Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan nikmat dan rahmat kepada kita semua, sehingga kita mampu
menyelesaikan tugas pembuatan makalah NKRI Pancasila ini sesuai dengan waktu
yang telah di tentukan.

Kami juga menyampaikan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam penggarapan makalah ini, terutama kepada dosen pengampu
kami bapak Drs, Yusrizal, SH, M.H sehingga kami mampu melaksanakan tugas mata
kuliah ini.

Kami juga memohonkan maaf kepada semuanya apabila dalam makalah yang
kami buat ini kurang maksimal, karena masih terdapat banyak sekali kekurangan-
kekurangan, lebih-lebih mengenai referensi. Untuk itu kami kelompok empat sangat
menunggu kritik maupun saran dari semua pembaca agar kedepannya kami bisa
membuat makalah yang lebih baik lagi.

Pekanbaru, 12 Nopember 2019


Penulis

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................... i


Daftar Isi.............................................................................................................. ii
BAB I Pendahuluan ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Metode Penulisan .................................................................................... 2
C. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
D. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2
BAB II Pembahasan ............................................................................................ 3
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara ............................................................. 3
2. Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila UUD 1945 .......... 6
3. Tantangan Terhadap Integrasi Nasional.................................................. 13
BAB III Penutup ................................................................................................. 15
A. Kesimpulan ............................................................................................. 15
B. Saran ........................................................................................................ 15
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengan runtuhnya Uni Soviet yang berideologi komunis, banyak orang
meragukan manfaat ideology bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Mereka beranggapan bahwa ideologi tidak mampu memberikan
jaminan kesejahteraan bagi rakyat yang menjadi penganut ideologi itu. ideologi
sekedar dipandang sebagai pembenaran terhadap kebijakan yang diperjuangkan
oleh para elit politik.

Bahkan di Indonesia setelah reformasi, kian luas kita rasakan adanya semacam
kegelisahan kolektif dalam kehidupan nasional kita. Kegelisahan itu berpangkal
dari meluasnya keengganan kita sendiri untuk berbicara tentang Pancasila. Bahkan
ada kesan, bahwa masyarakat terutama elit politiknya sungkan meskipun hanya
sekedar menyebut Pancasila, karena khawatir kalau dianggap menghidupkan Orde
Baru. Hal ini disebabkan adanya kekacauan epistemologis pada konteks politik,
yang menyamankan nilai-nilai pancasila dengan sesuatu kekuasaan, rezim atau
suatu orde.

Realita ini sebenarnya sangat kontradiktif dengan apa yang dilakukan ole
Majelis Permusyawatan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) pada awal
reformasi ditahun 1998. Pada awal reformasi, yang merupakan awal perubahan
besar Negara Indonesia, MPR mengeluarkan ketetapan MPR RI Nomor
XVII/MPR/1998 yang secara eksplisit menetapkan Pancasila sebagai Dasar
Negara. Konsekuensi dari ketetapan MPR tersebut sudah selayaknya apabila
segala agenda dalam era reformasi harus mendasarkan pada nila-nilai luhur
Pancasila.

Namun kita syukuri apabila akhir-akhir ini bangsa Indonesia mulai


membicarakan Pancasila lagi, karena dengan berlangsungnya reformasi yang
dilanda oleh berbagai paham atau ideologi seperti demokrasi yang bersendi pada
paham kebebasan yang individualistic, dan hak asasi manusia universal, justru
mengantar rakyat Indonesia kepada disintegrasi bangsa dan dekadensi moral.
Bangsa Indonesia mulai mengevaluasi lagi bahwa kejatuhan dari orde-orde
terdahulu bukan karena orde tersebut menetapkan Pancasila sebagai dasar bagi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tetapi diduga karena orde-

1
orde terdahulu justru menyalahgunakan Pancasila sekedar sebagai alat untuk
mempertahankan higemoninya, sehingga Pancasila tidak dilaksanakan secara
konsisten.

Bangsa Indonesia wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
sampai sekarang ini tetap dapat menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang berbhineka tunggal ika berdasarkan Pancasila.
Hal ini patut diungkapkan karena Uni Soviet sebagai salah satu Negara adi kuasa
disamping Amerika Serikat telah mengalami kehancuran. Namun bangsa
Indonesia harus tetap waspada dan jangan mudah terombang ambing dari tarikan
ideologi bangsa lain, atau dengan kata lain bangsa Indonesia harus memiliki visi
yang jelas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan filosofi yang telah
melekat pada bangsa Indonesia harus dipertahankan dlam rangka meneguhkan
NKRI.

