Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

PERAN POLITIK KESEHATAN DALAM MENCAPAI INDONESIA SEHAT 2020

TUGAS INDIVIDU

Nama : Rudi Hatta

NIM : 1811015092

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2019
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada kelompok kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul :“ Politik dalam Kesehatan”
Kami menyadari bahwa didalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya
dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik
dan oleh karena itu dengan rendah hati kami berharap kepada pembaca untuk memberikan
masukan, saran dan kiritik yang sifatnya membangun guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Berau, Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................................. i
Kata Pengantar ............................................................................................................ ii
Daftar Isi ......................................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan
BAB II. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Politik, Kesehatan dan Politik Kesehatan
2.2. Hubungan politik dan kesehatan
2.3. Pengaruh Politik Beserta Contohnya Terhadap Kesehatan
2.4. kebijakan kesehatan dan analisis kebijakan
2.5. Masalah politik dan kesehatan
2.6. Strategi dan Esensi Politik Kesehatan
2.7. Politik Kesehatan di Indonesia
2.7 . Peran Politik kesehatan dalam mencapai Indonesia sehat 2020
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan ..............................................................................................................
Saran ..........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan adalah bagian dari politik oleh karena pelayanan kesehatan merupakan pelayanan
publik yang seyogianya tidak hanya dijadikan sebagai kendaraan politik para calon atau kandidat
kepala daerah. (Bambra et all, 2005). Sebuah studi yang dilakukan Navarro et all pada tahun
2006 meneguhkan korelasi antara ideologi politik suatu pemerintahan terhadap derajat kesehatan
masyarakatnya, melalui kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintahan tersebut. Konsep
kesehatan yang dianut pemerintah kita saat ini, berbuah pembangunan kesehatan yang berbentuk
pelayanan kesehatan individu, ketimbang layanan kesehatan komunitas yang lebih luas,
program-program karitas yang bersifat reaktif seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) atau pengobatan gratis dan Jampersal.
Dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 bagian Pembukaan butir b (menimbang);
disebutkan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip
nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya
manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan. Hal
ini menunjukkan pentingnya pembangunan kesehatan dalam bentuk peningkatan derajat
kesehatan masyarakat untuk mempersiapkan manusia Indonesia yang berkualitas dan berdaya
saing .
Indikator peningkatan derajat kesehatan antara lain adalah meningkatnya usia harapan hidup,
menurunnya angka kematian ibu, angka kematian bayi dan balita, serta angka kesakitan
(morbiditas). Boleh jadi indikator ini terus menampakkan grafik membaik. Transparansi tidak
hanya menyangkut masalah keuangan, namun transparansi dalam informasi atas pelayanan
publik
Sebagai contoh, data mengenai jumlah penderita gizi buruk, jumlah penduduk miskin,
rasio jumlah penduduk dengan jumlah sarana kesehatan dan prosedur pelayanan dasar maupun
rujukan hendaknya diberikan pada publik secara transparan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, tidak bisa tidak, negara harus berperan aktif. Mengutip
Release Media Indonesia tentang Politik dan kesejahteraan rakyat , Politik kesehatan adalah
kebijakan negara di bidang kesehatan. Yakni kebijakan publik yang didasari oleh hak yang
paling fundamental, yaitu sehat merupakan hak warga negara.Untuk mewujudkan hak rakyat itu,
jelas diperlukan keputusan politik yang juga sehat, yang diambil oleh pemerintahan yang juga
sehat secara politik. Dengan kata lain, politik kesehatan ditentukan oleh sehat tidaknya politik
negara. Hanya pemerintahan dan DPR yang sakit-sakitan yang senang dan membiarkan
rakyatnya juga sakit-sakitan. Karena sehat merupakan hak rakyat, dan negara pun tak ingin
rakyatnya sakit-sakitan, diambillah keputusan politik yang juga sehat. Yaitu, anggaran untuk
kesehatan rakyat mendapatkan porsi yang besar, sangat besar, karena negara tidak ingin
rakyatnya sakit-sakitan.
1.2 Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pada
makalah ini adalah:
1. Pengertian politik dan Politik Kesehatan ?
2. Pengaruh politik terhadap kesehatan?
3. Strategi dan esensi politik kesehatan?
4. Politik Kesehatan dan kemiskinan ?
5. Bagaimana politik kesehatan di Indonesia?

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui Pengertian Politik dan Pengertian Politik Kesehatan
2. Mengetahui Pengaruh politik terhadap kesehatan
3. Mengetahui Strategi dan esensi politik kesehatan
4. Mengetahui Politik Kesehatan dan kemiskinan
5. Mengetahui perkembangan politik kesehatan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Politik, Kesehatan dan Politik Kesehatan


