Keberagamaan seperti ini bisa kita gambarkan sebagai sesuatu berasal dan berangkat dari
problem diri. Karena kebebasan dan keberagamaan orang lain kerap dijadikan pembenaran
terhadap ketidak penerimaan terhadap perbedaan. Dalam psikoanalisis ini disebut hasrat
dan fantasi yang tidak tersalurkan. Pandangan psikoanalisis ini merujuk kepada Odipus
Complex. Seorang anak berusaha melihat sang bapak sebagai orang yang ditiru, akan tetapi
hasrat tersebut tidak terpenuhi, karena selalu adanya “nilai lebih”. Kekosongan tersebut
kembali kepada subjek (individu) lalu menjadi sebuah upaya untuk “menyingkirkan” orang
tuanya.
Dalam Islam sendiri tidak ada pengekangan untuk terkait persoalan kebebasan beragama.
Problemnya, seringkali kebebasan beragama dianggap sebagai persoalan kebebasan seluas-
luasnya. Karena pemahaman keliru tersebut, kebebasan diartikan sebagai kebebasan yang
tidak bertanggung jawab. Pandangan ini tentu tidak tepat. Karena konsep kebebasan dalam
sejarah pemikiran Islam sejatinya merupakan adalah bagian dari dinamika pemikiran Islam
itu sendiri.
Dalam sejarah pemikiran teologi Islam, pandangan mengenai kebebasan dianut oleh
kelompok mu’tazilah. Kebebasan ini berangkat dari konsep free will seorang manusia.
Dalam pandangan Mu’tazilah, kebebasan merupakan hak basyari bagi setiap orang. Hanya
saja kebebasan tersebut tidak bersifat absolut, kebebasan tetap dibatasi dengan tanggung
jawab individunya.
Karena Kebebasan tidak terkonstitusikan oleh tanggung jawab. Kebebasan menjadi dan
berarti negatif. Artinya kebebasan orang beragama orang masih diyakini seakan
mengancam keyakinan indivdu. Di sinilah, bagaimana makna kebebasan bekerja dengan
pengalihan doktrin beragama. Selalu dibedakan dalam arti makna lain. Hal ini kemudian
yang dicoba tafsirkan dalam melihat kebebasan beragama bagi orang lain. Bahwa setiap
orang bebas untuk menentukan pilihan hidupnya bahkan untuk memilih agamanya.
“Tidak ada paksaan dalam agama, sungguh telah jelas kebenaran” (QS. 2:256 )
Ibnu ‘Asyur (1973) menjelaskan bahwa ayat QS. 2:256 sebagai ketentuan tidak bolehnya
memaksa seseorang untuk masuk agama Islam. Pandangan ini dijelaskan secara cermat oleh
Ibnu ‘Asyur.
“Tidak Bolehnya Pemaksaan mesti diartikan sebagai larangan. Artinya penolakan terhadap
seluruh faktor yang memaksa dalam hukum Islam. Dengan kata lain, ia menyiratkan jangan
kamu paksa siapapun untuk mengikuti (masuk) Islam. Ini adalah dalil paling jelas tidak sahnya
memaksa masuk dalam agama dengan segala bentuk macamnya. Karena persoalan keimanan
itu didasarkan kepada pengambilan argument, dan lahir dari paradigma dan pilihannya.” (Ibnu
‘Asyur, al-Tahrirwa al-Tanwir, Dar Tunisiah, II, 42)
Ibnu ‘Asyur juga menambahkan bahwa dakwah Islam tidak boleh dilandaskan pada paksaan
(al-jabar) dan memaksa dan membenci (al-Ikroh). Bagi kelompok tertentu ini bertentangan
dengan perintah untuk memerangi orang kafir. Pertentangan dengan hadis nabi Muhammad,
“Umirtu an Uqatila an-Nas”. Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa hadis ini hanya dipraktekkan pada
masa Nabi Muhammad Saw. ketika orang kafir Qurays gencar memerangi orang-orang Islam.
Adapun dalam konteks perdamaian maka tidak boleh lagi memerangi orang kafir.
Taha Jabir al-Alwani dalam buku La Ikroha fi al-Din menafsirkan bahwa tidak bolehnya
membunuh orang murtad seseorang muslim merupakan bagian dari ta’wil QS. 2: 256.
Lanjutnya, tidak ada alasan apapun yang memboleh seseorang muslim membunuh orang
murtad. Menurut al-Alwani bahwa perintah untuk membunuh orang murtad harus dilihat
dari faktor yang mengiringinya (musahibat). Selama tidak ada faktor tersebut, maka
pembunuhan dilarang.