B. Metode Penulisan
Metode yang di pakai dalam karya tulis ini adalah Metode Pustaka yaitu metode
yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang
berhubungan dengan alat, baik berupa buku maupun informasi di internet.
C. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud Pancasila sebagai Dasar Negara?


2. Bagaimana Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila UUD
1945?
3. Bagaimana Tantangan terhadap Integrasi Nasional?

D. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bahwa dasar negara Indonesia adalah pancasila.


2. Untuk mengetahui apa saja factor yang dapat mengintegrasikan bangsa
Indonesia.
3. Untuk mengetahui apa saja factor yang menjadi penyebab disintegrasi
bangsa Indonesia.
4. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh bapak Drs. Yusrizal, SH,
selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pancasila sebagai Dasar Negara

Nilai-nilai yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat, pandangan


hidup bangsa dan pandangan hidup negara yang disebut dengan Pancasila tidak
bersifat statis. Artinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
ketiga bentuk pandangan hidup itu terus menerus berinteraksi secara timbal-balik.
Selalu ada benang merah yang tidak boleh putus atau diputuskan diantara ketiganya.
Rangkaian proyeksi dari pandangan hidup masyarakat ke pandangan hidup bangsa,
lalu kepandangan hidup negara itu, terutama dibangun melalui jalur sistem hukum.

Berdasarkan latar belakang pemikiran itulah, “Hukum” adalah satu kata kunci
yangsangat penting untuk menjawab pertanyaan tentang dasar dan rambu-rambu
pembangunanmasyarakat Indonesia baru dalam era globalisasi. Norma hukum
tentu saja bukan satusatunya norma yang harus dijadikan acuan, namun sebagai
bentuk norma yang paling konkrit,ia bersifat sangat efisien dan efektif dalam
membentuk masyarakat Indonesia baru itu.

Ajaran filsafat bernegara bangsa Indonesia yang dibingkai dalam sebuah


ideologinegara yang disebut Pancasila merupakan landasan utama semua sistem
penyelenggaraan negara Indonesia. Hukum sebagai produk negara tidak dapat dilepas
dari falsafah negaranya. Dalam pandangan seperti ini, maka filsafat hukum pun tidak
dapat dilepaskan dari pemikiranfilsafati dari negaranya.

Penjelasan lebih rinci tentang hal itu dapat dicermati dari pemikiran Noor
Syam(2000:68) sebagai berikut :

3
Penjabaran Filsafat Negara Pancasila

Sistem Hukum Nasional

Filsafat Hukum Pancasila

Filsafat Pancasila Dan UUD 1945

Skema Penjabaran Filsafat Negara Pancasila dalam Negara Hukum Masa Depan

Skema diatas menggambarkan posisi Pancasila sebagai filsafat negara terhadap


system hukum. Atas dasar konsepsi tersebut, maka filsafat hukumnya pun harus
berdasar pada ide dasar yang ada dalam Pancasila. Selanjutnya, aturan hukum
yang dibentuk pun harus berlandaskan pada pemikiran filsafat hukumnya yang
mengacu pada ide dasar Pancasila.

Terkait dengan hal itu, menurut Moh. Mahfud MD (Konggres Pancasila I,


2009)dalam pembentukan negara hukum, maka Pancasila harus melahirkan
kaidah-kaidah penuntun dalam pembuatan politik hukum atau kebijakan negara
lainnya yaitu : (1) kebijakanumum dan politik hukum harus tetap menjaga integrasi
atau keutuhan bangsa baik secara ideologi maupun secara teritori, (2) kebijakan
umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada upaya membangun
demokrasi(kedaulatan rakyat) dan nomokrasi(negara hukum) sekaligus, (3)
kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada upayamembangun
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, (4) kebijakan umum dan politik hukum
haruslah didasarkan pada prinsip toleransi beragama yang berkeadaban.