1. Pengertian Politik
Perkataan politik berasal dari bahasa Yunani yaitu Polistaia, Polis berarti kesatuan
masyarakat yang mengurus diri sendiri/berdiri sendiri (negara), sedangkan taia berarti
urusan. Dari segi kepentingan penggunaan, kata politik mempunyai arti yang berbeda-beda.
Untuk lebih memberikan pengertian arti politik disampaikan beberapa arti politik dari segi
kepentingan penggunaan, yaitu :
a. Dalam arti kepentingan umum (politics)
Politik dalam arti kepentingan umum atau segala usaha untuk kepentingan umum, baik
yang berada dibawah kekuasaan negara di Pusat maupun di Daerah, lazim disebut Politik
(Politics) yang artinya adalah suatu rangkaian azas/prinsip, keadaan serta jalan, cara dan
alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan yang kita
kehendaki disertai dengan jalan, cara dan alat yang akan kita gunakan untuk mencapai
keadaan yang kita inginkan
b. Dalam arti kebijaksanaan (Policy)
Politik adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang yang dianggap
lebih menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita/keinginan atau keadaan yang kita
kehendaki.
c. Jadi politik menurut kami adalah Suatu ilmu dan seni mengelola peran untuk
mencapai tujan yang dicapai.
2. Pengertian Kesehatan
Kesehatan adalah kondisi umum dari seseorang dalam semua aspek. Ini juga
merupakan tingkat fungsional dan atau efisiensi metabolisme organisme, sering secara
implisit manusia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mendefinisikan kesehatan
didefinisikan sebagai "keadaan lengkap fisik, mental, dan kesejahteraan sosial dan bukan
hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan"
Kesehatan adalah konsep yang positif menekankan sumber daya sosial dan pribadi,
serta kemampuan fisik. Secara keseluruhan kesehatan dicapai melalui kombinasi dari fisik,
mental, dan kesejahteraan sosial, yang, bersama-sama sering disebut sebagai "Segitiga
Kesehatan"
3. Pengertian Politik Kesehatan
Politik Kesehatan adalah Ilmu dan seni untuk memperjuangkan derajat kesehatan
masyarakat dalam satu wilayah melalui sebuah sistem ketatanegaraan yang dianut dalam
sebuah wilayah atau negara. Untuk meraih tujuan tersebut diperlukan kekuasaan.
Kekuasaan tersebut kelak digunakan untuk mendapat kewenangan yang diperlukan untuk
mencapai cita-cita dan tujuan. Oleh karena itu derajat kesehatan masyarakat yang
diidamkan adalah merupakan sebuah tujuan yang di inginkan seluruh rakyat banyak, maka
derajat kesehatan hendaknya diperjuangkan melalui sistem dan mekanisme politik.
Bambra et al (2005) dan Fahmi Umar (2008) mengemukakan mengapa kesehatan itu
adalah politik, karena dalam bidang kesehatan adanya disparitas derajat kesehatan
masyarakat, dimana sebagian menikmati kesehatan sebagian tidak. Oleh sebab itu, untuk
memenuhi equity atau keadilan harus diperjuangkan. Kesehatan adalah bagian dari Politik
karena derajat kesehatan atau masalah kesehatan ditentukan oleh kebijakan yang dapat
diarahkan atau mengikuti kehendak (amenable) terhadap intervensi kebijakan politik.
Kesehatan bagian dari politik karena kesehatan adalah Hak Asasi manusia.
2.2 Hubungan politik dan kesehatan
Politik kesehatan adalah kebijakan negara di bidang kesehatan. Yakni kebijakan publik
yang didasari oleh hak yang paling fundamental, yaitu sehat merupakan hak warga negara.
Sehingga dalam pengambilan keputusan politik khususnya kesehatan berpengaruh terhadap
kesehatan masyarakat sebaliknya politik juga dipengaruhi oleh kesehatan dimana jika derajat
kesehatan masyarakat meningkat maka akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat
2.3 Pengaruh Politik Beserta Contohnya Terhadap Kesehatan
1. Pengaruh Politik Terhadap Kesehatan
Penentuan kebijakan di bidang kesehatan memang merupakan sebuah sistem yang
tidak lepas dari keadaan disekitarnya yaitu politik. Oleh karena itu, kebijakan yang
dihasilkan merupakan produk dari serangkaian interaksi elit kunci dalam setiap proses
pembuatan kebijakan termasuk tarik-menarik kepentingan antara aktor, interaksi
kekuasaan, alokasi sumber daya dan bargaining position di antara elit yang terlibat. Proses
pembentukan kebijakan tidak dapat menghindar dari upaya individual atau kelompok
tertentu yang berusaha mempengaruhi para pengambil keputusan agar suatu kebijakan
dapat lebih menguntungkan pihaknya. Semua itu, merupakanmanifestasi dari kekuatan
politik (power) untuk mempertahankan stabilitas dankepentingan masing-masing aktor.
Bahkan tak jarang terjadi pula intervensi kekuasaan dan tarik-menarik kepentingan politis
dari pemegang kekuasaan atau aktor yang memiliki pengaruh dalam posisi politik.
Politik Kesehatan adalah Ilmu dan seni untuk memperjuangkan derajat kesehatan
masyarakat dalam satu wilayah melalui sebuah sistem ketatanegaraan yang dianut dalam
sebuah wilayah atau negara untuk menciptakan masyarakat dan lingkungan sehat secara
keseluruhan. Untuk meraih tujuan tersebut diperlukan kekuasaan. Dengan kekuasaan yang
dimiliki, maka akan melahirkan kebijakan yang pro rakyat untuk menjamin derajat
kesehatan masyarakat itu sendiri. Kebijakan pemerintah dapat terwujud dalam dua bentuk.
1. Peraturan pemerintah dalam bidang kesehatan meliputi undang-undang, peraturan
presiden, keputusan menteri, peraturan daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten
kota, dan peraturan lainnya.
2. Kebijakan pemerintah dalam bentuk program adalah segala aktifitas pemerintah baik
yang terencana maupun yang insidentil dan semuanya bermuara pada peningkatan
kesehatan masyarakat, menjaga lingkungan dan masyarakat agar tetap sehat dan
sejahtera, baik fisik, jiwa, maupun sosial.
Oleh karena itu, untuk menciptakan kesehatan masyarakat yang prima maka
dibutuhkan berbagai peraturan yang menjadi pedoman bagi petugas kesehatan dan
masyarakat luas, sehingga suasana dan lingkungan sehat selalu tercipta. Di samping itu
pemerintah harus membuat program yang dapat menjadi stimulus bagi anggota masyarakat
untuk menciptakan lingkungan dan masyarakat sehat, baik jasmani, rohanio, rohani, sosial
serta memampukan masyarakat hidup produktif secara sosial ekonomi.
Kebijakan kesehatan yang juga berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan
penduduk adalah dengan menambah personel kesehatan baik yang terlibat dalam upaya
preventif maupun dalam tindakan kuratif. Tujuan kebijakan ini agar pelayanan kesehatan
tidak hanya dinikmati oleh golongan tertentu, namun juga bisa dinikmati oleh semua
lapisan masyarakat yang membutuhkan pelayanan ini.
Pada era globalisasi diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas yang didukung
fisik dan mental yang sehat, sehingga mampu berkompetisi paling optimal. Tanpa
didukung dengan kesehatan fisik dan mental yang balk, sumberdaya manusia tidak akan
mampu berkompetisi dengan optimal. Secara tradisional kesehatan diukur dari aspek
negatifilya seperti angka kesakitan, angka kecacatan, dan angka kematian. Melalui
paradigma sehat, kesehatan sudah tidak lagi dipandang semata - mata sebagai terbebas dari
penyakit, tetapi sebagai sumberdaya yang memberi kemampuan kepada individu,
kelompok, organisasi, dan masyarakat untuk mengelola bahkan merubah pola hidup,
kebiasaan, dan Iingkungannya.
Berbeda dengan paradigma lama yang berorientasi kepada penyakit, maka paradigma
baru berorientasi kepada nilai positif kesehatan, bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup seoptimal mungkin melalui pengurangan dalam penderitaan dan kecemasan, serta
peningkatan dalam harkat diri dan kemampuan untuk mandiri, sekalipun dalam
menghadapi penyakit yang kronis maupun fatal (Manajemen Strategis Terpadu Bagi
Masyarakat Miskin, 1999).
Saat ini dimana lingkungan sosial, ekonomi, dan politik berada pada situasi krisis,
termasuk sektor kesehatan telah membuat masyarakat terutama masyarakat golongan
miskin bertambah menderita karena semakin sulit menjangkau fasilitas kesehatan milik
swasta maupun pemerintah. Dalam hal ini, rumah sakit sebagai organisasi sosial
bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan masyarakat, rumah sakit harus dapat
berfungsi sebagai rumah sehat yang melaksanakan kegiatan promotif bagi kesehatan
pasien, staf rumah sakit, dan masyarakat di wilayah cakupannya serta pengembangan
organisasi rumah sakit menjadi organisasi yang sehat.
Penerapan sebagai rumah sehat memerlukan pendekatan terpadu dalam
pengernbangan organisasi dan tenaga kesehatan. Gerakan rumah sehat akan menghasilkan
penajaman pelayanan rumah sakit dalam menunjang gerakan kesehatan bagi semua dan
pemberdayaan pasien serta staf rumah sakit (Manajemen Strategis Terpadu Bagi
Masyarakat 1999). Masyarakat selalu mengharapkan agar pelayanan rumah sakit, baik.
milik pemerintah maupun swasta dapat memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan
bagi setiap pengguna yang memanfaatkannya, pasien menginginkan fasilitas yang baik dari
rumah sakit, keramahan pihak rumah sakit, serta ketanggapan, kemampuan, dan
kesungguhan para petugas rumah sakit, Dengan demikian pihak rumah sakit dituntut untuk
selalu berusaha meningkatkan layanan kepada pasien.
Haryono Wiratno (1998), mengatakan bahwa kualitas pelayanan (Service
Quality) adalah pandangan konsumen terhadap hasil perbandingan antara ekspektasi
konsumen dengan kenyataan yang diperoleh dari pelayanan. Sedangkan kepuasan adalah
persepsi pelanggan terhadap satu pengalaman layanan yang diterima
Program kesehatan di masyarakat mendapat perhatian tetapi, yang dapat kita pelajari
dari makalah ini adalah bahwa banyak kebijakan “bagus” tetapi seperti berada di keranjang
sampah. Mereka dibuang begitu saja. Ada contoh peristiwa politik memanfaatkan
kebijakan tetapi berbeda dari masalah dan policy option yang sewajarnya lebih baik.
Muatan politik begitu kuat sehingga kebijakan itu menyeleweng dari relevansi
masalah yang dianggap oleh masyarakat dan birokrat. Ada contoh peristiwa politik
berhimpitan dengan masalah dan policy option yang relevan dengan stakeholder lain.
Politik memiliki pengaruh begitu besar terhadap kebijakan dan pengembangan di bidang
kesehatan.
2. Contoh pengaruh politik terhadap kesehatan
1. Anggaran kesehatan
Karena sehat merupakan hak rakyat dan negara pun tak ingin rakyatnya sakit-sakitan,
diambillah keputusan politik yang juga sehat. Yaitu, anggaran untuk kesehatan rakyat
mendapatkan porsi yang sangat besar, karena negara tidak ingin rakyatnya sakit-sakitan.
Pemerintah bersama DPR. Membebani impor alat-alat kedokteran dengan pajak yang sama
untuk impor mobil mewah, juga keputusan politik.
2. UU Tembakau; Cukei rokok terus dinaikkan karena konsumsi rokok di Indonesia
semakin meningkat.
Biaya ekonomi dan sosial yang ditimbulkan akibat konsumsi tembakau terus
meningkat dan beban peningkatan ini sebagian besar ditanggung oleh masyarakat miskin.
Angka kerugian akibat rokok setiap tahun mencapai 200 juta dolar Amerika, sedangkan
angka kematian akibat penyakit yang diakibatkan merokok terus meningkat. Di Indonesia,
jumlah biaya konsumsi tembakau tahun 2005 yang meliputi biaya langsung di tingkat
rumah tangga dan biaya tidak langsung karena hilangnya produktifitas akibat kematian
dini, sakit dan kecacatan adalah US $ 18,5 Milyar atau Rp 167,1 Triliun. Jumlah tersebut
adalah sekitar 5 kali lipat lebih tinggi dari pemasukan cukai sebesar Rp 32,6 Triliun atau
US$ 3,62 Milyar tahun 2005 (1US$ = Rp 8.500,-).
3. Program Pembatasan Waktu Iklan Rokok
Larangan iklan secara menyeluruh merupakan upaya untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat khususnya anak-anak dan remaja. Anak-anak dan remaja
merupakan sasaran utama produsen rokok. Diakui oleh industri rokok bahwa anak-anak
dan remaja merupakan aset bagi keberlangsungan industri rokok. Untuk itu kebijakan
larangan iklan rokok secara menyeluruh harus diterapkan untuk melindungi anak dan
remaja dari pencitraan produk tembakau yang menyesatkan.
Pelarangan iklan rokok menyeluruh (total ban) mencakup iklan, promosi dan
sponsorship yang meliputi pelarangan (1) iklan, baik langsung maupun tidak langsung di
semua media massa; (2) promosi dalam berbagai bentuk, misalnya potongan harga, hadiah,
peningkatan citra perusahaan dengan menggunakan nama merek atau perusahaan dan (3)
sponsorship dalam bentuk pemberian beasiswa, pemberian bantuan untuk bidang
pendidikan, kebudayaan, olah raga, lingkungan hidup, dll.
4. Program Kesehatan Gratis di Gorontalo
Berdasarkan kemampuan sumber daya dan permasalahan bidang kesehatan, maka
dapat diproyeksikan pencapaian program sebagai berikut:
1. Program Promosi Kesehatan dan pemberdayaan Masyarakat; meningkatnya
persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat menjadi 60%
2. Program Lingkungan Sehat; meningkatnya persentase keluarga menghuni rumah
yang memenuhi syarat kesehatan menjadi 75 %, persentase keluarga
menggunakan air bersih menjadi 85 %, persentase keluarga menggunakan jamban
memenuhi syarat kesehatan menjadi 80%, dan persentase tempat-tempat umum yang
memenuhi syarat kesehatan menjadi 80 %
3. Program Upaya Kesehatan Masyarakat ; Cakupan rawat jalan sebesar 15%,
Meningkatnya cakupan persalinan nakes menjadi 90%, Pelayanan antenatal (K4)
90%, kunjungan neonatus (KN2) 90%, dan cakupan kunjungan bayi menjadi 90 %,
pelayana kesehatan dasar bagi gakin di Puskesmas sebesar 100 %, Persentase
posyandu Purnama Mandiri 40 %, Tersedia dan beroperasinya Pos kesehatan desa di
tiap desa.
4. Program Upaya Kesehatan Perorangan; Cakupan rawat inap sebesar 1.5 %, Rumah
sakit yang melaksanakan pelayaan gawat darurat sebesar 90 %, jumlah rumah sakit
PONEK sebesar 75 % dan rumah sakit yang terakreditasi sebanyak 75 %,
terselenggaranya pelayanan kewsehatan bagi Gakin di kelas III rumah saki sebesar
100 %.

