Anda di halaman 1dari 5

Pengembangan dan Evaluasi monoclonal antibody-based antigen capture

T enzym linked immunosorbent assay


untuk diagnosis leptospirosis akut pada manusia

Abstrak
Antibodi monoklonal (MAb)-berbasis ELISA dikembangkan untuk mendeteksi antigen
leptospiral dari plasma pasien dengan keluhan demam. MAb bereaksi secara khusus dengan
leptospira patogen dan pemeriksaan ini memiliki parameter uji diagnostik yang sangat baik
dibandingkan dengan PCR, hal ini menunjukkan bahwa metode ELISA baru ini berguna untuk
diagnosis awal leptospirosis dengan biaya operasional yang rendah.

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang penularannya terjadi antara manusia dan
hewan, yang disebabkan oleh bakteri spirochaetal patogen dari genus Leptospira. Transmisi
pathogen dari Leptospira spp. ini terjadi melalui lecet kulit atau selaput lendir (Hauk et al.,
2008; Chen et al., 2013) penyakit ini termasuk dalam penyakit okupasional yang mengenai
orang yang terpapar urin dan cairan tubuh dari hewan yang terinfeksi secara
significant.(Victoriano et al., 2009). Penyakit ini bersifat endemik dan merupakan salah satu
penyakit yang diwaspadai di Sri Lanka, yang menghasilkan tingkat morbiditas yang tinggi dan
mortalitas yang cukup besar di daerah dengan angka prevalensi tinggi (Gamage et al., 2012).
Sebagian besar kasus yang dilaporkan berdasarkan Surveilance Definisi Kasus untuk
Pengawasan Penyakit (Surveillance Case Definitions for Notifiable Diseases in Sri Lanka,
2011), adalah murni didasarkan pada gejala klinis dan faktor epidemiologi. Namun, gejala-
gejala klinis yang muncul secara umum pada leptospirosis mirip dengan gelala klinis penyakit
lainnya seperti demam berdarah, infeksi hanta virus, tipus scrub atau malaria sehingga bias
menyebabkan kesalahan diagnosis (Gamage et al., 2012). Sehingga, konfirmasi diagnosis
leptospirosis menjadi tantangan.
Deteksi Leptospiral DNA dalam darah oleh PCR lebih dianjurkan untuk penegakan
diagnosis dini leptospirosis (Nizamuddin et al., 2006;). Namun, PCR bukanlah alat diagnostik
yang ekonomis bagi banyak negara sumber daya terbatas dimana leptospirosis merupakan
penyakit endemik di negara itu. Oleh karena itu, studi saat ini berfokus pada pengembangan
tes untuk mendeteksi antigen dalam sampel. Diharapkan bahwa tes deteksi antigen ini akan
menjadi lebih cepat, hemat dan cocok untuk diagnosis pada tahap akut tanpa peralatan
berteknologi tinggi.
Untuk ini, antibodi monoklonal (MAb)-berbasis ELISA telah dikembangkan untuk
mendeteksi leptospira pathogen dalam urin (Widiyanti et al., 2013). Namun, leptospira yang
diekskresikan dalam urin lebih banyak terdapat pada akhir fase akut dan sensitivitas deteksi
antigen dalam urin mungkin rendah di awal fase akut. Dengan demikian, Deteksi antigen
leptospiral darah pasien merupakan metode yang cepat terbaik untuk mengkonfirmasi
leptospirosis akut, dan kami berusaha untuk mengembangkan MAb berbasis ELISA untuk
mendeteksi antigen leptospiral dari sampel plasma pasien yang secara klinis dicurigai
leptospirosis .
Klon MAb MD14 untuk Lip32 (Shiokawa et al., 2016) digunakan untuk menangkap
antigen ELISA. Sebagai penialian reaktivitas MD14 untuk antigen leptospiral, 99 well plate
(3590, Corning Inc Life Sciences, Lowell, MA, Amerika Serikat) dilapisi dengan 50 ul MAb
pada konsentrasi 1 μg/μl dan diinkubasi pada 4 ° C dalam semalam. Setelah diinkubasi
semalam, well-plate tersebut dicuci 6x dengan Dulbecco's phosphate buffered saline (PBS)
yang mengandung 0,05% Tween 20 (PBS-T).
Plate difiksasi dengan PBS yang mengandung 3% albumin serum sapi (Sigma Aldrich,
USA) pada 37 ° C untuk selama 1 jam. Setelah dicuci, 50 μl suspensi leptospiral (5 × 107 sel
di PBS, heat-inactivated pada suhu 56 ° C selama 10 menit) ditambahkan ke tiap well-plate.
Empat leptospira patogen, L. interrogans serovar Hebdomadis strain OP84, L. interrogans
serovar Bataviae strain Viet16, L. borgpetersenii serovar Javanica strain R35 (terisolasi di Sri
Lanka), L. interrogans serovar Manilae strain UP-MMC-NIID, dan leptospira non-patogenik
L. biflexa serovar Patoc strain Patoc I digunakan.
Setelah diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37°C, well-plate dicuci dengan PBS-T
seperti dijelaskan di atas. Serum kelinci Hyper-imun dari L. interrogans serovar Copenhageni
diencerkan pada 1: 500 dengan PBS-T dan horseradish peroxidase (HRP) anti antibody kelinci
(SeraCare Life Sciences, USA) diencerkan pada 1:5000 dengan PBS-T ditambahkan dan di
inkubasi selama 24 jam pada suhu 25° C diikuti oleh enam kali pencucian dengan PBS-T.
Kemudian, warna pengembangan reaksi dieksekusi dengan 100 μl 0,17% o-
phenylenediamine dihydrochloride (Sigma Aldrich, USA) dalam 30% H2O2 substrat solusi
untuk 10 menit di 25°C. Setelah 10 menit, reaksi dihentikan dengan menambahkan 30 μl 10%
asam sulfat. Absorbansi sampel diukur dengan menggunakan spectrophotometer microplate
dengan panjang gelombang 492/650 nm. Seperti ditunjukkan dalam gambar 1, nilai-nilai OD
dari leptospira patogen secara signifikan lebih tinggi daripada strain non-patogenik (p <.05),
hal inimenunjukkan bahwa MAb bereaksi secara khusus dengan leptospira patogen.
Berikutnya, MAb berbasis ELISA diterapkan untuk mendeteksi antigen / seluruh sel
dari sampel plasma pasienl. Seratus lima puluh empat sampel plasma beku dari pasien yang
dicurigai terkena leptospirosis diperoleh dari Departemen Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Peradeniya, Sri Lanka, digunakan untuk mendeteksi DNA leptospira patogen
menggunakan flaB nested PCR (Koizumi et al., 2008) dan ELISA berbasis MAb. Untuk ELISA
berbasis MAb, 1ml sampel plasma yang disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 xg selama 20
menit. Endapan yang dihasilkan diresuspensi dengan 100 μl PBS dan dipanaskan pada 56 ° C
selama 10 menit, yang 50 μl digunakan untuk mendeteksi antigen ELISA. Pertama, nilai cut-
off dari pemeriksaan ditentukan sebesar 0,64 dengan menggunakan 50 sampel serum dari hasil
sampel negative pasien yang diperiksa dengan flaB menurut persamaan berikut :

Cut off value = Average OD value of PCR negative samples + 2 standard deviations

Mayoritas pasien dicurigai leptospirosis 154 (80,5%) berjenis kelamin laki-laki.


Setengah dari pasien dicurigai berusia empat puluh tahun atau lebih. Dari 154 pasien yang
dicurigai leptospirosis, terdapat 13 (8.4%) pasien yang positif dengan pemeriksaan flaB-nested
PCR dan 11 (7.14%) yang positif dengan pemeriksaan ELISA berbasis MAb (Tabel 1).

Sepuluh dari 13 (76,9%) flaB nested PCR positif pasien adalah laki-laki dan 9 pasien
ditemukan pada tahap awal penyakit (demam hari 3-7). Dari 13 pasien dengan flaB-nested PCR
positif, 3 (23,1%) diantaranya adalah wanita dan 2 diantaranya ada dalam tahap akhir penyakit
(demam hari 5-6). Selain itu, mayoritas (61.52%) pasien positif berusia 40 tahun atau lebih.
Evaluasi tes diagnostik menunjukan bahwa sensitivitas pemeriksaan ini sebesar 84,62%
(95% CI: 54.55% ~ 98.08%), dengan spesifitas sebesar 100% (95% CI: 97.42% ~ 100%), nilai
prediktif positif sebesar 100% dan negatif nilai prediktif sebesar 98.60% (95% CI: 95.17 –
99.84%).
Hasil ini dengan jelas menunjukkan bahwa pemeriksaan cara baru ini sebanding dengan
pemeriksaan nested-PCR dan sangat cocok untuk mendeteksi leptospira patogen dalam plasma
manusia pada tahap awal infeksi. Sepanjang pengetahuan kami, deteksi antigen leptospiral
dalam plasma dari pasien yang dicurigai leptospirosis dengan menggunakan teknik imunologi
belum banyak dipelajari.
Satu studi dari Thailand melaporkan berhasil mendeteksi antigen leptospiral dalam
plasma dari hewan eksperimental yang terinfeksi dengan menggunakan sandwich dot-ELISA
menggunakan antibody poliklonal dan monoklonal (Sharma et al., 2008). Namun, sensitivitas
tes ini mungkin tergantung pada kombinasi serovar/serogroup strain Leptospira terinfeksi dan
antisera sekunder: serovar Bataviae menunjukan nilai OD yang lebih rendah dari nilai cut-off
(Fig. 1).

Kekurangannya mungkin menggunakan genus antibodi monoklonal sekunder khusus


untuk pemeriksaan masa yang akan datang. Selain itu, dua nilai negatif yang ditunjukkan oleh
ELISA sejalan dengan hasil pemeriksaan flaB nested PCR. Hal ini bisa disebabkan oleh
kepekaan lebih tinggi yang dimiliki oleh PCR sebagai hasi dari amplifikasi DNA. Oleh karena
itu, metode amplifikasi sinyal ELISA juga perlu ditingkatkan.
Kesimpulannya, hasil dari evaluasi tes diagnostik menunjukkan bahwa deteksi antigen
leptospiral dalam plasma pasien dengan demam diperoleh dengan ELISA berbasis MAb l, yang
menawarkan biaya yang lebih rendah daripada tes molekuler. Selain itu, di Sri Lanka semua
Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Pendidikan (70% total rumah sakit swasta) dilengkapi
dengan ELISA reader di laboratorium biomedis. Dengan demikian, tes ini dapat dianggap
sebagai pendekatan diagnostik yang penting yang dapat diadopsi secara langsung ke jaringan
perawatan kesehatan nasional, tetapi lebih lanjut perlu diverifikasi menggunakan ukuran
sampel yang lebih besar di beberapa lokasi baik tingkat nasional maupun internasional

Anda mungkin juga menyukai