Konsekwensinya nilai-nilai Pancasila, secara yuridis harus diderivasikan


kedalamUUD Negara Indonesia dan selanjutnya pada seluruh peraturan perundangan
lainnya dalam kedudukan seperti ini Pancasila telah memiliki legitimasi

4
Filosofis, yuridis, dan politis. Dalam kapasitas ini Pancasila telah diderivasikan
dalam suatu norma-norma dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.

Berdasarkan norma-norma peraturan perundang-undangan tersebut


dapatdiimplementasikan realisasi kehidupan kenegaraan yang bersifat praksis. Oleh
karena itu tidak mungkin impelementasi dilakukan secara langsung dari
Pancasila kemudian direalisasikan dalam berbagai konteks kehidupan, karena harus
melalui penjabaran dalam suatu norma yang jelas. Banyak kalanganmemandang hal
tersebut secara rancu seakan-akan memandang Pancasila itu secara langsung bersifat
operasional dan praksis dalam berbagai konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Sebenarnya secara eksplisit Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan:”Pancasila
merupakan sumber segala sumber hukum negara”. Namun tidak dapat
dipungkiri kenyataannya masih banyak peraturan perundang-undangan yang
tidak bersumber dan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila, yang
tentunya hal ini sangat memprihatikan dan harus segera diakhiri.

Dari pengalaman sejarah telah terbukti apabila penyelenggaraan pemerintahan


tidak melaksanakan Pancasila secara konsisten, maka pemerintah tidak melaksanakan
Pancasila secara konsisten, maka pemerintahan itu akan mengalami kegagalan baik
selama masa orde lama maupun masa Orde baru. Tidak mustahil era reformasi ini
pun akan mengalami nasib yang sama dengan dua orde yang mendahuluinya, apabila
pemerintahan era reformasi ini tidak melaksanakan Pancasila secara konsisten
dalam menerapkan kekuasaannya. Oleh karena itu Pancasila yang merupakan jati
diri bangsa Indonesia yang dibenarkan secara yuridis, teori-filsafati, maupun historis-
sosiologis harus tetap dipelihara agar dapat bertahan menjadi jati diri bangsa. Karena
hanya bangsa yang memiliki jati dirilah yang akan dapat mempertahankan
eksistensinya dalam menghadapi tantangan globalisasi. Hanya dengan jati diri bangsa
Pancasila inilah, eksistensi NKRI dapat dipertahankan. Untuk itu diperlukan
pendidikan untuk memeahami Pancasila, serta perjuangan seluruh bangsa Indonesia

5
untuk mewujudakn nilai-nilai luhur Pancasila dalam pidato Bung Karno pada tanggal
1 Juni 1945 yang antara lain menyatan :”....bahwa tidak ada weltanshaung dapat
menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada
weltanshaung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan
perjuangan”.

2. Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila-UUD 1945

Sejak Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia


mengidealkan bentuk negara kesatuan(eenheidstaats-vorm), bentuk pemerintah
republik (republijk regerings-vorm), dan sistem pemerintahan
presidensial(presidential system). Hal ini dapat ditelusuridari sejarah pergerakan
sebelum merdeka. Pada masa itu salah satu tokoh yang pernah menginginkan bentuk
negara federal apabila Indonesia merdeka dikemudian hari, adalah bung Hatta. Beliau
berpendapat, bahwa untuk bangsa Indonesia yang dikenal sangat majemuk, lebih
tepat apabila bentuk negaranya federal dan bukan negara kesatuan (unitary state).
Pandangan ini di kumandangkan terus sejak masa mudanya sampai pada saat Bung
Hatta menempuh pendidikan tinggi di Rotterdam Belanda pada tahun 1930 an.
Bahkan sampai dengan awal tahun 1945 Bung Hatta masih berpendirian,bahwa
bentuk negara federal yang tepat untuk Negara Republik Indonesia. Pendirian
Bung hatta kemudian berubah, setelah beliau banyak tentang pilihan sistem
kenegaraan dengan para tokoh pergerakan.Rupanya argumen-argumen yang
dikemukakan oleh tokoh-tokoh pergerakan dapat meyakinkan Bung Hatta, bahwa
untuk Republik Indonesia yang merdeka di kelak kemudianhari bentuk negaranya
yang paling tepat adalah negara kesatuan.