Taha Jabir menjelaskan bahwa pembunuhan orang murtad dilegalkan jika ada upaya
pembangkangan dari jamaah. Sebagaimana di hadis lain disebut dengan “wa faraqa al-
Jama’ah”. Di sini jelas bahwa keluar dari Islam bukan faktor utama untuk membunuh
orang murtad. Pandangan seperti ini sangat lumrah dikalangan oleh ahli ushul fikih.Taha
Jabir juga memberi catatan bahwa seseorang yang murtad lebih baik untuk diperingatkan
kembali taubat/ istitabah, tidak lebih. Hal ini sesuai dengan ayat wa innama ‘alaika al-
Balagh.
Dalam konteks Indonesia, Pancasila sebagai dasar bangsa Indonesia, ia lahir dari
perjalanan panjang dan merupakan fakta historis dan sosiologis bagi keragaman
masyarakatnya. Karena perbedaan latar belakang agama tersebutlah pancasila sudah
sangat sesuai dengan pandangan Islam mengenai orang murtad.
Pada poin inilah, Pancasila menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap
orang. Bukan karena Pancasila itu melebihi dan melampaui agama itu sendiri. Pandangan
ini sejatinya tidak bertentangan dengan Islam, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Asyur
dan Taha Jabir di atas. Karena dalam Islam sendiri tidak adanya paksaan untuk masuk
agama Islam.
Hak Memperoleh Perlindungan
Mengenai Hak Asasi manusia yang berkaitan dengan hak-hak warga Negara, al-Maududi
menjelaskan bahwa dalam Islam, hak asasi pertama dan utama warga Negara adalah :
1.Melindungi nyawa, harta dan martabat mereka bersama sama dengan jaminan bahwa hak
ini tidak akan dicampuri, kecuali dengan alasan-alasan yang sah dan legal
2.Perlindungan atas kebebasan pribadi. Kebebasan pribadi tidak bias dilanggar , kecuali
setelah melalu proses pembuktian yang meyakinkan secara hokum dan memberi
kesempatan kepada tertuduh untuk mengajukan pembelaan.
4.Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua warga Negara tanpa membedakan
kasta atau keyakinan. Salah satu diwajibkan zakat kepada umat Islam, salah satunya
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok warganegara.
Kekayaan yang diperoleh dengan cara bekerja hanya menjadi jalan untuk memakmurkan
bumi sehingga dalam Al Quran sendiri juga mencela orang yang hanya bekerja untuk
menumpuk harta akan tetapi tidak peduli dengan nasib lainnya. [Al Quran 104:1-9]
Bekerja di dalam Islam merupakan sebuah usaha yang dilakukan dengan serius dengan
cara mengerahkan semua pikiran, aset dan juga dzikir untuk memperlihatkan arti dirinya
sebagai hamba Allah yang harus mentaklukkan dunia dan memposisikan dirinya menjadi
bagian masyarakat paling baik [Khairu Ummah].
Bekerja menjadi cara untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis serta sosial. Dengan
jalan bekerja, maka manusia bisa mendapatkan banyak kepuasan yang meliputi kebutuhan
fisik, rasa tenang dan aman, kebutuhan sosial dan kebutuhan ego masing-masing.
Sedangkan kepuasan di dalam bekerja juga bisa dinikmati sesudah selesai bekerja seperti
liburan, menghidupi diri sendiri dan juga keluarga.
Jika dilihat secara hakiki, maka hukum bekerja di dalam Islam adalah wajib dan ibadah
sebagai bukti pengabdian serta rasa syukur dalam memenuhi panggilan Ilahi supaya bisa
menjadi yang terbaik sebab bumi sendiri diciptakan sebagai ujian untuk mereka yang
memiliki etos paling baik. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan apa-apa yang ada di
bumi sebagai perhiasan baginya, supaya Kami menguji mereka siapakah yang terbaik
amalnya”. (Al-Kahfi : 7)
Kebudayaan bekerja dalam Islam juga bertumpu pada akhlaqul karimah umat Islam yang
akan menjadikan akhlak untuk sumber energi batin yang treus berkobar dan membantu
setiap langkah kehidupan untuk menuju jalan yang lurus dan semangatnya adalah minallah,
fisabilillah, Illah (dari Allah, dijalan Allah, dan untuk Allah)
Hadits tersebut adalah anjuran Nabi Muhammad untuk umat yang sudah bekerja dengan
baik dan sungguh-sungguh untuk mendapatkan ridho Allah dan bahkan sampai diwajibkan
umat Muslim untuk mencari rizki halal seperti yang tertulis dalam hadits, “Sesungguhnya,
Allah senang pada hamba-Nya yang apabila mengerjakan sesuatu berusaha untuk
melakukannya dengan seindah dan sebaik mungkin.” (al-Hadits)
Selain menjadi sebuah kewajiban, Islam juga memberikan penghargaan mulia untuk setiap
pemeluknya yang dengan ikhlas dalam bekerja dan mengharapkan keridhaan Allah SWT
dan penghargaan tersebut tertuang dalam beberapa riwayat hadits berikut ini.
