Masyarakat Madani 1

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 8

.

1 Konsep Masyarakat Madani


Masyarakat madani memiliki banyak pengertian yang telah dikemukakan oleh beberapa
pakar diberbagai negara yang mengaji dan mempelajari tentang fenomena masyarakat madani,
antaranya:
Pertama, definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rau
dengan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Soviet. Ia mengatakan
bahwa yang dimaksud masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari
sejarah, yang mengandalkan ruang di mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung,
bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini.
Kedua, yang digambarkan oleh Han Sung-joo yang belatar belakang kasus Korea Selatan.
Ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi
dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari Negara,
suatu ruang publik yang mampu mengartikulasi isu-isu politik, gerakan warga Negara yang
mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma
dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat
kelompok inti dalam civil society ini.
Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh Kim Sunhyuk, juga dalam konteks Korea Selatan.
Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri
dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam
masyarakat yang secara relative otonom dari Negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari
(re) produksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang
public, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka
menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.[1]
Masyarakat madani diistilahkan pertama kali oleh mantan Wakil Perdana Menteri
Malaysia, Anwar Ibrahim.
Menurut Ibrahim masyarakat madani merupakan system sosial yang
subur berdasarkan prinsip moral yang
menjamin keseimbanganan taraf kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat.
Menurut Anwar Ibrahim yang dikutip oleh Dawam Rahardjo (1999) dalam buku
Masyarakat Madani: agama, kelas menengah dan perubahan social, mengatakan bahwa
membentuk masyarakat madani harus dan tetap bersumber kepada agama, peradaban adalah
prosesnya dan masyarakat kota adalah hasilnya. Jadi masyarakat madani mengandung tiga unsur
pokok, yaitu agama, peradaban dan perkotaan.[2]
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT
memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
“Sesungguhnya bagi kaum Saba´ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka
yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah
olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.
(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".

2.2 Karakteristik Masyarakat Madani


Masyarakatat madani tidak muncul dengan sendirinya. Ia membutuhkan unsur-unsur sosial yang
menjadi prasyarat terwujudnya tatanan masyarakat madani. Faktor-faktor tersebut merupakan satu
kesatuan yang saling mengikat dan menjadi karakter khas masyarakat madani. Beberapa unsur pokok
yang harus dimiliki oleh masyarakat madani adalah wilayah publik yang bebas (free publik sphere),
demokrasi, toleransi, kemajemukan (pliralism), dan keadilan sosial (social justice). 3
Muhammad AS Hikam memberikan ciri-ciri masyarakat madani mengutip dan pendapat Tocqueville
yaitu adanya sikap warga dengan kesukarelaan, keswasembadaan, dan keswadayaan, kemandirian yang
tinggi berhadapan dengan Negara, dan keterikatan dengan norma-norma serta nilai-nilai hukum yang
diikuti oleh warganya.
Sedangkan Nurcholis Madjid (1999) mengungkapkan beberapa ciri mendasar dari masyarakat
madani yang acuannya tetap kepada konsep masyarakat yang dibangun Nabi Muhammad Saw di
Madinah, yaitu:
a. Egalitarianisme (kesepadaan),
b. Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi,
c. Keterbukaan dan partisipasi aktif seluruh masyarakat,
d. Penegakan hukum dan keadilan,
e. Toleransi dan pluralisme,
f. Musyawarah
Dalam masyarakat madani tidak terdapat marginalisasi derajat, bahkan mereka percaya bahwa
semua orang mempunyai derajat yang sama. Inilah yang disebut dengan egalitarianism, antara pemimpin
dan pengikut tidak dibedakan dalam perlakuan dan dan pengakuan atas hak dan kewajiban individual
maupun kelompoknya. Yang ada dalam masyarakat madani adalah kewajaran, kelayakan, proposionalitas,
dan resiprositas.
Dalam mewujudkan masyarakat madani, dibutuhkan manusia-manusia yang secara pribadi
berpandangan hidup dengan semangat ketuhanan dengan konsekuensi tindakan rahmatan lil alamiin.
Dalam islam tidak ada system keturunan, kesukuan, atau ras, yang ada adalah sebuah ukhuawah
islamiyah, persatuan antar umat islam.
Dalam rangka penegakan hukum dan keadilan, Nabi Muhammad Saw juga tidak membedakan
antara orang atas dan orang bawah. Sehingga keadilan yang dijunjung oleh Nabi Muhammad Saw adalah
mengibaratkan seandainya Fatimah, putri kesayangan beliau, melakukan kejahatan, beliau sendiri yang
akan memberikan hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Paham pluralisme atau kemajemukan masyarakat tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan
menerima kenyataan masyarakak yang majemuk, tapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk
menerima kenyataan kemajemukan itu adalah suatu hal yang positif. Dengan demikian, akan memperkaya
pertumbuhan budaya melalui interaksi dinamis dan pertukaran silang budaya yang beraneka ragam.
pemahaman pluralisme harus diiringi dengan toleransi yang memberikan penilaian bahwa merupakan
suatu kewajiban untuk melaksanakan ajarannya sendiri.
Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang enak entara berbagai kelompok yang
berbeda-beda maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dan pelaksanaan suatu
ajaran yang benar.
Dasar toleransi dan pluralisme dalam Piagam Madinah, diambil dari konsep Al-Qur’an yang
mengajarkan tidak ada paksaan dalam agama, sehingga bisa memilih dan bertanggung jawab dengan
dasar kebenaran.
Keberadaan manusia dalam sebuah masyarakat yang sangat plural mengharuskannya berinteraksi
dengan baik. Ajaran kemanusiaan yang suci membawa konsekuensi kita harus melihat sesama manusia
secara optimis dan positif dengan berprasangka baik. Berdasarkan pandangan kemanusiaan yang optimis-
positif tersebut, kita harus memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi yang baik dan benar
sehingga pendapatnya layak untuk didengar.
Demikianlah menurut Nurcholis, musyawarah pada hakikatnya tak lain ialah interaksi positif
berbagai individu dalam masyarakat untuk berpendapat dan mendengarkan pendapat.
Kemudian Maulidin Al-Maulana, Direktur lembaga Studi Agama dan Demokrasi (LSAD) Surabaya,
memberikan ciri-ciri utama masyarakat madani adalah sebagai berikut.
1. kemandirian yang tinggi dari individu dan kelompok masyarakat saat berhadapan dengan Negara,
2. adanya ruang public yang bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik, secara aktif dari warga Negara
melalui wacana praktis yang berkaitan dengan kepentingan public,
3. adanya kemampuan membatasi kuasa Negara agar ia tidak intervensional.
Maulidin memberikan ciri tentang masyarakat madani sebagai keindonesiaan civil society
berkiblat pada pemikir-pemikir barat seperti yang dikonsepsikan masyarakat madani sebagai
lawan Negara.[3]