Oleh karena itu tidak mengherankan apabila dalam sidang-sidang Badan


Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Hatta
akhirnya tidak lagi memperjuangkan bentuk negara federal bagi Indonesia yang
dikemudian hari Merdeka. Bung Hatta yakin bahwa negara kesatuan yang hendak di

6
bangun, sudah dengan sendirinya juga mencakup pembangunan daerah-daerah atas
dasar prinsip desentralisasi. Suatu Negara kesaatuan tentunya dapat dikembangkan
dengan tetap menjamin otonomi daerah-daerah yang tersebar diseluruh tanah air
Indonesia yang sangat luas dan majemuk. Semangat Negara Kesatuan dengan
prinsip Otonomi Daerah yang luas inilah yang sebenarnya meyakinkanBung
Hatta sehingge ide “Negara Federal”dinilai menjadi tidak lagi memiliki
relevansi(Asshidiqie,2006:262). Suasana kebatinan seperti itu yang kemudian
tercermin dalam perumusan Pasal 18 UUD 1945 naskah asli, yaitu bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia menjamin adanya desentralisasi dan otonomi yang luas
bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia. Dalam UUD 1945 naskah asli
pengaturan mengenai bentuk Negara terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik”.

Bentuk Negara Kesatuan adalah bentuk negara yang terdiri dari satu negara saja
betapapun besar maupun kecil, dan ke dalam maupun ke luar merupakan
kesatuan. Pembagian wewenang dalam Negara Kesatuan pada garis besarnya telah
ditentukan oleh pembuat undang-undang di pusat, serta weweang secara terperinci
terdapat pada propinsipropinsi, dan residu powernya ada pada pemerintah pusat
Negara Kesatuan. Adapun ciri-ciri Negara Kesatuan adalah: (1) Mewujudkan
kebulatan tunggal, mewujudkan kesatuan unity. Kedaulatan ke dalam maupun
kedaulatan ke luar sepenuhnya terletak pada pemerintah pusat, (2) Hanya mempunyai
satu negara serta hanya mempunyai satu pemerintahan, satu kepala negara, satu
badan legislatur bagi seluruh daerah negara. Wewenang legislativ tertiggi
dipusatkan dalam satu badan legislativ nasional/pusat(3) merupakan negara tunggal
yang monosentris(berpusat satu), (4)Hanya ada satu pusat kekuasaan yang memutar
seluruh mesin pemerintahan dari pusat kekuasaan yang memutar seluruh mesin
pemerintahan dari pusat sampai ke pelosok-pelosok, hingga segala sesuatunya dapat
diatur secara sentral, seragam dan senyawa dalam keseluruhannya, (5) Pengaturan

7
oleh pusat kepada seluruh daerah tersebut lebih bersifat koordinasi saja namun
tidak dalam pengertian bahwa segala-galanya diatur dan diperintahkan oleh pusat,
(6) pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian
kekuasaanya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (Negara kesatuan dengan
sistem desentralisasi).

Setelah kemerdekaan RI, Negara Kesatuan Republik Indonesia pernah berubah


yaitu pada tanggal 27 Desember 1949 bersamaan dengan berlakunya konstitusi
Republik Indonesia Serikat(KRIS)1949. Sejak saat itulah NKRI berubah bentuknya
menjadi Negara Republik Indonesia Serikat(NRIS). Konstitusi RIS di samping hasil
konferensi Meja Bundar(KMB), sebenarnya juga sebagai hasil tekanan dan paksaan
dari negara-negara Barat seperti USA, Inggris dan lain-lain terhadap Belanda dan
Indonesia yang sedang sengketa. Pemegang kedaulatan di dalam R.I.S. adalah
pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Senat(Pasal 1 ayat (2))K.R.I.S 1949, yang sekaligus merupakan badan pembentuk
undang-undang khusus yaitu mengenai satu, beberapa, atau semua daerah
bagianAtau bagiannya, ataupun yang khusus mengenai hubungan antara R.I.S dan
daerahdaerah yang tersebut dalam pasal 2, dan pasal 127 a.

Adapun yang dimaksud dengan negara federal adalah negara yang


merupakan gabungan dari beberapa negara yang berdiri sendiri, masing-masing
dengan perlengkapannya yang cukup, dengan kepala negara sendiri dan dengan
badan-badab legislatif dan yudikatif sendiri. Dalam negara federal, negara-negara
yang bergabung yang disebut dengan Negara bagian, mempunyai kedudukan yang
sama kuat. Disamping itu ada sebagian kekuasaan negara-negara bagian yang
diserahkan kepada negara federal atau sebaliknya ada yang kekuasaan
pemerintah pusat ditentukan terlebih dahulu baru sisanya diserahkan kepada
negara-negara bagian.

