Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga berkat karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini yang membahas mengenai Kesehatan Reproduksi
dalam Perspektif Islam.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan, baik pada
teknis penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat
diharapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Semoga materi dalam makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan
pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi kami sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai. Amin.
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
aman,”. ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) semakin bertambah dan meluas. Kanker rahim
dan payudara masih banyak, relasi seksual tidak sehat semakin menggejala. Lebih jauh dari
itu adalah tingginya angka kekerasan terhadap perempuan. CATAHU 2013 mencatat
279.760 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah ini, 263.285 atau 94% kasus
diperoleh dari pengadilan agama (PA) dan 16.403 atau 6% kasus diperoleh dari 195 lembaga
mitra pengada layanan dari 31 propinsi. Pada umumnya kekerasan tersebut terjadi dalam
rumah tangga yang meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi.
Sementara itu berbagai daerah di Indonesia telah menerbitkan Kebijakan Diskriminatif.
Hasil Pemantauan Komnas Perempuan tahun 2009 menemukan 154 Kebijakan
Diskriminatif, dan kini 2014 ada 365. 279 menyasar kepada perempuan. Beberapa di
antaranya adalah 90 tentang busana, 24 pekerja seks dan pornografi, 30 pemisahan ruang
public dan 35 tentang aturan jam malam.
Kesehatan reproduksi yang rendah ini berkaitan erat dengan hak-hak reproduksi
perempuan yang masih timpang dan tak mendapatkan perhatian yang serius. Oleh karena itu
perlu adanya pengakajian tentang kesehatan reproduksi dan dampak dari masalah kesehatan
reproduksi dan bagaimana menanggulangi serta mencegah masalah-masalah yang
seharusnya tak terjadi, demi terwujudnya masyrakat yang bsehat dan berkualitas.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
2.2 Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi
Menurut Depkes RI (2011) ruang lingkup kesehatan reproduksi sebenarnya sangat
luas, sesuai dengan definisi yang tertera di atas, karena mencakup keseluruhan kehidupan
manusia sejak lahir hingga mati. Dalam uraian tentang ruang lingkup kesehatan reproduksi
yang lebih rinci digunakan pendekatan siklus hidup (life-cycle approach), sehingga
diperoleh komponen pelayanan yang nyata dan dapat dilaksanakan. Secara lebih luas, ruang
lingkup kespro meliputi:
Kesehatan ibu dan bayi baru lahir
Keluarga Berencana
Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi ( ISR ), trmasuk
PMS-HIV / AIDS
Pencegahan dan penangulangan komplikasi aborsi
Kesehatan Reproduksi Remaja
Pencegahan dan Penanganan Infertilitas
Kanker pada Usia Lanjut dan Osteoporosis
Berbagi aspek Kesehatan Reproduksi lain misalnya kanker serviks, mutilasi
genetalia, fistula dll.
6
2.3 Kesehatan Reproduksi dalam Ajaran Islam
Islam sebagai pandangan hidup tentu saja memiliki kaitan dengan kesehatan
reproduksi mengingat Islam berfungsi sebagai pengatur kehidupan manusia dalam rangka
mencapai keadaan sesuai dengan definisi kesehatan reproduksi itu sendiri. Islam mengatur
kesehatan reproduksi manusia ditujukan untuk memuliakan dan menjunjung tinggi derajat
manusia. Dan Islam sejak belasan abad yang lalu—jauh sebelum kemajuan ilmu kesehatan
dan kedokteran—mengaturnya sesuai dengan Quran, hadits, dan ijma para ulama, yang
mencakup seksualitas, kehamilan, menyusui, kontrasepsi dan KB, dan aborsi, serta hal lain
yang tidak dapat dijelaskan satu-satu persatu. Dan sebagai umat muslim kita wajib
mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan
sebagai umat manusia.
7
bulan Ramadhan. Penelitian-penelitian di abad modern menunjukkan korelasi positif antara
larangan tersebut dengan efek merugikan yang ditimbulkannya bila dilakukan.
Dalam Islam hubungan seksual pranikah dan perselingkuhan dilarang dan dapat
dihukum sesuai syariat. Bahkan negara kita juga telah memasukkan perihal ini dalam
KUHP. Supaya umat manusia tidak terjebak pada perilaku tercela maka Islam mengaturnya
dalam Quran surat Al Israa: 32 yaitu tentang larangan mendekati zina. Bukan hanya
melakukan, mendekatinya saja dilarang dalam Islam seperti hubungan laki-laki dan
perempuan bukan muhrim yang terlampau bebas.
