Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hemorrhoid atau lebih dikenal dengan nama wasir atau ambeien,

bukan merupakan suatu keadaan yang patologis (tidak normal), namun bila sudah

mulai menimbulkan keluhan, harus segera dilakukan tindakan untuk

mengatasinya. Hemorrhoid dari kata ''haima'' dan ''rheo''. Dalam medis,

berarti pelebaran pembuluh darah vena (pembuluh darah balik) di dalam

pleksus hemorrhoidalis yang ada di daerah anus. Dibedakan menjadi 2,

yaitu hemorrhoid interna dan hemorrhoid eksterna yang pembagiannya

berdasarkan letak pleksus hemorrhoidalis yang terkena ( Murbawani, 2006).

Hemorrhoid menyebabkan perdarahan, pembengkakan, dan nyeri pada kanalis

anal (Dorland, 2011).

Hemorrhoid merupakan penyebab umum dari perdarahan rektum dan

ketidaknyamanan anal. Berdasarkan data dari The National Center of Health

Statistics di Amerika Serikat, prevalensi hemorrhoid sekitar 4,4% (Buntzen

et al., 2013). Di Mesir, hemorrhoid dianggap penyakit daerah anus tersering

dengan prevalensi tinggi hampir 50% dari kunjungan proctological di Unit

Kolorektal (Ali et al., 2011). Belum banyak data mengenai prevalensi

hemorrhoid di Indonesia. Namun dari penelitian yang telah dilakukan di

RSUP H. Adam Malik Medan, jumlah pasien yang didiagnosis hemorhroid


pada tahun 2009-2011 berjumlah 166 orang dengan prevalensi 69,17%

(Wandari, 2011). Sedangkan, pasien yang menderita hemoroid di RSUD Dokter

Soedarso Pontianak pada tahun 2009-2012 berjumlah 113 orang (Putra, 2013).

Hemorrhoid merupakan penyakit yang cukup banyak ditemukan

dalam praktik sehari-hari, namun sudah dalam keadaan lanjut. Hemoroid

merupakan jaringan normal pada setiap orang. Namun, hemoroid dapat

menimbulkan gejala dan ketidaknyamanan karena banyak faktor (Riwanto,

2010). Beberapa faktor risiko terjadinya hemoroid antara lain adalah

keturunan, kurangnya makan makanan yang berserat, kurang minum air,

proses mengedan yang sulit, pola buang air besar yang salah (lebih

menggunakan jamban duduk & terlalu lama duduk di jamban), adanya

tekanan intraabdomen yang meningkat karena kehamilan, usia tua, konstipasi

kronik, kurang olahraga dan pergerakan minimal (Simadibrata, 2009).

Faktor risiko kejadian lainnya adalah aktivitas fisik. Aktivitas fisik

dapat dipengaruhi oleh pekerjaan. Orang-orang dengan pekerjaan terlalu lama

duduk, terlalu lama berdiri atau pekerjaan berat seperti kuli berada pada

risiko tinggi untuk kejadian hemoroid (Ansari et al, 2014). Seseorang dengan

pekerjaan yang berat tentu akan memiliki aktivitas fisik yang berat pula.

Aktivitas fisik berat memiliki risiko 2,79 kali terhadap kejadian hemoroid

(Nugroho, 2014).
1.2 Tujuan

Untuk menguraikan teori-teori mengenai hemorrhoid, mulai dari definisi

hingga diagnosis, serta tatalaksana. Penyusunan makalah ini sekaligus untuk

memenuhi persyaratan pelaksanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter

(P3D) di Departemen Bedah RSUD Pringadi Medan.

1.3 Manfaat

Makalah ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan serta


pemahaman penulis dan pembaca, khususnya peserta P3D untuk lebih mengenal
dan memahami Hemorrhoid tentang penegakan diagnosis serta tatalaksana yang
sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Anal Canal

Anal canal adalah akhir dari usus besar dengan panjang 4 cm dari rektum

hingga orifisium anal. Setengah bagian ke bawah dari anal canal dilapisi

oleh epitel skuamosa dan setengah bagian ke atas oleh epitel kolumnar.