1. Akan Diampuni Dosanya Oleh Allah SWT
Ibnu Abbas ra berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang
merasakan keletihan pada sore hari, karena pekerjaan yang dilakukan oleh kedua
tangannya, maka ia dapatkan dosanya diampuni oleh Allah SWT pada sore hari
tersebut.” (HR. Imam Tabrani, dalam Al-Mu’jam Al-Ausath VII/ 289)
Beberapa dosa tertentu juga akan dihapuskan dimana beberapa dosa itu tidak bisa
dihapuskan dengan melaksanakan shalat, puasa dan juga shadaqah.
Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya diantara dosa-
dosa itu terdapat suatu dosa yang tidak dapat diampuni dengan shalat, puasa, haji dan juga
umrah.” Sahabat bertanya, “Apa yang bisa menghapuskannya wahai Rasulullah?”. Beliau
menjawab, “Semangat dalam mencari rizki”. (HR. Thabrani, dalam Al-Mu’jam Al-Ausath
I/38)
Ibnu Umar ra bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mu’min yang bekerja
dengan giat”. (HR. Imam Tabrani, dalam Al-Mu’jam Al-Aushth VII/380)
Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh, seandainya salah seorang
di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul ikatan kayu itu, maka itu lebih baik,
daripada ia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya ataupun
tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Abu Zar dan Al-Hakim, “Sesungguhnya Ruhul Qudus membisikkan bahwa jiwa tidak akan
wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itulah kamu harus bertakwa kepada
Allah dan memperbaiki mata pencaharianmu. Jika datangnya rezeki itu terlambat maka
jangan memburunya dengan bermaksiat karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih
dengan taat pada-Nya.”
Hadits riwayat Bukhari, “Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih
baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah
Daud as. memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)
7. Serupa Dengan Mujahid di Jalan Allah
Hadits riwayat Ahmad, “Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang bekerja dan terampil.
Siapa yang bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya maka ia serupa dengan
seorang mujahid di jalan Allah.”
Menurut bahasa, syura memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan
sesuatu atau mengambil sesuatu [Mu’jam Maqayis al-Lughah 3/226].
Sedangkan secara istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan definisi syura,
diantara mereka adalah Ar Raghib al-Ashfahani yang mendefinisikan syura sebagai proses
mengemukakan pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura [Al Mufradat fi
Gharib al-Quran hlm. 207].
Sedangkan definisi syura yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer diantaranya
adalah proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai
solusi yang mendekati kebenaran [Asy Syura fi Zhilli Nizhami al-Hukm al-Islami hlm. 14].
Dari berbagai definisi yang disampaikan di atas, kita dapat mendefinisikan syura
sebagai proses memaparkan berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi
argumentatif dalam suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan
berakal, agar dapat mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga
tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan [Asy Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah hlm. 13].
Dalam kehidupan individu , para sahabat sering meminta pendapat rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh adalah
tindakan Fathimah yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya [HR. Muslim :
1480].
Dalam kehidupan berkeluarga , hal ini diterangkan dalam surat al-Baqarah ayat 233,
dimana Allah berfirman,
“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan“. [Al Baqarah : 233].
Imam Ibnu Katsir mengatakan, Maksud dari firman Allah (yang artinya), ” Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” adalah apabila kedua orangtua
sepakat untuk menyapih sebelum bayi berumur dua tahun, dan keduanya berpendapat
hal itu mengandung kemaslahatan bagi bayi, serta keduanya telah bermusyawarah dan
sepakat melakukannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dengan demikian, faidah
yang terpetik dari hal ini adalah tidaklah cukup apabila hal ini hanya didukung oleh salah
satu orang tua tanpa persetujuan yang lain. Dan tidak boleh salah satu dari kedua orang
tua memilih untuk melakukannya tanpa bermusyawarah dengan yang lain [Tafsir al-
Quran al-‘Azhim 1/635].
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu, Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. [Ali ‘Imran : 159].
Di dalam ayat yang lain, di surat Asy Syura ayat 38, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka” . [Asy Syura :
36-39].