2.4 Kebijakan Kesehatan dan Analisis Kebijakan serta Dasar – Dasar Membuat Kebijakan

Kesehatan
1. Kebijakan Kesehatan dan Analisis Kebijakan
Analisis Kebijakan Kesehatan, terdiri dari 3 kata yang mengandung arti atau
dimensi yang luas, yaitu analisa atau analisis, kebijakan, dan kesehatan.
Analisa atau analisis, adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (seperti karangan,
perbuatan, kejadian atau peristiwa) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebab
musabab atau duduk perkaranya (Balai Pustaka, 1991).
Kebijakan merupakan suatu rangkaian alternative yang siap dipilih berdasarkan prinsip-
prinsip tertentu. Kebijakan merupakan suatu hasil analisis yang mendalam terhadap
berbagai alternative yang bermuara kepada keputusan tentang alternative terbaik[8].
Kebijakan adalah rangkaian dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak (tentag organisasi, atau
pemerintah); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman
untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran tertentu. Contoh: kebijakan
kebudayaan, adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar rencana atau
aktifitas suatu negara untuk mengembangkan kebudayaan bangsanya. Kebijakan
Kependudukan, adalah konsep dan garis besar rencana suatu pemerintah untuk mengatur
atau mengawasi pertumbuhan penduduk dan dinamika penduduk dalam negaranya (Balai
Pustaka, 1991).[8]
Kebijakan berbeda makna dengan Kebijaksanaan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Balai Pustaka, 1991), kebijaksanaan adalah kepandaian seseorang
menggunakan akal budinya (berdasar pengalaman dan pangetahuannya); atau kecakapan
bertindak apabila menghadapi kesulitan.[11] Kebijaksanaan berkenaan dengan suatu
keputusan yang memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang berdasarkan alasan-
alasan tertentu seperti pertimbangan kemanusiaan, keadaan gawat dll. Kebijaksanaan
selalu mengandung makna melanggar segala sesuatu yang pernah ditetapkan karena
alasan tertentu.[8]
Menurut UU RI No. 23, tahun 1991, tentang kesehatan, kesehatan adalah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif
secara soial dan ekonomi (RI, 1992).[9] Pengertian ini cenderung tidak berbeda dengan
yang dikembangkan oleh WHO, yaitu: kesehatan adalah suatu kaadaan yang sempurna
yang mencakup fisik, mental, kesejahteraan dan bukan hanya terbebasnya dari penyakit
atau kecacatan.[13] Menurut UU No. 36, tahun 2009 Kesehatan adalah keadaan sehat, baik
secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomis. [12]
Jadi, analisis kebijakan kesehatan adalah pengunaan berbagai metode penelitian
dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan
kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan
masalah kebijakan kesehatan.
2. Dasar – dasar membuat kebijakan kesehatan

Analisis kebijakan kesehatan awalnya adalah hasil pengembangan dari analisis kebijakan
publik. Akibat dari semakin majunya ilmu pengetahuan dan kebutuhan akan analisis
kebijakan dalam bidang kesehatan itulah akhirnya bidang kajian analisis kebijakan kesehatan
muncul.
Sebagai suatu bidang kajian ilmu yang baru, analisis kebijakan kesehatan memiliki peran
dan fungsi dalam pelaksanaannya. Peran dan fungsi itu adalah:
 Adanya analisis kebijakan kesehatan akan memberikan keputusan yang fokus
pada masalah yang akan diselesaikan.

 Analisis kebijakan kesehatan mampu menganalisis multi disiplin ilmu. Satu disiplin kebijakan
dan kedua disiplin ilmu kesehatan. Pada peran ini analisis kebijakan kesehatan
menggabungkan keduanya yang kemudian menjadi sub kajian baru dalam khazanah
keilmuan.
 Adanya analisis kebijakan kesehatan, pemerintah mampu memberikan jenis tindakan
kebijakan apakah yang tepat untuk menyelesaikan suatu masalah.
 Memberikan kepastian dengan memberikan kebijakan/keputusan yang sesuai atas suatu
masalah yang awalnya tidak pasti.
 Dan analisis kebijakan kesehatan juga menelaah fakta-fakta yang muncul kemudian akibat
dari produk kebijakan yang telah diputuskan/diundangkan. [1] [2]

3. Kebijakan Kesehatan Di Indonesia


1. Isu strategis

A. Pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang bermutu belum optimal.


B. Sistem perencanaan dan penganggaran departemen kesehatan belum optimal
C. Standar dan pedoman pelaksanaan pembangunan kesehatan masih kurang memadai
D. Dukungan departemen kesehatan untuk melaksanakan pembangunan kesehatan masih
terbatas.
2. Strategi kesehatan di Indonesia
A. Mewujudkan komitmen pembangunan kesehatan
B. Meningkatkan pertanggungjawaban dan pertanggunggugatan
C. Membina sistem kesehatan dan sistem hukum di bidang kesehatan
D. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
E. Melaksanakan jejaring pembangunan kesehatan
3. Kebijakan program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat

A. Pengembangan media promosi kesehatan dan teknologi komunikasi, informasi dan


edukasi (KIE)
B. Pengembangan upaya kesehatan bersumber masyarakat dan generasi muda
C. Peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat

4. Kebijakan program lingkungan sehat

A. Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar


B. Pemeliharaan dan pengawasan kualitas lingkungan
C. Pengendalian dampak resiko pencemaran lingkungan
D. Pengembangan wilayah sehat
5. Kebijakan program upaya kesehatan dan pelayanan kesehatan

A. Pelayanan kesehatan penduduk miskin di puskesmas dan jaringannya


B. Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya
C. Pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat generik esensial
D. Peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang mencakup sekurang-kurangnya promosi
kesehatan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana
E. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan
6. Kebijakan program upaya kesehatan perorangan

A. Pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin kelas III RS


B. Pembangunan sarana dan parasarana RS di daerah tertinggal secara selektif
C. Perbaikan sarana dan prasarana rumah sakit
D. Pengadaan obat dan perbekalan RS
E. Peningkatan pelayanan kesehatan rujukan
F. Pengembangan pelayanan kedokteran keluarga
G. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan

7. Kebijakan program pencegahan dan pemberantasan penyakit

A. Pencegahan dan penanggulangan faktor resiko


B. Peningkatan imunisasi
C. Penemuan dan tatalaksana penderita
D. Peningkatan surveilans epidemologi
E. Peningkatan KIE pencegahan dan pemberantasan penyakit
8. Kebijakan program perbaikan gizi masyarakat
A. Peningkatan pendidikan gizi
B. Penangulangan KEP, anemia gizi besi, GAKI, kurang vitamin A, kekuarangan zat gizi
mikro lainnya
C. Penanggulangan gizi lebih
D. Peningkatan surveilans gizi
E. Pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi
9. Kebijakan program sumber daya kesehatan
A. Peningkatan mutu penggunaan obat dan perbekalan kesehatan
B. Peningkatan keterjangkauan harga obat dan perbekalan kesehatan terutama untuk
penduduk miskin
C. Peningkatan mutu pelayanan farmasi komunitas dan rumah sakit
10. Kebijakan program kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan
A. Pengkajian dan penyusunan kebijakan
B. Pengembangan sistem perencanaan dan pengangaran, pelaksanaan dan pengendalian,
pengawasan dan penyempurnaan administrasi keuangan, serta hukum kesehatan
C. Pengembangan sistem informasi kesehatan
D. Pengembangan sistem kesehatan daerah
E. Peningkatan jaminan pembiayaan kesehatan
11. Kebijakan program penelitian dan pengembagan kesehatan
A. Penelitian dan pengembangan
B. Pengembangan tenaga, sarana dan prasarana penelitian
C. Penyebarluasan dan pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan kesehatan