Pada bagian yang dilapisi oleh epitel kolumnar tersebut membentuk lajur

mukosa (lajur morgagni). Suplai darah bagian atas anal canal berasal dari

pembuluh rektal superior sedangkan bagian bawahnya berasal dari pembuluh

rektal inferior. Kedua pembuluh tersebut merupakan percabangan pembuluh

darah rektal yang berasal dari arteri pudendal interna. Arteri ini adalah salah

satu cabang arteri iliaka interna. Arteri-arteri tersebut akan membentuk pleksus

disekitar orifisium anal.

Hemorrhoid adalah bantalan vaskular yang terdapat di anal canal

yang biasanya ditemukan di tiga daerah utama yaitu kiri samping, kanan

depan, dan bagian kanan belakang. Hemorrhoid berada dibawah lapisan epitel

anal canal dan terdiri dari plexus arteriovenosus terutama antara cabang

terminal arteri rektal superior dan arteri hemoroid superior. Selain itu

hemoroid juga menghubungkan antara arteri hemoroid dengan jaringan sekitar.


Gambar 2.1.
Anatomi anal canal yang memperlihatkan pleksus hemoroid internal daneksternal
( Penninger dan Zainea, 2001).

Persarafan pada bagian atas anal canal disuplai oleh plexus otonom,

bagian bawah dipersarafi oleh saraf somatik rektal inferior yang merupakan akhir

percabangan saraf pudendal (Snell, 2006).

2.2 Definisi Hemorrhoid

Hemorrhoid adalah kumpulan dari pelebaran satu segmen atau lebih vena

hemoroidalis di daerah anorektal. Hemorrhoide atau wasir merupakan salah

satu dari gangguan sirkulasi darah. Gangguan tersebut dapat berupa

pelebaran (dilatasi) vena yang disebut venectasia atau varises daerah anus

dan perianus yang disebabkan oleh bendungan dalam susunan pembuluh


vena. Mekanisme terjadinya hemorrhoid belum diketahui secara jelas .

Hemorrhoid sangat umum dan berhubungan dengan peningkatan tekanan

hidrostatik pada sistem porta, seperti selama kehamilan, mengejan waktu

berdefekasi, atau dengan sirosis hepatis (Isselbacher, 2000).

Plexus hemorrhoid merupakan pembuluh darah normal yang terletak

pada mukosa rektum bagian distal dan anoderm. Gangguan pada hemoroid

terjadi ketika plexus vaskular ini membesar. Sehingga kita dapatkan

pengertiannya dari “hemorrhoid adalah dilatasi varikosus vena dari plexus

hemorrhoidal inferior dan superior” (Dorland, 2002).

2.3 Faktor Resiko Hemorrhoid

1. Keturunan: dinding pembuluh darah yang tipis dan lemah.

2. Anatomi: vena daerah anorektal tidak mempunyai katup dan pleksus

hemorrhoidalis kurang mendapat sokongan otot atau fasi sekitarnya.

3. Pekerjaan: orang yang harus berdiri atau duduk lama, atau harus

mengangkat barang berat, mempunyai predisposisi untuk hemorrhoid.

4. Umur: pada umur tua timbul degenerasi dari seluruh jaringan tubuh,

otot sfingter menjadi tipis dan atonis.

5. Endokrin: misalnya pada wanita hamil ada dilatasi vena ekstremitas

anus (sekresi hormone relaksin).


6. Mekanis: semua keadaan yang mengakibatkan timbulnya tekanan

meninggi dalam rongga perut, misalnya pada penderita hipertrofi

prostate.

7. Fisiologis: bendungan pada peredaran darah portal, misalnya pada

derita dekompensasio kordis atau sirosis hepatic.

8. Radang adalah faktor penting, yang menyebabkan vitalitas jaringan

di daerah berkurang.