2.3 Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani


Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada
masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti
ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya.
Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia
lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
Salah satu jalan peran umat islam mewujudkan masyarakat madani adalah meningkatkan
SDM kaum muslimin dengan jalur pendidikan (mempunyai lembaga pendidikan unggulan). Kita
semua prihatin dengan adanya sinyalemen bahwa lembaga pendidikan islam masih ketinggalan
baik system maupun output yang dihasilkannya. Mulai abat XIV sampai sekarang masih sangat
kecil sumber daya manusia yang menguasai iptek.[4]
SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu
dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia jumlah umat Islam
±85% tetapi karena kualitas SDM-nya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang
proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik
dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum
mencerminkan akhlak Islam.

2.4 Sistem Ekonomi Islam Dan Kesejahteraan Umat


Setiap sistem ekonomi pasti didasarkan pada ideologi yang memberikan landasan dan
tujuannya di satu pihak, dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya di lain pihak. Sebagai
konsekuensinya suatu sistem untuk mendukung ekonomi islam seharusnya diformulasikan
berdasarkan pandangan islam tentang kehidupan.[5]
Sistem ekonomi islam adalah sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang di simpulkan
dari Al-Qur’an dan sunnah, dan merupakan bangunan perekonomian yang di dirikan atas landasan
dasar-dasar tersebut yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan masa.
Definisi ekonomi islam menurut beberapa ahli ekonimi islam:
1. Muhammad Abdul mannan : “ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang diihlami
oleh nilai-nilai Islam.”
2. Hasanuzzaman : “ Ilmu ekonomi islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari anjuran dan aturan
syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber daya material sehingga tercipta
kepuasan manusia dan memungkinkan meraka menjalankan perintah Allah dan masyarakat.”
Jadi, sistem ekonomi islam merupakan suatu sistem ekonomi yang didalamnya
mempelajari perilaku ekonomi manusia yang diatur berdasarkan aturan agama islam dan didasari
dengan tauhid sebagaimana yang dirangkum dalam rukum Iman dan rukan Islam.[6]
Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana
firman-Nya dalam surat At Taubah ayat105 :
َ ‫عالمِ ْالغَيْبِ َوال‬
َ‫ش ِه‬ َ ‫سولُ ِهُ َو ْال ُمؤْ منُونَِ ِۖ َو‬
َ ِ‫ست ُ َردُّونَِ إلَى‬ ُ ‫ع َملَ ُك ِْم َو َر‬ َِ ‫س َي َرى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ َ‫َوقُلِ ا ْع َملُوا ف‬
َِ‫ادَةِ فَيُنَبئ ُ ُك ِْم ب َما ُك ْنت ُ ِْم ت َ ْع َملُون‬
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, Allah dan rasul-Nya serta orang-orang yang beriman
akam melihat pekerjaan itu.”
Dan karena kerja membawa kepada ampunan, sebagai sabda Rasulullah Muhammad saw:
“Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore
itu ia mendapat ampunan.” (HR. Thabrani dan baihaqi)
Islam diturunkan ke muka bumi ini dimaksudkan untuk mengatur hidup manusia guna
mewujudkan ketentraman kebahagian hidup seluruh umat di dunia dan di akhirat sebagai nilai
ekonomi tertinggi. Ketentraman hidup tidak sekedar dapat memenuhi kebutuhan hidup secara
melimpah ruah di dunia, tetapi juga dapat memenuhi ketentraman jiwa sebagai bekal di akhirat
nanti. Jadi antara pemenuhan dalam kebutuhan hidup di dunia dan kebutuhan untuk di akhirat
harus ada keseimbangan.
Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam:
1. Hidup hemat dan tidak bermewah-mewah
Pada sistem ekonomi islam, masyarakat diajarkan untuk hidup hemat menggunakan semua dengan
seperlunya tanpa ada kemewahan yang diperlihatkan kepada masyarakat lain.
2. Pelarangan Riba
Islam melarang adanya riba, karena riba telah diharamkan oleh Allah dalam firman-Nya :