4. Kesehatan dan Komitmen Politik


Masalah kesehatan pada dasarnya adalah masalah politik oleh karena itu untuk
memecahkan masalah kesehatan diperlukan komitmen politik. Dewasa ini masih terasa adanya
anggapan bahwa unsur kesehatan penduduk tidak banyak berperan terhadap pembangunan sosial
ekonomi. Para Aktor Politik sebagai penentu kebijakan masih beranggapan sektor kesehatan
lebih merupakan kegiatan yang bersifat konsumtif ketimbang upaya membangun sumber daya
manusia yang berkualitas, sehingga apabila ada keguncangan dalam keadaan ekonomi negara
alokasi terhadap sektor ini tidak akan meningkat.
Sementara itu para pakar kesehatan belum mampu memperlihatkan secara jelas manfaat
investasi bidang kesehatan dalam menunjang pembangunan negara. Kesenjangan derajat
kesehatan masyarakat antar wilayah atau spesial perlu segera diatasi. Investasi yang selama ini
lebih ditekankan pada penambahan fasilitas, peralatan dan tenaga medis perlu dipelajari kembali.
Banyak rumah sakit, puskesmas, poliklinik, bidan, dan dokter bukan merupakan jaminan
meningkatnya kesehatan penduduk. Sehingga dalam upaya memecahkan masalah kesehatan
tidak bisa hanya dilakukan di bangsal-bangsal rumah sakit ataupun ruang tunggu poliklinik atau
puskesmas melainkan di perlukan intervensi yang serius dari ”Aktor Politik” apakah di
Departemen Kesehatan yang di komandani oleh ”Aktor Politik” sebagai pembantu presiden
(Menteri Kesehatan) yang melaksanakan kebijakan politik Presiden yang telah mengangkatnya,
Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab kepada Gubernur/
Bupati/Walikota serta Aktor Politik di DPR RI / DPD/ DPRD Propinsi/ Kabupaten/Kota.
Pergeseran paradigma dari pelayanan medis ke pembangunan kesehatan untuk membuat
rakyat sehat memerlukan penguatan komitmen politik dari seluruh ”aktor politik” yang telah
dipilih oleh rakyat, kesemuanya semata-mata untuk kemakmuran rakyat, melalui upaya nyata
dengan memprioritaskan berbagai kebijakan untuk membuat rakyat sehat.
Sejauh mana dan seberapa besar komitmen politik dari "aktor politik" untuk mewujudkan
kesehatan warganya dapat kita lihat selama lima tahun desentralisasi. Adakah komitmen
Gubernur/ Bupati/Walikota yang didukung DPRD masing-masing, yang telah memberikan
anggaran kepada sektor kesehatan minimal sebesar 15 % dari APBD. Menurut Ketua Panitia Ad
Hoc (PAH) IV Dewan Perwakilan Daerah (Kompas, 26 April) yang menyatakan adanya
kecenderungan kepala daerah mengutamakan kepentingan proyek mercusuar di daerahnya. Rasio
dana alokasi dana operasional di daerah dengan alokasi dana untuk pembangunan daerah masih
timpang dengan rasio 60 persen berbanding 30 persen. Begitu menjadi kepala daerah yang
pertama mereka pikirkan, membangun atau merenovasi rumah dinas agar menjadi mewah, atau
segera mengganti mobil dinas dengan mobil yang baru, lalu membangun gedung. Hal ini
menggambarkan ”aktor politik” belum memprioritaskan pada pembangunan kesehatan. Padahal
jika mau ber-Investasi untuk kesehatan ini akan berdampak kepada produktivitas seluruh warga,
karena jika warganya sehat maka akan lebih produktif dan akhirnya dapat mendukung berbagai
program pembangunan sesuai dengan kompetensi masing-masing warga tersebut. Melalui
komitemen ini sebenarnya dapat pula dijadikan modal politik untuk mendapatkan suara pada
periode pemilihan selanjutnya. Akan tetapi jika mereka tidak memiliki komitmen untuk
menyehatkan warganya, maka jangan disalahkan jika "rakyat yang telah sadar politik" yang
memiliki hak dalam memilih akan dapat memberikan sangsi politik dengan tidak memilihnya
kembali untuk periode kepemimpinan berikutnya.
Dilema yang dialami oleh "aktor politik" baik di eksekutif maupun di Legislatif dan
duduk menjadi anggota DPRD yang memiliki hak lesgislasi (membuat UU/Perda), Hak
Bugjeting (membuat Anggaran) dan Hak pengawasan di berbagai daerah adalah tidak adanya
dasar hukum berupa undang-undang yang mengharuskan mereka menetapkan anggaran
kesehatan dalam APBD sebesar 15% seperti yang kita harapkan, karena belum ada undang-
undangnya.
Padahal saat ini UU Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan sedang dalam proses
amandemen atas inisiatif DPR RI, sehingga hal ini dapat dijadikan momentum untuk
menunjukkan komitmen politik oleh aktor politik di Republik ini kepada warga yang telah
memilihnya. Dan melalui komitmen ini pula dapat dijadikan modal politik untuk pemilu kelak,
Rakyat yang telah sadar politik kelak tidak akan pindah kelain hati (akan tetap memilih)
wakilnya yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, yang benar-benar berupaya
untuk membuat rakyat sehat. Salah satunya adalah dengan penguatan komitmen dan memberikan
prioritas pembangunan sektor kesehatan. Upaya yang strategis dapat dilakukan saat ini dalam
proses amandeman UU No 23/92 tentang Kesehatan yang sedang berjalan, dengan cara
memasukkan kata "wajib memberikan anggaran di APBN dan APDB minimal sebesar 15% dari
APBN/APBD" pada salah satu pasal dalam amandemen UU 23/92. Karena UU ini kelak akan
menjadi rujukan formal oleh aktor-aktor politik dalam membuat berbagai kebijakan dalam
pembangunan sektor kesehatan.
Intervensi oleh Aktor Politik untuk Membuat Rakyat Sehat Aktor politik tidak hanya
cukup menyatakan keprihatinan dengan merebaknya berbagai penyakit, masalah gizi buruk dan
masalah-masalah kesehatan masyarakat yang banyak menimpa masyarakat miskin dewasa ini,
yang semua ini menyulitkan pencapaian untuk membuat rakyat Indonesia sehat dan komitmen
global MDGs 2015. Aktor Politik baik di pusat dan di daerah yang domisisli dari Sabang sampai
Meroke dapat membuat kebijakan dan hukum yang menekankan pada program perlindungan
kesehatan, promosi kesehatan dan pencegahan penyakit, memberdayakan masyarakat untuk
hidup sehat, menguatkan kerjasama lintas sektoral dan mengajak seluruh lapisan masyarakat
bersama-sama bertanggung jawab dalam pemeliharaan kesehatan lingkungan dan perilaku hidup
sehat. Dapat pula membuat kebijakan berupa program yang bersifat nasional yang dapat
menjamin kesehatan generasi mendatang secara dini yang melindungi kelompok rentan yaitu ibu,
bayi dan anak dari berbagai gangguan gizi dan masalah kesehatan.
Jika kita perhatikan sejak Orde baru dengan program kerja yang terencana PELITA I–
VII, dilanjutkan lagi dengan era desentralisasi yang sudah berlangsung lebih lima tahun, masih
menyebabkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi baru lahir dengan angka yang
pergeserannya tidak signifikan. Bahkan ada data yang menunjjukan bahwa setiap 2 jam ada ibu
baru melahirkan yang meinggal dunia. Kedepan seharusnya Aktor politik dapat membuat
program-program kerja yang lebih proaktif misalnya dengan membuat program kerja yang
proaktif dengan cara melakukan intervensi di Hulu pada permasalahan kesehatan yang ada.
Misalnya untuk mengurangi secara signifikan angka kematian ibu dan angka kematian bayi baru
lahir perlu dibuat kebijakan untuk mengintervensi sejak di ketemukan adanya Wanita Usia Subur
(WUS) dengan kategori tidak mampu, menikah dengan pria yang dikategorikan tidak mampu
pula di KUA ataupun Catatan setempat sipil dan diketahui oleh pihak kelurahan setempat, juga
diketahui oleh pihak puskesmas terdekat. Intervensi untuk program penyelamatan ibu tersebut
misalnya memberikan batuan langsung tunai untuk ibu hamil (BLT-IH) tidak mampu. Intervensi
ini berupa BLT-IH ini diberikan selama 9 bulan dan diberikan juga bantuan biaya untuk biaya
melahirkan bila perlu dengan biaya transportasi pulang-pergi dari dan kelokasi tempat
melahirkan yaitu tenaga professional yang mampu menolong kelahiran (bidan praktek, obgyn,
dll).
Setelah anaknya lahir perlu pula dibuat kebijakan untuk menyelamatkan bayi tersebut
dari berbagai gangguan gizi dan masalah kesehatan sampai umur tiga tahun melalui intervensi
dengan cara memberikan bantuan langsung tunai Bayi bawah Tiga Tahun (BLT-Batita), hal ini
untuk menjaga kesehatan gizi si anak dan dijaga pula kesehatan dengan memberikan imunisasi
lengkap. Dengan adanya program program proaktif tersebut diharapkan kedepan di era
desentarlaisasai ini kita akan melakukankan berbagai kegiatan tidak lagi mengurusi masalah
tingginya angka kematian Ibu dan bayi baru lahir. Deparemen terkait lainnya dapat pula
,memberdayakan kepala keluarga dengan memberikan pelatihan –pelatihan keterampilan kerja
sehingga orang tua anak dapat berusaha untuk mencukupi perekonomian mereka. Sehingga
diharapkan kedepan tidak dijumpai lagi adanya kasus Kurang Energi Protein (KEP) yang
tersebar dimana-mana. Intervensi kebijakan strategis lainya adalah dalam pelayanan kesehatan
dasar di Puskesmas yang mencakup upaya preventif dan promotif selain tetap menjalankan
program kuratif dan rehabilitatif. Sudah selayaknya manajer di Puskesma di berikan kepada
tenaga yang benar-benar mampu dan memiliki latar belakang ilmu pengetahuan dan pengalaman
praktis untuk menjadi manajer dalam upaya pelayanan kesehatan dasar yang merupakan arah
pembangunan kesehatan oleh pemerintah, dengan dasar hukum SK Menkes Nomor:
128/Menkes/SK/II/2004 tentang kebijakan dasar Pusat Kesehatan dalam kriteria personalia yang
mengisi struktur masyarakat dimana Puskesmas disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawab
masing-masing unit Puskesmas.
Khsusunya untuk Kepala Puskesmas kriteria tersebut dipersyaratkan harus seorang
sarjana di bidang kesehatan yang kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat.
Nampaknya upaya untuk membuat rakyat sehat belum sejalan dengan rekrutmen tenaga
kesehatan/PNS yang baru berjalan. Sedangkan upaya bidang kuratif tetap menjadi tanggung
jawab profesi yang bertanggung jawab pada bidang kuratif yaitu medical dokter. Jika mungkin
untuk memberlakukan kembali sistem Inpres dokter di untuk tingkat pelayanan dasar. Karena
menurut data masih banyak upaya kuratif di puskesmas tidak dilakukan oleh tenaga profesional
yang memiliki kompetensi untuk melakukan upaya kuratif tersebut, tetapi didelegasikan kepada
tenaga lain yang nota bene tidak berhak untuk melakukan pelayanan kuratif.
Kebijakan oleh aktor politik di daerah (Bupati/Walikota) dapat menetapkan profesional
sebagai manajer puskesmas dalam upaya membuat rakyat sehat, dengan cara menjaga kesehatan
warga diwilayah kerja dapat melakukan kegiatan untuk membuat rakyat sehat dengan berbagai
trobosan program untuk betul-betul membuat warga masayarakat semakin sehat dan produktif,
sehingga akhirnya dapat berkarya menghasilkan sesuatu sesuai dengan keahlian dan
tanggungjawabnya masing-masing, dengan tidak meninggalkan upaya kuratif. Kebijakan populis
lainnya yang bisa dipikirkan untuk mendorong hal ini, misalnya, melalui pemberian award bagi
manajer Puskesmas dan Rumah Sakit yang telah berhasil memotivasi sejumlah warga untuk
selalu sehat dan produktif melalui berbagai program promotif dan preventif yang dijalankan
dalam tupoksi kedua lembaga ini.
Untuk jangka panjangnya kegiatan yang ideal adalah memprioritaskan pada upaya
promotif, preventif dan protektif dengan tidak meninggalkan upaya kuratif dengan ukuran yang
mudah dan menggunakan indikator-indikator langsung berupa menurunnya angka kunjungan ke
puskesmas, puskesmas pembantu dan Rumah Sakit(RS) dikarenakan sakit. Fungsi pelayanan
dasar harus memprioritaskan dalam upaya membuat rakyat sehat dan produktif.
Fungsi RS juga harus bergeser yaitu dalam rangka menyehatkan warga negara dengan
Ilmu dan teknologi kedokteran kesehatan, karena RS adalah bagian dari upaya Sistem Kesehatan
Nasional. Dan sebetulnya dalam pakem paradigma sehat yang utama adalah menjaga yang sehat
agar tetap sehat sehingga tidak sakit dan dapat terhindarkan dari penyakit. Selain tentunya
menyembuhkan yang sakit dan menjaganya agar tidak kembali sakit. Bila penduduk sehat maka
mereka dapat lebih produktif, dapat meningkatkan pendapatan ekonominya dan dapat lebih
memiliki kepedulian dalam menjalankan demokrasi. Dan akhirnya rakyat yang sehat dapat pula
memilih wakil mereka yang berkualitas melalui pemilu yang demokratis. Tentunya rakyat akan
menentukan pilihannya yang ditujukan kepada “aktor politik” yang benar-benar memiliki
komitmen untuk membuat warga negara menjadi sehat.
Bentuk intervensi yang cerdas yang dapat dilakukan oleh aktor politik untuk mencegah
agar penduduk tidak sakit, wajib kita dukung. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui
pendekatan-pendekatan ”perekayasaan” yang positif didasarkan pada pertimbangan sosial-
kultural daerah setempat. Masing-masing daerah dapat pula melakukan perekayasaan kepada
masyarakat untuk selalu hidup sehat dan terhindar dari penyakit. Perekayasaan yang sederhana
dan dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Di era desentaralisasi ini dengan penguatan komitmen
politik untuk selalu memprioritaskan pembangunan sektor kesehatan. Upaya strategis lainnya
dalah mengimplementasikan penjabaran UU RI no 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) yang di implementasikan dalam bentuk Peraturan Pemerintah untuk diprluas
dalam upaya menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir. Sehingga kelak kita dapat berharap di
media massa akan terlihat laporan ”neraca kesehatan” dengan persentase semakin banyaknya
warga negara yang terhindarkan dari sakit dan telah dibuat sehat melalui berbagai kebijakan di
hulu.
2.5 Masalah politik dan kesehatan
Politik kesehatan merupakan upaya pembangunan masyarakat dalam bidang kesehatan.
Masalah politik dalam kesehatan adalah sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan dalam
upaya pembangunan di bidang kesehatan. Saat ini, apa yang dipikirkan oleh ahli kesehatan
masyarakat sangat berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh para pemimpin politik dalam
melihat pembangunan.
Para ahli kesehatan masyarakat selalu memandang kesehatan adalah utama dan satu
satunya cara dalam mencapai kesejahteraan, kesehatan ibu dan anak adalah prioritas,
ketimpangan kaya dan miskin adalah sumber masalah kesehatan. kebijakan dan politik kesehatan
harus berbasis bukti dan pendekatan pencegahan penyakit adalah yang utama. Sayangnya para
pemimpin politik, tidak memandang sama dalam melihat persoalan pembangunan kesehatan,
keputusan-keputusan politik lebih didasari kepada hasil survey popularitas dan prioritas
pembangunan lebih kepada yang terlihat cepat di mata konstituen. perbedaan masalah ini berakar
dari para ahli kesehatan masyarakat yang enggan untuk memahami masalah politik
pembangunan, terutama pembangunan dalam bidang kesehatan. Sehingga tidak dapat dipungkiri
bahwa masalah kesehatan adalah masalah politik.
Masalah kesehatan bukan lagi hanya berkaitan erat dengan tehnis medis, tetapi sudah lebih
jauh memasuki area-area yang bersifat social, ekonomi dan politik karena masalah kesehatan
merupakan masalah politik maka untuk memecahkannya diperlukan komitmen politik. Namun,
untuk memecahkan masalah tersebut ternyata tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Disini aktor politik kesehatan belum mampu meyakinkan bahwa kesehatan adalah investasi,
sector produktif dan bukan sector konsumtif. Praktisi kesehatan juga belum mampu
memperlihatkan secara jelas di dalam mempengaruhi para pemegang kebijakan tentang manfaat
investasi bidang kesehatan yang dapatmenunjang pembangunan bangsa.
Tidak ada batasan yang jelas siapa aktor politik kesehatan yang sesungguhnya, namun
dapat dikatakan bahwa aktor politik kesehatan adalah orang, lembaga atau profesi yang berjuang
untuk mewujudkan rakyat yang sehatdan sejahtera. Akan tetapi karena masalah politik adalah
masalah kesehatan, maka tentu saja tidak perlu semua aktor politik adalah orang kesehatan atau
orang dengan latar belakang kesehatan akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana para aktor
politik mempunyai wawasan kesehatan.