2.4 Patogenesis Hemorrhoid

Anal canal memiliki lumen triradiate yang dilapisi bantalan (cushion) atau

alas dari jaringan mukosa. Bantalan ini tergantung di anal canal oleh jaringan ikat

yang berasal dari sfingter anal internal dan otot longitudinal. Di dalam tiap

bantalan terdapat plexus vena yang diperdarahi oleh arteriovenosus. Struktur

vaskular tersebut membuat tiap bantalan membesar untuk mencegah

terjadinya inkontinensia (Nisar dan Scholefield, 2003).

Efek degenerasi akibat penuaan dapat memperlemah jaringan

penyokong dan bersamaan dengan usaha pengeluaran feses yang keras secara

berulang serta mengedan akan meningkatkan tekanan terhadap bantalan

tersebut yang akan mengakibatkan prolapsus. Bantalan yang mengalami

prolapsus akan terganggu aliran balik venanya. Bantalan menjadi semakin

membesar dikarenakan mengedan, konsumsi serat yang tidak adekuat,


berlama-lama ketika buang air besar, serta kondisi seperti kehamilan yang

meningkatkan tekanan intra abdominal. Perdarahan yang timbul dari

pembesaran hemoroid disebabkan oleh trauma mukosa lokal atau inflamasi

yang merusak pembuluh darah di bawahnya (Acheson dan Schofield, 2006).

Taweevisit dkk (2008) menyimpulkan bahwa sel mast memiliki peran

multidimensional terhadap patogenesis hemoroid, melalui mediator dan

sitokin yang dikeluarkan oleh granul sel mast. Pada tahap awal

vasokonstriksi terjadi bersamaan dengan peningkatan vasopermeabilitas dan

kontraksi otot polos yang diinduksi oleh histamin dan leukotrin. Ketika

vena submukosal meregang akibat dinding pembuluh darah pada hemoroid

melemah, akan terjadi ekstravasasi sel darah merah dan perdarahan. Sel mast

juga melepaskan platelet-activating factor sehingga terjadi agregasi dan

trombosis yang merupakan komplikasi akut hemoroid.

Pada tahap selanjutnya hemoroid yang mengalami trombosis akan

mengalami rekanalisasi dan resolusi. Proses ini dipengaruhi oleh kandungan

granul sel mast. Termasuk diantaranya tryptase dan chymase untuk degradasi

jaringan stroma, heparin untuk migrasi sel endotel dan sitokin sebagai

TNFα serta interleukin 4 untuk pertumbuhan fibroblas dan proliferasi.

Selanjutnya pembentukan jaringan parut akan dibantu oleh basic fibroblast growth

factor dari sel mast.


2.5 Klasifikasi hemorrhoid

Hemoroid diklasifikasikan berdasarkan asalnya, dimana dentate line

menjadi batas histologis. Klasifikasi hemoroid yaitu:

a. Hemoroid eksternal, berasal dari dari bagian distal dentate line dan

dilapisi oleh epitel skuamos yang telah termodifikasi serta banyak

persarafan serabut saraf nyeri somatik

b. Hemoroid internal, berasal dari bagian proksimal dentate line dan

dilapisi mukosa.

c. Hemoroid internal-eksternal dilapisi oleh mukosa di bagian

superior dan kulit pada bagian inferior serta memiliki serabut saraf

nyeri (Corman,

2004)

Menurut Person (2007), hemoroid internal diklasifikasikan menjadi beberapa

tingkatan yakni:

a. Derajat I, hemoroid mencapai lumen anal canal.

b. Derajat II, hemoroid mencapai sfingter eksternal dan tampak pada

saat pemeriksaan tetapi dapat masuk kembali secara spontan.

c. Derajat III, hemoroid telah keluar dari anal canal dan hanya dapat

masuk kembali secara manual oleh pasien.


d. Derajat IV, hemoroid selalu keluar dan tidak dapat masuk ke anal

canal meski dimasukkan secara manual.

