbukti dari temuan-temuan di Tasikmalaya,
Jawa Barat, yang menunjukkan tahap-tahap pengerjaannya. Laporan dari
Tasikmalaya memberikan keterangan bahwa bahan gelang itu terdiri atas
batu pilihan seperti agat, kalsedon, dan jaspis bewarna putih, kuning, coklat,
merah, dan hijau.

Setelah dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang gelang hasil


penemuan dari zaman prasejarah, diperoleh keterangan bermacam-macam
ukuran, yang bergaris tengah antara 24-54 mm dengan tebal 6-17 mm.
Dilihat dari ukuran tersebut, dugaan tentang kemungkinan adanya ukuran
yang lebih kecil. Dipergunakan sebagai benda zimat yang mengandung
kekuatan magis atau bisa digunakan sebagai anting-anting. Daerah lain di
Jawa Barat yang berhasil ditemukan perhiasan adalah Cirebon Timur dan
Bandung bagian barat. Temuan dari tempat-tempat ini hanya berupa gelang-
gelang yang sudah jadi.

Koenigswald melakukan penelitian di Surakarta tentang gelang-gelang dari


kulit kerang. Bersama-sama dengan sejumlah temuan lain seperti manik-
manik dari kulit kerang dan beliung-beliung persegi. Untuk mengetahui
bagaimana cara pembuatannya kita bisa membandingkannya dengan
kerajinan tradisional yang sama pada masa sekarang.

3) Studi perbandingan ini akan menghasilkan gambaran mengenai kehidupan


pada masa lalu, walau itu memang bukan representasi dari yang sebenarnya.
Sebagai contoh, pembuatan gelang dari kulit kerang yang ditemukan di
Surakarta diperkirakan dengan mengurdi seperti yang dikenal di Luzon Utara
sekarang.

Bahan kulit kerang yang digunakan ternyata tidak semua kulit kerang bisa
digunakan. Jenis kulit kerang yang banyak digunakan adalah jenis Tridacna,
digurdi dengan gurdi bambu dari kedua belah permukaan. Gurdi itu diputar
dengan bantuan seutas tali di bagian yang terlebih dahulu diberi air dan pasir.

4) Cara menggurdi ini juga dipergunakan untuk mengerjakan gelang-gelang batu


yang ditemukan di Malaysia dan Thailand seperti yang di paparkan oleh
M.W.F. Tweedie.

Tempat-tempat penemuan gelang perhiasan prasejarah di wilayah Indonesia


adalah Limbasari, Kabupaten Purbalingga. Selain di Indonesia, gelang-gelang
juga ditemukan di Szechwan, Fongtien, Siberia, Jepang, Korea, Jehor,
Chahor, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Honan, Pulau Lamma, dan
Taiwan.

Anda mungkin juga menyukai