َِ ‫ان منَِ ْال َمسِ ِۖ ذَل‬


ِ‫ك بأَنَ ُه ِْم قَالُوا إ‬ ُِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬ ُ َ‫ل َك َما َيقُو ُِم الَذي َيتَ َخب‬
َ ‫ط ِهُ ال‬ ِ َ ‫ل َيقُو ُمونَِ إ‬ ِ َ ‫الَذينَِ َيأ ْ ُكلُونَِ الر َبا‬
‫ن َربهِ فَا ْنتَ َهىِ فَلَ ِهُ َما‬
ِْ ‫ظةِ م‬ َ ‫ن َجا َء ِهُ َم ْوع‬ ِْ ‫ّللاُ ْالبَ ْي َِع َو َح َر َِم الربَا ِۖ فَ َم‬
َِ ‫ل‬ َِ ‫ل الربَا ِۖ َوأَ َح‬ ُِ ْ‫نَ َما ْالبَ ْي ُِع مث‬
َِ‫اب النَارِ ِۖ ُه ِْم في َها خَالد ُون‬ ْ َ‫ك أ‬
ُِ ‫ص َح‬ َِ ‫عا ِدَ فَأُولَئ‬ َ ‫ن‬ َِ ‫ف َوأ َ ْم ُر ِهُ إلَى‬
ِْ ‫ّللا ِۖ َو َم‬ َِ َ‫سل‬ َ
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S Al Baqarah :275)
3. Menjalankan usaha-usaha halal
Islam membebaskan segala bentuk usaha yang akan dilakukan oleh masyarakat, asalkan usaha
yang dilakukan tersebut halal dan tidak merugikan orang lain.
4. Implementasi zakat
Dalam sistem ekonomi zakat dijadikan sebuah kewajiban bukan sebuah kesukarelaan sebagaimana
dalam rukun Islam. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab).
5. Berbagai sumber daya yang ada dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada
manusia.
6. Kekuatan pengerak utama ekonomi islam adalah kerja sama.
7. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang
saja.[7]
Sistem ekonomi islam adalah ilmu ekonomi yang dilaksanakan dalam praktek
(penerapan ilmu ekonomi) sehari-harinya bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat, maupun
pemerintah/penguasa dalam rangka mengkoordinasi faktor produksi, distribusi, dan
pemanfaatannya barang dan jasa yang dihasilkan tunduk dalam peraturan/perundang-undangan
islam (sunnatullah).

Kesejahteraan Umat
Sejahtera menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah aman, sentosa dan makmur,
selamat terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran. Dengan demikian kesejahteraan umat
merupakan keadaan masyarakat yang sejahtera.[8]

2.4.1 Manajemen Zakat


Dilihat dari sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti berkah, tumbuh,
bersih dan baik. Pendapat lain juga mengatakan bahwa kata dasar “zaka” berarti bertambah dan
tumbuh, sedangkan segala sesuatu yang bertambah disebutkan dengan zakat. Adapun dari segi
istilah, banyak ahli yang mengatakan ataupun mendefinisikan. Menurut istilah fikih zakat berarti
sejumlah harta tertentu diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada yang berhak.
Menurut Imam Nawawi jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang
dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti dan melindungi kekayaan dari
kebinasaan. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, jiwa dan kekayaan orang yang berzakat itu
menjadi bersih dan kekayaannya akan bertambah.
Allah telah berfirman dalam QS. al-Baqarah ayat 110, yang artinya: “Dan Dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu
akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu
kerjakan”.
Adapun harta-harta yang wajib dizakati itu yaitu: harta berharga, hasil pertanian, binatang
ternak, harta perdagangan, harta galian (harta rikaz).
Sedangkan orang-orang yang berhak menerima zakat adalah: Fakir, Miskin, Amil, Muallaf, Riqab,
Gharim, Fi sabilillah, Ibnussabil.[9]