2.6 Gejala klinis hemorrhoid

Gejala klinis hemoroid dapat dibagi berdasarkan jenis hemoroid (Villalba dan

Abbas, 2007) yaitu:

a. Hemoroid internal

1. Prolaps dan keluarnya mukus

2. Perdarahan

3. Rasa tak nyaman

4. Gatal

b. Hemoroid eksternal

1. Rasa terbakar

2. Nyeri ( jika mengalami trombosis)

3. Gatal

2.7 Diagnosis Hemoroid

Diagnosis pada hemoroid meliputi:

a. Anamnesis Hemoroid

Pada anamnesis biasanya didapati bahwa pasien menemukan adanya darah


segar pada saat buang air besar. Selain itu pasien juga akan mengeluhkan adanya

gatal-gatal pada daerah anus. Pada derajat II hemoroid internal pasien akan

merasakan adanya masa pada anus dan hal ini membuatnya tak nyaman.

Pasien akan mengeluhkan nyeri pada hemoroid derajat IV yang telah

mengalami trombosis (Canan, 2002).

Perdarahan yang disertai dengan nyeri dapat mengindikasikan

adanya trombosis hemoroid eksternal, dengan ulserasi thrombus pada kulit.

Hemoroid internal biasanya timbul gejala hanya ketika mengalami prolapsus

sehingga terjadi ulserasi, perdarahan, atau trombosis. Hemoroid eksternal bisa

jadi tanpa gejala atau dapat ditandai dengan rasa tak nyaman, nyeri akut,

atau perdarahan akibat ulserasi dan trombosis ( Wexner, Person, dan Kaidar-

person, 2006)

b. Pemeriksaan Fisik Hemoroid

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya pembengkakan vena

yang mengindikasikan hemoroid eksternal atau hemoroid internal yang

mengalami prolaps. Hemoroid internal derajat I dan II biasanya tidak dapat

terlihat dari luar dan cukup sulit membedakannya dengan lipatan mukosa

melalui pemeriksaan rektal kecuali hemoroid tersebut telah mengalami trombosis

(Canan, 2002).

Daerah perianal juga diinspeksi untuk melihat ada atau tidaknya

fisura,fistula, polip, atau tumor. Selain itu ukuran, perdarahan, dan tingkat

keparahan inflamasi juga harus dinilai (Nisar dan Scholefield, 2003).


Gambar 2.2. menunjukkan hemoroid yang mengalami trombosis

3. Pemeriksaan Penunjang Hemoroid

Anal canal dan rektum diperiksa dengan menggunakan anoskopi dan

sigmoidoskopi. Anoskopi dilakukan untuk menilai mukosa rektal dan

mengevaluasi tingkat pembesaran hemoroid (Halverson, 2007). Side-viewing

pada anoskopi merupakan instrumen yang optimal dan tepat untuk

mengevaluasi hemoroid. Allonso-Coello dan Castillejo (2003) dalam Kaidar-

Person, Person, dan Wexner (2007) menyatakan bahwa ketika dibandingkan

dengan sigmodoskopi fleksibel, anoskopi mendeteksi dengan presentasi lebih

tinggi terhadap lesi di daerah anorektal.

Gejala hemoroid biasanya bersamaan dengan inflamasi pada anal

canal dengan derajat berbeda. Dengan menggunakan sigmoidoskopi, anus dan

rektum dapat dievaluasi untuk kondisi lain sebagai diagnosa banding untuk

perdarahan rektal dan rasa tak nyaman seperti pada fisura anal dan fistula, kolitis,

polip rektal, dan kanker. Pemeriksaan dengan menggunakan barium enema


X-ray atau kolonoskopi harus dilakukan pada pasien dengan umur di atas 50

tahun dan pada pasien dengan perdarahan menetap setelah dilakukan

pengobatan terhadap hemoroid (Canan, 2002).