8
NRIS yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 dengan menganut sistem
cabinet parlementer ternyata tidak berumur panjang, karena bentuk tersebut tidak
berakar kepada kehendak rakyat dan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Konstitusi RIS yang isinya lebih lengkap dibandingkan UUD 1945 naskah asli (UUD
1945 hanya memuat 37 pasal, sedang konstitusi RIS memuat sampai 197 pasal),
tetapi isinya konstitusi RIS yang lengkap itu telah menyimpang jauh dari cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu tidak memuat cita-cita proklamasi tentang Negara
Kesatuan, apalagi cita-cita demokrasi pancasila. Oleh karena itu akibatnya banyak
muncul tuntutan untuk kembali kepada bentuk negara kesatuan. Negara- negara
gabungan yang bernaung dibawah R.I.S satu-persatu menggabungkan diri dengan
Republik Indonesia (di Yogyakarta). Kemudian untuk mengatasi situasi tersebut pada
akhirnya diadakan permusyawaratan antara Pemerintah Negara Republik Indonesia,
yang menghasilkan Piagam persetujuan antara R.I.S dan Republik indonesia yang di
tandatangani oleh hatta dan A. Halim pada tanggal 19 Mei 1950.

Piagam tersebut memuat persetujuan untuk kembali ke bentuk “negara kesatuan”


sesuai dengan proklamasi 17 Agustus 1945. Selanjutnya dengan Undang-Undang
federal No. 7 tahun 1950, ditetapkan perubahan K.R.I.S. menjadi Undang-Undang
Dasar Sementara berdasar pada pasal 190, pasal 127 a, dn pasal 191 ayat (2) K.R.I.S.
sejak tanggal 17 Agustus 1950 bentuk Negara Republik Indonesia Serikat berganti
menjadi bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) 1950. Dalam UUDS 1950 ini walaupun bentuk negaranya
kesatuan, ternyata juga menganut sistem cabinet parlementer, seperti halnya
konstitusi RIS. UUDS 1950 ini tidak berlaku lagi setelah presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memuat tiga diktum:
1.Pembubaran konstituante, 2. Penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan
tidaberlakunya UUDS 1950, 3. Pembentukan majelis Permusyawaratan Rakyat
Sememtara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan agung Sementara (DPAS).

9
Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 juli 1959 adalah
gagalnya konstituante melaksanakan tugas membentuk UUD sebagai pengganti
UUDS 1950. Kegagalan konstituante dikarenakan dua kubu yang berhadapan tetap
pada pendiriannya masing-masing, yang satu bersikap memakai rumusan dasar
negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu Pancasila, sedang
kubu lainnya bertahan dengan sikap memilih Islam sebagai dasar negara (Mahfud
M.D., 1998:133). Sejak Dekrit presiden 5 juli 1959 dengan kembali ke UUD 1945,
maka bentuk Negara Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan yang kemudian
lebih populer dengan sebutan NKRI.

Pada awal reformasi yang ditandai dengan lengsernya presiden Soeharto


dari jabatannya, kebijaksanaan otomi daerah mulai menjadi bagian dari wacana
publik pada masa transisi pemerintahan di Indonesia antara 1998-1999. Pada saat itu
muncul berbagai macam pendapat tentang kehendak untuk menghidupkan kembali
pemerintahan yang berdasarkan federalisme di satu pihak, dan di pihak lain
menghendaki sistem desentralisasi dalam Negara kesatuan tetap dipertahanka dengan
modifikasi tertentu sesuai dengan semangat dan irama reformasi nasional.