Hubungan seksual yang bebas (freesex) secara kedokteran dapat menyebabkan
penyakit/ infeksi menular seksual, kehamilan tak diinginkan, aborsi dan kematian ibu, dan
bayi tanpa ibu. Secara sosial maka akan menimbulkan nasab yang tidak jelas, sehingga
kehidupan keluarga dan sosial budaya akan terganggu. Semua hal itu akan berujung pada
penurunan kualitas generasi bangsa.
8
tubuhnya roh (ciptaan)Nya, dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur."
9
bergantung kepada niat. Kalau kita menggunakan kontrasepsi karena ingin anak sedikit,
malas mengurus anak, takut kulit rusak, takut organ reproduksi atau fungsi seksual
terganggu, atau takut miskin, tentunya menggunakan kontrasepsi bertentangan dengan
anjuran Islam karena unsurnya hanyalah egoisme
bukan hablumminallah atau hablumminannas. Tentunya berbeda kalau kita berupaya
menjarangkan kehamilan itu karena ikhtiar untuk dapat mendidik anak dengan lebih
sempurna atau karena kita takut lahir anak yang cacat bila usia kita sudah di atas 35 tahun.
Ada baiknya kita renungkan ayat Quran berikut:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar (QS. An Nisaa: 9)”
10
2.3.6 Islam dan Pendidikan Seks
Islam juga sama sekali tidak lupa untuk mengajarkan kita tentang pendidikan seks
berupa penjelasan tentang alat-alat reproduksi, kehamilan, menstrusi (haid), hubungan
seksual yang aman dan syar’i, dengan bahasa yang sederhana dan dalam batas tata susila
yang diperlukan, bukan mengandung unsur pornografi. Akhirnya kita semua harus
memahami bahwa Islam mengatur seksualitas untuk mencegah umat manusia melakukan
perilaku seksual yang serampangan, yang dapat mengancam kemanusiaan.
11
berbeda dengan khitan laki-laki. Pemotongan klitoris boleh jadi justeru menghilangkan
kenikmatan seksual perempuan.
Kalau demikian, pernyataan nabi di atas seharusnya dapat diinterpretasikan sebagai
respon nabi atas budaya khitan yang masih berakar kuat dalam masyarakat Arab waktu
itu sambil berusaha melakukan reduksi atasnya secara persuasive dan bertahap.
Soalanya penghapusan budaya secara serta merta akan menimbulkan resistensi yang
besar dari masyarakat. Dengan begitu pernyataan itu juga dapat mengarah pada upaya
penghapusannya terutama ketika praktek khitan perempuan tersebut menurut
pertimbangan kesehatan (medis) tidak memberikan manfaat apalagi menyakiti atau
merusak anggota tubuh.
2) Hak menentukan perkawinan
Perempuan dalam banyak tradisi seringkali dianggap tidak memiliki hak untuk
menentukan kapan dan dengan siapa dia akan kawin. Seluruh kepentingan perempuan
gadis ditentukan oleh orang tuanya dan dia harus patuh menjalaninya tanpa bisa
menolaknya. Penolakan terhadap kehendak orang tua seringkali akan dicap sebagai
anak yang tidak berbakti. Pada daerah tertentu, sampai hari ini masih berkembang
anggapan bahwa orang tua yang dalam waktu dini bisa mengawinkan anak gadisnya
akan dipandang berhasil. Mengawinkan anak gadis dalam usia dini seringkali
merupakan kebanggaan keluarga. Ada sejumlah alasan mengapa ini dilakukan. Ini
antara lain adalah kekhawatiran tidak laku atau menjadi perawan tua. Alasan lain yang
paling umum dikemukakan adalah bersifat ekonomis.Ini pada umumnya terjadi pada
masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah di pedesaan.