2.8 Penatalaksanaan Hemoroid

1. Penatalaksanaan Konservatif

Sebagian besar kasus hemoroid derajat I dapat ditatalaksana dengan

pengobatan konservatif. Tatalaksana tersebut antara lain koreksi konstipasi

jika ada, meningkatkan konsumsi serat, laksatif, dan menghindari obat-obatan

yang dapat menyebabkan kostipasi seperti kodein (Daniel, 2010). Penelitian

meta-analisis akhir-akhir ini membuktikan bahwa suplemen serat dapat

memperbaiki gejala dan perdarahan serta dapat direkomendasikan pada

derajat awal hemoroid (Zhou dkk, 2006). Perubahan gaya hidup lainnya

seperti meningkatkan konsumsi cairan, menghindari konstipasi dan

mengurangi mengejan saat buang air besar dilakukan pada penatalaksanaan

awal dan dapat membantu pengobatan serta pencegahan hemoroid, meski

belum banyak penelitian yang mendukung hal tersebut.

Kombinasi antara anestesi lokal, kortikosteroid, dan antiseptik dapat

mengurangi gejala gatal-gatal dan rasa tak nyaman pada hemoroid.

Penggunaan steroid yang berlama-lama harus dihindari untuk mengurangi

efek samping. Selain itu suplemen flavonoid dapat membantu mengurangi

tonus vena, mengurangi hiperpermeabilitas serta efek antiinflamasi meskipun

belum diketahui bagaimana mekanismenya (Acheson dan Scholrfield, 2008).


2. Pembedahan

Hemoroid internal derajat I yang tidak membaik dengan

penatalaksanaan konservatif maka dapat dilakukan tindakan pembedahan.

HIST (Hemorrhoid Institute of South Texas) menetapkan indikasi tatalaksana

pembedahan hemoroid antara lain:

a. Hemoroid internal derajat II berulang.

b. Hemoroid derajat III dan IV dengan gejala.

c. Mukosa rektum menonjol keluar anus.

d. Hemoroid derajat I dan II dengan penyakit penyerta seperti fisura.

e. Kegagalan penatalaksanaan konservatif.

f. Permintaan pasien.

Pembedahan yang sering dilakukan yaitu:

1. Skleroterapi. Teknik ini dilakukan menginjeksikan 5 mL oil phenol 5 %,

vegetable oil, quinine, dan urea hydrochlorate atau hypertonic salt solution.

Lokasi injeksi adalah submukosa hemoroid. Efek injeksi sklerosan tersebut

adalah edema, reaksi inflamasi dengan proliferasi fibroblast, dan trombosis

intravaskular. Reaksi ini akan menyebabkan fibrosis pada sumukosa

hemoroid. Hal ini akan mencegah atau mengurangi prolapsus jaringan

hemoroid (Kaidar-Person dkk, 2007).


2. Rubber band ligation. Ligasi jaringan hemoroid dengan rubber band

menyebabkan nekrosis iskemia, ulserasi dan scarring yang akan menghsilkan

fiksasi jaringan ikat ke dinding rektum. Komplikasi prosedur ini adalah nyeri

dan perdarahan.

3. Infrared thermocoagulation. Sinar infra merah masuk ke jaringan dan berubah

menjadi panas. Manipulasi instrumen tersebut dapat digunakan untuk

mengatur banyaknya jumlah kerusakan jaringan. Prosedur ini menyebabkan

koagulasi, oklusi, dan sklerosis jaringan hemoroid. Teknik ini singkat dan

dengan komplikasi yang minimal.

4. Bipolar Diathermy. Menggunakan energi listrik untuk mengkoagulasi

jaringan hemoroid dan pembuluh darah yang memperdarahinya. Biasanya

digunakan pada hemoroid internal derajat rendah.

5. Laser haemorrhoidectomy.

6. Doppler ultrasound guided haemorrhoid artery ligation. Teknik ini

dilakukan dengan menggunakan proktoskop yang dilengkapi dengan doppler

probe yang dapat melokalisasi arteri. Kemudian arteri yang memperdarahi

jaringan hemoroid tersebut diligasi menggunakan absorbable suture.