Berbagai macam argumen dikemukakan guna mendukung posisi masing-


masing. Namun demikian, kekuatan-krkuatan politik yang ada di Indonesia dalam
masa transisi ini tidak memberikan dukungan yang positif terhadap kemungkinan
untuk menciptakan pemerintahan yang federalistik. Bahkan hampir semua partai
politik yang ada di DPR tidak mendukung munculnya ide pembentukan
pemerintahan yang federalis. Hal ini nampakbahwa pada saat proses pembahasan
perubahan perubahan UUD 1945, panitia ad Hoc I menyusun kesepatan dasar
berkaitan dengan perubahan UUD 1945. Kesepakatan dasar tersebut terdiri dari
lima butir, yaitu :

1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945

2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia

10
3. Mempertegas sistem pemerintahan Presidensial

4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan


dimasukkan kedalam pasal-pasalPerubahan dilakukan dengan cara “adendum”
(Sekretariat Jendral MPR RI 2003:25)

Dengan demikian jelas bahwa negara kesatuan tetap dipertahankan dengan


memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Memang didalam
masyarakat yang sangat tinggi fragmentasinya, pilihan negara kesatuan sebagai
bentuk negara merupakan pilihan yang tepat dari pada bersifat federalisme.

Disamping hal tersebut diatas, yang lebih penting dalam pemilihan semua bentuk
Negara akan sangat erat kaitannya dengan struktur sosial dan etnisitas masyarakat
yang ada dalam negara tersebut. Sebuah negara yang sangat tinggi tingkat
homogenitasnya tidak sulit mempraktekkan federalisme, terutama yang
menyangkut derajat pembilahan sosialnya. Sebaliknya dalam masyarakat yang
sangat tinggi tingkat fragmentasi sosialnya, diperlukan sebuah pemerintahan nasional
yang kuat.

Namun, menurut Jimly Asshiddiqie (2002:22-23) merujuk Pasal 18 ayat (5)


UUD 1945 perubahan yang isinya: “Pemerintah Daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya,kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan pemerintah Pusat”, berarti pasal tersebut mempunyai pengertian
bahwa otonomi yang seluas-luasnya kecuali urusan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat, juga mengandung konsekuensi
pengertian kearah pengaturan yang bersifat federalistis. Asumsi dasarnya adalah
bahwa kekuasaan asal justru berasal di daerah, kecuali jika undang-undang
menentukan lain. Prinsip kekuasaan asal yang berada didaerah ini adalah prinsip yang
biasa dikenal dalam lingkungan negara yang menganut federalisme. Sejalan
dengan pendapat tersebut Ryaas rasyid menyatakan bahwa UU No.22 tahun 1999
tentang pemerintahan daerah yang kemudian diganti dengan UU No.32 tahun 2004

11
tentang pemerintahan daerah memiliki unsur federalisme. Secara material mirip
federal namun secara konseptual tidak sama dengan federalisme. Dengan demikian
berdasarkan teori yang lazim Negara Kesatuan Republik Indonesia sekarang
merupakan Negara Kesatuan yang menerapkan pemerintahan federal. Oleh karena
itulah banyak muncul perdebatan tentang perlu tidaknya diadakan perubahan lagi
terhadap UUD 1945 hasil perubahan. Khusus berkaitan dengan bentuk Negara
Kesatuan sebagaimana telah ditentuakn dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945
setelah perubahan,dikategorikan sebagai bukan objek perubahan yang diatur
dalam mekanisme perubahan sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945. Dalam pasal
37 ayat (5) UUD 1945 dinyatakan: “Khusus mengenai bentuk Neagar Kesatuan
Republik Indonesia tidak dapat dialkukan peruabahan”. Dengan demikian jelas
bahwa pasal ini mengandung komitmen dan tekad bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 akan tetapberbentuk Negara
Kesatuan selamanya. Artinya apabila bangsa Indonesia taat pada hukum
konstitusi maka tidak akan terjadi perubahan terhadap bentuk Negara Kesatuan.

Bagi bangsa Indonesia, dalam rangka mempertahankan NKRI tidak ada pilihan
lain kecuali mengembangkan nilai-nilai Pancasila agar keragaman bangsa dapat
dijabarkan sesuai prinsip Bhineka Tunggal Ika. Prinsip Indonesia sebagai negara
Bhineka Tunggal Ika mencerminkan bahwa meskipun dalam realitanya Indonesia
memiliki sifat yang sangat heterogen dalam aspek suku,ras,agama,dan lain-lain
tetapi tetap berintegrasi dalam kesatuan.

