Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara
perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang terjadi. Karena itu di dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi
metabolik dan struktural disebut penyakit degeneratif.
Akibat dari proses menua seluruh sistem tubuh pada lansia akan mengalami
penurunan fungsi, salah satunya adalah gangguan pada sistem pencernaan. Akibat dari
gigi yang ompong, penuruan peristaltik usus, dan kemampuan indera pengecap melemah.
Hal ini akan menimbulkan berbagai macam masalah kesehatan. Salah satu masalah
kesehatan yang ditimbulkan dari gangguan sistem pencernaan adalah gastritis. Sebagian
besar lansia akan mengalami gastritis. Gastritis adalah suatu penyakit pada sistem
pencernaan yang berbentuk peradangan pada lapisan mukosa lambung.
GERD adalah penyakit organ esofagus yang banyak ditemukan di negara Barat.
Berbagai survei menunjukkan bahwa 20-40% populasi dewasa menderita heartburn (rasa
panas membakar di daerah retrosternal), suatu keluhan klasik GERD. Di Indonesia,
penyakit ini sepintas tidak banyak ditemukan. Hanya sebagaian kecil pasien GERD
datang berobat pada dokter karena pada umumnya keluhannya ringan dan menghilang
setelah diobati sendiri dengan antasida. Dengan demikian hanya kasus yang berat dan
disertai kelainan endoskopi dan berbagai macam komplikasinya yang datang berobat ke
dokter (Djajapranata, 2001).
Prevalensi PRG bervariasi tergantung letak geografis, tetapi angka tertinggi
terjadi di Negara Barat. Trend prevalensi GERD di Asia meningkat. Di Hongkong
meningkat dari 29,8% (2002) menjadi 35% (2003). Sedangkan berdasarkan data salah
satu rumah sakit di Indonesi, RSCM menunjukkan peningkatan signifikan dari 6%
menjadi 26% dalam kurun waktu 5 tahun. Asian Burning Desire Survey (2006)
membuktikan bahwa pemahaman tentang GERD pada populasi di Indonesia adalah yang
2

terendah di Asia Pasifik, hanya sekitar 1%, sedangkan di Taiwan mencapai 81% dan
Hongkong 66%.
Antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan insidensi yang begitu
jelas, kecuali jika dihubungkan dengan kehamilan dan kemungkinan non-erosive reflux
disease lebih terlihat pada wanita. Walaupun perbedaan jenis kelamin bukan menjadi
faktor utama dalam perkembangan PRG, namun Barrett’s esophagus lebih sering terjadi
pada laki-laki. Oleh karena itu diperlukan intervensi khusus untuk membantu lansia
mengahadapi masalah kesehatan tersebut.
B. Tujuan
Menjelaskan proses asuhan keperawatan gerontik dengan GERD (Gastroesofageal Reflux

Disease)

C. Manfaat
Diharapkan dengan terselesaikan makalah ini dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan

gerontik dengan gangguan sistem pencernaan GERD (Gastroesofageal Reflux)


3

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Gastroesophageal reflux disease adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat
refluks kandungan lambung kedalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul
akibat keterlibatan esofagus,faring,laring dan saluran nafas. (Aru W. Sudoyo, 2007 ).
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) didefinisikan
sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam
esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di
esofagus maupun ekstra esofagus dan atau komplikasi (Susanto, 2002).
Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan.
Karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi
lambung yang mengalir masuk ke esofagus segera dikembalikan ke lambung. Refluks
sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala.
Oleh karena itu, dinamakan refluks fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis,
bila refluks terjadi berulang-ulang yang menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh
isi lambung untuk waktu yang lama. Istilah esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus
akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan ulserasi epitel skuamosa esofagus
(Susanto, 2002).
Jadi, dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Gastroesophageal Reflux
Disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan dari
mekanisme anti reflux ,hipotoni sfingter esophagus bagian bawah, posisi abnormal
sambungan esofagus dengan kardia atau pengososngan isi lambung yang lambat untuk
melindungi mukosa eshopagus terhadap reflux asam lambung dengan kadar yang
abnormal dan paparan yang berulang dan dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esofagus,faring,laring dan saluran nafas, yang terjadi secara intermiten
terutama setelah makan, dan isi lambung tersebut dapat berupa asam lambung, udara
maupun makanan.
4

B. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi (Yusuf, 2009).:
1. Defensif dari Esofagus
a. Menurunnya tonus LES (lower esophageal spinchter)
b. Ketahanan epitel esophagus menurun
c. Bersihan asam dari lumen esophagus menurun
d. Kelainan pada lambung (delayed gastric emptying)
e. Kelainan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan
2. Ofensif dari bahan refkluksan
a. Bahan refluksat mengenai dinding esophagus yaitu : PH<2, adanya pepsin, garam
empedu, HCl
b. Infeksi H. pylori dengan corpus predominan gastritis
c. Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas visceral
d. Mengonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat,
alkohol, merokok tembakau, dan obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi
esophageal sphincter bagian bawah termasuk apa yang memiliki efek
antikolinergik (seperti berbagai antihistamin dan beberapa antihistamin),
penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat.
C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis GERD yaitu (Yusuf, 2009) :
1. Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
2. Muntah
3. Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan menjalar ke leher,
tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah makan atau ketika berbaring
4. Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan (stricture) pada
kerongkongan dari reflux.
5. Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan, bisa dihasilkan
dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang biasanya berlokasi di belakang
tulang payudara atau persis di bawahnya, mirip dengan lokasi panas dalam perut.
6. Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan pada saluran udara
7. Suara parau
5

8. Ludah berlebihan (water brash)


9. Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
10. Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
11. Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada anak)
12. Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan pendarahan yang
biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan dimuntahkan atau keluar
melalui saluran pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna
ter (melena) atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
13. Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks berulang, lapisan
sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi yang disebut
kerongkongan Barrett). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-gejala yang tidak
ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker pada
beberapa orang.
D. Komplikasi
Komlikasi GERD adalah (asroel 2002) :
1. Esofagitis ulseratif
2. Esofagus barrett’s : yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik.
3. Striktur esofagus
4. Gagal tumbuh (failur to thrive)
5. Perdarahan saluran cerna akibat iritasi
6. Aspirasi.
E. Patofisiologi
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure
zone) yang dihasilkan oleh kontraksi Lower esophageal sphincter. Pada individu normal,
pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi
pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah.
Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak
ada atau sangat rendah (<3 mmHg) (Aru, 2009).
Terjadinya aliran balik / refluks pada penyakit GERD diakibatkan oleh gangguan
motilitas / pergerakan esofagus bagian ujung bawah. Pada bagian ujung ini terdapat otot
pengatur (sfingter) disebut LES, yang fungsinya mengatur arah aliran pergerakan isi
6

saluran cerna dalam satu arah dari atas ke bawah menuju usus besar. Pada GERD akan
terjadi relaksasi spontan otot tersebut atau penurunan kekuatan otot tersebut, sehingga
dapat terjadi arus balik atau refluks cairan atau asam lambung, dari bawah ke atas
ataupun sebaliknya (Hadi, 2002).
Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif
dari esophagus dan faktor efensif dari bahan reflukstat. Yang termasuk faktor defensif
esophagus, adalah pemisah antirefluks, bersihan asam dari lumen esophagus, dan
ketahanan ephitelial esophagus. Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi
gastrik dan daya pilorik.
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan
hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah
dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intra abdominal
sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau
terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal
dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di
esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter
esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan
masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring (Hadi, 2002)
7