Tetapi tradisi mengawinkan anak gadis belum dewasa seringkali juga mengambil
dasar keagamaan. Pertama hadits nabi yang menyatakan bahwa salah satu kewajiban
orang tua terhadap anaknya adalah segera mengawinkannya jika dia sudah baligh. Jika
tidak segera dikawinkan dikhawatirkan akan menimbulkan “fitnah”. Baligh dalam
batasan fiqh ditentukan berdasarkan haidnya atau usia maksimal 15 tahun. Meskipun
UU Perkawinan Indonesia telah menetapkan batas usia minimal perkawinan perempuan
(16 tahun), namun perkawinan di bawah usia dewasa tersebut masih menjadi fenomena
yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Jika kita membaca literatur fiqh secara lebih cermat, maka akan ditemukan satu
benang merah. Yaitu bahwa perkawinanan di bawah usia bukanlah sesuatu yang baik
(mustahab). Imam Syafi’i pernah menyatakan : “Sebaiknya ayah tidak mengawinkan
anak gadisnya sampai dia baligh, agar dia bisa menyampaikan izinnya (kerelaannya)
12
karena perkawinan akan membawa berbagai kewajiban dan tanggungjawab”.(Najib
Muthi’i, Takmilah al Majmu’, XV/58). Dalam analisis kesehatan reproduksi,
perkawinan dini dapat menimbulkan kondisi yang rawan. Hal ini bukan hanya terkait
dengan kondisi alat-alat reproduksinya yang belum kuat, tetapi juga berhubungan
dengan tingkat kematangan mental dan emosinya. Padahal perkawinan dimaksudkan
untuk membangun kehidupan rumahtangga yang didasarkan hubungan saling
mencintai, saling memberi dan saling menguatkan demi kemaslahatan bersama. Untuk
ini dibutuhkan kesiapan mental dan intelektual yang matang untuk dapat menentukan
kehidupannya.
Kedua, ketentuan hukum agama (fiqh) yang menyatakan bahwa ayah berhak
mengawinkan anak gadisnya meskipun tanpa izin eksplisit yang bersangkutan. Ayah
adalah pemilik hak ijbar yang diterjemahkan sebagai hak memaksa anak gadis untuk
dikawinkan dengan laki-laki yang boleh jadi tidak dikehendakinya.
Pemaknaan hak ijbar sebagai hak memaksakan kehendak tanpa persetujuan yang
bersangkutan adalah tidak tepat. Perkawinan yang dihasilkan dengan cara pemaksaan
sama dengan sebuah transaksi yang tidak didasarkan atas kerelaan (taradhin). Siti
Aisyah pernah menceritakan tentang seorang perempuan muda yang dipaksa kawin oleh
ayahnya dengan orang yang tidak dia sukai. Dia mengadukan masalahnya kepada Nabi
saws. Mendengar pengaduan perempuan itu beliau kemudian memanggil ayahnya dan
memintanya agar menyerahkan urusan itu kepada anak perempuannya itu. (Ibnu al
Atsir, Jami’ al Ushul, XII/140). Ini menunjukkan dengan jelas bahwa hak menentukan
pasangan hidup atau jodoh berada di tangan perempuan sendiri. Apa yang dapat kita
ambil dari sikap nabi saw tersebut adalah bahwa kemandirian perempuan menjadi
sangat penting untuk diperhatikan, karena di dalamnya terkandung aspek
tanggungjawab terhadap kesehatan reproduksinya sendiri.
3) Hak penikmatan seksual.
Sebagai makhluk biologis, laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan yang sama
dalam hal menikmati kehidupan seksual (coitus). Kebutuhan akan seks adalah fitrah
binatang apa saja, termasuk manusia. Dalam Islam kebutuhan seks manusia itu harus
disalurkan melalui ikatan perkawinan yang oleh al Qur-an disebut sebagai “mitsaq
ghalizha”, perjanjian yang kuat Tetapi dalam banyak literature fiqh Islam, hak
penikmatan seksual tampak hanya menjadi milik laki-laki. Hak-hak seksual perempuan
direduksi, jika tidak boleh disebut dinafikan. Pendapat terkuat dari mazhab al Syafi’i,
misalnya, berpendirian bahwa kewajiban laki-laki (suami) melayani kebutuhan seksual
13
perempuan hanya sekali seumur hidup perkawinan mereka. Ini juga hanya karena
tuntutan moral belaka.(Abdurrahman al Jaziri, Al Fiqh ‘ala Mazahib al Arba’ah, IV/3).
Selebihnya adalah tergantung pada laki-laki (suami) untuk memenuhinya atau tidak.
Dengan arti lain, laki-laki (suami) berhak atas kenikmatan seksnya kapan saja, dan
perempuan (isteri) wajib memenuhinya. Pandangan lebih baik dikemukakan oleh
mazhab Maliki, meskipun masih tetap bias. Ia mengatakan bahwa suami wajib melayani
kebutuhan seksual isteri hanya jika penolakannya akan menimbulkan penderitaannya.