Syarat-syarat Zakat
Menurut Yusuf al-Qardawi, syarat – syarat harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah
sebagai berikut:
1. Pemilikan yang sempurna
2. Berkembang
3. Cukub senisab
4. Melebihi kebutuhan pokok
5. Bebas dari hutang
6. Berlaku satu tahun
Tujuan Zakat
Tujuan-tujuan tersebut diantaranya yaitu :
1. Mengankat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup dan penderitaan.
2. Membantu memecahkan masalah yang hidup dihadapi oleh para ibnusabil dan mustahiq lainnya.
3. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam pada umumnya.
4. Menghilangkan sifat kikir atau loba pemilik harta.
5. Membersihkan diri dari sifat dengki dan iri dalam hati orang-orang miskin.
6. Menjembatani jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin.
7. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial dan pada diri sendiri.
8. Mendidik manusia disiplin menunaikan kewajibannya untuk menyerahkan hak orang lain yang
ada padanya.
9. Sarana pemerataan pendapatan (rizqi) untuk mencapai keadilan social.
Dari tujuan-tujuan diatas tergambar bahwa zakat merupakan salah satu ibadah khusus
kepada Allah yang mempunyai dampak positif yang sangat besar bagi kesejahteraan masyarakat.

2.4.2 Manajemen Wakaf


Wakaf di satu sisi berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, sedangkan di sisi lain wakaf juga
berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai ibadah ia diharapkan akan menjadi bekal bagi si wakif
di kemudian hari, sedangkan dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset amat bernilai dalam
pembangunan umat.

Pengertian Wakaf
Istilah wakaf beradal dari “waqb” artinya menahan. Sedangkan menurut istilah wakaf ialah
memberikan sesuatu barang guna dijadikan manfaat untuk kepentingan yng disahkan syara’ serta
tetap bentuknya dan boleh dipergunakan diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan (yang
meneriman wakaf). Sebagaimana hadits:
Abu Hurairah r.a. menceritakan, bahwa Rasullullah SAW bersabda, “Jika seorang manusia
meninggal dunia, maka terputuslah masa ia melanjutkan amal, kecuali mengenai tiga hal, yaitu:
Sedekah jariyah (waqafnya) selama masih dipergunakan, ilmunya yang dimanfaatkan
masyarakat, dan anak salehnya yang mendo’akannya.” (Riwayat Muslim).

Rukun Wakaf
a. Yang berwakaf, syaratnya: berhak berbuat kebaikan dan kehendak sendiri
b. Sesuatu yang diwakafkan, syaratnya: kekal dan milik sendiri.
c. Tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu).
d. Lafadz wakaf.

Syarat Wakaf
a. Ta’bid, yaitu untuk selama-lamanya/tidak terbatas waktunya.
b. Tanjiz, yaitu diberikan waktu ijab kabul.
c. Imkan-Tamlik, yaitu dapat diserahkan waktu itu juga.

Hukum Wakaf
Pemberian wakaf tidak dapat ditarik kembali sesudah diamalkannya. Dan pemberian harta wakaf
yang ikhlas karena Allah akan mendapatkan ganjaran terus-menerus selagi benda itu dapat
dimanfaatkan oleh umum.[10]

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Dalam mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Dan kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan masyarakat madani
itu dan cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut yang terdapat pada pada zaman
Rasullullah.
Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia yang
ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia sangat
mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar potensi yang
dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin baik pula hasilnya.
Di dalam Islam mengenal yang namanya zakat, dengan zakat ini kita dapat meningkatkan taraf
hidup masyarakat hingga mencapai derajat yang disebut masyarakat madani. Selain itu, ada pula
wakaf, wakaf selain untuk beribadah kepada Allah juga dapat berfungsi sebagai pengikat jalinan
antara seorang muslim dengan sesama. Jadi wakaf mempunyai tiga fungsi yakni fungsi ibadah,
fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Insya Allah dengan menjalankan syariat Islam dengan baik dan
teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara perlahan.

3.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih
banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi
terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari
makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan saya jelaskan tentang daftar pustaka
makalah.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat semua yang mencari ilmu pengetahuan mengenai
masyarakat madani dan kesejahteraan umat.
Daftar Pustaka

Tim ICCE UIN Jakarta. 2003. Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada
media Group

Wahyuddin, Achmad, M. Ilyas, M. Saifulloh, Z. Muhibbin. 2009. Pendidikan Agama Islam Untuk
Perguruan Tinggi. : Grasindo

Suhrawardi K Lubis. 2000. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta : Sinar Grafika.

Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai