Anda di halaman 1dari 2

"Secara etimologi (cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal-usul suatu kata), saya belum

menemukan tentang kata 'tumpeng'. Hanya saja, dalam masyarakat Jawa, ditemukan bahwa kata
'tumpeng' merupakan akronim dari kalimat 'yen meTu kudu meMPENG'," kata Dr Ari Presetiyo,
SS,MSi, dosen Sastra Jawa di Universitas Indonesia, kepada KompasTravel.
Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kalimat "yen metu kudu mempeng" tersebut
berarti "ketika keluar harus sungguh-sungguh semangat".
"Mungkin maksudnya adalah manusia ketika terlahir harus menjalani kehidupan di jalan Tuhan
dengan semangat, yakin, fokus, tidak mudah putus asa. Juga dalam proses itu semua, percayalah
bahwa Tuhan ada bersama kita," kata tambah Dr Ari.
Lauk-pauk tumpeng yang umumnya terdiri dari tujuh jenis juga memiliki makna. "Biasanya
tujuh lauk karena dalam bahasa Jawa tujuh adalah 'pitu' akronim dari 'pitulungan' atau pertolongan.
Lauk-lauk itu juga merepresentasikan sumber alam, terutama hasil bumi. Ada lauk yang dari laut,
darat, dan juga udara. Rasanya juga ada asam, manis, pahit, seperti halnya kehidupan di dunia,"
jelasnya.
Nasi tumpeng merupakan bentuk representasi hubungan antara Tuhan dengan manusia dan
manusia dengan sesamanya. Dalam Kitab Tantupanggelaran (kitab dari zaman Majapahit)
diceritakan, saat Pulau Jawa berguncang, Batara Guru dalam konsep Hindu memerintahkan
membawa puncak Mahameru India untuk menstabilkan Pulau Jawa dan jadilah Gunung Semeru di
Jawa Timur. "Puncak tertinggi itulah yang dipercaya merupakan letak dari para dewa. Manusia
memahami konsep ketuhanan dengan sesuatu yang besar dan tinggi, dan berada di puncak. Nasi
tumpeng adalah representasi dari puncak gunung atau konsep ketuhanan," kata Dr Ari.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tahukah Anda, Ternyata "Tumpeng" adalah
Akronim",

Penulis Silvita Agmasari | EditorI Made Asdhiana JAKARTA, KOMPAS.com - Selama ini cara
mengonsumsi tumpeng yang banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia adalah dengan cara
memotong puncaknya terlebih dahulu, baru diberikan kepada orang yang paling dihormati atau
disayangi. Prosesi ini bahkan dianggap sangat penting. Bahkan memotong tumpeng menjadi acara
puncak sebuah perayaan. Namun, tahukah Anda, ternyata cara memotong puncak tumpeng tersebut
salah besar. Hal itu menyalahi arti filosofi dari tumpeng itu sendiri. "Tumpeng berasal dari Jawa, tapi
terpengaruh pengaruh budaya Hindu India," kata Murdjati Gardijito, peneliti di pusat studi pangan dan
gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, kepada KompasTravel, Senin (8/8/2016). (BACA: Tahukah
Anda, Ternyata "Tumpeng" adalah Akronim) Murdjati menyebutkan bahwa bentuk tumpeng yang
kerucut, lebar di bawah dan runcing di atas, sebenarnya adalah representasi dari Gunung Mahameru
di India yang dianggap sebagai tempat sakral, tempat bermukimnya para dewa. "Bagian atas tumpeng
terdiri hanya dari satu butir nasi. Itu adalah simbol dari Tuhan yang Maha Esa. Makin ke bawah adalah
umat dengan berbagai tingkat kelakuannya. Makin banyak adalah umat yang kelakuannya tidak begitu
baik, yang sempurna hanya sedikit. Makanya tidak boleh dipotong puncaknya," kata Murdjati. Sebab,
apabila memotong tumpeng dari puncaknya, justru menyalahi filosofi tumpeng yang merupakan
representasi hubungan manusia dengan Tuhan. "Kalau dipotong puncaknya berarti memotong
hubungan umat dengan Tuhan. Dipotong atasnya juga lauknya tak kena," kata Murdjati. Ia
mengatakan bahwa cara memotong tumpeng sebenarnya terpengaruh oleh budaya Barat, yakni
memotong kue. "Kalau kue memang harus dipotong. Tetapi, kalau tumpeng itu makannya harus
dikepung, dimakan bersama-sama," kata Murdjati. Lalu bagaimana cara makan tumpeng yang benar?
"Bersama-sama, diambil pakai tangan mulai dari bawah. Lalu puncaknya terus turun sampai akhirnya
puncak itu menjadi satu dengan dasarnya, yang berarti manunggaling kawulo lan Gusti (Sang
Pencipta tempat kembali semua makhluk)," ujar Murdjati. Jika merasa tak mau makan tumpeng
memakai tangan, dengan sendok pun tak apa. Asalkan, tambah Murdjati, makanlah tumpeng dari
bagian bawah, jangan lagi memotong bagian puncak tumpeng.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Salah Besar jika Anda Memotong Puncak
Tumpeng!", https://travel.kompas.com/read/2016/08/11/192000227/salah.besar.jika.anda.memotong
.puncak.tumpeng..
Penulis : Silvita Agmasari

Anda mungkin juga menyukai