Pemotongan aliran darah ini diperkirakan akan mengurangi ukuran hemoroid.

7. Cryotherapy. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan temperatur yang

sangat rendah untuk merusak jaringan. Kerusakan ini disebabkan kristal yang

terbentuk di dalam sel, menghancurkan membran sel dan jaringan. Namun

prosedur ini menghabiskan banyak waktu dan hasil yang cukup


mengecewakan. Cryotherapy adalah teknik yang paling jarang dilakukan untuk

hemoroid (American Gastroenterological Association, 2004).

8. Stappled Hemorrhoidopexy. Teknik dilakukan dengan mengeksisi jaringan

hemoroid pada bagian proksimal dentate line. Keuntungan pada stappled

hemorrhoidopexy adalah berkurangnya rasa nyeri paska operasi selain itu teknik

ini juga aman dan efektif sebagai standar hemorrhoidectomy (Halverson,

2007).

2.9 Pencegahan hemorrhoid

Pencegahan dapat dilakukan dengan mencegah faktor yang dapat

menyebabkan terjadinya hemorrhoid dengan minum yang cukup, makan

cukup sayuran, dan buah -buahan, sehingga kotoran kita tidak mengeras.

Kebiasaan malas minum, tidak hanya akan membuat hemorrhoid, ginjal juga

lama kelamaan akan dapat terganggu oleh karena kurangnya cairan dalam

tubuh. Usahakan minum yang cukup, imbangi dengan olah raga, sehingga

perut tidak mual saat minum ai r putih. Makan makanan yang banyak

mengandung serat, seperti buah dan sayuran. Makanan yang banyak mengandung

serat juga akan memberikan manfaat mengurangi penyerapan lemak sehingga

kolesterol menjadi aman ( Gotera, 2006). Banyak melakukan olah raga, seperti

jalan kaki, tidak duduk terlalu lama dan tidak berdiri terlalu lama

(Merdikoputro, 2006).
BAB III

KESIMPULAN

Hemorrhoid adalah varikositis akibat pelebaran (dilatasi) pleksus vena

hemorrhoidalis interna. Hemorrhoid dibagi atas hemorrhoid interna bila

pembengkakan vena pada pleksus hemorrhoidalis interna, hemorrhoid

eksterna apabila terjadi pembengkakan di pleksus hemorrhoidalis ekterna.

Hemorrhoid interna jika varises yang terletak pada submukosa terjadi

proksimal terhadap otot sphincter anus. Letaknya distal dari linea pectinea

dan diliputi oleh kulit biasa di dalam jaringan di bawah epitel anus, yang berupa

benjolan karena dilatasi vena hemorrhoidalis.

Faktor risiko hemorrhoid, yaitu; keturunan, anatomic, pekerjaan, umur,

endokrin, mekanis, fisiologis, dan radang. Gejala klinis hemorrhoid, yaitu;

darah di anus, prolaps, perasaan tidak nyaman pada anus (mungkin pruritus

anus), pengeluaran lendir, anemia sekunder (mungkin), tampak kelainan khas

pada inspeksi, gambaran khas pada anoskopi, atau rektoskopi. Terapi

hemorrhoid derajat I dan II terapi yang diberikan berupa terapi lokal dan

himbauan tentang perubahan pola makan. Dianjurkan untuk banyak

mengonsumsi sayur-sayuran dan buah yang banyak mengandung air. derajat

III dan IV, terapi yang dipilih adalah terapi bedah yaitu dengan

hemoroidektomi. Terapi ini bisa juga dilakukan untuk pasien yang sering

mengalami perdarahan berulang, sehingga dapat sebabkan anemia, ataupun


untuk pasien yang sudah mengalami keluhan-keluhan tersebut bertahun -

tahun. Pencegahan dapat dilakukan dengan mencegah faktor yang dapat

menyebabkan terjadinya hemorrhoid dengan minum yang cukup, makan

cukup sayuran, dan buah-buahan, sehingga kotoran kita tidak mengeras.

Anda mungkin juga menyukai