Perspektif ahli fiqh di atas agaknya merupakan konsekwensi dari rumusan nikah
yang dibuatnya. Mayoritas besar para ahli fiqh menyepakati rumusan perkawinan atau
pernikahan sebagai akad yang memberikan hak kepada laki-laki untuk penikmatan
tubuh perempuan. Rumusan ini di samping memperlihatkan perspektif laki-laki, juga
melihat perempuan sebatas sebagai sosok tubuh dan organ-organ reproduksi yang
menarik dan patut dinikmati, bukan sebagai tubuh yang utuh dengan segenap kehendak
dan hasrat kemanusiaannya.
Pada sisi lain pandangan ahli fiqh di atas tampaknya berpijak pada argumen hadits
nabi yang dibaca harfiyah dan diinterpretasikan secara bias. Nabi saw menyatakan
bahwa perempuan yang menolak hasrat seksual suaminya dikutuk malaikat sampai
pagi. (baca : Al Bukhari, al Shahih, V/1992). Wacana keagamaan ini tampaknya telah
berkembang menjadi kebudayaan yang masih berlangsung sampai hari ini.
Kewajiban perempuan menyerahkan tubuhnya kepada suaminya tanpa bisa
menolaknya sesungguhnya dapat menyulitkan perempuan untuk mengendalikan hak-
hak reproduksinya. Bukan hanya dia sangat mungkin tidak mendapatkan kenikmatan
seksual, tetapi juga boleh jadi merupakan tekanan yang berat secara psikologis. Lebih
jauh ketidakberdayaan perempuan menolak hasrat seksual laki-laki dapat menimbulkan
akibat-akibat buruk bagi kesehatan reproduksinya.
Pandangan ini sungguh sulit dapat dimengerti ketika dihubungkan dengan prinsip
kesetaraan hak laki-laki dan perempuan dan pesan al Qur-an tentang perlunya
membangun relasi cinta kasih (mawaddah wa rahmah) antara suami dan isteri dalam
membina rumahtangganya untuk sebuah generasi yang sehat. Al Qur-an dan hadits nabi
juga selalu menekankan pentingnya relasi yang dibangun atas dasar “mu’asyarah bi al
ma’ruf”. Ini tentu saja membutuhkan relasi yang saling memahami, menghargai dan
menjaga kesehatan reproduksinya masing-masing. Karena itu adalah mungkin
diinterpretasikan bahwa apa yang dikemukakan hadits tersebut berlaku terhadap
perempuan (isteri) yang berada dalam kondisi aman dan tidak dalam tekanan-tekanan
14
psikologis. (Untuk interpretasi ini lihat dalam : Ibnu Hajar al Asqallani, Fath al Bari,
IX/294, Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuh, IX/6851).
Prinsip kesejajaran laki-laki dan perempuan, dan “mu’asyarah bi al ma’ruf” di
atas sesungguhnya akan membawa konsekwensi logis pada dua hal. Yaitu hak
perempuan untuk memperoleh kenikmatan kehidupan seksualnya dari laki-laki (suami)
di satu sisi dan hak perempuan untuk menolak hubungan seksual karena alasan-alasan
yang dapat dibenarkan di sisi yang lain. Aspek lain yang terkait dengan ini adalah
haknya untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi termasuk biaya yang
diperlukan bagi kesehatannya.
4) Hak menentukan kehamilan
Paradigma ini lebih lanjut dapat menjadi dasar bagi hak perempuan menolak untuk
hamil karena pertimbangan kesehatan reproduksinya. Adalah sangat simpatik bahwa al
Qur-an menekankan perlunya masyarakat memperhatikan dengan sungguh-sungguh
soal kehamilan perempuan. Kehamilan, kata al Qur-an, merupakan proses reproduksi
yang sangat berat : “wahnan ‘ala wahnin” (kelemahan yang berganda) (Q.S. Luqman,
14) dan “kurhan” (sesuatu yang sangat berat).(Q.S. al Ahqaf, 15). Al Qur-an melalui
kedua ayat di atas berwasiat agar manusia berbuat baik kepada orang tua mereka.
Kondisi sangat lemah dan sangat berat tersebut mencapai puncaknya pada saat
melahirkan. Terdapat banyak fakta social dan data penelitian tentang kematian ibu yang
diakibatkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan dan proses melahirkan.
Oleh karena itu adalah sangat masuk akal bahkan seharusnya jika kehendak untuk
hamil atau tidak, mempunyai anak atau tidak, perlu mempertimbangkan suara
perempuan lebih dari suara laki-laki. Perempuan adalah pemilik utama rahim, tempat
cikalbakal manusia dikandung. Dalam masa Islam klasik persoalan kehendak untuk
tidak hamil dibahas dalam bab Azl atau coitus interuptus. Meskipun ada pandangan
yang mengharamkan azl, karena dianggap sebagai “pembunuhan tersamar”, tetapi
mayoritas ulama berdasarkan teks hadits yang lain membolehkannya. Al Ghazali
bahkan bukan hanya membolehkan azl atas dasar pertimbangan kesehatan reproduksi
melainkan juga atas dasar keinginan perempuan sendiri untuk menjadi tetap cantik,
awet muda, khawatir risiko keguguran dan khawatir repot banyak anak. (Al Ghazali,
Ihya Ulum al Din, II/52).
Pada saat ini proses menunda kehamilan atau mengaturnya dapat dilakukan melalui
teknis, metode dan alat kontrasepsi yang beragam dan lebih canggih. Mayoritas
pandangan ulama dewasa ini telah memberikan lampu hijau bagi masyarakat muslim
15
untuk menggunakan metode-metode dan alat-alat kontrasepsi apapun sepanjang tidak
dimaksudkan untuk membatasi berlangsungnya proses reproduksi manusia. Agak
disayangkan memang bahwa alat-alat kontrasepsi yang ada sampai saat ini masih lebih
banyak diperuntukkan bagi perempuan dan jarang bagi laki-laki. Penyebutan alat-alat
kontrasepsi diasosiasikan masyarakat sebagai alat-alat untuk perempuan.
5) Hak mendapatkan informasi kesehatan reproduksi
Akan tetapi memberikan hak kepada perempuan untuk menentukan atau
memutuskan kehamilannya tidaklah cukup dapat menjamin terwujudnya kondisi
reproduksi perempuan yang sehat. Indikasinya adalah seringnya muncul keluhan
perempuan yang ber KB. Hal ini bisa terjadi ketika mereka tidak diberikan hak untuk
mendapatkan informasi mengenai system dan alat-alat kontrasepsi yang membuatnya
tetap sehat. Di sinilah, maka perempuan juga berhak mendapatkan pengetahuan yang
baik mengenainya. Pihak-pihak lain yang memahami alat-alat kontrasepsi, terutama
pemerintah, berkewajiban menyampaikan secara jujur mengenainya, bukan atas dasar
kepentingan demografis tetapi benar-benar karena alasan kesehatan reproduksi
perempuan. Ini berarti juga bahwa dokter atau petugas kesehatan yang menangani
pemasangan alat kontrasepsi berkewajiban memberikan jenis alat kontrasepsi yang
sesuai atau cocok untuk kepentingan tersebut.
Adalah sangat menarik bahwa ketika al Qur-an mengemukakan asal kejadian
manusia dan perkembangbiakannya ia kemudian menekankan kepada manusia agar
benar-benar saling memberikan informasi tentang perlunya menjaga rahim. Al Qur-an
menyatakan : “Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling
meminta (saling memberi informasi, pen.) dan saling menjaga rahim-rahim”. (Q.S. al
Nisa, 1). Para ahli tafsir memang memberikan tafsiran ayat ini tentang perlunya menjaga
hubungan silaturrahim melalui pemenuhan hak dan kewajiban kemanusiaan. Akan
tetapi adalah mungkin bahwa ia juga dimaksudkan agar manusia juga saling menjaga
rahim, tempat di mana cikalbakal manusia dikandung dan kemudian dilahirkan.
6) Hak menentukan kelahiran
Penggunaan alat-alat kontrasepsi untuk menunda kehamilan tidak dengan sertamerta
menjamin kehamilan itu sendiri. Kegagalan penggunaan alat kontrasepsi, misalnya,
mungkin saja terjadi dan dalam banyak fakta kemungkinan ini seringkali terjadi.
Kehamilan yang tidak dikehendaki dengan begitu sangat bisa terjadi. Kehamilan yang
tidak dikehendaki mungkin juga bukan hanya karena factor kegagalan kontrasepsi
melainkan juga karena faktor lain yang bisa mengganggu kesehatan reproduksi
16
perempuan. Dalam keadaan demikian dapatkan perempuan menggugurkan
kandungannya (aborsi)?.
Pada prinsipnya, Islam mengharamkan segala bentuk perusakan, pelukaan dan lebih
jauh pembunuhan manusia. Ini dikemukakan dalam banyak ayat al Qur-an maupun
pernyataan nabi saw. Al Qur-an menyatakan : “jangan kamu jatuhkan dirimu dalam
kebinasaan”. Dalam sebuah hadits nabi pernah menyatakan : “la dharar wa la dhirar”
(tidak ada hak orang untuk membuat tindakan yang membahayakan dirinya dan orang
lain). Ia hanya bisa dilakukan atas dasar hukum yang benar demi keadilan manusia.