Bangsa Indonesia meyakini bahwa perbedaan merupakan suatu kodrat manusia


sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa disamping itu bangsa Indonesia meyakini
bahwa perbedaan itu tidak untuk dipertentangkan dan diperuncing, melainkan untuk
dipersatuakan dalam suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini
divisualisasikan pada lambang negara dan bangsa yang kita kenal sebagai “Burung
Garuda Pancasila” dengan sekola “Bhineka Tunggal Ika” yang dimuat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 dan diundangkan pada tanggal 28

12
Nopember 1951 yang kemudian diganti dengan UU RI No.24 Tahun 2009 tentang
Bendera,Bahasa dan Lambang Negara serta lagu Kebangsaan yang diundangkan
tanggal 9 Juli 2009. Dalam lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhineka Tunggal Ika.

3. Tantangan Terhadap Integrasi Nasional

Dalam mempertahankan NKRI agar tetap tegak berdiri ada beberapa faktor yang
dapat mengintegrasikan bangsa Indonesia namun ada pula faktor yang dapat menjadi
penyebab disintegrasi bangsa Indonesia.

Faktor-faktor yang dapat mengintegrasikan antara lain:

1. Nilai-nilai luhur Pancasila (fundamental,instrumental,praksis)

2. Hukum yang ditegakkan secara konsisten dan adil

3. Kepemimpinan yang efektif

4. Pembangunan yang bermuatan harmoni

5. Kekuatan (force)

6. Toleransi dalam kelompok sosial

Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya disintegarsi antara lain :

1. Kekuatan neoliberalisme (paham yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi


diatas segala-galanya) yang mengubah negara kesejahteraan menjadi negara
korporasi

2. Kesenjangan struktural

3. Separatisme (suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan


diri dari suatu wilayah atau suatu negara.

13
4. Kekerasan politik

5. Lambannya kemajuan Politik

6. Menurunnnya tingkat toleransi di tengah masyarakat

Dampak globalisme Untuk mempertahankan NKRI, tiada lain Bangsa Indonesia


harus memperkuat faktor yang dapat mengintegrasikan bangsa Indonesia dan
memperlemah factor yang dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa Indonesia.
Padahal secara faktual faktor yang dapat mengintegrasikan bangsa sekarang ini
cenderung melemah sedangkan factor disintegrasi bangsa sangat terasa mengancam
keutuhan NKRI.

14
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

NKRI sebagai negara bangsa adalah merupakan perwujudan wawasan nasional


yaitu Sila Persatuan Indonesia yang dijiwai dan diliputi sila Ketuhanan Yang
Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab serta menjiwai dan meliputi
sila Kerakyatan Yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Dengan bersendi pada jati diri Pancasila bukan berarti bangsa Indonesia
tidak menghendaki perubahan. Karena perubahan terletak pada cara dan teknik
dalam mengatisipasi tantangan yang dihadapi. Atau dapat pula dikatakan bahwa
perubahan bukan pada tatanan dasar tetapi pada tatanan instrumental.

Bagi bangsa Indonesia yang sangat mendesak untuk dilakukan dalam


rangka meneguhkan NKRI berdasarkan Panacasila adalah menegakkan supremasi
hukum berdasarkan Panacasila dengan tanpa pandang bulu dan
mengimplementasikan nilai-nilai luhur Pancasila dalam dunia pendidikan. Karena
pendidikan tidak hanya mencetak manusiamanusia cerdas, terampil namun juga
mempertahankan, mengembangkan nilai-nilai filosofi bangsa yang merupakan ciri
khas dan identitas bangsa.

2. Saran

Kami sangat mengharapkan, dengan diselesaikannya makalah ini, baik


pembaca maupun penyusun dapat mengetahui materi tentang NKRI pancasila ini.

15
DAFTAR PUSTAKA
Asshidiqie.Jimly, 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Ke
Empat, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta

2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jendral dan


Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta

Darmodiharjo. Dardji, 1999, Dasar dan Rambu-rambu Pembangunan Masayrakat


Indonesia Baru pada Milenium II Berdasarkan Ideologi Nasional Pancasila,
Laboratorium Pancasila Universitas Negeri Malang
Diponolo. T.S., 1975, Ilmu Negara, Jilid 2, Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta
Hadjon. Pjilipus, 1998, Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Hukum Tata Negara,
Yustika, Media Hukum dan Keadailan. Vol I No.2 Desember Fakultas Ubaya,
Surabaya

16
17

Anda mungkin juga menyukai