Maksud firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka” adalah mereka tidak melaksanakan suatu urusan sampai
mereka saling bermusyawarah mengenai hal itu agar mereka saling mendukung dengan
pendapat mereka seperti dalam masalah peperangan dan semisalnya [Tafsir al-Quran
al-‘Azhim 7/211].
Sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menunjukkan betapa nabi shallallahu’alaihi
wa sallam sangat memperhatikan untuk senantiasa bermusyawarah dengan para
sahabatnya dalam berbagai urusan terutama urusan yang terkait dengan kepentingan
orang banyak.
Beliau pernah bermusyawarah dengan para sahabat pada waktu perang Badar mengenai
keberangkatan menghadang pasukan kafir Quraisy.
Dalam perang Uhud, beliau meminta pendapat para sahabat sebelumnya, apakah tetap
tinggal di Madinah hingga menunngu kedatangan musuh ataukah menyambut mereka di
luar Madinah. Akhirnya, mayoritas sahabat menyarankan untuk keluar Madinah
menghadapi musuh dan beliau pun menyetujuinya.
Dalam masalah lain, ketika terjadi peristiwa hadits al-ifki, Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam meminta pendapat ‘Ali dan Usamah perihal ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anhum.
Ibnu ‘Athiyah mengatakan, “Syura merupakan aturan terpenting dalam syari’at dan
ketentuan hukum dalam Islam” [Al Muharrar al-Wajiz]. Apa yang dikatakan oleh beliau
mengenai syura benar adanya karena Allah ta’ala telah menjadikan syura sebagai suatu
kewajiban bagi hamba-Nya dalam mencari solusi berbagai persoalan yang membutuhkan
kebersamaan pikiran dengan orang lain. Selain itu, Allah pun telah menjadikan syura
sebagai salah satu nama surat dalam al-Quran al-Karim. Kedua hal ini cukup untuk
menunjukkan betapa syura memiliki kedudukan yang penting dalam agama ini.
Amir al-Mukminin, ‘Ali radhiallahu ‘anhu juga pernah menerangkan manfaat dari syura.
Beliau berkata, “Ada tujuh keutamaan syura, yaitu memperoleh solusi yang tepat,
mendapatkan ide yang brilian, terhindar dari kesalahan, terjaga dari celaan, selamat dari
kekecewaan, mempersatukan banyak hati, serta mengikuti atsar (dalil) [Al Aqd al-
Farid hlm. 43].
Urgensi dan faedah syura banyak diterangkan oleh para ulama, diantaranya imam Fakhr
ad-Din ar-Razy dalam Mafatih al-Ghaib 9/67-68. Secara ringkas beliau menyebutkan
bahwa syura memiliki faedah antara lain adalah sebagai berikut :
b. Musyawarah perlu diadakan karena bisa saja terlintas dalam benak seseorang
pendapat yang mengandung kemaslahatan dan tidak terpikir oleh waliy al-amr
(penguasa). Al Hasan pernah mengatakan,
Sedangkan dalam sistem Islam, definisi umat sangatlah berbeda dengan apa yang
disebutkan sebelumnya, karena dalam mendefinisikan umat, Islam tidaklah terbatas pada
faktor kesatuan wilayah, ras, dan bahasa. Namun, umat dalam Islam memiliki definisi
yang lebih luas karena akidah islamiyah-lah yang menjadi tali pengikat antara setiap
individu muslim tanpa membeda-bedakan wilayah, ras, dan bahasa. Dengan demikian,
meski kaum muslimin memiliki beraneka ragam dalam hal ras, bahasa, dan wilayah,
mereka semua adalah satu umat, satu kesatuan dalam pandangan Islam [Asy Syura wa ad-
Dimuqratiyyah al-Ghariyyahhlm. 25].
Berbeda tentunya dengan sistem Islam, dia tetap memperhatikan faktor-faktor tersebut
tanpa mengenyampingkan aspek ruhiyah diniyah, bahkan aspek inilah yang menjadi
dasar dan tujuan dalam sistem Islam.Dalam sistem Islam, aspek ruhiyah menjadi prioritas
tujuan dan kemaslahatan manusia yang terkait dengan dunia mereka ikut beriringan di
belakangnya [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Ghariyyah hlm. 25].
SUMBER
https://bincangsyariah.com/kalam/islam-pancasila-dan-kebebasan-beragama/
https://almanhaj.or.id/2443-menimbang-pernyataan-bebas-memilih-agama.html
https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-bekerja-dalam-islam
https://muslim.or.id/6055-syura-dalam-pandangan-islam-dan-demokrasi.html