2.6 Strategi dan Esensi Politik Kesehatan


Berita di panggung politik akhir – akhir ini, baik Pilgub ataupun Pilbup tak henti- hentinya
menghiasi media massa baik Cetak maupun Elektronik. Seolah menjadi sumber berita yang
memberikan “ energi lebih” kepada media untuk menjadikannya headline setiap hari.
Namun disisi lain, berbagai strategi yang telah dilakukan tersebut tetap tidak menghentikan
lajunya perkembangan penyakit yang terus memeras keringat para ahli kesehatan untuk
mengendalikannya. Masih Terus terdengar banyaknya masyarakat miskin yang tak mampu
mengakses layanan kesehatan karena tak ada biaya. Masih banyaknya Balita yang mengalami
Gizi buruk. Buruknya mutu pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat di Puskesmas
dan Rumah sakit pemerintah, serta sejumlah permasalahan pada sektor kesehatan yang
menunggu implementasi Visi, misi, dan program para calon pemimpin yang tampak
menjanjikan, namun sungguh sulit untuk direalisasi, akankah kenyataannya seindah janji.
Anggaran itu sudah pasti merupakan produk politik, karena ditetapkan pemerintah bersama
DPR. Membebani impor alat-alat kedokteran dengan pajak yang sama untuk impor mobil
mewah, juga keputusan politik. Membiarkan dokter menumpuk dan berebut cuma di kota besar,
atau mengatur penyebarannya berdasarkan kepentingan Daerah, contoh lain buah keputusan
politik, singkatnya, politik kesehatan atau kebijakan kesehatan memang akhirnya ditentukan oleh
keputusan politik. Kalau kehidupan politik di suatu Daerah tidak sehat, jangan harap kesehatan
masyarakat di daerah itu akan diurus dengan sehat pula. Politik yang sakit akan membiarkan
rakyatnya sakit.
Contoh paling nyata yang terjadi d a l a m p e n e t a p a n a n g g a r a n u n t u k kesehatan,
menteri kesehatan mengajukan rancangan anggaran kepada presiden yang kemudian
akan dibahas bersama DPR karena dalam penetapan Anggaran Belanja Negara DPR
mempunyai wewenang dalam menyetujui maupun menolak terhadap rancangan yang
diajukan tersebut.

2.7 Perkembangan Politik Kesehatan di Indonesia


1. Politik Kesehatan di Indonesia
Jika kaya di Indonesia, kita bisa mendapatkan kedudukan kesehatan, meskipun Anda
mungkin harus pergi ke Singapura atau Malaysia untuk mendapatkannya. Bagi orang Indonesia
miskin, dan bahkan bagi banyak orang di kelas menengah, pilihannya adalah tidak begitu baik.
Perubahan politik adalah pedang bermata dua bagi kesehatan. Beberapa tantangan besar
mempengaruhi sektor ini, serta beberapa sumber dinamisme, timbul dari desentralisasi. Sejak
jatuhnya pemerintahan otoriter Soeharto pada tahun 1998, desentralisasi politik dan fiskal telah
menghasilkan satu set kompleks tantangan untuk pemrograman kesehatan. Di satu sisi,
desentralisasi pelayanan kesehatan menciptakan peluang bagi visioner pemimpin lokal untuk
mengembangkan program kesehatan yang ditargetkan untuk para pemilih. Tetapi juga telah
membuat sistem rentan terhadap politik kekuasaan lokal dan korupsi dicentang, dan
melanggengkan kesenjangan antara daerah kaya dan miskin.
Akurat atau terlambat diagnosa, fasilitas tidak memadai dan pengobatan, biaya yang
berada di luar jangkauan: semua ini adalah bagian dari pengalaman sehari-hari kesehatan bagi
jutaan rakyat Indonesia. Akibatnya, setiap tahun, warga yang tak terhitung negara meninggal
akibat kondisi yang seharusnya dicegah atau disembuhkan. Ini edisi khusus Indonesialooks
dalam pada masalah yang menimpa kesehatan, dan mencari tanda-tanda harapan di tengah
perubahan politik yang membentuk kembali Indonesia sebagai masyarakat yang lebih
demokratis.
Kekuatan sosial dan politik yang telah menghasilkan hasil yang tidak merata seperti
untuk sektor kesehatan di Indonesia selama masa transisi negara menuju demokrasi. Sementara
perekonomian Indonesia tumbuh dengan pesat, pemerintah terus menghabiskan lebih sedikit
pada kesehatan per kapita dibanding negara-negara tetangganya dengan profil ekonomi yang
sama, indikator kunci kesehatan - seperti rasio penyedia kesehatan untuk penduduk - juga
tertinggal. Maka timbullah pertanyaan-pertanyaan yang kompleks seperti apa yang memegang
Indonesia kembali?' Apa yang memotivasi pejabat terpilih, profesional kesehatan dan konsumen
untuk membuat keputusan yang mereka buat? Dan apa hasil bagi masyarakat yang paling rentan
di Indonesia?
Jenis disfungsi yang mengganggu sektor: dari ketidakhadiran di klinik kesehatan dengan
rincian dalam berbagi informasi penting antara kabupaten dan pusat. Pisani menyalahkan insentif
politik condong untuk banyak disfungsi ini. Misalnya, pejabat daerah yang terpilih berinvestasi
dalam infrastruktur kesehatan yang mahal dan mencolok untuk meningkatkan profil politik
mereka, daripada mengatasi kebutuhan kesehatan yang lebih kompleks. Tetapi transisi demokrasi
juga membawa perubahan positif. Pisani poin bagaimana pemilihan langsung memberikan
tekanan pada politisi lokal untuk menjawab tuntutan konstituen mereka untuk layanan kesehatan
yang lebih baik. Sebagai harapan masyarakat meningkat, ia berharap, demikian juga akan
kualitas pelayanan.
Edward Aspinall dan Hawa Warburton menganalisis hubungan antara politik elektoral
dan munculnya skema kesehatan lokal. Kampanye populis yang menjanjikan kesehatan gratis
sekarang biasa dalam pemilihan provinsi di seluruh negeri dan kabupaten. Tren ini
mengungkapkan bagaimana politisi lokal terlibat dengan tuntutan pemilih mereka dengan cara
baru dan progresif. Bahkan jika biaya kesehatan mulai turun bagi banyak orang, namun, ini tidak
selalu berarti kualitas yang membaik.
Aktivis kesehatan reproduksi, Inna Hudaya, menawarkan wawasan ke dalam penderitaan
perempuan muda yang mengalami kehamilan yang tidak direncanakan. Dia menjelaskan
bagaimana stigma sosial dan hukum diskriminatif memaksa perempuan menjadi berbahaya,
dunia trauma dan kadang-kadang fatal aborsi ilegal. Dalam kasus ini, juga, politik memainkan
peran, tetapi merupakan politik konservatisme sosial yang menolak kontrol perempuan atas
tubuh mereka. Untungnya, organisasi baru yang dijalankan oleh orang-orang seperti Inna
berjuang untuk mengubah hukum diskriminatif dan untuk membantu perempuan menemukan
informasi dan layanan yang mereka butuhkan.
2. Politik Membangun Kesehatan Bangsa
Menteri Kesehatan – dr. Nafsiah Mboi, SpA. MPHPemaparan terkait politik kesehatan
tidak akan terlepas dengan isu politik nasional menyongsong “2014 sebagai Tahun Politik”.
Pergantian kabinet baru dan kepala daerah beresiko terhadap berhentinya kebijakan kesehatan
baik secara nasional ataupun lokal di daerah. Era reformasi menjadi tonggak pergantian sistem,
termasuk sistem kesehatan, sehingga banyak kebijakan politik yang terlantar pada saat ada
banyak kabupaten/kota yang berganti kepala dinas, padahal di kabupaten/kota tersebut sistem
kesehatan dasar harusnya menjadi prioritas utama. Bahkan banyak kepala daerah bukan
merupakan orang yang konsen pada isu kesehatan dan ada kepala dinas kesehatan yang bukan
merupakan orang kesehatan. Fenomena tersebut menjadi penekanan agar jangan sampai
pergantian politik menjadi hambatan dalam pembangunan kesehatan. Kepala daerah hendaknya
dipilih yang care kepada kesehatan, sehingga akan mengalokasikan APBD untuk pembangunan
kesehatan di daerahnya.
Komitmen politik pemerintah pada kesejahteraan masyarakat adalah menciptakan
Indonesia yang adil dan makmur, sehingga sektor kesehatan tetap menjadi prioritas politik.
Pemaparan politik kesehatan Indonesia yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan RI, dr.
Nafsiah Mboi, SpA. MPH berorientasi pada Kerangka Acuan KONAS IAKMI XII tentang angka
IPM, AKI, Balita, dan AKB yang masih membutuhkan perhatian. Renstra Kementrian Kesehatan
2010-2014 yaitu masyarakat yang sehat mandiri dan berkeadilan dilakukan dengan
pemberdayaan masyarakat, pelayanan kesehatan yang paripurna, ketersediaan SDM kesehatan,
dan good governance. Kementrian Kesehatan berserta jajaran di bawahnya tetap berkomitmen
untuk peningkat akses pelayanan kesehatan masyarakat yang komprehensif dan bermutu.
Selama ini program pengobatan gratis sering dibakai untuk kampanye kapala daerah,
karena memang isu jaminan pada perolehan pelayanan kesehatan saat sakit merupakan hal yang
masih menjadi beban bagi masyarakat Indonesia. Kementrian Kesehatan RI terus mengusahakan
penyelesaian masalah pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia. Program Nasional yang akan
segera diluncurkan adalah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tahun 2014. Pada akhir
Desember 2019 ketika program BPJS menargetkan Total Health Coverage bagi seluruh
masyarakat Indonesia. Banyak isu yang muncul sebagai reaksi dari progam tersebut diataranya
adalah peran serta masyarakat, kecukupan tenaga pendidikan dan kecukupan fasilitas kesehatan.
Isu yang melemahkan tersebut menurut data nasional yang disampaikan oleh Mentri
Kesehatan RI sudah bukan lagi merupakan ancaman. Peran masyarakat dalam pembangunan
kesehatan terus dikembangkan, baik itu lewat Posyandu, poskesdes, posbindu PTM, atau
posmaldes diharapkan dapat terus ditingkatkan. Ketersediaan tenaga kesehatan sudah mendekati
target secara nasional. Kesempatan dan upaya peningkatan jumlah tenaga kesehatan diupayakan
lewat berbagai macam beasiswa yang ditawarkan. Pemerataan tenaga kesehatan diharapkan
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk dapat mengikat putra daerahnya sehingga
setelah selesai studi dapat kembali ke daerah dan betah kerja di daerah. Daerah dapat
merencanakan kebutuhan tenaga kesehatannya dan mengajukan untuk pepenuhan tenaga
kesehatan di daerah. Ketersediaan fasilitas kesehatan secana nasional sudah siap, tetapi ada
ketimpangan karena ada daerah yang memiliki banyak RS ada yang kekurangan. Hal tersebut
dapat diatasi dengan regulasi dan kebijakan yang tegas pada saat ijin pendirian dan
pengembangan RS. Pada akhir pemaparan Menteri Kesehatan RI mengharapkan dapat bekerja
sama dengan IAKMI untuk menidentifikasi strategi-strategi yang inovatif untuk mengoptimalkan
peningkatan derajad kesehatan masyarakat Indonesia. Selain itu ada tantangan yang diajukan
agar IAKMI dapat mempengaruhi keputusan politik di Indonesia demi kesehatan
masyarakat.
3. Politik Kesehatan dan Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu dimensi yang sangat menjadi perhatian dalam konteks
politik kesehatan. UUD kita menegaskan bahwa masyarakat miskin ditanggung oleh negara
termasuk dalam hal jamianan pelayanan kesehatannya. Berkaitan dengan hal itu menarik untuk
menelaah tulisan A.Maulani (peneliti Pusat studi Asia pasifik ,UGM) yang dimuat di situs
Antaranews.com . Dia mengutip pernyataan mantan Menkes Siti Fadillah Supari “Tuntut rumah
sakit yang tidak mau menerima pasien yang memiliki kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan
Masyarakat). Kalau masyarakat miskinnya yang tidak punya Jamkesmas, tuntut Pemdanya”,
dalam sebuah rapat kerja dengan DPRRI (9/02/09).
Pernyataan keras tersebut dengan jelas memperlihatkan bahwa banyak lembaga kesehatan
yang hanya berorientasi ekonomi semata, yang kurang berpihak masyarakat miskin. Mereka
selalu saja menjadi korban bahkan bulan-bulanan oleh sebuah sistem. Kesehatan dalam konteks
ini hanya dipandang sebagai perkara medis belaka. Fungsi sosial yang seharusnya juga diemban
RS ternyata terkikis oleh hasrat penumpukan laba semata.
Dengan jumlah 35 juta lebih orang miskin di Indonesia, maka sudah saatnya Negara
mengambil prakarsa untuk melindungi mereka agar berbagai lembaga kesehatan serta hal lain
yang terkait seperti rumah sakit, poliklinik, puskesmas, harga obat, serta dokter tidak justru
menjadi mesin yang menggilas mereka yang miskin dan menjadikan siklus kemismikan kian tak
berujung. Itulah kira bentuk politik kesehatan yang harus dijalankan Negara. Seperti dikatakan
Jeffrey Sachs dalam buku The End of Poverty (2005) bahwa banyak hal yang menyebabkan
seseorang akan semakin terperangkap dalam “jebakan kemiskinan”. Salah satunya adalah
tiadanya human capital di mana salah satu variabelnya adalah dalam wujud akses kesehatan yang
memadai dan terjangkau.
4. Komitmen Pemerintah Terhadap Kesehatan Dinilai Masih Lemah
Sejumlah kalangan menilai komitmen pemerintah terhadap masalah kesehatan di
Indonesia masih sangat lemah. Hal ini terlihat baik dari sisi politik anggaran maupun regulasi
yang belum pro terhadap kesehatan masyarakat.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo,pakar kesehatan dari
Universitas Hassanudin Prof Razak Thaha dan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Zainal Abidin dan pendiri Maarif Institute Ahmad Safii Maarif menilai pergantian
pimpinan/penguasa terus terjadi,namun masalah kesehatan tetap berjalan di tempat.
Pertanyannya,setahun menjelang pemilu 2014,masihkah kesehatan rakyat mendapatkan
perhatian. Mereka mengimbau maraknya politik nasional menjelang pemilu 2014 tidak boleh
mempengaruhi berbagai program pembangunan kesehatan yang telah dicanangkan.
Sudaryatmo,mengatakan, dari sisi politik anggaran kesehatan dan pendidikan,komitmen
pemerintah Indonesia dibanding negara lain masih ketinggalan. Ini terlihat dari alokasi untuk
pendidikan dan kesehatan dari total Produk Domestik Bruto (GDP),Indonesia paling rendah dari
negara lain yaitu 2%. Sedangkan Kamboja 4%,Laos mendekati 5%,Malaysia 10%,Philipina 15%
dan Thailand hampir 7%.
“Jadi dari sisi politik anggaran pemerintah memang belum berpihak pada isu kesehatan
dan pendidikan. Minimnya anggaran kesehatan menimbulkan banyak persoalan seperti kematian
ibu dan balita karena kurang mendapatkan dukungan memadai,” kata Sudaryatmo pada acara
refleksi setahun menjelang Pilpres 2014 yang digalar IDI di Jakarta, Senin (14/1). Hadir pula
Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti.
Menurut Sudaryatmo,dibanding kesehatan,pemerintah lebih komitmen dan disiplin untuk
membayar hutang. Untuk pendidikan dan kesehatan hanya 2% dari GDP, tetapi untuk bayar
hutang mencapai 10%. Lebih tinggi dari negara lain, seperti Kamboja kurang dari 1%,Laos
3%,Malaysia 8%. Walaupun Philipina juga cukup tinggi yakni 12% dan Taiwan 15%, namun
rasio antara anggaran kesehatan dengan membayar hutang seimbang, sedangkan di Indonesia
sangat jomplang.
Ketidakberpihakan pemerintah terhadap isu kesehatan dan pendidikan juga terlihat dari
struktur APBN 2013. Mengutip data Kementerian Keuangan,menurut Sudaryatmo,dari total
APBN sebesar Rp 1,683 triliun,dialokasikan dominan ke sejumlah sektor. Di antaranya
infrastruktur Rp 201,3 triliun (11,96),pertahanan negara Rp118,3 triliun (7,02%),subsidi Rp317,2
triliun (18,84%),transfer ke daerah Rp 526,6 triliun (31,4%).
Struktur anggaran ini menunjukkan sebagian besar untuk subsidi,bahkan lebih besar dari
pembangunan infrastruktur. Padahal, kata dia,sebagian besar subsidi tidak jelas sasaran dan
implikasinya terhadap perbaikan masalah di masyarakat.
Subsidi BBM misalnya mencapai Rp 193,8 triliun (61,2%) dari total anggaran subsidi.
Dibanding subsidi listrik yang sebesar Rp 80,9 triliun (25,51%), subsidi BBM bermasalah karena
pemerintah tidak memiliki data dan pertanggungjawaban soal penerima maupun besarannya.
Menurutnya, misteri subsidi BBM akan menjadi catatan hitam sejarah ekonomi kontemporer
Indonesia. “Padahal untuk mengatasi masalah kesehatan,menurut para pakar tidak sampai
membutuhkan anggaran sebesar subsidi BBM,” katanya.
Razak Thaha mengatakan,meskipun Indonesia selalu bangga memiliki pendapatan
perkapita atau pertumbuhan ekonomi lebih dari negara tetangga,tetapi dalam masalah kesehatan
tidak lebih baik.
Masalah gizi di Indonesia misalnya belum mengalami penurunan signifikan. Di antaranya
Indonesia merupakan negara kelima dengan jumlah orang pendek (stunting) paling banyak di
dunia, selain Tiongkok,India,Pakistan,Nigeria dan bahkan di atas Vietnam. WHO
mencatat 90% anak pendek ada di 36 negara berkembang,termasuk Indonesia.
Menurutnya, orang pendek merupakan representasi dari kemiskinan di setiap provinsi. Di
mana ada lumbung kemiskinan di situ orang pendek lebih banyak, seperti di NTT,Papua Barat
dan NTB. Mereka terlahir dari ibu-ibu yang juga miskin dan kekurangan gizi.
Di satu sisi jumlah anak gemuk juga semakin bertambah. Anak gemuk adalah calon-calon
penderita penyakit tidak menular di kemudian hari,seperti hipertensi,stroke,jantung dan diabetes.
“Padahal anggaran untuk gizi melalui pagu kesehatan terus meningkat, bahkan saat
puncak resesi ekonomi. Tahun 2000 anggarannya baru sekitar Rp 21 miliar,tetapi naik tujuh kali
lipat atau Rp 700 miliar di tahun 2007. Tetapi status gizi malah tambah jelek,lalu kemana
anggaran itu,” katanya.
Ali Ghufron Mukti,mengatakan, pemerintah sudah cukup memberikan perhatian serius
pada masalah kesehatan. Buktinya, hampir tidak ada negara di dunia ini yang menjamin 86,4 juta
warganya untuk berobat gratis seperti yang dilaksanakan oleh Indonesia. Selain itu, progam
Jampersal menjamin persalinan gratis untuk semua ibu hamil.
“Dari sisi anggaran memang dari persentase masih di bawah 2,1% dari total APBN, tetapi
nominal-nya terus meningkat setiap tahun. Tahun ini sebesar Rp 32 triliun, dan 2014
diperkirakan mencapai sekitar Rp 40 triliun,” katanya.
Zainal Abidin,mengatakan,anggaran kesehatan setiap tahun hanya berkisar di 2% dari
total APBN. Karena itu IDI mengimbau pemerintah untuk menaikannya sesuai dengan UU
Kesehatan 36/2009,yakni minimal 5% di luar gaji pegawai. Secara politis,kata dia,pemerintah
memiliki tanggung jawab konstitusi untuk menjalankan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
dengan baik. [D-13]
“Mengapa komitmen Negara dalam bentuk politik kesehatan menjadi penting? Perlu
dicatat bahwa kondisi orang miskin di negeri ini sudah berada dalam kondisi seperti yang
digambarkan James C. Scott (1983): seperti orang yang terendam dalam air sampai ke leher,
sehingga ombak yang kecil sekalipun akan menenggelamkannya. Ombak kecil dalam konteks ini
saya kira bisa berupa mahalnya biaya rumah sakit dan juga obat-obatan.
Pada titik inilah penting mengkorelasikan hubungan antara sektor kesehatan dan kebijakan
politik sebagai bentuk konkrit dari kebijakan kesehatan. Banyak bukti yang menunjukkan
bagaimamana kemiskinan ternyata ikut memperkeruh persoalan kesehatan. Data Indeks
Pembangunan Manusia (Human Development Indeks/HDI) yang memasukkan tiga parameter
penting dalam menghitung tingkat kesejahteraan, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
menunjukkan bahwa peringkat kesejahteraan Indonesia pada tahun 2010 berada di urutan 124
dari 185 negara. Dibanding Negara-negara ASEAN.
IKM ini mengukur kualitas SDM melalui beberapa indikator yang berupa; presentase
penduduk di bawah garis kemiskinan, angka buta huruf, proporsi penduduk yang kemungkinan
meninggal sebelum 40 tahun, proporsi penduduk tidak mempunyai akses terhadap air bersih,
serta persentase balita dengan gizi buruk.
Mencermati data tersebut tampaknya sudah saatnya kebijakan-kebijakan ekonomi yang
diambil pemerintah juga mempertimbangkan implikasi-implikasinya terhadap sektor kesehatan.
Pemukiman yang sehat, nutrisi yang lebih baik, serta keringanan biaya kesehatan adalah salah
satu bentuk implementasinya.
Karena itu, rumah sakit, baik negeri maupun swasta, harus didorong untuk melaksanakan
proyek penanganan kesehatan khusus di daerah-daerah miskin. Karena itu program Depkes yang
bersinggungan langsung dengan masyarakat kecil seperti program Desa Siaga yang
mensyarakatkan adanya Poskesdes (Pos Kesehatan Desa) di dalamnya, Program Poskestren (Pos
Kesehatan Pesantren), Musholla Sehat, dan juga Posyandu perlu didorong dan dikawal
keberlangsungannya sebagai bentuk komitmen pada dunia kesehatan.
Satu hal yang kira penting diketahui bahwa untuk masyarakat yang tinggal dipedesaan yang
terpencil atau pedalaman akses pada layanan kesehatan adalah barang langka. Karena itu
keberpihakan pemerintah dalam bentuk politik kesehatan untuk mendahulukan serta melindungi
mereka yang kurang mampu kiranya adalah salah satu wujud affirmative action dibidang
kesehatan.
Sekali lagi, adalah naïf bila perkara kesehatan lagi-lagi diserahkan pada mekanisme pasar
bebas. Maka peran paling minimal yang bisa dilakukan Negara adalah lewat kebijakan publik,
yang oleh Evans (1998) disebut sebagai custodian role. Yakni sebuah peran Negara untuk
melindungi, mengawasi serta mencegah prilaku segelintir kelompok yang dapat merugikan
masyarakat banyak. Dalam konteks kesehatan, maka pemerintah wajib melakukan kontrol atas
pelayanan kesehatan yang merugikan masyarakt miskin.
Status miskin sama sekali tidak bisa menghapus tugas Negara untuk menjamin perlindungan
atas mereka, apalagi jaminan untuk hidup dalam lingkungan yang sehat. Masyarakat miskin akan
terus-menerus menjadi korban bila kesehatan hanya diukur berdasarkan kemampuan seseorang
dalam mengeluarkan biaya. Karenanya keberpihakan Negara yang tegas dan jelas harus
dibangun agar keseimbangan hidup rakyat yang selama ini tersisih dan terkoyak bisa pulih
kembali.
Penjelasan diatas secara jelas menunjukkan hubungan yang sangat erat antara poltik
kesehatan dan kemiskinan. Tentu para pemimpin politis baik di tingkat Pusat maupun daerah
memahami betul konteks peran Negara (pemerintah) dalam mencover jaminan kesehatan bagi
penduduk miskin sebagai bentuk tanggung jawab politik, terutama berdasarkan pada isu –isu
yang diungkapkan saat kampanye. Bila ini tidak diperhatikan dan dibenahi, pemerintah akan
berutang kepada masyarakat. Politik kesehatan yang dilaksanakan secara sehat, sistematis, dan
sesuai dengan prinsip good governance tentunya akan selalu menjadi harapan bagi masyarakat
yang telah memilihnya sebagai pemimpin.