G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dalam kasus ini adalah (Yusuf, 2009) :
1. Endoskopi
Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih oleh evaluasi
pasien dengan dugaan PRGE. Namun harus diingat bahwa PRGE tidak selalu disertai
kerusakan mukosa yang dapat dilihat secara mikroskopik dan dalam keadaan ini
merupakan biopsi. Endoskopi menetapkan tempat asal perdarahan, striktur, dan
berguna pula untuk pengobatan (dilatasi endoskopi).
2. Radiologi
Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan,
terutama pada kasus esofagitis ringan. Di samping itu hanya sekitar 25 % pasien
PRGE menunjukkan refluks barium secara spontan pada pemeriksaan fluoroskopi.
Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan
lipatan mukosa, tukak, atau penyempitan lumen.
3. Tes Provokatif
a. Tes Perfusi Asam (Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan mukosa esofagus
terhadap asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 % yang
dialirkan ke esofagus. Tes Bernstein yang negatif tidak memiliki arti diagnostik
dan tidak bisa menyingkirkan nyeri asal esofagus. Kepekaan tes perkusi asam
untuk nyeri dada asal esofagus menurut kepustakaan berkisar antara 80-90%.
b. Tes Edrofonium Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang
disuntikan intravena. Dengan dosis 80 µg/kg berat badan untuk menentukan
adanya komponen nyeri motorik yang dapat dilihat dari rekaman gerak
peristaltik esofagus secara manometrik untuk memastikan nyeri dada asal
esofagus.
4. Pengukuran pH dan tekanan esofagus
Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya
RGE, pH dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk RGE.
Cara lain untuk memastikan hubungan nyeri dada dengan RGE adalah menggunakan
alat yang mencatat secara terus menerus selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan
manometrik esofagus. Selama rekaman pasien dapat memeberi tanda serangan dada
8

yang dialaminya, sehingga dapat dilihat hubungan antara serangan dan pH


esofagus/gangguan motorik esofagus. Dewasa ini tes tersebut dianggap sebagai gold
standar untuk memastikan adanya PRGE.
5. Tes Gastro-Esophageal Scintigraphy
Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan esofagus dan
sifatnya non invasif
6. Pemeriksaaan Esofagogram
Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa
esofagus, erosi, dan striktur.
7. Tes PPI
Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada pasien yang
diduga menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang selama satu minggu.
Tes ini mempunyai sensitivitas 75%.
8. Manometri esofagus
Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi pada pasien
NERD. Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan peristaltik/motilitas esofagus.
9. Histopatologi
Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan. Tetapi
bukan untuk memastikan NERD
H. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.
Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan
gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah
timbulnya komplikasi.

1. Modifikasi gaya hidup

Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan


GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang
dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan
untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.
9

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah


meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur
dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah
refluks asam dari lambung ke esophagus, berhenti merokok dan mengkonsumsi
alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung
mempengaruhi sel-sel epitel, mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah
makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung,
menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat
sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen, menghindari makanan/minuman
seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi
sekresi asam, jikan memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan
tonus LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis
beta adrenergic, progesterone.
2. Terapi medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini
GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna
bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi
supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk
memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step
down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong
kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan
prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat
dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada
pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat
dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih
rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan
diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan
terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi “bila perlu” (on-
10

demand therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua
minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi
medikamentosa GERD :
a. Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala
GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap
HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah.
Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat
menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi
terutama antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

b. Antagonis reseptor H2

Golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan nizatidin.


Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan
penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis
untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis
derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.

c. Obat-obatan prokinetik

Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya,
pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.

d. Metoklopramid

Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya


rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di
esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau
penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat timbul
efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan
diskinesia.
11

e. Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek
samping yang lebih jarang disbanding metoklopramid karena tidak melalui sawar
darah otak. Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan
penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini
diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan
lambung.
f. Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat
pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya
dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik
dibandingkan dengan domperidon.
g. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki
efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara
meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di
eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini
cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
h. Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD.
Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan
mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung. Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan
keluhan serta penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat
berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang
dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4
bulan atau on-demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.
3. Pembedahan dapat mengurangi peradangan berat, perdarahan, penyempitan, tukak
atau gejala yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan apapun. Namun
tindakan pembedahan jarang dilakukan.
12

4. Terapi endoskopi :
Walaupun laporannya masih terbatas serta msih dalam konteks penelitian,
akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada GERD yaitu :
a. penggunaan energi radiofrekuensi
b. plikasi gastric endoluminal
c. implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat implan di bawah mukosa
esophagus bagian distal, sehingga lumen esophagus bagian distal menjadi lebih
kecil.

Anda mungkin juga menyukai