Meski demikian ada banyak kasus dimana manusia dihadapkan pada pilihan-
pilihan yang tidak dikehendaki. Tidak sedikit kasus di mana seorang perempuan yang
hamil dihadapkan pada persoalan penyakit yang dapat membawa risiko kematian jika
kehamilannya diteruskan. Misalnya penyakit jantung kronis, paru-paru atau kanker
yang parah dan lain-lain. Seorang perempuan juga bisa menghadapi problem kehidupan
yang sangat pahit, misalnya stress berat akibat perkosaan atau incest. Pada kasus-kasus
seperti ini dia menghadapi pilihan yang dilematis. Menggugurkan kandungan dapat
berarti membunuh jiwa manusia yang sudah hidup. Tetapi membiarkan jiwa tersebut
tetap hidup di dalam perut ibunya kemudian dilahirkan, bisa jadi dapat mengakibatkan
kematian sang ibu atau membawa trauma psikologis yang sangat berat. Realitas
Indonesia menunjukkan bahwa kematian ibu negara ini akibat melahirkan tergolong
paling besar. Lebih dari 400 orang setiap 100 ribu meninggal dunia. Bagaimana sikap
Islam khususnya fiqh mengenai hal ini ?
Tradisi fiqh selalu menyediakan sejumlah alternatif jawaban, karena ia adalah
produk pemikiran orang dalam sejarah. Kesepakatan para ahli fiqh dalam kasus ini
terjadi ketika janin sudah berusia di atas 120 hari. Pengguguran kandungan pada usia
ini diharamkan. Pada usia ini menurut mereka, janin sudah merupakan wujud manusia
berikut segala kelengkapannya. Untuk aborsi sebelum usia 120 hari para ahli Islam
mempunyai pandangan yang beragam. Pluralitas pandangan tersebut lebih disebabkan
oleh perbedaan mereka dalam menganalisis teks al Qur-an dalam surah al Mukminun,
12-14 dan hadits nabi yang menegaskan persoalan ini. Ayat ini menyebutkan fase-fase
pertumbuhan dan pembentukan manusia dalam kandungan. Yaitu fase nutfah, ‘alaqah
dan mudghah. Pendirian paling ketat dikemukakan oleh al Ghazali dari mazhab Syafi’I,
mayoritas mazhab Maliki dan Ibnu Hazm dari mazhab Zhahiri (leteralis). Mereka
menyatakan aborsi diharamkan sejak fase pembuahan. Sementara mayoritas mazhab
Syafi’I, sebagaimana diungkapkan al Ramli dalam Nihayah al Muhtaj, mengharamkan
17
aborsi sesudah fase nutfah. Pendirian paling longgar dikemukakan oleh mazhab Hanafi.
Al Hashkafi mengatakan bahwa aborsi dapat dilakukan pada janin dibawah usia 120
hari. (Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, II/51, Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, II/348,
Ibnu Hazm, Al Muhalla, XI/35-40. Baca pula : Jad al Haq Ali Jad al Haq, Ahkam al
Syari’ah al Islamiyah fi Masail al Thibbiyyah, hlm. 139).
18
Konvensi Hak- hak Sipil dan Politik (ICCPR)
o Hak atas Kebebasan pribadi ( Pasal 17)
o Hak persamaan (Pasal 26)
o Hak Kebebasan dari diskriminasi (Pasal 2; 1)
UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW, Undang-undang No. 23 Tahun
1992 tentang kesehatan, UU No 23 Tahun 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Strategi dan Kebijakan Kesehatan Reproduksi Remaja Nasional (BKKBN).
19
7. Hak untuk menikah atau tidak menikah serta membentuk dan merencanakan
keluarga
8. Hak untuk memutuskan mempunyai anak atau tidak dan kapan mempunyai anak
9. Hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan
Setiap individu mempunyai hak atas informasi, keterjangkauan, pilihan, keamanan,
kerahasiaan, kepercayaan, harga diri, kenyamanan, dan kesinambungan pelayanan.
10. Hak untuk mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan
Setiap individu mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi
dengan teknologi mutakhir yang aman dan dapat diterima.
11. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik
Setiap individu mempunyai hak untuk mendesak pemerintah agar memprioritaskan
kebijakan yang berkaitan dengan hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi.
12. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk
Termasuk hak-hak perlindungan anak dari eksploitasi dan penganiayaan seksual.
Setiap individu mempunyai hak untuk dilindungi dari perkosaan, kekerasan,
penyiksaan, dan pelecehan seksual.
20
3) Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh pelayanan KB yang aman, efektif,
terjangkau, dapat diterima, sesuai dengan pilihan, tanpa paksaan dan tak melawan
hukum.
4) Setiap perempuan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya, yang
memungkinkannya sehat dan selamat dalam menjalani kehamilan dan persalinan, serta
memperoleh bayi yang sehat.
5) Setiap anggota pasangan suami-isteri berhak memilki hubungan yang didasari
penghargaan.
6) Terhadap pasangan masing-masing dan dilakukan dalam situasi dan kondisi yang
diinginkan bersama tanpa unsure pemaksaan, ancaman, dan kekerasan.
7) Setiap remaja, lelaki maupun perempuan, berhak memperoleh informasi yang tepat dan
benar tentang reproduksi, sehingga dapat berperilaku sehat dalam menjalani kehidupan
seksual yang bertanggungjawab.
8) Setiap laki-laki dan perempuan berhak mendapat informasi dengan mudah, lengkap,
dan akurat mengenai penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS.
21
5) hak untuk kebebasan berfikir, termasuk kebebasan dari penafsiran ajaran-ajaran
agama yang sempit, dan tradisi yang akan membatasi kebebasan berpikir tentang
pelayanan kesehatan reproduksi.
6) hak untuk hidup, setiap perempuan mempunyai hak untuk dibebaskan dari resiko
kematian karena kehamilan. setiap individu berhak untuk menikmati dan mengatur
kehidupan reproduksinya dan tidak seorang pun yang dapat memaksa untuk
menjalani sterilisasi serta aborsi.
7) hak atas keamanan dan bebas dari penganiayaan serta perlakuan buruk, termasuk hak
anak-anak agar dilindungi dari eksploitasi dan penganianaan seksual serta hak setiap
orang untuk dilindungi dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan
seksual.
8) hak mendapat manfaat dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan, termasuk pengakuan
bahwa ssetiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi dengan
tehnologi mutakhir yang aman dan dapat diterima.
9) hak atas kerahasisn pribadi, artinya, pelayanan reproduksi dilakukan dengan
menghormati keharmonisan, dan bagi bagi perempuan di beri hak untuk menentukan
sendiri pilihan reproduksinya.
10) hak memilih bentuk keluarga dan hak untuk membangun dan merencanakan
keluarga.
11) hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik, artinya, setiap orang
mempunyai hak untuk mendesak pemerintah agar mendapatkan masalah hak dan
kesehatan reproduksi sebagai prioritas dalam kebijakan politik negaranya
12) hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi, termasuk kehidupan
berkeluarga dan reproduksi.
22
karena: pendidikan, pekerjaan, usia dan pengalaman. Dengan demikian agama tetap
berpengaruh pada mereka selama hal tersebut “sesuai” dengan kondisi mereka.
2) Hak menikmati hubungan Seksual
Konsekuensi logis dari sebuah perkawinan adalah dilakukannya hubungan seksual oleh
pasangan suami isteri. Bagi suami isteri yang menempuh perkawinan atas dasar suka sama
suka dan keduanya memang sudah sama-sama ingin melakukan hubungan seks, hal itu tidak
jadi masalah bahkan akan selalu didambakan, karena masing-masing akan merasa penuh
kepuasan dan penuh kenikmatan. Baik suami maupun istri sama-sama memiliki hak untuk
menikmati hubungan seksual, meski pandangan ini hanya dimiliki oleh beberapa orang saja.
Ada juga pandangan yang menarik bahwa mereka senang dan puas bisa melayani suaminya
namun mereka tidak menuntut kepuasan karena mengganggap sebagai sebuah kewajiban.
3) Hak Menceraikan Pasangan
Tidak ada pasangan suami istri yang mendambakan terjadinya perceraian ketika mereka
memasuki pernikahan, tapi terkadang perceraian dipandang sebagai jalan terbaik bagi
pasangan yang tidak menemukan keharmonisan dalam rumah tangga. Tidak ada jaminan
bahwa dalam hidup hanya hal-hal yang diidealkan yang bisa terjadi, karena secara umum
disadari bahwa tidak mungkin perceraian sama sekali dihindari. Mengapa? Karena menurut
kesan umum, dalam Fiqih Islam begitu lapang jalan menuju perceraian, khususnya bagi
suami, sementara istri lebih sulit. Sebagai ajaran moral Ilahiah, Islam sangat tidak menyukai
perceraian.
23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1) Kesehatan reproduksi merupakan hal yang sangat penting dan sangat marak
dibicarakan, begitu banyaknya fernomena yang terjadi karena kurangnya perhatian
terhadap peningkatan mutu kesehatan reproduksi wanita di Indonesia dan
meningkatnya kekerasan terhadap kaum wanita pemerkosaan, kehamilan yang tidak
diinginkan yang mengakibatkan rentetan masalah yang berkepanjangan umumnya
dikalangan wanita khususnya remaja.
2) Tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan penghambat kemajuannya serta
menghalanginya menikmati hak asasi dan kebebasan, yang juga menghambat
tercapainya kesetaraan gender antara perempuan dan laki -laki. Tindak kekerasan
terhadap perempuan dianggap sebagai pelanggaran hak asasi dan telah disepakati.
3) Beberapa kalangan tidak menyetujui adanya pendidikan seks diberikan pada anak
karena khawatir akan semakin membuat anak ingin tahu dan melakukannya namun
ada kalangan yang menyetujui pendidikan seks diberikan sejak usia dini justru untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada anak mereka.
4) Sebagai generasi muda yang berkualitas, kita harus bisa memiliki keimanan yang
tinggi dan mengakar, memiliki pemahaman tentang Islam yang bagus dan memiliki
komitmen yang kuat untuk melaksanakan kebenaran yang sudah kamu pahami
tersebut.
5) Hadis yang banyak dikutip para ulama tentang relasi suami dan istri lebih
menekankan kewajiban istri untuk melayani suami. Wacana yang dibangun sering
kurang berimbang sehingga menciptakan standar ganda dalam hubungan suami-istri.
Yaitu di satu sisi, suami lebih sering ditekankan tentang hak-hak atas istrinya; disisi
lain, istri lebih sering ditekankan tentang tanggung jawab (kewajiban) terhadap
suami. Implikasinya banyak istri yang tidak tahu bahwa ia pun berhak menikmati
hubungan seksual, memiliki keturunan, menentukan kehamilan, merawat anak, cuti
reproduksi dan menceraikan pasangan.
24
3.2 Saran
Ada banyak hal yang bisa kita lakulan untuk mengtasi berbagai permsalahan
kesehatan reproduksi antara laian adalahsebagai berikut:
1) Kesadaran akan pentingnya masalah kependudukan sudah dimulai sejak bumi dihuni
oleh ratusan juta manusia untuk dapat menyelamatkan nasib manusia di muka bumi,
masih terbuka peluang untuk meningkatkan kesehatan reproduksi melalui gerakan
yang lebih intensif.
2) Melakukan gerakan KB, Tanpa gerakan KB yang intensif, dikhawatirkan manusia
akan terjebak dalam kemiskinan, kemelaratan, kebodohan yang merupakan
malapetakan bagi manusia yang sangat dahsyat dan mencekam.
3) Kematian dan kesakitan pada antenatal, postnatal dan neonatal sudah lama menjadi
masalah, khusus di negara berkembang. Sekitar 20-50% kematian perempuan usia
subur diakibatkan oleh hal yang berkaitan dengan kehamilan dan kelahiran. Oleh
karena itu dilakukan gerakan sayang ibu.
4) Melakukan Pendektan sosial budaya, dengan pemberian penyuluhan tentang
kesehatan reproduksi, baik disekolah-sekolah maupun di lingkungan masyarakat,
biasanya dilakukan dalam acara pengajian, pertunjukan seni dan sebagainya, untuk
menarik perhatian target.
25
DAFTAR PUSTAKA
http://kesehatandanislam.blogspot.com/2011/10/islam-dan-kesehatan-reproduksi.html
https://profduski.wordpress.com/2016/07/24/kesehatan-reproduksi-dalam-pandangan-
islam/
http://raramidy.blogspot.com/2011/03/pandangan-islam-tentang-kespro.html
http://bintusahaly.blogspot.com/2010/12/kesehatan-reproduksi-dalam-tinjauan.html
http://digilib.uinsby.ac.id/6387/8/Bab%203.pdf
https://dewiseftia.wordpress.com/2017/09/14/ruang-kingkup-kesehatan-reproduksi-dalam-
siklus-kehidupan/
https://wahyunishifaturrahmah.wordpress.com/2010/02/16/hak-hak-reproduksi-
perempuan-dalam-perspektif-al-quran/
https://pkbi-diy.info/hak-reproduksi-dan-seksual/
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=402603&val=3911&title=ISLAM,%2
0HAK%20DAN%20KESEHATAN%20REPRODUKSI
26