5. Dinamika Politik Harus Membangun Kesehatan Bangsa


Secara umum, politik kesehatan itu sendiri merupakan interaksi antara pemerintah dan
masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang terkait
permasalahan kesehatan. Keputusan yang dihasilkan bersifat mengikat dan bertujuan
pada kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Tetapi dalam
realisasi di lapangan justru selalu ada pihak yang dikorbankan atau dirugikan. Hal ini
akibat dinamika politik berkembang dengan berbagai cara demi kepentingan satu pihak
saja. Tampaknya dinamika politik hingga tahun 2013 ini justru malah membawa bangsa ini
semakin mengesampingkan masalah kesehatan, yang seharusnya menjadi modal dasar dalam
meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Berbicara mengenai politik kesehatan di Indonesia tentu tidak bisa terlepas akan adanya
kepentingan dan perkembangan politik di setiap daerah maupun proses kepemimpinan di daerah
itu sendiri. Secara umum perkembangan politik yang membangun kesehatan bangsa di daerah
akan sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan pusat, daerah maupun pemimpin di sektor
kesehatan suatu wilayah selain permasalahan anggaran.
Sebuah contoh catatan politik yang mungkin bisa disebut sebagai upaya politik dalam
membangun bangsa melalui sektor kesehatan ialah berubahnya sistem sentralistik menuju
desentralisasi. Di Indonesia sendiri desentralisasi dimulai pasca reformasi sekitar tahun 1999-
2000, yang kini tercatat dalam sejarah penting dan ikut mewarnai dunia perpolitikan Indonesia
khususnya bidang kesehatan. Hal itu ditandai dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang membawa angin baru bagi pemerintahan di Indonesia dari sentralistik
menjadi desentralisasi. Desentalisasi kesehatan dimana pemerintah daerah diberikan wewenang
untuk mengatur sektor sistem kesehatan di daerahnya. Dalam prosesnya, pemerintah daerah
sangat tergantung pada beberapa faktor, yaitu dukungan pembiayaan, kerja sama lintas sektor,
dan berbagai faktor lainnya yang terkait dalam menyukseskan sistem kesehatan di daerahnya.
Tahun 2004 juga telah dilakukan suatu “penyesuaian” terhadap SKN (Sistem Kesehatan
Nasional) 1982. Di dalam dokumen dikatakan bahwa SKN didefinisikan sebagai suatu tatanan
yang menghimpun upaya bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung, guna
menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum
seperti dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Baru setelah itu muncul UU No. 23 tahun 1992
tentang Kesehatan yang kemudian disempurnakan menjadi UU No.36 tahun 2009 tentang
Kesehatan sebagai aturan dasar bidang kesehatan di Indonesia.

6. Politisasi Anggaran Kesehatan


Jika kita cermati bersama dari sisi politik anggaran kesehatan, komitmen pemerintah daerah
di Indonesia dibanding negara lain masih jauh ketinggalan. Hal ini terlihat dari alokasi untuk
kesehatan dari total Produk Domestik Bruto (GDP), secara umum Indonesia paling rendah dari
beberapa negara lain yaitu hanya 2-3 %. Sedangkan Laos mendekati 5%, Malaysia 10%,
Philipina 15% dan Thailand hampir 7%. Padahal dalam UU No.36 tentang Kesehatan, besar
anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran
pendapatan dan belanja negara di luar gaji. Sedangkan besar anggaran kesehatan pemerintah
daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud
diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3
(dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan
anggaran pendapatan dan belanja daerah. Faktanya politik anggaran kesehatan hingga tahun ini
belum terealisasi sesuai minimal anggaran kesehatan dan hal inilah yang terlihat bahwa politik
Indonesia selama ini belum membangun kesehatan. Sebelumnya, Nafsiah Mboi, Menteri
Kesehatan RI, menjelaskan bahwa untuk tahun 2014, pagu indikatif Kemenkes sebesar Rp 24,67
triliun. Itu berarti menurun cukup signifikan, hampir mencapai 30 persen dibandingkan tahun
2013. Kepada siapa lagi mau berharap jika di saat isu BBM naik justru malah anggaran
kesehatan bangsa kita semakin anjlok. Kini rakyat semakin jauh dari mimpi dimana visi
Indonesia Sehat akan tercapai dengan anggaran yang semakin menurun dari tahun sebelumnya.
Terlebih di saat harga Bahan Bakar Minyak dan kebutuhan lainya meningkat.

7. Politisasi Undang-Undang dan Kebijakan Kesehatan


Selama ini arah pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan masih mengutamakan tenaga
kuratif dibandingkan promotif dan preventif. Hal ini tidak sesuai dengan rencana pembangunan
jangka menengah (RPJMN) 2010-2024, dimana upaya kuratif semakin dikurangi dan upaya
promotif dan preventif semakin ditingkatkan. Faktanya justru kebutuhan tenaga perawat
dan dokter yang merupakan tenaga penunjang saat sakit lebih diutamakan pemerintah
dibandingkan tenaga Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) yang merupakan ujung tombak
kesehatan masyarakat yang bertugas menyelamatkan yang sehat supaya tidak sakit.
Jadi dari sisi politik anggaran pemerintah daerah dan pusat memang belum berpihak pada
program kesehatan yang telah direncanakan. Minimnya anggaran kesehatan tersebut tentu akan
menimbulkan banyak persoalan seperti kematian ibu dan balita, penyakit menular, penyakit
kronik atau tidak menular, yang secara global akan berdampak kepada menurunya kesehatan
masyarakat, produktifitas manusia, dan angka harapan hidup, distribusi dan kualitas tenaga
kesehatan, yang dampaknya justru akan merugikan negara secara sistemik.
Permasalahan yang terjadi selama ini, telah banyak dilakukan pergantian pemimpin, tetapi
permasalahan kesehatan ibarat jalan ditempat. Padahal sebagian permasalahan kesehatan justru
malah makin meluas dan komplek. Selain hal itu, tidak sedikit pula dalam setiap pergantian
pemimpin daerah yang baru maka muncul pula program baru yang justru kurang mendukung
program-program periode kepemimpinan sebelumnya. Akibatnya fokus penyelesaian masalah
kesehatan di daerah tidak berkembang secara konsisten dan berkelanjutan.
Jika penulis analogikan secara sederhana, bahwa sehat memang bukan segalanya, tetapi jika
kita tidak sehat, maka segalanya akan sia-sia. Oleh karena itu dinamika politik tahun 2014 yang
harus dipersiapkan sejak tahun 2013 ini melalui pencalonan presiden, gubernur/walikota,
anggota DPR dan DPRD haruslah diorientasikan untuk membangun kesehatan bangsa. Sistem
kesehatan bangsa dan daerah yang mudah, efektif dan efisien harus menjadi pondasi sekaligus
ujung tombak negara. Hal ini menjadi sangat penting jika pendapatan daerah dan negara ingin
meningkat, begitu pula kesejahteraan dan kemakmuran rakyat masih menjadi tujuan utama
bangsa, sesuai empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan
NKRI.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Politik dalam arti kepentingan umum adalah suatu rangkaian azas/prinsip, keadaan
serta jalan, cara dan alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan
yang kita kehendaki disertai dengan jalan, cara dan alat yang akan kita gunakan untuk mencapai
tujuan yang kita inginkan. Politik memiliki pengaruh begitu besar terhadap kebijakan dan
pengembangan di bidang kesehatan.
Politik Kesehatan adalah Ilmu dan seni untuk memperjuangkan derajat kesehatan
masyarakat dalam satu wilayah melalui sebuah sistem ketatanegaraan yang dianut dalam sebuah
wilayah atau negara .
Politik kesehatan atau kebijakan kesehatan memang akhirnya ditentukan oleh
keputusan politik. Kalau kehidupan politik di suatu Daerah tidak sehat, jangan harap kesehatan
masyarakat di daerah itu akan diurus dengan sehat pula. Politik yang sakit akan membiarkan
rakyatnya sakit. Kemiskinan ternyata ikut memperkeruh persoalan kesehatan.
3.2 Saran
Demikian uraian materi tentang Politik dalam Kesehatan, Semoga kebijakan-kebijakan
politik kesehatan di indonesia bisa terlaksana dengan baik dan semua rakyat Indonesia bisa
menikmati haknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan layak dan memiliki
kesempatan yang sama untuk mendapatkan jeminan kesehatan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA

Aminullah, S, 2000, Peranan Legislator Dalam Upaya Meningkatkan Pembiayaan Kesehatan


di Indonesia
Aminullah, S,2005, Peranan Anggota Muda IAKMI dalam Mendorong Lahirnya VISI
BARU KESEHATAN INDONESIA untuk mempercepat Pembangunan Kesehatan Masyarakat
Aminullah, S,2005, Komitmen Politik Oleh ”Aktor-Aktor” Politik Guna Mewujudukan
Indonesia Sehat 2010
http://pcim-rusia.org/dinamika-politik-harus-membangun-kesehatan-bangsa/, akses tgl
25/06/2013.
http://arfandisade-as.blogspot.com/2012/08/politik-kesehatan.html
http://catatanrifki.blogspot.com/2012/12/politik-dan-kesehatan-imu-sosial-dan.html\
http://fujihusada.blogspot.com/p/pengantar-tentang-kebijakan-kesehatan.html

Anda mungkin juga menyukai